1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Kuman kusta dapat menyerang kulit serta saraf perifer dimana secara klinis dapat ditemukan lesi kulit yang mati rasa disertai dengan penebalan saraf perifer. Kegagalan dalam terapi dapat menyebabkan kecacatan yang sangat mempengaruhi penderita dalam segi ekonomi dan sosial disebabkan oleh stigma oleh masyarakat sekitar (Lastoria et al., 2014). 2.1.2 Epidemiologi Kusta ditemukan pada negara tropis terutama pada negara yang belum berkembang dan negara berkembang. Negara endemik kusta ditemukan di daerah Asia Tenggara, Amerika selatan, Afrika, Pasifik timur dan daerah mediterania barat. Meskipun prevalensi di dunia sudah didapatkan penurunan sejak penggunaan multi-drug treatment (MDT), masih didapatkan kasus baru setiap tahunnya dimana pada tahun 2013 ditemukan 215,656 kasus baru di seluruh dunia dengan pada kuartal pertama tahun 2014 diestimasi sekitar 0.32 kasus per 10.000 populasi. Asia tenggara sendiri memiliki prevalensi tertinggi dengan prevalensi 8.38 kasus baru per 10.000 populasi dimana 58.85% didapatkan dari India (Global leprosy update 2013-2014).
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kusta
2.1.1 Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae. Kuman kusta dapat menyerang kulit serta saraf perifer
dimana secara klinis dapat ditemukan lesi kulit yang mati rasa disertai dengan
penebalan saraf perifer. Kegagalan dalam terapi dapat menyebabkan kecacatan
yang sangat mempengaruhi penderita dalam segi ekonomi dan sosial disebabkan
oleh stigma oleh masyarakat sekitar (Lastoria et al., 2014).
2.1.2 Epidemiologi
Kusta ditemukan pada negara tropis terutama pada negara yang belum
berkembang dan negara berkembang. Negara endemik kusta ditemukan di daerah
Asia Tenggara, Amerika selatan, Afrika, Pasifik timur dan daerah mediterania
barat. Meskipun prevalensi di dunia sudah didapatkan penurunan sejak
penggunaan multi-drug treatment (MDT), masih didapatkan kasus baru setiap
tahunnya dimana pada tahun 2013 ditemukan 215,656 kasus baru di seluruh dunia
dengan pada kuartal pertama tahun 2014 diestimasi sekitar 0.32 kasus per 10.000
populasi. Asia tenggara sendiri memiliki prevalensi tertinggi dengan prevalensi
8.38 kasus baru per 10.000 populasi dimana 58.85% didapatkan dari India
(Global leprosy update 2013-2014).
2
Berdasarkan data dari WHO mayoritas kasus kusta pada tahun 2013 terjadi
pada negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah, dimana 71% pada
daerah Asia Tenggara, 15,5% di daerah Amerika, 8,8% di daerah Afrika, 3,3% di
Pasifik barat dan 1,2% di Mediteranian timur. (Global leprosy update 2013). Di
Spanyol didapatkan insidensi 0.16 kasus per 100,000 populasi pada abad ke-21
dimana didapatkan juga peningkatan jumlah imigran dari negara dimana kusta masih
endemis, seperti dari Brasil (Instituto Nacional de Estadística, 2013).
Waktu inkubasi yang panjang antara terjadinya infeksi dan timbulnya
manifestasi klinis kusta dapat menjadi salah satu faktor penting dimana pasien yang
telah terinfeksi akan tetapi asimptomatik dapat bermigrasi ke negara lain tanpa
terdeteksi, sehingga frekuensi kasus yang dilaporkan sering kali lebih rendah
dibandingkan yang sebelumnya diprediksi ( Massone et al., 2012).
Data yang didapatkan dari Pusat Data dan Informasi mengenai Profil
Kesehatan Indonesia menunjukkan prevalensi kusta di Indonesia berada dalam
rentang 0,79 hingga 0,96 per 10.000 penduduk dimana didapatkan penurunan dari
tahun sebelumnya. Berdasarkan data tahun 2011-2013 ditemukan bahwa 14 dari 33
provinsi di Indonesia memiliki beban kusta yang tinggi (angka penemuan kasus baru
lebih dari 10 per 100.000 penduduk) dengan Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Papua dan Sulawesi Selatan sebagai penyumbang terbesar (Infodatin Kementerian
Kesehatan RI, 2015).
Rendahnya pengetahuan tentang kusta serta stigma tentang kusta juga
berperan dalam rendahnya prevalensi kusta dibandingkan dengan yang awalnya
diprediksi. Keterlambatan dalam diagnosis serta terapi ini menimbulkan kecacatan
3
fisik masih menjadi salah satu masalah di dunia dengan ditemukannya 2,165 kasus
kusta dengan disabilitas tingkat-2 pada tahun 2011 (Lastoria et al., 2014).
2.1.3 Etiologi dan Patogenesis
2.1.3.1 Bakteri M.leprae
Etiologi dari penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium leprae yang ditemukan
oleh dokter kebangsaan Norwegia Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1873. Bakteri
ini berbentuk batang lurus dengan ujung yang bundar berukuran 1.5-8 mikron dengan
lebar 0.2-0.5 mikron. Pada pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN) akan tampak berwarna
merah yang tahan asam. Kuman M.leprae menginfeksi makrofag serta sel Schwann
dengan suhu optimal yang diperlukan untuk tumbuh dan berkembang antara 27°C dan
30°C, oleh karena itu kuman M.leprae cenderung banyak ditemukan pada daerah
permukaan seperti kulit, saraf perifer, testis dan sistem pernapasan atas (Nolte et al.,
1995).
Apabila dilihat menggunakan mikroskop elektron bakteri ini memiliki
sitoplasma, membran plasma, dinding sel dan kapsul. Sitoplasma dari kuman ini
memiliki struktur yang sama dengan bakteri gram positif pada umumnya, sedangkan
pada membran plasma bakteri ini memiliki permeable lipid bilayer yang mengandung
protein surface antigen. Dinding sel dari M.leprae terbentuk atas peptidoglikan yang
mengandung arabinogalaktan seperti bakteri genus Mycobacterium lainnya. Pada
kapsul ditemukan lapisan lipid yang berikatan dengan trisakarida yang spesifik untuk
M.leprae yaitu phenolic glycolipid 1 (PGL-1) (Hirata et al., 1985).
Bakteri M.leprae memiliki berat molekul 2.2 x 109 dalton dengan 3.268.203
pasangan basa yang lebih kecil jika dibandingkan dengan M.tuberculosis Gen yang
terdapat dalam bakteri M.leprae ini berjumlah 2.770 dengan 1.640 gen yang
4
mengkode protein dan 1.116 berupa pseudogen. Hal ini menyebabkan penurunan dari
alur metabolik bakteri ini yang dapat menjelaskan mengapa basil ini memerlukan
kondisi khusus untuk tumbuh dan berkembang biak (Cole et al., 2001).
2.1.3.2 Mekanisme Transmisi
Meskipun patogenesis yang jelas tentang bagaimana kuman kusta menginfeksi
pejamu nya masih belum ditemukan, para peneliti mempercayai bahwa kusta
disebarkan melalui kontak dekat dan lama antara individu yang rentan terinfeksi
dengan penderita kusta. Transmisi ini dapat melalui inhalasi dari basil di dalam
sekresi hidung atau droplet, yang nantinya akan masuk ke dalam tubuh melalui
mukosa hidung. Selain melalui mukosa hidung, kuman kusta dipercaya juga dapat
disebarkan melalui luka pada kulit, darah, ibu ke bayi nya, air susu ibu serta gigitan
serangga (Job et al., 1990).
Pada individu sehat yang tinggal di daerah endemis dapat ditemukan apusan
hidung dengan DNA M.leprae yang positif serta nilai seropositif terhadap antigen
M.leprae yang spesifik menunjukkan bahwa individu ini dapat menjadi carrier dan
memiliki risiko untuk menjadi sumber penularan juga (Job et al., 2008).
2.1.3.3 Imunopatologi
Penyakit kusta dibagi atas spektrum klinis yang bergantung pada respon imunitas
pejamu, dimana pada spektrum tuberkuloid didapatkan respon imunitas seluler yang
dimediasi oleh Th (T helper) 1, interferon gamma (IFN- γ) dan interleukin-2 (IL-2)
sehingga menimbulkan respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen
M.leprae. Secara histopatologi didapatkan pembentukan granuloma yang didominasi
sel T CD4+ dengan lesi kulit serta jumlah basil yang sedikit. Pada spektrum
5
lepromatosa didapatkan respon imunitas yang dimediasi oleh sel Th2 terutama IL-4
dan IL-10 yang didominasi sel T CD8+ dan tidak ditemukannya pembentukan
granuloma pada pemeriksaan histopatologi. Pada spektrum borderline didapatkan
pola reaksi imunitas diantara kedua kutub spektrum kusta ini (Nath dan Chaduvula,
2010; Misch et al., 2010).
Pada saat kuman M.leprae masuk ke dalam tubuh akan dikenali oleh reseptor
imunitas alamiah terutama Toll-like receptor (TLR) 1 dan 2 yang akan mengenali
komponen protein 19-kDa dan lipopeptida dari kuman mikobakterium. Beberapa
reseptor lain yang berperan dalam proses imunologi dari kusta adalah TLR 4,6,8 dan
9, sel dendritik, Dectin-1 dan mincle (Misch et al., 2010).
Hal yang terutama mempengaruhi diferensiasi sel limfosit T naïf adalah
antigen presenting cell (APC) dan komplek TLR melalui pelepasan IL-12, dimana
didapatkan kadar IL-12 yang lebih tinggi pada kusta tipe tuberkuloid. Selain itu
didapatkan juga peningkatan ekspresi pada TLR1 dan TLR2 pada spektrum
tuberkuloid dibandingkan dengan lepromatosa (Renault dan Ernst, 2015).
Selain kulit, saraf perifer merupakan target utama dari kuman M.leprae yang
sering kali menimbulkan keluhan mati rasa atau kecacatan apabila terjadi kerusakan
pada saraf. Kerusakan saraf perifer sendiri dapat disebabkan oleh kuman M.leprae
secara langsung atau akibat reaksi inflamasi akibat respon imun tubuh. Kuman
M.leprae berikatan dengan PGL-1 pada domain G pada rantai α2 laminin-2 pada sel
Schwann. Kuman M.leprae masuk ke intraseluler sel schwann melalui Laminin
binding protein 21 (LBP-21) yang selanjutnya akan terjadi demielinisasi saraf perifer.
Saat saraf perifer sudah terjadi demielinisasi maka M.leprae dapat lebih merusak saraf
karena kecenderungan untuk menyerang akson yang tidak bermielin, yang terjadi
6
pada kusta multibasiler dimana jumlah kuman banyak (Nath dan Chaduvula, 2010;
Renault dan Ernst, 2015).
Pada kerusakan saraf yang disebabkan oleh reaksi imunologis disebabkan oleh
pelepasan sitokin proinflamasi seperti TNF, IL-12, IL-15, IL-16, IL-18 dan IL-1βoleh
makrofag. Sitokin ini juga diinduksi oleh protein 19-kDa yang berikatan dengan
TLR1/2 dan menyebabkan apoptosis dari sel Schwann. Kerusakan saraf yang terjadi
timbul akibat adanya edema dan influks sel inflamasi pada sel saraf sehingga terjadi
kompresi dan iskemia (Misch et al., 2010; Renault dan Ernst, 2015).
2.1.4 Diagnosis
Penyakit kusta dapat didiagnosis menggunakan 3 tanda kardinal, dimana diagnosis
dapat ditegakkan apabila ditemukan satu atau lebih dari tanda kardinal seperti berikut
(Kumar dan Dogra, 2010) :
1. Lesi kulit hipopigmentasi atau eritema yang disertai dengan gangguan atau
hilangnya sensibilitas
2. Keterlibatan saraf tepi yang didapatkan penebalan saraf perifer secara klinis
terutama pada nervus supraorbital, nervus aurikularis magnus, nervus ulnaris,