38 BAB II ANALISIS DATA Penelitian ini membahas tentang kajian secara filologis dan kajian isi. Filologi merupakan ilmu yang mempelajari seluk beluk tentang bahasa, sastra, dan budaya melalui teks-teks yang terdapat dalam naskah dengan cara melakukan pembenaran untuk mendapatkan teks yang bersih dari kesalahan. Kajian filologi ada dua cabang, yakni kajian filologi tradisional dan kajian filologi modern. Kajian filologi tradisional bertujuan untuk mendapatkan teks yang murni dan mendekati aslinya yang bersih dari kesalahan. Berbanding terbalik dengan kajian filologi tradisonal, kajian filologi modern menganggap kesalahan dalam naskah sebagai suatu bentuk kreativitas dalam membenarkan dan mengembangkan suatu teks, sehingga membentuk teks yang baru. Penelitian ini menggunakan kajian filologi tradisional dengan menerapkan metode penyuntingan naskah tunggal, dengan metode standar dalam penggarapan. Metode standar menurut Edwar Djamaris (2002: 24) merupakan metode yang digunakan dalam naskah tunggal, isi dari naskah bukan merupakan cerita yang suci melainkan cerita biasa. Kajian isi menjabarkan tentang prosesi dan makna Upacara Garebeg Mulud, simbol-simbol yang digunakan dalam Upacara Garebeg Mulud yang ada dalam naskah SGM. A. Kajian Filologis Kajian filologis membahas SGM dengan cara kerja filologi tradisional yang berlandaskan penggarapan naskah tunggal dengan menggunakan metode standar. Analisis berisi tentang deskripsi naskah, kritik teks, suntingan teks dan aparat kritik, serta terjemahan. Berikut penjabarannya :
92
Embed
BAB II ANALISIS DATA - abstrak.ta.uns.ac.id · dan budaya melalui teks-teks yang terdapat dalam naskah dengan cara melakukan ... Pesta Raja 7. ... pada halaman terakhir juga terdapat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
38
BAB II
ANALISIS DATA
Penelitian ini membahas tentang kajian secara filologis dan kajian isi.
Filologi merupakan ilmu yang mempelajari seluk beluk tentang bahasa, sastra,
dan budaya melalui teks-teks yang terdapat dalam naskah dengan cara melakukan
pembenaran untuk mendapatkan teks yang bersih dari kesalahan. Kajian filologi
ada dua cabang, yakni kajian filologi tradisional dan kajian filologi modern.
Kajian filologi tradisional bertujuan untuk mendapatkan teks yang murni dan
mendekati aslinya yang bersih dari kesalahan. Berbanding terbalik dengan kajian
filologi tradisonal, kajian filologi modern menganggap kesalahan dalam naskah
sebagai suatu bentuk kreativitas dalam membenarkan dan mengembangkan suatu
teks, sehingga membentuk teks yang baru. Penelitian ini menggunakan kajian
filologi tradisional dengan menerapkan metode penyuntingan naskah tunggal,
dengan metode standar dalam penggarapan. Metode standar menurut Edwar
Djamaris (2002: 24) merupakan metode yang digunakan dalam naskah tunggal, isi
dari naskah bukan merupakan cerita yang suci melainkan cerita biasa. Kajian isi
menjabarkan tentang prosesi dan makna Upacara Garebeg Mulud, simbol-simbol
yang digunakan dalam Upacara Garebeg Mulud yang ada dalam naskah SGM.
A. Kajian Filologis
Kajian filologis membahas SGM dengan cara kerja filologi tradisional
yang berlandaskan penggarapan naskah tunggal dengan menggunakan metode
standar. Analisis berisi tentang deskripsi naskah, kritik teks, suntingan teks dan
aparat kritik, serta terjemahan. Berikut penjabarannya :
39
1. Deskripsi Naskah
Deskripsi merupakan upaya penggambaran terhadap sebuah naskah
dengan menyertakan rincian mengenai wujud fisik naskah dan isi naskah dengan
secara ringkas supaya dapat dipahami pembaca. Deskripsi dilakukan dengan
tujuan untuk mempermudah penggambaran dan pengenalan terhadap naskah
beserta konteks isinya.
Penelitian deskripsi naskah menurut Emuch Hermansoemantri (1986)
harus memperhatikan 19 hal, yaitu: (1) Judul naskah; (2) nomor naskah; (3)
tempat penyimpanan naskah; (4) asal naskah; (5) keadaan naskah; (6) ukuran
naskah; (7) tebal naskah/jumlah halaman; (8) jumlah baris pada setiap halaman;
(9) huruf, aksara, tulisan; (10) cara penulisan; (11) bahan naskah; (12) bahasa
naskah; (13) bentuk teks; (14) umur naskah; (15) pengarang/penyalin; (16) ukuran
teks; (17) asal usul Naskah; (18) fungsi sosial naskah; (19) ikhtisar teks/cerita.
Berikut deskripsi naskah SGM:
a. Judul Naskah:
Naskah yang digunakan dalam penelitian ini berjudul Serat
1. Buku keluarnya sang Raja di acara Garebeg Mulud Dal.
2. Di Garebeg Mulud bukan Dal
3. Di Garebeg Pasa
4. Di Garebeg Besar
5. Tahun Baru
6. Pesta Raja
7. Tetapi ketiga Garebeg52
, Mulud yang bukan di tahun Dal atau Garebeg
Pasa, Garebeg Besar, garebeg tadi menjadi satu saja, karena
penghormatan juga semuanya sama tidak ada bedanya, hanya Garebeg
Mulud tahun Dal inilah yang berbeda [2].
Ini buku keluarnya sang Raja, ketika beliau Ingkang Sinuhun Kangjeng
Susuhunan Pakubuwana ke 7:
1. Di Garebeg Mulud tahun Dal.
2. Di Garebeg Mulud bukan tahun Dal.
3. Di Garebeg Pasa.
4. Di Garebeg Besar.
5. Keluarnya Raja di Pesta Raja, Tahun Baru. Permintaan Raja waktu di
tahun Bé angka: 1776 [3].
Inilah buku yang menjadi acuan keluarnya sang Raja pada saat Garebeg
Mulud di tahun Dal, waktu beliau Raja Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan
52
Merupakan upacara adat istiadat yang diselenggarakan dan ditandai dengan keluarnya Raja dalam upacara Garebeg dan disertai keluarnya gunungan sebagai persembahan dari raja untuk memperingati hari besar islam.
94
Pakubuwana Senapati Ing Alaga Ngabdurrakman Sayidina Panatagama yang ke
tujuh, berdasarkan dari bintang Leo di Nederlan atau Belanda, di bawah ini
penjelasannya.
Bab ke 1
Di hari Senin Pon tanggal ke 12 bulan Rabiulawal di tahun Dal angka
tahun 1775, sejak pukul empat pagi, para Bendara, para Wedana semua
membunyikan gamelan milik Raja Kodok Ngorek Kadospaten yang dimainkan di
Sitinggil bangsal sebelah timur. Semua abdi dalem prajurit melakukan latihan,
abdi dalem Galadhag menurunkan gunungan milik Raja di Magangan53
, di bawah
pohon Lo54
. Kemudian gamelan milik Raja Sekaten dipindahkan dari Masjid
Ageng dan ditata di taratag Sitinggil bagian utara.
Bab ke 2
Di waktu pukul tujuh pagi, semua abdi dalem melihat-lihat kemudian
menanam milik Raja umbul-umbul, daludag dan bendera merah putih, di sebelah
utara meriam selatan pohon beringin kurung55
. Sifat wantilan.
Bab ke 3
Di waktu pukul setengah delapan, gunungan milik Raja dipindahkan oleh
Nyai Tumenggung berempat bersama teman wanita, menuju ke Sri Manganti
sebelah utara. kemudian diterima abdi dalem Ngajeng, dibawa diluarnya kori
kamandhungan. Ditempatkan di Pangrantunan sebelah timur, menghadap ke
timur, kemudian diberi bendera merah putih, berkainkan jarik berwarna kuning.
53
Magangan menurut kamus Poerwodarminta memiliki arti Pangadangan atau tempat untuk memasak 54
secara ilmiah pohon ini bernama Ficus racemosa L, sedangkan sebutan lain pohon ini adalah lowa atau Ara. 55
Beringin kurung yang dimaksudkan merupakan beringin yang terletak di tengah Alun-alun utara, pohon beringin tersebut merupakan pohon beringin Dewandaru dan Jayandaru.
95
Bab ke 4 [4]
Kemudian abdi dalem Priyantaka, Kaliwon dan jajarannya membawa
upacara kerajaan keluar ke Pagelaran di sebelah selatan Bangsal Pangrawit dan
tertata di sebelah timur dan barat jalan. Yang dibawa berupa payung besar
berjumlah empat, yang besar bendera merah putih seperangkat, yang kecil
serangkai bunga mayang.
Bab ke 5
Kemudian semua abdi dalem melanjutkan sendiri-sendiri menanam
umbul-umbul di tempat biasanya masing-masing.
Bab ke 6
Kemudian abdi dalem Sarati mendatangkan milik Raja Dipongga
keduanya berada di sebelah timur atau barat, abdi dalem Kusir Belanda kedua
mendatangkan kereta milik Raja di Paretan sebelah timur atau barat.
Bab ke 7
Kemudian abdi dalem Raden Ngabehi Wirakusuma, Mas Ngabehi
Resaniti, Kyai Jimat Ahmad Dalem, Kyai Ajar Saloka beserta temannya Juru
Suranata, mengeluarkan milik Raja Piring Besar, pusaka Nyai Belawong beserta
gunungan anakan dari Gandarasan. Yang memanggul Nyai Belawong adalah juru
kunci dari kota Gedhe dan yang memayungi adalah tuan tanah, yang memanggul
gunungan anakan adalah juru kunci dari Imagiri dan yang memayungi adalah juru
kunci dari Nitikan dari Girilaya, yang memanggul pikulan piring besar adalah juru
kunci dari Laweyan, semua gunungan dibawa menuju Bangsal Sri Manganti
sebelah barat.
96
Bab ke 8
Kemudian abdi dalem Raden Ngabehi Suranagara dan Raden Ngabehi
Tohpati mengeluarkan kendaraan Raja. Kedua kendaraan tersebut yang satu diberi
kelapa batangan, baludru merah peralatan emas, kain alas penyangga berwarna
hitam ciri pinggirannya, sedangkan yang satu diambilkan Cukel Raja, juga kain
baludru berwarna merah......., terbungkus kain kuning gading, terapit empat
tumbak, serta diiringi oleh abdi dalem Demang Bekel dari Bai, abdi dalem Mantri
Panegar sejajarnya, semua abdi dalem mengikuti di belakang kendaraan, semua
membawa cambuk atau Carak dan gantungan peralatan mengendara, di depan
kendaraan dijajari dua Gelodhog yang memanggul tempat rodhong dan kendhil
besar, semua membawa di nampan, kendaraan Raja keluar-[5]nya menuju
Pagelaran, di timur Bangsal Pangrawit.
Bab ke ke 9
Pada pukul 8.00 (delapan) semua abdi dalem prajurit masuk, yang menjadi
pimpinan adalah Prajurit Tamtama, kemudian Prajurit Miji Pinilih, kemudian
prajurit Jayeng Astra, kemudian prajurit Carangan. Sesampainya di Palataran
kemudian berhenti dan berbaris, Prajurit Tamtama berbaris di sebelah utara
Pringgitan, Prajurit Miji Pinilih berbaris di selatan Panggung Sangga Buwana,
prajurit Jayeng Astra baris di timur Pendhapa, prajurit Carangan baris di sebelah
timur Pendhapa hijau, semua tadi kemudian saling mengambil posisi masing-
masing.
Bab ke 10
Abdi dalem prajurit Jayantaka masuk menuju alun-alun, kemudian prajurit
Jager Rajegwesi, kemudian prajurit Anir Westhi, kemudian prajurit Anir Pringga,
97
kemudian prajurit Anirmala, Kemudian prajurit Anirwikara, kemudian prajurit
Singgan, kemudian prajurit Jawahan, Kemudian prajurit Jagapura, kemudian
Prajurit Jagapaja, kemudian Prajurit Satabel.
Bab ke 11
Kemudian keluarnya abdi dalem prajurit Lebet, yang terdahulu adalah
prajurit Jayeng Astra, kemudian berbaris di utara Kamandhungan, kemudian
prajurit Carangan baris di Sri Manganti sebelah timur, kemudian keluarnya abdi
dalem prajurit Tamtama, bersamaan dengan abdi dalem Tanjidur, kemudian
prajurit Miji Pinilih. Kemudian prajurit Jayeng Astra ke Sitinggil, berbaris di
Taratag sebelah barat menghadap ke timur, prajurit Carangan di Kamandhungan
berbaris di sebelah timur kemudian di depan dengan Belanda dan para kerabat,
kemudian prajurit Tamtama berbaris di Sri Manganti sebelah timur, prajurit Miji
Pinilih di sebelah barat-[6] Tanjidur di sebelah selatan prajurit Miji Pinilih.
Bab ke 12
Abdi dalem prajurit Sarageni, berbaris di bawah tangga Sitinggil, prajurit
Lebet, prajurit Sarageni tadi kemudian keluar mendahului lalu berbaris di sebelah
selatan pohon beringin kurung kanan dan kiri, akan tetapi abdi dalem prajurit
Jayantaka berbaris di Pagelaran sebelah timur jalan, para prajurit semua berbaris
dan berjaga di alun-alun.
Bab ke 13
Kemudian keluarnya upacara milik Raja di Kadipaten menuju di
Kamandhungan, dibawa oleh abdi dalem Panewu Mantri di Kadipaten. Kemudian
abdi dalem Niyaga Estri mengeluarkan gamelan milik Raja Kyai Gerah Kapat dan
98
seperangkatnya, diterima abdi dalem Niyaga Jaler dibawa ke Sitinggil, yang
memanggul abdi dalem yang tinggi.
Bab ke 14
Kemudian Raden Adipati Sasradiningrat atau Wadana Kaliwon Panewu
Mantri, semua datang di Pagelaran. Wadana Gedhong Keparak dengan Kaliwon
Panewu Mantri dan jajarannya, abdi dalem Lebet semua datang di Sri Manganti.
Suranata. Kemudian kendaraan kerajaan diberangkatkan menuju Pagelaran yang
letaknya di sebelah timur Bangsal Pangrawit.
Pada pukul delapan pagi semua prajurit masuk dan berbaris di tempat
masing-masing. Prajurit Tamtama yang menjadi pemimpin pasukan berbaris di
sebelah utara Paringgitan, kemudian prajurit Carangan berbaris di sebelah timur
Pendapa hijau, Prajurit Miji Pinilih berbaris di selatan Panggung Sangga Buwana,
Prajurit Jayeng Astra berbaris di sebelah timur Pendapa, semua tadi berbaris
sesuai dengan posisi masing-masing.
Abdi dalem prajurit Jayantaka masuk ke alun-alun diikuti oleh prajurit
Rajegwesi, Anirwestri, Singgan, Jawahan, Jagapura, Jaya Praja, dan Satabel.
Kemudian Gunungan Dalem dikeluarkan dari Kadipaten menuju Kamandhungan
118
bersamaan dengan keluarnya Gamelan Kyai Gerah Kapat seperangkat menuju
Sitinggil.
Waktu pukul sepuluh pagi, yang terhormat Kangjeng Susuhunan datang
menuju Pendapa Ageng dan duduk di Singgasana, menghadap ke barat. Beliau
memakai baju kebesaran Raja dengan Mahkota berwarna biru muda, bajunya dari
kain baludru berwarna hitam, memakai bintang keprabon, memakai pengikat dari
kain sutra halus berwarna hitam, dan celananya juga dari baludru berwarna hitam
berenda emas, serta memakai sepatu yang berkilau.
Pada pukul setengah sebelas siang tamu Kangjeng Susuhunan datang ke
Sri Manganti disambut dengan musik tambur, kemudian para tamu disajikan
hidangan masakan yang beraneka ragam oleh Tuan Urdenas.
Tidak lama kemudian Kangjeng Susuhunan memberikan perintah kepada
Tuan Residhen karena upacara akan segera dimulai dan gunungan akan diiring
keluar. Keluarnya gunungan disambut dengan tarian bedhaya sarimpi. Gunungan
diiring menuju ke Tarayem Sitinggil sebelah barat melewati Bangsal Manguntur.
Setelah gunungan utama dikeluarkan kemudian disusul keluarnya Ancak Saradan
yang diiringi dengan alunan Kodhok Ngorek. Setelah itu disusul dengan Nyai
Blawong yang dikeluarkan, diiringi dengan alunan Sakati. Ketika Nyai Blawong
dibawa ke Sitinggil sebelah barat melewati belakang Bangsal Pangrawit, iringan
gendhing Sakati naik menjadi gendhing Rambu65
.
Setelah itu Urdenas Walandi membagikan serat Kundhisen kepada para
Tuan yang kebetulan mendapatkan Gunungan yang dikeluarkan. Kemudian abdi
dalem Lurah Urdenas Walandi menyampaikan penghormatannya kepada yang
65
Rambu berasal dari kata robbuna yang berarti pangeranku atau Allah yang menguasai alam semesta. Gendhing ini bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya.
119
memberikan larih ngandhap. Kemudian Tuan Residhen mendahului memberikan
selamat atas datangnya Garebeg Mulud tahun Dal. Penghormatan tersebut diiringi
dengan dibunyikannya tanjidur, kemudian disaut dengan tembakan oleh prajurit
Miji Pinilih, kemudian disambung dengan bunyi dari meriam besar Kyai Kumba
Kinumba hingga tiga kali yang dibunyikan oleh Miji Pinilih, selanjutnya disambut
oleh meriam kecil, kemudian disambut tembakan oleh prajurit Jayeng Astra dan
Jayantaka hingga enam kali tembakan, yang disambut meriam kecil lagi.
Kemudian tembakan dari prajurit Kawandasa Cemeng, Kawandasa Abrit, hingga
enam kali yang disambut meriam kecil saja. Kemudian prajurit Sarageni dan
Rajegwesi menembak hingga enam kali yang disambut lagi oleh meriam kecil.
Setelah semua tembakan dilakukan, meriam Kyai Aswani Kumba dibunyikan.
Kemudian alunan Kodhok Ngorek dimainkan secara keras.
Setelah semua penghormatan selesai dilakukan kemudian Kangjeng
Susuhunan datang ke Masjid Ageng. kendaraan raja, kapal keprabon dan
priyantaka berada di Kadipaten. Gunungan dalem diletakkan disebelah kiri dan
kanan jalan Masjid Ageng. Ambengan Nyai Blawong yang berjumlah empat
diletakkan di depan Kangjeng Susuhunan. Kemudian Penghulu atau imam masjid
membacakan doa-doa. Setelah pembacaan doa selesai dilakukan, abdi dalem
prajurit Tamtama, Sarageni, Miji Pinilih, Jayeng Astra, Jayantaka, Kawandasa
Cemeng, Kawandasa Abrit, dan Jager Rajegwesi semuanya menembakkan senjata
sebanyak tiga kali, dan disambut suara meriam besar Loji Beteng Surakarta,
dilanjutkan dengan iringan sekati.
Setelah itu Kangjeng Susuhunan kembali ke Sitinggil dan para abdi dalem
berjalan kembali seperti saat prosesi awal dilakukan, semua gunungan yang ada
120
diturunkan dan semua simpanan dalem yang dibawa oleh abdi dalem Jaler
diterima kembali oleh abdi dalem perempuan.
Minum66
yang kedua dilakukan oleh Kangjeng Tuan Gubernur Jendral
beserta para Rada Panikdiyasawa, diberi penghormatan bunyi meriam sampai 27
kali yang pertama dilakukan oleh Kangjeng Tuan Residhen. minum ketiga
dilakukan oleh Tuan Komas Aris. Minum ke empat dari Kangjeng Susuhunan,
kemudian Urdenas Walandi memberikan makan Raja roti Bangget. Kemudian
dibagikan kepada semua. Setelah roti bangget, dibagikanlah makanan yang lain,
kemudian dibagikan kepada semuanya.
Minum ke-lima selamat untuk Kangjeng Tuan Residhen yang memberikan
surat kundhisen kepada Kangjeng Susuhunan. Minum ke-enam selamatnya
Kangjeng Pangeran Adipati Angabehi. Setelah itu dibunyikan beberapa macam
gendhing Kabupatosan. Minum yang ke-tujuh selamatnya para Pangeran Putra
Santana Dalem. Minum yang ke-delapan untuk selamatnya Tanah Jawi. Setelah
semua penghormatan selesai dilakukan, kemudian semua yang hadir dalam
upacara Garebeg Mulud tahun Dal kembali ke keraton dan kembali Loji, tanpa
terkecuali semua prajurit dan abdi dalem.
2. Makna Simbolis dalam SGM.
Prosesi Garebeg Mulud mengandung simbol-simbol yang dapat dijadikan
pelajaran hidup serta mengandung pesan yang dapat mempengaruhi kehidupan
manusia. Simbol sebenarnya diciptakan atas dasar kesepakatan oleh masyarakat
yang fungsinya untuk mengatur dan memberikan pesan kepada yang
mempergunakannya. Menurut Budiono Herusatoto (2008: 155-156) bentuk-
66
Minum dapat dikatakakan sebagai tanda untuk memberikan ucapan selamat atau memperingati sesuatu.
121
bentuk simbolisme terbagi ke dalam tiga tindakan yakni tindakan simbolis dalam
religi, tindakan simbolis dalam tradisi, dan tindakan simbolis dalam kesenian.
Prosesi Garebeg Mulud dalam naskah SGM mengandung 3 tindakan simbolis.
Tindakan simbolis tersebut berbaur menjadi satu, sehingga peneliti membagi
simbol sendiri ke dalam 3 bentuk yang di dalamnya terdapat tindakan simbolis
seperti yang disebutkan oleh Budiono Herusatoto tersebut. Simbol-simbol yang
terdapat dalam naskah SGM ada tiga yaitu pertama simbol dalam tempat prosesi,
kedua simbol pada alat-alat yang digunakan dalam prosesi, dan ketiga adalah
simbol dalam pelaksanaan prosesi. Di bawah ini akan dibahas tentang simbol-
simbol dalam ketiganya.
a. Simbol dalam tempat prosesi.
Pada perayaan upacara Garebeg Mulud PB VII dalam serat SGM
menggunakan tempat atau bangunan di dalam keraton. Bangunan tersebut
memiliki filosofi dan simbol. Berdasarkan hal tersebut peneliti
mengungkap makna simbolis dalam tempat bangunan keraton yang
digunakan dalam naskah SGM.
- Alun-alun utara sebagai simbol keadaan dunia, maksudnya di
dunia ini ada gelap, terang, suka, duka, miskin dan kaya, rendah
dan tinggi, karena dahulunya alun-alun ini terdiri dari pasir yang
kalau siang hari terasa panas namun di malam hari terasa dingin
(Paina Partana et al., 2011: 293). Hal tersebutlah yang membuat
alun-alun utara sebagai simbol keadaan dunia. Simbol ini dapat
membuat manusia supaya terus sadar dan waspada dalam
menjalani hidup karena dalam hidup manusia tidak hanya akan
122
mengalami kebahagiaan saja melainkan kesusahan dan manusia
jangan mudah terombang-ambing oleh kehidupan, manusia harus
bisa mengendalikan diri supaya mendapatkan ketentraman hati.
- Masjid Agung sebagai simbol Rumah Allah dimana manusia
menunduk berserah diri untuk mendapatkan ridho dan ampunan
dari Allah. Manusia hanyalah makhluk yang kecil, ada yang lebih
berkuasa di dunia, segala kehidupan dan kematian yaitu Allah
SWT. Selain itu doa-doa yang dipanjatkan dapat memberikan
ketentraman batin. Maksudnya, manusia dalam hidupnya pastilah
mengalami suatu titik jenuh dalam hidupnya, masjid jika di-
ibaratkan sebagai rumah, sejauh apapun manusia berkelana maka
suatu saat pasti merindukan rumah dimana tempat ia dilahirkan dan
dibesarkan.
- Pagelaran secara simbolik menggambarakan awal mula kita
belajar. Pagelaran sendiri merupakan tempat yang digunakan
sebagai pertunjukan. Sehingga secara simbolis pagelaran
merupakan penggambaran kita belajar, belajar untuk melihat,
memilah dan memilih sesuatu dalam hidup kita dan belajar tentang
kehidupan. Karena dalam hidup terdapat aturan yang disebut tata
krama. Dalam hidup manusia membutuhkan aturan-aturan untuk
mengatur ketertiban, keamanan dan keselamatan. Manusia tidak
boleh seenaknya sendiri dalam menjalani hidup karena dalam
dunia ini kita tidak hidup sendirian, sehingga dibutuhkan aturan-
123
aturan supaya dapat ditaati dan dilaksanakan supaya kita tidak
tersesat ke dalam tindakan buruk.
- Bangsal Witana merupakan simbol dari kepercayaan kepada Allah
SWT. Witana berasal dari kata “wiwit” dan “ana” yang berarti
mulailah. Maksudnya manusia setelah dewasa secara lahir dan
batin mulailah untuk percaya kepada Allah atau lebih mendekatkan
diri kepada Allah. Pada tahap ini manusia tidak hanya memikirkan
kehidupan dunia saja, tetapi harus memikirkan kehidupan akhirat.
Maka dari itu, manusia juga harus selalu mendekatkan diri kepada
Allah SWT untuk mendapatkan ketentraman hidup yang abadi.
Ketentraman hidup yang abadi dapat didapatkan apabila kita yakin
dan semakin mendekatkan diri kepada Allah tentunya kita harus
selalu berusaha memperbaiki diri dengan menjalankan perintah dan
menjauhi larangan-Nya.
- Sitinggil memiliki arti tanah tinggi atau tanah yang ditinggikan.
Tempat tersebut disebut Sitinggil karena mulai dari gapura Gladag
sampai Sitinggil, bangunan yang tertinggi adalah Sitinggil (Paina
Partana et al., 2011: 295). Secara simbolik Sitinggil
menggambarkan tahap kedewasaan jiwa manusia. Manusia sudah
bisa mulai memahami apa arti hidup ini, siapa mereka, dan untuk
apa mereka hidup dan bagaimana mereka nantinya. Selain itu
secara lahiriah manusia hidupnya sudah mapan. Dari kedua hal
tersebut manusia bisa dianggap “sepuh ing pamawas” atau sudah
matang dalam berfikir, sehingga dalam hidup mereka akan lebih
124
sabar dan tidak mudah marah. Selain itu, seseorang yang sudah
mapan secara lahir dan batin akan mudah memberi maaf kepada
siapapun. Dengan deminikian manusia akan memiliki ketentraman
batin. Manusia yang memiliki kedewasaan secara batiniah dan
lahiriah cenderung bisa mengambil keputusan secara matang dan
bijak, tidak hanya mengandalkan egoisitas atau hawa nafsu. Selain
itu manusia yang memiliki kedewasaan jiwa sudah mampu
mengendalikan diri atas segala cobaan hidup karena mereka tahu
setiap perbuatan harus dipikirkan secara matang-matang tidak
boleh sembarangan, karena setiap perbuatan pasti ada balasannya.
- Brajanala sebagai simbol rasa. Maksudnya manusia dalam
menjalani hidup harus didasarkan pada rasa karena Braja sendiri
memiliki makna landhep atau tajam dan nala memiliki makna hati.
Tidak hanya itu pemikiran manusia juga haruslah tajam supaya
tidak terbelenggu oleh keadaan dunia. Manusia harus bisa
mengenyampingkan ego dan menggunakan rasa supaya tidak
terbelenggu oleh keadaan. Seperti pepatah Jawa mengatakan “dadi
wong Jawa iku aja gampang gumunan, penginan lan merinan”
yang artinya menjadi orang Jawa itu jangan mudah terpana, mudah
silau dan iri. Maksudnya, manusia itu harus bisa berfikir dengan
hati dan tidak hanya memikirkan sesuatu tanpa berfikir panjang.
- Kamandhungan berasal dari kata “andhung” berarti persiapan,
sebagai simbol kehati-hatian dan diri (Paina Partana et al., 2011:
297). Dalam hidup manusia harus siap untuk apapun yang terjadi,
125
karena pada tahap ini manusia sudah harus bisa waspada dan
mawas diri. Manusia harus selalu berhati-hati dalam bertindak atas
kehidupan yang mereka jalani, karena dalam hidup manusia tidak
akan hanya mengalami keadaan senang saja, namun akan
mengalami kesedihan. Sehingga manusia diharapkan untuk siap
atas segala resiko hidup yang dijalani dengan cara mempertebal
keimanan kita. Keimanan harus ditingkatkan supaya ketika
keadaan hidup menjadi tidak seperti yang kita inginkan, manusia
sudah siap dan tidak kaget atas segala sesuatu yang terjadi dalam
hidup.
- Sri Manganti dan Panggung Sanggabuwana disimbolkan sebagai
lambang wanita dan pria. “Sri” sendiri bermakna “Ratu” dan
“Manganti” berarti “menunggu” atau “menanti”, “Sangga” berarti
“penyangga” dan “Buwana” berarti “jagad atau dunia”. Sri
Manganti merupakan simbol dari wanita dan Panggung Sangga
Buwana disimbolkan sebagai lambang laki-laki. Sri Manganti dan
Panggung Sanggabuwana merupakan simbol kelahiran manusia.
Selain melambangkan kelahiran manusia, Sri Manganti dan
Panggung Sanggabuwana juga dapat diartikan bahwa dalam hidup
manusia harus bersikap rendah diri, karena manusia hanya sebagai
manusia yang dititahkan.
b. Simbol-simbol pada alat yang digunakan dalam prosesi
- Gunungan merupakan simbol atau lambang penyatuan manusia
dengan Tuhannya atau dapat dikatakan sebagai manunggaling
126
kawula Gusti. Berdasarkan hasil wawancara dengan KGPH.
Dipokusumo (28 April 2016) dahulunya gunungan itu tidak hanya
2 seperti sekarang ini, tetapi banyak jumlahnya. Gunungan
sekarang yang dibuat hanya dua karena Keraton tidak memiliki
daerah kekuasaan lagi sehingga tidak ada yang memberikan hasil
bumi ke Keraton. Gunungan terbagi menjadi 2 yaitu Gunungan
Lanang dan Gunungan Wadon. Gunungan lanang disimbolkan
dengan lingga dan wanita disimbolkan dengan yoni. Kedua
gunungan ini melambangkan kesuburan. Gunungan pada jaman
Pakubuwana VII tidak diperebutkan atau Dirayah, berbeda dengan
sekarang gunungan pada setiap upacara adat Garebeg Mulud
setelah didoakan langsung di berikan kepada masyarakat untuk
diperebutkan. Kedua tradisi tersebut memiliki makna masing-
masing. Gunungan di bagikan memiliki makna bahwa manusia
dalam hidupnya harus “nrima ing pandum” maksudnya dalam
hidup manusia harus bisa menerima apa yang telah diberikan oleh
yang kuasa. Sedangkan gunungan yang diperebutkan atau
“dirayah” memiliki makna negatif dan positif. Makna positif dari
perebutan gunungan yaitu manusia harus berusaha keras untuk
mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Secara negatif perebutan
gunungan merupakan suatu cara yang tidak baik, karena ngrayah
sendiri bermakna memperebutkan sesuatu dengan tidak
memperdulikan kondisi sekitar. Dalam hidup seseorang menjadi
127
tidak mengikuti norma dan aturan yang ada, yang terpenting
bagaimana dia mendapatkan sesuatu yang di inginkan.
- Gendhis kalapa sebagai simbol kesucian dan keberanian. Gendhis
berarti gula berwarna merah artinya berani dan kelapa airnya
berwarna putih atau bening, memiliki makna suci atau bersih.
Sehingga wanita disimbolkan dengan gendhis karena wanita
mempunyai keadaan tidak suci dalam setiap bulannya, sedangkan
laki-laki disimbolkan sebagai kelapa karena laki-laki suci tidak
seperti wanita (berdasarkan wawancara dengan KGPH.
Dipokusumo tanggal 28 April 2016). Gendhis Kalapa memiliki
makna lain yakni sebagai lambang negara Indonesia. Lambang
tersebut berwujud bendera merah putih. Seperti yang telah
dijelaskan bahwa merah berarti keberanian dan putih berarti
kesucian.
- Gendhing rambu sebagai simbol kepercayaan kepada Allah SWT.
Rambu sendiri berasal dari kata robbuna yang berarti Allah
tuhanku. Gendhing rambu dimainkan supaya masyarakat selalu
mengingat sang pencipta yaitu Allah SWT.
- Sabet atau cambuk sebagai simbol kepatuhan. Dalam hidup
manusia hendaknya selalu berpegang teguh pada aturan-aturan,
norma-norma, hukum adat dan hukum agama supaya terhindar dari
bahaya yang akan menimpa hidupnya. Kepatuhan dilaksanakan
supaya kehidupan menjadi aman, nyaman dan tentram tidak
terancam malapetaka.
128
c. Simbol-simbol dalam pelaksanaan prosesi Garebeg Mulud.
- Abdi dalem estri dilibatkan dalam prosesi Garebeg Mulud untuk
membawa peralatan-peralatan upacara sebagai simbol keberanian,
maksudnya generasi muda dalam menghadapi sesuatu haruslah
siap atau berani. Wanita tidak hanya sebagai kanca wingking
namun juga bisa berhasil jika bersungguh-sungguh untuk mencapai
cita-cita dengan berani mencoba sesuatu yang baru dan baik untuk
masa depan.
- Semua abdi dalem melaksanakan pekerjaan masing-masing
memiliki simbol tanggungjawab dan rasa hormat. Tanggung jawab
yang dimaksud adalah abdi dalem melaksanakan semua pekerjaan
masing-masing sesuai dengan perintah dan rasa hormat adalah
tidak mencapuri atau mengambil tugas abdi dalem lain tanpa
perintah dari Raja, semua itu dilakukan untuk menjaga kerukunan
dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.
- Keluarnya Raja dalam prosesi upacara Garebeg Mulud sebagai
simbol bahwa Raja hanya satu dan duduk di Singgasana memiliki
simbol tidak ada siapapun atau seorangpun yang bisa
menggantikan Raja sebelum waktu Raja memerintah selesai.
- Dikeluarkannya simpanan dalem (peralatan) milik raja sebagai
simbol kekuatan raja. Kekuatan yang dimaksud bahwa raja
memiliki kekuatan yang luar biasa untuk memperkuat
kedudukannya dan melindungi rakyatnya. Tidak ada ancaman yang
bisa masuk dalam kerajaan selama raja memiliki semua kekuatan.
129
- Posisi Prajurit sebagai simbol pertahanan, tidak ada yang bisa
menggulingkan Raja dan rakyatnya karena Raja memiliki prajurit
yang tangguh dan siap bertarung karena posisi prajurit sudah diatur
sedemikian rupa untuk menghindari sesuatu hal yang tidak
diinginkan.
- Gunungan dimasukkan ke dalam Masjid Agung sebagai simbol
rasa syukur kepada Allah. Rasa syukur yang dimaksud adalah
semua makanan yang diletakkan dalam gunungan merupakan
berkah yang diberikan oleh Allah. Sebagai rasa syukur atas hasil
yang melimpah, maka gunungan dibacakan doa dan dibacakan
tahlil bersama, supaya pada saat gunungan dibagikan orang yang
memakan hasil makanan atau sayuran dari gunungan tersebut bisa
menjadi manusia yang lebih baik. Selain sebagai simbol rasa
syukur gunungan dimasukkan dan didoakan memiliki maksud
supaya mendatangakan berkah dan rezeki kepada manusia.