10 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG WAYANG DAN GUNUNGAN A. Tinjauan tentang Wayang Jawa Tengah memiliki berbagai kesenian tradiasional yang mengakar pada kepribadian sendiri, satu di antaranya adalah seni pertunjukan wayang kulit. Kesenian wayang kulit adalah kesenian asli etnis Jawa Tengah yang telah diakui oleh masyarakat Jawa Tengah sebagai kesenian yang mempunyai nilai “adhiluhung” 1 , yang mampu menyerap kesenian manca negara dengan tetap berpijak pada bentuk dan tradisi kesenian wayang kulit yang asli. Oleh karena itu, kesenian wayang kulit merupakan salah satu keseniaan tradisional yang pertama - tama perlu dipertahankan, dilestarikan, dan dikembangkan sebagai identitas maupun bukti jati diri Jawa Tengah khususnya, Indonesia pada umumnya. Wayang adalah salah satu seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara (musik), seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang dari zaman ke zaman juga merupakan media penerang, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Dalam setiap lakon dapat diambil suri tauladan atau makna yang tersirat dan terurat dalam setiap lakon agar manusia dapat mengambil hikmahnya. Dengan demikian, peranan wayang lebih sebagai dasar filosofi manusia Jawa, disamping ajaran-ajaran yang disampaikan oleh pujangga Jawa. Hasil kesenian tradisional warisan nenek moyang bangsa Indonesia berupa pertunjukan wayang kulit yang padat dengan nilai filosofis, nilai simbolis, dan nilai historis (adhiluhung) pernah mengalami puncak kejayaan dan masih diagungkan keberadaannya sampai sekarang. Begitu besar 1 Suwaji Bastomi, Gemar Wayang, Semarang: IKIP Semarang Press, 1996, hlm. 25-26.
21
Embed
BAB II Gunungan - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · perhatian orang-orang Jawa terhadap keberadaan wayang ini, ... 3 W.J.S.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
10
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG WAYANG DAN GUNUNGAN
A. Tinjauan tentang Wayang
Jawa Tengah memiliki berbagai kesenian tradiasional yang mengakar
pada kepribadian sendiri, satu di antaranya adalah seni pertunjukan wayang
kulit. Kesenian wayang kulit adalah kesenian asli etnis Jawa Tengah yang
telah diakui oleh masyarakat Jawa Tengah sebagai kesenian yang mempunyai
nilai “adhiluhung”1, yang mampu menyerap kesenian manca negara dengan
tetap berpijak pada bentuk dan tradisi kesenian wayang kulit yang asli. Oleh
karena itu, kesenian wayang kulit merupakan salah satu keseniaan tradisional
yang pertama - tama perlu dipertahankan, dilestarikan, dan dikembangkan
sebagai identitas maupun bukti jati diri Jawa Tengah khususnya, Indonesia
pada umumnya.
Wayang adalah salah satu seni budaya bangsa Indonesia yang paling
menonjol. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara (musik), seni tutur,
seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang dari zaman ke
zaman juga merupakan media penerang, dakwah, pendidikan, pemahaman
filsafat, serta hiburan.
Dalam setiap lakon dapat diambil suri tauladan atau makna yang
tersirat dan terurat dalam setiap lakon agar manusia dapat mengambil
hikmahnya. Dengan demikian, peranan wayang lebih sebagai dasar filosofi
manusia Jawa, disamping ajaran-ajaran yang disampaikan oleh pujangga
Jawa.
Hasil kesenian tradisional warisan nenek moyang bangsa Indonesia
berupa pertunjukan wayang kulit yang padat dengan nilai filosofis, nilai
simbolis, dan nilai historis (adhiluhung) pernah mengalami puncak kejayaan
dan masih diagungkan keberadaannya sampai sekarang. Begitu besar
melihat wayang berarti sama halnya melihat kaca rias, yang dilihat oleh
2 Asmoro Achmadi, Filsafat Dan Kebudayaan Jawa, Upaya Membangun Keselarasan
Islam dan Budaya Jawa, Semarang: Cendrawasih, 2003, hlm. 34.
12
orang bukan kacanya tetapi apa yang ada dalam kaca, yaitu dirinya
pribadi. Sebab wayang merupakan bahasa simbul dari hidup dan
kehidupan manusia, dan bukan sebaliknya. Dengan mempelajari dan
mengenal wayang kita dapat mengenal hidup dan kehidupan kita sendiri.
Menurut versi kebatinan wayang disebut dengan "ringgit", dalam
bahasa Jawa diartikan dengan saringaning – anggit artinya kudu disaring
lan di anggit, maksudnya harus dicari intisarinya.
Wayang sebagai salah satu seni pertunjukan sering diartikan
sebagai bayangan yang tidak jelas hanya samar-samar bergerak ke sana ke
mari. Dengan bayangan yang samar-samar tersebut tidak diartikan sebagai
gambaran perwatakan manusia, lebih dari itu sering pula dimaksudkan
sebagai penggambaran kehidupan manusia di masa lampau.
Kata wayang dapat diartikan sebagai gambaran atau tiruan manusia
yang terbuat dari kayu, kulit, dan sebagainya3 untuk mempertunjukkkan
sesuatu lakon (cerita). Arti lain dari kata wayang adalah ayang - ayang
(bayangan), karena yang dilihat adalah bayangan di kelir (tabir kain putih
sebagai gelanggang permainan wayang). Disamping itu, ada yang
mengartikan bayangan angan-angan, yang menggambarkan perilaku nenek
moyang atau orang yang terdahulu (leluhur) menurut angan – angan,
karena terciptanya segala bentuk wayang disesuaikan dengan perilaku
tokoh yang dibayangkan dalam angan – angan.4
Adapun arti wayang menurut istilah yang diberikan oleh Doktor
Th. Piqued ialah: (1) Boneka yang dipertunjukkan (wayang itu sendiri) (2)
Pertunjukkannya, dihidangkan dalam berbagai bentuk, terutama yang
mengandung pelajaran (wejangan – wejangan), yaitu wayang purwa atau
wayang kulit yang diiringi dengan teratur oleh gamelan (instrument)
slendro.5
3 W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997,
hlm. 1150. 4 Sagio dan Samsugi, Wayang Kulit Gagrak Yogyakarta, Morfologi, Tatahan,
Sunggingan, dan Tehnik Pembuatannya, Jakarta: CV.Hajimasagung, 1991, hlm. 4. 5 Effendy Zarkasi, Unsur-Unsur Islam dalam Pewayangan, Sala: Mardikintoko, 1997,
hlm. 53.
13
Dr. G. A.J. Hazzeu (seorang ahli sejarah kebudayaan belanda),
menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukkan asli
Jawa. Wayang adalah “Walulang inukir” (kulit yang diukir) dan dilihat
bayangannya pada kelir.6
Sri Mulyono berpendapat, wayang adalah sebuah kata bahasa
Indonesia (Jawa) asli, yang berarti bayang-bayang, atau bayang yang
berasal dari akar kata “yang” mendapat tambahan “wa” yang menjadi
wayang.7 Kusumajadi mengatakan wayang adalah bayangan orang yang
sudah meninggal,8 jadi orang yang digambar itu sudah meninggal, lebih
lanjut ia menjelaskan: kata wayang tadi dari suku kata wa dan yang. Wa:
trah yang berarti turunan, yang: hyang yang berarti eyang kakek, atau
leluhur yang sudah meninggal. Arti lain dari wayang adalah (bayangan)
potret kehidupan yang berisi sanepa, piwulang, pituduh (kebiasaan hidup,
tingkah laku manusia dan keadaan alam) atau wayang adalah etika
kehidupan manusia.9
Wayang dalam kamus bahasa Indonesia adalah boneka tiruan
manusia dan sebagainya yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan
sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam
pertunjukan drama tradisional (Bali, Sunda, Jawa dan sebagainya),
biasanya dimainkan oleh seorang dalang.
Kemunculan wayang kulit ini ada yang meyebutkan bahwa wayang
bermula dari relief candi,10 agar dapat dibawa dan dikisahkan atau
dipertunjukkan, bentuk pada relief itu dikutip pada bentuk gambar yang
dapat digulung, hal ini terbukti banyak candi yang memuat relief cerita
6 Tim Penulis Enslikopedi Nasional Indonesia, Enslikopedi Nasional Indonesia, jilid 17, Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1991, hlm. 274.
7 Akar kata wayang adalah “yang”. Akar kata ini bervariasi dengan yung, yong, antara lain terdapat dalam kata “laying”atau terbang, “doyong” atau miring, tidak stabil, “royong” yang berarti selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain, “poyang payingan” berjalan sempoyongan, tidak tenang, dan sebagainya. Dengan membandingkan berbagai pengertian dari akar kata “yang” beserta variasinya, dapatlah dikemukakan bahwa kata dasarnya berarti tidak stabil, tidak pasti, tidak tenang, terbang, bergerak kian kemari. Sagio dan Samsugi, op.cit., hlm. 5.
8 Sunarto, Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta, Sebuah Tinjauan tentang Bentuk, Ukiran, Sunggingan, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hlm. 15.
9 Suwaji Bastomi, Nilai-Nilai Seni Pewayangan, Semarang: Dahara Prize, 1993, hlm. 15. 10 Sagio dan Samsugi, op.cit., hlm. 5-6.
14
wayang. Misalnya candi Prambanan (Yogyakarta), dan candi Penataran
(Blitar), candi Jago(Malang-Jawa Timur). Ada pendapat yang mengatakan
bahwa timbulnya wayang itu dari kepercayaan pada roh leluhur yang
sudah mati,11 yang dianggap oleh masyarakat Jawa sebagai pelindung
dalam kehidupan.
Pengertian wayang yang begitu banyak maka, penulis katakan
bahwa wayang adalah suatu hasil seni budaya manusia yang
menggambarkan tentang tingkah laku kehidupan manusia dalam
menempuh kesejahteraan dan beribadah kepada Tuhan. Karena wayang
merupakan lambang manusia yang disesuaikan dengan tingkah lakunya,
sebab wayang itu sendiri apabila dipraktekkan akan membawa peran yang
mencakup ajaran ke-Tuhanan, filsafat, moral, dan mistik.
2. Macam-macam Wayang
Budaya wayang berkembang selama berabad–abad memunculkan
berbagai ragam jenis wayang. Kebanyakan jenis wayang itu tetap
menggunakan Mahabarata dan Ramayana sebagai induk ceritanya. Alat
peraganya pun berkembang menjadi beberapa macam, antara lain wayang
yang terbuat dari kertas, kain, kulit, kayu, dan juga wayang orang (wayang
wong).
Perkembangan jenis wayang juga dipengaruhi oleh keadaan
budaya daerah setempat.12 Misalnya wayang kulit purwa yang
berkembang pula pada ragam kedaerahannya menjadi wayang kulit purwa
khas daerah, seperti wayang Cirebon, wayang Bali, wayang Betawi, dan
sebagainya. Ada beberapa jenis wayang di Indonesia, yang terpenting
diantaranya adalah :
a. Wayang Purwa (wayang kulit)
Cerita wayang purwa bersumber pada wiracerita Mahabarata
dan Ramayana. Wayang purwa ini merupakan jenis wayang yang
paling populer di masyarakat sampai saat ini. Wayang purwa ada yang
11 Sunarto, op.cit., hlm. 16. 12 Tim Penulis Enslikopedi Nasional Indonesia, op.cit., hlm. 275.
15
terbuat dari kulit (wayang kulit purwa) dan ada yang terbuat dari kayu
(wayang golek purwa).13
b. Wayang Madya
Wayang madya ini merupakan ciptaan Sri Mangkunegara IV
Surakarta. Ceritanya merupakan lanjutan cerita wayang purwa yaitu
dari Yudayono sampai Jayalengka. Wayang madya ini tidak
berkembang karena keberadaannya hanya terbatas pada lingkungan
kadipaten Mangkunegara.14
c. Wayang Gedog
Wayang gedog diciptakan oleh sunan Giri dengan iringan
gamelan pelog. Isi ceritanya adalah lanjutan wayang madya dengan
dasar ceritanya dari cerita panji yang muncul zaman Kediri dan
Majapahit, yang merupakan cerita-cerita jenggala.15
d. Wayang Klitik (krucil)
Jenis wayang ini untuk menceritakan tanah Jawa, khususnya
kerajaan Majapahit dan Pajajaran, sumber cerita wayang klitik dari
serat Damarwulan. Wayang klitik dibuat oleh Pangeran Pekik, pertama
kali wayang kulit ini terbuat dari kulit, kemudian oleh Paku Buwana II
wayang klitik ini dibuat dengan bahan kayu, sehingga apabila
dimainkan menimbulkan suara kliti “klitik - klitik” atas dasar inilah
wayang krucil disebut wayang klitik.16
e. Wayang Golek
Cerita wayang jenis ini bersumber pada serat Menak, yang
berisikan cerita hubungan negeri Arab dan Persia pada zaman awal
Gunungan disebut meru atau Mahameru artinya gunung besar
Mahameru, sebagai gambaran gunung Himalaya dengan segala
penghuninya. Mahameru dianggap sebagai gunung Sunga kadang-kadang
sebagai gunung dunia, kedua-duanya bersifat kudus. Sehubungan dengan
anggapan tersebut maka Mahameru mengandung berbagai unsur hidup dan
unsur mati. Mahameru dijadikan pusat pemujaan. Oleh beberapa pihak
pohon hayat diartikan sebagai lambang kehidupan "Jagad Besar” utau
"buana-agung" karena dalam gambaran tersebut dilukiskan unsur-unsur
udara, air, angin, api dan tanah. Pohon hayat juga diartikan sebagai
kehidupan yang tiada habis atau yang disebut "nunggak semi" (patah
tumbuh hilang berganti).27
Dr. Rassers memandang kayon atau gunungan adalah suatu bentuk
atau aparat yang ajaib: a. gambar hutan (pegunungan), b. meru (pohon surga
atau pohon harapan).28 Kayon adalah merupakan hutan di mana dewa-dewa
abadi diam, pusat suci dari seluruh masyarakat, menurut Mythe pohon surga
adalah permulaan ciptaan. Ada pula yang mengartikan gunung (kayon)
merupakan tatanan kosmis, dunia paradewa jagad.29
Ki Cipto Sangkono (A. Sangkono Wardoyo) seorang dalang dan
dosen pada Institut Seni Indonesia (ISI) di Yogyutu berpendapat, wayang
gunung merupakan hasil cipta yang di dalamnya tersirat suatu ungkapan
bergeloranya menuju cita-cita demi keselamatan jiwa manusia, agar
terhindar dari bencana nafsu indria yang tak terkendalikan. Dengan cara
menyucikan diri berdasarkan iman dan keimanan.30 Gunungan atau kayon
merupakan simbolisme jagad semesta alam yang penuh melambangkan
awal dan akhir kehidupan manusia.
27 Widjiono Wasis, Ensiklopedi Nusantara, Jakarta: Dian Rakyat, 1989, hlm. 11. 28 Sri Mulyono, Wayang Asal Usul dan Masa Depannya, Jakarta: CV. Hajimasaguna,
1989, hlm. 3l. 29 Soedarsono, Melacak Perkembangan Seni di Indonesia, Bandung: MRTI Line, 2000,
hlm. 182. 30 S. Haryanto, Bayang-Bayang Adhiluhung, Filsafat, Simbolik, dan Mistik dalam
Wayang, Semarang: Dahara Proze, 1992, hlm. 29-30.
24
Keseluruhan pertunjukkan wayang sejak dari pembukaan (talu)
hingga berakhirnya pagelaran dengan tancep kayon, mempunyai kandungan
filosofis Jawa. Tiap adegan dengan iringan gending sendiri-sendiri dan
makin lama makin meningkat laras dan iramanya, hingga mencapai klimaks
dengan diakhiri tancep kayon setelah semua problem di kalangan lakonnya
terjawab dan terpecahkan.
2. Jenis dan Fungsi Gunungan
a. Jenis gunungan
Bentuk dan seni kriya gunungan selalu berubah dan zaman ke
zaman. Antara daerah satu dengan daerah lainnya juga terdapat
perbedaan bentuk. Pada 1737 Masehi Susuhanan Paku Buwana II di
Kartasura memerintahkan para seniman Keraton untuk menciptakan
bentuk seni kriya gunungan baru, yang memasukkan unsur gambar
gaputa.31 Gunungan dengan gapura ini diberi candra sengkala gapura
uma retuning bumi, yang melambangkan angka tahun Jawa 1659 atau
1737 Masehi. Dalam perkembangannya di dunia pewayangan,
gunungan gapura ini disebut gunungan lanang (lelaki).
Di lihat dari bentuknya ada dua macam gunungan32 yaitu
gunungan gapura (zaman Kartasura), gambaran utama bentuk gunungan
ini berupa gapura (gerbang) dengan lima pilar. Seeokor harimau dan
seekor benteng terdapat di latar belakang. Ini melambangkan
konfrontasi abadi antara segala yang buruk dengan segala yang baik. Di
latar depan, di sisi kiri dan kanan gapura itu terdapat dua orang raksasa
penjaga pintu bersenjatakan ganda dan perisai.
Dunia wayang kulit purwa juga mengenal gunungan lain yakni
gunungan blumbungan (gunungan wadan atau perempuan). Pada
gunungan blumbungan terdapat gambar sepasang sayap, sepasang
jlarang yaitu sejenis musang dan rase. Selain itu tergambar pula
beberapa jenis binatang seperti ular, burung, merak dan monyet.
31 Tim Penulis Sena Wangi, loc.cit. 32 Ibid, hlm. 612.
25
Gunungan dalam berbagai gagrak ada empat macam yaitu
gunungan gagrak Yogyakarta, gunungan gagrak Jawa Timur, gunungan
gagrak Surakarta, dan gunungan gagrak Cirebon. Dalam berbagai
jenisnya gunungan wayang golek menak dan gunungan wayang Sasak.
Ragam bentuk gunungan atau kayon terdapat perbedaan, yang
disebabkan oleh jenis wayang yang berbeda, bisa pula karena dibuat
oleh seniman dari daerah atau zaman yang berbeda.33
b. Fungsi Gunungan
Gunungan yang pada awalnya disebut kayon, dalam pewayangan
melambangkan tentang berbagai hal. Figur wayang gunungan
merupakan gambar wayang yang sangat penting dalam setiap
pertunjukan wayang, tanpa kayon gunungan pertunjukan tidak dapat
berjalan.
Kayon itu ujudnya semacam gunung runcing, karenanya
kemudian dinamakan “gunungan”. Isinya hiasan bermacam-macam,
dilihat dari ujud dan fungsinya, kayon gunungan ini mempunyai
beberapa fungsi dalam pertunjukkan, yakni:
1) Dipergunakan dalam pembukuan dan penutupan adegan-adegan
2) Sebagai tanda untuk pengertian jejeran (adegan/babak)
3) Untuk menggambarkan sesuatu yang tidak ada ujud wayangnya,
seperti gapura, samudra, hujan, batu, gua, kekacauan, guntur, gelap,
api atau untuk mewujudkan Sang Hyang Menang
4) Salah satu alat komunikasi antara dalang dengan penabuh gemelan
yang mengiringinya
5) Sebagai aba-aba dalang kepada para penabuh gemelan terutama
penggendang dan penggedernya.34
Kayon itu juga dapat dipergunakan untuk menandai pembagian
waktu pertunjukan pegelaran wayang kulit semalam suntuk.35 Bahwa
untuk masa pertama didahului tancapan kayon miring ke kiri, masa