Top Banner
17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN ANAK DALAM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Kedudukan Anak dalam Keluarga 1. Pengertian Anak Di dalam konteks sosial penetapan terhadap kedudukan anak (keturunan) merupakan salah satu kewajiban umat. Yang dimaksud agar tidak timbul kekacauan pada anggota masyarakat dalam upaya memperjuangkan, menuntut dan menjalankan serta melaksanakan berbagai macam hak dan kewajiban. 1 Sehingga dengan sendirinya akan tercipta pula suatu masyarakat yang tertib dan teratur, lantaran mematuhi peraturan baku yang telah ditetapkan oleh agama Islam sebelumnya. Anak sebagai amanat Allah yang harus dilaksanakan dengan baik, khususnya bagi orang tua, dan tidak boleh begitu saja mengabaikannya, lantaran hak-hak anak termasuk ke dalam salah satu kewajiban orang tua terhadap anak yang telah digariskan oleh agama Islam. 2 Oleh karena itu dalam meniti kehidupan ini, anak-anak muslim memiliki hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. 1 Abdul Razaq Husain, Islam wa Tiflu, Alih bahasa Azwir Butun, Hak-hak Anak dalam Islam, Jakarta: Fika Hati Aniska, 1992, hlm. 49 2 Ibid, hlm. 53
29

BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

Jun 20, 2019

Download

Documents

lamkhanh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

17

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN ANAK DALAM ISLAM

DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

A. Kedudukan Anak dalam Keluarga

1. Pengertian Anak

Di dalam konteks sosial penetapan terhadap kedudukan anak

(keturunan) merupakan salah satu kewajiban umat. Yang dimaksud agar

tidak timbul kekacauan pada anggota masyarakat dalam upaya

memperjuangkan, menuntut dan menjalankan serta melaksanakan berbagai

macam hak dan kewajiban.1 Sehingga dengan sendirinya akan tercipta

pula suatu masyarakat yang tertib dan teratur, lantaran mematuhi peraturan

baku yang telah ditetapkan oleh agama Islam sebelumnya.

Anak sebagai amanat Allah yang harus dilaksanakan dengan baik,

khususnya bagi orang tua, dan tidak boleh begitu saja mengabaikannya,

lantaran hak-hak anak termasuk ke dalam salah satu kewajiban orang tua

terhadap anak yang telah digariskan oleh agama Islam.2 Oleh karena itu

dalam meniti kehidupan ini, anak-anak muslim memiliki hak mutlak yang

tidak dapat diganggu gugat.

1 Abdul Razaq Husain, Islam wa Tiflu, Alih bahasa Azwir Butun, Hak-hak Anak dalam

Islam, Jakarta: Fika Hati Aniska, 1992, hlm. 49 2 Ibid, hlm. 53

Page 2: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

18

Pengertian anak menurut istilah hukum Islam adalah keturunan

kedua yang masih kecil.3 Sifat kecil kalau dihubungkan dengan perwalian

hak milik dan larangan bertindak sendiri, sebenarnya ada dua tingkatan

yaitu:

a. Kecil dan belum mumayyiz dalam hal ini anak itu sama sekali tidak

memiliki kemampuan untuk bertindak. Jadi, tidak sah kalau misalnya

ia membeli apa-apa atau memberikan apa-apa kepada orang lain. Kata-

katanya sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai pegangan, jadi

segala-galanya berada di tangan wali.

b. Kecil tapi sudah mumayyiz, dalam hal ini si kecil ini kurang

kemampuannya untuk bertindak, namun sudah punya kemampuan,

oleh sebab itu kata-katanya sudah dapat dijadikan pegangan dan sudah

sah kalau ia membeli atau menjual atau memberikan apa-apa kepada

orang lain.4

Dalam hukum Islam, Anak yang Mumayyiz ialah yang sudah

mencapai usia mengerti tentang akad transaksi secara keseluruhan dia

mengerti maksud kata-kata yang diucapkannya, bahwa membeli itu

menerima barang sedang menjual itu memberikan barang dan juga ia

menegerti tentang rugi dan beruntung, biasanya usia anak itu sudah genap

7 (tujuh) tahun. Jadi kalau masih kurang dari tujuh maka anak itu

hukumnya belum Mumayyiz, walaupun ia mengerti tentang istilah-istilah

3 Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, hlm. 112 4 Zakariya Ahmad Al-Barry, Al-Ahkamul Aulad, alih bahasa Chadidjah Nasution,

Hukum Anak-anak dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, hlm. 113

Page 3: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

19

menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah

lebih tujuh tahun umurnya tetapi masih belum mengerti tentang jual beli

dan sebagainya.5

Hukum anak kecil ini tetap berlaku, sampai anak itu dewasa dan

hal ini dimaksudkan dalam firman Allah SWT:

��������������� ���� ������� ��������� ��������� ����� � ����������� �!�"�#�� $%�&� '�(����� �)!���"�*�����������+,����-�./�

Artinya: “Dan hendaklah kamu menguji anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah, kemudian jika kamu berpendapat bahwa mereka sudah cerdas sudah pandai memelihara harta, maka hendaklah kamu serahkan kepada mereka itu harta-hartanya” ( Q.S. an-Nisa: 6)6

Kata dewasa disini maksudnya cukup umur untuk berketurunan

dan muncul tanda-tanda lelaki dewasa pada pria, begitu juga muncul

tanda-tanda wanita dewasa pada puteri, inilah dewasa yang wajar, yang

biasanya belum ada sebelum anak laki-laki berumur 12 (dua belas) tahun,

dan anak perempuan berumur 9 (sembilan) tahun. Maka kalau anak

mengatakan dia sudah dewasa, setelah ia mencapai usia ini, maka

keterangannya itu dapat diterima karena dia sendirilah yang lebih mengerti

tentang dewasa atau tidaknya dan biasanya anak-anak tidak mau berdusta

dalam persoalan ini.7

5 Ibid, hlm. 114 6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: PT. Tanjung Mas

Inti, 1992, hlm. 115 7 Zakariya Ahmad Al-Barry, op. cit., hlm. 114

Page 4: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

20

Sedangkan dalam KUH Perdata tidak ada ketentuan-ketentuan

umum tentang pengertian seorang anak.

2. Kewajiban orang Tua dan Hak-hak Anak

a. Kewajiban Orang Tua terhadap Anak

Dalam suatu rumah tangga yang aman dan damai, segala

sesuatu yang menyangkut kesejahteraan anak adalah di bawah

pengamatan kedua orang tuanya suami isteri bahu-membahu dan

bekerja sama memenuhi hidup semua keperluan anak-anaknya,

anakpun merasa tenteram dalam pertumbuhan jasmaniah dan

rokhaniyahnya. Semua orang sangat mengidam-idamkan hal yang

demikian, rumah tangganya adalah istana baginya selama hayat

dikandung badan.8

Menurut Hilman Hadikusuma tentang perkawinan dalam

hukum Islam mengatakan bahwa, dengan adanya ikatan perkawinan

tersebut akan menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan

anak-anaknya. Seorang ayah dibebani tugas kewajiban memelihara dan

mendidik anak-anaknya. Sedangkan ibu bersifat membantu, ibu hanya

berkewajiban menyusui anak dan merawatnya.9 Kewajiban bapak

dalam memberi nafkah terhadap anak terbatas kepada kemampuannya.

Sebagaimana digariskan dalam Al-Qur’an yang menyatakan:

8 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet.I, 1988, hlm. 400 9 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, cet. I,

1990 , hlm. 144

Page 5: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

21

���01� �23�$4�� �5�6�����!� � �2)7�8��� �2���!�9����)7� �:���*� �2�����;� �:��� <=���;�*)#� �5�6�������>���?��>���9�����"0�1�)@���A���;���B����CD������6��0�1��E ��!���?DF+GHI�-�/

Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” ( Q.S. at-Thalaq: 7)10

Seorang ibu wajib menyusui anaknya, kalau memang dia

ditentukan untuk itu, maksudnya tidak ada wanita lain yang akan

mengambil alih tugas itu dari padanya atau bayi itu tidak mau

menyusu kecuali kepada ibunya saja. Adapun bunyi ayat yang

memerintahkan penyusuan adalah sebagai berikut:

�=�9��J$>��$(���?�����������:�(����:���!����K��:������&�$:�L���D�*���:���J�>�?��M ��������* '!7��N �*�>���(����"� $:���3����K�*�$:��)7�8����2�����)���(���'�!�9�*�!7' ���OP �6��� �E C!���3�D

�����Q ������'�!�9�*� �R������"� �2���O��)�����D�*� ��L������"�ST�����*� $���U �3�D� ������;�*CD���V ��#�)@�W��+T>XY�-���/�

Artinya: “Dan ibu-ibu menyusukan anak-anak mereka dua tahun yang sempurna bagi siapa yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan bagi ayah diwajibkan memberikan nafkah kepada mereka. Dan pakaian mereka, dengan cara yang baik, suatu jiwa tidak dibebani kecuali menurut kesanggupannya saja, tidak boleh si ibu disusahkan karena bayinya dan juga tidak boleh si ayah disusahkan karena masalah anaknya”. (.S.Al-Baqarah: 233).11

10 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 946 11 Zakariya Ahmad Al-Barry, op. cit., hlm. 44

Page 6: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

22

Selain dari beban yang wajib tersebut, di dalam Islam orang tua

dianjurkan untuk melaksanakan sunnah Nabi dalam membesarkan anak

sampai ia dewasa dan dapat berdiri sendiri.12 Sebaliknya anak juga

wajib menghormati dan berbuat baik terhadap ayah, ibu, dan para

anggota kerabatnya sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

�����Z�����9� $:� )!�Y�?�$��� �������&�� �:�?���������"�*� �R�$?�CD�� [�*���Y���3CD�� ���\"��� '�U �7�*���(�L���&�� �>�Y���� �H�K�*���(�L �����@)7�*��(�L�>�����3�D�*� �<N )��(����� �@)X�3�H�

�����] ��� �@)7�*� �=�(�&$>�� �:��� �̂ _̀�� ������a� ��(����� �b�6�&�*� ��(�?�>�KFcD��7��(������>��� �d��e������"����(�K��(���(�&���+f>;D�-��g��/

Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. Dan supaya kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya, terutama jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dan berada dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kedua perkataan “Ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang. Dan ucapkanlah.”Ya Tuhanku berikanlah rahmat kepada mereka berdua sebagaiman mereka telah mendidik aku dengan kasih sayangnya waktu aku masih kecil”. (Al-Isra’: 23-24).13

b. Hak-hak Anak

Pada dasarnya, seorang anak berhak mendapatkan

pemeliharaan, perawatan dan pendidikan dari orang tuannya. Dalam

hukum Islam, anak-anak dikatakan dibawah umur, kalau mereka

12 Hilman Hadikusuma, op. cit., hlm. 144 13 Zakariya Ahmad Al-Barry, op. cit., hlm. 88

Page 7: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

23

belum mencapai umur 15 tahun atau belum mencapai pebertet atau

mengalami menstruasi bagi anak perempuan.

Perawatan dan pemeliharaan terhadap seorang anak diwajibkan

kepada ibu, sedangkan hak pendidikan terhadap seorang anak

diwajibkan kepada kedua orang tua. Hak dan kewajiban ini diberatkan

kepada masing-masing orang tua, baik selama perkawinan ataupun

jikalau perkawinan telah diputuskan.

Apabila seorang ibu tidak dapat melakukan kewajibannya itu,

dikarenakan tidak ada atau karena dikenakan diskualifikasi, maka

hukum Islam menentukan beberapa anggota keluarganya yang

perempuan. Dan jika anggota-anggota keluarga yang perempuan

initidak dapat melakukan kewajibannya, maka kewajiban dan

pemberian hak terhadap anak itu berpindah kepada anggota keluarga

yang laki-laki. Dimulai dari bapaknya.14

Perbedaan pendapat para ulama mengenai batas usia seorang

anak yang diasuh:

1. Menurut Madzhab Hanafi, terutama ulama-ulama mereja yang

terdahulu, bahwa mengasuh anak kecil itu berakhir apabila ia telah

sanggup mengurus keperluannya yang utama seperti makan,

berpakaian, dan kebersihannya. Sedangkan untuk anak perempuan

berakhir sampai usia baligh (batas timbulnya syahwat). Mereka

tidak memberi batas yang tegas.

14 Abdoeraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1970, hlm. 88

Page 8: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

24

Adapun ulama-ulama Hanafi yang datang kemudian

memberikan batasan berdasarkan ijtihad karena pertimbvangan

kondisi anak, tempat dan masanya. Maka mereka menentukan

batas usia untuk anak laki-laki berusia tujuh tahun, dan untuk anak

perempuan sembilan tahun. Ada pula di antara yang memberi batas

untuk anak laki-laki berusia sembilan tahun dan untuk anak

perempuan sebelas tahun.

2. Madzhab Maliki, menyatakan bahwa batas usia seorang anak untuk

diasuh ialah sejak ia lahir sampai baligh. Untuk anak perempuan

adalah sejak ia lahir sampai menikah, bahkan sampai dicampuri

suaminya.

3. Madzhab Syafi’i, menyatakan bahwa batas tidak batas tertentu

untuk mengasuh seorang anak kecil, karena tidak ada suatu

keterangan yang tegas dalam hal itu. Seorang anak tetap tinggal

bersama ibunya (apabila orang tuanya bercari). Sehingga anak itu

dapat mempertimbangkan sendiri untuk di mana ia tinggal, di

antara ibu dan bapaknya atau saudaranya.

4. Madzhab Hambali, memberikan batas untuk mengasuh seorang

anak, baik laki-laki maupun perempuan, ialah tujuh tahun. Adapun

anak perempuan, apabila sudah berusia tujuh tahun, bapaknya

berkewajiban menjaganya dengan baik sampai anak itu menikah.

Bapak dianggap lebih mampu mengawasinya, karena itu

Page 9: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

25

diserahkan kepadanya, meskipun ibu anak itu mau mengawasinya

dengan sukarela.

5. Pendapat Ibnu Qayyim, tentang masalah ini diadakan undian atau

anak melakukan pilihan tempat tinggalnya, pada ibu atau

bapaknya, karena orang tuanya sudah bercerai, barulah kita

lakukan hal itu jika membawa kemaslahatan kepada anak yang

bersangkutan.

6. Menurut UU. No. I tahun 1974, berlaku sampai anak itu kawin atau

dapat berdiri sendiri. Kewajiban tersebut berlkau terus menerus,

meskipun perkawinan antara orang tua putus.15

Menurut KUH Perdata, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak

itu merupakan hubungan dan kewajiban hukum pada batas umur tertentu,

sampai anak-anak yang lahir dalam ikatan perkawinan mencapai umur

tertentu yang disebut dewasa.16

Dalam apa yang dinamakan kuasa orang tua oleh hukum perdata,

yang oleh hukum Islam dinamakan kewajiban orang tua terhadap hak-hak

seorang anak, kita melihat beberapa perbedaan. Dalam hukum perdata,

kuasa orang tua hanya ada jikalau kedua-duanya masih hidup dan tidak

bercarai (pasal 299, 345 KUH Perdata). Sedangkan menurut hukum Islam

15 Peunoh Daly, op.cit., hlm. 405-406 16 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Medan: CV. Zahir, 1975, Cet. I,

hlm. 199

Page 10: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

26

kewjiban itu tetap ada, sungguhpun kedua orang tua sudah bercerai atau

salah satu meninggal dunia, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.17

B. Pembuktian Asal Usul Anak

Hasrat untuk menyalurkan kebutuhan biologis merupakan fitrah

manusia tapi penyalurannya perlu diatur. Agama Islam telah mengatur batas-

batas yang boleh dilakukan, sehingga tidak terjadi penyelewengan hukum.

Agama Islam telah menetapkan hal tersebut melalui jalan perkawinan yang

sah.18 Agama Islam juga memelihara keturunan agar jangan sampai tersia-sia,

jangan didustakan dan jangan dipalsukan karena hal ini merupakan hak anak.

Anak akan dapat menangkis penghinaan atau musibah terlantar yang mungkin

akan menimpa dirinya. Setiap ibu bertugas menolak hal-hal yang

menghinakan dari tuduhan-tuduhan yang tidak baik terhadap anaknya.

Demikian juga setiap ayah bertugas memelihara keturunannya dan keturunan

anak cucunya agar jangan sampai tersia-sia atau dihubung-hubungkan dengan

orang lain.

Lahirnya seorang anak menunjukan adanya bapak dan ibu dari si

anak itu. Dalam arti bahwa, sebagai hasil perbuatan bersetubuh dari seorang

laki-laki dan seorang wanita, maka si wanita akan melahirkan manusia lain

yang dapat menyatakan bahwa seorang laki-laki adalah ayahnya dan seorang

wanita adalah ibunya.

17 Abdoeraoef, op. cit., hlm. 89 18 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiah Al-Hadits Pada Masalah kontemporer Hukum Islam,

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 79

Page 11: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

27

Oleh karena itu, antara waktu bersetubuh dan waktu lahirnya si anak

ada tenggang waktu beberapa bulan, maka pada waktu anak itu lahir tidak

mungkin pada saat itu pula dapat ditentukan siapakah sebenarnya ayah dari si

anak itu. Dengan kenyataan inilah, maka perlu adanya suatu perkawinan

antara seorang wanita dengan seorang laki-laki, yang dengan bersetubuh akan

menghasilkan seorang anak. Hukum di manapun didunia yang mengenal

lembaga perkawinan mempunyai harapan bahwa seorang suami atau istri

setelah kawin tidak akan bersetubuh dengan orang ketiga.19

Apabila timbul suatu keragu-raguan dalam memastikan seorang

adalah betul-betul anak dari seorang laki-laki tersebut, maka menjadi

persoalan hukum, lalu apakah tidak mungkin diadakan penyelidikan yang

tepat dan seksama tentang keturunan seorang anak dari bapaknya,20 karena

asal usul seorang anak merupakan dasar untuk menunjukkan hubungan

kemahraman (nasab) dengan ayahnya.21

Untuk membuktikan sah atau tidaknya seorang anak itu diperlukan

dua macam akta, yaitu:

1. Akta perkawinan orang tua yang membuktikan dengan siapa ibu itu

menikah.

19 M. Ridwan Indra, Hukum Perkawinan di Indoensia, Jakarta: Haji Masagung, 1994,

cet. I, hlm. 48 20 Ibid, hlm. 56 21 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, Sinar Grafika, tt, hlm. 43.

Page 12: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

28

2. Akta kelahiran yang membuktikan dari mana anak itu dilahirkan dan

kapan anak itu dilahirkan.22

Adapun isi pokok dari akta kelahiran atau surat lahir yang

dikeluarkan oleh kantor catatan sipil, demikian sebagai bukti adanya kelahiran

seorang anak yang menyangkut hal-hal sebagai berikut:

1. Nomor akta.

2. Tempat, Tanggal, bulan dan tahun anak tersebut dilahirkan

3. Nama anak yang bersangkutan

4. Jenis kelamin

5. Nama kedua orang tuanya (dapat dibuktikan dengan salinan akta nikah)

6. Kota atau tempat dan tanggal dikeluarkannya akta kelahiran

7. Nama dan tanda tangan pejabat kantor catatan sipil yang ditunjuk untuk itu

atau dalam bentuk bentuk surat kenal lahir adalah lurah atau kepala desa.

Dari akta kelahiran tersebut pihak yang bersangkutan diberikan

kutipannya. Demikian juga dalam bentuk surat kenal lahir atau surat kelahiran

dari lurah atau kepala desa dimana dan kapan dilahirkannya anak tersebut.

Manfaat lain dari adanya akta kelahiran atau yang sejenis, hal ini

merupakan identitas resmi yang akan sering digunakan misalnya untuk

keperluan sekolah, pengurusan passport, dan lain-lain. Jadi, secara internal

22 R. Soetojo Prawirahamidjojo, Asis Sofioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Bandung:

Alumni, 1986, cet. V, hlm. 135.

Page 13: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

29

akta kelahiran merupakan identitas asal-usul seorang anak, secara eksternal

merupakan idetitas diri dari yang bersangkutan.23

Dengan adanya gugatan pengingkaran suami terhadap keabsahan

anak atau dengan kata lain pembuktian asal usul anak (keturunan). Hal ini

hanya bisa dibuktikan dengan bukti-bukti permulaan berupa surat-surat

tertulis, atau dapat pula dibuktikan dengan keadaan-keadaan yang nyata. Yang

dimaksud dengan keadaan yang nyata adalah, yang telah menunjuk pada

praktek kehidupan dan pergaulan sehari-hari antara mereka yang bersangkutan

sebagaimana yang diatur dalam pasal 262 KUH Perdata bahwa:

1. Masyarakat menganggap atau memperlakukan seorang anak adalah anak

sah dari keluarga tertentu.

2. Nama belakang dari anak itu selalu memakai nama si bapak.

3. Bahwa masyarakat selalu mengakui dia sebagai anak si bapak

4. Bahwa saudara-saudaranya mengakui dia sebagai anak si bapak.24

Kalau kenyataan-kenyataan yang disebutkan di atas itu cocok dengan

isi akta kelahiran, maka kebenaran tersebut tidak boleh diganggu gugat lagi

(pasal 263 KUH Perdata).

Hanya jika akta kelahiran atau kenyataan-kenyataan itu tidak ada,

maka asal usul anak (keturunan) baru dapat dibuktikan dengan saksi-saksi,

tetapi dengan ketentuan harus sudah ada permulaan pembuktian tertulis atau

23 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998,

cet. III, hlm. 220. 24 Soedharyo Soimin, op.cit, hlm. 47-48.

Page 14: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

30

juga sudah adanya petunjuk-petunjuk yang sangat kuat (pasal 264 KUH

Perdata).25

Kekuatan mengenai adanya peristiwa hukum (rechfeit) seperti nikah,

talak, rujuk, dan akibat hukumnya adalah penting, baik bagi yang

berkepentingan sendiri maupun bagi masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya

pencatatan resmi dari pemerintah, yang tertuang dalam penjelasan umum

dinyatakan bahwa pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan

seseorang misal dalam masalah kelahiran, kematian, yang dinyatakan dengan

surat-surat keterangan suatu akte resmi, yang juga dimuat dalam daftar

pencatatan.26

Mengenai pencatatan, memiliki manfaat prefentif yaitu untuk

menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan. Apalagi

dalam masalah pencatatan perkawinan, yang mengingat kesadaran masyarakat

yang menjadi subyek hukum. Penelitian pegawai pencatat juga bermaksud

untuk meneliti status perkawinan seseorang, baik calon suami maupun calon

istri. Karena dengan adanya pencatatan tersebut, status perkawinan akan

menjadi jelas. dan anak yang dilahirkannya juga akan mempunyai kedudukan

yang jelas. Jadi, anak yang mempunyai kedudukan anak sah adalah anak yang

lahir dari atau akibat perkawinan yang sah, sepanjang bayi itu lahir dari ibu

25 M. Ridwan Indra, op.cit, hlm. 58. 26 Amin Syarifuddin, op.cit., hlm. 329.

Page 15: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

31

yang berada dalam ikatan perkawinan yang sah, sehingga dia dapat disebut

sebagai anak yang berkedudukan sebagai anak sah.27

Dengan adanya pencatatan nikah tersebut, maka tidak mungkin akan

terjadi suatu perselisihan antara suami istri ketika mereka melahirkan seorang

anak. Kecuali apabila sang istri sebelum nikah sudah terlanjur hamil dahulu,

dan hamilnya itu disembunyikan dari suaminya. Atau sang suami selama

dalam ikatan perkawinan tidak pernah merasa berkumpul dan melakukan

persetubuhan dengan istrinya, maka hal ini akan menjadikan suatu

perselisihan yang sangat berkepanjangan. Dalam hal untuk memastikan asal

usul anak (keturunan) atau untuk memastikan sah tidaknya seorang anak.28

Perzinaan merupakan salah satu perbuatan yang menyalahi hukum,

sehingga hasil dari perbuatan tersebut membawa efek bukan hanya bagi si

pelakunya, tetapi juga menyangkut pihak lain yaitu mengenai anak hasil

perbuatan zina itu.29

Menurut hukum Islam pelaku zina baik pria maupun wanita dihukum

dengan seratus kali dera, bahkan kalau pelaku zina itu sudah berkeluarga atau

dalam ikatan perkawinan, atau pernah kawin, maka hukumannya lebih berat

lagi, yaitu dirajam atau dilempari batu sampai mati.

Seseorang dapat dijatuhi hukuman yang seberat itu kalau perbuatan

zina itu disaksikan oleh empat saksi pria Islam, yang adil atau memiliki

27 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, cet

III, hlm. 111. 28 Ibid, hlm. 225. 29 M. Ali Hasan, loc.cit.

Page 16: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

32

integritas yang menyaksikan dan melihat ketika perbuatan zina itu dilakukan.

Sehubungan dengan hal ini, ada sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari

Muslim dan Abu Hurairah:

��̂ ��7� �T�>�?�>�L� �e�"�� �:�9�-�����'� � ��L�*���C!�;�*� �2���!�9�01�'C!�d� �1� �̂ ��;���S@�a���'3��������h�"��F� �2���!�9� $����*� �2���9� �i �>�9��� � �j �����8�'����� �1� �̂ ��;����?� �̂ ��X� � �R������ � ���A���(��

�M $>��� -��h�"���� �2���6��� '�!�9� ������� �$(�!� ���2���!�9� 01� 'C!�d� ��e�Y$��� �R��9��� <M ����������̂ ��7�k� ������a� �V $��� ��C!�;�*� -�D�l��̂ ��X� �l���̂ ��7� �j ���m �&�� �@�L� -��$e�Y$��� �̂ ��X� � ������

��R��(�a���� ��2�"���Y�L�#�+2�!9�56��/�Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Seorang laki-laki telah

datang kepada Rasulullah saw beliau sedang berada di dalam masjid ia memanggilnya seraya berkata: Ya Rasulullah, sungguh aku telah berzina, kemudian Nabi berpaling (tidak menghiraukannya) ia mengulangi sampai empat kali (pengakuan) setelah empat kali bersaksi atas dirinya (mengakui). Nabi memanggilnya lalu berkata, apakah kamu telah beristri (mukhsan)? Ia menjawab: Ya, setelah itu Nabi berkata kepada para sahabat: “Bawalah dia dan rajamlah”.30(HR. Mutafaq ‘Alaih).

Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina, kemudian istrinya

melahirkan anak dari hasil perzinaan itu, maka harus mendatangkan saksi-

saksi dengan kriteria sebagai berikut:

1. Orang-orang yang menyaksikan perbuatan zina itu haruslah empat orang,

Tidak cukup dengan seorang saksi, seperti dalam kesaksian-kesaksian

lainnya. Dasarnya ialah firman Allah:

30 Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer

1, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 127

Page 17: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

33

������������� � ��)������c=���"���n� $:�����!�9�*�����o���;�� � ��)��p������ �:��� �=�o�&��6��� �:���3�q�?� ��%C��*�����$:�����01��@���A�?��*�n��M ��(���$:��� �����?�'$��&��M ����Y���') �$:�L�)�������� �*������

cH���Y�;+�.,�����-��/��Artinya: “Dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji

datangkanlah empat orang di antara kamu untuk menjadi saksi. Kemudian apabila mereka telah memberikan kesaksian, maka kurunglah wanita-wanita itu dalam rumah hingga mereka menemui ajalnya atau hingga Allah memberikan jalan lain kepada-Nya” (an-Nisa: 15)

2. Saksi-saksi itu haruslah orang-orang yang sudah baligh.

3. Saksi-saksi itu haruslah orang-orang yang sehat akalnya.

4. Orang-orang yang menjadi saksi itu haruslah orang yang adil.

5. Orang-orang yang menjadi saksi itu hendaklah orang Islam.

6. Orang-orang menyaksikan itu hendaknya tahu peristiwanya secara

mendetail, bahkan dia melihat persis masuknya penis si lelaki dalam

vagina si wanita.

Dasar pemakaian syarat keenam ini ialah tindakan dan perkataan

Rasulullah SAW ketika memeriksa perkara Ma’iz, jalan ceritanya adalah

sebagai berikut:

“Barangkali engkau menciumnya, atau engkau elus-elus, atau

engkau lihat kemaluannya? “tidak ya Rasulullah” jawab Ma’iz, kemudian

Nabi menanyainya dengan kata-kata yang tanpa tedeng aling-aling lagi,

dan minta agar dijawab dengan jelas pula.” Baiklah hai Rasulullah”, jawab

Ma’iz lagi, “begitu pulakah ketika masuknya penis ke dalam vaginanya?

“Tanya Rasulullah selanjutnya “ya” jawab Ma’iz lagi.

Page 18: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

34

7. Dalam memberikan kesaksian para saksi harus menggunakan kata-kata

yang jelas, tidak dengan kata-kata sindiran.

8. Para saksi itu harus memberikan kesaksiannya dalam satu tempat secara

simultan, jika mereka memberikan kesaksian secara terpisah baik dalam

arti waktu maupun tempat, maka hal itu tidak bisa diterima.

9. Orang-oarang yang bertindak sebagai saksi-saksi itu harus laki-laki

(semua).

10. Peristiwa perzinaan yang disaksikan mereka itu merupakan peristiwa yang

masih baru (belum berselang lama). Hal ini didasarkan atas perkataan

Umar bin Khattab: “siapa saja yang bersaksi atas suatu pengadilan, tetapi

perkaranya sudah kadaluarsa (ketentuan lewat waktu), maka kesaksian

tersebut hanya merupakan dendam. Dengan demikian, maka keasksiannya

tidak di terima.31 Syarat yang terakhir ini tetap berlaku selama tidak ada

alasan yang dapat diterima atas tertundanya kesaksian tersebut.

Suatu situasi yang amat langka karena kecil kemungkinan perbuatan

zina itu dilakukan di tempat terbuka, dan kalau misalnya empat pria Islam

yang baik-baik melihat seorang yang akan melakukan zina dan tidak berbuat

sesuatu untuk menghalanginya, maka dapat diartikan bahwa mereka itu

menyetujuinya.

Dari konsep hukum Islam tersebut, dapat diartikan pula bahwa kalau

seorang suami menuduh istrinya berzina, dan ia menyangkal atau mengingkari

kelahiran anak yang telah dilahirkan istrinya, maka seorang suami harus

31 Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987, hlm. 113-117

Page 19: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

35

menghadirkan empat orang saksi. Apabila ia tidak dapat mendatangkan saksi,

maka kesaksian itu dapat diganti dengan lima kali sumpah oleh si penuduh

(suaminya) itu.32

Konsep sumpah dalam perkara li’an atau gugatan suami dalam

mengingkari keabsahan anak yang dilahirkan istrinya, hal ini diperintahkan

oleh hakim pada waktu itu dan persoalan siapa yang diwajibkan lebih dahulu

melakukan li’an tidak diterangkan dengan tegas oleh ayat al-Qur’an dan hadis,

yang penting dalam hal ini siapakah dalam perkara tersebut yang menjadi

pihak penggugat dan pihak tergugat.33

Hukum Islam memberikan suatu ketentuan bahwa untuk memastikan

adanya keturunan harus diketemukan tiga syarat, yaitu: perkawinan,

pengakuan dan bukti. Hal tersebut dapat juga dibuktikan dengan usia

maksimal dan minimal kehamilan yang dialami oleh seorang wanita, namun

kehamilan seorang wanita itu agaknya sulit untuk diketahui oleh orang lain

dan yang lebih mengetahui kehamilannya adalah si wanita itu sendiri.

Ulama fiqih sepakat bahwa tenggang waktu minimal kandungan

adalah (6) enam bulan, hal ini dikuatkan dengan sebuah hadis yang

diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, bahwa janin yang berada di dalam kandungan

itu setelah berusia empat bulan dilengkapi dengan roh dan dalam masa dua

bulan berikutnya disempurnakan bentuk (khilqah)nya. Dengan demikian

32 Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, Cet. 1, 1997, hlm. 9-10 33 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan

bintang, Cet. 3, 1993, hlm. 209

Page 20: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

36

apabila bayi lahir dalam usia enam bulan atau 180 (seratus delapan puluh) hari

ia sudah sempurna meskipun kurang sehat.34

Untuk menetapkan pewujudan sang bayi dalam rahim ibunya

hendaklah diperhatikan:

a. Tenggang waktu yang sependek-pendeknya�� antara akad perkawinan

dengan kelahiran anak.

b. Tenggang waktu yang sepanjang-panjangnya antara putusnya perkawinan

dengan kelahiran anak.

Tenggang waktu masa hamil yang paling pendek diistimbathkan pada

firman Allah dalm surat Al-Ahqaf:

����2)!�(�&�*��L�>)K� �2�����J�*�*��L�>)K� �2\�)� �2���!�(�&�������&�� �2�?������"� ��������D������$d�*�*�>��������)r�H�r��2)���m � �*+...N �X&D-��/

Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya bebuat baik kepada kedua orang tua (Ibu Bapaknya). Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah juga, mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan” (Q.S. Al-Ahqaf: 15)35

Dalam firman Allah dalam surat Luqman ayat 14:

���)� �2���!�(�&� �2�?������"� ��������D������$d�*�*���������� �:������9� �'� � �2)���m � �*� <:�L�*� '�!�9����L�*� �2�>���m �(���$e�����V �?��������*��e���>)��� +��(X�-��/

Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapih dalam dua tahun.

34 Al-Fiqih Muqaran Lil-Ahwal Al-Syakhsyiyah, Lil Madhzahibil Al-Arba’ah, Darun

Nahdhah Al-Arabiah, Bairut, Juz. I, hlm. 489. 35 Departeman Agama RI, op.cit., hlm. 824.

Page 21: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

37

Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu hanya kepada-Kulah kembalimu” ( Q.S. Luqman: 14)36

Dari kedua ayat tersebut dapat dipahami bahwa, Allah telah

memerintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang

tuanya terutama ibunya karena dia telah mengandung dalam keadaan susah

payah yang semakin bertambah.

Adapun mengenai masyaqqah (kesusahan) di sini memiliki pengertian

yang berbeda. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid bahwa yang

dimaksud dengan arti masyaqqah di sini adalah kesusahan seorang ibu ketika

mengandung. Qatadah mengartikan dengan perjuangan (sungguh-sungguh),

sedangkan Atha al-Hirsan mengartikan dengan keadaan lemah yang semakin

bertambah. Dengan menggunakan dalil ( sdasdsd dsfdfd sd ), bahwa ia

memelihara dan menyapihnya sampai dua tahun setelah dalam keadaan lemah

(masa mengandung). Hal ini tercermin dalam ayat:

���=�9��J$>��� $����?� ���n� �����n� �:�s�� �:���!����K� �:������&� $:�L���D�*�n� �:���J�>�?� �M ��������*. +�.....T>XY��-���/�

Ayat tersebut di atas adalah sebagai istimbath hukum yang digunakan

oleh Ibnu Abbas dan Imam-imam yang lainnya dalam menetapkan tenggang

masa kandungan yang paling sedikit, yaitu 6 (enam) bulan. Karena hal ini

berkaitan dengan ayat h(dsjhdjshdjhjshdjhjhjhdjhjh is) menyebutkan tentang

36 Ibid, hlm. 654

>����rHr�2��m *�2!t*

u���9�v�2���m *

Page 22: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

38

susah payah seorang ibu sejak ia mengandung, memelihara, sampai

menyapihnya adalah 30 (tiga puluh) bulan.37

Jika di dalam surat Al-Ahqaf tersebut Allah mengumpulkan dua masa

mengandung dan menyapih itu sebanyak 30 (tiga puluh), sedang sudah

diketahui berdasarkan surat Luqman ayat 14 bahwa menyapih itu adalah dua

tahun (dua puluh empat bulan), maka jelaslah kiranya bahwa mengandung itu

sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan, sedangkan sebagian ulama Hanabilah

menetapkan 9 (sembilan) bulan.38

Jadi, apabila seorang wanita melahirkan anak ketika baru saja enam

bulan menikah, maka ia tidak boleh dituduh telah berzina dan tidak boleh pula

dijatuhi hukuman. Berkenaan dengan masalah ini Imam Malik pernah

mengatakan bahwa, dia mendapat berita yang mengisahkan kasus seorang

wanita yang melahirkan ketika baru saja enam bulan hamil. Sewaktu wanita

itu dibawa menghadap Usman bin Affan, diputuskanlah olehnya agar wanita

tersebut dihukum rajam.

Akan tetapi mendengar keputusan itu berkatalah Ali r.a. kepada

Ustman, ”tidak pada tempatnya engkau menjatuhkan hukuman itu kepada

wanita ini”. masa hamil ada kalanya enam bulan. Atas dasar pertimbangan

inilah hukuman rajam tadi tidak tepat untuk dikenakan kepada wanita yang

bersangkutan “ lanjut Ali.

37 Al-Imam Abil Fida Ismail Ibnu Katsir Al-Qurisyi Adimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, Juz.

3,Dar al-Fikr, 1986, hlm. 446 38 Fatchur Rahman, Ilmu Hadits, Bandung: PT. Al-Ma’arif, cet. II, 1981, hlm. 202.

Page 23: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

39

Mendengar pendapat Ali itu, segeralah sayyidina Usman mengutus

seseorang untuk membatalkan hukuman yang semula telah ditetapkan.39

Jumhur ulama berpendapat bahwa, suami boleh mengingkarinya

sewaktu isterinya hamil. Imam Malik mempersyaratkan bahwa apabila suami

tidak mengingkari kandungannya pada masa kehamilan, maka ia tidak boleh

mengingkarinya sesudah kelahiran. 40

Ulama fiqih berbeda pendapat mengenai batas minimal dan maksimal

masa hamil (mengandung). Menurut Imam Malik batas maksimal kehamilan

adalah 5 tahun. As-Syafi’i memberi batasan empat tahun sedangkan Imam

Abu Hanifah memberi batasan dua tahun. Selain itu Muhammad bin Hakam

berpendapat satu tahun Qamariyah ada pula yang berpendapat bahwa batasan

maksimal kehamilan adalah sembilan bulan. Yang terakhir ini adalah pendapat

Dzahiriyah.

Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, kenyataannya masa hamil

pada umumnya berkisar antara sembilan bulan sampai satu tahun. Jika ada

yang lebih dari batas waktu tersebut hanyalah merupakan pengecualian.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, apabila seorang isteri

melahirkan anaknya kurang dari enam bulan masa kehamilan, maka suami

bisa mengajukan keberatan atas anak yang dilahirkannya itu. Bahkan secara

yuridis anak itu bukan bukan lagi dianggap anak yang sah. Begitu pula halnya

seorang wanita yang telah dicerai kemudian ia melahirkan anak pada masa

39 Sayid Sabiq, Terj. Fiqih Sunnah, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987, hlm. 122 40 Ibnu Rusy, Bidayatul Mujtahid, Jilid. 3, Jakarta: Pustaka Amani, cet. I, 1995, hlm.

264.

Page 24: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

40

yang lebih dari sembilan bulan sampai satu tahun, maka anak itu bukan anak

dari suaminya.41

Apabila dalam pembuktian keturunan dengan tenggang masa minimal

dan maksimal hamil belum menyakinkan, maka bisa dengan persaksian

seorang ahli dengan sebutan saksi ahli, yaitu bisa dengan persaksian seorang

dokter yang menyakinkan persalinan tersebut.42

C. Penetapan Kedudukan Anak

Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya supaya melaksanakan

mu’amalat atau hubungan antar manusia sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang telah ditetapkan oleh syara’. Islam menghendaki

terpeliharanya keturunan dengan baik dan terang diketahui sanak kerabat,

tetangga. Dilarang terjadi perkawinan diam-diam (kawin gelap) dan setiap

anak harus dikenal siapa bapak dan ibunya.43

Dr.Wiryono dalam bukunya “Hakekat Dalam Hukum Islam”

mengatakan bahwa ada kemungkinan seorang anak hanya mempunyai ibu dan

tidak mempunyai bapak. Jadi, status anak yang lahir di luar perkawinan itu

menurut hukum Islam itu adalah anak yang tidak sah yang tidak mempunyai

hubungan hukum dengan ayahnya, yaitu laki-laki yang menurunkannya.

Namun tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya; yaitu wanita yang

melahirkannya itu.

41 Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshary. AZ, op.cit., hlm. 131. 42 Ali Hasbullah, Al-Furqatu baina Zaujain, Dar al-Fikr Al-Araby, 1968, hlm. 241 43 Hilman Hadi Kusuma, op. cit., hlm. 137.

Page 25: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

41

Di dalam Islam terdapat peraturan yang termasuk dalam kategori anak

yang tidak sah antara lain:

1. Anak yang lahir diluar perkawinan, yaitu anak yang dilahirkan oleh

seorang wanita tanpa adanya ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki

secara sah.

2. Anak yang lahir dalam suatu ikatan perkawinan yang sah akan tetapi

terjadinya kehamilan itu diluar perkawinannya, yaitu:

a. Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, tapi lahirnya 6 (enam)

bulan sesudah perkawinan dan diketahui sudah hamil sebelum

perkawinan.

b. Anak yang lahir dalam suatu ikatan perkawinan yang sah dan hamilnya

kurang dari 6 (enam) bulan sejak perkawinannya.44

Berdasarkan uraian di atas, maka anak akan berkedudukan sebagai

anak sah, apabila ia dilahirkan oleh seorang ibu yang sejak permulaan

kehamilan itu sudah terjalin suatu perkawinan yang sah, sedangkan anak yang

tidak sah adalah anak yang lahir akibat dari pergaulan yang tidak sah. Oleh

karena, itu hukum Islam memandang kedudukan seorang anak sah atau tidak

dilihat dari perkawinan orang tuanya dan tenggang masa mengandung. Kapan

dan dimana anak itu dilahirkan.

Hukum Islam menetapkan bahwa untuk memecahkan problema ini

memebuat jalan keluar yang dalam ilmu fiqh dikenal dengan nama li’an, maka

barang siapa yakin atau menuduh bahwa isterinya telah membasahi

44 Zakariya Ahmad Al-Barry, op. cit., hlm. 14 – 15.

Page 26: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

42

ranjangnya dengan orang lain, kemudian sang isteri itu melahirkan anak

padahal tidak ada bukti yang tegas, maka seorang suami boleh mengajukan ke

pengadilan kemudian mengadakan mula’anah (sumpah dengan melaknat)

antara kedua belah pihak. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:

���������L���&��)T������o� �������)6����CD��F,[���������������:)��?������*������a�*�8�n�������>�?��:�?�̀ C��*����:���7���$m ���:�(����2$����1��"�<M ���������h�"���n�.���������K������2���!�9��1��=�������C���)=������w���*

��xyz �"� �#����� �:��� .�����?�*�������2$��� �1��"�<M �������� �h�"���n� �����o�3� ���n� �] �̀ ����� ������9�0,��:��z �"��#�������:�(���.��������:���7���$m ���:�������K�����������!�9��1��{ �U �|�C���)=������w���*�.

+����-�g/�Artinya: “Para suami yang menuduh suaminya padahal mereka tidak

mempunyai saksi melainkan dirinya sendiri, maka kesaksian tiap orang dari mereka adalah empat kali kesaksian dengan nama Allah bahwa ia termasuk orang-orang yang benar. Sedangkan yang kelimanya ialah bahwa laknat Allah akan menimpa kepadanya jika ia termasuk orang-orang yang berdusta dan dihilangkan dari perempuan itu siksa (dera) lantaran ia bersaksi empat kali kesaksian dengan nama Allah bahwa dia (laki-laki) itu termasuk orang-orang yang berdusta. Sedang yang kelimanya bahwa murka Allah akan menimpa kepadanya (perempuan) jika dia (laki-laki) itu termasuk orang yang benar.( Q.S. an-Nur: 6-9).45

Setelah terbukti dalam pemeriksaan di pengadilan, maka pengadilan

memberikan keputusan terhadap keduanya. Dan pengadilan memberikan

penetapan kedudukan terhadap anak. Apakah dia berkedudukan sebagai anak

sah atau tidak sah. Apabila gugatan itu diterima berarti anaknya mempunyai

kedudukan sebagai anak tidak sah dan apabila gugatan itu tidak diterima

(ditolak) maka anak tersebut berkedudukan sebagai anak sah.

45 Yusuf Qardawi, Halal dan Haram Dalam Islam, Bina Ilmu, 1400 H/ 1980 M, hlm.

305

Page 27: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

43

Ada perbedaan yang tajam antara hukum Islam dan hukum perdata

(KUH Perdata). Dalam pasal 272 KUH Perdata dijelaskan bahwa, setiap anak

yang dilahirkan di luar nikah (antara gadis dan jejaka), dapat diakui sekaligus

dapat disahkan, kecuali anak-anak yang dibenihkan dari hasil zina atau dalam

sumbang (anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan wanita

yang dilarang kawin antara keduanya).

Apabila diperhatikan secara seksama pasal tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa, hubungan seks di luar nikah yang dilakukan anak yang

lahir sebagai akibat hubungan mereka bisa diakui atau disahkan sebagai anak

yang sah. Sedangkan anak hasil zina tidak dapat diakui atau disahkan sebagai

anak yang sah. Hal ini berarti bahwa, zina menurut KUH perdata adalah

hubungan seks yang dilakukan di luar nikah oleh mereka yang sudah bersuami

atau beristeri.

Konsekuensi yuridis dari pengertian zina, sitinjau dari segi hukum

pidana adalah, bahwa yang dapat dihukumi hanyalah hubungan seks yang

dilakukan oleh orang yang sudah bersuami atau beristeri dan mereka yang

melakukan hubungan seks dari kalangan gadis dan jejaka tidak dikenai

hukuman pidana.46

Hukum Islam menetapkan bahwa hubungan seks di luar nikah baik

yang dilakukan oleh orang yang sudah pernah menikah maupun dilakukan

oleh orang yang sudah pernah menikah maupun belum pernah menikah, tetap

dinamakan zina. Anak yang dilahirkan akibat hubungan hukum dengan

46 H. Chuzaimah T Yanggo, op.cit., hlm. 121-122

Page 28: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

44

ayahnya, yaitu laki-laki yang menurunkannya, tetapi tetap mempunyai

hubungan hukum dengan ibunya, atau perempuan yang melahirkannya.47

Jadi, jikalau ditinjau menurut hukum perdata yang tercantum dalam

Burgerlijk Wetboek (BW), kita akan melihat adanya tiga tingkatan status

hukum dari pada anak di luar perkawinan:

1. Anak di luar perkawinan, anak ini belum diakui oleh kedua ibu bapaknya.

2. Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua

orang tuanya.

3. Anak di luar perkawinan itu menjadi anak sah, sebagai akibat kedua orang

tuanya melangsungkan perkawinan yang sah.48

Anak yang lahir di luar perkawinan, dinamakan “Natuurlijk Kind” ia

dapat diakui oleh ayah ibunya. Menurut sistem yang dianutoleh BW, dengan

adanya keturunan di luar perkawinan saja, belum terjadi suatu hubungan

keluarga antara anak dengan orang tuanya. Barulah dengan pengakuan

(Erkenning), lahir suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya

(terutama hak mewaris) antara anak dengan orang tua yang mengakuinya.

Tetapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak dengan keluarga si ayah atau

si ibu yang mengakuinya belum juga ada. Hubungan itu hanya bisa diletakkan

dengan pengesahan anak (Wettiging), yang merupakan suatu langkah yang

lebih lanjut lagi dari pada pengakuan. Untuk pengesahan ini, diperlukan kedua

orang tua yang mengakui anaknya, kawin secara sah. Pengakuan yang

dilakukan di hari perknikahan juga membawa pengesahan anak.

47 Soedaryo Soimin, op.cit., hlm. 40 48 Ibid.

Page 29: BAB II 2199022 - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004...19 menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh

45

Jikalau kedua orang tua yang telah kawin belum melakukan pengakuan

terhadap anaknya yang lahir sebelum nikah. Pengesahan itu dapat dilakukan

dengan surat-surat pengesahan (brieven van wettiging) oleh kepala negara.

Dalam hal ini presiden harus meminta pertimbangan Mahkamah Agung.49

Perlu di terangkan bahwa KUH.Perdata tidak membolehkan

pengakuan terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perbuatan zina (overspel)

atau yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang di larang kawin

satu sama lain. 50

Adapun mengenai suatu pertalian kekeluargaan dengan akibatnya,

terutama hak mewaris. Jadi, hampir sama dengan status kekeluargaan dengan

anak sah, hanya perbedaannya anak luar kawin tersebut tidak ada hubungan

dengan ayahnya. sebaliknya, anak sah mempunyai hubungan perdata di

samping dengan ibunya dan keluarga ibunya,juga mempunyai hubungan

dengan bapaknya dan keluarga bapaknya.

49 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1995, cet. XXVII,

hlm. 50 50 Ibid.