60 BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI JAWA Pertunjukan teater boneka Potehi merupakan kesenian milik komunitas Tionghoa dari etnis Hokkian yang di bawa ke wilayah pesisir Jawa. Pada perjalanan waktu etnis Tionghoa lainnya yang berada di Jawa merasa ikut memiliki seni pertunjukan Potehi tersebut. Hal ini disebabkan etnis Tionghoa lainnya tidak memiliki kesenian yang dibawa dalam perantauan dan mereka melihat ciri khas Tionghoa dalam pertunjukan Potehi sehingga seni pertunjukan Potehi telah dianggap mewakili perwujudan identitas Tionghoa (Cina). Pada perkembangannya keturunan Tionghoa peranakan di Jawa menganggap Potehi sebagai milik mereka. Para penikmat pertunjukan tersebut tidak terbatas pada masyarakat Tionghoa Peranakan, namun juga suku setempat seperti etnis Jawa. Dewasa ini para sehu teater boneka Potehi banyak berasal dari etnis Jawa. Guna memahami teater boneka Potehi di Jawa, perlu dipahami pula mengenai masyarakat Tionghoa Peranakan sebagai masyarakat pemilik pertunjukan tersebut. Pengetahuan mengenai pemilik teater boneka Potehi akan didapat gambaran utuh mengenai pertunjukan teater boneka Potehi Tionghoa Peranakan. Pertalian Negara Indonesia khususnya
105
Embed
BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
60
BAB II
BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN
DI JAWA
Pertunjukan teater boneka Potehi merupakan kesenian
milik komunitas Tionghoa dari etnis Hokkian yang di bawa ke
wilayah pesisir Jawa. Pada perjalanan waktu etnis Tionghoa
lainnya yang berada di Jawa merasa ikut memiliki seni
pertunjukan Potehi tersebut. Hal ini disebabkan etnis Tionghoa
lainnya tidak memiliki kesenian yang dibawa dalam perantauan
dan mereka melihat ciri khas Tionghoa dalam pertunjukan Potehi
sehingga seni pertunjukan Potehi telah dianggap mewakili
perwujudan identitas Tionghoa (Cina). Pada perkembangannya
keturunan Tionghoa peranakan di Jawa menganggap Potehi
sebagai milik mereka.
Para penikmat pertunjukan tersebut tidak terbatas pada
masyarakat Tionghoa Peranakan, namun juga suku setempat
seperti etnis Jawa. Dewasa ini para sehu teater boneka Potehi
banyak berasal dari etnis Jawa. Guna memahami teater boneka
Potehi di Jawa, perlu dipahami pula mengenai masyarakat
Tionghoa Peranakan sebagai masyarakat pemilik pertunjukan
tersebut. Pengetahuan mengenai pemilik teater boneka Potehi akan
didapat gambaran utuh mengenai pertunjukan teater boneka
Potehi Tionghoa Peranakan. Pertalian Negara Indonesia khususnya
61
Pulau Jawa dengan etnis Tionghoa sudah terjalin ratusan tahun
silam. Hal ini dapat disimak sebagai berikut.
A. Para Perantau Tionghoa
Perantau Tionghoa di wilayah Nusantara sebagian besar
berasal dari Provinsi Fujian, terutama daerah Fujian Selatan.
Arkeolog Belanda, De Flins, dalam penelitian mengenai barang
pecah belah yang digali dari bumi Nusantara menyimpulkan
bahwa sebelum 2000 tahun yang lalu sudah ada orang Tionghoa
yang datang dan bermukim di Banten, Jawa Barat.1 Provinsi
Fujian terletak di pesisir Tiongkok Tenggara dengan kota bandar
yang besar Quanzhou di Fujian Selatan. Kota Quanzhou
merupakan kota penting bagi kegiatan perniagaan yang
berhubungan dengan wilayah luar Tiongkok. Di kota tersebut
sudah didirikan kantor perkapalan.
1. Ekspansi Tiongkok Pada Dinasti Yuan
Pada masa Dinasti Yuan (1271-1368 M) perantau Fujian
Selatan lebih awal datang jika dibandingkan dengan para perantau
dari Provinsi Guangdong. Mereka adalah bagian dari pasukan Tar
Tar yakni pasukan Raja Kubhilai Khan yang hendak menyerang
Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara.
Ketika sampai di Singasari ternyata Raja Kertanegara sudah
meninggal dalam peristiwa penyerangan oleh prajurit Kediri di
1 De Flins dalam Yuanzi, Silang Budaya Tiongkok-Indonesia (Jakarta: PT
Bhuana Ilmu Populer-Kelompok Gramedia, 2005), 184.
62
bawah pimpinan Jayakatwang. Di antara para prajurit Cina
banyak yang disersi atau membelot untuk tidak ikut kembali ke
negeri Tiongkok: „Prajurit yang dipimpin oleh Shi Bi untuk
ekspedisi ke Jawa atas titah kaisar pertama Dinasti Yuan banyak
berasal dari Fujian Selatan. Kemudian mereka menetap di Jawa
dan hidup turun temurun‟.2
2. Ekspansi Utusan Tiongkok Pada Masa Dinasti Song (宋)
Pada abad ke-13, Kerajaan Tiongkok dibawah kaisar
Dinasti Song (宋) mengirimkan utusan sekitar 10.000 orang untuk
datang ke Jawa. Pada saat utusan tiba di Jawa, terjadi kerusuhan
di Tiongkok yang menyebabkan runtuhnya kekaisaran Song (宋).
Hal tersebut membuat para utusan memilih menetap di Jawa dan
tidak kembali ke Tiongkok, seperti ditulis Witanto.
Runtuhnya Dinasti Song (宋) ke tangan penguasa Mongol
pada abad ke-13 M, yang ketika itu bertepatan dengan
sedang berlayarnya utusan resmi Dinasti Song ke Jawa (diperkirakan sekitar 10.000 orang). Kabar buruk ini segera
menyebabkan tidak kembalinya para utusan itu dan kemudian menetap di Jawa.3
3. Ekspansi Muslim Tionghoa Pada Masa Dinasti Ming (明)
Pada periode Dinasti Ming (明) (138-1644) orang-orang
Fujian yang merantau ke Nusantara semakin banyak seperti yang
ditulis Xu Fuyuan,
2 Yuanzi, 2005: 185. 3 Eddy Prabowo Witanto, “Meretas Sejarah Migrasi Etnis Cina ke
Indonesia” (Jakarta: Makalah Seminar Program Studi Cina FS-UI, 2000), 15.
63
Penduduk di pesisir Tiongkok Tenggara, khususnya Provinsi Fujian banyak yang merantau ke tanah seberang
sejak jaman dahulu. Empat daerah yaitu Fuzhou, Singhua, Quanzhou, dan Zangzhou di Fujian masing-masing terletak
di antara gunung dengan laut sehingga kekurangan tanah garapan. Bagi mereka khususnya penduduk Zhangzhou di Fujian Selatan, satu-satunya jalan keluar adalah merantau
ke tanah seberang dengan mengarungi laut. Orang berbondong-bondong merantau ke tanah seberang seperti arus yang bergelora dengan dasyatnya.4
Pada masa Dinasti Ming (明) agama Islam sudah
berkembang di Tiongkok, sehingga banyak orang-orang Tionghoa
muslim datang ke Majapahit. Kehadiran mereka pada abad ke-14
sudah dicatat oleh Pigeaud dalam Java in The 14th Century (1960).
Dikatakan oleh Pigeaud bahwa pada abad tersebut para pedagang
Cina Selatan dan Campa (Vietnam) semakin aktif di Jawa. Pada
abad ke-14 para pedagang Cina sudah memiliki daerah
pemukiman sendiri (Pecinan) di beberapa kota pelabuhan di
pesisir dan sungai besar Jawa. Ada kemungkinan kalau kapal
tambang Hayam Wuruk tahun 1358, mengacu pada masyarakat
kapal yang menyusuri sungai-sungai besar di Jawa Timur,
dimaksudkan untuk mengatur hubungan-hubungan antara
keraton dengan banyak wilayah perdagangan di luar batas
masyarakat agraris Jawa dan wilayah hunian keluarga kelas
menengah yang sebagian orang Jawa-Cina.5 Pada abad ke-15 dan
ke-16, kota-kota pelabuhan yang paling penting di pantai utara
4 Xu Fuyuan dalam Yuanzi, 2003: 186. 5 Th. G. Th. Pigeaud, Java in the 14th Century: A Study in Culture History.
5 Vol (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1960), 477-478.
64
Jawa diduga dihuni masyarakat kelas menengah pedagang dari
keturunan campuran yang mendiami daerah mereka sendiri yang
disebut Pecinan. Mereka menjalin hubungan dikalangan mereka
sendiri, dengan Keraton Majapahit dan juga dengan penguasa
tanah air mereka yakni Tiongkok.6
Kedudukan masyarakat pedagang Tionghoa-Jawa atau
Cina–Jawa (Peranakan) sejak abad ke-14 sangat penting. Banyak
uang logam dan barang-barang keramik Cina yang diimpor ke
Jawa. Uang logam Cina (Chien) berbentuk bulat dengan lubang di
tengahnya dan digantungkan pada tali, menjadi alat tukar di
Majapahit dan fungsinya terus berlaku sampai kini di Bali.7 Gaya
keramik peninggalan Majapahit yang ditemukan membuktikan
adanya pengaruh Cina. Majapahit menjalin hubungan baik dengan
Negeri Tiongkok.
Pada dekade terakhir abad ke-13 Jawa pernah diserbu oleh tentara kaisar Mongol Kubhilai Khan. Jalannya Ekspedisi
ini tercatat dalam naskah Cina daratan maupun naskah-naskah Jawa (lihat Brandes, Pararaton Edisi 2) Hal ini
merupakan peristiwa penting dalam sejarah politik dan budaya Jawa, karena Kerajaan Majapahit yang didirikian pada waktu itu sebagai pengganti kerajaan sebelumnya,
tampaknya menjalin hubungan baik dengan kerajaan Cina. Tukang-tukang Cina banyak bekerja di Istana Majapahit.8
Banyak para pedagang Cina muslim berdiam di wilayah
Majapahit, meskipun ada pula pendatang dari wilayah Hokkian
6 H. J. De Graff, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI, Antara Historis
dan Mitos (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), 180. 7 Pigeaud, 1960: 494-504. 8 De Graff, 2004: 146.
65
yang non-muslim. Seorang laksamana terkenal pada jaman
Dinasti Ming (明) yakni Laksamana Cheng Ho (The Hoo) (郑和) atau
disebut pula Sam Po Bo adalah seorang Kasim beragama Islam. Ia
pernah datang ke Majapahit dalam salah satu ekspedisinya sekitar
tahun 1411.
Laksamana Haji Sam Po Bo merebut daerah Tumapan (Tumapel) di Jawa Timur, dan memberikan itu kepada Raja
Su King Ta (Suhita), Gan Eng Wan, saudara Gang Eng Cu menjadi Gubernur Tumapan bawahan kerajaan Majapahit.
Dialah bupati pertama yang beragama Islam di Kerajaan Majapahit.9
Kaisar Ming (明) menempatkan seorang duta besar
Tiongkok bernama Ma Hong Fu di Keraton Majapahit. Setelah
kematian Ratu Suhita, Ma Hong Fu meninggalkan Majapahit. Ma
Hong Fu adalah menantu Gubernur Campa Bong Tek Kong, putra
dari Panglima Yunnan yang termashyur. Bong Tek Kong
merupakan kakek dari Bong Swi Ho yang dikenal sebagai Sunan
Ampel salah satu dari Wali Sanga yang tertua.
Komunitas Cina di wilayah pesisir utara Jawa kebanyakan
memeluk agama Islam mahzab Hanafi. Di Tiongkok, mahzab
Hanafi berkembang dengan pesat sehingga para Cina muslim yang
datang ke wilayah Indonesia khususnya Jawa pun bermahzab
Hanafi.10 Banyak masjid didirikan oleh komunitas muslim Cina di
9 De Graff, 2004: 7. 10 Mahzab Hanafi merupakan salah satu mahzab fiqih Islam Sunni
yang memiliki jalur Arab, Sriwijaya, Tiongkok dan pesisir utara Jawa. Mahzab
yang dirintis oleh Imam Abu Hanifah ini merupakan mahzab terbesar dengan
66
Jawa pada waktu itu. Bong Swi Ho atau Sunan Ampel menjadi
pemimpin Islam mahzab Hanafi ketika Haji Bo Tak Keng kakeknya
dan Haji Gang Engcu wafat. Bong Swi Ho atau Sunan Ampel juga
berinisiatif menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-
hari dan mendekatkan kaum muslim Cina dengan orang Jawa,
seperti yang tertulis dalam Catatan Tahunan Melayu Semarang
berikut.
Setelah Laksamana Haji Sam Po Bo (Cheng Ho), Haji Bong
Tak Keng dan Haji Gan Eng Cu wafat, maka Bong Swi Hoo terpaksa mengambil inisiatif memimpin komunitas Cina
muslim Hanafi di Pulau Jawa, Kukang dan Sambas yang mulai hancur, tanpa hubungan dengan Tiongkok. Bong Swi Hoo juga mengambil inisiatif untuk beralih ke bahasa Jawa
dan memperkuat komunitas Cina muslim Hanafi dengan orang-orang Jawa. Akibatnya, sangat menentukan sejarah
pulau Jawa.11
Bong Swi Hoo (Sunan Ampel) menyuruh Jin Bun seorang
Tionghoa Peranakan putra dari Kertabhumi dengan seorang
dayang Cina, untuk mendiami daerah di sebelah timur Semarang, 30% pengikut dan dijadikan sebagai mazhab resmi negara semasa kekuasaan
Abbasiyah. Mahzab Hanafi terbuka dengan ide modern. Mahzab ini
meggunakan sumber hukum fikih dari: Al‟quran, Sunnah, Atsar, Qias, Istihsan, Ijma‟, dan Urf.
Mahzab Syiah muncul dari pemahaman bahwa Nur Muhammad hanya
dapat diwariskan kepada keturunan Nabi Muhammad SAW yaitu Hasan dan
Husein. Keduanya gugur dalam pertempuran di Karbela pada tanggal 10
Muharam. Pengikut Syiah memperingatinya lebih penting dari Idul Fitri. Makam Hasan Husein lebih keramat dari Ka‟bah. Mereka mengikuti tasawuf wujudiah
yaitu bahwa segala sesuatu yang berwujud yang terdapat di dunia adalah
percikan sinar Illahi. Manusia merupakan percikan sinar Illahi. Inti ajarannya
adalah: “Saya adalah Tuhan”. Aliran ini di Jawa berkembang di Pajang, Jawa
Tengah bagian Selatan (Yogyakarta).
Mahzab Syafi‟i datang lebih kemudian yang dirintis Muhammad Ibn Idris as-Syafi‟i. Mahzab ini merupakan salah satu mahzab fiqih Islam Sunni.
Penyebaran Mahzab Syafi‟i di Indonesia dilakukan melalui pengkajian kitab-
kitab yang ditulis oleh para ulama Mahzab Syafi‟i, salah satunya Nuruddin ar-
Raniri (wafat 1659 M) yang menulis kitab fiqih dalam bahasa Melayu. 11 De Graff, 2004: 12.
67
di kaki Gunung Muria. Jin Bun ditugaskan untuk membentuk
komunitas muslim mahzab Hanafi karena para Cina muslim
mahzab Hanafi di Semarang sudah banyak yang murtad. Seorang
Tionghoa Peranakan lainnya yaitu Kin San diperintahkan ke
Majapahit untuk menjadi mata-mata, karena sejak kepergian Ma
Hong Fu tidak ada lagi penghubung antara komunitas Cina
muslim dengan Istana Majapahit.
Sekitar tahun 1478 Bong Swi Hoo atau Sunan Ampel wafat.
Chen Jin Wen atau Tan Jin Bun segera memimpin penyerbuan ke
Majapahit. Kertabhumi sang ayah ditawan di Istana beserta tanda-
tanda kebesaran kerajaan diboyong ke Demak tetapi Istana
Majapahit tidak dihancurkan. Tan Jin Bun memerintah Kerajaan
Demak dan disebut Raden Patah. Kin San menjadi Bupati
Semarang dan memerintah Semarang dengan bijaksana. Orang-
orang Cina non-muslim tidak dibasmi bahkan ia menunjuk Gan Si
Cang seorang Tionghoa non-muslim untuk menjadi kapten
masyarakat Tionghoa non-Muslim. Orang-orang Tionghoa non-
muslim patuh kepada kepemimpinan Raja Demak Jin Bun dan
Bupati Kin San. Jin Bun sendiri masih membutuhkan para
Tionghoa non-muslim karena keahlian teknik mereka utamanya di
bidang pembuatan kapal. Kin San membangun kembali galangan
kapal dan penggergajian kayu yang dulu didirikan oleh Sam Po Bo
di Semarang. Galangan kapal inilah yang kelak menjadi tempat
68
pembuatan kapal perang Demak ketika menyerang Portugis di
Malaka.12 Hal menarik adalah para Tionghoa non-muslim ikut
membantu penyelesaian Masjid Demak secara suka rela. Mereka
membuat Saka Tatal yang legendaris di Masjid Demak seperti
kutipan berikut.
Bangunan kayu masjid Demak dibuat oleh tukang-tukang kayu Tionghoa yang sudah sepuluh abad turun temurun
membuat Jung. Tiang besar: Saka Tatal memang benar dibangun menurut konstruksi master kapal di Tiongkok
jaman dinasti Ming. Dikabarkan tiang besar itu dibuat dari kepingan-kepingan kayu yang disusun dengan ketelitian yang tinggi. Tiang itu sangat fleksibel dan sangat tahan
segala angin topan dan segala terpaan air laut.13
‘Saka Tatal‟ dalam legenda para wali di Jawa dipercaya
sebagai buatan Kanjeng Sunan Kalijaga salah seorang dari Wali
Sanga yang terkenal. Menurut legenda ketika Masjid Agung
Demak didirikan, para Wali diberi tugas untuk membuat masing-
masing satu buah saka (tiang) dari kayu jati. Mereka kemudian
mencari gelondongan kayu jati terbaik. Secara serentak mereka
mengerjakan saka (tiang) karena akan dipasang keesokan paginya.
Kanjeng Sunan Kalijaga ketiduran saat para Wali lainnya sedang
mengerjakan saka (tiang) dari kayu jati yang mereka bawa dari
berbagai daerah. Keesokan paginya Sunan Kalijaga baru ingat
harus menyetor satu buah saka (tiang) untuk pendirian Masjid
Agung Demak. Mengingat beliau belum mencari bahan, akhirnya
12 De Graff, 2004: 13-14. 13 Parlindungan dalam H. J De Graff, 2004: 23.
69
beliau melihat serutan-serutan kayu jati yang menumpuk dari
para Wali lain yang telah selesai mengerjakan tugas mereka, maka
dengan kesaktiannya Sunan Kalijaga membuat saka (tiang) dari
serutan-serutan kayu tersebut. Jadilah sebuah saka yang kuat
dan unik, yang disebut Saka Tatal.14 Saka artinya tiang, Tatal
artinya serutan kayu, Saka Tatal adalah tiang yang dibuat dari
serutan kayu. Demikianlah masyarakat menggunakan logika
legenda untuk menjelaskan fenomena keberadaan sebuah tiang
kayu yang dibuat dengan cara menempelkan kepingan kayu tipis
dengan ketelitian tinggi sebagaimana disebut De Graff.
Wali Sanga adalah sembilan orang shaleh yang
menyebarkan agama Islam dan merupakan panutan masyarakat
di Jawa saat itu. Delapan dari mereka merupakan keturunan
Tionghoa yaitu: Sunan Ampel alias Bong Swie Ho, Sunan Drajat
alias Bong Tak Keng, Sunan Bonang alias Bong Tak Ang, Sunan
Kalijaga alias Gan Si Cang, Sunan Gunung Jati alias Du Anbo–Toh
A Bo, Sunan Kudus alias Zha Dexu–Ja Tik Su/Chen Jinwen,
Sunan Giri adalah cucu Bong Swie Ho, Sunan Muria alias Chen
14 Legenda rakyat tentang masjid Demak yang terletak di Jl Sultan
Fatah, Desa Kauman, Demak. Menurut sumber Kompas Minggu 4 Agustus
2013, empat tiang saka guru dibuat oleh empat wali. Sebelah Tenggara buatan
Sunan Ampel, Barat Daya buatan Sunan Gunung Jati, Barat Laut oleh Sunan
Bonang dan Timur laut buatan Sunan Kalijaga. Tinggi tiang utama 19,54 meter
dan diameter 1,45 meter.
70
Yinghua/Tan Eng Hoat.15 Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam
di Jawa diperintah oleh muslim Tionghoa Peranakan (Cina-Jawa)
yang cukup berwibawa untuk beberapa generasi. Pemegang
kekuasaan Demak berturut-turut adalah Raden Patah (Tan Jin
Bun/Chen Jinwen) (1478-1518), Adipati Unus (Yat Sun) (1518-
1521), Trenggana (Tung Ka Lo) (1521-1546), dan Sunan Prawata
(Muk Ming) (1546-1546).16 Akhirnya kerajaan muslim Tionghoa
tersebut dikalahkan oleh serbuan prajurit dari pedalaman Jawa
(wilayah Pengging). Dengan demikian kekuasaan muslim Tionghoa
di Jawa Tengah usai sudah. Di Cirebon kekuasaan muslim
Tionghoa Peranakan justru baru dimulai. Seorang Cina muslim
bermahzab Hanafi memegang kendali tertinggi tahta Cirebon.17
Pada jaman tiga dinasti di atas yakni Dinasti Yuan, Dinasti
Song (宋) dan Dinasti Ming (明) orang-orang Tionghoa (Cina) tidak
terlalu mencolok keberadaannya. Mereka seakan berbaur dengan
masyarakat setempat mengingat dandanan mereka tidak begitu
berbeda dengan masyarakat asli, baik tatanan rambut, baju, dan
lain sebagainya. Masyarakat Tionghoa (Cina) nampak mencolok
ketika masa Dinasti Qing (清), karena orang-orang Tionghoa
dipaksa menggunakan tauwtjang (kucir) bagi para lelaki.
15 Sie Hok Tjwan, The 6th Overseas Chinese State {Australia: Nanyang
Huaren CSES, J. C. Univ. Of N-Queensland, 1990), 154. Lihat De Graff, 2004:
67. 16 De Graff, 2004: 83. 17 De Graff, 2004: 126-130.
71
4. Pendatang Tionghoa pada Masa Dinasti Qing (Chi’ng) (清)
Pada tahun 1770-an (abad ke-18) tatkala Kaisar Yong
Zheng dari Dinasti Qing (Chi‟ng/清), berkuasa di Tiongkok,
Gubernur Zheijiang dari Fujian memberikan laporan pada kaisar
bahwa penduduk yang merantau ke luar negeri Tiongkok
sebanyak 60-70% berasal dari Provinsi Fujian, sedangkan 30-40%
lainnya dari Provinsi Guangdong, Jiangsu dan Zhejiang.18 Para
perantau Tionghoa sejak masa Dinasti Qing (Chi‟ng/清),
diwajibkan memakai tauwtjang (kucir). Pemaksaan ini di Negeri
Tiongkok mengundang pemberontakan besar-besaran
sebagaimana diungkapkan Hembing Wijayakusuma sebagai
berikut.
Di dalam negeri Tiongkok, tauwtjang merupakan
penghinaan dari orang-orang Manchuria ketika menjajah Tiongkok di tahun 1644 M. Semua bermula dari aksi perlawanan rakyat Tiongkok kepada kaisar pertama dinasti
Ch‟ing, Soen-Ti yang menyebabkan kaisar murka dan memaksa rakyat memakai tauwtjang. Alasan mengapa
disebut penghinaan, karena kepala orang yang memiliki tauwtjang pada saat berlutut menyembah kaisar akan
terlihat seperti kuda karena tauwtjcang yang berjuntai mirip dengan ekor kuda.19
Sumber lain mengatakan bahwa pemaksaan penggunaan
tauwtjang (kucir) karena bangsa Manchu sangat memuja kuda.
Bangsa Manchu dulunya adalah suku nomaden, mereka sangat
18 Catatan Song Si Pu Zhi (Titah-titah Kaisar) Vol. 46 dalam Yuanzhi.
tersebut. Kaki dengan telapak mungil merupakan tipologi
kecantikan pada jaman Dinasti Qing (清). Ukuran kecantikan saat
itu makin kecil kaki akan nampak makin cantik.
Gb. 2.2: Wanita Tionghoa Totok dengan kaki kecil.
(Sumber foto: Anonim E, 2009)
Budaya kaki kecil dalam bahasa Tiongkok adalah san cun
cing lian yang artinya San Cun (3 inci), Cing (emas), Lian (gadis),
jika diterjemahkan menjadi kaki kecil tiga inci yang dimiliki gadis
dari keluarga kaya. Menurut Myra Sidarta tradisi kaki lipat atau
tradisi ikat kaki justru sudah berlangsung sejak jaman Dinasti
Song (宋) seperti ungkapan berikut.
Pada usia sebelum remaja, mereka harus menanggung
penderitaan karena kakinya harus diikat demi kecantikan pada masa itu. Tradisi ikat kaki ini telah berlangsung sejak
dinasti Song (宋), dan berlangsung sampai tahun 1917.
Sejak usia lima tahun kaki diikat sedikit demi sedikit
untuk mencegah pertumbuhannya sampai akhirnya hanya berukuran 10-13 sentimeter. Ukuran kaki yang kecil ini
74
dibanding bobot badannya, menyebabkan mereka tidak bebas bergerak karena sulit menjaga keseimbangan, lagi
pula ikatannya menyebabkan kesakitan yang luar biasa.21
Gb. 2.3: Kaki lipat perempuan Tionghoa di era Dinasti Qing.
(Sumber foto: Anonim E, 2009)
Gb. 2.4: Kaki yang terlipat (San Cun Cing Lian).
(Sumber foto: Anonim E, 2009)
Kaki kecil atau kaki lipat seperti gambar berikut adalah
upaya mendapatkan kecantikan standar jaman itu. Seorang anak
perempuan saat berumur tiga atau empat tahun akan dikenakan
21 Sidharta dalam I Wibowo, (ed), Harga yang Harus Dibayar, Sketsa
Pergulatan Etnis di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama & Pusat Studi
Cina, 2001), 107.
75
proses „kaki lipat‟ atau san cun cing lian. Proses tersebut adalah
jari-jari kaki kecuali jempol akan dilipat dengan cara dipatahkan
ke dalam, kemudian dibebat kuat dengan kain. Si anak akan
menderita beberapa bulan sampai kaki tersebut sembuh. Setiap
hari si anak digendong atau ditandu oleh seorang perawat yang
disebut „Mak Cie‟ yang setiap malam bertugas pula merendam kaki
si anak tersebut dalam ramuan obat-obatan tradisional Tiongkok.
Setelah sembuh, tahap yang akan dilakukan selanjutnya adalah
menekuk tungkai ke dalam untuk mempertemukan tumit dengan
bagian depan, sehingga jarak antara jempol kaki dengan tumit
sependek mungkin. Ukuran ideal adalah 3 inci. Pembebatan pun
dilakukan lagi sampai keadaan yang dikehendaki. Proses ini
memakan waktu sampai si anak berusia 11 hingga 12 tahun. Kaki
terlipat merupakan simbol status sosial, kecantikan, keanggunan,
dan derajat seorang wanita. Semakin kecil kaki, semakin cantik
menurut adat saat itu.
Pada masa itu seorang wanita dengan kaki „utuh‟ dianggap
barbar, biadab, dan rendahan, contohnya kelas pekerja, buruh,
pelayan, dayang di istana, dan petani. Para gadis anak bangsawan
atau orang kaya harus tahan menderita demi standar kecantikan
yang berlaku pada masa itu. Cara berjalan para perempuan
Tionghoa dengan kaki yang sudah dilipat disebut sebagai dahan
76
pohon willow yang melambai. Tradisi ini ternyata dibawa pula oleh
sebagian perantau Tionghoa ke Indonesia, Jawa khususnya.
Gb. 2.5: Proses menekuk tungkai agar dekat dengan bagian depan.
(Sumber foto: Anonim E, 2009)
Tradisi telapak kaki kecil di kalangan Tionghoa Peranakan
di Jawa cukup dikenal juga busana celana gombrong, sehingga
sering para wanita Tionghoa dipanggil emak kathok atau nyah
kathok, seperti diungkapkan oleh Eddy seorang keturunan
Tionghoa Peranakan Semarang.
Di Indonesia, mungkin sekarang ini masih ada beberapa wanita usia lanjut yang masih memiliki bentuk kaki yang
demikian. Masa saya kecil, teman-teman angkatan saya masih ada cukup banyak yang mempunyai nenek dengan
kaki yang terlipat. Di Semarang, masyarakat kebanyakan menyebutnya dengan emak kathok (emak celana), yaitu
nenek-nenek yang berpakaian seperti terlihat dalam foto. Kelompok nenek-nenek ini mengenakan celana panjang komprang dengan baju atas lengan panjang seperti dalam
foto. Kelompok ini disebut juga dengan Tionghoa Totok,
77
masih asli dari Cina, merupakan pendatang yang langsung dari Cina masuk ke Indonesia.22
Gb. 2.6: Golden Lilies seorang gadis cantik dengan kaki kecil.
(Sumber foto: Anonim E, 2009)
Kaki kecil yang diyakni sebagai bagian untuk tampil cantik
dan menawan bagi standar kecantikan perempuan Tionghoa
merupakan cara perempuan Tionghoa Ngadi Sarira yaitu cara
untuk mempercantik diri semacam gigi hitam (sisig) bagi
perempuan Jawa tempo dulu, telinga panjang bagi perempuan
Dayak atau leher panjang bagi orang Thailand, dsb. Ketika hal-hal
semacam kucir (tauwtjang), kaki kecil, adat istiadat leluhur dll
masih dipertahankan oleh kaum Tionghoa Peranakan di
perantauan, Jawa khususnya, hal tersebut merupakan
manifestasi sebuah identitas diri bahwa mereka adalah komunitas
yang memiliki pula ciri khas dan budaya.
5. Kedatangan Orang Tionghoa Pada Masa Kolonialisme
22 Lihat Anonim E, 2009.
78
Masa ketika penguasa Kolonial Barat mengembangkan
pertambangan dan perkebunan di berbagai tempat di Asia
Tenggara, termasuk di Indonesia, banyak orang-orang Tionghoa
yang didatangkan atau datang sendiri untuk menjadi kuli atau
pekerja tambang. Kebanyakan dari para buruh ini berasal dari
keluarga-keluarga miskin yang nekad merantau tanpa satu
pengetahuan pun mengenai daerah tujuan, semata-mata dalam
konteks ekonomi untuk memperbaiki taraf hidup mereka. Di
Indonesia, pola ini berlangsung sejak dibukanya banyak
pertambangan emas di daerah Kalimantan Barat.23 Sesudah
Perang Candu pada pertengahan abad ke-19, banyak petani desa
dan penduduk miskin di kota terpaksa merantau ke tanah
seberang untuk mencari nafkah, sehingga jumlah perantau
Tionghoa di Asia Tenggara bertambah pesat jumlahnya. Pada
pertengahan abad ke-20 jumlah perantau Tionghoa di Indonesia
bertambah besar, dengan rincian tahun 1920 bertambah 800.000
orang dan tahun 1930 bertambah menjadi 1.200.000 orang.24
Penduduk etnis Tionghoa di perantauan terus bertumbuh
seiring dengan laju perkembangan yang terjadi di wilayah ini.
Merangkum berbagai kajian yang telah diuraikan di atas, berikut
dipaparkan beberapa fase pertumbuhan penduduk etnis Tionghoa
23 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1983), 194. 24 Pramudya Ananta Tour, Hoakkiau di Indonesia (Jakarta: PT.
Gramedia, 1998), 221.
79
(Cina) di perantauan, sebagaimana diuraikan oleh Anthony Reid
sebagai berikut.
a. Abad ke10-16 M ditandai dengan ciri-ciri: 1) orang-orang Cina, yang kebanyakan adalah para pedagang, umumnya jarang menetap secara permanen, 2) para
pedagang umumnya mengunjungi banyak pelabuhan di Asia Tenggara, 3) dari kebanyakan para pedagang ini, terdapat pula beberapa orang yang kemudian
terasimilasi secara permanen. Umumnya, hal ini terjadi karena pedagang tersebut menikahi wanita setempat
dan kemudian memilih untuk menetap selamanya di tanah baru tersebut.
b. Tahun 1567 - ±1800, ditandai dengan beberapa ciri,
antara lain: 1) permukiman pedagang Cina di kota-kota utama semakin besar dan permanen, seperti misalnya
Batavia, 2) muncul komunitas-komunitas penambang di Pulau Bangka, Kalimantan, sekitar permulaan tahun 1700-an, 3) semakin membesarnya komunitas creole (Peranakan) di Jawa, 4) proporsi penduduk etnis Tionghoa (Cina) atau peranakan Tionghoa mencapai
puncaknya sekitar tahun 1800-an. c. Masa ± tahun 1800–1860, ditandai dengan ciri jumlah
penduduk etnis Tionghoa (Cina) di perantauan
meningkat dengan pasti.25
Demikianlah gambaran mengenai proses migrasi etnis
Tionghoa ke Indonesia dari latar belakang historis. Proses tersebut
terbentuk tidak dalam waktu yang singkat. Hal menarik dalam
proses migrasi etnis Tionghoa adalah tidak hanya khusus terfokus
pada kajian perpindahannya saja, melainkan bagaimana proses
itu mengiringi pembentukan permukiman dan kelompok
masyarakat di tempat baru mereka dalam hal ini di Indonesia.
Proses dialektik antara budaya pendatang dan budaya lokal
25 Roderich Ptak dalam Eddy Prabowo Witanto, “Meretas Sejarah Migrasi
Etnis Cina ke Indonesia”. (Jakarta: Makalah Seminar Program Studi Cina FS-
UI, 2000), 15.
80
memainkan peran penting dan menghasilkan produk tersendiri,
seperti halnya pertunjukan teater boneka Potehi (布袋戲) di Pulau
Jawa yang menggunakan bahasa Melayu (kini Bahasa Indonesia).
B. Wilayah Pecinan: Pemukiman Etnis Tionghoa di Indonesia
Pemukiman orang-orang Tionghoa sudah ada di Indonesia
jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa, terutama di bandar-
bandar perdagangan di sepanjang pantai utara Pulau Jawa.
Struktur pemukiman yang terbentuk saat itu tidak dalam rupa
Chinatown atau Pecinan seperti sekarang ini. Bentuk Pecinan
mulai berkembang mencapai bentuknya yang sekarang sejak
Belanda memantapkan kedudukannya sebagai penguasa tunggal
di Hindia Belanda.26 Pada saat Belanda memantapkan
kedudukannya di Indonesia, penduduk Tionghoa bertambah
banyak dan tersebar secara luas. Pendatang Tionghoa meningkat
pesat ke wilayah Nusantara seiring dengan meningkatnya kegiatan
Belanda dalam mengeksploitasi sumber-sumber kekayaan alam
Indonesia. Wilayah-wilayah yang mengalami peningkatan jumlah
emigran Tionghoa terkait kegiatan eksploitasi alam adalah Pulau
Bangka, Belitung, dan Kalimantan Barat.27 Emigran Tionghoa
tersebut kebanyakan suku Hakka (Kek), Teowchiu, Hokkian, dan
26 Coppel dalam Witanto, “Mengapa Pemukiman Mereka Dijarah? Kajian
Historis Pemukiman Masyarakat Cina di Indonesia”, dalam I Wibowo, (ed), Harga Yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 2001), 194. 27 Witanto, 2001: 195.
81
Kanton (Kwongfu), yang bekerja sebagai buruh tambang. Emigran
Tionghoa yang datang selain didorong oleh aktivitas eksploitasi
tambang dan buruh perkebunan seperti di Sumatera Timur juga
karena aktivitas perdagangan yang meningkat seperti di Jawa,
Sulawesi, dan sebagian Sumatera.
Gambaran umum di hampir sebagian besar wilayah Asia
Tenggara, termasuk Indonesia biasanya berupa jajaran toko-toko
yang menempati tempat-tempat strategis di suatu kota. Hal itu
oleh Rutz disebut The Chinese business district.28 Lokasi yang
sangat disukai orang-orang Tionghoa adalah di sepanjang jalan
besar dan di perempatan-perempatan utama untuk menjajakan
dagangan atau jasa mereka. Potensi yang dimiliki wilayah Pecinan
antara lain: 1. merupakan kawasan hunian sekaligus kawasan
perdagangan, sehingga terjadi kelangsungan kegiatan selama 24
jam, 2. memiliki rumah-rumah tinggal berarsitektur Cina, 3.
memiliki pasar tradisional dengan citra pasar tradisional Cina, 4.
memiliki sosial kemasyarakatan yang berlatar budaya Cina.29
Hunian mereka biasanya memiliki ciri khas arsitektur Cina seperti
gambar berikut:
28 Rutz dalam Witanto, 2001: 196. 29 Wijanarka, Semarang Tempo Dulu, Teori Desain Kawasan Bersejarah,
(Ombak: Yogyakarta, 2007 ), 30.
82
Gb. 2.7: Pecinan di Singkawang.
(Foto repro: Hirwan Kuardhani)
Masyarakat Cina membawa bentuk arsitektur daerah asalnya
untuk tempat tinggalnya seperti penjelasan Rutz berikut ini,
These Chinese immigrants did not adopt the autochthonous method of construction suited to the tropic.With their traditionalist culture, they imported two story form and closed, compac method of building wich distinguish the Chinese district as an independent structural element of the town and cities in the East Indies.
(Imigran Cina tidak mengadopsi metode konstruksi setempat yang sesuai dengan iklim tropis. Dengan budaya
tradisionalnya mereka membawa format dua lantai dan metode bangunan tertutup dan ringkas, yang membedakan
Wilayah pecinan sebagai elemen struktur kota yang independen di Hindia Timur).30
Pada masa pra kolonial pemukiman masyarakat Tionghoa
terbagi atas tiga segmen daerah hunian yaitu: 1. kelas dagang, 2.
kelompok fungsional, 3. kelompok masyarakat biasa.31 Kelompok
kelas pedagang dan kelompok fungsional umumnya menempati
30 Rutz dalam Witanto, 2001: 195. 31 Widodo dalam Witanto, 2001: 197.
83
bagian kota yang paling mudah didatangi dan paling
menguntungkan terkait akses langsung ke jalur transportasi
utama. Kelentheng selalu ada dalam pemukiman Tionghoa dan
biasanya terdapat wilayah pemukiman Tionghoa di luar kelas
pedagang dan kelas fungsional, namun masih dalam lingkup
wilayah Pecinan. Letak kelentheng terdapat pada persilangan
ketiga segmen tersebut. Kelentheng menjadi elemen penting dan
utama dalam sebuah pemukiman masyarakat Tionghoa karena
fungsinya mengikat dan menyatukan ketiga segmen tersebut di
atas. Elemen penting lainnya adalah pasar dan pelabuhan. Pasar
merupakan pusat pertemuan berbagai elemen kelompok sosial
khususnya antara komunitas Tionghoa dengan penduduk
setempat. Pelabuhan merupakan penghubung dengan daerah
luar.32
C. Perayaan Hari Besar Masyarakat Tionghoa di Indonesia
Para warga etnis Tionghoa di Indonesia masih merayakan
hari besar yang berkait dengan peri kehidupan mereka, meskipun
terkadang sudah berbeda dengan tempat asalnya. Beberapa
perayaan yang masih sering dilakukan oleh warga etnis Tionghoa
di Indonesia adalah sebagai berikut.
32 Widodo dalam Witanto, 2001: 197.
84
1. Perayaan Tahun Baru Imlek
Perayaan ini disebut pula pesta musim semi (Cung
Jie/Ch’ung Chieh) di Tiongkok, namun karena di Indonesia tidak
ada musim semi maka warga Tionghoa di Indonesia hanya
menyebutnya dengan hari raya Imlek. Hari raya Imlek dirayakan
pada tanggal 1 penanggalan Imlek yang jatuh pada kisaran akhir
Januari sampai awal Februari pada penanggalan Masehi, misalnya
Tahun Baru Imlek jatuh pada tanggal 29 Januari 2008. Pada hari
raya Imlek biasanya orang-orang Tionghoa akan „mudik‟ seperti
ketika orang Islam merayakan Idul Fitri. Mereka akan berkumpul
bersama selama lima belas hari. Tahun Baru Imlek akan diakhiri
oleh perayaan Cap Go Meh.33
Menjelang datangnya Tahun Baru Imlek terdapat adat
kebiasaan untuk membersihkan rumah tiga atau dua hari
menjelang hari raya. Mereka meyakini ritual membuang barang-
barang yang sudah tak terpakai dan membersihkan rumah akan
membuang aura buruk (kesialan) yang terjadi di tahun
sebelumnya, dan Dewa Dapur Ts’Chung/Caouzhung akan
berangkat ke langit untuk melaporkan semua peristiwa di dunia.
Mereka juga akan mengganti gambar Dewa Dapur yang lama
dengan gambar baru serta mengolesinya dengan madu agar sang
dewa membicarakan hal-hal yang baik saja pada Raja Langit.
33 James Dananjaya, Folklore Tionghoa (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
2007), 365-373.
85
Sehari menjelang Tahun Baru Imlek, warga keturunan Tionghoa
melakukan pemujaan dan memberikan persembahan untuk Dewa
Dapur. Mereka percaya, pada saat tahun baru, Dewa Dapur akan
memberikan penilaian dan melaporkan pada Raja langit. Untuk
itu warga keturunan Tionghoa membuatkan sesajian makanan
untuk Dewa Dapur sebagaimana terlihat pada gambar di bawah
ini.34
Gb. 2.8: Persembahan untuk Dewa Dapur.
(Sumber foto: Anonim F, 2009)
Hal menarik di dalam masyarakat Tionghoa Peranakan di
Jawa adalah masakan persembahan untuk Dewa Dapur berbeda
dengan di negeri asalnya. Masyarakat Tionghoa (Cina) Peranakan
di Indonesia punya menu tersendiri untuk suguhan di meja
persembahan dan saat jamuan makan bersama keluarga. Mereka
menyajikan masakan peranakan yang merupakan perpaduan seni
temanten) seperti itu biasa dilakukan dalam perhelatan
pernikahan di Jawa. Busana mempelai wanita biasanya
menggunakan pakaian pengantin model Dinasti Qing, mempelai
laki-laki mengenakan pakaian perang seperti prajurit jaman kuno.
Kedua mempelai kemudian mencicipi dua belas macam masakan,
hal ini merupakan adat Fujian Selatan. Usai acara pernikahan
para tamu undangan akan berjabat tangan dengan mempelai dan
orang tuanya sebagai ucapan selamat, merupakan hal yang tidak
ditemui di Tiongkok karena hal itu merupakan adat di Jawa.58
57 Lim Thian Joe dalam Yuanzi, 2005: 478-479. 58 Yuanzhi, 2005: 478.
108
E. Upacara Kematian
Upacara kematian suku Tionghoa saat ini sering dilakukan
di tempat atau ruang duka baik di rumah sakit atau rumah
khusus untuk rumah duka. Jika dilihat, begitu ramai aneka
perhiasan rumah-rumahan dengan perlengkapannya dan upacara
yang bising serta pakaian duka cita yang dipakai oleh anak,
menantu dan cucu-cucunya. Mereka mempercayai terdapat
hubungan antara seseorang dengan Tuhan atau kekuatan-
kekuatan lain yang mengatur kehidupan baik langsung maupun
tidak langsung seperti berikut: 1. Cut Sie adalah reinkarnasi bagi
semua manusia yang meninggal, 2. Kokut adalah hukum karma
bagi semua perbuatan manusia, 3. Ceng Beng adalah menjamu
arwah leluhur, 4. Tuapekong adalah menghormati leluhur dan
orang pandai, 5. kutukan para leluhur melalui kuburan dan batu
nisan (bompay) yang dirusak, 6. apa yang dilakukan di dunia akan
dialami di akhirat, 7. kehidupan sesudah mati.59
F. Sistem Religi Masyarakat Tionghoa di Indonesia
Para Tionghoa di Indonesia memeluk bermacam-macam
agama. Mereka beragama Budha, Kong Hu Cu, Tao, Islam, Kristen,
Katolik, dan sebagainya. Tatkala pemerintah meleburkan agama
Kong Hu Cu, Tao, dan Budha menjadi agama Tridarma pada masa
59 Dananjaya, 2007: 347-352.
109
pra Orde Baru, telah banyak berdiri tempat-tempat ibadah
masyarakat Tionghoa seperti kelentheng, vihara dan lithang. Istilah
kelentheng sesungguhnya merupakan istilah yang hanya ada di
Indonesia. Konon istilah itu muncul karena suara lonceng
„theng…theng…theng...‟ yang didengar seorang sais kereta ketika
mengantar orang-orang Tionghoa pergi ke tempat ibadah
mereka.60 Sejak itu tempat ibadah orang Kong Hu Cu disebut
kelentheng atau bio (mio) dan kiong atau gong untuk tempat
ibadah agama Taois. Vihara merupakan asrama (biara) Budhis
dalam istilah Tionghoa adalah sie atau si. Biara untuk kaum Taois
adalah kuan atau guan. Sejak Orde Baru berkuasa, istilah
kelentheng diarahkan menjadi vihara meskipun kurang tepat
dalam fungsi dan penggunaannya sebagaimana kutipan berikut.
Sejak masa pemerintahan Orde Baru, banyak diterbitkan peraturan yang membatasi aktivitas kelentheng dan diarahkan menjadi vihara. Sebenarnya tidak semua
bangunan peribadatan itu disebut vihara, karena kriteria vihara tidak dimiliki oleh kelentheng. Lebih parah lagi, para
pengurus kelentheng selain mengubah nama kelentheng dangan vihara, juga mengganti nama dewata yang
dipujanya. Sungguh merupakan suatu pengingkaran yang irasional. Nama kelentheng yang begitu indah dan puitis
seenaknya diganti dengan kata-kata Sansekerta yang notabene juga berasal dari bahasa asing.61
Banyak bangunan kelentheng yang bersejarah dan bernilai
budaya dirobohkan dengan berbagai alasan pada jaman Orde
60 Wawancara dengan Tio Thiong Gie ketua agama Kong Hu Cu dan
sehu di Klentheng Tay Kak Sie Semarang, 23 Juli 2007. 61 Yoest, Riwayat Kelentheng, Vihara, Lithang di Jakarta & Banten
(Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer-kelompok Gramedia, 2008), 143.
110
Baru. Tulisan Cina sebagai nama kelentheng diturunkan diganti
dengan istilah Sansekerta. Terdapat satu pemaksaan ideologis
yang sesungguhnya merugikan dan menghambat akulturasi
budaya masyarakat Tionghoa dengan masyarakat sekitarnya,
seperti penggantian nama Kelentheng Wan Ji Sie menjadi Vihara
Budhayana, Kelentheng Boen Hay Bio menjadi Vihara Karunayala,
Kelentheng Boen San Bio menjadi Vihara Nimmala, Kelentheng
Boen Tek Bio menjadi Vihara Padumuttara, dan lain sebagainya.
Penggabungan agama Kong Hu Cu, Tao, dan Budha menjadi
agama Tridarma merupakan bentuk pemasungan kebebasan
beribadah bagi umat penganutnya yang mayoritas kaum Tionghoa
Peranakan. Hal ini menjadikan banyak masalah muncul, sebagai
contoh sebuah kasus pernikahan pasangan Budi dan Lany dalam
agama Kong Hu Cu tidak diakui oleh Catatan Sipil karena
dianggap Kong Hu Cu bukan agama melainkan filsafat dan sempat
mengundang polemik panjang. Agama Kong Hu Cu atau
Konfusianisme sejak jaman Orde Baru tidak lagi diakui sebagai
agama di Indonesia melainkan sebagai ajaran etika atau bentuk
filsafat yang mengajarkan kebajikan tertentu.62
Dewasa ini Kong Hu Cu atau Konfusianisme memiliki
fungsi dan kedudukan ganda antara lain sebagai filsafat, budaya,
62 Th. Sumartana, (ed), Konfusianisme di Indonesia Pergulatan Mencari
Jati Diri. Seri Dian III Tahun II (Yogyakarta: Interfidei, 1995), xviii.
111
dan agama. Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Lasiyo sebagai
berikut.
Ajaran Konfusianisme di Indonesia yang juga mendapatkan banyak pengaruh dari konfusianisme di Cina kiranya dapat ditinjau dari sudut etika dan metafisika. Konsep metafisika
dititikberatkan pada ajaran tentang Tuhan, manusia, dan alam semesta. Konsep tentang Tuhan Yang Maha Esa (Thian) sering dikelompokkan menjadi ajaran yang
monoteistik.63
Akibat pelarangan dan urusan yang rumit sejak jaman
Orde Baru, banyak orang Tionghoa yang memeluk agama Kristen
atau Katolik karena tidak ingin dipersulit dalam urusan
administrasi kewarganegaraan. Banyak pula yang menuliskan
agama Budha dalam KTP-nya meskipun mereka menganut agama
Kong Hu Cu atau Taois. Negara dalam hal ini telah mempolitisir
agama sebagai satu kebijakan yang sangat represif terhadap
masyarakat Tionghoa di Indonesia, walaupun dalam UUD 1945
disebutkan adanya kebebasan dalam memeluk dan beribadah
sesuai kepercayaan dan agama yang dianut, namun tidak
demikian dalam praktik di lapangan. Seperti dikatakan Gus Dur,
Memilih agama adalah bagian paling azasi dari hak azasi manusia. Warga Negara mempunyai hak sendiri terlepas dari Negara dalam perkawinan dan agama. Dengan
demikian Negara berfungsi melayani warga Negara, bukan sebaliknya. Kenyataannya ketika kebebasan dan
keterbukaan dicanangkan. Orang masih harus menderita karena sikap negative terhadap agama lain. Kasus penolakan pencatatan oleh kantor Catatan Sipil atas
perkawinan pasangan Kong Hu Cu Budi dan Lany
63 Lasiyo, “Ajaran Konfusianisme, Tinjauan Sejarah dan Filsafat“ dalam
Th. Sumartana, 1995: 21.
112
membuka mata kita bahwa hukum dipakai sebagai alat kekuasaan dan nilai-nilai kemanusiaan diabaikan.64
Gb. 2.15: Vihara Chi Kung di Singkawang.
(Sumber foto: Dinas Pariwisata Singkawang)
G. Binatang Mitologi Tionghoa
Masyarakat Tionghoa masih percaya pada binatang-
binatang mitologi yang diyakini dapat membawa berkah
keselamatan, rezeki, dan umur panjang. Adapun binatang mitologi
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Naga
Naga adalah Tiongkok, demikian termashyurnya naga
sebagai binatang simbol dari masyarakat Tionghoa. Naga
bukanlah monster yang menakutkan bagi masyrakat Tionghoa
siocia (nona), dan sebagainya.82 Adat istiadat Hokkian lama
kelamaan mulai berubah dan disesuaikan dengan keadaan di
Jawa seperti kutipan berikut ini.
Pakaian kaum Tionghoa-Peranakan merupakan kombinasi
antara unsur Jawa dan Tionghoa. Sampai akhir abad ke-19, kaum laki-laki peranakan masih memakai baju Cina panjang (tengsha) dan kopiah batok. Mereka masih
memakai kucir (tauwtjang) dan kalau menyapa mereka ber-soja (membungkuk tanda beri hormat). Sedangkan kaum
wanita peranakan memakai baju kurung atau kebaya. Mereka mengunyah sirih. Ketika menyapa, mereka
berjongkok seperti wanita pribumi.83
81 Suryadinata, 2002: 70. 81 Yuanzhi, 2005: 203-225. 82 Wawancara dengan Toni Harsono (Tok Hok Lay) 5 Agustus 2011 di
Gudo Jombang. 83 Tio Ie Soei dalam Suryadinata, 2002: 71.
jam 18.30 warga Tionghoa harus berada dalam rumah tanpa
menyalakan lampu, jika ada yang keluar rumah akan ditembak.
Berbagai berita dan isu yang saling dilontarkan
menyebabkan suasana chaos hingga akhirnya terjadi sebuah
kebakaran di perkampungan etnis Tionghoa. Hal ini merupakan
pemicu kerusuhan yang berakibat terjadinya pembantaian massal.
Belanda mengerahkan tentara, buruh-buruh pribumi, dan budak
kulit hitam untuk melakukan penjarahan dan pembantaian di
perkampungan etnis Tionghoa. Keesokan harinya pada pukul
09.00 tanggal 10 Oktober 1740, pembunuhan massal belum
mereda bahkan semakin mengerikan. Gubernur Jenderal
Valckenier menginstruksikan kepada kompeni untuk
mengumpulkan warga Tionghoa yang tersisa, termasuk yang ada
di penjara dan rumah sakit. Setelah itu ia kembali memberikan
perintah kepada kompeni dan para budak untuk membunuh
mereka semua. Dikabarkan saat itu Valckenier menjanjikan
hadiah dua dukat per kepala warga etnis Tionghoa yang berhasil
dipancung.94 Pasca terjadinya Tragedi Angke, kondisi
perekonomian di Batavia menjadi hancur karena sesungguhnya
warga Tionghoa-lah penggerak roda perekonomian kota Batavia.
Hal ini sangat merugikan Belanda sehingga mengeluarkan
instruksi untuk memberikan pengampunan kepada warga
94 Sanusi Pane, Sejarah Indonesia (Jakarta: Perpustakaan Perguruan
Kementerian P & K, 1955), 50.
132
Tionghoa yang tersisa dan peraturan surat izin tinggal dihapus.
Warga Tionghoa yang tersisa ditempatkan di wilayah baru yakni
Dietspoort (sekarang bernama Glodog). Belanda menempatkan
sejumlah serdadu guna menjaga agar tidak terulang lagi peristiwa
Tragedi Angke. Warga Tionghoa yang selamat dari pembantaian
tersebut berjumlah sekitar 3.431 jiwa yang terdiri dari 1.442
pedagang, 935 petani, 728 pekerja perkebunan tebu dan
perkayuan, dan 336 tukang kayu dan tukang batu.95 Pada abad
ke-20 sistem opsir pada akhirnya dihapuskan karena dianggap
sudah tidak berguna. Opsir-opsir Tionghoa dianggap simbol
kepentingan Belanda.
b. Sistem Pemukiman
Sistem pemukiman ini diterapkan pada tahun 1835 di
Pulau Jawa. Peraturannya berbunyi: „Orang Timur asing yang
merupakan penduduk Hindia Belanda sedapat mungkin
dikumpulkan di daerah-daerah terpisah di bawah pimpinan kepala
masing-masing. Pada tahun 1866 peraturan tersebut diubah.
Pejabat setempat diberikan kekuasaan untuk tidak melaksanakan
peraturan tersebut jika dipandang tidak perlu. Hal ini berubah lagi
pada akhir abad ke-19. Gubernur Jenderal Belanda memberi
instruksi bahwa sistem pemukiman harus dijalankan dengan
95 Mona Lohanda, The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942: A History of
Chinese Establishment in Colonial Society (Jakarta: Jambatan, 1996), 16.
133
ketat.96 Penerapan peraturan ini menyebabkan warga Tionghoa
Peranakan yang dahulunya sudah membaur lebur dalam
masyarakat setempat menjadi terkucilkan. Kebijakan tersebut
dimaksudkan oleh Belanda untuk memudahkan kontrol atas
kaum Tionghoa Peranakan. Identitas mereka sebagai warga
Tionghoa lebih jelas terlihat.97
Pemisahan warga Tionghoa Peranakan dipertebal dengan
kebijakan daerah tinggal dalam kategori ras (sistem ras). Kategori
pertama, warga Eropa termasuk Belanda. Kategori kedua adalah
warga yang disamakan dengan warga Eropa. Kategori ketiga, para
pribumi Indonesia. Kategori keempat adalah warga Tionghoa
Peranakan dan orang Asia lainnya. Kebijakan inilah salah satu
faktor yang membuat warga Tionghoa menjadi warga eksklusif dan
seolah-olah tidak mau berbaur dengan penduduk setempat.98
c. Peraturan Pas Jalan
Peraturan adanya pas jalan mewajibkan warga Tionghoa
yang bermukim di sebuah wilayah baru boleh meninggalkan
tempatnya jika mempunyai pas jalan (passenstelsel).99 Pas jalan
secara resmi diberlakukan pada tahun 1863. Peraturan pas jalan
ini diberikan oleh Belanda untuk perdagangan dan industri atau
96 William dalam Suryadinata, (ed), 2002: 75-76. 97 Skiner dalam Mackie, 1991: 305. Periksa Witanto, 2001: 200-203. 98 Skiner dalam Mackie, 1991: 306. Periksa Witanto, 2001: 197. 99 Pas jalan merupakan surat jalan atau keterangan perjalanan
berbentuk kartu atau lembaran kertas. Lihat Gb. 2.32 a,b,c,d, pada hal 155.
134
usaha lain yang berguna, namun pas jalan dapat dicabut jika
dipandang mengganggu stabilitas keamanan. Hal ini
sesungguhnya untuk pengawasan lebih ketat oleh Belanda
terhadap kegiatan warga Tionghoa. Warga Tionghoa sampai-
sampai harus membawa pas jalan setiap kali meninggalkan
rumah.100
Sistem Kapitan, sistem pemukiman, sistem pas jalan, dan
sistem status ras yang diterapkan oleh Belanda pada warga
Tionghoa sesungguhnya upaya pemecahbelahan sendi kehidupan
bermasyarakat. Dahulu pada abad ke-15 dan ke-16, para
perantau Tionghoa pun telah mendiami wilayah pecinan yakni
sebuah wilayah tempat para pendatang Tiongkok dan
keturunannya (Tionghoa Peranakan) tinggal di kota-kota niaga tepi
pantai. Namun, interaksi komunitas Tionghoa dengan warga
setempat, dengan Keraton Majapahit, bahkan dengan Negara
Tiongkok terjalin dengan baik dan tidak ada peraturan-peraturan
yang bersifat pengekangan. Wilayah Pecinan kala itu benar-benar
sebuah wilayah tinggal bagi pendatang Tiongkok untuk
memudahkan koordinasi antar sesamanya tanpa bermaksud
eksklusif.
Upaya Belanda inilah yang sesungguhnya menjadi embrio
bagi sistem-sistem pembatasan dan pengekangan warga Tionghoa
100 Suryadinata, (ed), 2002: 76.
135
bahkan berabad-abad setelahnya. Belanda sadar betul bahwa
persatuan dua kelompok ras atau lebih akan membahayakan
kedudukan Belanda seperti bersatunya warga Tionghoa dengan
Jawa. Jika terjadi pemberontakan akan sulit mengatasinya. Hal ini
pernah terjadi ketika sisa-sisa warga Tionghoa lari dari Tragedi
Angke ke Jawa Tengah. Orang-orang Tionghoa bersatu dengan
pasukan Raden Mas Garendi di Surakarta dan bersama-sama
melawan Belanda terlihat pada kutipan berikut.
Pasukan Raden Mas Garendi kemudian bergabung dengan
kawanan etnis Tionghoa Batavia yang ada di Semarang. Selain pasukan Raden Mas Garendi, terdapat pula pasukan lainnya seperti pasukan Mangkuyuda di Bojong,
Mangkubraja di Pakojan, dan Wirasastra di Kaligawe. Diperkirakan terdapat 20 ribu orang pasukan etnis Jawa dibawah pimpinan 20 tumenggung serta sekitar 3500 orang
etnis Tionghoa.101
Perlawanan Raden Mas Garendi bersama dengan pasukan
etnis Tionghoa berhasil merepotkan Belanda meski pada akhirnya
Belanda dapat mengatasinya. Belanda terpaksa mengerahkan
pasukan yang besar dan berhasil menangkap Raden Mas Garendi
kemudian membuangnya ke Srilangka.102 Upaya Belanda untuk
melakukan pemecahbelahan kerukunan masyarakat, utamanya
etnis Tionghoa, dilakukan dengan berbagai cara. Selain cara-cara
yang telah ditempuh seperti tersebut di atas, kemudian diterbitkan
Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang melarang etnis Tionghoa
menjadi petani sehingga warga Tionghoa hanya diperbolehkan
menjadi pedagang perantara.103 Dampak dari aturan ini, jika masa
sebelumnya pendatang Tiongkok dan Tionghoa Peranakan
sebagian membaur dalam kancah masyarakat petani, karena tidak
semua pendatang Tionghoa adalah pedagang kemudian direnggut
untuk keluar dari kehidupan pertanian dan hanya bekerja sebagai
pedagang perantara. Aktivitas sebagai pedagang perantara
memaksa mereka harus tinggal di kota-kota. Di samping sebagai
pedagang perantara, banyak pula warga Tionghoa berdagang
keliling dari rumah ke rumah menjajakan berbagai dagangan
bahkan sampai ke desa-desa. Profesi dagang mereka bermacam-
macam, misalnya, tukang sutra adalah pedagang kain sutra
keliling dengan cara bayar tunai atau dikredit dan tukang
kelontong adalah pedagang keliling menjajakan bermacam-macam
kebutuhan. Ketika menjajakan dagangan alat bunyi kelonthong
dibunyikan „klonthong...klonthong…klonthong….‟ sehingga disebut
tukang kelontong.
103 Wijayakusuma, 2005: 164.
137
Gb. 2.24: Alat kelonthong para pedagang kelontong.
(Sumber foto: Isidore van Kinsbergen 1821-1905, koleksi Priyombodo Prayitno, 2009)
Gb. 2.25: Tukang kelontong di Batavia.
(Sumber foto: Isidore van Kinsbergen1821-1905 koleksi
Priyambodo Prayitno, 2009)
138
Gb. 2.26: Seorang pedagang sutra Tionghoa Peranakan, kain sutra
Cina merupakan kain mewah yang digandrungi para wanita.
Pedagang ini menjual kainnya dari rumah ke rumah. (Sumber foto: Priyambodo Prayitno, 2009)
Gb. 2.27: Tukang sepatu (toekang tambel sepatu)
(Sumber foto: Priyambodo Prayitno, 2009)
139
Gb. 2.28: Tukang patri keliling Tionghoa Peranakan
(Sumber foto: Priyambodo Prayitno, 2009)
Gb. 2.29: Tukang patri Tionghoa dengan asisten orang Jawa.
(Sumber foto: Priyambodo Prayitno, 2009)
Belanda mendirikan Hollands Chines School (HCS). Sekolah
Belanda yang khusus diperuntukkan bagi warga etnis Tionghoa.
Hal seperti ini sesungguhnya memicu rasa tidak suka warga
setempat terhadap etnis Tionghoa. Sekolah bagi warga pribumi
masih merupakan barang mewah, hanya orang-orang tertentu dari
140
golongan bangsawan dan pamong praja yang dapat menikmati,
sementara Belanda justru menyediakannya bagi warga Tionghoa.
2. Jaman Jepang
Periode penjajahan Jepang merupakan periode terburuk di
tanah Nusantara. Para penduduk Tionghoa pun mengalami
penderitaan yang sama dengan penduduk asli lainnya. Pada saat
itu tindak kekerasan oleh Jepang secara fisik dan mental dialami
oleh warga Tionghoa. Aksi kekerasan terhadap Tionghoa muncul
dalam berbagai manifestasi, antara lain, perampokan,
pembunuhan, dan pemerkosaan. Terdapat juga kekerasan dalam
bentuk lain yakni „sunat paksa‟ yang terjadi di berbagai daerah
seperti Bekasi, Kudus, pantai utara Jawa Tengah, Jombang, dan
Kediri.104 Di luar Jawa aksi serupa juga berlangsung dalam skala
yang lebih hebat, namun dengan alasan yang berbeda. Lelaki
dewasa Tionghoa di daerah Kandangan (Kalimantan Selatan)
akhirnya melakukan gerakan „sunat sukarela‟ agar tidak diganggu
Jepang.105 Pada saat yang sama dilaporkan pula terjadinya
pemerkosaan wanita Tionghoa, seperti di Bekasi (50 orang) dan di
pantai utara Jawa Tengah. Selain itu juga terdapat penyanderaan
yang dilakukan oleh gerombolan perampok. Puncak kekerasan
104 Pakpahan, 1261 Hari di Bawah Matahari Terbit (Jakarata: Marisan
Jaya, 1979), 39. Periksa Yang, 1987: 46. 105 Soemarno Sosroatmodjo, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya (Jakarta:
Gunung Agung, 1981), 249.
141
adalah terbunuhnya orang-orang Tionghoa, misalnya, di Kudus,
Bekasi, Jombang, dan Aceh.106
Orang Tionghoa di Jawa Barat pada akhirnya mengambil
cara „membeli keamanan‟ dengan jalan membayar perampok
untuk menjaga harta bendanya. Kesetiaan mereka tertuju pada
mereka yang mampu memberikan jaminan keamanan.
Saat-saat dimana „law and order’ absen, adalah periode yang mengerikan bagi „middleman minority‟ yakni di masa penjajahan Jepang (1942-1945). Periode ini memberikan
banyak contoh, bagaimana „jaminan keamanan‟ bisa mengalihkan loyalitas „middleman minority’, bahkan
terhadap musuh besarnya sekalipun, selama mereka mampu menyediakan keamanan. Pada saat-saat kedatangan bala tentara Jepang (Maret 1942), aparat
keamanan kolonial tiba-tiba menghilang, mereposisikan Tionghoa dari „middlemen minority‟ menjadi „defenceless minority‟ (minoritas tanpa perlindungan).107
Pada saat itu diadakan pendaftaran bangsa asing (Undang-
Undang No. 7 th 1942). Orang Tionghoa lelaki membayar f. 100
dan wanita f. 50 (boleh dicicil). Dengan membayar biaya tersebut,
mereka akan mendapat kartu identitas dan „keamanannya akan
dijamin Dai Nippon‟. Kartu identitas inilah yang merupakan cikal
bakal SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia)
yang menyulitkan warga Tionghoa Peranakan kelak ketika
Indonesia sudah merdeka.
106 Yang, 1987: 44. 107 Didi Kwartanada, “Tionghoa Dalam Dinamika Sejarah Indonesia
Modern Refleksi Seorang Sejarawan Peranakan” (Leiden: Diskusi Terbuka Sapu
Lidi, 5 Juni 2004), 5.
142
Tindakan lain yang dilakukan orang-orang Tionghoa untuk
mendapat keamanan adalah menyuplai perempuan penghibur
(jugun ianfu) kepada tentara Jepang. Motivasi mereka melakukan
hal itu demi „menjilat‟ Jepang untuk mencari selamat. Menurut
pengakuan Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat dalam memori
mereka, penguasa Jepang sering memberi perintah kepada
pemimpin Hua Ch’iao Tsung Hui (HCTH), organisasi Tionghoa
jaman Jepang, untuk menyuplai jugun ianfu. Sebagai akibatnya,
beberapa orang Tionghoa tewas dalam pemberontakan legendaris
yang dipimpin Supriyadi.108
Orang Tionghoa jaman Jepang juga diharuskan memiliki
pas jalan jika ingin bepergian ke luar kota untuk berbagai
keperluan seperti misalnya berdagang. Banyak pedagang keliling
yang mengurus surat jalan untuk melancarkan pekerjaannya.
Surat jalan tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan minoritas
asing, seperti Tionghoa dan Indo, karena mereka dicurigai oleh
Jepang. Surat ini diperlukan untuk seorang pedagang Tionghoa
yang hendak bepergian ke luar kota. Hua Chiao Chung Hui (HCCH)
atau bahasa Jepangnya Kakyo Sokai adalah satu-satunya
organisasi Tionghoa yang diperbolehkan eksis pada zaman yang
108 Didi Kwartanada, “Golongan Tionghoa dan Fasisme Jepang: Jawa
1942-1945“ dalam Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa
Gb. 2.30a, b, c, d: gambar di atas merupakan surat jalan yang diterbitkan oleh Bogor Syuu Hua Chiao Chung Hui untuk
keperluan seorang pedagang kue yang bertempat tinggal di jalan Minami Bandoori. Pedagang tersebut hendak bepergian ke Jakarta,
Bandung, dan Tasikmalaya satu bulan lamanya. Tertanggal 23 Djoegatsu 2603. Menggunakan penanggalan Jepang (Kalender Showa). Jika diterjemahkan dalam penanggalan Masehi adalah: 23
Januari 1943. Surat Jalan dilengkapi tanda tangan ketua dan cap dalam huruf kanji.
(Foto koleksi: Neneng Usman, 2009)
Di masa penjajahan Jepang, pengangguran merupakan
masalah sosial yang utama dan baru bagi kalangan Tionghoa.
Ditutupnya beberapa perusahaan Belanda dan melemahnya sektor
bisnis menjadikan kaum Tionghoa kehilangan pekerjaan terutama
yang bergerak di bidang nonbisnis. Ratusan pengungsi di kota-
kota mendapat bantuan dari organisasi Tionghoa. Banyak
pengungsian memadati sekolah-sekolah dan tempat peribadatan.
Mereka akhirnya mengelola usaha-usaha perdagangan di kios-kios
kecil untuk menyambung hidup. Di samping itu banyak pula yang
„gerakan anti Cina‟ selanjutnya.115 Diterapkan politik benteng yaitu
Tionghoa dilarang membuat perusahaan kalau tidak ada saham
dari etnis lain. Hal ini salah satu kebijakan rasialis pada jaman
Soekarno.116
Dilihat dari fakta yang terjadi di lapangan, pada era 1950-
an hampir semua toko di Indonesia memang dimiliki pengusaha
keturunan Tionghoa. Mulai dari toko kelontong, toko bangunan,
hingga toko makanan. Hal ini dibenarkan oleh pengamat budaya
Betawi, Alwi Shahab, yang menyatakan bahwa pada masa
mudanya di daerah Kwitang merupakan pusat perekonomian di
Jakarta. Masyarakat betul-betul bergantung pada pengusaha
keturunan Tionghoa.
Di Jakarta, sampai akhir 1950-an warga Cina memiliki
toko-toko besar dan kecil di pasar-pasar. Termasuk pedagang keliling berupa tukang kelontong yang dipikul oleh kulinya. Ketika itu, sudah banyak warga Tionghoa
yang tinggal di kampung-kampung Selam (Islam), setelah mereka dibolehkan pindah dari Cina Town Glodok. Dalam
berhitung mereka menggunakan sipoa yang tidak kalah cepatnya dalam menghitung dengan para pedagang
sekarang yang gunakan kalkulator.117
Pada bulan November 1959 Presiden Soekarno
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1959 dan
ditandatangani oleh Menteri Perdagangan Rachmat Mujomisero
115 Tjung Ju Lan, „Empat Masa Persoalan Cina‟ dalam Majalah Tempo,
Edisi 13, 19 Agustus 2007. 116 Gusti Lesek & Sotyati, “Mereka Hilang Entah Kemana“ dalam
Pembaruan Indonesia Media, 3 Maret 2008. 117 Wawancara dengan Alwi Shahab, 30 September 2009 di Jakarta.
149
yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 Nopember 1959
oleh Menteri Muda Kehakiman Sahardjo. Peraturan Pemerintah
tersebut berisi tentang larangan orang asing berusaha di bidang
perdagangan eceran ditingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu
kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga
negara Indonesia. Mereka diharuskan menutup perdagangannya
sampai batas 1 Januari 1960.118 Peraturan ini sebetulnya
dimaksudkan terhadap orang Tionghoa WNA (Warga Negara
Asing/RR Cina). Namun pada kenyataanya, PP tersebut berimbas
pada semua orang Tionghoa baik WNA maupun WNI. Tidak jelas
apakah seluruh keturunan Cina selain WNA dilarang berdagang
dan bermukim di pedesaan karena Pangdam Siliwangi Kolonel
Kosasih pun memaksa mereka pindah.119 Penerapannya memakan
korban jiwa yang dikenal sebagai kerusuhan rasial Cibadak.120 Di
Yogyakarta, para Tionghoa berduyun-duyun keluar dari pedesaan
dan menetap di kampung-kampung kota Yogya. Di Kalimantan
Barat terjadi pembantaian, pengusiran, dan penjarahan harta
benda orang-orang Tionghoa. Akibat PP No. 10/1959, terjadi
eksodus besar-besaran, ratusan ribu WNA dipulangkan ke negeri
leluhur. Karena itu, pemerintah Republik Rakyat Tiongkok sengaja
mengirimkan sebuah kapal untuk mengangkut mereka ke daratan
118 Periksa majalah Tempo, Edisi 13, tanggal 19 Agustus 2007: 94-95. 119 Periksa Republika, Sabtu, 23 September 2006. 120 Periksa majalah Tempo, Edisi 13, tanggal 19 Agustus 2007: 94-95.
150
Cina. Peristiwa yang mengganggu hubungan RI-RRT ini baru
dapat diselesaikan setelah perundingan antara Bung Karno dan
PM Cho En Lai dari Republik Rakyat Tiongkok datang ke
Jakarta.121
4. Masa Orde Baru
Runtuhnya pemerintahan Soekarno dan diganti oleh
Soeharto dengan landasan SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas
Maret) menyebabkan berganti pula sebuah era yaitu Orde lama
diganti dengan Orde Baru. Keruntuhan Orde Lama rupanya ikut
memperparah runtuhnya kegiatan budaya masyarakat etnis
Tionghoa Peranakan di Indonesia. Kegiatan kebudayaan
masyarakat Tionghoa Peranakan yang telah berabad-abad
dilakukan, membaur, dan berakulturasi secara harmonis
mendadak dihentikan. Segera setelah Soeharto memegang tampuk
kekuasaan di republik ini, berbagai aturan dan pelarangan
diberlakukan. Pasca pemberontakan G30S/PKI tahun 1965
Republik Rakyat Tiongkok dicurigai sebagai penyokong gerakan
makar tersebut. Alasan lain adalah agar upaya asimilasi orang-
orang Tionghoa di Indonesia dan keturunannya (Tionghoa
peranakan) dapat berlangsung dengan cepat untuk itu harus
diputus hubungannya dengan seluk beluk negeri Tiongkok.
Dikeluarkanlah Inpres No. 14 Tahun 1967, Surat Edaran
121 Periksa Republika, Sabtu, 23 September 2006.
151
Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967, dan Keputusan
Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978.
Diberlakukan „anjuran‟ bahwa WNI keturunan yang masih
menggunakan tiga nama untuk menggantinya dengan nama
Indonesia sebagai upaya asimilasi. Nama Tionghoa biasanya terdiri
dari tiga suku kata seperti telah dijelaskan di bagian depan. Warga
Tionghoa Peranakan yang kemudian disebut WNI Keturunan
diwajibkan berganti nama atau setidaknya memiliki nama yang
bernuansa Indonesia dan bukan nama Tiongkok seperti Eka Tjipta
Widjaja, Prayoga Pangestu, Tommy Winata. Kadangkala, untuk
mencari aman, Tionghoa yang putih sipit diberi nama Tugimin,
Suratman, Kamijo dan sebagainya. Nama yang bernuansa sangat
Jawa dan ndeso.122 Hal ini banyak dijumpai di kalangan
masyarakat Tionghoa etnis Teowchiu dan Hakka (Kek) di
Kalimantan Barat. Bagi warga Tionghoa yang tinggal di kota
menyiasati nama Indonesia-nya dengan mengambil sebagian suku
kata nama aslinya, seperti, Tan Guan Bun beralih nama Indonesia
menjadi Tanjung Guana dan lain sebagainya.
Hal yang sesungguhya terkesan apriori dan diskriminatif
sampai nama-nama rumah ibadah (kelentheng) harus diganti
dengan nama yang bukan Tiongkok. Nama kelentheng lebih sering
122 Di Pontianak banyak ditemui nama Jawa untuk nama nasional orang
Cina, sebagai contoh ipar adik penulis bernama Tugimin nama Cina-nya A
Cung.
152
diganti dengan nama bernuansa bahasa Sansekerta, sebuah
bahasa yang sesungguhnya pun asing dan bukan asli Indonesia.
Selain itu, pelarangan bagi warga Tionghoa Peranakan (WNI
Keturunan) untuk bersekolah di sekolah asing dan pembatalan
pengakuan agama Kong Hu Cu sebagai agama resmi di Indonesia.
Hal ini berdampak masyarakat Tionghoa yang memeluk agama
Kong Hu Cu pindah ke agama lain yang diizinkan dan sekolah-
sekolah Tionghoa ditutup. Adapun isi Inpres No. 14 Tahun 1967
adalah sebagai berikut.
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO.14 TAHUN 1967
TENTANG AGAMA KEPERCAYAAN DAN ADAT ISTIADAT CINA
KAMI PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
Bahwa agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psycologis,
mental dan moril yang kurang wajar terhadap warganegara Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi, perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada
proporsi yang wajar.
Mengingat:
1. Undang-undang Dasar 1945 pasal 4 ayat 1, dan pasal 29 2. Ketetapan MPRS No XXVII/MPRS/1966 Bab III pasal 7, dan
penjelasan pasal 1 ayat (a)
3. Penjelasan Presidium Kabinet no.3/ U/IN/6/1967 4. Keputusan Presiden 171 tahun 1967.jo.163 tahun 1966
Menginstruksikan kepada: 1. Menteri Agama 2. Menteri Dalam Negeri
3. Segenap Badan Badan dan Alat Pemerintah di Pusat dan Daerah.
153
Untuk melaksanakan kebijaksanaan pokok mengenai agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina sebagai berikut:
PERTAMA:
Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan
menunaikan ibadatnya, tata cara ibadah Cina yang memiliki aspek affinitas cultural yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam
hubungan keluarga atau perorangan.
KEDUA:
Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina
dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.
KETIGA:
Penentuan kategori agama dan kepercayaan maupun pelaksanaan cara-cara ibadat agama, kepercayaan dan adat
istiadat Cina diatur oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung (PAKEM)
KEEMPAT:
Pengamanan dan penertiban terhadap pelaksanaan kebijaksanaan pokok ini diatur oleh Menteri Dalam Negeri
bersama-sama Jaksa Agung.
KELIMA:
Instruksi ini berlaku pada hari ditetapkan
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 6 desember 1967 PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO Jenderal TNI
154
Dengan landasan Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967
tersebut, segala aktivitas masyarakat Tionghoa di Indonesia yang
berkaitan dengan kebudayaan bagaikan ditebas. Semua aspek
kegiatan budaya baik kesenian, ritual keagamaan, upacara adat,
dan perayaan hari besar dan keagamaan benar-benar „dipasung‟.
Pertunjukan teater boneka Potehi pun mengalami masa suram dan
pelarangan pentas untuk publik. Pemerintah melarang adanya
pementasan teater boneka Potehi untuk umum secara terang-
terangan. Pentas hanya diperbolehkan dilaksanakan di dalam
kelentheng tanpa menggunakan pengeras suara. Perizinan bagi
perayaan di dalam kelentheng yang akan dipergelarkan
pertunjukan Potehi sering dipersulit seperti yang dialami Thio
Tiong Gie pada pentas di awal tahun 1967. Usai pentas seperti
biasa Thio Tiong Gie mendapat angpao (amplop merah) dari para
penggemarnya. Angpao dalam tradisi Tionghoa adalah amplop
merah berisi uang hadiah. Di dalam salah satu angpao yang
dibuka Thio ada surat yang isinya pendek „Besok pagi harap
datang ke kantor Kodim‟ sebuah kalimat yang membuatnya
gelisah. Keesokan harinya Thio segera menghadap ke Kodim dan
di sana ia diinterogasi. Ada dua pertanyaan yang ditekankan
pejabat Kodim. Pertama, soal bahasa yang dipakai dalam pentas
Potehi. Kedua, gambar bunga yang terdapat pada sebuah kain
yang dipakai sebagai properti pentas. Menurut jawaban Thio
155
bahwa bahasa dalam Potehi menggunakan bahasa Indonesia
sebagai kelanjutan dahulu bahasa Melayu Rendah atau Melayu
Pasar. Hanya saja pada bagian tertentu sepert nyanyian dan sulian
pek masih memakai bahasa Tiongkok. Untuk gambar bunga
sesungguhnya adalah gambar bunga cung hwe simbol dari
kelanggengan. Bunga cung hwee dipandang oleh pejabat Kodim
sebagai bunga teratai yang merupakan lambang organisasi
Baperki, sebuah organisasi yang dianggap pemerintah Orde Baru
dekat dengan PKI. Akhirnya pentas tahun 1967 tersebut
merupakan pentas terakhir bagi Thio di depan umum selama
masa Orde Baru.123 Perihal pembatasan pentas dialami pula oleh
sehu Poteh lainnya yaitu Sesomo dari Jombang.
Pada masa Orde Baru wayang Potehi, seperti halnya kebudayaan Tionghoa lainnya, mengalami tekanan.
Wayang Potehi sempat mengalami masa kesuraman sekitar tahun 1970-1990-an berkaitan dengan pelarangan pemerintah terhadap kebudayaan Tionghoa. Pada waktu
itu para dalang Potehi sangat sulit mendapatkan kesempatan bermain. Terkadang ada yang telah
menyediakan dana, tetapi justru perizinannya sulit keluar.124
Pelarangan-pelarangan terhadap segala sesuatu yang
berkait dengan budaya Tionghoa merambah pula ke ranah
intelektual. Prof. Slamet Mulyana di dalam bukunya yang berjudul
Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara
123 Wawancara dengan Thio Tiong Gie, 20 Januari 2010 di Gang Lombok
Semarang. 124 Wawancara dengan Sesomo, 3 Februari 2008 di Ketandan
Yogyakarta. Simak pendapatnya yang dilansir harian Kompas, 11 Maret 2003.
156
Islam di Nusantara mengungkapkan bahwasanya raja-raja Islam
jaman Demak serta para Wali Sanga penyebar agama Islam adalah
orang-orang keturunan Tionghoa. Buku tersebut pada tahun 1971
dilarang beredar.125 Menurut pemerintah Orde Baru karena isi
buku tersebut sangat peka dan pemerintah menilai menyangkut
masalah SARA. Alasan yang sesungguhnya dibuat-buat dan
merupakan pengingkaran sejarah. Jika saja buku-buku sejenis
dengan tulisan Prof. Slamet Mulyana tidak dilarang beredar,
dimungkinkan masyarakat luas akan membaca dan
mencermatinya. Justru ketika masyarakat mengetahui bahwa Wali
Sanga, panutan dalam siar Islam, adalah keturunan Tionghoa dan
para raja Kerajaan Demak adalah keturunan Tionghoa mungkin
masyarakat akan menerima keberadaan komunitas Tionghoa
dengan lebih baik.
Diskriminasi terhadap kaum Tionghoa hampir mendera di
segala lini kehidupan mereka. Peristiwa di Kalimantan Barat pada
1967 menyebabkan 42.000 Tionghoa mati ditambah dengan
tuduhan komunis bagi orang-orang Tionghoa. Hal ini membuat
harta benda kaum Tionghoa dijarah. Adanya isu bahwa mereka
ingin mendirikan negara Tionghoa di Kalimantan Barat makin
memperparah keadaan. BAKIN pun mengawasi gerak-gerik
125 Sie Hok Tjwan, “The 6th Overseas Chinese State“ dalam Nanyang
Huaren (Australia: CSEAS, J. C. Univ. of N-Queensland, 1990), 65-99.
157
masyarakat Cina melalui sebuah badan yang bernama Badan
Koordinasi Masalah Cina (BKMC).126
Di wilayah Yogyakarta, khususnya, hak-hak mereka
semakin dipangkas. Orang-orang Tionghoa di Daerah Istimewa
Yogyakarta tidak diperbolehkan memiliki tanah. Berdasarkan
Instruksi Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No.
K.898/I/A/1975. Mereka hanya diperbolehkan memiliki HGB (Hak
Guna Bangunan) yang hampir seperti menyewa sepanjang masa.
Larangan tersebut sebenarnya bertentangan dengan Hukum
Agraria Nasional, UU No. 33 Tahun 1984 yang mewajibkan
penerapan secara penuh UU No. 5/1960 di Derah Istimewa
Yogyakarta. Terbitnya UU No. 12 tahun 2006 sesungguhnya dapat
menganulir pula Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No.
K.898/I/A/1975 dalam hal pemberian hak atas tanah kepada WNI
Keturunan Tionghoa. Implementasi Instruksi Kepala Daerah
Yogyakarta sesungguhnya sudah tidak relevan jika dikaji dari tata
urutan perundangan, azas preferensi hukum, dan perkembangan
hukum saat ini. Pada kenyataannya Instruksi Gubernur DIY
masih saja diberlakukan.
Permasalahan tersebut di atas sedikit mendapat penjelasan
dari seorang aktivis Komunitas Keistimewaan DIY H. M. Yzazir ASP
dalam acara talk show di Stasiun TVRI Yogyakarta. Dikatakan
126 Tjwan, 1990: 65-99.
158
bahwa dengan dikuatkannya Undang-Undang Keistimewaan DIY,
maka DIY dapat leluasa mengatur rumah tangganya yang dapat
dimanfaatkan oleh rakyat DIY, salah satu contoh, peraturan
kepemilikan tanah di DIY. Ada dua jenis status tanah di DIY yaitu
tanah keraton dan bukan tanah keraton. Status kepemilikan
tanah untuk warga nonpri, misalnya, warga Cina di DIY hanya
diperbolehkan berstatus HGB (Hak Guna Bangunan). Hal ini
sesuai dengan Keistimewaan DIY. Dahulu dalam perjajian warga
Cina dengan Sultan HB II disebutkan bahwa warga Cina diberi
wilayah-wilayah strategis, tetapi tidak boleh memilikinya karena
keraton memiliki wewaler (aturan) mengenai status tanah yakni
handarbeni (hak milik) dan hak guna bangunan.127
Sejak awal berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta
Hadinigrat sesungguhnya telah terjadi hubungan baik antara
Sultan Yogyakarta dengan kaum Tionghoa. Masyarakat Tionghoa
sudah berada di Yogyakarta sejak kota tersebut didirikan tahun
1756. Pada waktu itu pemerintah Kolonial Belanda telah
mengangkat seorang kapitan Tionghoa bernama To In untuk
memimpin komunitas Tionghoa.128 Kaum Tionghoa ikut
membangun kota Yogyakarta. Sultan mempercayakan pada orang
Tionghoa untuk mengurusi administrasi penagihan aneka pajak di
wilayah Yogyakarta dan daerah kekuasaannya. Sultan
127 Talk show, 3 Desember 2012, TVRI Yogyakarta. 128 Susanto dalam Wibowo, 2001: 63.
159
Hamengkubuwono II bahkan mengambil seorang perempuan
Tionghoa sebagai selirnya. Jasa kaum Tionghoa pada saat ada
peperangan di Yogyakarta pada abad 18 adalah sebagai penyedia
logistik untuk pasukan sultan sehingga sultan menghadiahi
sebidang tanah di dekat keraton yang kemudian didirikan sebuah
kelentheng. Pada tahun 1813 seorang kapitan Tionghoa Tan Jin
Sing diangkat menjadi bupati oleh sultan dan mendapat gelar
Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat.129
Diskriminasi yang kemudian dialami oleh komunitas
Tionghoa di Yogyakarta dan daerah lain agaknya sudah dianggap
hal yang biasa. Meskipun demikian, di wilayah Yogyakarta
komunitas Tionghoa cukup mendapat „jaminan‟ keamanan. Sejak
dahulu masyarakat Tionghoa di Yogyakarta tidak pernah
mengalami kekerasan meskipun pernah terjadi kerusuhan anti
Cina di Solo dan sekitarnya, namun tidak merambah Yogyakarta.
Hal ini diduga disebabkan pula masyarakat Tionghoa hidup
membaur dan sederhana. Mereka kebanyakan pedagang kelas
menengah ke bawah, pegawai, dokter, guru, dosen, dan lain-lain
serta jarang yang menjadi pengusaha kelas atas atau konglomerat.
Hal ini merupakan salah satu penyebab tidak adanya kesenjangan
sosial dan tidak adanya kecemburuan etnik karena kekayaan. Di
wilayah lain tidak ada pelarangan atas kepemilikan tanah.
129 Susanto dalam Wibowo, 2001: 79.
160
Pelarangan hanya diberlakukan bagi Tionghoa penduduk Daerah
Istimewa Yogyakarta.130 Soeharto pertama kali mencabut SBKRI
pada 1986 dengan Keppres No. 56/1986. Namun, pada
kenyataannya masih efektif berlaku. Pada 1998, B. J. Habibie
melakukan pencabutan sekali lagi walaupun tidak jelas apa yang
dicabut. Setelah itu Gus Dur menyatakan tidak ada diskriminasi
lagi. Pada praktiknya di lapangan SBKRI tetap saja diminta sampai
sekarang.131 Peraturan yang dibuat mengambang justru membuka
peluang besar adanya korupsi dan pungli (pungutan liar)
merajalela dan semakin parah. Hal ini bisa terjadi karena
peraturan pelaksanaan dalam tingkatan yang lebih rendah, yakni
SKB Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri No. M.01-
UM.09.03-80 dan No. 42 Tahun 1980 yang tidak dicabut sampai
sekarang. Karena itu, ketika warga Tionghoa akan membuat
paspor atau membuat surat-surat yang lain tetap harus
menyertakan SBKRI. Jika tidak punya, mereka harus meminta
turunannya dari Depkeh (sekarang Depkumdang) atau pengadilan
negeri, di sinilah terjadi celah pungli (pungutan liar).
5. Era Reformasi
130 Penjelasan Notaris Diduk Suparminingsih, 2 Mei 2007 di Yogyakarta.
Didukung wawancara dengan penari Didik Nini Thowok, 4 Februari 2010 di Yogyakarta. Didik tidak diperkenankan memiliki sertifikat hak milik atas tanah
yang baru dibelinya ketika mendatangi BPPN Yogyakarta karena beliau Cina
dan hanya diizinkan memiliki HGB atas tanah tersebut. 131 Wawancara dengan beberapa orang Cina termasuk adik ipar penulis,
Meri Liliana, 1 Desember 2007 di Yogyakarta.
161
Selama 32 tahun rezim Soeharto berkuasa di Indonesia,
pada akhirnya terjadi kemelut di dalam negeri sehingga
menyebabkan aksi damai „melengserkan‟ Soeharto. Wakil Presiden
Habibie menggantikan Soeharto sampai diselenggarakannya
Pemilihan Umum (Pemilu). Hasil Pemilu menetapkan
Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur
menjadi Presiden RI. Hal monumental pertama yang dilakukan
oleh Gus Dur adalah mencabut Inpres No. 14 tahun 1967. Beliau
mengeluarkan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2000 yang isinya
sebagai berikut.
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2000
TENTANG
PENCABUTAN INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 14 TAHUN 1967 TENTANG AGAMA, KEPERCAYAAN, DAN ADAT ISTIADAT CINA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
1. Bahwa penyelengaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hakikatnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak azasi manusia.
2. Bahwa pelaksanaan Instruksi Presiden nomor 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina,
dirasakan oleh Warga Negara Indonesia Keturunan Cina telah membatasi ruang geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadatnya.
3. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut dalam huruf a dan b, dipandang perlu mencabut Instruksi Presiden nomor 14
tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat Istiadat Cina dengan Keputusan Presiden.
162
Mengingat: 1. Pasal 4 ayat (1) dan pasal 29 Undang–Undang Dasar 1945
2. Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak azasi manusia (lembaran Negara tahun 1999 Nomor 165,
Tambahan lembaran Negara nomor 3886)
MEMUTUSKAN
Menetapkan:
KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PENCABUTAN INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 14 TAHUN 1967 TENTANG AGAMA,
KEPERCAYAAN, DAN ADAT ISTIADAT CINA.
PERTAMA:
Mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan,dan Adat Istiadat Cina.
KEDUA:
Dengan berlakunya keputusan Presiden ini, semua ketentuan Pelaksanaan yang ada akibat nstruksi Presiden Nomor 14
tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan adat istiadat Cina Tersebut dinyatakan tidak berlaku.
KETIGA:
Dengan ini menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaanDan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin Khusus sebagaimana berlangsung selama ini.
KEEMPAT:
Keputusan presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 17 Januari 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Sejak dikeluarkannya Inpres tersebut kegiatan budaya dan
keagamaan masyarakat Tionghoa di Indonesia, khususnya di Jawa
mulai marak kembali.
163
Menyimak uraian di atas terlihat bahwa pertunjukan teater
boneka Potehi mengalami pasang surut. Pada jaman penjajahan
Belanda, kegiatan berkesenian masyarakat Tionghoa tidak
mengalami hambatan. Pada masa penjajahan Jepang, kesenian
Tionghoa termasuk pertunjukan Potehi mendapat dukungan dari
pemerintah Jepang. Pada masa kemerdekaan meski terjadi
beberapa konflik politik antara Cina dan Indonesia, namun tidak
mempengaruhi kegiatan berkesenian masyarakat Tionghoa.
Mereka bebas menggelar berbagai perayaan keagamaan dan
pentas seni termasuk teater boneka Potehi pada era Orde Lama
tersebut. Pada era Orde Baru, segala kegiatan kesenian dilarang
berpentas di depan umum dan hanya diperbolehkan berpentas
dalam kelentheng untuk kepentingan ritual keagamaan.
Orde Reformasi menggantikan Orde Baru setelah Rezim
Suharto berkuasa selama 32 tahun. Presiden Abdurrahman Wahid
membolehkan masyarakat Tiongha melaksanakan kegiatan
keagamaan dan kesenian secara terbuka dan leluasa termasuk
pentas Potehi. Sehu Thio Tiong Gie berpentas untuk umum
pertama kali pada acara Seminar Tradisi Lisan Nusantara tahun
1998 di Taman Ismail Marzuki. Hal tersebut mengundang minat
para peserta seminar. Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid
memberikan cahaya terang bagi keberlangsungan seni
pertunjukan boneka Potehi. Pada bab berikut akan di bahas
164
secara mendetail mengenai seluk beluk pertunjukan boneka Potehi
Tionghoa Peranakan di Jawa. Di awali dengan bentuk-bentuk
panggung Potehi, boneka Potehi dan cara pembuatannya, para
dalang yang ada di belakang pertunjukan Potehi, lakon dan
pementasannya, fungsi pertunjukannya, dsb. Hal ini dimaksudkan
untuk memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada
pembaca disertasi ini agar mendapat gambaran yang jelas
mengenai teater boneka Potehi milik komunitas Tionghoa