17 BAB II A. STRUKTUR TEKS PUISI Struktur berarti bentuk keseluruhan yang kompleks (Siswantoro, 2010: 13). Setiap objek, atau peristiwa pasti sebuah struktur, yang terdiri dari berbagai unsur, yang setiap unsurnya tersebut menjalin hubungan. Puisi adalah sebuah struktur, yang maknanya dapat diperoleh dengan cara memberi makna tiap-tiap unsur kaitannya dengan makna unsur lain di dalam puisi itu sendiri, sebagai sistem struktur. Menurut Zaidan (2007: 193) struktur adalah susunan yang memperlihatkan tata hubungan antara unsur pembentuk karya sastra, rangkaian unsur yang tersusun secara terpadu. Dalam menganalisis sebuah struktur ini terdiri dari beberapa poin sebagai berikut: diksi, gaya bahasa, pencitraan, ritme, rima, pengulangan bunyi, nada bicara, bunyi dan makna. Adapun definisinya sebagai berikut: 1. Diksi Diksi adalah pilihan kata untuk mengungkapkan gagasan (Zaidan, 2007: 58). Diksi dalam puisi terdapat poin-poin tertentu, di antaranya: 1.1 Aspek Formal Aspek formal terkait dengan ragam penggunaan bahasa yang lazim digunakan dalam suasana resmi (Siswantoro, 2010: 105). Ragam bahasa ini ditandai dengan pemakaian tata bahasa, kosakata serta ucapan secara standar.
42
Embed
BAB II A. STRUKTUR TEKS PUISI - abstrak.ta.uns.ac.id · 18 Khusus untuk kosa kata, bahasa formal menggunakan kata-kata slang (tidak baku) atau kolokial (baku). Aspek formal dalam
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
17
BAB II
A. STRUKTUR TEKS PUISI
Struktur berarti bentuk keseluruhan yang kompleks (Siswantoro, 2010:
13). Setiap objek, atau peristiwa pasti sebuah struktur, yang terdiri dari berbagai
unsur, yang setiap unsurnya tersebut menjalin hubungan. Puisi adalah sebuah
struktur, yang maknanya dapat diperoleh dengan cara memberi makna tiap-tiap
unsur kaitannya dengan makna unsur lain di dalam puisi itu sendiri, sebagai
sistem struktur.
Menurut Zaidan (2007: 193) struktur adalah susunan yang memperlihatkan
tata hubungan antara unsur pembentuk karya sastra, rangkaian unsur yang
tersusun secara terpadu. Dalam menganalisis sebuah struktur ini terdiri dari
beberapa poin sebagai berikut: diksi, gaya bahasa, pencitraan, ritme, rima,
pengulangan bunyi, nada bicara, bunyi dan makna. Adapun definisinya sebagai
berikut:
1. Diksi
Diksi adalah pilihan kata untuk mengungkapkan gagasan (Zaidan, 2007:
58). Diksi dalam puisi terdapat poin-poin tertentu, di antaranya:
1.1 Aspek Formal
Aspek formal terkait dengan ragam penggunaan bahasa yang lazim
digunakan dalam suasana resmi (Siswantoro, 2010: 105). Ragam bahasa ini
ditandai dengan pemakaian tata bahasa, kosakata serta ucapan secara standar.
18
Khusus untuk kosa kata, bahasa formal menggunakan kata-kata slang (tidak baku)
atau kolokial (baku). Aspek formal dalam puisi ini terdapat di dalam qa>fiyahnya.
Qa>fiyah yaitu huruf akhir bait syair Arab (Al-Hasyimiy, 1997: 108). Pada
penelitian ini terdapat lima puisi yang akan diulas oleh penulis, diantaranya:
Dalam puisi [28] terdapat kata pada akhir baitnya pada bait pertama yang
berbunyi awa>khir yang berarti akhir atau kemudian, pada bait kedua berbunyi
tuka>bir yang berarti congkak atau sombong, pada bait ketiga berbunyi nawa>dir
yang berarti langka, pada bait keempat berbunyi yufa>khir yang berarti keras
kepala, pada bait kelima berbunyi tada>bir yang berarti membelakangi.
Dalam puisi [30] terdapat kata pada akhir baitnya pada bait pertama yang
berbunyi aktsara > yang berarti lebih banyak, pada bait kedua berbunyi akbara>
yang berarti lebih besar, pada bait ketiga berbunyi fara > yang berarti dibelah, pada
bait keempat berbunyi takats-tsaran yang berarti patah.
Dalam puisi [31] terdapat kata pada akhir baitnya pada bait pertama yang
berbunyi dzuhra > yang berarti tersimpan, pada bait kedua berbunyi faqra > yang
berarti melarat, pada bait ketiga berbunyi shabra > yang berarti sabar.
Dalam puisi “Dua Macam Waktu” terdapat kata pada akhir baitnya pada
bait pertama yang berbunyi kadaru yang berarti keruh, pada bait kedua berbunyi
duraru yang berarti mutiara, pada bait ketiga berbunyi qamaru yang berarti
rembulan.
Dalam puisi [37] terdapat kata pada akhir baitnya pada bait pertama yang
berbunyi dzari>ru yang berarti rusak, pada bait kedua berbunyi nihri>ru yang berarti
cerdas.
19
1.2 Struktur Leksikal Polisemi
Polisemi terkait dengan kegandaan makna yang menimbulkan ambigu.
Dalam menghadapi polisemi, pembaca maupun penulis dituntut untuk menangkap
makna yang dimaksud oleh penyair (Siswantoro, 2010:107). Dalam istilah bahasa
Arab kegandaan makna disebut muta‟addidatil ma‟a >ni (Al-khuli, 1982: 219).
Pada penelitian ini terdapat lima puisi yang akan diulas oleh penulis, di antaranya:
Dalam puisi [28] terdapat pada bait kedua yang berbunyi fana>dhir man
tuna>dhiru yang berarti berdebatlah. Secara bahasa kata ini memiliki arti maka
debatilah siapa yang kamu debati. pada bait ketiga berbunyi yufidu mas tafa>da
yang berarti saling memberi manfaat. Secara bahasa kata ini memiliki arti
memberi manfaat apa-apa yang bermanfaat.
Dalam puisi [30] terdapat pada bait pertama yang berbunyi bifalsin laka>nal
falsu minhunna aktsara > yang berarti dari uang perak bahkan lebih hina. Secara
bahasa kata ini memiliki arti dengan uang bahkan lebih dari itu.
Dalam puisi [31] terdapat pada bait kedua yang berbunyi walam
akhdzarid-dahral khau>na fainnaha > qushara>hu yang berarti ku tak takut bencana
yang berkhianat. Secara bahasa kata ini memiliki arti aku tidak takut bencana
sewaktu-waktu tiba.
Dalam puisi “Dua Macam Waktu” terdapat pada bait kedua yang berbunyi
wa fis-sama>i nuju>mun la> „ida>da laha > yang berarti di langit banyak bintang yang
bertebaran. Secara bahasa kata ini memiliki arti di langit terdapat bintang-bintang
yang tidak terhingga.
20
Dalam puisi [37] terdapat pada bait kedua yang berbunyi wa nafs>i wal
hawa > yang berarti hawa serta nafsu. Secara bahasa kata ini memiliki arti hawa
nafsu.
1.3 Struktur Leksikal Sinonimi
Sinonim merujuk kepada penggunaan kata-kata yang maknanya kurang
lebih sama atau mirip. Seperti halnya repetisi (pengulangan bunyi), sinonim
memberi penekanan pada makna kata tertentu dengan cara menggunakan kata lain
(Siswantoro, 2010: 110). Dalam istilah bahasa Arab sinonim disebut muradifah
(Al-khuli, 1982: 278). Pada penelitian ini terdapat lima puisi yang akan diulas
oleh penulis, di antaranya:
Puisi Kalimat Kata
(Sinonim)
Arti
[28]
Tenang dan
sabar
[30]
Lebih agung
dan lebih besar
[31]
Qanaah dan
sabar
Tabel 1. Kata-Kata yang Bersinonim
21
Dalam puisi [28] terdapat pada bait kedua yang berbunyi suku>nin,
khali>man yang berarti sabar dan tenang. Persamaan arti dalam tema puisi ini
mengandung makna yang tersirat bahwasanya ketika berdebat seseorang harus
bersikap tenang dan sabar dalam menghadapi perbedaan.
Dalam puisi [30] terdapat pada bait kedua yang berbunyi ajalla wa akbara>
yang berarti lebih agung dan lebih besar. Persamaan arti dalam tema puisi ini
mengandung makna yang tersirat bahwasanya pakaian tidak menunjukan
seseorang itu kaya ataupun miskin, berakhlak mulia ataupun tercela tetapi hatilah
yang menunjukan keberhargaan tersebut.
Dalam puisi [31] terdapat pada bait kedua yang berbunyi qanu >’i wash-
shabra > yang berarti qanaah dan sabar. Persamaan arti dalam tema puisi ini
mengandung makna yang tersirat bahwasanya sikap qanaah akan membawa
seseorang untuk menerima segala ujian atau cobaan yang menimpanya, sehingga
seseorang tersebut menghadapinya dengan sabar.
2. Gaya Bahasa
2.1 Metafora
Metafora adalah membandingkan dua hal baik secara eksplisit ataupun
secara implisit. Yang dibandingkan disebut tenor dan yang menjadi pembanding
disebut vehicle (Siswantoro, 2010: 107). Menurut Zaidan (2007: 129) metafora
adalah majas yang mengandung pertandingan yang tersirat yang menyamakan hal
yang satu dengan hal yang lain. Dalam bahasa Arab disebut kalimat yang
membutuhkan terciptanya makna yang tidak semestinya (asli) (Al-khuli, 1982:
168).
22
Dari data yang dianalisis penulis hanya ada satu puisi yang menggunakan
gaya bahasa metafora yaitu pada puisi [30]. Adapun gaya bahasa metafora
tersebut sebagai berikut:
.(Bahjat, 1999: 60)
Wain takunil ayya>mu azrat bibizzati> # fakam min khussa>min fi ghila>fin
takatstsaran
Waktu yang merampas hidupku bagaikan # beberapa pedang di sarung pun sering
terpatahkan (Bahjat, 1999: 60).
Pada penggalan puisi di atas terdapat perbandingan atau suatu yang di
bandingkan. Perbandingan tersebut adalah pada kalimat “Waktu yang merampas
hidupku” dengan kalimat ”pedang di sarung pun sering terpatahkan”. Dengan
demikian penggalan puisi di atas termasuk menggunakan gaya bahasa metafora.
2.2 Sinekdoke
Sinekdoke merupakan gaya bahasa yang mempergunakan sebagian untuk
menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau sebagian untuk keseluruhan (totem
pro parte) (Siswantoro, 2010: 107).
Dari data yang dianalisis penulis terdapat dua puisi yang menggunakan
gaya bahasa sinekdoke yaitu pada puisi [28] dan puisi [30]. Adapun gaya bahasa
sinekdoke tersebut sebagai berikut:
.(Bahjat, 1999: 60)
Idza> ma> kunta dza > fadlin wa„ilmin
Jika kau ahli ilmu dan kemuliaan (Bahjat, 1999: 60).
23
Pada penggalan puisi diatas terdapat gaya bahasa yang mempergunakan
keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Yaitu pada kata “ahli ilmu dan
kemuliaan” kata tersebut merupakan makna keseluruhan dari sebagian ahli ilmu
seperti: Profesor, Doktor, Dosen dan lain-lain. Dalam puisi [30]. Adapun gaya
bahasa sinekdoke tersebut sebagai berikut:
.(Bahjat, 1999: 61)
Wa fi>hinna nafsun law tuqa>su biba‟dhiha >
Namun di dalamnya jiwa jika diukur sebagiannya (Bahjat, 1999: 61).
Pada penggalan puisi diatas terdapat gaya bahasa yang mempergunakan
sebagian untuk menyatakan keseluruhan. Yaitu pada kata “jiwa” kata tersebut
merupakan makna sebagian dari keseluruhan, kata jiwa dalam penjelasan ini
mengandung arti manusia dan bisa juga berupa kemuliaan seseorang atau
kedermawanan seseorang.
3. Pencitraan (Imagery)
3.1 Sensasi Internal (rasa dalam)
Sensasi internal (rasa dalam) merujuk kepada pencitraan internal seperti
kesabaran, kelembutan dan lain-lain (Siswantoro, 2010: 119). Imagery merujuk
kepada gambar angan-angan (mental picture) yang tercipta akibat pemakaian
kata-kata tertentu. Imagery bisa berupa: visual (terkait dengan aspek penglihatan),
auditif (terkait dengan aspek pendengaran), tactile (terkait dengan aspek sentuhan
atau rabaan), olfactory (terkait dengan aspek penciuman dan sensasi internal
(terkait dengan aspek dalam), seperti: pikiran, rasa mual, rasa mabuk, emosi dan
lain-lain).
24
Dalam puisi pertama ini terdapat sensasi internal (aspek dalam) dalam
bahasa Arab jihatud-dakhiliy (Munawwir, 2007: 64) terdapat dalam puisi [28]
fana>dhir man tuna>dhir fi suku>nin # chali>man yaitu kata suku>nin chali>man yang
mengandung arti tenang dan sabar. Seorang pendebat dituntut untuk menerima
hasil debatnya, entah hasil itu baik ataupun buruk.
Dalam puisi kedua ini terdapat aspek olfactory (sensasi internal atau
sensasi dalam) dalam bahasa Arab syu‟urud-dakhiliy (Munawwir, 2007: 791)
terdapat dalam puisi [30] kata wa fi>hinna nafsun law tuqa>su biba‟dhiha > # nufu>sul
wara > laka>nat ajalla wa akbara > yang artinya namun tubuh yang berada di
dalamnya, lebih berharga dari manusia seluruhnya. Dalam puisi ini terdapat
makna yang tersimpan, yaitu makna secara lahiriyah dan makna secara batiniyah,
menceritakan beliau Imam asy-Syafi‟i yang dikisahkan beliau waktu itu ke kota
Samara, beliau mengenakan pakaian buruk dengan rambut kusut yang tergerai.
Kemudian beliau memasuki kedai bermaksud mencukur rambutnya. Maka ketika
si tukang cukur melihat beliau, ia segera mengatakan: “Hendaklah anda keluar
mencari tukang cukur selain diriku”. Perlakuan itu yang menjadikan beliau
tersinggung berat, singkat cerita beliau menyuruh pelayannya untuk
menyedekahkan uang kepada si tukang cukur tersebut dan beliau termasuk orang
yang dermawan. Kemudian pergi seraya mendendangkan syair di atas.
Dalam puisi ketiga ini terdapat aspek tactile (aspek sentuhan atau rabaan)
dalam bahasa Arab al-massu (Munawwir, 2007: 792) terdapat dalam puisi [31]
kata tadar-ra‟tu tsauban lilqanu>ni khashi>natan yang artinya pada qana‟ah ku
ikatkan pakaian. Dalam puisi ini terdapat arti ku ikatkan pakaian, maksudnya
25
seseorang menjaga martabat kehormatannya dan juga qana‟ah atau menerima apa-
apa yang telah menjadi ketentuan Allah.
Dalam puisi keempat ini tedapat aspek visual (aspek penglihatan) dalam
bahasa Arab al-basharu (Munawwir, 2007: 520) terdapat dalam puisi bertema
Di bait 1, dalam puisi [28] kata fanadhir man tunadhiru fi sukunin #
khaliman yang berarti berdebatlah dengan tenang dan sabar. Dalam bait puisi ini
seorang pendebat dituntut untuk selalu berperilaku tenang, bijak, sabar dan harus
menerima hasil debat tersebut.
Di bait 2, dalam puisi [30] kata wa fi>hinna nafsun law tuqa>su biba‟dhiha > #
nufu>sul wara > laka>nat ajalla wa akbara > yang berarti namun di dalamnya jiwa jika
diukur sebagiannya, lebih berharga dari manusia seluruhnya. Dalam bait puisi ini
penyair menceritakan dirinya bahwa pakaian itu tidak bisa mengukur segalanya
tetapi hatilah yang sebenarnya lebih berharga.
Di baris 2, dalam puisi [31] kata walam akhdzarid-ahral khau>na fainnaha>
# qusha>ra>hu an yarmi > biyal mauta wal faqra> yang berarti aku tidak takut bencana
yang berkhianat, yang akan berakhir dengan maut dan melarat. Dalam bait puisi
ini seseorang harus siap bila musibah datang dan harus bersabar serta mohon
ampunan sebelum berakhir dengan maut dan kemelaratan.
Di bait 1, dalam puisi “Dua Macam Waktu” kata ad-dahru yaumaani dza
amnun wadza khatharu # wal „aysyu „aysya>ni dza > shafrun wa dza> kadaru yang
berarti waktu ada dua khawatir dan aman, keruh dan jernih ada di kehidupan.
Dalam bait puisi ini waktu ada dua yaitu khawatir dan aman, dalam kehidupan ini
pasti ada keruh dan jernihnya dalam menghadapi hidup tidak semestinya
kehidupan itu selalu keruh dan juga selalu jernih.
Di bait 2, dalam puisi [37] kata ibliisu wad-dunya wa nafsi wal hawa yang
berarti iblis, dunia, hawa serta nafsu. Dalam bait puisi ini penyair memerintahkan
39
untuk menjauhi empat macam yang mengusik dalam kehidupan yaitu iblis, dunia,
hawa dan nafsu.
8. Hubungan Bunyi Dan Makna
Bunyi atau suara memainkan peran penting di dalam puisi. Peran penting
tersebut terkait dengan penegasan atau penekanan terhadap makna yang disandang
oleh kata tertentu. Peran penting bunyi kaitannya dengan makna (Perrine, 1974:
754), fungsi khusus puisi sebagai yang dibedakan dari musik, adalah
menyampaikan makna atau pengalaman lewat suara. Adapun bunyi dan makna
yang terdapat dalam lima puisi ini akan diulas oleh penulis di bawah ini.
8.1 Analisis Bunyi /i/ panjang
Di dalam puisi [28] baris ke-2 memanfaatkan bunyi /i/ panjang yaitu pada
kata chali>man yang artinya sabar. Pada kata ini terdapat ya‟ sukun yang
berasonansi bunyi /i/ panjang dan berasal dari kata ( yang maknanya ( م
sabar atau murah hati (Munawwir, 2007: 292).
8.2 Analisis Bunyi /a/ panjang
Di dalam puisi [30] baris ke-1 memanfaatkan bunyi /a/ panjang pada kata
tuba >‟u yang artinya dijual. Pada kata ini terdapat ba‟ alif yang berasonansi bunyi
/a/ panjang dan berasal dari kata yang maknanya menjual (Munawwir,
2007: 124).
8.3 Analisis Bunyi /u/ panjang
Di dalam puisi [31] baris ke-1 memanfaatkan bunyi /u/ panjang pada kata
Ashu>nu yang artinya menjaga. Pada kata ini terdapat wawu sukun yang
40
berasonansi bunyi /u/ panjang dan berasal dari kata yang maknanya
menjaga atau melindungi (Munawwir, 2007: 805).
8.4 Analisis Bunyi /a/ panjang
Di dalam puisi“Dua Macam Waktu” baris ke-2 memanfaatkan bunyi /a/
panjang pada kata as-sama>i yang artinya langit. Pada kata ini terdapat mim
alif yang berasonansi bunyi /a/ panjang dan berasal dari kata )
yang maknanya langit atau cakrawala (Munawwir, 2007: 664).
8.5 Analisis Bunyi /i/ panjang
Di dalam puisi [37] baris ke-2 memanfaatkan bunyi /i/ panjang pada kata
Ibli>su yang artinya iblis. Pada kata ini terdapat ya‟sukun yang berasonansi
bunyi /i/ panjang dan berasal dari kata yang maknanya iblis
(Munawwir, 2007: 4).
B. PEMAKNAAN TEKS PUISI
Pemaknaan puisi adalah langkah-langkah untuk memaknai atau
menguraikan makna-makna yang ada dalam sebuah puisi. Adapun pemaknaan
puisi mencakup pada wacana puitik. Pada penelitian syair yang berjudul
Pemaknaan puisi Imam asy-Syafi‟i ber-qa>fiyah ra‟ ini akan menggunakan dua
langkah yang dikemukakan oleh Riffaterre, yaitu: 1) ketidaklangsungan ekspresi
atau wacana puitik, 2) pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif.
Analisis wacana puitik atau ketidaklangsungan ekspresi puisi, terdiri atas
penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of
meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).
41
Penggantian arti pada bait-bait syair Arab juga menggunakan bahasa
kiasan seperti metafora dan sinekdoke. Meskipun bermacam-macam, bahasa
kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkan sesuatu
dengan yang lain (Altenbernd dalam Pradopo, 2012: 62). Dalam bahasa Arab,
penggantian arti identik dengan tasybih, isti‟arah, dan majaz. Adapun penjelasan
ini dapat dilihat dalam diagram dibawah ini.
Tabel 3. Wacana Puitik
Tabel 4. Wacana Puitik Dalam Istilah Arab
1. Penggantian Arti
Pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain,
lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffatere, 1978: 2). Dalam penggantian ari ini
suatu kata (kiasan) berarti yang lain (tidak menurut arti sesungguhnya). Misalnya
dalam sajak Chairil ini (1959: 19).
42
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dam dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah.....
Di hitam matamu kembang mawar dan melati: mawar dan melati adalah
metafora dalam baris ini, berarti yang lain: sesuatu yang indah, atau cinta yang
murni. Jadi, dalam mata kekasih si aku itu tampak sesuatu (cinta) yang indah atau
cinta yang menggairahkan dan murni seperti keindahan bunga mawar (yang
merah) dan melati (putih) yang mekar. Metafora itu bahasa kiasan yang
menyatakan sesuatu seharga dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama
(Altenbernd, 1970: 15). Secara umum dalam pembicaraan puisi, bahasa kiasan
seperti perbandingan, personifikasi, sinekdoke, dan metonimi itu biasa disebut
saja sebagai dengan metafora meskipun sesungguhnya metafora itu berdeda
dengan kiasan lain, mempunyai sifat sendiri (Pradopo, 1993: 212). Metafora itu
melihat sesuatu dengan perantara hal atau benda lain.
Dari data yang dianalisis penulis terdapat puisi yang menggunakan gaya
bahasa metafora yaitu pada puisi [28]. Adapun penggantian arti tersebut sebagai
berikut:
.(Bahjat, 1999: 60)
43
Wa iyya>kal luju>ja wa man yura>i # bi anni qad ghalabtu wa man-yufa>khir
Dan hati-hati timbul keras kepala dari siapa yang berpendapat # bahwa diriku
pemenang dan yang jaya (Bahjat, 1999: 60).
Pada penggalan puisi di atas terdapat uslub (gaya bahasa) yang
mempergunakan sebagian untuk menyatakan keseluruhan. Yaitu pada kata wa
iyya>kal luju>ja “Dan hati-hati timbul keras kepala”. Kata iyya>ka „hati-hati‟
(Munawwir, 1997: 50). Kata luju>ja „keras kepala‟ (Al-„Ashri, 1996: 1545)
diserupakan seperti orang yang sedang berdebat (menyampaikan argumen). Jadi
yang dimaksud dengan hati-hati timbul keras kepala adalah para pendebat, sebagai
isti‟arah tashrihiyyah (mushabbah bih-nya ditegaskan). Qarinah-nya adalah kata
wa iyya>kal luju>ja.
Dari data yang dianalisis penulis terdapat dua puisi yang menggunakan
gaya bahasa sinekdok yaitu pada puisi [28] dan puisi [30]. Adapun penggantian
arti tersebut sebagai berikut:
.(Bahjat, 1999: 60)
Idza> ma> kunta dza > fadlin wa„ilmin
Jika kau ahli ilmu dan kemuliaan Bahjat, 1999: 64).
Pada penggalan puisi di atas terdapat uslub (gaya bahasa) yang
mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Yaitu pada kata dza >
fadlin wa„ilmin “ahli ilmu dan kemuliaan”. Kata ahli ilmu dan kemuliaan
diserupakan seperti orang yang berilmu (ulama). Jadi yang dimaksud dengan ahli
ilmu dan kemuliaaan adalah Profesor, Doktor, Dosen dan lain-lain, sebagai
isti‟arah tashrihiyyah (mushabbah bih-nya ditegaskan). Qarinah-nya adalah kata
fadlin dan„ilmin.
44
Dari data yang dianalisis penulis terdapat satu puisi yang menggunakan
gaya bahasa sinekdok yaitu dalam puisi [30] terdapat penggantian arti. Adapun
penggantian arti tersebut sebagai berikut:
.(Bahjat, 1999: 61)
Wa fi>hinna nafsun law tuqa>su biba‟dhiha >
Namun jiwa yang berada di dalamnya jika diukur sebagiannya (Bahjat, 1999: 61).
Pada penggalan puisi di atas terdapat gaya bahasa sinekdok yang
mempergunakan sebagian untuk menyatakan keseluruhan. Yaitu pada kata „jiwa‟
kata tersebut merupakan makna sebagian dari keseluruhan, kata jiwa dalam
penjelasan ini mengandung arti manusia. Lalu mushabbah bih-nya (manusia)
dibuang dan diisyaratkan oleh salah satu sifat khasnya, yaitu kata nafsun „jiwa‟
(Munawwir, 1997: 1446) sebagai isti‟arah makniyyah (isti‟arah yang musyabbah
bih-nya dibuang). Qarinah-nya adalah menyandarkan isyarat kepada kemuliaan.
Dalam puisi [30] terdapat majas perbandingan adapun penggantian arti tersebut
sebagai berikut:
.(Bahjat, 1999: 61)
Wain takunil ayya>mu azrat bibizzati> # fakam min khussa>min fi ghila>fin
takatstsaran
Waktu yang merampas hidupku bagaikan # beberapa pedang di sarung pun
sering terpatahkan (Bahjat, 1999: 61).
Pada penggalan puisi di atas terdapat perbandingan atau suatu yang
dibandingkan. Perbandingan tersebut adalah pada kalimat “Waktu yang merampas
hidupku” dengan kalimat ”pedang di sarung pun sering terpatahkan”. Pada bait
ini disebut tasybih tamtsil karena wajhu syibhu-nya berupa gambaran yang
45
dirangkai dari keadaan beberapa hal yaitu kata „bagaikan‟ yang menggambarkan
pedang di sarung sering digunakan untuk memotong. Musyabbah-nya „pakaian‟
dan musyabbah bih-nya berupa gambaran waktu yang bilamana tidak
dimanfaatkan dengan baik pasti akan terpotong olehnya.
2. Penyimpangan Arti
Penyimpangan arti menurut Riffaterre dalam Pradopo (1978:2) terjadi bila
dalam sajak terdapat ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense. Ambiguitas
dalam puisi kata-kata, frase dan kalimat sering mempunyai arti ganda,
menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Misalnya dalam “Sajak Putih” Chairil
Anwar (1959: 19) bait ke-3 dan ke-4, baris-baris itu sesungguhnya ambigu:
“Hidup dari hidupku, pintu terbuka atau Selama matamu bagiku menengadah”. Ini
dapat ditafsirkan dengan arti ganda bahwa si aku akan selalu ada jalan keluar, ada
harapan-harapan, atau kegairahan selama kekasihnya masih suka memandang dia,
masih mencintainya, masih setia kepadanya, masih percaya kepadanya, masih
menghendakinya, masih membutuhkan si aku.
Kontradiksi dalam sajak modern banyak ironi, yaitu salah satu cara
menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini menarik
perhatian dengan cara membuat pembaca berfikir. Sedangkan nonsense adalah
kata-kata yang tidak bermakna secara lingual. Analisis penyimpangan arti
dipaparkan dalam penjelasan berikut ini.
Ambiguitas pada teks puisi Imam asy-Syafi‟i ber-qa>fiyah ra‟ yang mana
kata tersebut dapat memiliki makna kesepakatan yang disebut dengan milik, atau
bermakna kesepakatan yang digunakan untuk menentukan pendapat. Kontradiksi
46
dalam kesusasteraan Arab dibahas dalam thi>baq dan muqa>balah. Adapun
kontradiksi penyimpangan arti dalam puisi [28] sebagai berikut:
.(Bahjat, 1999: 60)
Al-awa>ilu wal-awa>khir Awal dan akhir (Bahjat, 1999: 60).
Pada bait puisi [28] kata Al-awa>ilu wal-awa>khir yang makna aslinya awal
dan akhir bisa ditafsirkan dahulu dan sekarang, ini merupakan thibaq ijab yaitu
kata Al-awa>ilu wal-awa>khir. Dalam baris ini kedua kata tersebut menyinggung
orang dahulu (sesepuh) yang memiliki ilmu dan orang masa kini (yang akan
datang). Thi>baq ijab adalah thi>baq yang kedua katanya yang berlawanan itu tidak
berbeda positif dan negatifnya (Al-Ja>rim, 2011: 403). Adapun penyimpangan arti
dalam puisi “Dua Macam Waktu” sebagai berikut:
.(Ya‟qub, 2014: 154)
dza > amnun wa dza > khatharu # dza> shofrun wa dza > kadaru
khawatir dan aman, keruh dan jernih (Ya‟qub, 2014: 154).
Pada baris pertama diatas terdapat kata dza > amnun wa dza > khotharu yang
makna aslinya aman dan khawatir bisa juga ditafsirkan aman dan siaga, yang
berbicara tentang waktu yang tak selamanya waktu itu aman dan tak selamanya
waktu itu mengkhawatirkan. Pada baris kedua kata dza > shafrun wa dza> kadaru
yang makna aslinya jernih dan keruh bisa juga ditafsirkan bersih dan kotor, yang
menyangkut tentang kehidupan yang terkadang jernih dan terkadang keruh.
Dalam baris ini, kedua ungkapan tersebut termasuk thibaq al-ijab. Thibaq al-ijab
adalah thibaq yang kedua katanya saling berlawanan itu tidak berbeda sifat positif
dan negatifnya (Al-Jarim, 2011: 403).
47
3. Penciptaan Arti
Menurut Riffaterre dalam Pradopo (1978: 2) terjadi penciptaan arti bila
ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat
tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara
linguistik tidak ada artinya, misalnya simitri, rima, enjembement, atau ekuivalensi-
ekuivalensi makna (semantik) diantara persamaan-persamaan posisi dalam bait
(homologues). Dalam puisi sering terdapat keseimbangan (simitri) berupa
persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait .
Homologues (persamaan posisi) itu misalnya tampak dalam sajak pantu
atau yang semacam pantun. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan
makna di luar arti kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti)
dan kejelasan yang diciptakan oleh perulangan bunyi dan paralellisme. Misalnya
bait sajak Rendra ini dalam Pradopo (1978: 2).
Elang yang gugur tergeletak
Elang yang tergugur terebah
Satu harapku pada anak
Ingatkan pulang pabila lelah
Dalam bait sajak itu ada persejajaran bentuk menimbulkan persejajaran
arti: bahwa bagaimanapun hebatnya elang, sekali-kali ia gugur tergeletak dan
terebah, begitu juga si anak akan lelah juga dan ingatlah akan pulang. Dengan kata
lain, penciptaan arti akan nampak dalam tipografi puisi, homologue, repetisi, dan
sajak atau rima.
Sajak dalam kesusasteraan Arab disebut dengan qa>fiyah. Qa>fiyah adalah
huruf akhir bait syair Arab (Al-Hasyimiy, 1997: 108). Analisis penciptaan arti
pada teks puisi Imam asy-Syafi‟i ber-qa>fiyah ra‟ disajikan berdasarkan tema puisi
48
yang beragam, pada bagian puisi bertema etika debat, tidak terdapat pengulangan
baris.
Dalam puisi “Dua Macam Waktu” pada baris tersebut terdapat homologue
atau persamaan posisi, karena keduanya sama-sama menjelas waktu. Adapun kata
waktu ada dua juga merupakan repetisi untuk menegaskan sesuatu yang
diserupakan. Adapun penciptaan artinya sebagai berikut:
# .(Ya‟qub, 2014: 154)
Ad-dahru yauma>ni dza > amnun wa dza > khatharu wal „aysyu „aysya>ni dza > shafrun wa dza> kadaru
Waktu ada dua khawatir dan aman # kehidupan ada dua keruh dan jernih (Ya‟qub,
2014: 154).
Dalam puisi “Dua Macam Waktu” pada baris tersebut merupakan repitisi
untuk memberikan efek penegasan makna yang ingin disampaikan penyair. Kata
ad-dahru dan al-„aysyu termasuk ma‟rifat, kata yauma>ni dan „aysya>ni termasuk
mutsanna, kata dza > +dza > sebagai washal, kata amnun dan khatharu dan juga
shafrun dan kadaru termasuk nakirah. Dalam puisi ini waktu bisa diibaratkan
seperti uang yang bernilai yang kadang membuat kita aman dan kadang membuat
kita lalai, kehidupan bisa diibaratkan seperti jiwa yang kadang mengajak kita
kebaikan dan kadang mengajak kita kemaksiatan.
Repetisi adalah gaya bahasa penegasan yang mengulang-ulang suatu kata,
frase atau kalimat, baris atau bait (Atmazaki, 1993: 61). Adapun penciptaan arti
dalam puisi [31] sebagai berikut:
.(Bahjat, 1999: 62)
Fa a‟dadtu lil mautil ilaha wa „afwahu # wa a‟dadtu lil faqrit-tajalluda wash-
shabra >
49
Untuk maut aku siapkan mohon ampunan # untuk miskin aku hadapi sabar dan
tahan (Bahjat, 1999: 62).
Dalam puisi [31] pada baris tersebut merupakan repitisi untuk memberikan
efek penegasan makna yang ingin disampaikan penyair. Kata fa a‟dadtu lil mauti
dan wa a‟dadtu lil faqri yang makna aslinya untuk maut aku siapkan dan untuk
miskin aku hadapi yang ditafsirkan bersiap-siap menghahapi kenyataan. Dalam
bait ini tedapat kesejajaran baris yang diciptakan oleh penyair.
C. PEMBACAAN HEURISTIK DAN HERMENEUTIK
Pembacaan heuristik adalah pembacaan menurut sistem semiotik tingkat
pertama berdasarkan pada konvensi bahasa. Dalam pembacaan ini, karya sastra
dibaca secara linier sesuai dengan struktur bahasa secara normatif. Sementara itu,
pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang dengan memberikan tafsiran.
Karya sastra dibaca berdasarkan konvensi sastra untuk mendapatkan makna
kesusasteraannya (Pradopo, 2012: 295-296).
1. Pembacaan Heuristik
Pembacaan heuristik merupakan pembacaan karya sastra dengan
melakukan telaah terhadap kata-kata yang terdapat di dalamnya, seperti halnya
dalam menelaah kata-kata yang terdapat dalam sajak. Sajak dibaca berdasarkan
konvensi bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat
petama. Sajak dibaca linier menurut struktur normatif (Pradopo, 2012: 295-296).
Secara semiotik pembacaan heuristik merupakan pembacaan tingkat
pertama berdasarkan konvensi bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa. Hal ini
dikarenakan teks puisi Imam asy-Syafi‟i ber-qa>fiyah ra‟ menggunakan bahasa
50
Arab, maka pembacaan heuristik ini melalui beberapa langkah, yaitu a) membaca
sesuai dengan konvensi bahasa Arab, b) mentransliterasi teks Arab ke dalam
bahasa tulisan latin dan c) melinierkannya dengan terjemahan bahasa Indonesia.
Dengan demikian dapat dikemukakan makna utuh dari puisi Imam asy-
Syafi‟i ber-qa>fiyah ra‟ tersebut. Pembacaan heuristik ini akan diuraikan
berdasarkan pembagian sebagaimana yang terdapat dalam teks di bawah ini.
Adapun pembacaan heuristik dalam puisi [28] sebagai berikut:
.(Bahjat, 1999: 60)
Idza> ma> kunta dza > fadlin wa„ilmin # bima khtalafal awa>ilu wal awa>khir Fana>dhir man tuna>dhiru fi suku>nin # khali>man la talijju wala > tuka>bir Yufidu mas tafa>da bilam tinanin # minannukkatil lati>fati wan nawa>dir Wa iyya>kal luju>ja wa man yura>i # bi anni qad gholabtu wa man yufa>khir Fainnas syarra fi janaba>ti ha>dza> # famayyiz bit taqa>tu’i wat tada>bir Jika kamu menjadi seorang yang mulia dan berilmu
Dengan tidak ada perbedaan awal dan akhirnya
Berdebatlah dengan tenang dan sabar
Jangan sombong dan jangan mendesak
Memberi manfaat apa-apa yang bermanfaat tanpa kekuatan
Berupa ilmu yang lembut dan yang langka
Dan hati-hati berkeras kepala dari siapa yang berpendapat
Bahwa diriku pemenang dan yang jaya
Maka sesungguhnya keburukan pada sisi-sisi ini
Dengan adanya perkelahian dan permusuhan (Bahjat, 1999: 60).
Dalam puisi [28] terdapat pada bait kedua yang berbunyi suku>nin #
khali>man yang berarti sabar dan tenang, la talijju wala> tuka>bir yang berarti
51
jangan congkak dan jangan mendesak. Persamaan arti dalam tema puisi ini
mengandung makna yang tersirat bahwasanya ketika berdebat seseorang harus
bersikap tenang dan sabar dalam menghadapi perbedaan. Adapun pembacaan
heuristik dalam puisi [30] sebagai berikut:
.(Bahjat, 1999: 61)
„alayya tsiya>bun law tuba >‟u jami >‟uha # bifalsin laka>nal falsu minhunna
aktsara > Wa fi>hinna nafsun law tuqa>su biba‟dhiha > # nufu>sul wara > laka>nat ajalla wa