Page 1
1
BAB II
DASAR TEORI
2.1 State of The Art
State of The Art merupakan pencapaian tertinggi dari sebuah proses
pengembangan sebuah penelitian. Perencanaan Penempatan eNode B 4G LTE 1800
MHz pada BTS Existing di Kota Denpasar Menggunakan Metode Fuzzy C-Means
dan Harmony Search belum ada yang melakukan penelitian ini. Berikut ada
beberapa penelitian tentang beberapa metode optimasi pada jaringan mobile
telekomunikasi.
Penelitiain pertama pada tahun 2010, Fabio Garzia, Cristian Perna, dan
Roberto Cusani melakukan penelitian mengenai optimasi perencanaan jaringan
UMTS (Universal Mobile Telecommunications System) yang berjudul
“Optmization of UMTS Network Planning Using Genetic Algorithms”. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan metode berbasis Algoritma
Genetika untuk mengatasi masalah cakupan optimasi dan kapasitas sistem UMTS,
dengan memperhitungkan kondisi-kondisi yang sesuai dengan yang ada di
lapangan. Persoalan optimasi frekwensi menjadi sangat penting untuk dibahas
dalam dunia telekomunikasi dikarenakan perkembangan pengguna (user) yang
sangat cepat sehingga perlu dilakukan sebuah perencanaan jaringan yang mampu
mengatasi masalah ini. Dalam penelitian ini terdapat parameter yang sangat
berpengaruh yaitu signal – interference ratio (SIR), yaitu perbandingan antara daya
signal asli dengan sinyal carrier atau dapat dikatakan jumlah pengguna aktif yang
Page 2
2
terdapat pada suatu wilayah dalam satu sinyal carrier. Hasil menunjukkan bahwa
Algoritma Genetika meghasilkan hasil optimasi yang berkualitas tinggi, yang
mampu meningkatkan kinerja dengan ketepatan input data. Dari hasil penelitian itu
didapatkan persentase hasil coverage mencapai 98% sedangkan persentase
kapasitas mencapai 99%. Waktu perhitungan juga cukup singkat, karena
kebanyakan dari solusi yang baik diperoleh setelah sekitar 200 - 1.000 generasi dari
Lagoritma Genetika sebagai fungsi dari situasi yang dipertimbangkan. Pada
penelitian ini tidak memperhitungkan kondisi wilayah secara matematis sehingga
hasil perhitungan Algoritma Genetika bisa lebih maksimal sesuai dengan kondisi
kenyataan. Kemudian akan lebih maksimal jika ditambahkan perhitungan OBQ
(Offered Bit Quantity) yaitu total bit throughput per km2 pada jam sibuk.
Penelitian kedua pada tahun 2012, Elok Nur Hamdana, Sholeh Hadi
Pramono, dan Erfan Achmad Dahlan melakukan penelitian mengenai Optimasi
BTS yang berjudul “Optimasi Perencanaan Jaringan UMTS pada Node B
Menggunakan Probabilistik Monte Carlo”, dan dalam publikasinya dijelaskan
bahwa optimasi jaringan sangat perlu dilakukan untuk membangun suatu jaringan
telekomunikasi agar mampu melayani pelanggan dengan kualitas yang baik, dan
nilai investasi yang ditanamkan bisa optimal. Maksud dari nilai investasi yang
optimal adalah dengan biaya seminal mungkin mampu menghasilkan kualitas yang
baik dengan kata lain memaksimalkan jumlah node B untuk menghasilkan
pelayanan kepada pelanggan dengan kualitas yang baik. Pada penelitian ini
dilakukan optimasi penentuan lokasi Node B yang akan digunakan pada salah satu
operator yang ada di kota Malang. Metode yang digunakan untuk menentukan
Page 3
3
optimasi ini adalah probabilistik Monte Carlo. Simulasi Monte Carlo merupakan
sebuah simulasi probabilistik dimana solusi dari suatu maslah diberikan
berdasarkan proses acak (random). Tahapan proses penelitian ini adalah
pendimensian jaringan dimana proses ini menentukan jumlah penduduk yang
berpotensi sebagai pengguna jaringan UMTS pada tahun 2012. Kemudian
dilanjutkan dengan perencanaan kapasitas dan coverage mengenai BTS yang akan
digunakan. Tipe BTS yang akan digunakan mencakup besarnya kapasitas kanal
yang mampu ditampung. Terakhir adalah melakukan pengoptimasian jaringan
dimana proses optimasi dibagi menjadi 2 yaitu optimasi demand serta tipe Node-B,
dan Optimasi menentukan lokasi dari Node-B. Hasil optimasi yang didapat dari
penelitian ini adalah dari 25 BTS existing didapatkan 15 site terpilih untuk
memenuhi coverage layanan. Untuk menentukan kapasitas kanal yang dibutuhkan
pada masing-masing Node B tersebut dilakukan random yang memprediksi jumlah
pelanggan yang masuk dalam wilayah perencanaan jaringan. Pada penelitian ini
digunakan metode perhitungan link budget model Hatta Cost 231. Metode
perhitungan link budget tersebut memiliki kelemahan dimana tidak
memperhitungakan secara detail parameter-parameter seperti tinggi bangunan
pengahalang, sudut antara pemancar dan penerima, kemudian tidak
memperhitungakan jika user dalam keadaan bergerak. Akan lebih maksimal jika
metode perhitungan link budget nya menggunakan metode Welfisch Ikegami,
dimana metode ini memperhitungkan tinggi bangunan, sudut antara pemancar dan
penerima, dan pergerakan user juga diperhitungkan.
Page 4
4
Penelitan ketiga di tahun yang sama yaitu di tahun 2012, M. Fajrul Hakim,
Wiwik Angraeni, Apol Pribadi melakukan sebuah penelitian mengenai optimasi
BTS dengan hasil penelitiannya yang berjudul “ Optimasi Perencenaan Jumlah
Base Transceiver Station (BTS) dan Kapasitas Trafik BTS Menggunakan
Pendekatan Goal Programming pada Sistem Telekomunikasi Seluler Berbasis
GSM”. Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode Goal Programming
untuk melakukan optimasi julah BTS dan kapasitas trafik BTS. Metode Goal
Programming merupakan sebuah metode yang digunakan dalam pengambilan
keputusan untuk mencapai tujuan-tujuan yang bertentangan di dalam batasan-
batasan yang kompleks dalam sebuah perencanaan. Penelitian ini akan menentukan
kapastias trafik yang bisa menampung semua permintaan trafik dari pengguna
telepon seluler dan menentukan kapasitas total trafik BTS yang tidak melebihi total
kapasitas yang dimiliki masing-masing BTS. Setelah dilakukan optimasi, Terdapat
sisa sektor BTS yang tidak digunakan untuk melayani permintaan trafik. Pada tahun
1 terdapat 166 sektor BTS, tahun 2 terdapat 134 sektor BTS, tahun 3 terdapat 96
sektor BTS, tahun 4 terdapat 58 sektor BTS, dan tahun 5 terdapat 22 sektor BTS.
Pada tahun ke-6 sampai tahun ke-10 kapasitas trafik yang tersedia sudah tidak
mencukupi permintaan trafik. Pada tahun 6 dan 7 terdapat kekurangan 29 sektor
BTS, tahun 8 terdapat kekurangan 62 sektor BTS, dan pada tahun 9 dan 10 terdapat
kekurangan 93 sektor BTS. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas, jumlah
permintaan trafik tergolong parameter yang sensitif. Jika permintaan berubah, maka
nilai dari fungsi tujuan dan solusi optimal akan ikut berubah. Kelemahan dari
penelitian ini adalah tidak memperhitungkan kondisi wilayah yang dijadikan lokasi
Page 5
5
penelitian ini. Akan lebih baik jika kondisi wilayah diperhitungkan dengan
menggunakan metode perhitungan link budget, sehingga hasil coverage yang
didapat sesuai dengan kenyataan (real) di lapangan. Metode goal programming
memilik kelemahan yaitu tidak bisa menentukan priotas-prioritas dan kriteria-
kriteria pengambilan keputusan sehingga perlu dipadukan dengan metode yang
lainnya agar memperolah hasil yang lebih maksimal.
Penelitian keempat di tahun 2013, Satvir Singh dan Kulvinder Kaur
melakukan sebuah penelitian mengenai optimasi BTS menggunakan metode ABC
(Artificial Bee Colony) dengan judul penelitian “ Base Station localization using
Artificial Bee Colony Algorithm”. Berbeda dengan penelitian – penelitian yang
telah dilakukan, pada penelitian ini menggunakan metode ABC (Artificial Bee
Colony) yaitu sebuah metode optimasi yang diadopsi dari sifat kawanan hewan
seperti semut, rayap, lebah, dan yang lainnya dalam mencari rute terdekat dalam
mencari makanan. Dalam penelitiannya ini menggunakan beberapa parameters
untuk menghitung path loss diantara nya transmit power 500 mW, frequency 850
MHz dan Tinggi antena Base Station berkisar 20 – 200 m. Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah memperkenalkan sebuah metode baru dalam melakukan
sebuah optimasi berdasarkan teori segerombolan lebah (Artificial Bee Colony).
Pendekatan ini memungkinkan untuk secara efisien menentukan lokasi yang
optimal dari BTS, menghindari pencarian secara menyeluruh yang memakan waktu
yang lama. Hasil menunjukkan bahwa pendekatan ABC efektif dan kuat untuk
masalah cakupan efisien lokasi BTS dan dianggap memberikan hampir solusi
optimal dalam wireless jaringan komunikasi. Metode ABC jika dibandingkan
Page 6
6
dengan algoritma lain yaitu sangat sederhana dan fleksibel. Namun, jika dimensi
masalah meningkat, pertukaran informasi masih terbatas pada satu dimensi.
Kemudian persekitaran dan dimensi dipilih secara acak, sehingga sumber makanan
dengan fitness yang lebih tinggi memungkinkan untuk tidak dipilih. Sehingga perlu
dicari solusi agar penggunaan algoritma ABC (Artificial Bee Colony) dapat
menghasilkan optimasi yang maksimal.
Penelitian kelima pada tahun 2013, Pancawati Dessy Aryanti, Sholeh Hadi
Pramono, dan Onny Setyawati melakukan penelitian mengenai optimasi
penempatan BTS dengan judul penelitian “Optimasi Penempatan Node B
UMTS900 pada BTS Existing Menggunakan Algoritma Genetika”. Penelitian
ini mengambil lokasi di Malang dengan menggunakan 46 BTS eksisting sebagai
sample. Penelitian ini melakukan sebuah optimasi BTS hanya saja penulis disini
menggunakan metode yang berbeda yaitu metode Algoritma Genetika untuk
melakukan optimasi. Pada penelitian ini untuk perhitungan link budget
menggunakan metode welfisch – ikegami, dimana metode memperhitungakan lebih
detail parameter-parameter seperti tinggi bangunan pengahalang, sudut antara
pemancar dan penerima, kemudian tidak memperhitungakan jika user dalam
keadaan bergerak. Sehingga hasil yang didapat dari penelitian ini lebih menyerupai
kenyataan (real). Kemudian dalam penelitian ini juga memperhitungkan nilai OBQ
(Offered Bit Quantity) yaitu total bit throughput per km2 pada jam sibuk. OBQ
selama jam sibuk untuk suatu area tertentu dihitung berdasarkan beberapa asumsi,
yaitu penetrasi user, durasi panggailan efektif, Busy Hour Call Attempt (BHCA),
dan bandwidth dari layanan. Performansi penempatan Node B ditentukan oleh daya
Page 7
7
cakup wilayah (coverage area) yang dihasilkan, yaitu sebesar 35% dan tingkat
layanan trafik sebesar 61%. Tingkat optimasi yang didapatkan rendah disebabkan
karena persebaran BTS exixting tidak merata di seluruh wilayah obyek penelitian,
dan distribusi penduduk yang dibangkitkan tersebar merata di seluruh wilayah,
sedangkan pada kenyataannya distribusi penduduk lebih banyak berada di pusat
kota. Algoritma Genetika merupakan metode yang sudah sangat sering digunakan
untuk melakukan optimasi jaringan seluler, sehingga perlu dicoba menggunakan
metode yang lain untuk melakukan optimasi.
Penelitian keenam pada tahun 2013, A. O. Onim, P. K. Kihato, dan S.
Musyoki menerbitkan hasil penelitian yang berjudul ”Optimization of Base Station
Location in 3G Networks using Mads and Fuzzy C-means”. Penelitian ini
menggunakan metode Fuzzy C-Means sebagai metode untuk menentukan peletakan
BTS yang tepat berdasarkan jumlah populasi pada suatu daerah. Kemudian hasil
penempatan tersebut akan dioptimasi menggunakan metode Mesh Adaptive Direct
Search (MADS). Hasil dari penelitian ini adalah dari 1000 MS yang dijadikan
sample, jumlah BTS yang dirasa cukup untuk mencover adalah 34 BTS dengan
jangkauan masing-masing BTS 1,5 km.
Penelitian ketujuh pada tahun 2014, I Gede Putu Bagus Primadasa,
mahasiswa Teknik Elektro Universitas Udayana melakukan penelitian mengenai
perencanaan “Coverage jaringan LTE (Long Term Evolution) pada frekuensi
1900 MHz di wilayah kota Denpasar dengan memperhitungkan Offered Bit
Quantity (OBQ)”. Dalam penelitian ini diasumsikan semua BTS 3G eksisting akan
dipasang perangkat 4G. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan dimana coverage
Page 8
8
4G di kota Denpasar berdasarkan perhitungan link budget dan Offered Bit Quantity
(OBQ) sudah memenuhi wilayah kota Denpasar. Namun realitanya jaringan 4G
LTE dialokasikan menggunakan frkwensi 1800 MHz (Dirjen SDPPI, 2014),
sehingga perlu dilakukan perhitungan ulang mengenai link budget dari jaringan 4G
di kota Denpasar. Kemudian untuk kondisi saat ini masyarakat belum terlalu
banyak menggunakan jaringan ini, sehingga dalam penelitian ini akan mengkaji
tentang jumlah BTS yang diperlukan hingga 5 tahun kedepan.
Penelitian kedelapan pada tahun 2015, Muthmainnah dan Achmad
Mauludiyanto menerbitkan hasil penelitian mengenai optimasi penempatan BTS
dengan judul “Optimasi Penempatan Lokasi Potensial Menara Baru Bersama
pada Sistem Telekomunikasi Seluler dengan Menggunakan Fuzzy Clustering
di Daerah Sidoarjo”. Penelitian ini hampir sama dengan penelitian keenam,
dimana pada peneletian ini menggunakan metode clustering Fuzzy C-Means untuk
menentukan posisi BTS yang tepat sesuai dengan jumlah penduduk, luas wilayah,
dan kebutuhan menara di tahun 2019. Kemudian dioptimasi menggunakan metode
Harmony Search. Dari hasil perencanaan kebutuhan menara baru bersama
telekomunikasi untuk tahun 2019, khusus untuk optimasi layangan jaringan 3G
dibutuhkan penambahan BTS sebanyak 359 BTS dengan kebutuhan menara baru
bersama sebanyak 97 menara. Dimana setiap zona mampu mengcover 2 menara
baru sekaligus, jadi 97 titik menara baru dapat diwakili dengan menggunakan 49
zona. Untuk layanan coverage zona biru (zona menara baru) di Kabupaten Sidoarjo
berada dalam range radius antara (500 – 800) m dengan ketinggian menara antara
(25 – 50) m. Metode yang digunakan dalam penelitian ini sangat tepat digunakan
Page 9
9
untuk sebuah optimasi dan perencanaan jumlah BTS kedepan untuk jaringan 3G
UMTS. Namun untuk penambahan jumlah BTS kedepan untuk jaringan 3G dirasa
kurang tepat karena sudah ada generasi jaringan yang terbaru yaitu generasi
keempat 4G LTE. Penelitian ini sangat menarik jika metode yang digunakan dalam
pnelitian ini diterapkan dalam jaringan 4G LTE untuk mengembangkan
infrastrukturnya di Indonesia.
Page 10
10
Tabel 2.1 State Of The Art Review
Jurnal Judul Variabel dan indikator penelitian
Metode Jaringan
1 Fabio Garzia, Cristina
Perna, Roberto Cusani
Optimization of UMTS Network Planning Using
Genetic Algorithms Genetic Algorithms UMTS
2
Elok Nur Hamdana, Sholeh
Hadi Pramono, dan Erfan
Achmad Dahlan
Optimasi Perencanaan Jaringan UMTS pada Node B
Menggunakan Probabilistik Monte Carlo Monte Carlo UMTS
3
M. Fajrul Hakim, Wiwik
Anggraeni dan Apol
Pribadi
Optimasi Perencenaan Jumlah Base Transceiver
Station (BTS) dan Kapasitas Trafik BTS
Menggunakan Pendekatan Goal Programming pada
Sistem Telekomunikasi Seluler Berbasis GSM
Goal Programming GSM
4
Pancawati Dessy Aryanti,
Sholeh Hadi Pramono, dan
Onny Setyawati
Optimasi Penempatan Node B UMTS900 pada BTS
Existing Menggunakan Algoritma Genetika Algoritma Genetika UMTS900
5 Satvir Singh dan Kulvinder
Kaur
Base Station Localization using Artificial Bee
Algorithm colony
Artificial Bee
Algorithm colony
Page 11
11
Tabel 2.2 State Of The Art Review (2)
6 A. O. Onim, P. K. Kihato,
dan S. Musyoki
Optimization of Base Station Location in 3G Networks
using Mads and Fuzzy C-means
Mads and Fuzzy C-
means UMTS
7 Muthmainnah dan Achmad
Mauludiyanto
Optimasi Penempatan Lokasi Potensial Menara Baru
Bersama pada Sistem Telekomunikasi Seluler dengan
Menggunakan Fuzzy Clustering di Daerah Sidoarjo
Fuzzy C-means dan
Harmony Search UMTS
8 I Gede Putu Bagus
Primadasa
Coverage jaringan LTE (Long Term Evolution) pada
frekuensi 1900 MHz di wilayah kota Denpasar dengan
memperhitungkan Offered Bit Quantity (OBQ)
Offered Bit Quantity
(OBQ) LTE
9 Penelitian ini
Perencanaan Penempatan E-Node B 4G LTE 1800
MHz pada BTS Existing di Kota Denpasar
Menggunakan Metode Fuzzy C-Means dan Harmony
Serach
Fuzzy C-means dan
Harmony Search LTE
Page 12
12
2.2 Long Term Evolution (LTE)
Long Term Evolution (LTE) merupakan generasi teknologi komunikasi
selular ke empat, yaitu sebuah standar teknologi komunikasi data nirkabel yang
merupakan lanjutan dari teknologi standar GSM (Global System for Mobile
Communication)/UMTS (Universal Mobile Telephone Standard). Yang mana pada
teknologi LTE terjadi peningkatan kapasitas dengan penggunaan teknologi
modulasinya. LTE merupakan standar teknologi komunikasi yang dikembangkan
oleh 3GPP (3rd Generation Partnership Project) yang berfungsi mengatasi
peningkatan permintaan akan kebutuhan layanan komunikasi dengan kecepatan
data yang tinggi dan spektrum yang lebih luas. LTE merupakan teknologi seluler
yang mampu mendukung aplikasi data, voice dan video. Kecepatan data transfer
pada downlink sebesar 100 Mbps dan uplink 50 Mbps, coverage yang diberikan
pada sistem LTE lebih besar dengan kapasitas yang lebih besar sehingga bisa
mengurangi biaya operasional dan penggunaan multiple antena.
Komunikasi seluler LTE merupakan komunikasi dua arah yaitu dengan
menggunkan teknik multiple acces, dimana multiple access merupakan suatu titik
yang dapat dapat diakses oleh beberapa titik yang lain yang saling berjauhan dan
tidak saling mengganggu satu sama lain. Multiple access pada LTE berbeda antara
downlink dan uplink, downlink menggunakan teknik Orthogonal Frequency
Division Multiple Access (OFDMA) sedangkan untuk sisi uplink menggunakan
teknik Single Carier Frequency Division Multiple Access (SC-FDMA) dan LTE
bisa diterapkan pada frekuensi 700 MHz, 800 MHz, 1800 MHz, 2100 MHz, 2600
MHz. (Usman,U.K, dkk, 2011)
Page 13
13
2.2.1 Teknologi Akses LTE
LTE memiliki beberapa teknologi akses dalam downlink dan uplink yang
berbeda, pada arah downlink adalah arah dari eNode B ke UE dengan menggunakan
OFDMA (Orthogonal Frequency Division Multiple Access). Arah uplink
merupakan arah dari UE ke eNode B dengan menggunakan SC-FDMA (Single
Carrier Frequency Division Multiple Access) dan juga menggunakan MIMO
sebagai sistem multiple antena. (Usman,U.K, dkk, 2011)
1. OFDMA (Orthogonal Frequency Division Multiple Access)
OFDMA merupakan teknik multiple access, yang merupakan
penggabungan antara OFDM (Orthogonal Frequency Division
Multiplexing) dan CDMA (Code Division Multiplexing). Jika pada OFDM
alokasi subcarrier di manfaatkan oleh satu user, namun pada OFDMA,
subcarrier yang ada di bagi-bagi kepada sejumlah user. Hal ini
menyebabkan kanal dapat digunakan oleh sejumlah user pada waktu yang
sama. Pada kanal downlink OFDMA, setiap user akan menerima satu sinyal
yang sama dari Base Station. Akan tetapi, sinyal yang sampai pada satu user
akan mengalami perubahan akibat fading selama berpropagasi. Dan
karakteristik fading ini akan berbeda antara satu user dengan user yang
lainnya, karena pada komunikasi mobile umumnya user berada pada lokasi
yang berbeda. Kelebihan dari teknik OFDMA ini adalah dapat
menghilangkan ISI (Inter Symbol Interference) dengan penggunaan guard
time yang lebih panjang dari nilai delay spread dan dapat mengurangi ICI
(Inter Carrier Interference) dengan penambahan cyclic prefix pada tiap
Page 14
14
symbol OFDM, mampu memberikan data rate yang tinggi sehingga
mendukung aplikasi multimedia.
Gambar 2.1 Orthogonal Frequency Division Multiple Access (Usman,U.K, dkk, 2011)
Pada gambar diatas terdapat terdapat tiga jenis subcarrier pada OFDM,
yaitu:
1) Data Subcarrier yang digunakan untuk transmisi data
2) Pilot Subcarrier untuk estimasi dan sinkronisasi
3) Null Subcarrier yang digunakan untuk guard band
2. SC-FDMA (Single Carrier Frequency Division Multiple Access)
Sistem SC-FDMA (Single Carrier Frequency Division Multiple Access)
merupakan teknik multiple access single carrier yang dianggap sebagai
sistem OFDMA yang ditambahkan dengan operasi DFT, dimana simbol
data dalam domain waktu ditransformasikan ke domain frekuensi dengan
menggunakan operasi DFT (Discrete Fourier Transform). SC-FDMA
dipilih karena memiliki nilai PAPR (Peak Average Power Ratio) yang kecil
sehingga dapat meningkatkan cakupan dan kinerja cell-edge. Setiap user
ditempatkan pada subcarrier yang berbeda dalam domain frekuensi dan
Page 15
15
transmitter SC-FDMA mengkonversi input sinyal biner menjadi
serangkaian modulasi subcarrier.
3. MIMO (Multiple Input Multiple Output)
MIMO merupakan sistem multiple antena yang digunakan pada teknologi
LTE untuk mendukung kecepatan dalam pengiriman data dan peningkatan
kualitas. Penggunaan beberapa tipe sistem MIMO yang didukung oleh
teknologi LTE ada tiga, yaitu: (Usman,U.K, dkk, 2011)
- MIMO 2x2 : merupakan sistem multiple antena yang mendukung
dua antena transmitter dan dua antena receiver
- MIMO 2x4 : merupakan sistem multiple antena yang mendukung
adanya dua antena transmitter dan empat antena receiver
- MIMO 4x4 : merupakan sistem multiple antena yang mendukung
adanya empat antena transmitter dan empat antena receiver
Teknologi MIMO merupakan sistem yang dapat mengirimkan informasi
yang sama dari dua pemancar atau lebih kepada user, dibandingkan dengan
sistem tunggal, penggunaan MIMO dapat mengurangi informasi yang
hilang pada saat proses pengiriman berlangsung. Selain itu pada MIMO juga
terdapat teknologi yang mampu mengurangi gangguan interferensi dengan
mengarahkan radio link pada penggunaan spesifik. MIMO juga bisa
meningkatkan throughput karena adanya Spatial Division Multiplexing
(SDM) yang berfungsi men-spasial multiplex stream data dan kemudian
mentransfer secara bersamaan dalam satu saluran bandwidth.
Page 16
16
Gambar 2.2 MIMO (Anonim, 2010)
2.2.2 Arsitektur LTE (Long term Evolution)
Arsitektur LTE dikenal dengan EPS (Evolved Packet System), dalam
arsitektur LTE dibagi menjadi 2 yaitu radio access dan core network.
Yang mana radio access pada LTE disebut E-UTRAN (Evolved UMTS
Terresterial Access Network) yang berfungsi dalam modulasi dan handover.
Sedangkan pada core network LTE yang disebut EPC (Evolved Packet Core) yang
berfungsi dalam charging dan mobility management. (Usman,U.K, dkk, 2011)
1. UE (User Equipment)
Merupakan perangkat yang digunakan pada saat berkomunikasi yang
mana perangkat ini dapat berupa smart phone. UE terdiri dari USIM
(Universal Subscriber Identity Module) yang berfungsi sebagai tempat
aplikasi card dan digunakan sebagai identifikasi dan authentikasi user,
juga sebagai pelindung interface transmisi radio.
Page 17
17
2. eNode B (Evolved Node B)
eNode B adalah base station yang berfungsi pengontrol semua fungsi
yang berhubungan dengan radio, yaitu sebagai jembatan antara UE dan
EPC (Evolved Packet Core). eNode B juga berfungsi untuk mengontrol
pemakaian interface radio, mengontrol dan menganalisis sinyal level
yang terdapat pada UE (User Equipment), mengontrol proses pada saat
UE mengalami handover antar sel.
3. MME (Mobility Managemen Entity)
Mobility Management Entity (MME) adalah elemen kontrol pada EPC
(Evolved Packet Core), fungsi-fungsi MME (Mobility Management
Entity) pada arsitektur jaringan LTE adalah :
- Authentication dan Security berfungsi untuk meng-authentikasi UE
(User Equipment) pada saat UE pertama kali melakukan registrasi
ke jaringan. Peng-authentikasian diperlukan untuk menjamin
adanya permintaan UE, ini dilakukan untuk melindungi rahasia UE
dan menghindari komunikasi dari penyadapan orang yang tidak
memiliki wewenang.
- Mobility Managemen berfungsi untuk menjaga jalur lokasi untuk
semua UE (User Equipment) yang berada pada service area dengan
menjaga jalur lokasi UE sampai eNode B, mengontrol jalur
berdasarkan aktivitas UE, mengontrol proses handover yang terjadi
antara UE dan eNode B.
Page 18
18
- Managing Subcription Profile dan Service Connectivity berfungsi
untuk mendapatkan kembali profil pelanggan pada saat UE
melakukan registrasi ke jaringan dan mengirimkan paket data
network kepada UE (User Equipment).
4. S-GW (Serving Gateway)
S-GW (Serving Gateway) berfungsi sebagai pusat operasional dan
maintenance pada MME dan eNode B dimana S-GW akan membangun
hubungan antara eNode B yang satu dengan eNode B yang lain dan
bertugas untuk melanjutkan dan menerima paket dari eNode B satu ke
eNode B lain yang melayani UE (User Equipment).
5. P-GW (Packet Data Network Gateway)
P-GW (Packet Data Network Gateway) atau dikenal dengan PDN-GW
berfungsi untuk mengalokasikan IP addres ke UE dan sebagai fungsi
filtering.
6. PCRF (Policy and Charging Rules Function)
PCRF (Policy and Charging Rules Function) berfungsi untuk
mengontrol charging dan juga mengangani QOS (Quality of Service)
7. HSS (Home Subscription Server)
Home Subscription Server (HSS) berfungsi sebagai tempat menyimpan
semua data permanen user, data yang disimpan berisi tentang infomasi
layanan untuk user dan identitas dari user tersebut. Dimana
authentication user disimpan pada AuC (Authentication Center).
Page 19
19
Gambar 2.3 Arsitektur LTE (Usman,U.K, dkk, 2011)
2.3 Konsep Seluler
Selular merupakan system komunikasi yang memberikan layanan
komunikasi data, voice, dan video yang dapat dilakukan dalam keadaan bergerak.
Yang mana pada konsep seluler ini pengguna dapat melakukan hubungan
komunikasi dengan pengguna lain tanpa bergantung adanya media fisik. Cell
merupakan bagian kecil dari cakupan suatu wilayah, Pembagian sel-sel dalam
sistem seluler dimodelkan dalam bentuk hexagonal dimana tiap sel nya memiliki
satu frekuensi, yang mana frekuensi antar sel tidak boleh berdekatan agar tidak
terjadi overlapping. (IT Telkom, 2008)
Page 20
20
Gambar 2.4 Konsep Sel (IT Telkom, 2008)
Terdapat empat jenis sel berdasarkan jari-jari sel, yaitu :
1. Makrosel, yaitu jenis sel yang digunkaan untuk daerah urban. Dimana pada
daerah ini merupakan daerah yang padat akan penduduk dan banyak
terdapat gedung-gedung tinggi.
2. Mikrosel digunakan untuk ketinggian antena yang tidak lebih dari 25 meter,
yang merupakan sel dengan wilayah coverage lebih kecil dibandingkan
makrosel. Mikrosel merupakan salah satu solusi yang bisa digunakan
apabila makrosel sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan pelanggan
yang padat. Suatu daerah dengan user yang padat tidak cukup hanya
dilayani dengan makrosel dikarenakan pelayanan yang didapat tidak merata.
Maka diperlukan adanya pembagian daerah coverage yang lebih kecil untuk
mencover daerah yang tidak dijangkau oleh makrosel dan berfungsi sebagai
penambah jaringan kapasitas pada daerah yang penggunaan selulernya
padat. Penempatan mikrosel ini tidak memerlukan wilayah yang cukup luas
seperti hal nya penempatan makrosel dan diletakkan pada gedung-gedung
atau diatas bangunan.
3. Pico Sel merupakan penempatan sel yang terdapat di dalam gedung atau
ruangan yang berfungsi sebagai penopang trafik yang terjadi di dalam
Page 21
21
ruangan dan juga berfungsi untuk mengatasi adanya interferensi yang terjadi
di dalam gedung akibat pemantulan dinding gendung.
4. Femto Sel merupakan Base Transceiver Station mini yang dipasang pada
wilayah bersinyal rendah yang mana penempatan femto cell ini dipasang di
dalam ruangan dengan ukuran yang kecil sehingga tetap bisa memberikan
pelayanan seluler terhadap pelanggan yang berada di dalam ruangan. Fungsi
femto cell dapat meningkatkan konektivitas, availabilitas, mobilitas dan
juga performansi layanan. Selain itu adanya femto sel ini bertujuan untuk
meningkatkan coverage dan kapasitas di dalam ruangan dikarenakan sinyal
dari BTS outdoor ke indoor tidak maksimal. (Ridwan, A, 2012)
Gambar 2.5 Makrosel. Mikrosel, Pico Sel dan Femto Sel (Anonim, 2012)
Page 22
22
2.3.1Sel Hexagonal
Sel hexagonal dipilih dalam perencanaan dikarenakan dapat menutupi
wilayah tanpa celah dan juga tidak terjadi tumpang tindih antara sel satu dengan sel
yang lainnya, yang mana bentuk sel hexagonal dapat dilihat pada dibawah.
Gambar 2.6 Sel Hexagonal (Sudiarta, P.K, t.t)
Untuk rumusan luas sel hexagonal, dilakukan dengan persamaan :
L = 6 𝑥 1
2 𝑅 √3 x
1
2 𝑅
= 3
2 R2 √3
26,2 R km2 (2.1)
Dimana :
L = luasan sel hexagonal (km2)
R = jari-jari sel (km)
2.4 Perencanaan Kapasitas (Capacity Planning)
Dalam melakukan perancangan kapasitas jaringan ini tentunya kita harus
mempertimbangkan kebutuhan pelanggan di masa mendatang, maka untuk
mengantisipasi jumlah pelanggan selama periode tersebut diperlukan estimasi
pertumbuhan jumlah pelanggan.
Page 23
23
2.4.1 Peramalan Kebutuhan
Prediksi pertambahan jumlah pelanggan hingga beberapa tahun kedepan
merupakan faktor yang sangat penting dalam perencanaan jaringan karena
menentukan kebijaksanaan dan strategi dalam pengembangan sistem untuk
mengantisipasi pertumbuhan pelanggan agar kelak semua target pelanggan dapat
terlayani (Wibisono, dkk, 2008).
Ada beberapa metode untuk melakukan prediksi pelanggan, diantaranya :
Metode Deret Berkala (Time Series)
Metode Eksponensial Smoothing
Metode Regresi
Metode Iteratif
a. Metode Deret Berkala (Time Series)
Metode ini merupakan metode dengan melakukan pendekatan secara
makro. Tujuan dari metode ini adalah menemukan pola dalam deret data yang lalu
dan mengekstrapolasikan data tersebut ke masa depan. Langkah penting dalam
memilih suatu metode pada Time Series adalah harus mempertimbangkan jenis pola
yang akan diramalkan. Ada beberapa macam jenis pola, salah satunya adalah Pola
Trend yang paling cocok untuk peramalan jumlah kebutuhan telepon. Untuk
prediksi pelanggan dengan Deret Berkala Pola Trend akan dibatasi metode yang
digunakan sampai tiga macam saja, yaitu metode Trend Linier, Trend Kuadratik,
dan Trend Eksponensial.
Page 24
24
b. Prediksi pelanggan dengan Metode Trend Linier
Bentuk umum persamaan linier :
Y’ = a + b.X (2.2)
Dimana: Y’ = variabel tak bebas hasil ramalan (kepadatan pelanggan)
X = variabel bebas berupa periode waktu
a & b = konstanta (dihitung dari data sample deret berkala)
Bila jumlah pengamatan sebanyak n, maka dari persamaan di atas diperoleh :
∑ Y = n.a + b. ∑ X
∑ XY = a ∑ X + b ∑ X2 (2.3)
Keterangan : X = unit periode waktu pengamatan (mulai 0,1,2,3 dan seterusnya)
Y = data kepadatan pelanggan sebenarnya (per 100 penduduk)
Dengan cara eliminasi kedua persamaan tersebut di atas, maka diperoleh konstanta
a & b sehingga Y’ (variabel tak bebas hasil ramalan berupa kepadatan pelanggan)
dapat diperoleh.
c. Prediksi pelanggan dengan Metode Trend Kuadratik (Parabola)
Metode Trend Kuadratik biasanya sebagai persamaan parabola. Bentuk
umum persamaan ini adalah :
Y’ = a + b.X + c.X2 (2.4)
Dimana : Y’ = variabel tak bebas hasil ramalan (kepadatan pelanggan)
X = variabel bebas berupa periode waktu
a, b, dan c = konstanta (dihitung dari data sample deret berkala)
Cara menghitung konstanta a, b, dan c memakai persamaan normal :
Page 25
25
∑ Y = an + b∑X + c∑X2
∑XY = a∑X + b∑X2 + c∑X3
∑X2Y = a∑X2 + b∑X3 + c∑X4 (2.5)
Keterangan : 1. X = unit periode waktu pengamatan
Untuk n = ganjil (misal n = 3) maka : X1 = -1 ; X2 = 0 ; X3 = 1
Untuk n = genap (misal n = 2) maka : X1 = -1 ; X2 = 1
2. Y = data kepadatan pelanggan sebenarnya (per 100 penduduk)
Dengan cara mengeliminasi ketiga persamaan tersebut diatas, maka diperoleh
konstanta a, b, dan c sehingga Y’ (variabel tak bebas hasil ramalan berupa
kepadatan pelanggan) dapat diperoleh.
d. Prediksi pelanggan dengan Metode Trend Eksponensial
Bentuk persamaan metode Trend Eksponensial :
Y’ = a.bX (2.6)
Dimana : Y’ = variabel tak bebas hasil ramalan (kepadatan pelanggan)
X = variabel bebas berupa periode waktu
a, b, dan c = konstanta (dihitung dari data sample deret berkala)
Bentuk persamaan metode Trend Eksponensial tersebut dapat diubah menjadi
bentuk persamaan linier sebagai berikut :
Y’ = a.bX........ Log Y’ = log a.bX
Log Y’ = log a + log bX
Log Y’ = log a + X (log b) (2.7)
Page 26
26
Bila log Y’ = Yo ; log a = ao dan log b = bo, maka persamaan Trend Eksponensial
tersebut menjadi :
Yo’ = ao + bo.X (2.8)
Sehingga :
)( 0010'Xba
Y
(2.9)
Konstanta-konstanta ao dan bo dapat dicari dengan cara eliminasi kedua persamaan
di bawah ini :
∑ Y0 = a0.n + b0 ∑X
∑XY0 = a0 ∑X + b0 ∑X2
Y0 = log Y (2.10)
Keterangan : 1. X = unit periode waktu pengamatan
Untuk n = ganjil (misal n = 3) maka : X1 = -1 ; X2 = 0 ; X3 = 1
Untuk n = genap (misal n = 2) maka : X1 = -1 ; X2 = 1
2. Y = data kepadatan pelanggan sebenarnya (per 100 penduduk)
e. Langkah-langkah dalam prediksi pelanggan
Tahapan dalam prediksi pertambahan jumlah pelanggan adalah sebagai berikut :
Dari data jumlah penduduk dari tahun ke tahun serta jumlah pelanggan yang
ada dari tahun ke tahun dapat ditentukan kepadatan pelanggan sebenarnya (per
100 penduduk) untuk daerah yang direncanakan. Persamaan yang digunakan :
Kepadatan pelanggan tahun ke-n = 100n - keahun penduduk t
n -ketahun pelanggan x
(2.11)
Page 27
27
Kepadatan pelanggan yang diperoleh dari persamaan diatas digunakan sebagai
variabel Y yang digunakan sebagai acuan dalam perhitungan untuk metode
Trend Linier, Kuadratik maupun Eksponensial untuk mencari variabel Y’
(variabel tak bebas hasil ramalan).
Ketiga metode tersebut dicoba satu per satu untuk dibuktikan metode mana
yang paling sesuai untuk dipakai dalam prediksi pelanggan., dimana dipilih
yang mempunyai selisih jumlah sekecil mungkin antara kepadatan pelanggan
sebenarnya dengan kepadatan hasil perhitungan.
Setelah metode ditetapkan, maka dapat digunakan persamaannya dalam
menentukan kepadatan pelanggan untuk prediksi hingga tahun ke-n sesuai
kebutuhan perencanaan yang akan diterapkan sampai berapa tahun.
Prediksi pertambahan jumlah penduduk hingga tahun ke-n dihitung secara
terpisah. Persamaannya adalah sebagai berikut :
Pn = Po ( 1 + h )n (2.12)
Keterangan :
Pn = prediksi jumlah penduduk hingga tahun ke-n
Po = jumlah penduduk tahun ke-0 (tahun yang dijadikan sebagai acuan)
h = laju pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun
Sehingga prediksi pertambahan jumlah pelanggan hingga tahun ke-n dapat
diperoleh. Persamaannya adalah sebagai berikut :
Prediksi pelanggan tahun ke-n = nPx 100
n - ketahun pelanggan kepadatan (2.13)
Jumlah pelanggan hasil prediksi yang diperoleh akan dibagi luas wilayah dari
daerah layanan untuk memperoleh jumlah pelanggan per kilometer persegi.
Page 28
28
2.4.2 Perhitungan Pertumbuhan Penduduk
Dengan rumus pertumbuhan geometrik, angka pertumbuhan penduduk
sama untuk setiap tahunnya, untuk memprediksi jumlah penduduk di masa
mendatang dapat digunakan rumus :
𝑃𝑡 = 𝑃0 (1 + 𝑟)𝑡 (2.14)
Dimana:
𝑃𝑡 = Jumlah penduduk total setelah tahun ke-t
𝑃0 = Jumlah penduduk saat perencanaan
𝑟 = Laju pertumbuhan penduduk (%)
𝑡 = Jumlah tahun prediksi
2.4.3 Perhitungan Jumlah Pengguna Seluler
Dengan asumsi teledensitas sebesar x%, maka perhitungan jumlah
pengguna seluler dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:
𝑃 = 𝑥% ∗ 𝑃𝑡(2.15)
Dimana:
𝑃 = Jumlah Pengguna Seluler
𝑥% = Teledensitas Pengguna Seluler
𝑃𝑡 = Jumlah Penduduk setelah tahun ke-t
Page 29
29
2.4.5 Teori Trafik
Trafik didefinisikan sebagai jumlah dari data atau banyaknya pesan
(messages) pada suatu sirkuit selama suatu periode waktu tertentu. Pengertian trafik
disini termasuk hubungan antara kedatangan panggilan (call) ke perangkat
telekomunikasi dengan kecepatan perangkat tersebut memproses panggilan sampai
panggilan tersebut berakhir. Besaran dari trafik telekomunikasi diukur dengan
satuan waktu, sedangkan nilai trafik dari suatu kanal adalah banyaknya (lamanya)
waktu pendudukan pada kanal tersebut. Sedangkan kapasitas trafik adalah
kemampuan yang diberikan oleh suatu teknologi atau suatu BTS untuk menampung
trafik komunikasi yang terjadi. Definisi dari kepadatan trafik yaitu tingkat
kesibukan suatu komunikasi yang terjadi dengan nilai yang bervariasi, tergantung
lingkungannya. Satuan untuk variable trafik adalah Erlang. 1 Erlang didefinisikan
sebagai jumlah trafik yang berlangsung ketika 1 pelanggan menduduki 1 kanal
percakapan selama 1 kurun waktu rujukan (detik, menit, atau jam).
𝑰𝒏𝒕𝒆𝒏𝒔𝒊𝒕𝒂𝒔 𝑻𝒓𝒂𝒇𝒊𝒌 (𝑨) = 𝑽
𝑻 (2.16)
dimana :
A = besarnya intensitas trafik (Erlang)
V = volume trafik (menit)
T = periode pengamatan (menit)
Jika diasumsikan setiap pelanggan membangkitkan trafik sebesar β Erlang
maka trafik total yang dibangkitkan oleh semua pelanggan adalah sebesar :
T = P x A x 10−3 (2.17)
Page 30
30
dimana :
T = total trafik yang dibangkitkan semua pelanggan seluler (E)
P = jumlah pelanggan seluler
A = intensitas trafik yang dibangkitkan setiap pelanggan seluler (E)
2.4.5 Perhitungan Kapasitas Trafik Layanan GSM
Untuk mengetahui kapasitas suatu BTS dalam melayani pelanggan, maka
hal yang harus diperhatikan adalah mengetahui berapa jumlah TRx (Transmitter
dan Receiver) yang digunakan dalam tiap sektornya. Perhitungan yang digunakan
adalah perhitungan secara teoritis karena kondisi di lapangan akan sangat
tergantung dengan kondisi jaringan dan perilaku pelanggan.
Dengan asumsi tiap BTS menggunakan antena sektoral, maka dalam satu
menara memiliki 3 sektor dalam setiap BTS yang akan dikalkulasi kapasitasnya.
Setiap TRx yang digunakan akan mampu meng-handle 8 timeslot, masing-masing
timeslot/kanal ini akan diduduki oleh satu panggilan/pembicaraan pelanggan. Jika
operator menggunakan konfigurasi 4x4x4, maka tiap sektor di isi dengan 4 TRx
sehingga perhitungan bisa dilakukan sebagai berikut:
1 sektor terdiri atas 4 TRx
1 TRx terdiri atas 8 timeslot
Sehingga 4 TRx menghasilkan 8 x 4 = 32 timeslot
Sebagai catatan penting, setiap sektor membutuhkan 1 kanal BCCH
(Broadcast Control Channel) dan 1 kanal SDCCH (Standalone Dedicated Control
Channel) yang berguna dalam broadcast sinyal dan juga mengatur panggilan setiap
Page 31
31
pelanggan. Jadi, 1 sektor yang terdiri atas 4 TRx mampu melayani 32 – 2 = 30
panggilan secara teoritis. Maksud dari istilah kapasitas secara teoritis di sini karena
masih ada faktor interference, blocking, congestion, dan sebagainya.
Berikut ini rumus yang digunakan untuk menghitung kebutuhan BTS dalam
suatu wilayah adalah sebagai berikut:
𝑩 =𝑻
𝑨𝑩𝑻𝑺 (𝒃𝒖𝒍𝒂𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒂𝒕𝒂𝒔) (2.18)
dimana :
B = Jumlah kebutuhan BTS
T = Total trafik yang dibangkitkan semua pelanggan seluler (E)
ABTS = Kapasitas satu BTS (E)
2.5 Perhitungan Jari-jari Sel
Jari-jari sel diperhitungkan untuk mengetahui coverage suatu BTS dan juga
untuk mendapatkan nilai jumlah eNode B yang diperlukan untuk mencakup seluruh
area Kota Denpasar, adapun persamaannya adalah (Irawan, dkk, 2009) :
6,2
Lr (2.19)
2.6 MAPL (Maximum Allowable Path Loss)
Maximum Allowable Path Loss merupakan nilai maksimum dari nilai
propagasi antara perhitungan nilai dari perangkat eNode B dan mobile station, yang
mana nilai perhitungan MAPL ini dibagi menjadi dua untuk arah MAPL uplink dan
downlink. Yang mana nilai uplink digunakan untuk menentukan nilai maksimum
Page 32
32
redaman propagasi dari mobile station ke eNode B, dan nilai downlink merupakan
nilai maksimum redaman propagasi dari eNode B ke mobile station agar tetap dapat
melayani keperluan dari komunikasi untuk seluruh user dalam suatu cakupan
daerah. Nilai MAPL untuk arah uplink dan downlink sistem LTE dapat dilihat pada
tabel 2.3 dan tabel 2.4 dibawah ini (Usman,U.K, dkk, 2011).
Tabel 2.3 Perhitungan MAPL Arah Downlink (3GPP, t.t)
Parameter Nilai
Transmitter – eNode B
a. Tx Power dBm
b. Tx Antenna Gain dBi
c. Transmit Array gain dB
d. Data Channel Power Loss Due to Pilot dB
e. Cable Loss dB
f. EIRP (a)+(b)+(c)-(d)-(e) dBm
Receiver – UE
g. Antenna Gain dBi
h. Body Loss dB
i. Receiver Noise Figure dB
j. Thermal Noise Density dBm/Hz
k. Receiver Interference Density for Data
Channel
dB/Hz
l. Total Noise Plus Interference Density for
Data Channel
10log (10^(((i)+(j)/10) +
10^((k)/10)) dBm/Hz
m. Occupied Channel Bandwidth for Data
Channel
Hz
n. Effective Noise Power for Data Channel (l) + 10 log(m) dBm
o. Required SNR for the Data Channel dB
p. Receiver Implementation Margin dB
Page 33
33
Tabel 2.4 Perhitungan MAPL Arah Downlink (2) (3GPP, t.t)
q. H-ARQ Gain for Data Channel dB
r. Receiver Sensitivity for Data Channel (n) + (o) + (p) – (q) dBm
s. Hardware link budget for Data Channel (f) + (g) – (r) dB
t. Log Normal Shadow Fading Deviation dB
u. Shadow Fading Margin for Data Channel dB
v. Diversity Gain dB
w. Penetration Margin dB
x. Other Gain dB
MAPL (s) – (u) + (v) – (w) + (x)
– (h) dB
Tabel 2.5 Perhitungan MAPL Arah Uplink (3GPP, t.t)
Parameter Nilai
Transmitter – UE
a. Tx Power dBm
b. Tx Antenna Gain dBi
c. Transmit Array gain dB
d. Data Channel Power Loss Due to Pilot dB
e. Cable Loss dB
f. EIRP (a)+(b)+(c)-(d)-(e) dBm
Receiver – eNode B
g. Antenna Gain dBi
h. Body Loss dB
i. Receiver Noise Figure dB
j. Thermal Noise Density dBm/Hz
k. Receiver Interference Density for Data
Channel dB/Hz
l. Total Noise Plus Interference Density for
Data Channel
10log (10^(((i)+(j)/10) +
10^((k)/10)) dBm/Hz
Page 34
34
m. Occupied Channel Bandwidth for Data
Channel Hz
n. Effective Noise Power for Data Channel (l) + 10 log(m) dBm
o. Required SNR for the Data Channel dB
p. Receiver Implementation Margin dB
q. H-ARQ Gain for Data Channel dB
r. Receiver Sensitivity for Data Channel (n) + (o) + (p) – (q) dBm
s. Hardware link budget for Data Channel (f) + (g) – (r) dB
t. Log Normal Shadow Fading Deviation dB
u. Shadow Fading Margin for Data Channel dB
v. Diversity Gain dB
w. Penetration Margin dB
x. Other Gain dB
MAPL (s) – (u) + (v) – (w) + (x)
– (h) dB
Dari tabel diatas bisa dilihat parameter untuk perhitungan MAPL, berikut
penjelasan dari masing-masing parameter diatas, yang bisa dilihat pada tabel 2.6
Tabel 2.6 Deskripsi Parameter Arah Downwlink dan Uplink
Parameter Deskripsi
a. Tx Power daya pancar maximum yang
ditransmisikan oleh base station atau
mobile station
b. Tx Antenna Gain nilai penguat yang dimiliki oleh masing-
masing antena, dimana nilai tersebut
tergantung pada tipe perangkat dan
frekuensinya
c. Transmit Array Gain Penguatan karena penggunaan multiple-
antena (array) di pemancar
Page 35
35
d. Data Channel Power Loss Due
to Pilot
Loss daya karena adanya sinyal pilot
e. Cable Loss redaman yang terjadi antara base station
dan antena konektor, yang mana nilai
redaman akan tergantung terhadap
spesifikasi perangkat (jenis kabel)
f. EIRP (Effective Isotropic
Radiated Power)
nilai daya pancar dari antena
g. Receiver Antenna Gain
besar penguat antena yang diterima
h. Body Loss
rugi-rugi yang disebabkan karena
interaksi dengan user
i. Receiver Noise Figure
nilai gangguan, dimana nilai tersebut
akan tergantung terhadap implementasi
desain (rangkaian elektronik pada
receiver base station)
j. Thermal Noise Density
besar noise alami, yang dapat dihitung
dengan menggunakan rumus : N = 10 log
kTB
k. Receiver Interference Density
for Data Channel
Densitas interferensi penerima untuk
kanal data
l. Total Noise Plus Interference
Density for Data Channel
Total densitas noise ditambah interferensi
untuk kanal data
m. Occupied Channel Bandwidth
for Data Channel
Bandwidth kanal yang digunakan untuk
data
n. Effective Noise Power for Data
Channel
Daya noise efektif untuk kanal data
o. Required SNR for the Data
Channel
Signal Noise Ratio, yang nilai tersebut
akan bergantung terhadap modulasi dan
data rate yang digunakan.
Page 36
36
p. Receiver Implementation
Margin
margin yang sampai pada penerima pada
saat implementasi
q. H-ARQ Gain for the Data
Channel
Hybrid Automatic Request merupakan
gabungan dari Automatic Requst (AR)
dengan Error Corection (EC) yang
berfungsi untuk melakukan pengiriman
kembali pada saat ada kerusakan paket
saat pengiriman
r. Receiver Sensitivity for Data
Channel
nilai sensitivitas minimum yang dapat
diterima
s. Hardware Link Budget for
Data channel
perangkat yang digunakan dalam
perhitungan link budget
t. Log Normal Shadow Fading
Deviation
nilai standar deviasi untuk log normal
shadow margin
u. Shadow Fading Margin for
Data channel
rugi-rugi yang diakibatkan dari fading
v. Diversity Gain
gain yang dapat dihasilkan karena
menggunakan sistem antena space
diversity
w. Penetration Margin rugi-rugi dari margin
x. Other Gain
nilai penguat yang diakibatkan dari
perangkat lain
2.7 EIRP (Effective Isotropic Radiated Power)
EIRP adalah Power efektif yang dipancarkan pada sisi antena. EIRP dapat
dihitung menggunakan persamaan berikut (Wardhana,2011):
Page 37
37
a. Perhitungan EIRP
EIRP = Ptx + Gtx – Loss system (2.20)
Dimana :
EIRP : Effective Isotropic Radiated Power (dBm).
Ptx : Daya transmitter (dBm).
Gtx : Gain pada antena Transmitter (dB).
Loss : Loss pada konektor Transmitter (dB).
b. Perhitungan Parameter Sensitivity Receiver (SR)
Tf NNSNRSR (2.21)
Dimana :
SNR : Signal to Noise Ratio (dB).
Nf : Noise Figure receiver (dB).
NT : Thermal Noise (dB).
c. Perhitungan MAPL
MAPL = EIRP - SR + GRx - LossRx - Fade Margin (2.22)
Dimana :
EIRP : Effective Isotropic Radiated Power (dBm).
SR : Sensitivity Receiver (dBm).
GRx : Gain antena pada receiver (dB).
LossRx : Loss pada receiver (dB).
Fade Margin : Batas fading sinyal yang diterima (dB).
Page 38
38
2.8 Model Propagasi Walfisch-Ikegami
Model Walfisch-Ikegami adalah model propagasi empiris untuk area urban
yang dapat digunakan baik untuk makrosel maupun mikrosel. Parameter-parameter
yang berhubungan dengan model walfisch-ikegami dapat diilustrasikan pada
gambar 1. Model walfisch-Ikegami dapat dibagi menjadi 2 kasus, yaitu LOS (Line
Of Sight) dan NLOS (Non Line Of Sight). Formula redaman lintasan untuk kondisi
LOS dapat dirumuskan pada persamaan berikut:
LLOS [dB] = 42.6 + 26 log10 d + 20 log10 f (2.23)
Dengan d adalah jarak (km) dan f adalah frekuensi (MHz).
Formula redaman lintasan untuk kondisi NLOS dapat dirumuskan pada persamaan
berikut:
L = Lfsl + Lrts + Lmsd (2.24)
Model Walfisch-Ikegami valid untuk kondisi:
f = Frekuensi 800 - 2000 MHz
Hbts = Tinggi antenna BTS 4 – 50 m
Hms = Tinggi antenna MS 1 – 3 m
d = Jarak antara MS dan BTS 20 – 5000 m
Page 39
39
Gambar 2.7 Model Welfisch Ikegami (Mufti, )
w = lebar jalan (m),
hm= tinggi ms (m),
ϕ= sudut orientasi jalan (derajat),
hb= tinggi BTS (m),
hroof = tinggi rata-rata bangunan (m),
d= jarak MS-BTS (km),
b= jarak antar bangunan (m),
f= frekuensi (MHz),
Redaman lintasan dalam kondisi NLOS, Free space loss dinyatakan pada
persamaan berikut :
Lfsl = 32,45 + 20 log10 (d) + 20 log10 (f) (2.25)
d = Jarak MS-BTS (km),
f = Frekuensi (MHz)
Lrts = −16.9 + 10 log10 (w)+20 log10(w) + 20 log10(hroof – hm) + Lori (2.26)
Lori = −10 + 0.354ϕ : untuk 0⁰ ≤ ϕ < 35⁰ (2.27)
Page 40
40
2.5 + 0.075(ϕ − 35) : untuk 35⁰ ≤ ϕ< 55⁰ (2.28)
4.0 − 0.114(ϕ − 55) : untuk 35⁰ ≤ ϕ< 90⁰ (2.29)
Lmsd = LBSH + ka + kd log10 d+ kf log10 fc− 9log10 b (2.30)
kf = −4 + 0,7 (𝑓𝑐
925− 1) : Untuk kota sedang (2.31)
−4 + 1,5 (𝑓𝑐
925− 1) :Untuk daerah metropolitan (2.32)
LBSH = 18xlog10 (1 (hr - hm)) : hb > hr (2.33)
Ka = 54 : hb > hr (2.34)
Kd = 18 : hb > hr (2.35)
18 – 15(Δhb/Δhr) : hb ≤ hr (2.36)
2.9 Fuzzy C-Means
Konsep dari himpunan fuzzy sejalan dengan himpunan tegas, hanya saja
derajat atau tingkat keanggotaan dari himpunan fuzzy tersebut bersifat kontinu
dimana nilainya dalam interval [0,1]. Dimisalkan didefinisikan suatu himpunan Z
yang anggotanya dapat dilambangkan dengan u. Suatu himpunan fuzzy Adalam Z
yang didefinisikan dengan {( , ( ) | }𝐴 𝑧 𝑢𝐴 𝑧 𝑧 𝑍 = ∈, ( ) 𝑢𝐴 𝑧 adalah fungsi 36
keanggotaan untuk himpunan fuzzy A. Dimana fungsi keanggotaan akan
memetakan setiap elemen dari Z ke derajat keanggotaan antara 0 dan 1. Semakin
nilai fungsi keanggotaan mendekati satu, akan semakin tinggi derajat atau tingkat
keanggotaan z dalam A. Himpunan fuzzy dalam pengelompokan berperan dalam
pembentukan fungsi dan tingkat keanggotaan dari setiap objek dalam kelompok.
Clustering atau klasterisasi merupakan proses membagi data dalam suatu
himpunan ke dalam beberapa kelompok yang kesamaan datanya dalam suatu
Page 41
41
kelompok lebih besar daripada kesamaan data tersebut dengan data dalam
kelompok lain (Kusrini, 2009).
Klastering dapat diterapkan ke dalam data yang kuantitatif (numerik),
kualitatif dan kategorikal atau kombinasi dari keduanya. Data dapat merupakan
hasil pengamatan dari suatu proses. Setiap pengamatan dapat memiliki n variabel
pengukuran dan dikelompokkan dalam n dimensi vektor :
𝑍𝑘 = [𝑍1𝑘, … . , … . 𝑍𝑛𝑘]𝑇 , 𝑍𝑘 𝜀 𝑅𝑛 (2.37)
Sebuah himpunan dari N pengamatan dinotasikan dengan :
𝑍 = 𝑍𝑘| 𝑘 = 1,2, … . , … . , 𝑁 (2.38)
Dan direpresentasikan sebagai matrik n x N
𝑍 = (𝑍11 𝑍12 𝑍1𝑛𝑍21 𝑍22 𝑍2𝑛𝑍𝑛1 𝑍𝑛2 𝑍𝑛𝑁
⋮) (2.39)
Dalam pengenalan pola, kolom dalam matriks disebut patterns atau objek,
baris disebut features atau attribute. Arti kolom dan baris dalam Z tergantung pada
konteks pembahasan.
Klaster secara umum merupakan wujud himpunan bagian dari suatu
himpunan data dan metode klastering dapat diklasifikasikan berdasarkan himpunan
bagian yang dihasilkan, apakah fuzzy atau crips hard (Kusrini, 2009). Dalam
metode fuzzy clustering level keanggotaan data dalam suatu kelompok bukan hanya
0 atau 1, dapat tetapi memiliki nilai antara 0 dan 1. Nilai level keanggotaan dalam
setiap kolom matriks selalu berjumlah 1. Fuzzy clustering adalah salah satu teknik
Page 42
42
untuk menentukan cluster optimal dalam suatu ruang vektor yang didasarkan pada
bentuk normal euclidean distance vektor.
Fuzzy C-Means adalah suatu teknik pengklasteran data yang mana
keberadaan tiap-tiap titik data dalam suatu klaster ditentukan oleh derajat
keanggotaan. Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Jim Bezdek pada tahun
1981. Konsep dasar Fuzzy C-Means pertama kali adalah menentukan pusat klaster
yang akan menandai lokasi rata-rata untuk tiap-tiap klaster. Pada kondisi awal,
pusat klaster ini masih belum akurat. Setiap titik data memiliki derajat keanggotaan
untuk setiap klaster. Dengan cara memperbaiki pusat klaster dan derajat
keanggotaan setiap titik data secara berulang, maka akan dapat dilihat bahwa pusat
klaster akan bergerak menuju lokasi yang tepat. Perulangan ini didasarkan pada
minimalisasi fungsi objektif yang menggambarkan jarak dari titik data yang
diberikan ke pusat klaster yang terbobot oleh derajat keanggotaan titik data tersebut.
Output dari Fuzzy C-Means bukan merupakan fuzzy inference sistem,
melainkan merupakan deretan pusat klaster dan beberapa derajat keanggotaan
untuk tiap-tiap titik data. Informasi ini dapat digunakan untuk membangun suatu
fuzzy inference sistem. Algoritma Fuzzy C-Means dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Input data yang akan diklaster, X, berupa matriks berukuran n x m (n = jumlah
sampel data, m = attribut setiap data), dimana 𝑋𝑖𝑗 = data sampel ke-i (i =
1,2,....,n), attribut ke-j (j = 1,2,....,m)
2. Tentukan :
a. Jumlah cluster = c
b. Pangkat = w
Page 43
43
c. Maksimum iterasi = MaxIter
d. Error terkecil yang diharapkan = 𝜉
e. Fungsi objectif awal = P0 = 0
f. Iterasi awal = t = 1
3. Bangkitkan bilangan random 𝜇𝑖𝑘, i = 1,2,....,n; k = 1,2,....,c; sebagai elemen-
elemen matriks partisi awal U.
Hitung jumlah setiap kolom :
𝑄𝑖 = ∑ 𝜇𝑖𝑘𝑐𝑘=1 (2.40)
Dengan j = 1,2,....,n
Hitung :
𝜇𝑖𝑘 =𝜇𝑖𝑘
𝑄𝑖
4. Hitung pusat cluster ke-k, 𝑉𝑘𝑗 , dengan k = 1,2,....,c; dan j = 1,2,....,m.
𝑉𝑘𝑗 =∑ ((𝜇𝑖𝑘
𝑤)∗𝑋𝑖𝑗𝑛𝑖=1
∑ 𝜇𝑖𝑘𝑤𝑛
𝑖=1
(2.41)
5. Hitung fungsi obyektif pada iterasi ke-t, Pt
𝑃𝑡 = ∑ ∑ (⌊∑ (𝑋𝑖𝑗 − 𝑉𝑘𝑗)2𝑚
𝑗=1 ⌋ 𝜇𝑖𝑘𝑤)𝑐
𝑘=1𝑛𝑖=1 (2.42)
6. Hitung perubahan matriks partisi
𝜇𝑖𝑘 =⌊∑ (𝑋𝑖𝑗−𝑉𝑘𝑗)
2𝑚𝑗=1 ⌋
−1𝑤−1
∑ ⌊∑ (𝑋𝑖𝑗−𝑉𝑘𝑗)2𝑚
𝑗=1 ⌋
−1𝑤−1𝑐
𝑘=1
(2.43)
7. Cek kondisi berhenti :
Jika (|𝑃𝑡 − 𝑃𝑡−1| < 𝜉) atau (t > MaxIter) maka berhenti;
Page 44
44
Jika tidak: t = t + 1, ulangi langkah ke-4
Gambar 2.8 Ilustrasi penentuan pusat klaster dengan Fuzzy C-Means
2.10 Optimalisasi
2.10.1 Definisi Optimalisasi
Optimalisasi adalah tindakan untuk memperoleh hasil yang terbaik dengan
keadaan yang diberikan. Dalam desain, konstruksi, dan pemeliharaan dari sistem
teknik, harus diambil beberapa teknologi dan keputusan managerial dalam beberapa
tahap. Tujuan akhir dari semua keputusan seperti itu adalah meminimalkan upaya
yang diperlukan atau untuk memaksimalkan manfaat yang diinginkan. Mengacu
pada pendapat Singiresu S Rao, John Wiley dan Sons optimalisasi juga dapat
didefinisikan sebagai proses untuk mendapatkan keadaan yang memberikan nilai
maksimum atau minimum dari suatu fungsi (Rao, S. S., 2009). Hal ini dapat dilihat
dari gambar 2.1, bahwa jika titik x* berkaitan dengan nilai minimum fungsi f(x),
titik yang sama juga berkaitan dengan nilai maksimum dari negatif fungsi tersebut
–f(x). Tanpa menghilangkan keumumannya, optimasi dapat diartikan
Page 45
45
meminimalkan, karena maksimum suatu fungsi dapat diperoleh melalui minimum
dari negatif fungsi yang sama.
8
Gambar 2. 9 Minimum dari f(x) sama dengan Maksimum dari –f(x) (Rao, S. S., 2009) 2.10.2 Metode Optimalisasi
Metode mencari optimum dikenal sebagai teknik mathematical
programming dan biasa dipelajari sebagai bagian riset operasi. Riset operasi adalah
cabang matematika yang berkaitan dengan penerapan metode ilmiah dan teknik
pengambilan keputusan dan penetapan penyelesaian terbaik atau optimal. Pada
awal dari subyek riset operasi dapat ditelusuri pada periode awal Perang Dunia II,
selama perang, militer inggris menghadapi masalah mengalokasikan sumber daya
yang sangat langka dan terbatas (seperti pesawat tempur, radar, dan kapal selam)
untuk beberapa kegiatan (penyebaran ke berbagai target dan tujuan). Karena tidak
ada metode sistematis yang tersedia untuk memecahkan masalah alokasi sumber
Page 46
46
daya, militer diatas (tim matematikawan) mengembangkan metode untuk
memecahkan masalah secara ilmiah. Metode yang dikembangkan oleh tim berperan
penting dalam memenangkan pertempuran udara oleh inggris. Metode tersebut
seperti program linier, yang dikembangkan sebagai hasil riset pada militer.
Perkembangan metode optimalisasi semakin mengalami kemajuan hingga
masa modern, hal ini dapat dilihat dengan semakin banyak metode optimasi yang
ditemukan dan dapat menghasilkan solusi yang semakin optimal. Metode optimasi
yang popular dan banyak dipakai antara lain seperti Dynamic Programming,
Integer Programming, Game Theory, dan metode optimasi modern. Metode
optimasi modern juga disebut metode optimasi non-tradisional, muncul sebagai
metode yang ampuh dan popular untuk menyelesaikan masalah teknik optimasi
yang kompleks. Metode yang termasuk seperti algoritma genetik, optimasi partikel
swarm, optimasi koloni semut, optimasi berbasis jaringan syaraf tiruan, optimasi
fuzzy, dan simulated annealing (Rao, S. S., 2009).
2.11 Harmony Search
Harmony Search Algorithm (HSA) adalah salah satu algoritma
metaheuristik yang diusulkan oleh Zong Woo Geem pada tahun 2001. Algoritma
tersebut terinspirasi oleh proses pertunjukan musik ketika musisi mencari harmoni
yang lebih baik [Geem, 2009]. Pencarian harmoni pada proses improvisasi musik
bertujuan untuk mendapatkan keadaan terbaik berdasarkan perkiraan estetika.
Dengan analogi tersebut, HSA melakukan proses optimasi untuk mendapatkan
keadaan terbaik dengan cara mengevaluasi fungsi objektif. Seperti halnya
Page 47
47
perkiraan estetika yang ditentukan menggunakan himpunan pitches yang
dikeluarkan alat musik, fungsi objektif pada HSA dihitung menggunakan himpunan
nilai-nilai pada setiap variabel keputusan (decision variables). Perbaikan nilai
fungsi objektif pada HSA menerapkan improvisasi yang terus ditingkatkan dari
iterasi ke iterasi sama seperti perbaikan kualitas suara estetika yang diperbaiki
dengan latihan demi latihan.
Gambar 2.10 Struktur Harmony Search Algorithm (Geem, 2009)
Pada gambar diatas, setiap pemain musik ( saxophonist, double bassist, dan
guitarist ) merepresentasikan suatu decision variable ( x1, x2, dan x3 ). Kumpulan
bunyi yang dihasilkan oleh setiap instrumen musik ( saxophone = { Do, Re, Mi };
double bass = { Mi, Fa, Sol }; guitar = { Sol, La, Si }) menyatakan rentang nilai
variabel ( x1 = { 100, 200, 300 }; x2 = { 300, 400, 500 }; x3 = { 500, 600, 700}).
Sebagai contoh, misalnya saxophonist mengeluarkan bunyi Re, double bassist
membunyikan Fa dan guitarist mengeluarkan bunyi La, maka ketiganya
membangun suatu harmoni baru ( Re, Fa, La ). Jika harmoni ini lebih indah
dibandingkan harmoni saat ini, maka harmoni baru ini dipertahankan. Harmoni
Page 48
48
yang diperoleh tersebut dalam dunia optimasi disebut dengan solusi yang
direpresentasikan dalam bentuk dimensi vektor solusi.
Analogi musik dengan proses optimasi menurut HS adalah sebagai berikut:
Instrumen Musik ↔ Variabel keputusan
Pitch Range ↔ Range nilai variabel
Harmony ↔ Vektor solusi
Aesthetics ↔ Fungsi tujuan
Practice ↔ Iterasi
Experience ↔ Matrik memori
Agar harmony memory dapat digunakan secara efektif, algoritma HS
mengadopsi sebuah parameter yang disebut Harmony Memory Considering Rate
(HMCR). Nilai HMCR akan menentukan apakah satu nada baru akan dibangkitkan
atau mengambil dari harmony memory. Komponen kedua adalah penyesuaian nada
dimana dalam proses ini ada beberapa parameter seperti bandwidth (bw) dan Pitch
adjusting rate (PAR) (Santosa, 2011).
Harmony search menyelesaikan suatu permasalahan optimasi (minimasi
fungsi) dengan langkah umum sebagai berikut :
Langkah 1. Inisialisasi Parameter
Beberapa parameter model perlu diberi nilai antara lain Harmony Memory
Consideration Rate HCMR (misal 0.7 – 0.95), ukuran sampel HMS (misal
N = 0.20), pitch adjusting rate (PAR = 0.3) Tentukan pitch bandwidth b
secara random, xL (batas bawah) dan xU (batas atas) untuk nilai variabel.
Langkah 2. Inisialisasi Harmony Memory (HM)
Page 49
49
HM terdiri dari N solusi awal. Solusi ini bisa terdiri dari satu variable sampai
p variabel. Solusi ini dibangkitkan secara random. Semua kandidat solusi
ini dievaluasi untuk menemukan solusi terburuk.
𝑋 =
[ 𝑥1
1 𝑥21 𝑥3
1
𝑥12 𝑥2
1 𝑥31
𝑥13 𝑥2
1 𝑥31
… 𝑥𝑝−11 𝑥𝑝
1
… 𝑥𝑝−12 𝑥𝑝
1
… 𝑥𝑝−13 𝑥𝑝
1
⋮ … …𝑥1
𝐻𝑀𝑆−1 𝑥2𝐻𝑀𝑆−1 𝑥3
𝐻𝑀𝑆−1
𝑥1𝐻𝑀𝑆 𝑥2
𝐻𝑀𝑆 𝑥3𝐻𝑀𝑆
… …… 𝑥𝑝−1
𝐻𝑀𝑆−1 𝑥𝑝𝐻𝑀𝑆−1
… 𝑥𝑝−1𝐻𝑀𝑆 𝑥𝑝
𝐻𝑀𝑆]
Dimana masing-masing vektor solusi (tiap baris) akan dievaluasi nilai
fungsinya
𝑋 =
[
𝑓(𝑥1)
𝑓(𝑥2)⋮
𝑓(𝑥𝐻𝑀𝑆−1)
𝑓(𝑥𝐻𝑀𝑆) ]
Langkah 3. Lakukan perbaikan/improvisasi terhadap solusi yang ada
Untuk setiap variabel diambil secara random nilai yang ada pada HM.
Dengan prosedur tertentu nilai ini akan diajust sedemikian rupa jika
memenuhi aturan tertentu (menggunakan pembangkitan bilangan random
dan dibandingkan dengan HMCR dan PAR) hingga akan didapatkan nilai
baru. Atau kalau tidak memenuhi aturan, akan dibangkitkan solusi baru
secara random. Suatu harmoni baru atau vektor baru akan dibangkitkan
berdasarkan aturan sebagai berikut : HM consideration (HMCR), pitch
adjuting rate (PAR) dan pembangkitan yang benar-benar random. Sebagai
Page 50
50
........................ (2.44)
.......................... (2.45)
contoh nilai 𝑥1′ baru akan diambil dari (𝑥1
1~𝑥1𝐻𝑀𝑆). Variabel yang lain dicari
dengan cara yang sama. Besarnya nilai HMCR akan menentukan nilai baru
ini besar kemungkinannya akan diambil dari Hmatau benar-benar
dibangkitkan secara random.
𝑥𝑖′ = {
𝑥𝑖′ ∈ {𝑥𝑖
1, 𝑥𝑖2, … , 𝑥𝑖
𝐻𝑀𝑆}
𝑥𝑖1 ∈ 𝑋𝑖
𝑑. 𝑝 𝐻𝑀𝐶𝑅𝑑. 𝑝 (1 − 𝐻𝑀𝐶𝑅)
Dimana HMCR adalah probabilitas memilih satu nilai dari HM dan 1-
HMCR adalah probabilitas memilih nilai secara random dalam range xl –
xu. Setelah memilih suatu harmoni baru 𝑥′ = (𝑥1′ , 𝑥2
′ , … , 𝑥𝑁′ ), keputusan
melakukan pitch adjustment dilakukan untuk setiap komponen vektor
solusi. Prosedur ini menggunakan parameter PAR untuk melakukan
pengaturan :
𝑥𝑖′ = {
𝐴𝑡𝑢𝑟 𝑝𝑖𝑡𝑐ℎ𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑙𝑎𝑘𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢
𝑑. 𝑝 𝑃𝐴𝑅𝑑. 𝑝 (1 − 𝑃𝐴𝑅)
Dalam proses pitch adjustment ini, suatu nilai pindah ke nilai dekatnya
dengan peluang (d.p) PAR atau tetap pada nilai aslinyadengan peluang.
Langkah 4. Perbarui Harmony Search
Solusi baru ini akan dibandingkan dengan solusi terburuk dalam N populasi
awal. Jika lebih baik maka ia akan menggantikan vektor solusi terburuk tadi.
Langkah 5. Cek kriteria penghentian
Jika kriteria penghentian belum terpenuhi, kembali ke langkah 3 untuk
mengambil secara acak salah satu vektor solusi dari variabel pertama. Bisa
digunakan kriteria penghentian berupa jumlah iterasi atau nilai mutlak
selisih dua nilai fungsi tujuan yang berurutan. (Santosa, B., Willy,P., 2011).