25 BAB II BISNIS SEKTOR RIIL DAN PEMASARAN DALAM ISLAM A. Bisnis dalam Sektor Riil Bisnis sektor riil merupakan perdagangan komoditas dan produk industri. Bisnis secara umum merupakan kegiatan dalam masyarakat yang berkaitan dengan industri. Aktivitas bisnis berusaha menggunakan sumber daya manusia, material, waktu, dan mengelola risiko. Pihak yang menjalankan kegiatan bisnis disebut wirausaha (enterpreneur). Untuk menjalankan kegiatan bisnis, enterpreneur harus mampu mengombinasikan berbagai macam sumber daya, diantaranya human, material, financial, teknologi dan informasi dengan sasaran produksi, distribusi, dan konsumsi. 1 Mengkaji tentang bisnis, tidak dapat lepas dari kajian ekonomi, karena bisnis merupakan bagian dari kegiatan ekonomi. Secara spesifik masuk dalam kajian ekonomi mikro. Ekonomi adalah suatu studi mengenai bagaimana orang menjatuhkan pilihan yang tepat, untuk memanfaatkan sumber daya produktif (tanah, tenaga kerja, barang, modal, mesin, pengetahuan teknik dan wirausaha) yang langka dan terbatas jumlahnya untuk menghasilkan berbagai barang, serta mendistribusikannya kepada pelbagai anggota masyarakat untuk mereka pakai atau dikonsumsi. 2 1 Ismail Nawawi, Isu-Isu Ekonomi Islam, Kompilasi Pemikiran dan Teori Menuju Praktik di Tengah Arus Ekonomi Global, Buku 4, Nalar Bisnis, (Jakarta: VIV Press, 2012), 1. 2 Ibid., 2.
68
Embed
BAB II BISNIS SEKTOR RIIL DAN PEMASARAN DALAM ISLAM …digilib.uinsby.ac.id/735/5/Bab 2.pdfBAB II BISNIS SEKTOR RIIL DAN PEMASARAN DALAM ISLAM A. Bisnis dalam Sektor Riil Bisnis sektor
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
25
BAB II
BISNIS SEKTOR RIIL DAN PEMASARAN DALAM ISLAM
A. Bisnis dalam Sektor Riil
Bisnis sektor riil merupakan perdagangan komoditas dan produk industri.
Bisnis secara umum merupakan kegiatan dalam masyarakat yang berkaitan
dengan industri. Aktivitas bisnis berusaha menggunakan sumber daya manusia,
material, waktu, dan mengelola risiko. Pihak yang menjalankan kegiatan bisnis
disebut wirausaha (enterpreneur). Untuk menjalankan kegiatan bisnis,
enterpreneur harus mampu mengombinasikan berbagai macam sumber daya,
diantaranya human, material, financial, teknologi dan informasi dengan sasaran
produksi, distribusi, dan konsumsi.1
Mengkaji tentang bisnis, tidak dapat lepas dari kajian ekonomi, karena
bisnis merupakan bagian dari kegiatan ekonomi. Secara spesifik masuk dalam
kajian ekonomi mikro. Ekonomi adalah suatu studi mengenai bagaimana orang
menjatuhkan pilihan yang tepat, untuk memanfaatkan sumber daya produktif
(tanah, tenaga kerja, barang, modal, mesin, pengetahuan teknik dan wirausaha)
yang langka dan terbatas jumlahnya untuk menghasilkan berbagai barang, serta
mendistribusikannya kepada pelbagai anggota masyarakat untuk mereka pakai
atau dikonsumsi.2
1 Ismail Nawawi, Isu-Isu Ekonomi Islam, Kompilasi Pemikiran dan Teori Menuju Praktik di Tengah Arus Ekonomi Global, Buku 4, Nalar Bisnis, (Jakarta: VIV Press, 2012), 1. 2 Ibid., 2.
26
Masalah ekonomi, secara singkat dapat dikatakan sebagai fenomena
masyarakat yang berusaha untuk mencapai kebutuhan dan kemakmuran. Manusia
dalam mencapai kemakmuran tersebut, dapat menempuh melalui bisnis. Melalui
bisnis, kebutuhan dan kepuasan manusia secara material dan ekonomis akan
terpenuhi. Hal ini dapat dikatakan bahwa bisnis merupakan unit ekonomi atau
kesatuan organisasi ekonomi.
Peristilahan bisnis berasal dari bahasa Inggris, business yang berarti usaha,
dagang dan bekerja. Dalam Kamus Ekonomi Bisnis (business)3 adalah suatu
kegiatan yang bersifat mencari keuntungan, suatu kegiatan komersial atau
kegiatan yang menggunakan modal tertentu untuk memperoleh laba. Sedangkan
bisnis secara konseptual dalam berbagai literatur, beberapa penulis menyebutkan
antara lain menurut Boone dan Kurtz4 bisnis merupakan aktivitas yang bertujuan
mencari laba, perusahaan yang menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan
oleh sebuah sistem ekonomi. Sebagian bisnis menghasilkan barang-barang
berwujud, seperti mobil, sereal untuk makan pagi, dan chip-chip komputer.
Sebagian lainnya memproduksi jasa asuransi, konser musik, penyewaan mobil,
dan penginapan.
Sementara Hughes dan Kapoor dalam Alma5 menyatakan: “Business is the
organized effort on individuals to produce and sell for a profit, the goods and
services that satisfy society's needs. The general term business referes to all such 3 Henricus Ismantono, Kamus Istilah Ekonomi dan Bisnis, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), 2. 4 Boone dan Kurtz, Contemporary Business, (Jakarta : Salemba Empat, 2010), 8. 5 Buchari Alma dan Donni Juni, Priansa, Manajemen Bisnis Syariah, (Bandung: Alfabeta 2009), 21.
27
within a society or within an industry”, bisnis adalah suatu kegiatan usaha
individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna
mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Secara umum
kegiatan ini ada di dalam masyarakat dan industri. Jadi, orang yang berusaha
menggunakan uang dan waktunya dengan menanggung dan mengelola risiko
dalam menjalankan kegiatan bisnis disebut wirusaha (entrepreneur).
Dalam kegiatan bisnis, seorang enterpreneur setidaknya perlu mengetahui
hal-hal sebagai berikut6, yaitu:
1. Menentukan tujuan. Dalam pengelolaan bisnis, manajemen harus
mengetahui arah ke mana bisnis akan dibawa.
2. Mengetahui lingkungan bisnis. Lingkungan bisnis dibedakan atas 2 (dua),
yakni lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal terdiri atas
skill manajemen, pemegang saham, modal dan peralatan fisik, serta
informasi. Sementara lingkungan eksternal terdiri dari dua komponen, yakni
lingkungan khusus dan umum.
3. Mengetahui lingkungan khusus di mana kegiatan bisnis itu dilakukan. Hal
ini berkaitan dengan keadaan konsumen, pemasok, pesaing, dan kelompok
kepentingan (pressure group).
4. Mengetahui lingkungan umum, meliputi berbagai faktor, antara lain kondisi
ekonomi, politik dan hukum, sosial budaya, demografi, serta teknologi dan
kondisi global.
6 Ismail Nawawi, Isu-isu Ekonomi Islam, Nalar Bisnis, 161.
28
Pendapat lain dikemukakan oleh Skiner, sebagaimana yang dikutip oleh
Ismail Nawawi7 bahwa bisnis adalah pertukaran barang dan jasa atau uang yang
saling menguntungkan atau memberikan manfaat. Sedangkan pengertian dasar
bisnis adalah suatu pelayanan melalui jual beli suatu barang (the buying and
selling of goods and service). Mahchfud8 mengemukakan bahwa bisnis adalah
usaha perdagangan yang dilakukan oleh sekolompok orang yang terorganisasi
untuk mendapat laba dengan memproduksi dan menjual barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan konsumen.
Dalam aktivitas bisnis proses ekonomi perlu dilaksanakan. Proses tersebut
terdiri atas produksi, distribusi dan konsumsi. Oleh karena aktivitas bisnis
dititikberatkan pada produksi dan distribusi, sedangkan konsumsi dilakukan oleh
konsumen bagi businessman. Akhirnya dapat dikemukakan arti dari bisnis yang
masing-masing menunjukkan hubungannya dengan ekonomi, sebagai berikut :
1. Bisnis adalah kegiatan untuk menghasilkan dan mendistribusikan
barang-barang dan jasa-jasa untuk kepentingan bersama atau masyarakat
baik untuk kepentingan produsen dan konsumen atau penjual dan pembeli.
2. Bisnis merupakan aktivitas untuk mendapatkan gambaran perihal laba yang
dicapai oleh seorang pengusaha dalam aktivitas ekonomi.
3. Laba merupakan selisih antara penghasilan terhadap biaya-biaya yang
dibebankan dalam proses ekonomi (produksi dan distribusi).
7 Ibid., 45.
8 Machfudz, Mas’ud dan Mahmud, Kewirausahaan, Suatu Pendekatan Kontemporer, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2010), 73.
29
Dalam dunia usaha, peristilahan yang dekat dengan bisnis seringkali
membingungkan orang. Istilah tersebut adalah perusahaan, industri dan ekonomi.
Perusahaan atau korporasi merupakan suatu organisasi produksi, yang
menggunakan dan mengkoordinasikan sumber-sumber ekonomi untuk
memuaskan kebutuhan dengan cara yang menguntungkan. Sedangkan industri
merupakan suatu kelompok perusahaan yang memproduksi barang yang sama
untuk pasar yang sama.
Dari pengertian ekonomi tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
ekonomi berkaitan dengan (a) sumber daya, (b) barang dan jasa, (c) alokasi
sumber daya, dan barang. Sumber daya dibedakan menjadi tiga, yaitu alam, modal
dan tenaga kerja. Sedangkan yang dimaksud dengan alokasi sumber daya dan
barang merupakan proses pemilihan bagaimana sumber daya yang digunakan
dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen.
Dalam berbagai literature ekonomi, bisnis sering disandingkan dengan
ekonomi, sehingga muncul istilah ekonomi bisnis. Pengertian ekonomi bisnis
adalah aktivitas yang menggambarkan cara bisnis dan unit ekonomi atau kesatuan
organisasi ekonomi dalam melaksanakan proses ekonomi yang terdiri atas
produksi, distribusi dan konsumsi dalam mencapai kebutuhan dan kesejahteraan
masyarakat.9 Menurut Nimpoena10 sebagaimana yang dikutip Abu Ahmadi,
ekonomi bisnis merupakan bisnis dalam arti yang luas yaitu terkait dengan
ekonomi dan politik yang merupakan suatu hubungan yang saling tergantung dan
9 Ismail Nawawi, Isu-isu Ekonomi Islam, Nalar Bisnis, 5. 10 Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineke Cipta, 2003),75.
30
turut mencerminkan efektifitas dan efisiensi suatu masyarakat, dengan gerak
usahanya dalam mencari keuntungan. Bisnis dalam arti sempit adalah
perdagangan atau jual beli.
Ekonomi menggambarkan adanya fungsi sosial pada masyarakat yang
tertuju pada tercapainya kondisi kesejahteraan fisik, yaitu dengan memanfaatkan
sumber daya dan fasilitas yang ada pada masyarakat. Fungsi ini juga dirumuskan
sebagai “the untilization of resources and facilities for systems adaptive
purposes”.11 (pemanfaatan sumber daya dan fasilitas untuk keperluan sistem
adaptif). Jadi, masyarakat sebagai sistem sosial menunjukkan salah satu fungsi
mendasar guna mengatur keselarasan masyarakat dengan lingkungannya, yang
dilakukan antara lain dengan cara memanfaatkan berbagai sumber daya dan
sarana yang dikuasainya.
Beberapa aspek esensial dapat diangkat dari perumusan ini, yaitu12 :
1. Cara pemanfaatan merupakan kegiatan yang amat diwarnai oleh kebudayaan
masyarakat yang berkepentingan.
2. Sumber daya adalah semua potensi yang ada pada masyarakat yang
berkepentingan. Salah satu sumber daya yang amat penting ialah sumber
daya manusia, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
3. Sarana adalah semua institusi yang telah dimiliki masyarakat dan
lingkungan sudah menunjukkan efektivitas dalam fungsi-fungsinya.
yang dikemukakan Adam Smith18. Asas ini dibangun di atas paham kebebasan.
Tangan yang tidak terlihat akan menggerakkan kegiatan ekonomi yaitu, dengan
adanya keinginan seseorang atau sekelompok orang yang memberikan sebuah
barang dan atau jasa untuk mendapatkan barang lainnya (pertukaran). Dalam
sistem ekonomi pasar, aktivitas bisnis sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme
pasar. Intervensi negara (pemerintah) ke wilayah bisnis menjadi minimal, karena
hanya membuat regulasi, pengawasan, dan infrastruktur publik.
B. Spiritual Bisnis Islam
Kajian tentang spiritualitas berakar pada filsafat spiritualisme, yakni
aliran yang menyatakan bahwa pokok dari realitas (foundation of reality) adalah
spirit jiwa. Dunia yang meliputi alam semesta dalam segala tingkatan aktivitasnya
sebagai penyebab dari aktivitasnya; perintah dan bimbingan (petunjuk); dan
bertindak sebagai penjelasan yang lengkap dan rasional.19 Hal ini sesuai dengan
firman Allah SWT dalam surat Al-A’ra>f ayat 56 :
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak
18 Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (The Wealth of Nations), ( New York : The Modern Library, 2000), 48. 19 Ismail Nawawi, Kewirausahaan Bisnis,(Jakarta: VIVpress, 2011), 18.
36
akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.20 Firman Allah SWT dalam surat Al-Qas}as} ayat 77 :
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.21
Dari kedua ayat tersebut, dapat diambil kesimpulan untuk mendasari pada
spiritual bisnis dan kecerdasan spiritual bisnis transendental. Selanjutnya dapat
dijelaskan kecerdasan spiritual bisnis menurut beberapa pendapat para pakar yang
dikemukakan oleh Ismail Nawawi22, yakni Schreurs mendefinisikan spiritualitas
sebagai hubungan personal seseorang terhadap sosok transenden. Spiritualitas
mencakup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaan, dan
pengharapannya terhadap Yang Mutlak. Spiritualitas juga mencakup bagaimana
individu nengekspresikan hubungannya dengan sosok transenden tcrsebut dalam
kehidupan sehari-harinya. Elkins menunjuk spiritualitas sebagai cara individu
20 Departemen Agama RI, Al-Qur’a<n dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Indah Press, 2002), 154. 21 Ibid., 166. 22 Ismail Nawawi, Kewirausahaan Bisnis, 18.
37
memahami keberadaan maupun pengalaman dirinya. Bagaimana individu
memahami keberadaan maupun pengalamannya dimulai dari kesadarannya
mengenai adanya realitas transenden (berupa kepercayaan kepada Tuhan atau
apapun yang dipersepsikan individu sebagai sosok transenden) dalam kehidupan
dan dicirikan oleh nilai-nilai yang dipegangnya.
Berkaitan dengan hal tersebut spiritualitas bisnis adalah kepercayaan
akan adanya kekuatan bisnis nonfisik yang lebih besar dari kekuatan dirinya.
Suatu kesadaran yang menghubungkan manusia langsung dengan Tuhan, atau
apapun yang diarahkan sebagai keberadaan manusia dalam aktivitas bisnis.
Spiritualitas bisnis adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan
rasa memiliki oleh pebisnis, dan ia lebih merupakan bentuk pengalaman psikis
yang meninggalkan kesan dan makna bisnis yang mendalam. Spiritualitas bisnis
sebagai sebuah tahapan kualisasi diri, di mana seseorang berlimpah dengan
Governance (GCG) atau aksi sosial lain hanyalah upaya untuk meningkatkan
brand image, yang berujung pada pengerukan keuntungan.30
Semua itu terjadi karena pengusaha tidak membayangkan bisa
menggabungkan kata “spiritualitas” dengan kata “bisnis”. Dua kata ini sangat
berseberangan dan klise. Bisnis identik dengan rasionalitas yang memiliki
parameter yang terukur. Sebaliknya, spiritualitas kerapkali dinilai sebagai sesuatu
yang irrasional dan nilai kebenarannya pun sangat relatif. Oleh karena itu,
menggabungkan dua kata di atas terkesan sangat utopis, mengada-ada, dan tidak
rasional. Akan tetapi, dunia bisnis akhirnya sampai pada titik spiritualitas
manakala berhadapan dengan problem kerja. Problem kerja ini dalam garis
besarnya terbagi menjadi 3, yakni31 :
1. Beban secara tradisional, yakni beratnya pekerjaan itu sendiri, sementara
hasilnya tidak seberapa. Hal inilah yang seringkali menjadikan orang
bekerja hanya untuk kebutuhan marjinal.
2. P roblem ketika seseorang bekerja di bawah pemilik usaha yang rakus dan
mengutamakan keuntungan semata, sehingga pekerjaan mereka tidak
memberikan daya tawar yang baik.
3. Problem kerja yang seringkali dialami oleh kalangan kerah putih. Mereka
menjadikan pekerjaan sebagai satu-satunya tujuan hidup. Hidup adalah
kerja, kerja, dan kerja. Kondisi ini akhirnya menggiring mereka pada
30 Danah Zohar dan Ian Marshal, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai kehidupan, (Jakarta: Mizan, 2002), 34. 31 Jansen H. Sinamo, 8 Etos Kerja Profesional: Navigator Anda Menuju Sukses, (Jakarta: Darma Mahardika, 2005), 112.
42
kondisi kecanduan kerja (work aholic). Kerja telah menjadi belenggu baru,
di mana manusia pekerja mengalami proses dehumanisasi.
Nilai spiritualitas semakin terangkat ketika tahun 200632 Muhammad
Yunus menerima hadiah nobel perdamaian yang membuat sontak dunia.
Muhammad Yunus bukan seorang politisi, negarawan, atau seorang aktivis
perdamaian yang vokal mengkampanyekan hak asasi manusia. Ia hanya seorang
guru besar ekonomi dari sebuah negara miskin yang bernama Bangladesh. Ia
berhasil merebut perhatian dunia melalui bank yang didirikannya pada tahun
1976, Grameen Bank (Bank Desa). Dengan alasan kehati-hatian dan kalkulasi
bisnis, bank mengambil posisi. Muhammad Yunus berperilaku sebaliknya.
Gramen Bank memiliki 226 cabang di 71.371 desa, mayoritas nasabahnya adalah
kaum hawa, dan 4% modalnya dipegang oleh kaum miskin. Dengan
spiritualitasnya, Muhammad Yunus akhirnya mendapatkan hadiah Nobel.
Spiritualitas bisnis dengan demikian, merupakan proses transendensi untuk
membentuk lembaga bisnis melampaui pengertian bisnis sendiri, seperti yang
selama ini difahami.
Spiritualitas bisnis tidak hanya berbicara tentang profit, transaksi,
manajemen, akunting, dan strategi, namun juga mempersoalkan pelayanan,
pengembangan, tanggung jawab sosial, lingkungan hidup dan keadilan.
Spiritualitas tidak lagi terkungkung oleh atuan-aturan formal yang telah memberi
32 Muhammad Yunus “The Autobiography of Muhammad Yunus, Founder of Grameen Bank” dalam “http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Yunus , (16 Agustus 2013).
43
peluang untuk berbuat curang, namun bermain dengan aturan-aturan moral, etika,
dan kemanusian yang bermuara pada keadilan dan kejujuran. Dengan naungan
spiritualitas, bisnis difahami sebagai sistem, bukan medan perang; perusahaan
adalah komunitas, bukan desain; manajemen adalah pelayanan, bukan kontrol.
manajer adalah bukan mandor, karyawan adalah sejawat, bukan pembantu.
Aktivas datang dari visi, bukan rasa takut, dan perubahan adalah pertumbuhan,
bukan penderitaan. Apa yang diimpikan spiritualitas di atas mirip dengan tujuan
agama. Namun secara teoritik spiritualitas bukanlah agama. Keduanya memiliki
perbedaan. Agama dikarakteristikkan dengan sebuah kepercayaan, praktik
institusi. Sementara spiritualitas hanyalah keterhubungan perasaan orang dengan
Tuhan, atau apapun yang dianggap transenden.
Dalam berbagai agama terutama Islam, sebagaimana diyakini oleh Ibn Al-
Arabi33, bahwa spiritualitas seseorang mengarah pada kesatuan antara manusia,
alam, dan Tuhan. Al-Qur'a>n mengungkapkan worldview-nya, bahwa alam tidak
bisa dipahami hanya sebagai kumpulan dunia material, melainkan juga dunia
spiritual, yakni hubungan-hubungan analogis dan alegorisnya, serta peran manusia
dalam keseluruhan sistem yang mengaturnya. Sistem hubungan ini berada dalam
pola piramida yang terdiri dari makrokosmos (al-'ala>m al-kabi>r), Mikrokosmos
(al-‘ala>m al saghi>r) dan metakosmos. Makrokosmos adalah dalam semesta pada
umumnya, mikrokosmos adalah manusia, dan letak kosmos adalah Allah SWT.
33 Sachiko Murata, The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought (USA: 1992), Terj. Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah: The Tow of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, (Bandung: Mizan, 1998), 71.
44
Spiritualitas manusia akan tercapai, dan dia berhak menjadi khalifah,
manakala ia mampu memahami, menerjemahkan, dan menyatukan ketiganya
dalam diri. Penyatuan diri dengan alam dan Tuhan bisa dilakukan karena manusia
adalah makhluk serba mencakup (al-kawn al-ja>mi’), sehingga berpotensi menjadi
manusia sempurna (al-insa>n al-ka>mil), baik secara al-haqqiyyah dan al-
khalqiyyah)..34
Paradigma modernisasi bisnis global yang mengusung teori develop-
mentalisme disinyalir telah melahirkan persoalan-persoalan bisnis baru. Lebih
khusus lagi, hubungan agama dengan sektor usaha dan bisnis, kesatuan kedua
sektor ini dengan spiritual sebenarnya cukup jelas. Hal itu telah dicontohkan
Rasulullah Saw dan para shahabat, mereka tidak memisahkan antara bisnis dan
nilai-nilai spiritual, mereka juga tidak mendikotomi antara masjid dan pasar.
Oleh karena itu, perintah bekerja berada satu atap dengan shalat dan dzikir.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Jumu>’ah ayat 10 ;
"Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.35
Firman Allah SWT dalam Surat Hu>d ayat 3 :
34 Ibid. 35Departemen Agama RI, Al- Qur’a<n dan Terjemahnya, 125.
45
Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. Jika kamu mengerjakan yang demikian, niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.36
Sebaliknya, aktivitas spiritual destruktif akan menghambat rezeki, tidak
sulit memahami hubungan tersebut, karena logikanya, Allah SWT yang
menciptakan alam, yang menyuruh bekerja, dan yang mengarahkan ketika
bekerja, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-An'a>m ayat 152 :
36 Ibid., 266.
46
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah, yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.37
Allah SWT memberi peringatan bagi orang yang curang dalam bekerja,
sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mut}affifi>n ayat 1 sampai 3 :
Kecelakaan besarlah bagi orang orang-orang yang curang (yaitu), orang- orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.38
Manusia wajib bekerja dan berusaha, selanjutnya bertawakkal kepada
Allah SWT, karena Allah SWT pulalah yang menentukan hasilnya, sebagaimana
firman-Nya dalam surat Al-Isra>' ayat 30 :
37 Ibid., 214. 38 Ibid., 1035.
47
Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia
kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.39
Dengan memperhatikan aspek normatif, setidaknya ada tiga peran penting
spiritual dalam sosial dan bisnis40; pertama, daya kreatifitas. Manusia adalah
makhluk spiritual yang berdimensi fisik. Aspek spiritual membuat manusia
mampu memahami pesan Ilahi, dan fisik mewujudkannya dalam tataran material.
Spiritual yang menyimpan semangat idealisme akan memberi kekuatan untuk
mengadakan dan menciptakan semua sarana dan materi untuk mewujudkan
idealismenya. Inilah kemudian yang mendorong pribadi untuk menjadi wirausaha
kreatif dan produktif.
Ke dua, fungsi kontrol, yaitu kesadaran spiritual akan menghindarkan
manusia dari jebakan kesalahan yang dapat menghalanginya dari rezeki. Saat
materi berlimpah, spiritualitas bisnis akan mencegah pelakunya dari arogansi diri,
karena keberhasilan bisnis yang ia lakukan bukanlah karena kesungguhan dirinya,
melainkan karena rahmat Allah SWT. Rezeki yang di tangan adalah titipan Allah
semata, yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban, maka ia akan berhati-hati
dengan cara memperoleh dan membelanjakannya. Kekuatan spiritual membuat 39 Ibid., 428. 40 Abdul Jalil, Spiritual Enterpreneurship, 35.
48
bisnis berjalan penuh moral, karena spiritual mengutamakan keberkahan dari pada
keuntungan, dan mengutamakan kemuliaan dari pada kemenangan. Bahkan
rendahnya nilai moral dalam dunia bisnis, lambat laun akan menjadi bumerang
bagi bisnis itu sendiri, hal itu disebabkan karena hilangnya kepercayaan.
Ke tiga, stabilisator. Spiritualitas bisnis menyadarkan pelakunya untuk
melibatkan kehadiran Allah SWT mulai dari permulaan bisnis, proses, dan
hasilnya. Dengan kata lain menanamkan bahwa motif bisnis adalah karena Allah
SWT dan dalam prosesnya harus sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, dan segala
hasilnya mesti disyukuri, dievaluasi untuk perbaikan masa mendatang, maka tak
ada kata rugi dalam kaca mata spiritual bisnis, karena semuanya menjadi
bermakna ibadah. Keterpisahan bisnis dengan spiritual justru akan menyeret
manusia pada kegersangan hidup yang membuat dirinya bersikap arogan. Ia akan
kehilangan jati dirinya, dan perjuangannya akan menciptakan disharmonisasi
irama kehidupan. Bagi seseorang yang menggunakan kecerdasan spiritual sebagai
pedoman hidup, akan bersikap bahwa harta, profesi, dan jabatan hanyalah amanah
Allah yang kelak harus dipertanggung jawabkan. Dengan spiritual yang tinggi
seseorang akan melihat persoalan dengan lebih jernih dan subsantif.
C. Pemasaran dan Ekspektasi dalam Bisnis
Pemasaran secara konseptual adalah kegiatan manusia yang diarahkan
untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen melalui proses pertukaran.
Konsep tersebut selaras dengan pendapat Kotler41 bahwa pemasaran merupakan
41 Philip Kotler, Manajemen Pemasaran, Jilid I, (Jakarta: PT. Indeks Kelompok Media, 2005), 20.
49
suatu proses sosial dan manajerial yang di dalamnya terdapat individu dan
kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dengan menciptakan,
menawarkan dengan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain.
Peter F. Drucker dalam Kotler42 mengemukakan bahwa pemasaran bukan
sekedar perluasan dari penjualan. Pemasaran sama sekali bukan aktivitas khusus.
Pemasaran meliputi keseluruhan bisnis yang dilihat dari sudut pandang hasil akhir
yang dicapai, yakni sudut pandang customer. Ducker juga mengungkapkan bahwa
pemasaran adalah fungsi yang berbeda dan merupakan fungsi yang unik dari suatu
bisnis. Kemudian Ducker juga menyebutkan bahwa dalam setiap bisnis hanya
pemasaran dan inovasi yang menghasilkan pendapatan.
Dalam pelaksanaan pemasaran dalam bisnis agar sesuai dengan tujuannya,
harus dimanajemeni sesuai dengan dinamika pasar dan tuntutan lingkungan bisnis
yang ada sekarang ini. Dalam memanajemeni pemasaran perlu adanya analisis,
perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian atas program yang dirancang untuk
menciptakan, membentuk, dan mempertahankan pertukaran yang menguntungkan
pembeli sasaran (target buyers) dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan
organisasi.
Bisnis merupakan sistem penjualan industri dan jasa yang kegiatan
operasionalnya membeli atau menjual jasa-jasa industri. Jasa adalah setiap
kegiatan atau manfaat yang dapat diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lainnya
42 Peter F. Drucker, Pengantar Manajemen, ( Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo, 1982), 42.
50
yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak pula berakibat pemilikan sesuatu
dan produksinya dapat atau tidak dapat dikaitkan dengan suatu produk fisik.
Untuk memasarkan produk sebuah perusahaan diperlukan konsep
pemasaran dan ide untuk mengidentifikasikan kebutuhan konsumen sebelum
memproduksi barang atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Konsep
pemasaran berorientasi menciptakan rasa senang pada pihak konsumen dengan
menawarkan nilai produk, barang atau jasa, yang mereka butuhkan.
Konsep pemasaran diaplikasikan oleh perusahaan, khususnya oleh bagian
pemasaran. Karena bagian ini yang berfungsi untuk menaksir jumlah permintaan
produk perusahaan, meningkatkan permintaan, dan melayaninya. Konsep
pemasaran harus berorientasi pada kebutuhan konsumen. Misalnya, menawarkan
pemanas ruangan di negara tropis merupakan konsep pemasaran yang tidak tepat.
Produk tersebut seharusnya ditawarkan di negara berudara dingin. Karena itu,
sebelum memproduksi suatu produk perusahaan perlu terlebih dahulu
mengidentifikasikan orang-orang yang paling mungkin untuk membeli produk
yang ditawarkan. Selain berorientasi pada kebutuhan konsumen, konsep
pemasaran berorientasi pada pencapaian laba yang ditargetkan sebagai tujuan
perusahaan.
Sekelompok konsumen atau lembaga yang memerlukan dan mampu serta
berwenang untuk membeli suatu produk disebut pasar. Pasar diklasifikasikan
dalam dua kelompok, pasar konsumen dan pasar industri. Orang-orang yang
membeli suatu produk untuk konsumsi disebut pasar konsumen, dan konsumen
51
yang membeli suatu produk untuk diproses menjadi produk tertentu dengan tujuan
mendapatkan laba disebut pasar industri.
Pemasaran yang efektif didasarkan atas strategi pemasaran yang
merupakan cara mencapai tujuan dan sasaran, yang dituangkan dalam kebijakan
program kegiatan yang akan dilakukan setiap tahun dalam kurun waktu, misalnya
lima tahun. Strategi akan memperjelas makna dan hakikat suatu rencana strategis
khususnya sasaran tahunan dengan identifikasi rincian yang sifatnya spesifik
tentang bagaimana para pimpinan harus mengelolanya. Agar strategi dapat
diterapkan dengan baik perlu diminta komitmen pimpinan puncak, terutama
dalam menentukan kebijakan organisasi yang mengacu pada visi, misi, tujuan dan
sasaran yang telah ditetapkan.43
Menurut Ismail Nawawi44 bahwa ekspektasi pemasaran berkaitan dengan
beberapa determinan variabel, yaitu (1) membangun jejaring bisnis, (2)
membangun profesionalisme pemasaran, (3) membangun analisis segmen dan
peluang pasar, (4) penggunaan komunikasi bisnis, (5) pemanfaatan teknologi
komunikasi bisnis.
Pendapat lain dikemukakan oleh Warren J. Keegan45 bahwa ekspektasi
pemasaran berkaitan dengan salah satu area fungsional dari sebuah bisnis, berbeda
dari keuangan dan operasi, hal ini berkaitan dengan : (1) koordinasi efektif dari
pemasaran, (2) area fungsional atau segmentasi pasar, (3) aktivitas yang terlibat
43 Ismail Nawawi, Manajemen Strategik Sektor Publik, (Surabaya : Putra Media Nusantara , 2010), 91. 44 Ismail Nawawi, Isu-isu Ekonomi Islam, Nalar Bisnis, 47. 45 Warren J. Keegan, Manajemen Pemasaran Global, (Jakarta: Indeks, 2003), 61.
52
dalam desain produk, manufaktur, pemasaran, (4) pelayanan bisnis proses dan
purna jual dan (5) mengkompromikan sebuah value-chain.
Karakteristik pemasaran yang berkaitan dengan jasa adalah sebagai
berikut46:
1. Tidak berwujud, maksudnya tidak tampak, tidak dapat dicicipi sebelum
dikonsumsikan. Karena itu pihak pembeli harus mempunyai keyakinan penuh
kepada penjual jasa.
2. Tidak dapat dipisahkan atau tidak dapat diwakilkan, maksudnya jasa akan
selalu melekat pada sumbernya atau pada penjualnya.
3. Tidak tahan lama, maksudnya jasa tidak dapat disimpan untuk persediaan
seperti halnya produk fisik. Jasa akan mempunyai nilai pada saat pembeli
jasa membutuhkan pelayanan.
4. Keanekaragaman iklan, maksudnya jasa memiliki sifat keanekaragaman
iklan, yakni tergantung siapa yang menyediakannya, kapan waktu
pelayanannya dan di mana tempat memberikan layanan jasa tersebut.
Pelaku bisnis dalam pengambilan keputusan pada setiap tingkat dari
konsepsi ide dan strategi sampai dukungan setelah penjualan, harus dinilai dalam
kemampuan mereka untuk menciptakan value bagi customer. Hal itu bertujuan
untuk menjamin para pemasar terlibat dalam pengambilan keputusan desain
46 Irwan Sahaja, “Karakteristik Jasa dan Strategi Pemasaran Jasa”, dalam http://irwansahaja.blogspot.com/2013/05/pengertian-jasa-karakteristik-jasa-dan.html. (20 Februari 2014).
53
manufaktur sejak awal. Beberapa organisasi menerapkan konsep yang dikenal
dengan pemasaran tanpa batas. Komoditas dan jasa merupakan aktivitas atau
manfaat yang dapat ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lainnya (dari produsen
kepada konsumen) dan tidak mengakibatkan perpindahan kepemilikan. Jasa tidak
berwujud, tidak dapat dipisahkan, berubah-ubah, dan tidak tahan lama. Setiap
karakteristik mempunyai masalah dan memerlukan strategi. Pada pemasaran jasa,
pendekatan strategis diarahkan pada kemampuan pemasar menemukan cara untuk
mewujudkan yang tidak berwujud, meningkatkan produktivitas penyedia yang
tidak terpisahkan dari produk itu, membuat standar kualitas sehubungan dengan
adanya variabilitas, dan mempengaruhi gerakan permintaan dan pemasok
kapasitas mengingat jasa tidak tahan lama.
Pemasaran dalam bidang komoditas dan jasa menghasilkan kepuasan
konsumen serta kesejahteraan konsumen dan stakeholder. Dalam mewujudkan
kepuasan konsumen serta kesejahteraan konsumen, dapat ditempuh melalui
bauran pemasaran (marketing mix) yang berkaitan dengan (1) produksi
(production), (2) tempat atau lokasi pelayanan (place/service location) (3) harga
(price), (4) promosi (promotion). Pendapat lain dikemukakan oleh Zeithaml dan
Bitner47, ia mengemukakan bauran pemasaran dengan kajian yang lebih luas,
bauran pemasaran jasa terdiri dari 7 P yaitu: (1) produksi, (2 ) tempat atau lokasi
47 Zeithaml dan Mery J. Bitner, Services Marketing, (McGraw-Hill, Int’lEdition, 1997), 28.
54
pelayanan (place/service location), (3) harga atau tarif, (4) promosi, (5)
Secara umum strategi pemasaran komoditas dan pemasaran (marketing
mix) diterapkan dalam konteks bisnis barang dan jasa secara keseluruhan, tidak
hanya membutuhkan pemasaran eksternal, tapi juga pemasaran internal untuk
memotivasi konsumen atau karyawan administrasi dan pemasaran interaktif
untuk menciptakan keahlian penyedia barang dan jasa.
Tabel 2.1 Kompilasi Teori dan Variabel Bauran dan Ekspektasi Pemasaran
Nomor Teori Variabel
1. Kotler (2000:7)
1. Produksi (production)
2. Tempat atau lokasi pelayanan (place/service
location)
3. Harga (price)
4. Promosi (promotion)
2. Zeithaml dan Bitner
(2000:19)
1. Produksi
2. Tempat atau lokasi pelayanan (place/service
location)
3. Harga atau tarif
4. Promosi
5. Orang/partisipan (people)
6. Sarana fisik,
7. Proses.
55
3
Ismail Nawawi
(2012)
Ekspektasi
pemasaran bisnis
.
1. Membangun jejaring bisnis
2. Membangun profesionalisme pemasaran.
3. Membangun analisis segmen dan peluang pasar.
4. Penggunaan komunikasi bisnis
5. Pemanfaatan teknologi informasi.
4 Sula (2004)
Ekspektasi
pemasaran bisnis
1. Koordinasi efektifiktas dari pemasaran.
2. Area fungsional atau sementasi pasar.
3. Aktivitas yang terlibat dalam desain produk,
manufaktur, pemasaran.
4. Pelayanan bisnis proses dan purna jual.
5. Mengkompromikan sebuah value-chain.
D. Worldview, Konstruk dan Model Sarana Pembangunan Teori
Paradigma Ekonomi Islam merupakan implikasi Islamic worldview.
Pandangan dunia (worldview) keilmuan yang hidup dalam sistem sosial tertentu
memainkan peran penting dengan segala implikasi dan ramifikasinya. Di bidang
ilmu pengetahuan, worldview, berfungsi sebagai media kognitif yang menjelaskan
posisi ontologis, aturan-aturan metodologis, kerangka nilai, dan sebagainya.48
Oleh karena itu, bergantung pada setiap pandangan dunia yang dimiliki
masyarakat ilmiah tertentu. Konstruksi ilmu pengetahuan pun pada akhirnya
membangun dirinya di atas dasar masing-masing pandangan dunia tersebut.
48 Zubeir Hasan, “Islamization of Knowledge in Economics : Issues and Agenda”, IIUM Journal of Economics and Management, Volume 6, No. 2, 1998.
56
Menurut Alparslan49 worldview adalah kombinasi berkesinambungan dari
pengetahuan apriori dan kemampuan memperoleh pengetahuan aphosteriori yang
secara gradual membentuk kerangka pemikiran. Kerangka pikir inilah yang
kemudian berfungsi sebagai lingkungan tempat akal bekerja. elemen yang penting
dalam sejarah perkembangan teori ekonomi kontemporer. Bahkan daya hidup
visi-visi ini pun tetap berperan dalam memengaruhi berbagai macam madhhab
ekonomi modern yang datang silih berganti. “Scientific worldview”
mengemudikan seluruh ide atau gagasan yang bersifat transenden ke cara pandang
ilmiah, termasuk pula dalam ilmu bisnis. Melalui cara pandang ini, ilmu
pengetahuan dibangun secara analitis (what is), dan tidak didasarkan kepada
penjelasan normatif (what ought to be). Hanya jika terdapat alasan dan tujuan
yang logis sajalah, ilmu pengetahuan (ekonomi) boleh mengakomodasi aspek-
aspek normatif itu.50
Sedangkan dalam pandangan dunia Islam (Islamic worldview), adalah
sebuah visi yang menyatukan kebenaran wahyu dan ilmu pengetahuan secara
seimbang dan intregasi.51 Worldview Islamic tidak kontekstual seperti pemahaman
Barat, tetapi didasarkan kepada wahyu Ilahi (al-Qur’a>n dan al-Hadi>th) bersifat
fleksibel, namun tidak dapat digantikan. Pandangan dunia ini dibangun oleh tiga
keyakinan pokok, yaitu tauhid (keesaan Allah SWT), kesatuan penciptaan yang
49 Alparslan Acikgence, “The Framework for A History of Islamic Philosophy”, Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civilization, Vol. I, (ISTAC : 1996). 50 Ismail Nawawi, Isu-Isu Ekonomi Islam, Kompilasi Pemikiran dan Teori Menuju Praktik di Tengah Arus Ekonomi Global, Buku 1, Nalar Filsafat”, (Jakarta: VIV Press, 2012), 299. 51 Ibid., 300.
57
menekankan hubungan manusia dengan Allah SWT juga hubungan manusia
dengan alam semesta (kekhalifahan), dan prinsip keadilan.52
Konstruk adalah suatu konsep pemikiran yang secara khusus diciptakan
bagi suatu penelitian dan/atau untuk tujuan membangun teori. Konstruk dibangun
dengan mengombinasikan konsep sederhana, khususnya bilamana pemikiran atau
bayangan yang ingin dikomunikasikan tidak secara langsung dapat diamati53.
Selanjutnya dikemukakan oleh Ismail Nawawi54, konstruk adalah sesuatu yang
paling sulit diamati dan paling rumit untuk diukur. Ia cenderung terdiri dari
banyak konsep dan sangat abstrak. Para peneliti kadang-kadang merujuk
kesatuan-kesatuan ini sebagai konstruk hipotesis karena hanya dapat disimpulkan
melalui data, maka dianggap ada, tetapi perlu diuji lebih lanjut.
Pada akhirnya, jika peneliti membuktikan bahwa konsep-konsep dan
konstruk-konstruk dalam contoh ini saling berkaitan dan jika proposisi-proposisi
yang merinci hubungan ini dapat didukung, maka peneliti telah mempunyai awal
dari suatu skema konseptual untuk menggambarkan hubungan antara pengetahuan
dan persyaratan keterampilan yang akan menjelaskan upaya desain ulang
pekerjaan. Model55 dikonsepsikan sebagai suatu cerminan fenomena melalui
analogi. Suatu model dirumuskan sebagai cerminan suatu sistem yang dibuat
untuk mempelajari salah satu aspek dari sistem atau dari sistem sebagai
52 Ibid. 53 Ismail Nawawi, Metoda Penelitian Paradigma Positifistik Ekonomi Islam dan Konvensional, (Jakarta: VIV Press, 2010 ), 175. 54 Ibid., 176. 55 Ismail Nawawi, Metoda Penelitian Kualitatif (Teori dan Aplikasi Interdisipliner untuk Ilmu Sosial, Ekonomi/Ekonomi Islam,Agama, Manajemen),(Jakarta: Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), 26.
58
keseluruhan. Model dapat digunakan untuk tujuan-tujuan terapan atau teori-teori
yang sangat teoretis. Model digunakan untuk menjelaskan, menegaskan, dan
menstimulasi. Suatu model bukan merupakan penjelasan, ia hanyalah merupakan
struktur dan/atau fungsi dari suatu objek atau proses kedua. Sebuah model adalah
hasil dari penggunaan struktur atau fungsi dari suatu objek atau proses sebagai
model bagi objek atau proses yang kedua. Bilamana substansi apakah secara fisik
atau secara konseptual dari objek atau proses yang kedua diproyeksikan kepada
objek atau proses yang pertama, maka terbentuklah suatu model.
Beberapa pengertian model menurut pakar dan ahli dikonsepsikan sebagai
berikut, yaitu56 menurut Bill dan Hardgrave, model adalah sebagai suatu
gambaran teoritis yang disederhanakan dari dunia nyata; merupakan suatu
bangunan isomorphic dari realitas atau mendahului kenyataan. A.R.
Mustopadidjaja57 berpendapat bahwa model adalah teori dasar atau cara pandang
yang fundamental dilandasi nilai-nilai tertentu dan berisikan teori pokok, konsep,
asumsi, metodologi atau cara pendekatan yang dipergunakan para praktisi dalam
menanggapi suatu permasalahan tertentu. Pendapat lain oleh Gass, Roger I Sisson
eds, dan Willian Dunn, yang dikutip oleh Ismail Nawawi58 mengemukakan
pendapat bahwa model kebijakan (policy model) adalah representatif sederhana
mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu konsesi masalah yang disusun
untuk kondisi tertentu.
56 Ibid. 57 AR. Mustopadidjaja, Manajemen Kebijakan Publik, (Jakarta: LAN, 2000), 56. 58 Ismail Nawawi, Metoda Penelitian Paradigma Positifistik Ekonomi Islam dan Konvensional, 176.
59
Selanjutnya dikemukakan Ismail Nawawi59 bahwa model penelitian
merupakan bangunan mental yang berdasarkan pada konseptualisasi dan
spesifikasi elemen-elemen kondisi masalah penelitian. Model merupakan
rekonstruksi artificial dari realitas dalam masalah, merentang dari energi dan
lingkungan sampai masalah dalam topik penelitian, misalnya kemiskinan,
kesejahteraan manusia, berbagai kejahatan dalam masyarakat. Model penelitian
dapat dinyatakan sebagai konsep, diagram, grafik, atau persamaan matematika.
H. Aksioma Dasar Rancang Bangun Spritual Bisnis Islam
Konstruk dan model spiritual bisnis Islam dibangun dengan aksioma dasar
dari determinan norma shari>’ah, norma etika, norma transaksi, dan norma kreatif.
Masing-masing determinan tersebut berkolaborasi, membangun sebuah sistem
dalam spiritual bisnis, secara terperinci dapat dijelaskan sebagai berikut60:
1. Norma Shari>’ah
Norma shari>’ah secara praktis merupakan rules shari>’ah yang tersedia
dalam kegiatan ekonomi akan menentukan seberapa efisien hasil ekonomi yang
didapatkan sekaligus akan menentukan seberapa besar distribusi ekonomi yang
akan diperoleh oleh masing-masing partisipan. Sementara itu dalam jangka waktu
tertentu, pencapaian ekonomi yang diperoleh partisipannya akan menentukan
pandangan terhadap rules yang digunakan saat ini.
59 Ibid., 189. 60 Penjelasan masing-masing determinan norma tersebut terdapat pada Ismail Nawawi, Isu-Isu Ekonomi Islam,Kompilasi Pemikiran dan Teori Menuju Praktik di Tengah Arus Ekonomi Global, Buku 4, Nalar Bisnis”, (Jakarta: VIV Press, 2012), pada Bab 1 s.d Bab 4.
60
Meminjam dari kerangka pemikiran tersebut, aturan main berinteraksi
dalam perekonomian yang mendasari dari ekonomi kelembagaan shari>’ah adalah
bersumber dari al-Qur’a>n, al-Hadi>th, dan ijma’ para ulama. Istilah shari>’ah
disebutkan dalam al-Qur'a>n surat Al-Ja>shiyah ayat 18, yaitu :
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu shari>'at (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syari>'at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.61 Dalam surah Al-H{ashr ayat 7 Allah SWT berfirman :
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.62
Cara melaksanakan shari>'at adalah mencontoh keteladanan Rasulullah
Saw, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Ahza>b ayat 21 :
61 Departemen Agama RI, Al- Qur’a<n dan Terjemahnya, 122. 62 Ibid., 916.
61
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.63
Secara operasional norma shari’ah dalam bisnis mencakup kondisi
normatif yang harus dipenuhi atau kewajiban dan secara kondisi normatif yang
harus ditinggalkan atau larangan dalam sistem bisnis.
Ada lima kondisi yang harus ditinggal dalam pelaksanaan bisnis64, yaitu:
a. Terbebas dari unsur riba.
Peristilahan riba dari segi bahasa (lughatan) artinya tambah (al-ziya>dah),
karena salah satu perbuatan riba meminta tambahan dari sesuatu yang
dihutangkan. Ada pendapat lain yang mengatakan berbunga (al-namu>), karena
salah satu perbuatan riba adalah membuat harta uang atau yang lainnya yang
dipinjamkan kepada orang lain. Arti lainnya adalah berlebihan atau
menggelembung (ihtiza>b wa raba>t).65 Pendapat lain dikemukakan oleh Syaikh
Muhammad Abduh, sebagaimana yang dikutip oleh Ismail Nawawi bahwa riba
ialah penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta
kepada orang yang memimjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji
pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.66
63 Ibid., 667. 64 Ismail Nawawi, Isu-isu Ekonomi Islam, Nalar Bisnis, (Jakarta; VIV Press, 2012), 161. 65 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, (Jakarta : Gema Insani, 2001), Hal. 37. 66 Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah, Hukum Ekonomi, Bisnis dan Sosial, (Surabaya: PMN, 2010), 116.
62
Dalam kegiatan ekonomi bisnis dan investasi, Allah SWT dan Rasul-Nya
memberikan petunjuk (dali>l) dan rambu-rambu pokok yang harus ditinggalkan
oleh setiap muslim yang beriman. Di antara rambu-rambu menurut Ismail
Nawawi67 tersebut adalah riba yang tidak ada padanan pengganti (‘iwad{) yang
tidak dibenarkan shari>’ah yang disyaratkan oleh salah satu dari dua orang yang
berakad. Imam Badrudin al-‘Aini dalam kitabnya ‘Umdah al-Qa>ri mendefinisikan
“Riba adalah penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil”.
Definisi secara komprehensif dituangkan oleh Taqiyyudin Abi Bakr68 dalam
kitabnya Kifa>yah al-Akhya>r ”riba adalah setiap nilai tambah (value added) dari
setiap pertukaran emas dan perak (uang) serta seluruh bahan makanan pokok
tanpa adanya pengganti (‘iwadh) yang sepadan dan dibenarkan oleh shari>’ah.
Riba hukumnya adalah haram, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-
Baqarah ayat 275 :
...
... Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. ...69
Riba dibedakan menjadi tiga macam, yaitu riba nasi>’ah, riba fad}l dan riba
jahiliyah yang definisinya sebagai berikut70 :
1). Riba nasi>’ah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang
yang meminjamkan. 67 Ibid. 68 Taqiyyuddi>n Abu> Bakr ibn Muhammad al-Husaini al-Hushni , Kifa>yah al-Akhya>r fi> Ha>l al-Gha>yah al-Ikhtisha>r, (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 2001), 112. 69 Departemen Agama RI, Al-Qur’a<n dan Terjemahnya, 69. 70 Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah, Hukum Ekonomi, Bisnis dan Sosial, 119.
63
2). Riba fad}l ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis,
tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi
dengan padi.
3) Riba jahiliyah adalah utang yang dibayar melebihi dari pokok
pinjaman, karena pemimjam tidak mampu mengembalikan dana
pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan.
Tabel 2.2
Tipe, Penyebab dan Cara Menghilangkan Faktor Penyebab
Tipe
Faktor Penyebab Cara Menghilangkan Faktor
Penyebab
Riba Fad}l Gharar
(uncertain to both parties)
Kedua belah pihak harus
memastikan faktor-faktor :
1. Kuantitas
2. Kualitas
3. Harga
4. Waktu Penyerahan
Riba Nasi>’ah Al-ghunmu bi la> ghurmi,
al-kharaj bi la> dhaman
(return tanpa risiko,
pendapatan tanpa biaya)
Kedua belah pihak membuat
kontrak yang merinci hak dan
kewajiban masing-masing untuk
menjamin tidak adanya pihak
manapun yang mendapatkan return
tanpa menanggung risiko, atau
menikmati pendapatan tanpa
menanggung biaya.
64
Riba
Jahiliyah
Kullu qardin jarra
manfa’atan fahuwa riba
(memberi pinjaman
sukarela secara komersial,
karena setiap pinjaman
yang mengambil manfaat
adalah riba)
1. Jangan mengambil manfaat apa
pun dari akad/transaksi
kebaikan (tabarru).
2. Kalaupun ingin mengambil
manfaat, maka gunakanlah
akad bisnis (tija>rah), bukan
akad kebaikan (tabarru).
b. Terhindar dari unsur gharar
Para pakar dan ahli fiqh mengemukakan konsepsi gharar dengan berbagai
macam formulasi definisi, di antaranya disebutkan gharar merupakan sesuatu
yang bersifat tidak pasti (uncertainty). Jual beli gharar berarti sebuah jual beli
yang mengandung unsur ketidaktahuan atau ketidakpastian (jaha>lah) antara dua
pihak yang bertransaksi, atau jual beli sesuatu yang objek akad tidak diyakini
dapat diserahkan.71 Sayyid Sa>biq72 mendefinisikan bahwa gharar adalah “setiap
jual beli yang mengandung sebuah ketidakpastian (jaha>lah), atau mengandung
unsur risiko atau perjudian”.
Wahbah al-Zuhaili>73 mengutip beberapa pengertian gharar yang
dikemukakan oleh para fuqaha yang maknanya hampir sama:
‘aqi>bah, artinya: “sesuatu yang tersembunyi akibatnya”.
71 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 4, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1996), 161. 72 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 12, terj., Mahyuddin Syaf, (Bandung: PT. Alma’arif, 1987), 53. 73 Wahbah al-Zuhaili>, Al-Fiqh al-Isla>mi wa Adillatuhu, Juz IV, (Damascus, Syria: Da>r al-Fikr, t.t), 435-437.
65
2). Al-Qarafi dari Madhhab Maliki berpendapat, bahwa gharar adalah sesuatu
yang tidak diketahui apakah ia akan diperoleh atau tidak seperti burung di
udara, dan ikan di air.
3). Al-Shirazi dari madhhab Syafi`i berpendapat, bahwa gharar artinya sesuatu
yang urusannya tidak diketahui dan tersembunyi akibatnya.
4). Ibn Taimiyah, berpendapat gharar ialah tidak diketahui akibatnya.
5). Ibn Qoyyim berpendapat gharar ialah yang tidak bisa diukur penerimaanya,
baik barang itu ada maupun tidak ada, seperti menjual hamba yang melarikan
diri dan unta yang liar meskipun ada.
6). Ibn Hazm berpendapat, gharar itu ketika pembeli tidak tahu apa yang dibeli,
atau penjual tidak tahu apa yang ia jual.
Secara garis besar gharar dibagi menjadi 2 (dua) bagian pokok,74 yaitu :
a). Gharar dalam s}ighat akad, yang meliputi :
(1). Bai’ataini fi>> bai’ah, merupakan jual beli di mana dalam satu akad
ada dua harga yang dalam praktiknya tidak ada kejelasan akad (jaha>lah)
atau harga mana yang akan diputuskan. Bai’ataini fi>> bai’ah juga berlaku
jika dalam satu transaksi ada dua akad yang bercampur tanpa adanya
pemisahan terlebih dahulu.
(2). Bai’ al-kha>shah, yakni transaksi di mana penjual dan pembeli bersepakat
atas jual beli suatu barang dengan harga tertentu, dengan lemparan batu
74 Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin Al-Dhahir, Transaksi dan Etika Bisnis Islam, terj., Saptono Budi Satryo dan Fauziah R., (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005), 142-145.
66
kecil yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada yang lain dan
dijadikan pedoman atas berlangsung tidaknya akad, atau juga dengan
meletakkan batu kecil tersebut di atas barang, dan juga jatuhnya batu di
pihak mana pun yang mengharuskan orang tersebut melakukan transaksi.
(3). Bai’ al-mula>masah, yaitu adanya mekanisme tawar menawar antara dua
pihak atas suatu barang, dan apabila calon pembeli menyentuh barang
tersebut, maka dia harus membelinya, baik sang pemilik barang ridha
atau tidak, atau seorang penjual berkata kepada pembeli: “jika anda
menyentuh baju ini, maka itu berarti anda harus membelinya dengan
harga sekian, sehingga mereka menjadikan sentuhan terhadap objek akad
sebagai alasan untuk berlangsungnya transaksi jual beli.”
(4). Bai’ al-muna>badhah, adalah seorang penjual berkata kepada calon
pembeli : “jika saya lemparkan sesuatu kepada anda, maka transaksi jual
beli harus berlangsung di antara kita. Atau juga pihak penjual dan
pembeli melakukan tawar-menawar barang dan apabila penjual
melempar sesuatu kepada pembeli, maka ia harus membeli barang
tersebut. Ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerima transaksi
tersebut. Transaksi jenis ini diartikan juga dengan gambaran seorang
penjual berkata kepada calon pembeli : “jika saya melemparkan barang
ini kepada anda, maka itu berarti saya jual barang ini kepada anda dengan
harga sekian.”
67
(5). Bai’ mu’allaq, yaitu transaksi jual beli di mana jadi tidaknya transaksi
tersebut tergantung pada transaksi lainnya, mekanisme transaksi terjadi
dengan instrumen-instrumen pernyataan (ta’li>q).
(6). Bai’ al-muza>banah, yakni jual beli buah kurma yang masih berada di
pohon dengan beberapa wasaq buah kurma yang telah dipanen.
(7). Bai’ al-mukha>dharah ; menjual buah yang masih hijau (belum masak)
yang masih berada di pohon sebelum layak panen.
(8). Bai’ h{abl al-h}aba>lah, adalah jual beli janin yang masih berada dalam
kandungan induknya.
(9). D{arbah al-ghawa>sh ; melakukan akad transaksi jual beli untuk barang
temuan yang akan ditemukan di kedalaman laut, sedangkan barang
belum diketahui dapat atau tidaknya barang diserahkan kepada pembeli.
(10). Bai’ al-muh{a>qalah ; melakukan transaksi jual beli tanaman tertentu
(bahan makanan pokok), seperti padi dengan sejumlah takaran makanan
tertentu.
(11). Bai’ al-nita>j ; transaksi jual beli sesuatu yang dihasilkan dari binatang
ternak sebelum dituai, seperti menjual susu sapi yang masih berada
dalam kantungnya, yang belum diketahui seberapa besar atau banyak
jumlahnya.
(12). Bai’ al-mud{a>f ; kesepakatan untuk melakukan akad jual beli untuk
waktu yang akan datang, gambaran dari transaksi ini adalah perkataan
seseorang kepada yang lain: “saya jual rumahku kepada anda dengan
68
harga sekian pada awal tahun depan, kemudian orang itu menjawab:
“saya terima”.
b). Gharar dalam objek akad75, yang meliputi :
(1). Ketidaktahuan (jahl) dalam sifat objek akad, yakni ketidak jelasan sifat
dari dari objek akad yang akan ditransaksikan. Para fuqaha berselisih
pendapat dalam mensyaratkan penyebutan sifat dari objek akad, agar
sebuah transaksi jual beli menjadi sah, akan tetapi mayoritas fuqaha
mensyaratkannya. Madhhab Hanafi melihat bahwa jika objek akadnya
melihat dalam transaksi, baik itu barang ataupun uang, maka tidak perlu
untuk mengetahui sifat dan karakternya. Madhab Maliki mensyaratkan
penyebutan sifat, bentuk, karakter karakter barang sebagai syarat sahnya
jual beli. Karena dalam transaksi jual beli jika sifat dan karakter barang
tidak disebutkan akan mengandung unsur gharar. Madhhab Syafi’i
mempunyai tiga perincian pendapat dalam pensyaratan atas penyebutan
sifat dan karakter objek akad agar transaksi tersebut menjadi sah, yakni :
(a) Tidak sah suatu jual beli sehingga disebutkan seluruh sifat dan
karakternya sebagaimana barang yang dipesan dalam sistem saham.
(b) Tidak sah suatu jual beli sehingga disebutkan sifat dan karakter
barang yang dikehendaki.
(c) Sah jual beli dengan tanpa penyebutan dari sifat dan karakter barang,
karena mekanisme khiya>r ru’yah masih berlaku bagi pembeli, maka
75 Ibid., 146.
69
sandaran berlaku atas ru’yah ini dan tidak perlu akan penyebutan
sifat dan karakternya.
Madhhab Hambali membolehkan jual beli yang objek akadnya tidak jelas
sifat dan karakternya. Jumhu>r fuqa>ha> membolehkan jual beli atas sesuatu yang
gaib dengan menyandarkan pada ru’yah yang pernah dilakukan, yaitu berdasarkan
pantauan pembeli sebelum waktu akad tiba, dengan adanya persyaratan tertentu
menurut sebagian mereka. Kemudian jika pembeli menemukan barangnya sesuai
dengan pantauan awal, maka jual beli menjadi keharusan, dan jika tidak sesuai,
maka pembeli memiliki khiya>r.76
Gharar dibagi secara kuantitas yang melekat pada sebuah akad. Ulama
membaginya menjadi 2 (dua) bagian, pertama gharar yang berkuantitas ringan
(yasi>r), dan yang kedua gharar berkuantitas banyak (kathi>r). Untuk jenis pertama
para fuqaha> sepakat tidak dapat dihindari, oleh karenanya mubah hukumnya,
sedangkan untuk jenis kedua para fuqaha bersepakat akan keharamannya.
Unsur gharar hanya dapat berpengaruh (menentukan sah tidaknya) dalam
akad mu’a>wadhah ma>liyah. Adapun dalam akad yang bersifat derma (tabarru’),
maka hal tersebut tidak berpengaruh dalam sah tidaknya sebuah akad. Madhhab
Maliki memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh madhhab lainnya dalam
permasalahan dimaksud, karena dalam madhab ini ada sebuah kaidah umum
tentang gharar dalam akad-akad tabarru’.Kaidah tersebut adalah “seluruh akad
76 Ibid.
70
tabarru’ tidak dapat dipengaruhi oleh unsur gharar dalam menentukan sah
tidaknya suatu akad.”77
Alasan pelarangan jual beli gharar menurut Syaikh al-Isla>m Ibnu
Taimiyyah selain karena memakan harta orang lain dengan cara yang batil, juga
merupakan transaksi yang mengandung unsur judi atau maysir (spekulasi).78
Gambar 2.2
Alur Gharar
c. Terhindar dari unsur judi
Judi (maysir) merupakan bentuk objek yang diartikan sebagai tempat
untuk memudahkan sesuatu. Dikatakan memudahkan sesuatu karena seseorang
yang seharusnya menempuh jalan yang susah payah akan tetapi mencari jalan
pintas, dengan harapan dapat mencapai apa yang dikehendaki, walaupun jalan
pintas tersebut bertentangan dengan nilai serta aturan shari>’ah.
Dalam kitab Al-Mu’jam al-Wasi>t79 {, lafal maysir di-muradif-kan dengan
kata qimar. Sedangkan lafal qimar diartikan sebagai setiap bentuk permainan
77 Ibid. 78 Ibnu Taimiyyah, Mukhtas}ar al Fata>wa al Mis}riyyah, tah}qi>q: Abdul Majid Sulaim, (Kairo: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.), 342.
Uncertain (tidak pasti)
Certain (pasti) Taghrir
71
yang mengandung unsur pertaruhan (judi). Dijelaskan pula dalam kitab tersebut
bahwa “maysir” adalah salah satu bentuk perjudian orang Arab pada masa
jahiliyah, dengan menggunakan azla>m, atau sebuah permainan yang
menggunakan aqidah dalam segala sesuatu.
Menurut Muhammad Ali> Al-S}a>bu>ni> dalam kitab tafsirnya Rawa>’i’ al-
Baya>n fi> Tafsi>r Ayat al-Ahka>m, judi adalah setiap permainan yang menimbulkan
keuntungan (ribh) bagi satu pihak dan kerugian bagi pihak lainnya.80 Senada
dengan ini, Yusuf al-Qardhawi mengatakan, bahwa judi adalah setiap permainan
yang mengandung untung atau rugi bagi pelakunya.81 Asy-Syaukani menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan maysir adalah setiap permainan yang pemainnya
tidak sunyi dari menang atau kalah.82 Dalam kitab Fath{ al-Ba>ry83 yang
dikemukakan oleh Ibrahim Husen yang disebut judi adalah apabila masing-
masing kedua pihak mengeluarkan taruhan, siapa yang menang akan mengambil
benda-benda yang dijadikan taruhan tersebut.
Beberapa definisi tersebut sebenarnya saling melengkapi, sehingga dapat
disimpulkan sebuah definisi judi yang menyeluruh. Jadi, judi adalah segala
permainan yang mengandung unsur taruhan (harta/materi) dan pihak pihak yang
menang mengambil harta/materi dari pihak yang kalah. Dengan demikian, dalam
79 Must{afa Ibrahi>m Ah{mad Hasan al-Zayya>t Hami>d Abdul Qodi>r Muhammad Ali an-Najja>r, Al-Mu’jam al-Wasi>t{, (Istambul: al-Maktabah al-Isla>miyyah, 1960), 236. 80 Muhammad Ali> Al-Sa>bu>ni>, Tafsi>r Aya>t Ahka>m Al-Sa>bu>ni (Rawa>i’ al-Baya>n fi Tafsi>r Aya>t al-Ahka>m min al-Qura>n), Jilid 1. Terj. Mu`ammal Hamidy & Imron A. Manan, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983), 279. 81 Yusuf al-Qard}a>wi> , Al-Hala>l wa al-Hara>m fi> al-Isla>m, Terj. Muammal Hamidy, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1990), 417. 82 Adib Bisri Mustafa, Terjemahan Nail al-Aut{a>r Jilid V, (Semarang: CV Asy- Syifa, 1994), 258. 83 Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath{ al-Ba>ry, (Beirut: Da>r al-Fikr, Juz, V), 413.
72
judi terdapat tiga unsur : (1) adanya taruhan harta/materi (yang berasal dari kedua
pihak yang berjudi), (2) ada suatu permainan, yang digunakan untuk menentukan
pihak yang menang dan yang kalah, dan (3) pihak yang menang mengambil harta
(sebagian/seluruhnya/kelipatan) yang menjadi taruhan, sedang pihak yang kalah
akan kehilangan hartanya.
Allah SWT telah melarang segala jenis perjudian, sebagaimana dinyatakan
dalam al-Qur’a>n surat Al-Maidah ayat 90 :
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.84
Dalam ayat di atas tidak disebutkan ’illat-nya, tetapi dikemukakan
sebuah perbuatan yang kotor dan perbuatan setan, dan pernyataan tersebut tidak
dapat dijadikan ’illat. Hakikat judi menurut bahasa Arab adalah permainan yang
mengandung unsur taruhan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
langsung atau berhadap-hadapan di dalam suatu majelis.85
Sifat yang dijadikan ’illat harus sebagai berikut 86:
1). Merupakan sifat yang jelas (kongkrit) yang dapat dicerna panca indera. 84 Departemen Agama RI, Al- Qur’a<n dan Terjemahnya, 189. 85 Must{afa Ibrahi>m Ah{mad Hasan al-Zayya>t Hami>d Abdul Qodi>r Muhammad Ali an-Najja>r, Al-Mu’jam al-Wasi>t{, 237. 86 Ibid.
73
2). Merupakan sifat yang mund{abit artinya yang tetap karena situasi dan
kondisi.
3). Sifat muna>sif (relevan), artinya sifat yang dijadikan ’illat tadi
mengandung hikmah.
4). Sifat itu harus dibawa/dikembangkan pada kasus-kasus yang timbul
kemudian, ini dilakukan untuk diqiyaskan.
Ibn Taymiyyah87 menjelaskan bahwa ada dua mafsadah yang terdapat di
dalam judi, yaitu mafsadah yang berhubungan dengan harta dan mafsadah yang
berhubungan dengan perbuatan judi itu sendiri. Mafsadah yang berhubungan
dengan harta adalah penguasaan harta orang lain dengan cara yang batil. Sedang
mafsadah yang berhubungan dengan perbuatan, selain tindakan penguasaan itu
sendiri, adalah mafsadah yang bersifat efek samping yang ditimbulkannya
terhadap hati (jiwa) dan akal. Sementara masing-masing dari kedua mafsadah itu
memiliki larangan secara khusus.
Secara tersendiri, penguasaan terhadap harta orang lain dilarang secara
mutlak, walaupun tindakan itu dilakukan bukan dengan cara perjudian, seperti
larangan memakan riba. Oleh karena di dalam judi itu terdapat dua mafsadaħ
sekaligus, maka pengharamannya juga lebih kuat dibanding riba dan minum
khamar. Oleh karena itu jugalah pengharaman judi itu lebih dulu dibanding
pengharaman riba.884]
87 Ahmad 'Abd al-H}ali>m bin Taymiyyah al-H}ara>niy, Kutub wa Rasa>il wa Fata>wa> Ibn Taymiyyah fi >al-Fiqh, Juz 32, (t.t.: Maktabah Ibn Taymiyyah, t.th.), 237. 88 Ibid.
74
Gambar : 2.3. Maysir vs Hadiah
d. Terhindar dari unsur haram
Transaksi yang dilakukan oleh seorang muslim diharuskan terhindar dari
unsur haram. Sesuatu yang haram merupakan segala sesuatu yang dilarang oleh
Allah SWT dan Rasul-Nya. Kata ”haram” secara etimologi bermakna melarang.
Sesuatu yang haram berarti yang dilarang untuk melakukannya.89
89 Must{afa Ibrahi>m Ah{mad Hasan al-Zayya>t Hami>d Abdul Qodi>r Muhammad Ali an-Najja>r, Al-Mu’jam al-Wasit{ , 338.
Ketidak Pastian/ UNCERTAINT
Game of change
Game of skill
Natural event
Result of Game
Non-zero sum game
Zero sum game
HADIAH
MAYSIR
75
Secara garis besar sesuatu yang haram terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu
1). Haram secara zatnya seperti babi, khamr, darah, bangkai, perjudian dan
segala sesuatu yang dipersembahkan bagi selain Alah SWT.
2). Haram karena proses yang ditempuh dalam memperoleh sesuatu.
Makanan atau barang halal yang diperoleh dengan cara bat{il (mencuri,
merampok dan lainnya), menjadi tidak halal hukumnya.
3). Haram karena tidak sah akadnya, yaitu tidak terpenui rukun dan syaratnya.
Gambar 2.4
Pembagian Haram dan Unsur-unsurnya .
e. Terhindar dari unsur shubha>t
Kata shubha>t berarti mirip, serupa, semisal dan bercampur. Dalam
terminologi shari>ah, shubha>t diartikan “sesuatu perkara yang tercampur (antara
halal dan haram), akan tetapi tidak diketahui secara pasti, apakah ia sesuatu yang
halal atau haram, dan apakah ia hak ataukah batil.90
90 http://id.wikipedia.org/wiki/Syubhat#Definisi_Syubhat, (5 Desember 2013).
1. Babi 2. Khamr 3. Bangkai 4. Darah
1. Tadli>s 2. Taghri>r
(Gharar) 3. Ih{tika>r 4. Bai’ naja>sh 5. Riba
1. Tidak terpenuhinya rukun dan syarat
2. Terjadi ta’alluq 3. Terjadi “2 in 1”
HARAM
Haram selain zatnya
Tidak sahnya akad Haram zatnya
76
Rasulullah SAW bersabda :
صلى هللا علیھ : عنھما قال عن النعمان بن بشیررضي هللا سمعت رسول هللا
ول ق یر من - وسلم ی مھن كث عل ھات ال ی ینھما مشتب ین وب حرام ب ل ن ا ین وإ حالل ب ن ال إ
ھ وع دین ل ستبرأ د ا ق ات ف بھ لش قى ا من ات اس ف لن ي ا ات وقع ف بھ لش ي ا رضھ ومن وقع ف
حرام ل ال , ا ك حمى أ كل مل ن ل ال وإ یھ أ ع ف ق ن ی لحمى یوشك أ رعى حول ا اعي ی كالر
حت ص ذا صل إ جسد مضغة ل ي ا ن ف ال وإ محارمھ أ ن حمى هللا ذا وإ ھ وإ جسد كل ل ح ا ل
ب ل ق ل ال وھي ا ھ أ جسد كل ل 91)رواه مسلم( .فسدت فسد ا
Dari Abu> Nu’ma>m bin Bashi>r r.a., aku mendengar Rasulullah s}allalla>hu ‘alaihi wasallam bersabda: “yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara shubha>t (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang shubha>t berarti telah memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan barang siapa yang sampai jatuh (mengerjakan) pada perkara-perkara shubha>t, sungguh dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan (larangan), dan ketahuilah bahwa batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah seluruh tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah seluh tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati”.
C. Norma Etika
Dalam bisnis tidak dapat dilepaskan dengan etika. Istilah yang identik
dengan etika92 adalah : (1) susila, dari bahasa Sanskerta, yang lebih berorientasi
kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su), (2) akhlak
dari bahasa Arab berarti perbuatan yang baik, (3) moral dari bahasa Latin
91 Sayyid bin Ibra>hi>m al-Huwaiti>, Sharh{ Arbai>n an-Nawa>wi>, terj. Muhammad Iskandar Shah Bin Abu Ahmid, (Jakarta: Da>rul H{a>q, 2006), 21. 92 Ismail Nawawi, Fiqh Mu’amalah, Hukum Ekonomi, Bisnis dan Sosial, 24.
77
“Mores” yang berasal dari “mos” (tunggal) yang berarti adat kebiasaan. Dalam
bahasa Indonesia moral diartikan susila. Pengertian moral adalah sesuai dengan
ide-ide umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar sesuai
dengan ukuran-ukuran tindakan manusia yang oleh umum dapat diterima.
Dengan demikian jelas persamaan etika dengan moral, namun ada pula
perbedaannya, yaitu etika lebih banyak bersifat dengan teori, sedangkan moral
lebih banyak bersifat praktis. Menurut pandangan ahli filsafat etika memandang
laku perbuatan manusia secara universal, sedangkan moral secara lokal atau
terbatas. Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu. Dalam bahasa
Indonesia, selain menerima perkataan ahklak dalam bahasa Arab, etika dan moral
juga dipergunakan beberapa perkataan dan tujuannya sama atau hampir sama
dengan akhlak tersebut, seperti susila, sopan santun, adat, perangai, tingkah laku,
perilaku dan kelakuan.
Etika merupakan cabang dari filsafat yang mencari kebenaran dan
keterangan akan kebenaran yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi
etika, ia mencari ukuran baik-buruknya bagi tingkah laku manusia, tentang apa
yang harus dilakukan dan apa yang harus tidak dilakukan.
1. Kebebasan berbisnis
Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan bisnis,
kebebasan ini tidaklah mutlak. Kebebasan dapat digunakan apabila tidak
bertentangan dengan shari>’at Islam, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat
Al-Maidah ayat 1 :
78
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah ‘aqad-‘aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.93
Dalam bidang mu’a>malah, terdapat kaidah fiqih yang berisikan bahwa
“asal sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”.94
Kebolehan ini dibatasi sampai ada dasar hukum yang melarangnya. Kaidah ini
berlaku untuk bidang mu’a>malat, tetapi tidak berlaku untuk bidang ibadah.
Kebolehan di bidang mu’a>malah ini terdapat dalam al-Qur’a>n pada surat ash-
Shu>ra ayat 21, sebagai berikut :
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah), tentulah mereka telah dibinasakan. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.95
93 Departemen Agama RI, Al- Qur’a<>n dan Terjemahnya, 157. 94 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh, Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), 135. 95 Ibid., 783.
79
2. Persamaan atau kesetaraan dalam bisnis
Manusia dalam melakukan mu’a>malah selalu berinteraksi dengan orang
lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan melandaskan persamaan dan
kesetaraan (al-musa>wah), sebagaimana firman Allah SWT dalam surah An-Nah{l
ayat 71 :
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.96
Kehidupan manusia itu tidak ada yang sempurna, masing-masing orang
mempunyai keistimewaan, sehingga satu sama lain dapat menutup kekurangan
yang lain untuk menuju kesempurnaan. Hal ini menunjukkan bahwa di antara
sesama manusia masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam surat
Al-Hujura>t ayat 13 Allah SWT berfirman :
96 Ibid., 402.
80
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.97
3. Asas keadilan
Manusia dalam melakukan transaksi dalam bidang bisnis harus
memberikan sesuai dengan haknya masing-masing atau berlaku secara adil (al-
‘ada>lah) yang berlandaskan pada shari>’ah Islam. Dalam asas ini, para pihak yang
melakukan perikatan dituntut untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak
dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat dan memenuhi semua
kewajibannya. Dalam surat Al-Hadi>d ayat 25 disebutkan :
Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi, yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan Rasul-rasul-Nya. Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.98
97 Ibid, 845. 98 Ibid., 904.
81
Dalam al-Qur’a>n surat An-Nah{l ayat 90 Allah SWT berfirman :
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.99
3. Asas kerelaan (al-ridha>)
Dalam melakukan perjanjian bisnis, harus dilakukan dengan cara saling
suka-sama suka atas dasar kerelaan antara kedua belah pihak, sehingga tidak ada
yang merasa terpaksa.
Dalam surah An-Nisa> ayat 29 Allah SWT berfirman :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.100
99 Ibid., 415. 100 Ibid., 122.
82
Ayat di atas menunjukkan bahwa dalam melakukan suatu perdagangan
hendaklah atas dasar suka sama suka atau sukarela. Tidak dibenarkan dalam suatu
perbuatan muamalat, perdagangan usaha dilakukan dengan pemaksaan ataupun
penipuan. Jika hal ini terjadi, dapat membatalkan perbuatan tersebut. Unsur
sukarela ini menunjukkan keikhlasan dan itikad baik dari para pihak yang terlibat.
D. Norma Transaksi
Dalam pembahasan transaksi bisnis, transaksi merupakan kondisi yang
esensial dalam pelaksanaan bisnis. Konsep transaksi (akad) menurut Wahbah al-
Zuhaily>101, Shalah al-Sha>wi> dan Abdulla>h Mushlih102 adalah terbentuknya akad
dalam bisnis dapat dikategorikan menjadi syarat sah (s}ahih), rusak (fa>sid) dan
syarat yang batal (ba>t}il). Wahbah al-Zuhaily> menyebutkan beberapa ketentuan,
yaitu ketentuan yang sesuai dengan substansi akad, mendukung dan memperkuat
substansi akad dan dibenarkan oleh syara’, sesuai dengan kebiasaan masyarakat
(‘urf). Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al- Maidah ayat 1
dan surat Ali Imra>n ayat 76 :
.
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu...103
101 Wahbah al-Zuhaily>, Al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, 501. 102 Shalah As-Sha>wi> dan Abdullah Mushlih, Ma> la> Yasa>’u al-Ta>jiru Jahlahu, (Riyadh KSA: Da>r al-Muslim, 2001), 401. 103 Departemen Agama RI, Al- Qur’a<n dan Terjemahnya, 56.
83
(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.104
Oleh karena itu, syarat pembentukan akad dibedakan menjadi syarat
Penjelasan dari masing-masing pendapat tentang transaksi atau akad yang
disebutkan di atas, secara substantif, dapat dijelaskan sebagai berikut 107:
1. Aktor akad adalah penjual dan pembeli atau pihak-pihak yang bertransaksi
(a>qid). Pengertian a>qid ialah orang yang berakad, baik terdiri dari satu
orang atau lebih. Seseorang yang berakad terkadang orang yang memiliki
kecakapan dan hak (wilaya>h/a>qid as}li) dan terkadang merupakan wakil dari
yang memiliki hak (fud{u>l).
2. Obyek akad (ma’qu>d ‘alayh) adalah benda-benda yang dijadikan sebagai
obyek akad, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam
akad hibah (pemberian), dan dalam akad gadai.
3. Subtansi akad (mawd}u>’ al-‘aqd) adalah maksud dan tujuan yang ingin
dicapai dalam akad yang dilakukan. Hal tersebut menjadi penting karena
berpengaruh terhadap implikasi tertentu. Berbeda akad, maka berbedalah
tujuan pokok akad.
4. Serah-terima (i>ja>b-qabu>l) adalah berbentuk i>ja>b dan qabu>l. I>ja>b adalah
permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai
gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan qabu>l ialah
perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah
adanya i>ja>b. Pengertian i>ja>b qabu>l dalam pengamalan dewasa ini ialah
bertukarnya sesuatu dengan yang lain, sehingga penjual dan pembeli dalam
107 Ibid., 212.
85
membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan, misalnya seseorang yang
membeli tiket pesawat terbang dengan pemilik pesawat tersebut tapi hanya
membeli tiket melalui travel.
5. Administrasi. Secara rinci kegiatan admimistrasi adalah tugas pelayanan
pada konsumen dalam menunjang transaksi atau akad di sekitar keterangan
atau informasi dan kegiatan yang berwujud berupa informasi dan
dokumentasi.
6. Kepastian hukum dalam transaksi jual beli yakni terhindarnya dari
beberapa pilihan (khiya>r) dalam jual beli, seperti khiya>r sarat, khiya>r ’aib,
dan khiya>r lainnya. Jika luzu>m tampak, maka akad batal atau
dikembalikan.
Ketentuan dalam pelaksanaan transaksi atau akad yang disebut merupakan
segala sesuatu yang bisa digunakan untuk mengungkapkan kesepakatan atas dua
kehendak atau sesuatu yang bisa disamakan dengan hal itu dari tindakan isyarat,
atau korespondensi. Menurut pendapat mayoritas atau jumhur ulama’, rukun akad
dijelaskan secara terperinci, yaitu adanya pihak-pihak yang berakad (a>qid), obyek
akad (ma’qu>d ‘alaih) dan ungkapan (sighat).
E. Norma Kreatif
Dalam bisnis, perlu ada kemampuan berpikir kreatif dan tindakan
konstruktif untuk mewujudkan berbagai pola produksi dan layanan dengan
identifikasi peluang dan jenis usaha yang akan atau sedang dikembangkan
menjadi usaha yang produktif. Orang-orang yang cerdas dan kreatif selalu
86
berusaha mencari tahu apa fenomena yang nampak, dan terus mengembangkan
nalarnya sampai dia mengungkapkan esensi dari kenyataan itu.
Kreatifitas dan kecerdasan manusia dalam memahami dan menganalisis
bisnis terbangun atau terkonstruksi dari,108 pertama IQ (Intelligence Quotient),
yakni kemampuan intelektual, analisis, logika, dan rasio. Ke dua SQ (Spiritual
Quotient) adalah kemampuan merasakan, memahami dan kepekaan emosi sebagai
sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Ke tiga EQ
(Emotional Quotient), yaitu kecerdasan untuk menangkap makna sebuah perilaku
dalam konteks yang lebih luas dan mengarah pada perilaku yang konstruktif dan
positif. Oleh karena itu Allah SWT mengingatkan agar senantiasa menghindari
perbuatan dhalim dalam bisnis, termasuk dalam penciptaan, penawaran dan proses
perubahan nilai dalam pemasaran. Allah SWT berfirman dalan surat As{-S{a>d (38)
ayat 24 :
Daud berkata: "Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan
108 Taufik Pasiak, Revolusi IQ, EQ, SQ ; Antara Neurosains dan Al Qur’an, (Mizan: Bandung, 2002), 38.
87
sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.109
Oleh karena itu Allah SWT mengingatkan kepada pebisnis, para marketer
dan para pengusaha muslim, melalui firmanNya dalam al-Qur’a>n surat Al-Maidah
(5) ayat 1 :
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.110
Dalam perkembangan ekonomi Islam dewasa ini harus mampu
mengembalikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bisnis. Dalam dunia bisnis
muncul kesadaran akan pentingnya etika, kejujuran dan prinsip-prinsip Islam
lainnya. Pelaku bisnis secara Islami tentunya meneladani bisnis Rasulullah Saw,
yang memberikan contoh kepada manusia cara berbisnis yang berpegang teguh
kepada kebenaran, kejujuran, sikap amanah serta tetap memperoleh keuntungan.
Rasulullah Saw merupakan prototipe sukses dalam melakukan spiritualisasi
marketing. Oleh karena itu contoh Rasulullah Saw dengan mengutamakan nilai-
109 Departemen Agama RI, Al-Qur’a<n dan Terjemahnya, 733. 110 Ibid., 532.
88
nilai spiritual Islami merupakan tindakan yang sangat terpuji yang direkomendasikan
dengan ayat-ayat Allah SWT dalam al-Qur’a>n.
Manusia adalah makhluk yang dianugrahi oleh Allah SWT berupa naluri,
yang mendorong untuk memperoleh kemanfaatan yang disenangi, dan
menghindarkan kemad{aratan yang tidak berguna bagi manusia. Allah SWT
berfirman dalam surah Ali Imra>n ayat 14 :
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga).111
Naluri merupakan fitrah sebagai sarana manusia, sebagai khalifah di muka
bumi dan sebagai upaya memakmurkan bumi dengan menggunakan potensi akal
pikiran, rasa, karsa, hati dan nafsu. Dengan ke lima potensi tersebut manusia mampu
merekayasa dan memperoleh kebutuhannya sesuai dengan apa yang diharapkan.
Dalam spiritualisasi marketing dirancang berdasarkan tiga kombinasi112,
yaitu :
111 Departemen Agama RI, Al-Qur’a<n dan Terjemahnya, 77. 112 Ismail Nawawi, Kewirausahaan Bisnis, (Surabaya:VIVpress, 2011), 55.
89
1. Pemasaran pada tingkat kecerdasan intelektual, fokusnya adalah strategi
program yang terkait dengan product, place, price, promotion-marketing mix,
deferesiasi marketing dan selling.
2. Pemasaran pada tingkat kecerdasan emosional/feeling/rasa, ditandai dengan
hadirnya konsep customer relationship, emotional branding dan experental
marketing. Pemasaran pada tingkat ini intinya memasukan value emosional
untuk memanjakan pelanggan dan menciptakan pengalaman baru dalam
mengkonsumsi produk.
3. Pemasaran pada kecerdasan spiritual, pemasaran yang dibimbing dengan nilai-
nilai akidah, yaitu kecerdasan (fat{a>nah), kepercayaan (ama>nah), kejururan
(s{iddi>q) dan komunikatif (tabli>qh) yang disebut dengan soul marketing yang
telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Pemasaran spiritual mendorong
marketer agar menjadikan pasar itu sebagai ibadah untuk menciptakan
kemakmuran dan dakwah fastabiq al khaira>t.
Tabel 2.5
Varibel Spiritualisasi Marketing
Spiritual Akal
Pikiran/Rasio/Logika Rasa / Emosi
Naruli/ Karsa/
Psikomotor
Soul
Marketing
Strategi Customer
Relationship Implementasi
Marketing Program Emotional
Branding
Value Experiental
90
marketing
Differensiasi
Selling
Aktivitas pemasaran dilakukan atas dasar bimbingan firman Allah SWT
dalam al-Qur’a>n dan H{adi>th Rasulullah Saw, sehingga memungkinkan pemasaran
itu menjadi ibadah dalam mencari keuntungan yang memiliki nilai-nilai tinggi,
karena baik proses maupun hasilnya tidak bertentangan dengan shari>’at Islam.
Aktivitas itu akan mampu menghasilkan manfaat bagi orang banyak, menjadikan
Allah SWT sebagai backing aktivitas ekonomi yang dilakukan, sebagaimana firman
Allah SWT dalam surat Al-An’a>m ayat 162 dan 163 :
Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".113
Berikut ini disajikan tabel kompilasi norma dan variabel spiritual bisnis
Islam :
113 Departemen Agama RI, Al-Qur’a<n dan Terjemahnya, 216.
HATI VERSUS NAFSU
91
Tabel 2.6
Kompilasi Norma dan Variabel Spiritual Bisnis Islam
Nomor Norma Variabel
1. Shari>’ah 1. Terbebas dari unsur riba.
2. Gharar
3. Maysir
4. Haram
5. Shubhat
2. Etika 1. Kebebasan berbisnis
2. Persamaan dan kesetaraan
3. Kemaslahatan dan manfaat.
4. Keadilan
5. Kerelaan
3.
Transaksi
1. Aktor transaksiator.
2. Obyek transaksi
3. Subtansi bisnis
4. Kepastian hukum
5. Administrasi
6. Ijab-qabul
4. Kreatif 1. Strategi
2. Program
3. Nilai
4. Deferensiasi
5. Penjualan (Selling)
Dari tabel 2.6 tentang kompilasi norma dan variabel spiritual bisnis Islam di
atas, dapat dirumuskan proposisi sebagai berikut : “Spiritual bisnis Islam
92
dibangun dengan dukungan determinan norma shari>’ah, etika, transaksi dan