8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Detergen Limbah Cair Industri Laundry 2.1.1 Deterjen Deterjen adalah salah satu produk yang di gunakan sebagian banyak ibu rumah tangga untuk menghilangkan kotoran pada pakaian, detergen memiliki harga yang cukup terjangkau dan memiliki berbagai aroma yang di sediakan. Detergen semakin banyak di produksi seiring kemajuan jaman ini, deterjen mengandung bahan yang bersifat aktif yaitu surfaktan yang berfungsi sebagai pengikat kotoran dan juga bahan pembasa yang menjadi bahan utama pada deterjen. Deterjen akan memiliki perbedaan setiap jenisnya dikarenakan perbedaan banyak surfaktan pada setiap produk, namun biasanya surfaktan pada deterjen yang banyak dipasaran berkisar 20-40% yang mendominasi kandungan deterjen, selain surfaktan 60% lainnya adalah campuran bahan-bahan kimia yang biasa di sebut dengan additives yang berfungsi untuk meningkatkan daya bersih pada deterjen tersebut (Nugroho & Ikbal, 2005). Bahan surfaktan yang biasa digunakan adalah alkyl benzene (ABS). Senyawa ini termasuk dalam senyawa non biodegradable yaitu tidak dapat didegradasi oleh mikroorganisme, dan juga banyak menimbulkan busa baik pada sungai ataupun air tanah sehingga senyawa tersebut diganti dengan linear alkyl sulphonat (LAS) yang
18
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/56894/3/BAB 2.pdf8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Detergen Limbah Cair Industri Laundry 2.1.1 Deterjen Deterjen adalah salah satu produk yang di gunakan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Detergen Limbah Cair Industri Laundry
2.1.1 Deterjen
Deterjen adalah salah satu produk yang di gunakan sebagian banyak ibu
rumah tangga untuk menghilangkan kotoran pada pakaian, detergen memiliki harga
yang cukup terjangkau dan memiliki berbagai aroma yang di sediakan. Detergen
semakin banyak di produksi seiring kemajuan jaman ini, deterjen mengandung
bahan yang bersifat aktif yaitu surfaktan yang berfungsi sebagai pengikat kotoran
dan juga bahan pembasa yang menjadi bahan utama pada deterjen. Deterjen akan
memiliki perbedaan setiap jenisnya dikarenakan perbedaan banyak surfaktan pada
setiap produk, namun biasanya surfaktan pada deterjen yang banyak dipasaran
berkisar 20-40% yang mendominasi kandungan deterjen, selain surfaktan 60%
lainnya adalah campuran bahan-bahan kimia yang biasa di sebut dengan additives
yang berfungsi untuk meningkatkan daya bersih pada deterjen tersebut (Nugroho
& Ikbal, 2005).
Bahan surfaktan yang biasa digunakan adalah alkyl benzene (ABS). Senyawa
ini termasuk dalam senyawa non biodegradable yaitu tidak dapat didegradasi oleh
mikroorganisme, dan juga banyak menimbulkan busa baik pada sungai ataupun air
tanah sehingga senyawa tersebut diganti dengan linear alkyl sulphonat (LAS) yang
9
lebih mudah didegradasi. Penggunaan LAS di Negara – Negara berkembang
seperi Indonesia masih terbatas dikarenakan harga LAS yang mahal (Santi, 2009)
Jenis surfuktan pada deterjen umumnya bertipe aniotik dalam bentuk sulfat
dan sulfonat dan jika dilihat dari tabel kimianya jenis sulfonat akan bisa di bedakan
dalam beberapa jenis yaitu linier alkyl sulfonate (LAS) yang memiliki jenis rantai
lurus dan juga alkyl benzene sulfonate (ABS) yang memiliki rantai bercabang
(Yuli, 2012).
Bahan-bahan yang umum terkandung pada detergen selain surfoktan ada juga
builder, filler, dan additives. Surfaktan (Surface active agent) merupakan senyawa
yang memiliki sifat permukaan aktif dan terdiri dari satu atau lebih gugus hidrofilik
(polar) dan satu atau lebih gugus hidrofobik (non polar) yang mampu menurunkan
tegangan permukaan air. Sifat rangkap ini menyebabkan surfaktan dapat diadsorpsi
pada antar muka udara-air, minyak-air, dan zat padat-air membentuk lapisan
tunggal. Gugus hidrofobik pada surfaktan berupa senyawa hidroksilat, sulfonat,
fosfat dan garam ammonium. Jumlah hidrokarbon dari suatu molekul surfaktan
harus mengandung 12 atom karbon agar efektif (Fatisa, 2003).
2.1.2 Limbah Cair Laundry
Kebutuhan air untuk usaha laundry yang dengan menggunkan mesin cuci
membutuhkan rata-rata 15 liter air setiap 1 kg pakaian kotor yng akan menghasilkan
limbah cair sebesar 400 𝑚3 yang akan langsung mengalir ke selokan dan menuju
badan sungai, limbah cair tersebut mengan dung berbagai macam zat kimia yang
berbahaya seperti surfoktan yang menjadi bahan utama dari deterjen tersebut dan
juga bahan kimia lain yang juga ikut mengalir ke sungai(Daba & Ezeronye, 2005).
10
Selain mengan dung lombah surfoktan limbah industry laundry juga
mengandung posfat yang cukup tinggi, dalam takaran penggunakan deterjen pospat
juga termasuk bahan yang banyak juga digunakan sebagai bahan pembuat deterjen
seterlah surfaktan yang berfungsi sebagai penonaktifkan mineran kesadahan dalam
air sehingga deterjen dapat bekerja secara optimal dalam mengankat kotoran (Turk,
Petrini, & Simoni, 2009).
Kandungan air limbah laundry bukan hanya terfokus pada bahan utama
namun juga pada bahan tambahan yang ikut menjadi limbah yaitu bahan pemutih,
air softener dan bahan pelembut pakaian, kandungan air limbah laundry sangatlah
kotor karena banyak mengandung logam berat dan senyawa berbahaya lainya,
kandungan limbah laundry sendiri dapat di lihat pada tabel 2.1 serikut.
Tabel 2.1 Kandungan Air Limbah Industri Laundry
Parameter Kondisi air limbah
laundry
Konsentrasi batas pada
emisi air
Temperature (°C) 62 30
pH-value 9,6 6,5 - 9,0
Suspended substances (mg/L) 35 80
Sediment substances (mL/L) 2 0,5
Cl2 (mg/L) 0,1 0,2
Total nitrogen (mg/L) 2,75 10
Nitrogen ammonia (mg/L) 2,45 5
Total phosphorus (mg/L) 9,9 1
COD (mg O2/L) 280 200
BOD5 (mg O2/L) 195 30
Mineral oil (mg/L) 4,8 10
AOX (mg/L) 0,12 0,5
Anionic surfactant (mg/L) 10,1 1
Sumber : (Turk et al., 2009).
11
2.1.3 Dampak Detergen Terhadap Lingkungan
Deterjen yang tersebar di peraian dengan jumlah banyak dan waktu yang
cukup lama dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan dan biota yang ada,
limbah deterjen sendiri mengandung zat surface active (surfaktan), yaitu anionik,
kationik, dan nonionik. Surfaktan yang digunakan dalam deterjen adalah jenis
anionik dalam bentuk sulfat dan sulfonat. Surfaktan sulfonat yang dipergunakan
adalah Alkyl Benzene Sulfonate (ABS) dan Linier Alkyl Sulfonate (LAS)
menunjukkan konsentrasi awal sebesar 7,40 mg/lt. Selain itu tempat jasa pencucian
laundry tersebut dalam sehari bisa mengerjakan cucian sekitar 75 s/d 80 kg dan air
limbah laundry yang di keluarkan sebesar 35 s/d 40 liter (Natalia, 2006).
Lingkungan perairan yang tercemar limbah deterjen kategori keras ini dalam
konsentrasi tinggi dapat membahayakan kehidupan biota air dan manusia yang
mengkonsumsi biota tersebut (Schleheck, 2004). Ditambah juga limbah laundry
yang mengandung fosfat akan menyebabkan masalah lingkungan hidup yaitu
eutrofikasi, yaitu suatu keadaan lingkungan perairan dalam keadaan nutrisi yang
berlebihan memungkinkan adanya pertumbuhan yang cepat dari alga (blooming)
dan menutup masuknya sinar matahari masuk, serta keadaan oksigen yang
berkurang pada lingkungan perairan dibawah permukaan air karena dimanfaatkan
alga. Haltersebut menyebabkan keberadaan organisme yang hidup pada dasar
lingkungan perairan terganggu aktifitasnya. Permasalahan lainnya, cyanobacteria
(blue-green-algae) diketahui mengandung toksin sehingga membawa risiko
kesehatan bagi manusia. Deterjen dengan rendah fosfat berisiko menyebabkan
iritasi pada tangan dan kaaustik. Karena diketahui lebih bersifat alkalis. Tingkat
12
keasamannya (pH) antara 10-12. Saat seusai mencuci baju, kulit tangan terasa
kering, panas, melepuh, retak-retak, gampang mengelupas hingga mengakibatkan
gatal dan kadang menjadi alergi, pH yang dapat ditoleransi oleh kulit manusia
adalah antara PH 6-8 yang artinya tidak jauh dari keadaan normal yaitu PH 7
(Majid, 2017).
Limbah laundry apabila dibuang ke badan air secara langsung akan
menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan, mungkin laundry untuk skala hotel
dan rumah sakit sudah memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL), namun
untuk skala rumahan maka lingkunganlah yang menjadi IPAL –nya. Hingga saat
ini belum ada atau sedikit yang mengolah air dari proses laundry kecuali hotel dan
rumah sakit. Saat limbah laundry di dalam badan air fosfat yang berlebih akan
mengakibatkan terjadinya eutrofikasi, yaitu pencemaran air yang disebabkan oleh
munculnya nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air sehingga tumbuhan
tumbuh dengan sangat cepat di bandingkan pertumbuhan yang normal akibat
tersedianya nutrisi yang berlebihan, Kondisi demikian lambat laun akan
menyebabkan kematian biota dalam aliran air yang tercemar oleh limbah industri
laundry, yang juga akan menyebabkan ketidak seimbangan ekosistem dikarenakan
biota sungai akan berkurang (Wandhana, 2013).
2.2 Parameter Pengukuran Limbah Cair industry laundry dilihat dari aspek
Biologis, Kimia dan Fisika
2.2.1 Parameter Biologis
Parameter biologis adalah parameter yang digunakan untuk mengetahui
kepadatan mikroobiologi di dalam air. Mikrobiologi yang bisa digunakan menjadi
13
parameter adalah kandungan bakteri, karena bakteri adalah mikroorganisme kecil
yang bisa bertahan hidup disuhu dan keadaan air yang ekstrim. Jenis mikrobiologi
yang dijadikan parameter adalah Escherichia coli. Keberadaan E. coli dalam air
trutama dalam air limbah industry lundry dapat menjadi indikator adanya
pencemaran oleh air sumur yang terkontaminasi tinja. Bakteri-bakteri ini apabila
ditemukan di dalam sampel air maka air tersebut mengandung bakteri patogen,
sebaliknya bila sampel air tidak mengandung bakteri ini berarti tidak ada
pencemaran oleh tinja manusia dan hewan, menunjukkan bahwa ia bebas dari
bakteri pathogen (Djaafar, 2007).
E.coli memiliki bentuk batang, biasanya berukuran 0,5 x 1 - 3 µ dan
memiliki flagel sebagai alat gerak. Penyebaran E.coli cukup beragam yaitu
penyebaran lewat makan, air dan tanah, yang selanjutnya akan menjadi pathogen
pada ternak dan manusia (Melliawati, 2009). Penyebaran melalui air dikarenakan
adanya cemaran pada sumur air yag mengandung E.coli hingga dimanfaatkan
dalam keperluan sehari-hari dan membuat manusia dan ternak menjadi inang
sebagai tempat berkembang, sedangkan pencemaran pada tanah berawal dari air
limbah yang mencemari tanah, dalam perjalanannya air akan mengalir melalui pori-
pori tanah, dengan kecepatan 1-3 meter/hari. Debit yang cukup besar
mengakibatkan tingkat penetrasi di dalam tanah akan mencapai jarak yang cukup
jauh, sehingga berpotensi untuk mencemari air tanah dan kembali kesumur (Bagus
& Ngurah, 2015).
Potensi penyebaran dalam tanah mengakibatkan penyebaran E.coli pada
ternak akan lebih mudah, ternak yang muah terifeksi E.coli adalah ternak mamalia
14
seperti sapi dan kambing, bukan hanya itu ternak ungas juga mudah terkontaminasi
dikarenakan lingkungan hidup lebih banyak pada air dan lingkungan kotor. Hal ini
yang membuat E.coli cocok menjadi parameter dalam penelitian kualitas air
terutama air kelas 1,2 dan 3 yang akan dimafaatkan langsung oleh manusia dan
ternak (Hasnawi, 2014).
2.2.2 Parameter Kimia
Parameter kimia untuk melihat kualitas iar limbah industri laundry adalah
DO, BOD dan TSS. Pemilihan parameter dikarenakan dalam proses pencucian akan
didapat pengendapan sisa-sisa deterjen dan endapan organik dari proses larutnya
kotoran oleh deterjen, endapan yang larut dalam air akan mempengaruhi atau
mengurangi kualitas DO, BOD dan TSS (Utami, 2013).
Oksigen terlarut (dissolved oxygen, disingkat DO) atau sering juga disebut
dengan kebutuhan oksigen (Oxygen demand) merupakan salah satu parameter
penting dalam analisis kualitas air. Nilai DO yang biasanya diukur dalam bentuk
konsentrasi ini menunjukan jumlah oksigen (O2). Semakin besar nilai DO,
mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang bagus. Sebaliknya jika nilai
DO rendah, dapat diketahui bahwa air tersebut telah tercemar. Pengukuran DO juga
pada limbah laundry bertujuan untuk melihat sejauh mana libah laundry bisa
diterima oleh biota air seperti ikan dan mikroorganisme. Selain itu kemampuan air
untuk membersihkan pencemaran juga ditentukan oleh banyaknya oksigen dalam
air. Oleh sebab itu pengukuran parameter ini sangat dianjurkan (Fikri, 2014).
Sedangkan Biologycal Oxigen Demand (BOD) sendiri alah banyaknya
oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan