7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellitus 1. Definisi Smeltzer dan Bare (2002) mendefinisikan Diabetes Mellitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai dengan kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Sedangkan Price dan Wilson (2006) mengatakan bahwa diabetes melitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifesasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolisme dalam tubuh yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) yang disebabkan oleh defisiensi dan resistensi insulin. 2. Etiologi Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus mempunyai etiologi yang heterogen, dimana berbagai lesi dapat menyebabkan insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas Diabetes Melitus. Faktor lain yang dianggap sebagai kemungkinan etiologi Diabetes Mellitus yaitu (Ismail,2008): a. Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai kegagalan sel beta melepas insulin. b. Faktor – faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain agen yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan, obesitas dan kehamilan. c. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas yang disertai pembentukan sel – sel antibodi
25
Embed
BAB II clear - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/131/jtptunimus-gdl-wisnugemma... · kehamilan, plasenta previa, hipertensi, preeklamsi dan bayi lahir dengan berat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Mellitus
1. Definisi
Smeltzer dan Bare (2002) mendefinisikan Diabetes Mellitus adalah
sekelompok kelainan heterogen yang ditandai dengan kenaikan kadar
glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Sedangkan Price dan Wilson
(2006) mengatakan bahwa diabetes melitus merupakan gangguan
metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan
manifesasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Dari definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa Diabetes Mellitus adalah gangguan
metabolisme dalam tubuh yang ditandai dengan peningkatan kadar
glukosa dalam darah (hiperglikemia) yang disebabkan oleh defisiensi
dan resistensi insulin.
2. Etiologi Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus mempunyai etiologi yang heterogen, dimana berbagai
lesi dapat menyebabkan insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik
biasanya memegang peranan penting pada mayoritas Diabetes Melitus.
Faktor lain yang dianggap sebagai kemungkinan etiologi Diabetes
Mellitus yaitu (Ismail,2008):
a. Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai
kegagalan sel beta melepas insulin.
b. Faktor – faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara
lain agen yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan
karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan, obesitas dan
kehamilan.
c. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh
autoimunitas yang disertai pembentukan sel – sel antibodi
8
antipankreatik dan mengakibatkan kerusakan sel - sel penyekresi
insulin, kemudian peningkatan kepekaan sel beta oleh virus.
d. Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan
jaringan terhadap insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang
terdapat pada membran sel yang responsif terhadap insulin.
3. Faktor Resiko Diabetes Mellitus
a. Diabetes tipe I:
Menurut American Associatio of Clinical Endocrinologist (2007)
Faktor Resiko Diabetes Mellitus tipe I ialah
1. Riwayat keluarga dengan diabetes mellitus
2. Penyakit jantung
3. Obesitas
4. Gaya hidup yang tidak baik
5. Hipertensi.
6. Sebelumnya diidentifikasi terjadi gangguan intoleransi glukosa
dan gangguan glukosa puasa.
b. Diabetes tipe II
Menurut WHO (2002) Faktor Resiko Diabetes Mellitus tipe II ialah
1. Usia >45 tahun
2. Obesitas
3. Hipertensi ( TD > 140/90 mmHg)
4. Riwayat diabetes dalam garis keturunan
5. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau BB lahir
bayi> 4.000 gram
6. Riwayat Diabetes Melitus Gestasional
7. Riwayat toleransi gula terganggu (TGT) atau glukosa darah
glokosa terganggu (GDPT)
8. Penderita penyakit jantung koroner,tuberkolosis, hipertiroidisme
9. Kolesterol HDL <0.38 g/L dan atau trigliserida ≥2.0 g/L.
10. Kurang aktifitas fisik
9
c. Diabetes Mellitus Gestasional:
Menurut American Associatio of Clinical Endocrinologist (2007)
Faktor Resiko Diabetes Mellitus Gestasional ialah
1. Usia >25 tahun
2. Obesitas
3. Riwayat keluarga dengan diabetes tipe II
4. Riwayat metabolisme glukosa yang abnormal
5. Pernah melahirkan bayi dengan berat lahir lebih dari 4 kg.
6. Riwayat intoleransi glukosa dan glikosuria.
4. Klasifikasi Diabetes Mellitus
WHO (2002) membagi diabetes mellitus berdasarkan etiologinya, yaitu
diabetes mellitus tipe-1, diabetes melitus tipe-2, diabetes mellitus bentuk
khusus (diabetes tipe lain), dan diabetes mellitus gestasional.
a. Diabetes Mellitus Tipe I
Dikenal dua bentuk yaitu auotoimun dan idiopatik, di mana
ditemukan kerusakan sel beta dan mengakibatkan terjadinya
defisiensi insulin yang absolut.
b. Diabetes mellitus tipe II
Diabetes tipe II dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau maturity onset
dan tipe nondependen insulin. Diabetes tipe II terjadi karena
kegagalan sekresi insulin dan resistensi insulin.
c. Diabetes mellitus tipe lain
Diabetes mellitus tipe lain yang terjadi antara lain:
1. Defek genetik fungsi sel beta
2. Defek genetik insulin: sindrom resistensi insulin berat
3. Penyakit eksokrin pankreas: Fibrocalculous pancreatopathy,
Endurance training), Continuous yaitu Latihan jasmani harus
berkesinambungan dan dilakukan terus menerus tanpa berhenti.
Contoh: Jogging 30 menit , maka pasien harus melakukannya selama 30
menit tanpa henti; Rhytmical yaitu Latihan olah raga dipilih yang
berirama yaitu otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur,
contoh berlari, berenang, jalan kaki; Interval yaitu Latihan dilakukan
selang-seling antar gerak cepat dan lambat. Contoh: jalan cepat
diselingi jalan lambat, jogging diselangi jalan; Progressive yaitu
Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan, dari intensitas
ringan sampi sedang selama mencapai 30 – 60 menit, sasaran HR =
75 – 85 % dari maksimal HR dan maksimal HR = 220 – (umur) dan
Endurance training yaitu Latihan daya tahan untuk meningkatkan
kemampuan kardiorespirasi, seperti jalan jogging dan sebagainya.
21
Peran aktivitas fisik untuk mencegah penyakit tidak menular yang
kronik sangat penting, namun data yang berguna untuk
menginformasikan hal tersebut masih kurang. Oleh karena itu, WHO
mengembangkan Global Physical Activity Questionnaairre (GPAQ)
untuk pengawasan aktivitas fisik di negara-negara terutama negara yang
sedang berkembang. GPAQ merupakan instrumen yang mutakhir dan
terbaik yang dirancang untuk menyediakan data valid tentang pola
aktivitas yang dapat digunakan untuk pengumpulan data nasional
(Kristanti, 2002). GPAQ telah mengalami sebuah program penelitian
yang menunjukkan bahwa GPAQ adalah valid dan reliabel, tetapi juga
mudah beradaptasi dengan perbedaan budaya yang ada di negara-negara
berkembang (WHO, 2002).
GPAQ mencakup 4 area aktivitas fisik yaitu aktivitas fisik pada hari-
hari kerja, aktivitas fisik di luar pekerjaan, dan olahraga, transportasi,
pekerjaan rumah tangga, dan merawat anak/orangtua (Kristanti,2002).
Berikut ini adalah paparan cakupan 4 area dari aktivitas fisik tersebut :
Aktivitas fisik pada hari-hari kerja membutuhkan energi lebih banyak
daripada energi yang dikeluarkan dalam kehidupan sehari-hari, aktivitas
fisik di luar pekerjaan dan olahraga. Berikut ini adalah tabel nilai MET
(metabolic energy turnover) dari sejumlah aktivitas fisik yang sering
dilakukan :
Tabel 1.1
Nilai MET (metabolic energy turnover) dari sejumlah aktivitas fisik
yang sering dilakukan
Aktivitas Nilai MET Konstruksi umum luar gedung 5,5 Tukang kayu, umum 3,5 Membawa barang berat 8,0 Kehutanan, umum 8,0 Duduk, pekerjaan kantor yang ringan, pertemuan, perakitan/perbaikan yang ringan
1,5
Berdiri, ringan (penjaga toko, piñata rambut, dll) 2,5 Berdiri sedang (pedagang, mengangkat barang yang ringan) 3,5
22
Aktivitas Nilai MET Membersihkan, umum (sambil berdiri) 3,5 Mencuci piring (sambil berdiri) 2,3 Memasak (sambil berdiri) 2,5 Menyetrika 2,3 Menggosok lantai 5,5 Lebih dari satu pekerjaan rumah tangga 3,5 Bermain musik, umum 2,5 Merawat anak 2,5 Berbaring atau duduk diam (sambil menonton TV, mendengarkan, musik)
1,0
Memperbaiki rumah, mereparasi kendaraan 3,0 Mereparasi rumah, mencuci dan memoles mobil 4,5 Memotong rumput dengan alat potong manual 4,5 Memetik buah dari pohon 3,0 Berkebun, umum Menanam tanaman
6,5 4,0
Mengemudikan kendaraan 2,0 Mengendarai bus, kereta api 1,5 Mengemudikan sepeda motor 2,5 Menarik becak 6,5 Bersepeda umum, pergi – pulang tempat kerja (<16km/jam) 4,0 Bersepeda (<16 – 22 km/jam ) 6,5 Bersepeda (<22 km/jam ) 10,0 Berjalan, perlahan (< 3,2 km/jam) 2,0 Berjalan, sedang (4,8 km/jam) 3,5 Berjalan, cepat (6,4 km/jam) 4,0 Bola basket, umum 6,0 Bola basket, pertandingan 8,0 Bowling 3,0 Golf, umum 4,5 Berkuda, umum 4,5 Bermain skateboard 5,0 In-line skating 7,0 Sepak bola, pertandingan 10,0 Sepak bola, umum 7,0 Squash 10,0 Tenis meja 4,0 Bola voli, pertandingan 8,0 Berlari (8 – 10 km/jam) 8,0 – 10,5 Berlari (11 – 13 km/jam) 11,5 – 14,0 Berlari (14 – 16 km/jam) 14,5 – 17,0 Mendaki bukit 16,0 Enuruni bukit, umum 6,0 Berenang, umum 4,0
Sumber : WHO
Penilaian intensitas aktivitas fisik yang dilakukan oleh responden,
GPAQ dikelompokkan intensitas menjadi 3 tingkatan menurut nilai
METs (menit), yaitu :
23
1. Nilai MET 1500 MET-menit/3 hari mendapat kriteria tinggi. 2. Nilai MET minimal 600 MET-menit/3hari mendapat kriteria
sedang. 3. Nilai tidak memenuhi dari kriteria diatas mendapat kriteria rendah
Pengelompokkan intensitas aktivitas fisik ini mempermudah kita
mengklasifikasikan setiap aktivitas fisik yang dilakukan responden
sesuai dengan intensitasnya (ringan, sedang, atau berat) pada saat
menilai kuesioner GPAQ yang telah diisi oleh responden.
c. Farmakologi
Menurut Gibney (2009) tujuan penatalaksanaan pengobatan pada
diabetes adalah mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah
mendekati normal, mencegah komplikasi akut dan kronik serta
meningkatkan kualitas hidup. Dalam membuat perencanaan pengobatan
harus dilakukan secara teratur dalam mengkonsumsi obat anti diabetes
berdasarkan dosis dan waktu minum obat dalam sehari. Semakin baik
praktik pengelolaan pengobatan pasien diabetes mellitus maka resiko
terjadinya komplikasi sangat rendah sedangkan semakin buruk praktik
pengelolaan pengobatan pasien diabetes mellitus maka resiko terjadinya
komplikasi sangat tinggi.
Menurut Arif (2001) ada 3 obat antidiabetes (OAD) yang ada di
Indonesia yaitu :
1. Tipe I (Short Acting)
Jenis ini memiliki paruh waktu sekitar 4 jam, daya kerjanya cepat,
diberikan 1-3 kali sehari (pagi-siang-sore).yang termasuk
kelompok ini adalah : rastinon, orinase, nadisan, dymelor,
tolynase, glymidine.
2. Tipe 2 (Intermediate Acting)
Memiliki paruh waktu antara 5-8 jam, diberikan 1-2 kali sehari
(pagi dan siang jangan pagi dan sore) apabila diberikan cukup
24
sekali sehari, berikanlah pada pagi hari saja.Termasuk golongan
ini adalah glibenclamide (euglukon, daonil), Golongan gliclazide
(diamicron), Golongan gliquidone (glurenorm) dan golongan
glipizide (minidiab).
3. Tipe 3 (Long Acting)
Mempunyai paruh waktu antara 24-36 jam, diberikan sekali saja
setiap pagi jangan diberikan dalam dosis terbagi.
C. Faktor Yang Mempengaruhi Praktik Pengelolaan Diabetes Mellitus
Dalam hal ini faktor yang mempengaruhi praktik pengelolaan diabetes
mellitus yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat
(Green, 1988, dalam Notoatmodjo, 2003).
a. Faktor Predisposisi (predisposing factors)
Faktor ini mencakup sikap dan pengetahuan masyarakat terhadap
kesehatan, tradisi, dan kepercayaan masyarakat terhadap hal – hal yang
berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat
pendidikan, tingkat social ekonomi dan sebagainya.
b. Faktor Pemungkin (enabling factors)
Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas
kesehatan bagi masyarakat, misalnya fasilitas pelayanan kesehatan seperti
Puskesmas, Rumah Sakit, fasilitas umum seperti media massa dan
pendidikan kesehatan.untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan
sarana dan prasarana pendukung.
c. Faktor Penguat (reinforcing factors)
Faktor ini meliputi sikap dan perilaku petugas kesehatan, tokoh agama,
tokoh masyarakat dan keluarga. Untuk berperilaku sehat, masyarakat
kadang – kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap dan dukungan
positif saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari tokoh
masyarakat, tokoh agama, keluagra lebih – lebih petugas kesehatan.
Disamping itu undang – undang juga diperlukan untuk memperkuat
perilaku masyarakat tersebut.
25
D. Pendidikan Kesehatan Terstruktur
1. Definisi pendidikan kesehatan terstruktur
Pendidikan kesehatan ialah segala upaya yang direncanakan untuk
mempegaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat
sehingga mereka melakukan apa yang dharapkan oleh pelaku pendidikan
(Notoatmodjo, 2003). Sedangkan menurut Suliha (2002) pendidikan
kesehatan adalah suatu proses perubahan pada diri seseorang yang
dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan individu dan
masyarakat. Pendidikan kesehatan terstruktur ialah pendidikan kesehatan
yang dilakukan secara runtut dari perencanaan, pembuatan satuan acara
pembelajaran, persiapan materi dan media, pelaksanaan pendidikan
kesehatan menggunakan media lembar balik dan pemberian leaftlet setelah
pendidikan kesehatan dan dilakukan evaluasi praktik yang dilakukan klien
setelah pendidikan kesehatan.
2. Tujuan pendidikan kesehatan terstruktur
Secara umum, tujuan dari pendidikan kesehatan ialah mengubah perilaku
individu atau masyarakat dibidang kesehatan (Notoatmodjo, 2003). Tujuan
ini dapat diperinci lebih lanjut menjadi :
a. Menjadikan kesehatan sebagai suatu yang bernilai dimasyarakat.
b. Menolong individu agar mampu secara mandiri atau berkelompok
mengadakan kegiatan untuk mencapai tujuan hidup sehat.
c. Mendorong perkembangan dan penggunaan secara tepat sarana
pelayanan kesehatan yang ada.
Secara operasional, tujuan kesehatan diperinci oleh Notoatmodjo
(2003)sebagai berikut :
a. Agar klien memiliki tanggung jawab yang lebih besar pada
kesehatannya, keselamatan lingkungan dan masyarakat.
b. Agar klien melakukan langkah – langkah positif dalam mencegah
berkembangnya sakit menjadi lebih parah dan mencegah keadaan
26
ketergantungan melalui rehabilitasi cacat yang disebabkan oleh
penyakit.
c. Agar klien memiliki pengertian yang lebih baik tentang eksistensinya
dan perubahan – perubahan system dan cara memanfaatkan dengan
efisien dan efektif.
d. Agar klien mempelajari apa yang dapat dilakukan sendiri dan
bagaimana caranya, tanpa selalu meminta pertolongan kepada system
pelayanan kesehatan formal.
3. Proses pendidikan kesehatan terstruktur
Kegiatan pendidikan kesehatan terstruktur terdapat tiga persoalan pokok,
yaitu persoalan masukan (input), proses dan persoalan keluaran (out put).
Persoalan masukan berupa sasaran belajar (sasaran didik) yaitu individu,
kelompok atau masyarakat yang sedang belajar itu sendiri dengan berbagai
latar belakang, persoalan proses berupa mekanisme dan interaksi yang
terjadinya perubahan perilaku atau kemampuan pada diri subyek belajar
dan dalam proses terjadi pengaruh timbal balik antar berbagai faktor antara
lain subyek belajar, pengajar (pendidik atau fasilitator) metode dan teknik
mengajar, alat bantu dan materi atau bahan yang dipelajari. Sedangkan
keluaran berupa hasil belajar itu sendiri, yaitu berupa kemampuan atau
perubahan perilaku dari subyek belajar.
Faktor – faktor yang mempengaruhi proses belajar dikelompokkan
menjadi 4 faktor besar yaitu faktor materi (bahan belajar), lingkungan,
instrumental, dan subjek belajar. Kegiatan pertama yang dilakukan adalah
membuat satuan acara pembelajaran dan membuat materi. Metode yang
digunakan adalah ceramah dan diskusi karena menurut peneliti metode ini
lebih efektif digunakan karena setelah diberi penjelasan responden dapat
bertanya (berinteraksi langsung) kepada penyuluh. Design pendidikan
kesehatan yang digunakan adalah secara mandiri tidak berkelompok, jadi
pendidikan kesehatan dilakukan pada setiap responden. Setelah pendidikan
27
kesehatan selesai dilakukan maka dilakukan evaluasi dengan catatan untuk
mengetahui praktik pengelolaan yang sudah dilakukan responden.
4. Pengaruh pendidikan kesehatan terstruktur terhadap praktik pengelolaan
diabetes melitus.
Salah satu kelompok terbesar yang membutuhkan pendidikan kesehatan
terstruktur dewasa ini adalah mereka yang menderita penyakit Diabetes
Melitus dan yang belum menderita penyakit tersebut. Banyak ahli
kesehatan berkeyakinan bahwa orang – orang yang menderita penyakit
tersebut berhak atas informasi pelayanan kesehatan untuk melibatkan
mereka berpartisipasi aktif dan bertanggung jawab terhadap perawatan
mereka sendiri. Pendidikan kesehatan terstruktur dapat membantu individu
– individu tersebut untuk beradabtasi dengan lingkungan, merubah diet,
menerapkan informasi yang sudah didapat dan belajar untuk memecahkan
masalah baru dalam situasi yang baru. Disamping itu manfaat dari
pendidikan kesehatan terstruktur dipandang sebagai strategi menerapkan
praktik pengelolaan diabetes mellitus, menurunkan kasus penyakit
Diabetes Melitus mulai dari kesehatan diri sendiri dan kesehatan
lingkungan masyarakat untuk meningkatkan kepuasan masyarakat
(Smeltzer dan Bare, 2002).
Pendidikan kesehatan terstruktur terutama untuk masyarakat yang
menderita penyakit Diabetes Mellitus harus direncanakan dan
dimplementasikan pada waktu yang tepat, serta mempertimbangkan
masyarakat sebagai individu, dengan mempertimbangkan keunikan
ansietas, kebutuhan dan harapan – harapannya. Apabila pendidikan
kesehatan terstruktur dilakukan dengan tanpa adanya observasi,
masyarakat mungkin tidak ingat apa yang telah diberikan dan jika
diberikan dengan tanpa adanya tindak lanjut dari penyuluh mungkin
masyarakat akan banyak tidak melakukan tindakan dari apa yang sudah
diberikan oleh peneliti. Idealnya pendidikan kesehatan dibagi dalam
28
berbagai periode waktu untuk memungkinkan masyarakat
mengasimilasikan informasi dan mengajukan pertanyaan ketika timbul
pertanyaan. Sering kali, pendidikan kesehatan terstruktur ini bersamaan
dengan berbagai persiapan prosedur untuk memudahkan aliran informasi.
Syarat – syarat pendidikan kesehatan terstruktur harus melebihi deskripsi
tentang berbagai langkah – langkah prosedur dan harus mencakup
penjelasan tentang kebutuhan masyarakat.
29
E. Kerangka Teori
Skema 2.1 Kerangka Teori
Sumber : Lawrence Green (1988) dalam Notoatmodjo (2003).
Faktor Pemudah (Predisposing Factor) :
a. Pendidikan. b.Pengetahuan. c. Lingkungan. d.Ekonomi. e. Sikap.
Faktor Pemungkin (Enabling Factor) :
a. Fasilitas Fisik : Kesehatan: Puskesmas, Rumah Sakit.
b.Fasilitas Umum : Media Massa ( TV, Koran, Radio).
c. Pendidikan Kesehatan
Faktor Penguat (Reinforcing factor) :
a. Dukungan Anggota Keluarga.
b.Dukungan Tenaga Kesehatan.
Praktik Pengelolaan Diabetes Mellitus
30
F. Kerangka Konsep
Skema 2.2 Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
G. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini dikemukakan dua variabel yaitu :
1. Variabel bebas (independent) : Variabel yang menjadi sebab
timbulnya atau berubahnya variabel dependent (terikat) jadi variabel
independent adalah variabel yang mempengaruhi. Variabel bebas
(independent) dalam penelitian ini adalah pendidikan kesehatan
terstruktur. Dalam penelitian ini variabel independent juga berfungsi
sebagai kontrol, yang dimaksud kontrol ialah perlakuan pada
responden kode ganjil sesuai definisi operasional.
2. Variabel terikat (dependent) : Variabel terikat merupakan variabel
yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel
bebas. Variabel terikat (dependent) dalam penelitian ini adalah praktik
pengelolaan diabetes mellitus.
H. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah hipotesis minor, yaitu :
1. Ada pengaruh pendidikan kesehatan terstruktur terhadap praktik
pengelolaan diet pada klien diabetes mellitus di wilayah kerja
Puskesmas Srondol Semarang.
2. Ada pengaruh pendidikan kesehatan terstruktur terhadap praktik
pengelolaan latihan jasmani pada klien diabetes mellitus di wilayah
kerja Puskesmas Srondol Semarang.
Praktik Pengelolaan Diabetes Mellitus
Pendidikan Kesehatan Terstruktur
31
3. Ada pengaruh pendidikan kesehatan terstruktur terhadap praktik
pengelolaan pengobatan pada klien diabetes mellitus di wilayah kerja