BAB II JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM DAN GAMBARAN …digilib.uinsby.ac.id/8042/5/bab 2.pdfJual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
20
BAB II
JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM DAN
GAMBARAN UU NO. 8 TAHUN 1999
A. Pengertian Jual Beli
Kata jual beli itu sendiri atau yang disebut dengan “dagang” dalam
bahasa Arab berarti al-bay’, at-tija>rah dan al-muba>dalah, sebagaimana Allah
swt berkata dalam firmannya pada surat Fat}ir ayat 29:
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…” (Q.S. al-Baqarah: 198) 9 Dan pada surat al-Nisa>’ dipaparkan ayat 29 sebagai berikut:
“…kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu…” (Q.S. al-Nisa>’: 29) 10 Dasar hukum jual beli dalam Sunnah Rasul Allah saw di antaranya adalah hadis
dari Rifa’ah ibn Rafi’ bahwa:
عمل الرجــل بيده : صلى اهللا عليه وسلم أي الكسب أطيب؟ فقــالسئل النبي
}رواه البزاز والحاآم {.وآـل بيع مـبرور
8 Syamil Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 47 9 Syamil Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 31 10 Syamil Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 83
23
“Rasul Allah saw ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang paling baik. Rasul Allah ketika itu menjawab: Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati.” (HR al-Bazzaz dan al-Hakim) 11.
Artinya jual beli yang jujur, tanpa diiringi kecurangan-kecurangan
mendapat berkah dari Allah. Dalam hadis dari Abi Sa’id al-Khudri yang
diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Ibn Majah dan Ibn Hibban, Rasul Allah saw
menyatakan:
. ـــــراضع عن تــيــبــإنــمــــا ال. م.عن ابي سعيد الخدري قال رسول اهللا ص
} رواه البــيــهقــــــــي{
“Jual beli itu didasarkan kepada suka sama suka.”12
Dalam riwayat al-Tirmizi Rasul Allah bersabda:
النــبــيــين التـــاجــر الصدوق األمين مع : قال. م. عن النبي صعن ابي سعيد
}رواه الترمذي{.ديقـــين والشـــــهــدآءوالصــــ
“Pedagang yang jujur dan terpercaya itu sejajar (tempatnya di surga) dengan para Nabi, para Siddi<qi<n, dan para Syuhada>’. “13
C. Hukum Jual Beli
Dari kandungan ayat-ayat Allah dan sabda-sabda Rasul sebelumnya
pada dasar hukum jual beli, para ulama fikih mengatakan bahwa hukum asal dari
jual beli tersebut adalah iba>hah/muba>h (boleh). Akan tetapi, pada situasi
tertentu, menurut Imam al-Sya>t}ibi (w.790 H), para pakar fikih Maliki,
11 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 113-114 12 Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ibn Majah, Sunan Ibn Majah Juz 1, h. 13 13 Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surat, Sunnah al-Tirmiz|i Juz 3, h. 5
24
hukumnya boleh berubah menjadi wajib. Imam al-Sya>t}ibi memberi contoh
ketika terjadi praktik ikhtika>r (penimbunan barang sehingga stok hilang dari
pasar dan harga melonjak naik).
Apabila seseorang melakukan ikhtika>r dan mengakibatkan
melonjaknya harga barang yang ditimbun dan disimpan itu, maka, menurutnya,
pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual barangnya itu sesuai
dengan harga sebelum terjadinya pelonjakkan harga. Dalam hal ini, menurutnya,
pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah. Hal
ini sesuai dengan prinsip al-Sya>t}ibi bahwa yang mubah itu apabila
ditinggalkan secara total, maka hukumnya boleh menjadi wajib.
Apabila sekelompok pedagang besar melakukan boikot tidak mau
menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka untuk berdagang
beras dan para pedagang ini wajib melaksanakannya. Demikian pula dengan
komoditi-komoditi yang lain14.
D. Rukun dan Syarat Jual Beli
Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga
jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara’. Dalam menentukan rukun jual beli,
terdapat perbedaan pendapat antara ulama Hanafiyah, Syafi’yah dan jumhur
ulama. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu i<ja>b
(ungkapan membeli dari pembeli) dan qa>bu>l (ungkapan menjual dari penjual).
Menurut mereka (Hanafiyah) yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah
14 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 114
25
kerelaan (ridha>/tara>dhi<) kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual
beli15. Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit
diindera sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan
kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi kerelaan kedua belah pihak yang
melakukan transaksi jual menurut mereka, boleh tergambar dalam i<ja>b dan
qa>bu>l, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga barang
(ta’a>t}i)16. Sesuai dengan sabda Rasul Allah saw sebagai berikut:
Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya24, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan…”. (Q.S. Al-Nisa>’: 5) 25 Harta benda tidak boleh diserahkan kepada orang yang belum
sempurna akalnya. Hal ini berarti bahwa orang yang bukan merupakan
23 Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin S., Edisi Lengkap Fiqh Madzhab Syafi’i Buku 2, h. 28 24 Orang yang belum Sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum baligh atau orang
dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya. 25 Syamil Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat 5, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 77
29
ahli tas}arru>f tidak boleh melakukan jual beli dan melakukan akad
(i<ja>b qa>bu>l).
b. Beragama Islam
Syarat ini hanya tertentu untuk pembelian saja, bukan untuk penjual,
yaitu kalau di dalam sesuatu yang dibeli tertulis firman Allah
walaupun satu ayat, seperti membeli kitab Al-Qur’an atau kitab-kitab
hadis\ Nabi. Begitu juga kalau yang dibeli adalah budak yang
beragama Islam. Kalau budak Islam dijual kepada kafir, mereka akan
merendahkan atau menghina Islam dan kaum muslimin sebab mereka
berhak berbuat apa pun pada sesuatu yang sudah dibelinya. Allah swt
melarang keras orang-orang mukmin memberi jalan bagi orang kafir
Artinya: “…dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”. (Q.S. al-Nisa>’: 141) 27
2. Syarat-syarat Barang Akad
Syarat-syarat barang diakad adalah sebagai berikut:
a. Suci (Halal dan Baik).
26 Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin S., Edisi Lengkap Fiqh Madzhab Syafi’i Buku 2, h. 28 27 Syamil Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat 141, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 101
30
Halal tersebut berdasarkan hadis riwayat Jabir bahwa ia mendengar
“Janganlah kalian membeli ikan yang masih berada dalam air, karena merupakan penipuan30.”
Dari Amran bin Husain dengan sanad marfu’ (terputus) kepada Rasul
Allah saw mengatakan bahwa pelarangan juga termasuk penyerahan
pemilikan dengan cara menyelam. Maksudnya, seperti perkataan,
“Barangsiapa menyelam di laut dan mendapatkan ikan, maka berapa pun
ikan yang kau dapatkan kau harus membayar sekian”. Dan contoh lain
seperti menjual janin yang masih dalam kandungan induknya. Tidak boleh
juga menjual wol (bulu binatang) yang binatangnya masih hidup, karena
menyulitkan dalam i<ja>b qa>bu>l karena barang akad masih
bercampur aduk dengan barang yang tidak dijual. Diriwayatkan dari Ibnu
Abba>s r.a.,
ي ت حرم تاعب ينا: . م.ص اهللالوسي رهن. ض. عباس رعن ابن
رواه {.نب اللي فنم سو اعر ضي فنب لو ارهي ظل عفوصو امعطي
}درقطني
“Rasul Allah saw telah melarang menjual kurma sebelum dapat dimakan (masih di pohon) atau bulu domba yang masih berada di kulit atau susu di kantongnya atau susu padat (samin) yang masih bercampur dengan susu”. (HR. Daruqut}ni) 31.
30 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 4, h. 129 31 Syekh Muhammad Abid As-Sindi, Musnad Syafi’i Juz 2, h. 1310
33
Adapun barang yang tidak dapat diserahkan, seperti barang-barang
yang tergadai dan diwakafkan tidak sah untuk diakadkan jual beli.
e. Mengetahui Status Barang (Kualitas, Kuantitas, Jenis, dan Lain-lain).
Jika barang dan nilai harga atau salah satunya tidak diketahui, maka
jual beli dianggap tidak sah, karena mengandung unsur penipuan. Syarat
barang diketahui, cukup dengan mengetahui keberadaan barang tersebut
sekalipun tanpa mengetahui jumlahnya, seperti pada transaksi berdasarkan
taksiran atau perkiraan. Untuk barang z\immah (barang yang dihitung dan
ditimbang), maka jumlah dan sifat-sifatnya harus diketahui oleh kedua
belah pihak. Demikian juga harganya harus diketahui, baik itu sifat, nilai
pembayaran, jumlah maupun massanya. Berikut penjelasannya:
• Transaksi Barang yang Tidak Ada di Tempat Akad
Boleh hukumnya asal barang tersebut diketahui dengan jelas
klasifikasinya. Namun, apabila barang tersebut tidak sesuai dengan
informasi yang diperoleh, akad jual beli menjadi tidak sah, maka pihak
yang melakukan akad dibolehkan memilih: menerima atau menolak,
sesuai dengan kesepakatan antara pihak pembeli dan penjual.
Dalam riwayat Bukhari dan lainnya dari Ibnu Umar r.a., “Aku
membeli sesuatu dari Us\man di daerah lembah dengan barang
miliknya di daerah Khaybar”. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa
Rasul Allah saw bersabda,
34
هل فهر يما لئي شيرت اشنم. م.عن ابي هريرة قال رسول اهللا ص
}رواه درقطني{.هآا رذ ااريخال
“Barangsiapa yang membeli sesuatu barang yang belum dilihatnya, maka ia berhak khiya>r (melakukan pilihan) tatkala melihatnya”. (HR. Daruquthni)32.
• Transaksi atas Barang yang Sulit dan Bahaya Untuk Melihatnya
Dibolehkan juga melakukan transaksi atas barang yang tidak ada
di tempat akad, jika kriteria barang tersebut diketahui menurut
kebiasaan, seperti makanan kaleng, obat-obatan dalam tablet, tabung-
tabung oksigen, bensin dan minyak tanah melalui kran pompa dan
lainnya yang tidak dibenarkan untuk dibuka kecuali pada saat
penggunaannya, karena sulit melihat barang tersebut dan
membahayakan.
• Jual Beli dengan Taksiran
Jual beli jazaf (taksiran/perkiraan) adalah transaksi jual beli yang
tidak diketahui barangnya secara terperinci. Jenis jual beli semacam ini
telah dikenal para sahabat pada zaman Rasul Allah saw Modelnya,
kedua belah pihak melakukan akad atas suatu barang, tetapi tidak
diketahui jumlahnya secara pasti dengan melihat, kecuali dengan cara
perkiraan dan taksiran oleh orang yang berpengalaman. Walaupun
jumlah barang bisa dikatakan tidak pasti sehingga bisa terjadi
32 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 4, h. 130
35
kerugian, akan tetapi biasanya hal tersebut ditolelir oleh kedua belah
pihak.
Ibnu Umar mengatakan, “Mereka dahulu memperjualbelikan
makanan dengan taksiran dan cukup melihat makanan bagian atas saja,
Rasul Allah kemudian melarang mereka sebelum barang itu
dipindahkan (diperlihatkan) semua. Rasul Allah saw mengakui status
jual beli jazaf ini, akan tetapi melarang memperjualbelikannya
sebelum dipindahkan”.
Ibnu Qudamah berkata, “tidak ada perbedaan pendapat ulama
mengenai boleh hukumnya menjualbelikan obat dengan taksiran tanpa
mengetahui jumlahnya secara pasti”.
• Adanya Barang yang Diperjualbelikan saat Ijab Qabul
Jika barang tersebut tidak ada di tangan, maka sah baginya untuk
melakukan tindakan apa pun kecuali transaksi jual beli. Alasannya,
karena pembeli dapat dinyatakan memiliki barang tersebut dengan
akad dan menjadi haknya untuk menggunakan barang tersebut sesuai
kehendaknya. Ibnu Umar berkata,
ا ب حةقف الصهتآردا ا من اةن الستضم. ض.عن ابن عمر ر
}رواه البخاري{. يرتشم الال من موها فعومجم
36
“Sudah menjadi sunnah, apa pun yang diperoleh melalui transaksi yang dilakukan tangan, maka harta tersebut sudah menjadi milik pembeli33”.
Adapun transaksi jual beli sebelum barang ada di tangan, tidak
dibolehkan karena bisa jadi barang tersebut rusak pada waktu masih
berada di tangan penjual, sehingga menjadi jual beli garar (penipuan).
Jual beli garar tidak sah, baik berupa barang yang tidak bergerak atau
bergerak, dapat dihitung jumlahnya atau dengan taksiran. Dalilnya
adalah riwayat dari Ahmad, Baihaqi dan Ibnu Hibban dengan sanad
hadis hasan bahwa Hakim bin Hizam berkata,
ي للحا يما فعوي بيرتش أين اهللا إلوسا ري: قال حاآم بن هزام
“Wahai Rasul Allah, sesungguhnya aku membeli barang dagangan, apa saja yang dihalalkan dan diharamkan darinya?” Rasul Allah bersabda, “Jika engkau membeli sesuatu, maka janganlah kau jual lagi sebelum barang tersebut berada di tanganmu (dipegang) 34”.
33 Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, S}ah}ih} Bukhari Juz 3, h. 58 34 Syekh Muhammad Abid As-Sindi, Musnad Syafi’i Juz 2, h.1301
37
“Bahwa pada zaman Rasul Allah, manusia membeli makanan dengan grosir (taksiran), untuk kemudian mereka jual di tempat tersebut juga sebelum mereka melanjutkan perjalanan mereka35”.
f. Barang Tersebut Dapat Diterima oleh Pihak yang Melakukan Akad.
Melihat penjelasan tentang “mampu diserahkan oleh pelaku akad”
bahwa barang yang diakadkan tidak boleh dalam keadaan yang belum
pasti, seperti ikan dalam air dan buah yang masih di pohon.
E. Jual Beli Pesanan
Jual beli pesanan dalam fikih Islam disebut dengan al-salam atau al-
salaf. Secara terminologis, para ulama fikih mendefinisikan dengan:
“Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu
(barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal,
sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari”.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan:
“Akad yang disepakati untuk membuat sesuatu dengan ciri-ciri tertentu
dengan membayar harganya dahulu, sedangkan barangnya diserahkan
(kepada pembeli) kemudian hari”.
Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan:
“Jual beli yang modalnya dibayar dahulu, sedangkan barangnya diserahkan
sesuai dengan waktu yang disepakati” 36.
35 Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, S}ah}ih} Bukhari Juz 3, h. 46 36 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 146-147
38
Sebenarnya jual beli bentuk ini yakni jual beli al-salam atau yang lebih
dikenal dengan jual beli pesanan sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Para
ulama sepakat bahwa jual beli di atas dibenarkan oleh hukum Islam pada rukun
i<ja>b dan qa>bu>l-nya. Jual beli tersebut dibolehkan sesuai dengan apa yang
berlaku pesanan barang buatan37.
Untuk zaman modern jual beli pesanan atau as-salam lebih terlihat
dalam pembelian alat-alat furniture, seperti kursi tamu, tempat tidur, lemari
pakaian, dan lemari dapur. Barang-barang ini, biasanya dipesan sesuai selera
konsumen dan kondisi rumah konsumen. Oleh sebab itu, dalam jual beli pesanan,
hal ini boleh dilakukan dengan syarat harga barang-barang itu dibayar lebih
dahulu.
Tujuan utama jual beli seperti ini adalah untuk membantu antara
konsumen dengan produsen. Kadangkala barang yang dijual oleh produsen tidak
memenuhi selera konsumen. Untuk membuat barang sesuai dengan selera
konsumen, produsen memerlukan modal. Oleh sebab itu, dalam rangka saling
membantu produsen bersedia membayar uang barang yang dipesan itu ketika
akad sehingga produsen boleh membeli bahan dan mengerjakan barang yang
dipesan itu38.
Sebenarnya praktek jual beli saham juga dapat dikatakan investasi.
Sedangkan investasi sendiri merupakan satu ajaran dari konsep Islam yang
37 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 4, h. 147 38 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah Jilid 4, h. 147
39
memenuhi proses tadrij39 dan trichotomy40. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa
konsep investasi selain sebagai pengetahuan juga bernuansa spiritual karena
menggunakan norma syariah, sekaligus merupakan hakikat dari sebuah ilmu dan
amal, oleh karenanya investasi sangat dianjurkan bagi setiap muslim41. Hal
tersebut dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 18 sebagai berikut:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan42.”
F. Pengertian Syirkah (Kerjasama)
Menurut istilah, yang dimaksud dengan syirkah, para fuqaha berbeda
pendapat sebagai berikut:
1. Menurut Muhammad al-Syarbini al-Khatib, yang dimaksud dengan syirkah
ialah:
“Ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara
masyhur (diketahui).”
39 Ilmu pengetahuan yang memiliki gradasi 40 Ada 3 jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan instrumental (herrschafswissen), pengetahuan
intelektual (beldungswissen), dan pengetahuan spiritual (erlosungswissen). 41 Nurul Huda & Mustafa Edwin Nasution, Investasi Pada Pasar Modal Syariah, h. 17-18 42 Syamil Qur’an Surat Al-Hasyr ayat 18, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 548
40
2. Menurut Syihab al-Din al-Qayubi wa Umaira, yang dimaksud dengan syirkah
ialah:
“Penetapan hak pada sesuatu bagi dua orang atau lebih.”
3. Menurut Imam Taqiyuddin Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini, yang
dimaksud dengan syirkah ialah:
“Ibarat penetapan suatu hak pada sesuatu yang satu untuk dua orang atau
lebih dengan cara yang telah diketahui.”
4. Menurut Hasbi Ash-Shiddieqie, bahwa yang dimaksud dengan syirkah:
“Akad yang berlaku antara dua orang atau lebih untuk ta’awun dalam
bekerja pada suatu usaha dan membagi keuntungannya43.”
Adapun yang dijadikan dasar hukum syirkah oleh para ulama adalah
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Hurairah dari Nabi
“Aku jadi yang ketiga antara dua orang yang berserikat selama yang satu tidak khianat kepada yang lainnya, apabila yang satu berkhianat kepada pihak lain, maka keluarlah aku darinya44.”
G. Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun syirkah diperselisihkan oleh para ulama, menurut ulama
Hanafiyah bahwa rukun syirkah ada dua, yaitu i<ja>b dan qa>bu>l sebab
43 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, h. 125-127 44 Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud Juz 3, h. 34
41
i<ja>b qa>bu>l (akad) yang menentukan adanya syirkah. Syarat-syarat yang
berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian
berikut45:
1. Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta
maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu; a)
yang berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima
sebagai perwakilan, b) yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian
keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak, misalnya setangah dan
yang lainnya.
2. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah ma>l (harta), dalam hal ini terdapat
dua perkara yang harus dipenuhi yaitu; a) bahwa modal yang dijadikan objek
akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqu>d), seperti rupiah atau riyal,
b) yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan,
baik jumlahnya sama maupun berbeda.
3. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah muwafad}ah, bahwa dalam
muwafad}ah disyaratkan a) modal harus sama, b) bagi yang terlibat dalam
syirkah ahli untuk kafalah, c) bagi yang dijadikan objek akad disyaratkan
syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
4. Adapun syarat-syarat yang bertalian dengan syirkah ‘ina>n sama dengan
syirkah muwafad}ah.
45 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, h. 127
42
Menurut Malikiyah syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang
melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd). Syafi’iyah
berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘ina>n,
sedangkan syirkah yang lainnya batal.
H. Mencampuri Kebebasan Pasar dengan Memalsu
Dalam hal mencampuri kebebasan pasar dengan memalsu,
permasalahan ini dapat disamakan dengan menimbun yang dilarang oleh Rasul
Allah saw orang kota yang menjualkan barang milik orang dusun. Bentuknya
(sebagai dikatakan oleh para ulama) adalah sebagai berikut. Ada orang yang
masih asing di tempat itu membawa barang dagangan yang sangat dibutuhkan
orang banyak untuk dijual menurut harga yang lazim pada waktu itu. Kemudian
datanglah orang kota (penduduk kota tersebut) dan ia berkata, serahkanlah
barangmu itu kepadaku dan biarkan sementara di sini untuk saya jualkan dengan
harga yang tinggi. Padahal, seandainya orang dusun itu sendiri yang menjualnya,
sudah tentu lebih murah dan dapat memberi manfaat pada kedua daerah dan dia
sendiri akan dapat untung juga46.
Bentuk semacam ini waktu itu sudah terbiasa terjadi di masyarakat
sebagaimana yang dikatakan oleh sahabat Anas r.a.: