Top Banner
18 BAB II FIQIH SOSIAL DAN PENDIDIKAN ISLAM A. Fiqih 1. Pengertian Fiqih dan Ruang Lingkupnya Berbicara masalah fiqih tidak bisa lepas dari Hukum Islam, karena jika dirunut secara konseptual fiqih yang dipahami oleh sebagian umat Islam sebagai hukum Islam itu sendiri sebenarnya hanya sebagian dari struktur dari konsep hukum Islam. Jika dikembalikan secara struktural apa yang dinamakan sebagai hukum Islam menurut terminologi, sebenarnya merupakan gabungan dari syari’at dan fiqih. Hukum Islam secara sederhana dapat didefinisikan sebagai “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia (mukallaf) yang diakui berlaku dan mengikat untuk semua orang yang beragama Islam”. 1 Sedangkan fiqih (al-fiqh) secara bahasa berarti pemahaman, pengertian atau pengetahuan (tentang sesuatu). 2 Dalam Al Qur’an kata fiqih juga digunakan dalam pengertian yang umum, yaitu pemahaman, pengetahuan. Sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Taubah ayat 122. ! " # $ " % & ! " ! " ( ) % ( % ! " !* +" , - . ! " / 0. " 1 2 Tidak sepatutnya orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan Perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi 1 Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad; Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, (Ciputat Press Jakarta, Jakarta, 2002), hlm 4. 2 Ahmad Warson Munawir, Kamus al Muanawir, Yogyakarta, hlm 1147
25

BAB II 3198111 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/14/jtptiain-gdl-s1-2004... · FIQIH SOSIAL DAN PENDIDIKAN ISLAM A. Fiqih 1. Pengertian Fiqih dan

Oct 25, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 18

    BAB II

    FIQIH SOSIAL DAN PENDIDIKAN ISLAM

    A. Fiqih

    1. Pengertian Fiqih dan Ruang Lingkupnya

    Berbicara masalah fiqih tidak bisa lepas dari Hukum Islam, karena

    jika dirunut secara konseptual fiqih yang dipahami oleh sebagian umat

    Islam sebagai hukum Islam itu sendiri sebenarnya hanya sebagian dari

    struktur dari konsep hukum Islam.

    Jika dikembalikan secara struktural apa yang dinamakan sebagai

    hukum Islam menurut terminologi, sebenarnya merupakan gabungan dari

    syari’at dan fiqih. Hukum Islam secara sederhana dapat didefinisikan

    sebagai “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah

    Rasul tentang tingkah laku manusia (mukallaf) yang diakui berlaku dan

    mengikat untuk semua orang yang beragama Islam”.1

    Sedangkan fiqih (al-fiqh) secara bahasa berarti pemahaman,

    pengertian atau pengetahuan (tentang sesuatu).2 Dalam Al Qur’an kata

    fiqih juga digunakan dalam pengertian yang umum, yaitu pemahaman,

    pengetahuan. Sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Taubah ayat 122.

    ������������ ������� �������� ����� ���� ������� ������� �������� ��������!�"� �������#$���" � ������ �����

    ��������%&�!� �����'�"� ��!�"�(� ��'�)��� �%�(� �������� ����%���!�"��� ��!*+" � , ��� ���-���.�!�"

    /�0�." 1���2

    Tidak sepatutnya orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan Perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi

    1 Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad; Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer

    di Indonesia, (Ciputat Press Jakarta, Jakarta, 2002), hlm 4. 2 Ahmad Warson Munawir, Kamus al Muanawir, Yogyakarta, hlm 1147

  • 19

    peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu menjaga dirinya.3

    Lafadz “liyatafaqqahu fi al-din” (untuk memahami masalah

    agama) yang digunakan Al qur’an dan juga sabda Nabi; “Allahumma

    faqqihu fi al-din “ (ya Allah berilah dia pemahaman yang mendalam)

    menunjukkan pengertian fiqih secara umum yaitu pemahaman tentang

    agama Islam. Dari ungkapan yang digunakan Nabi itu menunjukkan

    bahwasanya pada masa hidup Nabi istilah fiqih belum digunakan dalam

    pengertian hukum secara khusus, melainkan hanya pengertian luas

    mencakup semua dimensi agama seperti teologi, politik ekonomi,

    asketisme, hukum dan lain-lain. Jadi, fiqih dipahami sebagai “ilmu agama”

    yang akan mengantarkan manusia pada kebaikan dan kemuliaan.4

    Hal senada juga dinyatakan oleh Murtadha Muthahari dalam

    bukunya Pengantar Ushul Fiqh bahwasanya dalam terminologi Al qur’an

    dan Sunnah yang dinamakan fiqih adalah pengetahuan yang luas dan

    mendalam mengenai perintah-perintah dan realitas Islam dan tidak

    memiliki relevansi khusus dengan bagian ilmu tertentu.5

    Pada perkembangan selanjutnya, tepatnya pada abad ke-2 H. fiqih

    mengalami penyempitan makna (nerrow of term),6 berubah menjadi

    jurisprudensi Hukum Islam yang berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu.

    Fiqih yang pada abad ke-2 H telah berdiri sebagai disiplin ilmu itu,

    oleh Ibnu Khaldun dikategorikan sebagai min al-ulum al-haditsati fi al-

    millah (kategori ilmu modern dan agama).7 Berdasarkan kesepakatan

    3 Muhammmad Amin mengatakan, dalam al-Quran, penggunaan kata fiqih sebagai

    pemahaman , pengertian dan pengetahuan (tentang sesuatu)disebut 20 kali (yang kesemuanya dalam bentuk fi’il/kata kerja) yang tersebar dalam 15 surat dan 20 ayat. Lihat Muhammad amin, Ijtihad Ibnu Taymiyah dalam bidang Fqih Isam, (Jakarta; INIS, 1991), hlm93

    4 Sumanto Al Qurtubi, KH.MA Sahal Mahfudh Era Baru Fiqih Indonesia, (yogayakarta, Cermin, 1999), hlm36

    5 Murtadho Mutahari, Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan, (Jakarta, Pustaka Hidayat,1993), hlm 176

    6 Sumanto Al Qurtubi, op.Cit. hlm36 7 Ali yafie, Menggagas Fiqih Sosial, (bandung, Mizan, 1995), hlm.108

  • 20

    orang-orang muslim sekitar abad pertengahan struktur hukum Islam

    dibangun atas empat dasar yang disebut dengan sumber-sumber hukum.8

    Sumber-sumber hukum tersebut adalah Al qur’an, Sunnah Nabi, ijma’,

    (konsensus), Qiyas (penalaran analogis). Dengan kata lain yang dimaksud

    fiqih sekarang adalah hasil dari ijtihad seorang mujtahid yang terbangun

    atas empat sumber pilar tersebut.

    Dari penjelasan di atas telah jelas bahwa yang dinamakan hukum

    Islam (al-hukm al-islam) sebenarnya secara konseptual merupakan sebutan

    umum yang merujuk pada fiqih dan syari’ah. Karena itu sangat penting

    untuk memisahkan kedua secara terminologi agar tidak terjadi kesalahan

    pemahaman.

    Telah diketahui bahwa fiqih sebenarnya upaya manusiawi, yang

    melibatkan proses penalaran (reasoning), baik pada tataran teoritis

    maupun praktis, dalam memahami, menjabarkan, dan mengelaborasikan

    hukum-hukum agama. Dengan menyebut manusiawi, dimaksudkan untuk

    membedakan dengan syari’at yang secara longgar dipakai untuk menyebut

    agama Islam dan merujuk pada hukum Tuhan sebagaimana terkandung

    dalam teks-teks wahyu, tanpa melibatkan unsur-unsur manusia. Dalam

    artian yang dimaksud fiqih adalah refleksi dari syari’at.9

    Sedangkan menurut Amir Syarifuddin yang dimaksud syara’

    secara sederhana dapat diartikan dengan; “Seperangkat aturan dasar

    tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan secara umum dan

    dinyatakan secara langsung oleh Allah SWT dan Rasul-Nya”. Dan fiqih

    secara sederhana diartikan sebagai hasil penalaran pakar hukum (mujtahid)

    atas hukum syara’ yang dirumuskan, dalam bentuk aturan terperinci.10

    Secara etimologi, syari’at berarti jalan menuju sumber air (the road

    to the watering place) atau jalan tenang yang diikuti (the clear path to the

    8 Sumanto Al Qurtubi, Op.Cit, hlm. 38 9 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta, LkiS, 1994). hlm. 18 10 H Amir Syarifuddin, Op., Cit. hlm. 4.

  • 21

    followed). “Jalan menuju yang baik” yaitu nilai-nilai agama yang

    diungkapkan secara fungsional dan dalam makna yang kongkrit.11

    Al qur’an menggunakan kata syir’ah dan syari’ah dalam pengertian

    ad-din (agama) baik suatu jalan lurus (thariq mustaqimah) yang

    ditentukan oleh Allah untuk manusia atau suatu ketentuan yang harus

    dilaksanakan.12 Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Jatsiyah ayat 18

    �0�.�������34�" ���������'!���5�6���7��8 ������'�)�9��:��������'�!�����!�%�" ��; ���0�.�.�������'

    /�!? :�)" 1��2

    Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak tahu. (Q.S. 45: 18).13

    Sebagaimana pengertian di atas, hakekat fiqih adalah sebagai

    upaya ijtihad manusia, sementara disisi lain manusia tidak bisa lepas dari

    tabiat dirinya (yang nisbi dan subyektif) atas teks-teks keagamaan (Al

    qur’an dan sunnah yang bersifat ambigu). Dan Pada dasarnya sasaran dari

    ilmu fiqih ini adalah af’alul mukallafin. Manusia serta dinamika dan

    perkembangan masyarakat yang semuanya itu gambaran nyata dari af’alul

    mukallafin, yang ingin dipolakan dalam tata nilai yang menjamin tegaknya

    suatu kehidupan beragama dan bermasyarakat yang shaleh (berkualitas

    baik).14 Atau bahwa Al qur’an dan sunnah Nabi adalah prinsip-prinsip

    materiil, kegiatan analogis (qiyas), adalah prinsip yang dihasilkan prinsip

    pertama (efficient course), dan Ijma’ adalah prinsip formalnya (atau

    kekuatan fungsional).15

    11 H.A.R. Gibb and J.H Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, (london; Luzzac & C.O,

    1961) hlm 524 12 Sumanto Al Qurtuby, Op.Cit. hlm 49 13 Departemen Agama, Alqur’an Dan Terjemahnya, (CV. Toha Putra, Jakarta, Yayasan

    Penyelenggara Penerjemah Al Qur’an, 1989,. hal 14 Ali Yafie, Op.Cit., hlm 108 15 Fazlurrahman, Islam, Terjemahan, Ahsin Muhammad, (Bandung; Pustaka, 1984), hlm.

    90

  • 22

    Dengan kata lain bahwa fiqih adalah disiplin ilmu yang berkaitan

    dengan perilaku keislaman pada dataran operasional.16 Dengan demikian

    Sudah semestinya jika fiqih berdimensi sosial dan akan selalu berkembang

    sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat sepanjang zaman.

    Karena fiqih bukanlah “ilmu teoritis” (ulum nadzariah) sebagaimana

    filsafat, melainkan “ilmu amaliyah” (ketentuan-ketentuan yang berlaku

    positif). Sebagaimana definisinya yang baku oleh Ibnu Al-Subki Yaitu; al-

    Ilm bi al-Ahkam al-Syar’iyah al-Muktasab min ‘Adillatiha al-Tafshiliyah,

    (ilmu tentang hukum-hukum syariat amaliyah yang digali dari dalil-dalil

    yang terperinci).17

    Dalam upaya pemahaman teks yang tetap (eternal), dan

    mendiskusikan dengan lingkungan sekitar. Adalah Sebagai proses

    menjembatani antara idealitas teks yang sifatnya kaku (rigid), dengan

    realitas empiris. Yang selalu berubah dan dinamis. Sehingga diperlukan

    kerangka teoritik yang oleh ahli ushul disebut ijtihad. Ijtihad adalah

    menggerakkan segala kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. 18

    Dari pengertian fiqih dan syari’at, fiqih dapat diperinci ke dalam :

    a. Fiqih itu adalah ilmu garapan manusia (‘ilmu al-muktasab) berbeda

    dengan ilmu malaikat Jibril yang tidak muktasab. Begitu pula ilmu

    Rasul yang berkaitan dengan wahyu, karena itu tidak muktasab.

    Karena fiqih merupakan ilmu muktasab maka peran ra’yi (nalar)

    mendapat tempat dan diakui dalam batas-batas tertentu.

    b. Fiqih itu obyek garapannya adalah al-ahkam al-‘amaliyah. Dengan

    kata lain, ia terkait dengan pengaturan dan penataan perbuatan atau

    kegiatan manusia yang bersifat positif dan riil dan tidak bersifat

    16 Jurnal justisia, Fiqih Progresif; Membangun Nalar Fiqih Bervisi Kemanusiaan, (Edisi 24

    Tahun XI 2003), hlm.4 17 Mun’im A. sirry, Sejarah fiqih Islam; sebuah Pengantar, (Surabaya, Risalah Gusti, 1995),

    hlm1-9 18 Ibrahim Hosen, Taqlid dan Ijtihad: Beberapa Pengertian Dasar; dalam budi Munawar

    (ed), kontektualisasi doktrin Islam ddalam sejarah, (Jakarta, Paramadina, 1995), hlm. 319

  • 23

    nazhariyah (teoritis)seperti halnya dengan garapan ilmu kalam

    (‘aqaid).

    c. Sumber pokok fiqih itu adalah wahyu (syar’i) dalam bentuknya yang

    rinci (adillah tafshiliyyah), baik dalam al-Kitab maupun dalam al-

    Sunnah.19

    Keterkaitan fiqih dengan konteks kehidupan yang nyata dan

    dinamis lebih dapat dibaca bilamana kita menelusuri cara-cara interpretasi

    yang menghubungkan suatu hukum dengan latar belakang kontekstual

    lingkungannya, sebagaimana para fuqaha pendahulu kita dalam

    memecahkan masalah dengan mempertimbangkan berbagai tingkatan

    pemecahan: li al-dharurah, dan li al-hajah. Begitu juga dengan adanya

    tingkat-tingkat maslahah dharuriyah, hajiyah, dan tahsiniyah atau

    kamaliyah. Semuanya kondisi harus dipertimbangkan dengan susunan

    berdasarkan dari yang terburuk sampai yang terbaik dalam penerapan

    suatu ketentuan hukum syar’i.

    Sementara fiqih secara umum atau saat sekarang, sebagaimana

    diajarkan (dalam contoh kecilnya; pendidikan agama Islam) secara

    khususnya. Masih dipertanyakan kontekstualitasnya sejalan dengan

    perkembangan zaman saat sekarang. Sehingga perlu pencapaian kembali

    makna fiqih. Sebagaimana tujuan awal, yang kontekstual (fiqih sosial).

    Sebagai upaya menghadapi problem-problem sosial yang kian

    berkembang dan marak.

    2. Perkembangan Fiqih

    Fiqih sebagai upaya ijtihad manusia. Pada titik awalnya adalah

    sebagai upaya menjawab fenomena-fenomena yang berkembang di

    kalangan masyarakat pada saat itu. Perkembangan ini dimulai dari setelah

    nabi wafat. Dimana pertanyaan akan dikembalikan semua pada sumber

    pokok ajaran Islam yaitu Alquran dan Sunnah Rosul (yang masih global)

    dengan nilai transendensi yang tinggi. Segala persoalan menjadi beku

    19 Sumanto Al Qurtuby, Op.Cit. hlm.39

  • 24

    dengan hanya di adukan dengan teks-teks wahyu. Upaya pengembalian

    fiqih dari nilai yang transenden menjadi areal yang antropologis dan

    sosiologis, dimulai dengan munculnya ijtihad pertama kali oleh sahabat

    Umar bin Khattab (abad II H). Dengan menangguhkan hukuman potong

    tangan pada pencuri, karena melihat latar belakang dan sosio kultural saat

    itu. Upaya kebebasan berfiqih ini pun terus berkembang sampai periode

    Abbasiyah. Dimana saat itu merupakan masa emas kejayaan umat Islam.

    sampai akhirnya datang gerakan pengembalian fiqih pada sumber

    pokoknya yaitu Al quran dan Hadits. Karena dianggap kebebasan berfiqih

    itu, sebagai bahaya bagi kelangsungan agama Islam.

    Pada akhirnya pada abad IVH, sampailah fiqih yang kemudian

    menjadi sebuah historisitas yang terbungkus dengan madzab-madzab.

    Sampai sekian madzab, hampir 500 madzab.20 Akan tetapi yang menjadi

    peradaban dunia, dan mendominasi adalah empat madzab besar. Khanafi,

    khambali, Maliki, Syafi’i. Keempat madzab besar tersebut oleh sebagian

    besar masyarakat dunia. Dianggap Sebagai otoritas mati dan kaku, yang

    mau tidak mau harus dipegangi secara “penuh’.21 atau oleh arkoun diseut

    sebagai Tagdis al-afkar al-diniyah (pensakralan atau pensucian buah

    pikiran keagamaan).22 Pemahaman agama menjadi apa adanya (taken for

    granted). Manusia tak punya hak atau bahkan tidak boleh menyentuhnya

    sama sekali, meskipun terjadi paradoks antara “teks” dan “realitas empiris

    “.23 Disisi lain ijtihad yang dinilai sebagi sumber inspirasi dinamisnya

    perkembangan fiqih, dinyatakan telah tertutup.

    20 Alie Yafie, Teologi Sosial; Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan,

    (Yogyakarta, LKPSM, 1997), hlm 130 21 Ali Yafie, Op., Cit., hlm 132 22 Dikutip dari M. Amin Abdullah, arkaoun dan kritik nalar Islam, dalam johan Hendrik

    Meuleman (ed), Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme, memperbincangkan pemikiran Muhammad Arkoun, (yogyakarta; LkiS, 1996), hlm 7

    23 Sumanto Al qurtuby, Op.Cit. hlm.53

  • 25

    Akhirnya teks yang ada selalu dipaksa, dibenturkan dengan realitas

    empiris. Dan hanya akan menghasilkan kemaslahatan fiqih yang semu dan

    mandul.

    Dari beberapa kasus diatas ternyata membawa implikasi yang

    sangat kuat sekali terhadap pola kehidupan masyarakat di zaman sekarang

    ini. Dengan ini penulis mencoba menggambarkannya dalam masyarakat

    transisi dimana berhadap-hadapan antara masyarakat dengan budaya

    “modern” yang berkembang sebagaimana berikut. Karenanya perlu proses

    reinterpretasi fiqh, yang harus dapat menjadi penengah bagi semua kasus

    yang berkembang.

    3. Fiqih Sosial, Proses Dialektika Fiqh Dan Realitas Sosial

    Masyarakat dunia saat sekarang ini telah menghadapi gilasan besar

    dari gerakan the winner of new paradigm (capitalisme). Kemenangan

    kapitalis atas sosialis dunia pasca perang dingin (1948). Oleh sebagian

    besar masyarakat dunia, dinilai sebagai akhir sejarah pertarungan ideologi

    dunia (the end of History). Dengan berprinsip yang berlaku saat sekarang,

    idiologi manapun yang menang akan menjadi penguasa dan

    menghegemoni atas yang lainnya. Karenanya kapitalisme menjadi raja

    saat sekarang ini.

    Berbagai prinsip liberalisme (kebebasan), demokrasi,

    industrialization, modernisation, dan lain sebagainya menjadi roh utama

    dari kapitalisme. Hal demikian tidak hanya menjadi wacana menarik bagi

    perkembangan budaya dan kesejahteraan manusia, akan tetapi juga

    membawa dampak negatif yang cukup besar bagi keselamatan manusia itu

    sendiri.

    Munculnya era industrialisasi dan modernisme memang tidak bia

    lepas dari peran meningkatkan nilai guna materialisme dalam membantu

    manusia dalam mengatasi berbagai halangan dan kekurangannya. Namun

    disisi lain juga mendatangkan berbagai persoalan yang semakin hari kian

    merajalela. Tidak hanya berkisar pada persoalan sosial, antar warga atau

  • 26

    masyarakat saja. Tapi telah melebar menjadi persoalan serius yang

    mengganggu keseimbangan ekosistem tempat manusia hidup.

    Oleh Fritjof Capra dinyatakan bahwa, Pengaruh pemikiran

    fisikawan (ilmiah) abad ke sembilan belas, Descartes dan Newton telah

    membawa persepsi manusia yang berbeda dari abad sebelumnya. Dimana

    sekarang paradigma yang berlaku adalah paradigma inderawi. Ukuran

    pokok tingkat kejayaan manusia dari pemikiran ini adalah materialisme

    dan menafikan spiritualisme.24 Sehinga menempatkan manusia sebagai

    “bagian lain” dari sirkulasi sebuah ekosistem ini. Dan menganggap

    manusia dengan kriteria-kriteria ilmiahnya dianggap yang paling bisa

    melakukan dan mengatur segalanya termasuk alam semesta. Kalkulasi

    taktis dan teknis dan selalu berbicara untung dan rugi secara materiil

    termanifestasi di setiap perilaku masyarakat. Baik di bidang ekonomi,

    politik, sosial, budaya, maupun agama.

    Demikian oleh Fritjof Capra disebut sebagai krisis ekologi,

    persepsi yang salah atas lingkungan sekitarnya.25 Karena nilai-nilai, baik

    agama maupun budaya telah tertundukkan oleh nilai-nilai taktis ekonomis

    dan kepentingan sesaat. Gejala ini tidak hanya melanda pada negara-

    negara maju, tapi juga di negara-negara yang sedang berkembang seperti

    Indonesia ini.

    Dari itu maka muncul beberapa kelompok masyarakat.

    Pertama, kelompok masyarakat yang Kecenderungan sikap

    dihampir semua lini, selalu berpikiran bahwa segala sesuatunya siap

    disajikan (mendapat dengan cepat), siap diambil keuntungan materielnya,

    mencoba memerankan diri sebagi mahluk berkuasa sebagaimana Francis

    Fukuyama dalam buku “Kapitalisme dan Demokrasi liberal”, bahwa

    zaman kita itu adalah suatu proses globalisasi yang didorong oleh dua

    faktor yang sesungguhnya bertentangan. Faktor pertama bersifat material

    24 Fritjof Capra, Titik Balik Peradapan: Sain, Masyarakat dan Kebangkitan

    Kebudayaan, dalam Editor : Ahmad Norma Permata, (Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1998), hlm. 20

    25 Fritjof Capra, Op., Cit., hlm.xx

  • 27

    dalam bentuk perkembangan ekonomi yang pada gilirannya didorong oleh

    ilmu pengetahuan alam, dan faktor kedua bersfifat spiritual yang dalam

    falsafah Plato dinamikan “Thymos” yaitu keinginan untuk diakui,

    dihargai, persamaan hak. Tujuan sejarah, atau akhir sejarah, adalah

    masyarakat kapitalis dengan sistem politik demokrasi liberal.26

    Dalam realitas kehidupan, paradigma ini akan menjadi dampak

    yang sangat mengerikan bagi perkembangan moral bangsa. Karena Peran

    ini akan selalu ditampakkan dengan pola hidup yang selalu mengikuti

    trend (taqlid buta), dalam merespon budaya selalu dengan kalkulasi taktis.

    Dan hilangnya fleksibelitas. Yaitu pada waktu struktur sosial dan pola

    perilaku telah menjadi kaku sehingga masyarakat tidak lagi mampu

    menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah.27.

    Kedua, adalah kelompok masyarakat yang memandang Islam

    dalam konteks yang lebih sakral (religius). Tetapi dari kelompok ini pun

    bukannya tidak terdapat masalah. Sebagian besar diantaranya masih

    mengasumsikan syariat Islam, bagian perbagian, sebagai nialai-nilai

    teologia yang “ditetapkan langsung” oleh Tuhan, dogmatis dan oleh

    karena itu tertutup kemungkinannya bagi perkembangan yang searah

    kondisi ruang dan waktu yang melingkupinya. Ajaran Islam, dalam asumsi

    ini, adalah sebuah kesatuan utuh yang seluruhnya tidak dapat di ganggu

    gugat.

    kedua bentuk penyikapan itu melahirkan masalah serius. Meskipun

    terdapat perbedaan sekala, tetapi terdapat persamaan bentuk dalam

    mereaksikan perkembangan zaman yang dirasa disintegratif dengan nilai-

    nilai Islam. Kelompok pertama yang memperlakuakan Islam sebagai

    budaya cenderung memilih budaya baru sebagai penggganti budaya Islami

    yang dinilai tidak lagi relevan. Kelompok ini terjebak sikap ambivalen

    dalam menerima Islam, dan menerima sebagian ajaran Islam yang dinilai

    26 Francis Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme dan demokrasi Liberal, (Qalam

    Yogayakarta, 1992), hlm.Xiii 27 Fritjof Capra, Op., Cit.,hlm 14

  • 28

    lebih menguntungkan. Dan secara inkonsisten menolak sebagian yang lain.

    Sedangkan kelompok yang lain akan terpaksa berhadapan dengan

    kenyataan bahwa Islam sebagaimana dipahaminya tidak akomodatif dan

    cenderung membelenggu manusia dalam masa lalu. Kemungkinan

    terburuknya adalah ditinggalkannya Islam secara keseluruhan. Kalaupun

    ada individu yang bersikukuh dengan ke-Islamannya, dapat dipastikan

    bahwa ia akan terdesak dalam pergulatan pemikiran yang

    mempertanyakan sikapnya, sehubungan dengan klaim Islam sebagai

    pembawa kesejahteraan dunia akhirat (sa’adah al-darain).28

    Kesejahteraan manusia tidak akan tercapai tanpa terpenuhinya

    berbagai kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksud berkisar pada pemenuhan

    materiil maupun srpiritual. Namun dalam kenyataan realitas sebagaimana

    di atas, peran agama(fiqh) dianggap sebagai pembelenggu kemajuan

    manusia dalam memenuhi kesejahteraannya. Karenanya manusia sering

    bertindak diluar ketentuan agama. Atau meninggalkan agama sama sekali

    untuk kepentingan pribadinya.

    Dari berbagai kondisi yang ada memang perlu ada pengembalian

    makna fiqh dimana maksud semula, yaitu sebagai pengantar manusia

    untuk memperoleh ksejahteraannya.

    Kondisi semacam ini kemudian direspon oleh beberapa pemikir

    Islam yang konsen di bidang sosial. Seperti KH.MA Sahal Mahfudh, KH

    Alie Yafie, Fazlur Rahman, dan lain sebagainya. Dari kesemua tokoh ini

    tampaknya terdapat kesamaan dalam memandang tentang Islam. Dari

    beberapa pokok bahasan yang mereka hasilkan. Bahwa Hukum Islam yang

    terjabarkan dalam fiqh tidak hanya berdimensi ke-Illahiyahan saja, akan

    tetapi juga besar dimensi sosialnya. Seperti KH.MA Sahal Mahfudh yang

    menelurkan gagasan tentang Fiqh Sosial, lebih memandang fiqih sebagai

    proses hermeunetika memahami hidup. semisal zakat ketika diterapkan

    dengan apa adanya seperti ketentuan yang ada dalam al quran, dalam

    28 Sahal Mahfudh, Prospek Dan Tantangan Umat Islam Tahun 2000, Makalah

    Disampaikan Dalam Dialog remaja Masjid se- Kodya Semarang, 8 September 1996, hlm. 2

  • 29

    realitasnya akan terjadi rasa tidak ikhlas, atau tidak dilakukannya zakat

    sama sekali. KH.MA Sahal Mahfudh dalam dalil hukumnya selalu menitik

    beratkan pada kemaslahatan umat, karena fiqh bisa bermakna rekayasa

    sosial. Sehingga kesejahteraan bisa diwujudkan melalui pemahaman fiqh

    yang benar. Karena pemahaman agama (fiqh) bisa menjadi pandangan

    hidup seseorang.

    Bagi KH. Alie Yafie, pemahan fiqh tidak hanya berkisar pada

    persoalan ibadah ritual semata. Akan tetapi punya intens yang sangat luas

    yang mencakup dimensi-dimensi kehidupan, dimensi ruang dan waktu.29

    Demikian juga Fazlur Rahman yang memandang, bahwa jika islam masih

    menutup diri terhadap perkembangan zaman, sehingga hanya berkutat

    pada persoalan rirualitas saja. Akan merugikan Islam sendiri. Karenanya

    perlu meninjau kembali terhadap fakta-fakta sejarah, karena kebenaran

    sejarah akan menguatkan Islam.30

    Oleh beberapa tokoh ini terlihat bahwa dimensi kemasyarakatan

    (sosial) dari agama Islam akan punya implikasi yang besar dalam

    membantu manusia memecahkan problem sosial pula.

    Fiqih Sosial

    Sementara belum ada pengertian tentang fiqih sosial secara pasti.

    Dalam kalangan NU sendiri (dimana KH. MA Sahal Mahfudh berdialog

    dan berdiskusi bersama kiai-kiai lain membahas tentang fiqih) secara

    etimologis, term fiqih sosial masih dalam taraf perdebatan.31 Pun juga KH

    Ali Yafie tidak pernah memberikan definisi secara istilah, namun hanya

    abstraksi-abstraksi tentang fiqih yang kontekstual. Sebagaimana uraian

    bukunya yang berjudul “Menggagas Fiqih Sosial”. Tapi setidaknya penulis

    akan mencoba menggambarkan dari fiqih sosial tersebut secara bagian

    perbagian.

    29 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung; Mizan, 1994), hlm 13. 30 Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung; Pustaka, 1995), hlm.xi 31 Sumanto Al-Qurtuby, Op.Cit. hlm 135

  • 30

    Pengertian Fiqih sebagaimana telah diungkap diatas. Yaitu

    pemahaman, pengertian atau pengetahuan (tentang sesuatu). Ataupun ilmu

    yang berciri muktasabah secara sendirinya fiqih mengandung makna

    kemasyarakatan. Dengan kata lain, sebagaimana diungkap diatas, Fiqih itu

    obyek garapanya adalah al-ahkam al-‘amaliyah. ia terkait dengan

    pengaturan dan penataan perbuatan atau kegiatan manusia yang bersifat

    positif dan riil dan tidak bersifat nazhariyah (teoritis)seperti halnya dengan

    garapan ilmu kalam (‘aqaid). Demikian fiqih sudah bermakna sosial

    dengan sendirinya.

    4. Kerangka Dasar Fiqih Sosial

    Karena fiqih merupakan areal operasional dari syari’at. Maka perlu

    pemahaman teks secara detail tentang tujuan dari syari’at (maqosid al

    syari’ah) yang tidak lain adalah kemaslahatan. Setidaknya ada beberapa

    pola pikir dalam memahami maksud nash :

    1. Pola Pikir Zhahiriyat

    Kelahiran madzab dzahiriyyat ini dibidani oleh Dawud bin Ali

    khalaf al-Asbahani al Zhahiri. Lahir di kuffah tahun 202 H dan wafat

    di bagdad tahun 270H, dalam usia 68 tahun.32

    Menurut kelompok ini, maksud syara’ hanya dapat diketahui

    dari lafald atau teks sebagaimana apa adanya yang tersurat. Dengan

    alasan bahwa

    �������������������������������������������������� ��!���"���#���$�����%���&�'��()*���+,��-���.��/��0�

    Sesungguhnya maksud syar,I (Tuhan) misterius bagi kami sebelum ia menjelaskannya sendiri. Hal ini tidak bisa terjadi kecuali melalui firman yang jelas yang mengandung makna-makna yang lain.

    Berhubung kaum zhahiriyyat hanya berpegang pada lahirnya

    Nash, maka dalam menentukan hukum tidak perlu memerlukan

    32 Tim Penulis IAIN Syarif Hidaytullah, Ensiklopedi Islam Indonesia , ( Jakarta, :

    Jambatan, 1992), hlm 205-207

  • 31

    bantuan di luar nash. Sebagai konsekwensinya, mereka menolak

    maslahah mursalah, Istihsan, maupun qiyas dalam menentukan hukum,

    meski tokoh terseut telah berguru lama pada imam Syafi’I.33 Meskipun

    begitu kaum zahiriyah menerima ta’wil sebagaimana ulama

    mutakallimin (teolog) terutama aliran mu’tazilah.34 Hanya saja

    penerapanya berbeda.

    2. Pola Pikir Bathiniyyat Yaitu bentuk kegiatan berpikir dalam istimbat hukum dari nash

    tidakberpegang pada lafald sebagaimana kaum zhahiriyyat, bukan pola

    pemahaman makna yang terkandung dalam lafal (maknawi,

    kontekstual). Jadi pola pikir ini amat liberal sifatnya dan tidak

    menggunakan kaidah umum sebagaimana yang terdapat dalam kajian

    ilmu ushul fiqh (Metodologi Fiqih).

    Menurut al-syatibi pola pikir athiniyat didukung sekte syi’ah

    Bathiniyat. Dan hanya mempercayai imamnya yang maksum (bebas

    dari salah dan dosa). Apa yang menjadi kata imam itulah sabda. Yang

    harus dipegangi kebenarannya. Jadi kaidah apapun yang disusun para

    fuqaha yang terbingkai dalam ilmu ushul fiqh, qowaid al-fiqhiyyat,

    dan sejenisnya sebagai atribut untuk istinbath hukum sama sekali tidak

    dipertimbangkannya. Maslahah mursalah, istihsan, qiyas dan ijma’

    sekalipun mereka tolak35

    3. Pola Pikir Kontekstual Pengertian kontekstual dalam memahami maksud syara’

    mempunyai kandungan yang amat luas. Mujtahid bisa melakukan

    pendekatan apa saja asalkan masih dalam kerangka untuk

    kemaslahatan umum. Bagaimana memahami teks dengan

    mengaitkanya antara latar belakang kondisi siosial saat teks tersebut

    turun dengan latar belakang, kondisi sosial, politik, adat istiadat

    33 Tim Penulis, Loc. Cit. 34 Abdul Wahab Ibrahim, bin Sualiman, , al- Fikr Al-Ushul (Makkah: Dar al Syaruq,

    1983), hlm 103 35 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago-London: University of Press, 1979), hlm. 170

  • 32

    dimana ia tinggal, mengaitkannya dengan masalah-masalah global dan

    kontemporer, dan cakupan-cakupan lainnya adalah termasuk dalam

    kerangka kontekstual.

    Menurut al Syathibi kelompok ini adalah kaum Al-

    Muta’ammiqin fi al Qiyas (kelompok yang amat gemar melakukan

    qiyas atau analogi. Lebih memprioritaskan makna lafal daripada lafal

    itu sendiri.

    Maksud yang ingin dicapai adalah mencari makna di seberang

    teks selagi hasil yang diperoleh tidak bertentangan dengan teks-teks

    tersebut, kecuali teks tersebut bersifat mutlak. Menunjukkan makna

    kesatuan yang utuh. Contoh lafal mutlak yaitu orang mesir, rajulun,

    dan thairun (seekor burung),

    Jika ada pertentangan antara nash atau tekstual dan makna teks

    atas dasar penalaran (nazhariyyat), kelompok kontekstualisme akan

    mengutamakan makna hasil penalaran dengan alasan demi tegaknya

    kemaslahatan, atau mencari makna baru karena tak kwajiban bagi

    mujtahid untuk ertahan pada pengambilan maksud nash secara

    tekstual.36contohnya hasil pemikiran yang demikian adalah Q.S Al

    Maidah ayat 38

    �12��1#341�5�6�17��83�196:�1�3;1:5��5��

  • 33

    tangan bagi pencuri, melainkan bisa ditempuh dengan cara

    memenjarakannya atau menciptakan kondisi sosial yang bisa

    mencegah terjadinya kesenjangan, khususnya kesenjanagn ekonomi.

    Demikian dipandang lebih menjunjung kemaslahatn dan nilai-nilai

    kemanusiaan. Ada kemungkinan si pelaku akan mau sadar dan

    memperbaiki jalan hidupnya dengan mencari nafkah dengan cara yang

    baik pula.37

    4. Pola Pikir Gabungan Antara Tekstualis Dan Kontekstualis Menurut al-syatibi golongan pola pikir ini adalah mereka

    berpendirian menggabungkan antara yang tersurat dan yang tersirat

    dari makna teks adalah tidak bertentangan.

    Metode yang dikembangkan kelompok ini sama dengan

    kelompok kontekstualis, yang salah satu wujud nyatanya adalah al-

    Muta’ammiqin fi al Qiyas, plus yang lain, yaitu zhahiriyyat dengan

    pendirian bahwa Syari’ (Tuhan dan Rasul) di dalam mensyariatkan

    syaraknya, apakah itu berkenaan dengan ‘adiyat ataupun ‘ibadiyat,

    yang masing-masingnya mempunyai maksud yang asli (ashliyat) dan

    maksud yang mendampinginya (tabi’iyat). Sebagai prosedur

    pemikirannya adalah sebagai berikut :

    a. mempertimbangkan maksud dalam amar (kalimat perintah), dan

    nahi (larangan). Terhadap bunyi nash Aqimis al sholah. Dipahami

    bahwa mereka diperintah Tuhan untuk melaksanakan sholat tidak

    boleh tidak, perintah itu harus dikerjakan.

    b. Mencari Illat kalau mungkin ada baik dalam kalam amar maupun

    nahi tersebut dengan mempertanyakan “mengapa”. Jika ternyata

    Illat itu bisa ditemukan, maka mereka melakukan suatu perintah

    atau tidak melakuakan suatu perbuatan karena ‘Illat tersebut.

    Contohnya adalah ;

    Wala taqrobu al Sholata wa antum sukara. Q.S Annisa’ 43

    Adalah sebagai ‘Illatnya mabuk.

    37. Danusiri, Op.Cit,. hlm 57

  • 34

    c. Mempertimbangkan makna ashliyat dan tabi’iyat (makna asal dan

    makna yang mendampinginya). Makna ashliyat dimaksudkan

    untuk memelihara druriyyat (kebutuhan primer), yakni

    kemaslahatan umum yang tidak terbatas pada ruang dan waktu.

    Contoh nya adalah atas dasar pola pikir gabungan antara tekstualis

    dengan kontekstual dengan adalah mengenai kasus nikah. Nikah

    yang disyari’atkan adalah sebagaimana pola pikir zhahiriyyat.

    Dalam memahami ayat tentang nikah.

    ���%�� F*����G�����8,*"����#��������89= ��.��F�H��!������������I���8��8�����.�!��F�H,"�������J?K����L��C�=���

    ��8��8���.���"&��/�&�F*"��#���M*?��

    Berketetapan bahwa nikah itu wajib dan hanya seorang baik

    pihak laki-laki maupun perempuan. Sementara kebanyakan ulama

    berpendapat bahwa kawin itu boleh atau bebas dalam arti tidak

    wajib. Maka ashliyyat dari pernikahan adalah untuk mendapatkan

    keturunan, dan ini merupakan tujuan utama. Adapun makna yang

    mengikutinya atau tabi’iyyat adalah anatara lain mencari

    ketenangan hidup,mendapatkan pergaulan suami istri, tolong-

    menolong dalam urusan dunia dan akherat. Keseluruhan nash dapat

    diketahui melalui nash (teks), sebagian melalui siratan Nash,

    sebagian melalui dalil-dalil lain seperti qiyas, pengalaman empirik,

    dan penyimpulan secara induktif.

    5. Urgensi Fiqh Sosial

    Setidaknya ada beberapa alasan kenapa harus ada fiqih SosialN

    pertama, sejauh mana kita di pesantren-pesantren ataupun sekolah formal,

    telah memberikan pendidikan fiqih disamping pengajaran ilmu fiqih, yang

    memungkinkan para santri untuk memperoleh pengetahuan standar yang

    utuh tentang fiqih. Seperti halnya dalam sekolah-sekolah formal

    (Pendidikan Agama Islam). secara teoritik, ataupun semua materi yang ada

    diperkirakan hampir semua siswa akan bisa menguasai. Akan tetapi secara

  • 35

    praksis atau lebih jauhnya secara kontekstual fiqih, masih perlu kerangka

    umum, kerangka dasar, dan sejarah ringkas dari terbentuknya fiqih.

    Kedua, dalam pendidikan fiqih (PAI), ada pola tata nilai yang

    sudah baku yaitu pola ibadat dan muamalat. Dan pola muamalat lebih

    mendominasi, tiga perempat bagian dari ilmu fiqih, dan bagian inilah yang

    sangat bersangkutan dengan kehidupan riil dan dinamika masyarakat.

    Karena kurikulum pengajaran kita membalik alokasi kedua pola ini, maka

    konteks fiqih dengan kehidupan riil kita kurang terasa, sehingga

    menimbulkan kesan seakan-akan fiqih itu tidak menyambung dengan

    realitas kehidupan.

    Ketiga, kepustakaan kita sebagai syarat utama

    pengembangan ilmu dan pembinaan pendidikan, masih sangat terbatas.

    Keempat, kondisi umum dimana kita berada selama empat abad

    terakhir. Kita pernah terbelenggu oleh kekuasaan penjajah yang anti Islam.

    Onderwij politik dan ordenansi guru merupakan salah satu bukti

    bagaimana kolonialisme itu mempersempit ruang partisipasi kaum muslim

    dalam masyarakat. Baru setelah kemerdekaan agama Islam bisa

    berkembang. Diantaranya bahwa sistem pendidikan nasional memberi

    ruang gerak bagi pendidikan agama dalam wujud pembangunan nasional.

    Lebih dari itu pendidikan pesantren diberikan hak hidup dalam pendidikan

    nasional pula.

    Kelima, tingkat kemajuan dunia pada abad ke-20, yang ditandai

    dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, terutama

    dalam teknologi, mau tidak mau kita akan terlibat di dalamnya, nyatanya

    kita sangat lamban dalam menanggapinya.38

    Fiqih sosial adalah konsep pemikiran fiqih dengan menempatkan

    problem kemanusiaan sebagai basis study dan tindakan. Yang ingin

    mengembalikan semangat fiqih yang selama ini menjadi luntur. Akibat

    terjadi disorientasi fiqih. Yang semula pada awal kelahiranya adalah

    38 Ali Yafie, Op.Cit. hlm.109-110

  • 36

    sangat konsentrasi pada problem kemanusiaan , akan tetapi dalam

    perjalanannya sampai sekarang fiqih menjadi kaku (rigid), lebih

    berorientasi pada nilai Ke-Ilahian (teosentrisme) ketimbang nilai

    kemanusiaan (antropocentrisme).

    B. Pendidikan Islam

    1. Pengertian Pendidikan

    Banyak sekali definisi pendidikan yang diperkenalkan kepada

    publik. Sehingga terkadang pendidikan mengalami reduksi yang cukup

    berarti akibat kurangnya pemahaman pendidikan secara universal.

    Karenanya perlu memahami apa itu pendidikan (education).

    Secara etimologi, pendidikan merupakan terjemahan dari kata

    dalam bahasa Inggris education, E.L Thorndike dan Clarence L. Bernhart

    dalam Advanceu Junior Dictionary mengartikan education menjadi tiga

    bagian. Pertama, Development in knowledge, skill, ability or character by

    teaching, training, study or experience. Kedua, knowledge, skill, ability, or

    character develop by teaching, training, study or experience. Dan ketiga,

    science and art that deals with the principles, problem etc of teaching and

    learning.39

    Menurut Hasan Langgulung dalam bukunya Asas-Asas

    Pendidikan, istilah pendidikan dalam bahasa Inggris education, yang

    berasal dari bahasa latin educare berarti memasukkan sesuatu, barangkali

    bermaksud memasukkan ilmu ke kepala seseorang. Jadi di sini ada tiga hal

    yang terlibat: ilmu, proses memasukkan dan kepala orang.40

    Lebih jauh ia menjelaskan sebenarnya pendidikan dapat dilihat dari

    dua segi. Pertama dari sudut pandang masyarakat, dan kedua dari

    pandangan individu. Dari segi pandangan masyarakat, pendidikan berarti

    pewarisan kebudayaan dari generasi tua ke generasi muda, agar hidup

    39 E.L Thorndike, Clerence L. Barnhart, Advanced Junior Dictionary, Doubleday and

    company, Inc. new York, 1965, hlm. 257. 40 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (PT. Al Husna Zikra, Jakarta, 2000),

    hlm 3

  • 37

    masyarakat tetap berkelanjutan. Atau masyarakat punya nilai-nilai budaya

    yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat

    tersebut tetap terpelihara.

    Dalam pengertian tersebut kata yang merujuk pada “agar hidup

    masyarakat tetap berkelanjutan”. Bisa mengandung makna (hifdzul nafs,

    hifdzul al Din, hifdzul mal, hifdzul aql, hifdzul Nazl).

    Bila dilihat dari kaca mata individu, pendidikan berarti

    pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi.

    Sementara KH. MA Sahal Mahfudh memberikan definisi tentang

    Pendidikan adalah Usaha sadar yang membentuk watak dan perilaku

    secara sistematis terencana dan terarah.41

    Menurut Zakiah Daradjad pengertian seperti yang lazim dipahami

    sekarang belum terdapat di zaman Nabi. Tetapi usaha dan kegiatan yang

    dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan seruan agama dengan

    berdakwah, menyampaikan ajaran, memberi contoh, melatih ketrampilan

    berbuat, memberi motivasi dan menciptakan lingkungan social yang

    mendukung pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim itu, telah

    mencakup arti pendidikan dalam pengertian sekarang.42

    Dalam kaitan yang akan dibahas penulis adalah Pendidikan Agama

    Islam. Kembali Zakiyah Daradjad memberikan definisi, Pendidikan Islam

    adalah, membentuk kepribadian Muslim, membentuk sikap dan perilaku

    sesuai dengan petunjuk ajaran Islam.43

    Secara tersirat KH. MA Sahal Mahfudh memberikan definisi

    pendidikan agama Islam melalui pengertian pendidikan pesantren adalah,

    “mendalami ilmu agama dan berakhlak yang mulia”. Definisi pendidikan

    pesantren yang diungkap KH. MA Sahal Mahfudh di atas secara implisit,

    beliau menyatakan bahwa pendidikan pesantren diharapkan mampu

    mendidik santrinya sehingga paham dan mengetahui seluk beluk agama

    41 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Op., Cit., .hlm 514 42 Zakiyah Daradjad, Ilmu Pendidikan Islam, (PT. Bumi Aksara, Jakarta, 1996), hlm 28 43 Zakiyah Daradjad, Op., Cit., hlm 28

  • 38

    secara detail, kemudian menginterpretasikan pendidikan yang telah

    diterimanya dari pesantren dalam tutur-sapa dan tingkah laku dengan

    berakhlak mulia.44

    Dengan demikian bahwasanya pendidikan mempunyai tanggung

    jawab untuk membentuk, mengembangkan karakter dan jiwa-jiwa muslim,

    Sesuai dengan ajaran Islam. Bahwa setiap warisan budaya Islam tidak

    hanya berupa seperangkat aturan dan tata cara tehnis, akan tetapi juga

    berupa nilai-nilai ajaran Islam.

    Sesungguhnya nilai hidup seseorang sangat tergantung pada

    keberhasilan atau kegagalan sistem pendidikan yang mengarahkannya.

    Dengan memahami bahwa setiap orang adalah bagian masyarakat yang

    sedikit banyak akan memberikan sumbangsih (negatif maupun positif)

    bagi kehidupan bersama, sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan

    satu-satunya saarana penting dalam membentuk masyarakat yang ideal.

    2. Tujuan Pendidikan

    Tujuan ialah suatu yang diharapkan tercapai setelah usaha atau

    kegiatan selesai.45 Terkait dengan hal tersebut, Pada hakekatnya tujuan

    akhir dari proses pendidikan adalah memanusiakan manusia, (BAB I).

    Sedang yang dimaksud tujuan disini adalah pendidikan Islam. Karena

    pesantren merupakan basis dari keIslaman maka pendidikan pesantren pun

    bisa dikata tidak luput dari Proyek pendidikan Islam tersebut.

    Menurut KH. MA Sahal Mahfudh Tujuan pendidikan Islam

    sebagaimana yang terangkum dalam (pendidikan pesantren), ialah

    membentuk manusia yang akrom (Lebih bertaqwa kepada Allah SWT.)

    dan Shalih (yang mampu mewarisi bumi ini dalam arti luas, mengelola,

    memanfaatkan, menyeimbangkan dan melestarikan) dengan tujuan

    akhirnya mencapai Sa’adatu al-dzarain.46

    44 Sitii Nur asyiyah, Pemikiran dan Kiprah KH. Sahal Mahfudh dalam Pendidikan

    Pesantren, (Skripsi, Fakutas Tarbiyah IAIN Walisongo, semarang, 2000), hlm. 40 45 Zakiyah Darodjad, Op., Cit. hlm 29 46 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Op. Cit. hlm. 378

  • 39

    KH. Sahal menegaskan bahwa “akrom” merupakan mencapai

    kelebihan dalam kaitan manusia sebagi mahluk terhadap kholik-nya, untuk

    mencapai kebahagiaan di akherat,47 seperti firman Allah dalam QS. Al-

    Hujurat ayat 13:

    ��@�!�0�A�@�!���7��B��" �9��(������-�.3=��B��" ��+���7����������3=�9��(/C �)&" 1�O�2

    Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu.48

    Dalam hal ini, pesantren secara institusional telah menekankan

    pendalaman terhadap ilmu pengetahuan keagamaan (tafaqquh fiddin).

    Sedangkan shaleh berarti manusia yang secara potensial mampu berperan

    aktif, berguna dan terampil dalam kaitnnya dengan kehidupan sesama

    makhluk. 49

    Filosofis sholeh diambil dari surat 6 Al-anbiya’ ayat 105;

    ������&�"�9D " ��E �+��0�7����:���!��F �G �9�3=/;�!0�� 1�PQ2

    “Bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang sholeh”.

    Sehingga untuk melestarikan bumi seisinya beserta seluruh tatanan

    kehidupannya, Pendidikan Islam (pesantren) mencoba memberikan bekal

    ilmu pengetahuan, yang punya implikasi sosial menyeluruh dan mendasar.

    Seperti: ilmu pertanian, ilmu politik teknologi, perindustrian, ilmu

    kebudayaan dan lain sebagainya. Menurut kalangan pesantren, pengkajian

    ilmu-ilmu semacam itu bersifat kolegial (fardlu kifayah).

    Baik lembaga pesantren maupun pendidikan yang dikelola

    pemerintah (madrasah), merupakan proyek besar dari tujuan pendidikan

    nasional. Sebagaimana tercantum dalam BAB II pasal 3 UUSPN

    disebutkan bahwa; pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya

    potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa pada

    47 Ibid., hlm 345 48 Departemen Agama RI., Op.,Cit., hlm 847 49 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih sosial, Op., Cit.,hlm. 344

  • 40

    Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap kreatif,

    mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung

    jawab.50

    Bahwa pendidikan harus mampu membentuk sepuluh tujuan yang

    menjadi cita-cita yang dicapai, yaitu:

    a. Mencerdaskan kehidupan bangsa

    b. Mengembangkan manusia indonesia seutuhnya

    c. Manusia yang beriman

    d. Manusia yang bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa

    e. Berbudi pekerti luhur

    f. Memiliki pengetahuan

    g. Memiliki ketrampilan

    h. Kesehatan jasmani dan rohani

    i. Kepribadian yang mantap dan mandiri

    j. Rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan

    Pada permulaan keinginan dalam tujuan pendidikan nasioanal

    dimana disebutkan bahwa tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa,

    kaitanya dengan arus reformasi yang sedang santer-santernya dewasa ini

    akan menjadi gerakan orde baru bab kedua, bab ketiga, jika tidak

    diantisipasi untuk mengarahkan proses pendidikan sebagai proses

    pembudayaan serta pelaku kebudayaan yang produktif, oleh karena itu

    sistem pendidikan nasional haruslah memberikan kesempatan pada

    pengembangan pribadi peserta didik untuk mengembangkan

    intelegensinya di dalam spectrum yang lebih luas. Dengan demikian

    proses pendidikan nasional akan menghasilkan sel renewal reformation51

    karena berpangkal pada manusia yang berbudaya.

    Sitem pendidikan nasional bukan hanya menghasilkan manusia-

    manusia yang cerdas (cerdas secara akademis) tetapi juga yang bermoral

    50 Undang-Undang no. 20 th 2003; Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta, Media

    wacana, 2003), hlm.12 51 H.A.R Tilaar, Pradigma Bru Pendidikan Nasional, (Rieneka Cipta, 2000), hlm 57

  • 41

    tinggi dan produktif menghadapi tantangan kehidupan yang penuh

    persaingan dalam milenium ke tiga.

    Sedangkan menurut Prof. Dr. Made Pudarta, indikator-indikator

    tujuan pendidikan diatas dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu:

    a. Hubungan dengan Tuhan, ialah beriman dan bertaqwa kepada Tuhan

    Yang Maha Esa.

    b. Pembentukan pribadi, mencakup berbudi pekerti luhur,

    berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, dan kreatif

    c. Bidang usaha mencakup trampil, berdisiplin, beretos kerja,

    profesional, bertanggung jawab, produktif

    d. Kesehatan, yang mencakup kesehatan jasmani dan rohani.52

    Keempat kelompok ini sudah mencakup keseluruhan

    perkembangan dan pertumbuhan yang harus dilakukan oleh setiap

    manusia. Setiap orang normal membutuhkan pembentukan diri, baik dari

    segi kepribadian, kesehatan, maupun kemampuan mempertahankan hidup

    dan tanggung jawabnya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

    Bagi bangsa indonesia yang merupakan mayoritas beragama

    Islam, sebagian besar tanggung jawab menurut asumsi di atas, terletak

    dipundak lembaga pendidikan Islam yang sekaligus sebagai agen dari

    sistem pendidikan nasional. Secara ideal, pendidikan Islam berusaha

    mengantarkan manusia mencapai keseimbangan pribadi secara

    menyeluruh. Oleh karenanya, pendidikan Islam berupaya mengembangkan

    semua aspek dalam kehidupan manusia yang meliputi spritual, intelektual,

    imajinasi, keilmiahan dll, baik secara individu maupun berkelompok serta

    senantiasa memberikan dorongan bagi kedinamisan aspek-aspek di atas

    menuju kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup baik dalam

    hubugannya dengan al Khaliq, dengan sesama manusia dan dengan

    alam.53

    52 Made Pudarta, Landasan kependidikan; Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak

    Indonesia,(Rieneka Cipta, tk, tt,) hlm. 11

    53 M Arifin, Determinisme Historis,(1987) hlm 129

  • 42

    Dengan format seperti ini, maka penddikan Islam telah merangkul

    semua prinsip tujuan pendidikan. Rumusan ini merupakan acuan umum

    bagi pendidikan Islam, karena akhir tujuan adalah pencapaian kebahagiaan

    dunia akherat. Hal ini akan berarti pula bahwa pendidikan Islam

    mengandung konsep Agama (din), Konsep manusia (insan), konsep ilmu

    (ilm dan ma’rifah), konsep kebijakan (hikmah), konsep keadilan (a’dl),

    konsep amal (amal sebagai adab), dan konsep perguruan tinggi (kuliyatul

    jami’ah). Dengan perpaduan konsep-konsep inilah manusia mampu

    meraih kebahagiaan di dunia dan akherat.54

    Dengan bekal itulah diharapkan manusia mampu mencapai

    kebahagiaanya. Baik di dunia maupun akherat. Bukan semata pencapaian

    materialisme (sebagaimana kaum materialistik), ataupun hanya mengejar

    urusan akherat semata (surga Neraka) sebagaimana kaum tradisional-

    konservative.

    54 Naquib al attas, sebagaimana di kutip dalam; Pendidikan Islam di Indonesia; Antara Cita

    dan Fakta(1980) hlm 9