BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN A. Konsep Motivasi 1. Pengertian Motivasi Motivasi berasal dari bahasa latin yang berarti to move. Secara umum mengacu pada adanya kekuatan dan dorongan yang menggerakkan kita untuk berperilaku tertentu (Quinn, 1995). Menurut Steers dan Porter (Riggio, 2003) dikutip dari Hasibuan (2000) motivasi adalah suatu kekuatan yang memiliki tiga fungsi yaitu suatu kekuatan, atau menyebabkan orang untuk melakukan sesuatu, fungsi kedua mengarahkan prilaku untuk mendapatkan tujuan yang khusus dan fungsi yang ketiga kekuatan di atas menambahkan usaha dalam mencapai tujuan tersebut. Motivasi juga diartikan sebagai suatu perangsangan keinginan dan daya penggerak 8
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Konsep Motivasi
1. Pengertian Motivasi
Motivasi berasal dari bahasa latin yang berarti to move. Secara
umum mengacu pada adanya kekuatan dan dorongan yang
menggerakkan kita untuk berperilaku tertentu (Quinn, 1995). Menurut
Steers dan Porter (Riggio, 2003) dikutip dari Hasibuan (2000) motivasi
adalah suatu kekuatan yang memiliki tiga fungsi yaitu suatu kekuatan,
atau menyebabkan orang untuk melakukan sesuatu, fungsi kedua
mengarahkan prilaku untuk mendapatkan tujuan yang khusus dan
fungsi yang ketiga kekuatan di atas menambahkan usaha dalam
mencapai tujuan tersebut. Motivasi juga diartikan sebagai suatu
perangsangan keinginan dan daya penggerak kemauan seseorang
bekerja, setiap motivasi mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai.
Menurut Winardi (2007) mengatakan bahwa motivasi adalah
proses-proses psikologikal yang menyebabkan timbulnya,
diarahkannya, dan terjadinya kegiatan-kegiatan sukarela atau volunter
yang diarahkan ke arah tujuan tertentu. Motivasi ini merupakan hasil
dari sebuah proses yang bersifat internal dan eksternal. Yang
membangkitkan kita untuk bertindak, mendorong kita mencapai tujuan
tertentu, dan membuat kita tetap tertarik dalam kegiatan tertentu
8
9
(Nursalam & Efendi, 2008).
2. Proses Motivasi
Menurut Winardi (2007, dalam Nursalam & Efendi, 2008) proses
motivasi diawali dengan timbulnya keinginan, adanya kebutuhan dan
munculnya berbagai harapan atau expectancy. Hal ini akan
mengakibatkan timbulnya ketegangan-ketegangan (tensi) pada diri
individu yang dianggap kurang menyenangkan. Dengan anggapan bahwa
perilaku tertentu dapat menghilangkan ketegangan-ketegangan yang
dirasakan sehingga orang yang bersangkutan melakukan suatu perilaku.
Perilaku tersebut diarahkan kepada tujuan untuk mengurangi kondisi
ketegangan yang dirasakan. Dimulainya perilaku tersebut menyebabkan
timbulnya petunjuk-petunjuk yang memberikan umpan balik (informasi)
kepada orang yang bersangkutan tentang dampak perilakunya.
3. Teori-teori Motivasi
Ada beberapa teori-teori motivasi dikutip dari Notoatdmodjo
(2007), sebagai berikut :
a. Content theory, yaitu motivasi yang dikaji dengan mempelajari
kebutuhan kebutuhan. Teori ini mengajukan cara untuk
menganalisa kebutuhan yang mendorong seseorang unutk
bertingkah laku tertentu.
b. Process theory, yaitu motivasi yang dikaji dengan mempelajari
prosesnya. Teori ini berusaha memahami proses berpikir yang ada
10
yang dapat mendorong seesorang untuk berpikir tertentu.
c. Cognitive theory (Vroom, 1964), yaitu teori yang menjelaskan
mengapa seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang ia yakini ia
dapat melakukannya, sekalipun hasil dari pekerjaan tersebut sangat
ia inginkan.
d. Menurut Herzberg (1996), ada dua jenis faktor yang mendorongan
seseorang utuk berusaha mencapai kepuasan dan menjauhkan diri
dari ketidakpuasa. Dua faktor itu adalah faktor hygiene (faktor
ekstrinik) dan faktor motivator (faktor instrinsik). Faktor hygiene
memotivasi seseorang untuk keluar dari ketidakpuasan, termasuk
didalamnya adalah hubungan antar manusia, imbalan, kondisi
lingkungan. Sedangkan faktor motivator memotivasi seseorang
untuk berusaha mencapai kepuasan yang termasuk di
dalamnya adalah achievement, pengakuan, kemajuan tingkat
kehidupan.
e. Teori motivasi ERG (Clayton Alderfer), teori yang didasarkan
pada kebutuhan manusia akan keberadaan (exsistence), hubungan
(relatedness), dan pertumbuhan (growth). Teori ini
mengemukakan jika kebutuhan yang lebih tinggi tidak atau belum
dapat dipenuhi maka manusia akan kembali pada gerak yang
fleksibel dari pemenuhan kebutuhan dari waktu ke waktu dan dari
situasi ke situasi. ( Notoatmodjo, 2007).
11
4. Motif Motivasi
Menurut Morgan (1986) dikutip dari Notoatmodjo (2005), motif
motivasi adalah:
a. Motif biogenesis adalah motif yang berkembang pada diri
seseorang yang berasal dari organismenya sebagi makhluk biologi,
motif biologi sudah ada sejak lahir dan tidak dipelajari, bercorak
universal dan kurang terikat pada lingkungan kebudayaan. Secara
biologis manusia cenderung untuk mengikuti prinsip homeostatis.
Homeostatis adalah kecenderungan tubuh kita untuk memelihara
kondisi internal. Sel reseptor tubuh kita secara terus-menerus akan
memonitor tubuh kita. Jika ada ketidakseimbangan dalam tubuh,
maka tubuh akan melakukan adaptasi untuk mencapai keadaan
yang seimbang. Kebutuhan biologi misalnya; kebutuhan untuk
makan, minum, mempertahankan suhu tubuh, seksual, umunya
menganut prinsi ini (Morgan, 1986 dikutip dari Notoatdmojo,
2005).
b. Motif sosiogenik adalah motif yang dipelajari orang dan berasal
dari lingkingan kebudayaan dimana orang itu berada dan
berkembang. Motif sosiogenik tidak berkembang dengan
sendirinya tetapi berdasarkan interaksi sosial dengan orang lain
atau hasil kebudayaan. Motif sosial merupakan sesuatu dorongan
untuk bertindak yang tidak kita pelajari, namun pelajari dalam
kelompok sosial dimana kita hidup. Motif sosial juga
12
mencerminkan karakteristik dari seseorang yang juga merupakan
komponen yang penting dari kepribadiannya.
c. Motif teogenesis, berasal dari interaksi antara manusia dengan
tuhan seperti yang nyata dalam ibadahnya dan dalam kehidupan
sehari-hari dimana ia berusaha merealisasikan norma-norma
agama tertentu. Manusia memerlukan interaksi dengan tuhannya
untuk dapat menyadari akan tugasnya sebagai manusia yang
berketuhanan di dalam masyarakat yang serba ragam.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi
Secara umum, motivasi ada dua macam yang dikenal, yaitu
motivasi intrinsik(datang dari dalam diri individu), dan motivasi
ekstrinsik (datang dari lingkungan). Motivasi intrinsik yaitu motivasi
internal yang timbul dari dalam diri pribadi seseorang itu sendiri,
seperti yang termasuk faktor intrinsik adalah pembawaan individu,
tingkat pendidikan, harapan/keinginan, pengalaman masa lampau dan
aspek lain yang secar internal melekat pada seseorang. Sedangkan
motivasi ekstrinsik yaitu motivasi eksternal yang muncul dari luar diri
pribadi seseorang, seperti lingkungan, dorongan atau bimbingan dari
orang lain, pengaruh sosial ekonomi seperti jarak antar tempat tinggal
dengan posyandu. Faktor intrinsik adalah pembawaan individu, tingkat
pendidikan, harapan/keinginan, pengalaman masa lampau (Nursalam &
Efendi, 2008), sehingga dapat dijabarkan sebagai berikut :
13
a. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya
seseorang menyerap dan memahami informasi yang mereka
peroleh. Tinggi rendahnya pendidikan erat kaitanya dengan
keaktifan ibu yang memiliki balita untuk berkunjung ke posyandu,
serta kesadaran terhadap program posyandu yang bermanfaat
khususnya untuk kesehatan balitanya. Tingkat pendidikan ibu yang
memiliki balita yang rendah mempengaruhi penerimaan informasi
sehingga pengetahuan tentang posyandu terhambat atau terbatas
ketidakaktifan ibu yang memiliki balita merupakan sikap dari ibu
terhadap salah satu program posyandu dalam kunjungan ke
posyandu, proses pendidikan maupun sebagai dampak dari
penyebaran informasi (Notoatmodjo, 2003).
b. Harapan/keinginan
Harapan adalah melihat kedepan dengan kepercayaan diri.
Ketika ada harapan, maka ada kehidupan. Harapan yang dibuat
oleh hati adalah impian, sedangka harapan yang dibuat oleh
pikiran adalah rencana, seseorang tidak mungkin melihat jalan
menuju yang baik, bila hati kosong dari harapan. Harapan yang
tinggi adalah pembentukan kesungguhan hati untuk menggunakan
semua kekuatan dari keberadaan kita untuk mencapai yang
tertinggi dari yang mungkin kita capai (Notoatmodjo, 2003).
14
c. Pengalaman masa lampau
Pengalaman masa lampau disebut juga faktor penguat yang
mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku pada masyarakat
dalam berkunjung ke posyandu. Perilaku berawal dari adanya
pengalaman seseorang serta fakta-fakta dari luar (lingkungan),
baik fisik maupun non fisik, kemudian pengalaman dan
lingkungan diketahui, dipersepsikan, diyakini, sehingga
menimbulkan motivasi, niat untuk bertindak yang akhirnya terjadi
perwujudan niat yang berupa perilaku (Notoatmodjo, 2003).
Faktor eksternal seperti lingkungan, dorongan atau bimbingan
dari orang lain dan jarak antar tempat tinggal dengan posyandu
(Notoatmodjo, 2003) :
a. Lingkungan
Lingkungan didefenisikan sebagai kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di
dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lainnya.
b. Dorongan atau bimbingan dari orang lain
Faktor ini berasal dari luar individu, berupa stimulus untuk
membantu dan mengubah sikap, stimuls dapat bersifat langsung
ataupun tidak langsung misalnya individu dengan keluarganya atau
dengan kelompokknya.
15
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Bidan Tinggal di Desa
Menurut Nurmawati, 2000, Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kesediaan bidan di desa untuk tetap bekerja dan tinggal di desa adalah faktor
umur, status perkawinan, keinginan melanjutkan pendidikan, lokasi tempat
kerja suami, pendapatan tambahan di luar gaji, dan dukungan puskesmas,
sedangkan menurut Kusnanto, 1999, Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kesediaan bidan di desa untuk tetap bekerja dan tinggal di desa adalah faktor,
lama tugas, status kepegawaian, lokasi tempat kerja suami, ketersediaan
polindes, dukungan masyarakat, dan dukungan puskesmas.
Menurut Fikawati, 2003 Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kesediaan bidan di desa untuk tetap bekerja dan tinggal di desa adalah faktor
umur, status perkawinan, lokasi tempat kerja suami.
1. Umur Bidan
Umur juga berpengaruh terhadap psikis seseorang dimana umur
muda sering menimbulkan ketegangan, kebingungan, rasa cemas dan
rasa takut sehingga dapat berpengaruh terhadap tingkah lakunya.
Biasanya semakin dewasa maka cenderung semakin menyadari sering
dan semakin rajin memanfaatkan pelayanan kesehatan (Potter & Perry,
2005).
Menurut teori perkembangan psikososial Erikson, dikutip dari
(Potter & Perry, 2005), tahap perkembangan manusia menurut umur
dibagi kedalam delapan tahapan. Pada penelitian ini, katagori umur bidan
yang menjadi pembahasan dalam penelitian adalah :
16
a. Early adult-hood (20 – 35 tahun)
Pada masa dewasa awal ini, hubungan sosial utama seseorang
sudah terfokus pada partner dalam hubungan teman dan seks
(perkawinan), kompetisi dalam bekerja dan bekerja sama.
Semangat/motivasi untuk bekerja begitu menggebu-gebu tetapi
cenderung masih kurang stabil dalam emosinya. Karakteristik dari
krisis psikososial yang terjadi pada masa ini adalah “keintiman
versus isolasi” dimana bila masa ini dapat dilewati dengan baik akan
meningkatkan kemampuan membentuk hubungan dekat dan
membuat komitmen karier dalam bekerja.
b. Young and middle adult-hood (36 – 45 tahun)
Pada masa dewasa pertengahan, hubungan sosial seseorang
terfokus pada pembagian tugas antara bekerja dengan rumah tangga.
Pada masa ini emosi sudah mulai stabil dan motivasi kerja sangat
tinggi serta biasanya pada masa ini, seseorang mencapai puncak
karier dalam bekerja. Karakteristik dari krisis psikososial yang
terjadi pada masa ini adalah “generativity versus konsentrasi diri”
dimana bila masa ini dapat dilewati dengan baik akan meningkatkan
kemampuan dalam memikirkan kerja dan karier, keluarga,
masyarakat serta generasi mendatang.
Menurut Nurmawati (2000, dalam Fikawati, dkk., 2003)
bahwa faktor internal bidan seperti umur mempengaruhi motivasi
bidan dalam bekerja dan akan berdampak pada kinerja bidan
17
tersebut. Umur bidan terkait dengan pengalamannya dalam
memberikan pelayanan kebidanan kepada masyarakat. Umumnya
masyarakat lebih memilih bidan yang umurnya lebih dewasa untuk
melakukan pertolongan persalinan karena dianggap lebih
berpengalaman. Hal ini membuat bidan yang umurnya lebih muda
menjadi kurang percaya diri dan mendapatkan penolakan dari
masyarakat.
Menurut Kusnanto (1999 dalam Fikawati, dkk, 2003)
masyarakat kurang yakin terhdap kemampuan bidan desa yang
umurnya lebih muda. Masyarakat menganggap bahwa bidan desa
yang umurnya lebih muda kurang berpengalaman dalam menolong
persalinan, sehingga bidan desa kurang dipercaya dan dianggap tidak
mampu oleh masyarakat. Hal ini membuat bidan desa tersebut
menjadi kurang percaya diri dan menolak untuk tinggal dan bekerja
di Polindes.
2. Status perkawinan
Perkawinan merubah status seseorang dari bujangan atau
janda/duda menjadi berstatus kawin. Dalam demografi status perkawinan
penduduk dapat dibedakan menjadi status belum pernah menikah,
menikah, pisah atau cerai, janda atau duda. Di daerah dimana pemakaian
KB rendah, rata-rata umur penduduk saat menikah pertama kali serta
lamanya seseorang dalam status perkawinan akan mempengaruhi tinggi
18
rendahnya tingkat fertilitas. Usia kawin dini menjadi perhatian penentu
kebijakan serta perencana program karena berisiko tinggi terhadap
kegagalan perkawinan, kehamilan usia muda yang berisiko kematian
maternal, serta risiko tidak siap mental untuk membina perkawinan dan
menjadi orangtua yang bertanggung jawab (BPS, 2013).
Ada beberapa konsep yang tersedia dalam membahas perkawinan
di Indonesia. Konsep Perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan
no.1 Tahun 1974 (BPS, 2013) :
a. Perkawinan adalah ikatan bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
b. Untuk laki-laki minimal sudah berusia 19 tahun, dan untuk
perempuan harus sudah berusia minimal 16 tahun.
c. Jika menikah dibawah usia 21 tahun harus disertai dengan ijin kedua
atau salah satu orangtua atau yang ditunjuk sebagai wali.
Konsep perkawinan dalam lingkup demografi dan kependudukan
adalah lebih difokuskan kepada keadaan dimana seorang laki-laki dan
seorang perempuan hidup bersama dalam kurun waktu yang lama. Dalam
hal ini hidup bersama dapat dikukuhkan dengan perkawinan yang syah
sesuai dengan undang-undang atau peraturan hukum yang ada
(perkawinan de jure) ataupun tanpa pengesahan perkawinan (de facto).
Konsep ini dipakai terutama untuk mengkaitkan status perkawinan
19
dengan dinamika penduduk terutama banyaknya kelahiran yang
diakibatkan oleh panjang-pendeknya perkawinan atau hidup bersama ini
(BPS, 2013).
Norma dan adat di Indonesia menghendaki adanya pengesahan
perkawinan secara agama maupun secara undang-undang. Tetapi untuk
keperluan studi demografi, Badan Pusat Statistik mendefinisikan
seseorang berstatus kawin apabila mereka terikat dalam perkawinan pada
saat pencacahan, baik yang tinggal bersama maupun terpisah, yang
menikah secara sah maupun yang hidup bersama yang oleh masyarakat
sekelilingnya dianggap sah sebagai suami istri (BPS, 2000). Definisi luas
tentang perkawinan ini digunakan oleh BPS karena dalam kenyataannya
pada suatu masyarakat sering diketemukan banyak pasangan laki-laki
dan perempuan yang hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah
secara hukum. Seringkali hal ini disebabkan karena persyaratan
perkawinan yang sah memberatkan kedua belah pihak yang hendak
menikah, misalnya biaya perhelatan adat yang terlampau tinggi, tidak
mampu membayar biaya memproses perkawinan yang syah atau biaya
mahar yang tidak terjangkau oleh pasangan yang hendak menikah secara
resmi (BPS, 2013).
Indikator perkawinan berguna bagi penentu kebijakan dan
pelaksana program kependudukan, terutama dalam hal pengembangan
program-program peningkatan kualitas keluarga dan perencanaan
keluarga. Perkawinan usia dini akan berdampak pada rendahnya kualitas
20
keluarga, baik ditinjau dari sisi ketidak siapan secara psikis dalam
menghadapi persoalan sosial atau ekonomi rumah tangga, maupun
kesiapan fisik bagi calon Ibu remaja dalam mengandung dan melahirkan
bayinya. Dalam hal kehamilan yang tidak dikehendaki karena usia calon
Ibu masih sangat muda, ada risiko pengguguran kehamilan yang
dilakukan secara illegal dan tidak aman secara medis. Pengguguran
kandungan semacam ini dapat berakibat komplikasi aborsi. Program
konseling maupun pelayanan kesehatan reproduksi remaja akan dapat
dilakukan secara tepat apabila mengetahui berapa banyaknya dan dimana
perkawinan usia dini terdapat (BPS, 2013).
Diketahuinya berapa besar pasangan usia subur (persentase
perempuan usia subur yang menikah) akan memudahkan para perencana
program KB untuk mempersiapkan pelayanan KB dan Kesehatan
Reproduksi dan dikemudian hari anak-anak yang dilahirkan para Ibu ini
akan menjadi generasi yang sehat dan berpotensi tinggi sebagai sumber
daya manusia yang handal (BPS, 2013).
Dari sisi lain, data mengenai banyaknya pasangan suami isteri serta
rata-rata umur kawin laki-laki dan perempuan akan menjadi bahan utama
pengembangan kebijakan penyediaan pelayanan dasar lainnya seperti
pengembangan perumahan, kebutuhan peralatan rumah tangga
disesuaikan dengan kemampuan daya beli, keperluan alat transportasi
dan lain-lain (BPS, 2013).
21
Menurut Kusnanto (1999 dalam Fikawati, dkk, 2003) pernikahan
mempengaruhi kinerja bidan di desa. Bidan desa yang sudah menikah
biasanya lebih betah tinggal di Polindes. Hal ini disebabkan karena bidan
desa yang telah memiliki suami lebih merasa aman untuk tinggal dan
bekerja jauh dari tempat tinggal asalnya. Dukungan suami terhadap
pekerjaan bidan desa juga mempengaruhi kinerja bidan desa tersebut.
3. Lama bertugas/Masa kerja
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud masa
kerja adalah jangka waktu orang sudah bekerja (pada suatu kantor,
badan, dan sebagainya). Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor: 23
tahun 1994 Tanggal: 7 April 1994, Pasal 7 disebutkan bahwa lamanya
pelaksanaan tugas bidan sebagai Pegawai Tidak Tetap adalah 3 (tiga)
tahun sebagai pelaksanaan masa bakti dan dapat diperpanjang untuk
paling lama 3 (tiga) tahun.
Hasil penelitian Fikawati, dkk (2003) menunjukkan bahwa bidan
desa yang sudah bekerja lebih lama bersedia untuk bekerja dan tinggal di
desa dibandingkan yang baru bekerja. Faktor lama masa bekerja ini juga
merupakan salah satu faktor yang dominan berhubungan dengan
kesediaan bidan desa untuk tetap bekerja dan tinggal di desanya. Hal ini
dapat dipahami, karena bidan desa yang telah bekerja cukup lama sudah
saling mengenal masyarakat di wilayah kerjanya. Waktu pengenalan
22
yang cukup lama membuat rasa keterikatan dan saling memiliki dapat
terjalin dengan lebih baik.
Penelitian Rustam (dikutip dalam Fikawati, dkk., 2003) di
Kuningan, Jawa Barat menyebutkan bahwa para bidan desa umumnya
membutuhkan waktu yang cukup untuk dapat beradaptasi dengan
masyarakat dan lingkungannya. Bidan desa tidak dapat langsung bekerja
tanpa adanya penyesuaian diri dengan lingkungan kerjanya.
Nurmawati (2000, dalam Fikawati, dkk., 2003) mengatakan bahwa
lamanya seorang bidan bekerja sangat mempengaruhi mutu pelayanan
kebidanan. Hal ini terkait dengan pengalaman bidan tersebut dalam
memberikan pelayanan. Misalnya seorang bidan desa yang telah lama
bertugas di masyarakat, maka bidan desa tersebut memiliki pengalaman
yang cukup baik dalam melayani masyarakat di desa tempatnya bertugas.
Lamanya waktu bertugas seorang bidan desa di masyarakat menimbulkan
keterikatan dan hubungan social dengan masyarakat setempat.
Masyarakatpun menganggap bidan desa tersebut merupakan bagian dari
mereka. Hal ini dapat meningkatkan motivasi bidan desa untuk tetap
bekerja di desa.
4. Status kepegawaian
23
Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor: 23 tahun 1994
Tanggal: 7 April 1994, Pasal 7 disebutkan bahwa bidan sebagai Pegawai
Tidak Tetap adalah bidan yang bukan pegawai negeri, diangkat oleh
Pejabat yang berwenang untuk melakukan pekerjaan sebagai bidan dalam
rangka pelaksanaan program pemerintah. Peraturan tersebut
menyebutkan bahwa bidan yang ditempatkan di desa bukan pegawai
negeri sipil. Akan tetapi seiring perkembangan, saat ini bidan yang
bertugas dan tinggal di desa sudah banyak yang berstatus pegawai negeri
sipil. Hal ini dilakukan karena jumlah bidan yang bekerja di puskesmas
sudah cukup banyak, sehingga bagi bidan yang dulunya berstatus
pegawai tidak tetap setelah menjadi pegawai negeri sipil tetap bertugas di
desa asal.
Menurut Kusnanto (1999 dalam Fikawati, dkk, 2003) bidan desa
yang berstatus PNS lebih termotivasi dalam bekerja. Hal ini karena
kejelasan status dan masa depan mereka. Status PNS merupakan tujuan
utama dari karir seorang bidan desa. Status PNS membuat bidan desa
lebih bersemangat dalam bekerja, sehingga ia bersedia tetap bekerja di
desa.
5. Pendapatan tambahan diluar gaji
Menurut UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) gaji atau upah adalah hak pekerja yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja
24
kepada pekerja ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,termasuk tunjangan
bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan /atau jasa yang
telah atau akan dilakukan.
Hasibuan (2002) menjabarkan bahwa gaji adalah balas jasa yang
dibayar secara periodik kepada karyawan tetap serta mempunyai jaminan
yang pasti.
Menurut Hasibuan (2002), pendapatan diluar gaji atau lebih dikenal
dengan istilah insentif adalah tambahan-tambahan gaji diatas atau diluar
gaji atau upah yang diberikan oleh organisasi. Program-program insentif
disesuaikan dengan memberikan bayaran tambahan berdasarkan
produktivitas, penjualan, keuntungan-keuntungan atau upaya-upaya
pemangkasan biaya.
Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 23 tahun 1994 tentang
Pengangkatan Bidan sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) pada pasal 4
ayat 1a disebutkan bahwa bidan sebagai pegawai tidak tetap berhak
memperoleh penghasilan berupa gaji pokok dan tunjangan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1199/MENKES/PER/X/2004 tentang Pedoman Pengadaan Tenaga
Kesehatan dengan Perjanjian Kerja di Sarana Kesehatan Milik Penerintah
disebutkan bahwa hak tenaga kesehatan yang dipekerjakan dengan
perjanjian kerja (termasuk bidan PTT) adalah memperoleh tunjangan
transportasi, premi asuransi jiwa dan jaminan pemeliharaan kesehatan.
25
Kemudian juga berhak memperoleh kesejahteraan/insentif yang
ditetapkan oleh pimpinan, misalnya jasa medik, lembur dan lain-lain.
Lebih lanjut berdasrakan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :
369/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan disebutkan
bahwa seorang bidan dapat melakukan praktik kebidanan di berbagai
tatanan pelayanan termasuk di rumah, masyarakat, rumah sakit, klinik
atau unit kesehatan lainnya. Hal ini memberikan peluang bagi bidan desa
untuk memperoleh penghasilan tambahan diluar gaji yang diterimanya.
Menurut Kusnanto (1999 dalam Fikawati, dkk, 2003) bidan desa
yang membuka praktik kebidanan di desa tempatnya bertugas dan
dimanfaatkan oleh masyarakat setempat memberikan motivasi tersendiri
bagi bidan desa tersebut untuk menetap di desa. Salah satu faktor yang
menyebabkan bidan desa bersedia menetap di desa adalah penghasilan
yang diperoleh diluar gaji yang dapat meningkatkan kesejahteraan bidan
desa tersebut. Hal ini dapat diperoleh dengan membuka praktik bidan
diluar tugasnya sebagai bidan desa.
6. Kondisi Polindes
Pondok bersalin Desa (Polindes) adalah salah satu bentuk peran
serta masyarakat dalam menyediakan tempat pertolongan persalinan dan
pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk KB didesa (Depkes RI,
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kesediaan bidan di desa untuk tetap bekerja dan tinggal di desa 1. lama tugas2. Status kepegawaian3. lokasi tempat kerja suami4. Ketersediaan polindes5. Dukungan masyarakat6. Dukungan puskesmas.
Kusnato (1999)
Faktor faktor yang berhubungan dengan kesediaan bidan di desa untuk tetap bekerja dan tinggal di desa : 1. Umur2. Status perkawinan,3. Keinginan melanjutkan
pendidikan4. lokasi tempat kerja suami5. pendapatan tambahan di luar
gaji6. Dukungan puskesmas,
Nurmawati (2000)
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kesediaan bidan di desa untuk tetap bekerja dan tinggal di desa1. faktor umur2. status perkawinan3. lokasi tempat kerja suami