24 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZAKAT UANG A. Pengertian dan Jenis-Jenis Uang 1. Definisi Uang Para tokoh ekonomi pada umumnya memberikan definisi yang sama mengenai uang. Mereka mendefinisikan uang sebagai sesuatu yang secara umum diterima sebagai alat pembayaran untuk transaksi jual-beli barang dan jasa, pembayaran utang, pajak dan lainnya. 1 Definisi yang lain diberikan oleh An-Nabhani yang mengatakan bahwa uang adalah standar kegunaan yang terdapat pada barang dan tenaga yaitu sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur tiap barang dan tenaga. 2 Weber yang lebih dikenal sebagai seorang sosiolog pun, tidak mau ketinggalan untuk ikut mendefinisikan uang. Ia tidak hanya mendefinisikan uang dari perspektif ekonomi tetapi juga melihat uang dari perspektif sosial. Menurut Weber sebagaimana yang dikutip kembali oleh Nugroho mengatakan bahwa uang adalah sarana yang paling akurat untuk transaksi dan interaksi sosial ekonomi. 3 1 Iswardono, Uang dan Bank, Yogyakarta: BPFE, 1999, hlm. 4. Pendapatan senada disampaikan juga oleh beberapa ekonom lain seperti William A. Mc Eachern, Economics: A Contemporary Introduction, terj. Sigit Triandaru: “Ekonomi Makro Pendekatan Kontemporer”, Jakarta: Salemba Empat, 2000, hlm. 258. Selain itu definisi serupa disampaikan oleh Y. Sri Susilo, et.al., Bank Dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000, hlm. 5 2 Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nidham Al-Iqtishadi Fil Islam, terj. M. Maghfur Wahid: “Membangun Sistem Ekonomi Alternatif”, Surabaya: Risalah Gusti, 2002, hlm. 297 3 Heru Nogroho, Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet. I, hlm. 25
44
Embed
BAB II 2100020 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004... · yang terdiri dari uang kartal dan uang giral serta uang dengan pengertian
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
24
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ZAKAT UANG
A. Pengertian dan Jenis-Jenis Uang
1. Definisi Uang
Para tokoh ekonomi pada umumnya memberikan definisi yang sama
mengenai uang. Mereka mendefinisikan uang sebagai sesuatu yang secara
umum diterima sebagai alat pembayaran untuk transaksi jual-beli barang
dan jasa, pembayaran utang, pajak dan lainnya.1
Definisi yang lain diberikan oleh An-Nabhani yang mengatakan
bahwa uang adalah standar kegunaan yang terdapat pada barang dan tenaga
yaitu sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur tiap barang dan
tenaga.2
Weber yang lebih dikenal sebagai seorang sosiolog pun, tidak mau
ketinggalan untuk ikut mendefinisikan uang. Ia tidak hanya mendefinisikan
uang dari perspektif ekonomi tetapi juga melihat uang dari perspektif
sosial. Menurut Weber sebagaimana yang dikutip kembali oleh Nugroho
mengatakan bahwa uang adalah sarana yang paling akurat untuk transaksi
dan interaksi sosial ekonomi.3
1 Iswardono, Uang dan Bank, Yogyakarta: BPFE, 1999, hlm. 4. Pendapatan senada
disampaikan juga oleh beberapa ekonom lain seperti William A. Mc Eachern, Economics: A Contemporary Introduction, terj. Sigit Triandaru: “Ekonomi Makro Pendekatan Kontemporer”, Jakarta: Salemba Empat, 2000, hlm. 258. Selain itu definisi serupa disampaikan oleh Y. Sri Susilo, et.al., Bank Dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000, hlm. 5
2 Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nidham Al-Iqtishadi Fil Islam, terj. M. Maghfur Wahid: “Membangun Sistem Ekonomi Alternatif”, Surabaya: Risalah Gusti, 2002, hlm. 297
3 Heru Nogroho, Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet. I, hlm. 25
25
Dari definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa sesuatu itu
menjadi uang karena pemilihan masyarakat, hukum dan sejarahnya. Hal ini
tampak dari definisi-definisi yang diberikan oleh para tokoh di atas, di
mana mereka berbeda pendapat dalam mendefinisikan uang karena mereka
tidak berada pada situasi dan kondisi yang sama. Keadaan masyarakat baik
itu dari segi hukum maupun historisnya sangat mempengaruhi pemikiran
mereka. Namun setidaknya ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan
patokan dalam menentukan sesuatu agar bisa disebut sebagai uang.
Criteria-kriteria tersebut antara lain:
a. Acceptability dan Cognizability
Uang harus dapat diterima secara umum dan diketahui secara umum,
baik itu sebagai alat tukar, penimbun kekayaan, standar cicilan utang,
dan lain-lain.
b. Stability of Value
Uang harus memiliki nilai yang stabil. Kepercayaan seseorang akan
nilai uang serta perubahan nilai uang yang terlalu besar, hanya dapat
terwujud jika nilai uang terjaga kestabilannya.
c. Elasticity of Supply
Jumlah uang yang beredar harus mencukupi kebutuhan dunia usaha
(perekonomian). Kekurangan supplay uang akan menghambat kegiatan
perekonomian sehingga mengakibatkan kemacetan perdagangan. Oleh
karena itu, otoritas moneter (Bank Sentral) perlu memantau
26
perkembangan perekonomian sehingga elastisitas ketersediaan dana
terjaga.
d. Portability
Uang harus bisa dibawa setiap hari, sehingga transaksi akan berjalan
lancar.
e. Durability
Uang harus dijaga nilai fisiknya. Dengan kata lain uang harus relatif
tahan lama. Karena kerusakan pada uang akan menurunkan nilai dan
merusakkan kegunaan moneter dari uang tersebut.
f. Divisibility
Uang harus memiliki nilai satuan nominal. Dan nilai nominal tersebut
harus tetap dijaga untuk menjamin dapat ditukarkannya uang yang satu
dengan yang lainnya.4
Uang memainkan peranan yang sangat penting dalam
perekonomian. Beberapa peranan uang tersebut antara lain:5
a. Alat tukar-menukar. Uang berfungsi sebagai alat pertukaran. Karena
uang merupakan sesuatu yang diterima secara umum untuk
pembayaran barang dan jasa.
b. Satuan hitung atau alat pengukur nilai. Uang digunakan sebagai satuan
umum untuk mengukur nilai setiap barang dan jasa. Sehingga uang
4 Iswardono, op. cit, hlm. 5-6. lihat juga Y. Sri Susilo, et.al., op. cit, hlm. 5 5 William A. Mc Eachern, dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Sigit Triandaru, hanya
menyebutkan tiga fungsi uang yaitu sebagai alat pertukaran, satuan hitung, dan penyimpan nilai. Selengkapnya lihat Wiliam A. Mc Eachern, op. cit, hlm. 259
27
dapat berfungsi sebagai alat yang menciptakan harmoni perekonomian,
di mana satuan nilai tersebut disepakati oleh semua orang.
c. Standar pembayaran masa depan. Uang juga berfungsi sebagai standar
untuk pencicilan utang atau untuk menyatakan besarnya utang.
d. Alat penimbun kekayaan atau penyimpan nilai. Uang berperan sebagai
penyimpan nilai bila dapat menyimpan daya beli selama waktu
tertentu.6
2. Jenis-Jenis Uang
Berdasarkan bahan (material), uang dapat dibedakan menjadi:
1) Uang logam. Uang logam ini biasanya terbuat dari emas, perak, dan
perunggu.
2) Uang kertas. Uang kertas ini dibagi lagi menjadi dua yaitu uang kartal
(currencies) dan uang giral (deposit money).
Berdasarkan nilainya, uang dibedakan menjadi:
1) Uang bernilai penuh (full bodied money), yaitu uang yang nilai
bahannya (intrinsik) sama dengan nilai nominalnya.
2) Uang yang tidak bernilai penuh (representative full bodied money) atau
yang dikenal sebagai “uang bertanda” (token money), artinya uang
yang nilai intrinsiknya lebih kecil daripada nilai nominalnya.
Berdasarkan lembaga atau badan pembuatnya, uang juga dibedakan
menjadi:
6 Y. Sri Susilo et.al, op. cit, hlm. 5-6. Mengenai fungsi uang ini, dapat dilihat juga dalam
Iswardono, op, cit, hlm. 6-9
28
1) Uang kartal yaitu uang yang dicetak atau dibuat dan diedarkan oleh
bank sentral berupa uang kertas dan uang logam.
2) Uang giral, yaitu uang yang dibuat dan diedarkan oleh bank-bank
umum (komersial) dalam bentuk demand deposit atau yang lebih
dikenal dengan check.
Berdasarkan kawasan atau daerah berlakunya, uang dapat dibedakan
menjadi:
1) Uang domestik, yaitu uang yang berlaku hanya di suatu negara
tertentu.
2) Uang internasional, yaitu uang yang berlaku tidak hanya dalam suatu
negara tetapi mungkin berlaku atau diakui berlaku di berbagai negara
atau di seluruh dunia.
Berdasarkan pertimbangan bahwa uang merupakan kekayaan, maka
uang dibedakan menjadi:
1) Inside money (uang dalam). Uang jenis ini oleh sektor swasta secara
keseluruhan tidak dapat dikategorikan sebagai kekayaan.
2) Outside money (uang luar). Uang jenis inilah yang dapat dikategorikan
sebagai kekayaan oleh sektor swasta.7
Sedangkan Susilo hanya mengklasifikasikan uang dalam dua
golongan uatama, yaitu uang dalam pengertian sempit (narrow money)
yang terdiri dari uang kartal dan uang giral serta uang dengan pengertian
luas (broad money) yang bisa diartikan dalam dua kelompok. Kelompok
7 Iswardono, Ibid, hlm. 10-16
29
pertama terdiri dari narrow money ditambah dengan saving deposit dan
time deposit. Kelompok pertama ini biasa diberi notasi M2. kelompok
kedua terdiri dari M2 ditambah dengan seluruh simpanan dalam masyarakat
pada lembaga keuangan non bank dan biasa diberikan notasi M3.8
B. Konsep Uang Menurut Islam
1. Uang dalam Sejarah Islam
Orang Arab sebelum datangnya Islam telah dikenal dengan
aktivitas perdagangannya. Dalam hubungan perdagangan tersebut, mereka
menggunakan dinar dan dirham sebagi media pertukaran dengan negara-
negara sekitarnya. Ketika pulang dari Syam mereka membawa dinar emas
Romawi (Byzantium) dan membawa dirham perak Persia (sassanid) dari
Irak. Kadang-kadang mereka membawa pula sedikit dirham himyar dari
Yaman. Jadi saat itu banyak uang mata uang asing yang masuk negeri
Hijaz, berupa dinar emas Romawi dan dirham pereak Persia. Tetapi pada
saat itu dinar dan dirham digunakan menurut beratnya, tidak berdasarkan
nilai nominal maupun cetakannya. Hal itu dikarenakan bentuk dan
timbangan dirham tidak sama dan beratnya menyusut akibat peredarannya.
Agar tidak terjadi penipuan, mereka menggunakan standar timbangan
khusus seperti auqiyah, nasy, nuwah, mitsqal, dirham, daniq, qirath, dan
habbah. Mitsqal setara dengan 22 qirath kurang satu habbah. Sedangkan 10
dirham sama dengan 7 mitsqal.9
8 Y. Sri Susilo, Ibid, hlm. 4 9 Sigit Purnawan Jati, “Seputar Dinar dan Dirham”, dalam Muhammad Ismail Yusanto, et.al.
Dan jual belilah emas dan perak, dan perak dengan emas sekehendak
kalian.” (H.R. Bukhari)44
Berdasarkan kelima hal di atas, maka An-Nabhani menyatakan bahwa
uang tersebut harus berupa emas dan perak atau standar moneter
(monetary standard)-nya berupa emas dan perak. Jadi uang dalam Islam
harus berupa emas dan perak. Namun demikian ia memperbolehkan
untuk melakukan pertukaran dengan selain emas dan perak, karena
menurutnya masalah uang terkait dengan masalah penggunaan uang,
bukan dengan masalah pertukaran.45
3. Fungsi Uang dalam Perspektif Islam
Dalam hukum Islam, fungsi uang diterima secara bulat sebagai alat
tukar menukar. Dalam menjalankan fungsi ini, uang dapat dipecah dalam
satuan-satuan terkecil. Sedangkan barang-barang yang lain tidak bisa
demikian, melainkan barang tersebut akan menjadi berkurang nilainya atau
bahkan mengakibatkan kerusakan.
Tetapi dalam era industri dan perdagangan seperti sekarang ini
menurut ekonomi konvensional, fungsi uang tidak hanya sebagai alat tukar,
melainkan sudah meluas fungsinya sebagai komoditas (hajat hidup yang
bersifat terbatas) dan sebagai modal. Dikatakan bahwa uang berfungsi
komoditas, karena uang kedudukannya tidak berbeda dengan barang yang
dijadikan sebagai obyek transaksi untuk mendapatkan keuntungan (laba).
Sedangkan uang berfungsi sebagai modal, karena uang dapat menghasilkan
44 Ibid, Juz III, hlm. 44 45 Penjelasan lebih rinci, lihat Taqiyuddin An-Nabhani, op. cit, hlm. 298-301
47
sesuatu (bersifat produktif) baik menghasilkan barang atau jasa. Fungi uang
sebagai komoditas dan modal ini dapat dilihat dengan semakin maraknya
lembaga keuangan seperti pasar modal, bursa efek dan perbankan
konvensional.
Fungsi uang sebagai komoditas atau modal ditentang keras oleh
sebagian ekonom Islam. A. Mannan, salah seorang pakar ekonomi Islam
menyatakan bahwa Islam hanya mengakui fungsi uang sebagai alat tukar,
bukan suatu komoditi dan juga bukan sebagai modal. Karena dalam Islam
uang tidak bersifat produktif.46 Demikian juga Ibnu Taimiyah menolak
keras perdagangan uang. Karena menurutnya uang itu bukan suatu
komoditas. Ia melarang sultan untuk berbisnis uang, dengan cara membeli
tembaga dan mencetak fulus, sehingga mendapatkan keuntungan dari
pencetakan tersebut.47 Dalam istilah finansial, hal ini disebut seignorage.48
Sejumlah tokoh ekonom muslim Indonesia, seperti Adiwarman A.
Karim, Syafi’i Antonio dan Zainul Arifin juga bersikap dan berpandangan
serupa. Adiwarman A. Karim misalnya, mengatakan bahwa semakin
banyak uang yang diperdagangkan, maka akan semakin sedikit yang dapat
berfungsi sebagai alat tukar. Konsekuensinya akan terjadi inflasi yang
cukup tinggi dan menurunnya perdagangan domestik, maupun
internasional.49 Penolakan mereka terhadap fungsi uang sebagai komoditas
46 Abdul Mannan, op. cit, hlm. 163 47 Ibnu Taimiyah, Majmu’atu Al-Fatawa Li Syaikh Al-Islam, Jilid 29, Pakistan: Dar al-Wafa’,
2001, hlm. 256 48 Seignorage adalah selisih antara biaya pencetakan dengan nilai nominal uang yang dicetak. 49 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam (Suatu Kajian Kontemporer), Jakarta: Gema Insani
Press, 2001, hlm. 54
48
sebagai modal, semata-mata hanyalah untuk melenyapkan ketidakadilan,
ketidakjujuran dan eksploitasi dalam ekonomi tukar-menukar (barter)
karena ketidakjujuran ini digolongkan sebagai riba al-fadhl yang dilarang
agama.
Pendapat senada disampaikan oleh M. Syafi’i Antonio bahwa uang
dalam Islam hanya dipandang sebagai alat tukar, bukan komoditas atau
barang dagangan. Dalam Islam hanya dikenal money demand for
transaction (motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi
kebutuhan transaksi) sedangkan money demand for speculation (permintaan
akan uang untuk spekulasi atau trading) tidak dikenal dalam Islam. Uang
adalah flow concept, karena itu harus selalu berputar dalam
perekonomian.50
Namun lain halnya dengan Mas’adi, ia berpendapat bahwa uang,
juga berfungsi sebagai komoditas dan modal. Alasannya, karena konsep
harta dalam fiqh mu’amalah meliputi harta yang bersifat alamiah dan harta
dalam bentuk uang. Tidak ada perbedaan antara barang alamiah (benda)
maupun uang. Demikian juga tidak terdapat keterangan dalam al-Qur’an
mengenai fungsi uang, apakah hanya berfungsi sebagai alat tukar, ataukah
dapat difungsikan sebagai komoditas dan sekaligus sebagai midal. Tetapi,
penghalalan al-Qur’an terhadap kegiatan niaga (tijarah), selama dilakukan
dengan saling rela (‘an taradhin), mengindikasikan bahwa harta (termasuk
50 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani
Press, 2001, cet. I, hlm. 185
49
uang) dapat diperdagangkan (berfungsi sebagai komoditas) dan dapat
difungsikan sebagai modal untuk disewakan manfa’atnya.51
Quraisy Syihab mengatakan bahwa menurut pandangan al-Qur’an
uang merupakan modal serta salah satu faktor yang penting, tetapi bukan
yang terpenting. Manusia berkewajiban menggunakannya dengan baik,
agar ia terus produktif dan tdak habis digunakan. Allah menjadikan uang
atau harta untuk sarana kehidupan manusia, bukan untuk disimpan atau
ditimbun.52
Jadi, menurut pandangan Islam, selain fungsi pokok uang sebagai
alat tukar, uang juga berfungsi sebagai modal dan komoditas (fungsi
pelengkap). Namun, hendaknya jangan sampai terjadi penyalahgunaan
fungsi uang, di mana fungsi pokok dikalahkan oleh fungsi pelengkapnya.
Karena Islam sangat tidak menghendaki pengeksploitasian, yang
mengakibatkan lahirnya kesenjangan dan ketidakadilan dalam
perekonomian.
C. Zakat atas Uang
Zakat artinya sejumlah harta yang dikeluarkan dari orang-orang kaya
dan dibagikan kepada kaum fakir miskin dengan niat melaksanakan perintah
Allah SWT dan mengharap pahala dari sisinya.
Dalam UU RI No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,
disebutkan bahwa zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang
51 Ghufron A. Mas’adi, op. Cit, hlm. 16-17 52 M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur’an, op. Cit, hlm. 406
50
muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan
agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Zakat ada dua macam, yaitu zakat fithrah dan zakat mal (harta). Zakat
fithrah artinya zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim ketika
berakhirnya puasa Ramadhan yang berupa makanan pokok (beras) sebanyak 1
sha’ (2,5 kg = 3,5 liter).
Sedangkan zakat mal (harta) adalah zakat yang dikeluarkan dari
kekayaan atau sumber kekayaan, yang mencakup emas dan perak (uang),
pertanian, perdagangan, peternakan, harta galian, termasuk juga pendapatan
dari profesi, usaha, investasi, dan lain-lain.
Zakat mal diwajibkan pada tahun ke-9 H., sedangkan zakat fithrah
pada tahun ke-2 H. Sebelum diwajibkan, zakat bersifat sukarela dan belum ada
peraturan khusus atau ketentuan hukumnya. Namun setelah tahun ke-9 H,
disusunlah peraturan yang meliputi sistem pengumpulan zakat, barang-barang
yang dikenai zakat, batas-batas zakat, dan tingkat persentase zakat untuk
barang yang berbeda-beda.53
Dalam Bab IV pasal II ayat 2, dari UU zakat tersebut juga dinyatakan
bahwa harta yang dikenai zakat adalah: emas, perak, dan uang, perdagangan
dan perusahaan, hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan, hasil
pertambangan dan hasil peternakan, hasil pendapatan dan jasa, dan rikaz.
Sedangkan mengenai penentuan nishab, kadar dan waktunya diserahkan
kepada hukum agama.
53 Heri Sudarsono, op. Cit, hlm. 120
51
Zakat dan ushr (zakat atas hasil pertanian dan buah-buahan),
merupakan sumber pendapatan primer pada masa Rasulullah SAW. Namun
obyek yang dikenakan zakat masih terbatas. Emas dan perak zakatnya
ditentukan berdasarkan beratnya. Barang dagangan, bahan tambang, dan
luqathah ditentukan berdasarkan nilai jualnya. Sedangkan hasil pertanian dan
buah-buahan ditentukan berdasarkan kuantitasnya.54
Pewajiban zakat memiliki tiga landasan filosofis, yaitu:
1. Istikhlaf (penugasan sebagai khalifah di bumi)
Harta benda yang dimiliki seseorang hanyalah titipan Allah SWT.
seluruh alam raya dan segala isinya adalah milik Allah SWT. Titipan
tersebut hanyalah sebagai sarana untuk kehidupan manusia, karena itu
harus digunakan untuk kepentingan bersama, baik itu melalui zakat, infaq,
dan shadaqah.
2. Solidaritas sosial
Manusia tidak dapat hidup sendiri. Segala sesuatu yang
diperolehnya merupakan bantuan dari orang lain, baik disadari maupun
tidak. Manusia hanya mengelola bahan baku (alam seisinya) yang telah
disediakan Allah SWT. Hakikatnya Allahlah pemilik segala sesuatu.
Karena itu, wajar jika Allah memerintahkan manusia untuk mengeluarkan
sebagian kecil hartanya kepada saudaranya yang kurang beruntung.
54 Ibid, hlm. 123
52
3. Persaudaraan
Diakui atau tidak, seluruh manusia di alam ini berasal dari satu
keturunan. Hubungan persaudaraan itu akan lebih kuat, dalam suatu ikatan
kesamaan agama, bangsa, dan sebagainya. Hubungan itu tidak hanya
sebatas take and give (mengambil dan menerima) saja, melainkan disertai
dengan kerelaan untuk saling membantu tanpa pamrih, menyisihkan harta
untuk saudara-saudara yang membutuhkan.55
Penentuan obyek zakat mengalami perkembangan seiring dengan
perkembangan ekonomi masyarakat pada umumnya. Situasi ekonomi
sekarang tentunya berbeda jauh dengan keadaan ekonomi seribu tahun
yang lalu. Misalnya saja tentang naqdain atau atsman (alat tukar dan
standar harga). Sekian abad lamanya, termasuk di masa Rasulullah SAW,
emas dan perak telah mantap posisinya sebagai alat tukar dan standar
harga di seluruh dunia, berupa dinar dan dirham. Namun sekarang, mata
uang tersebut sudah tidak dijumpai lagi. Perekonomian sekarang
didominasi oleh uang kertas dan uang giral, cek, bilyet, dan sebagainya.
Pasar uang dan valas, serta money changer merupakan suatu hal yang
sudah tidak asing lagi. Dan dalam konteks seperti ini, ibadah zakat akan
tetap diterapkan.
Uang merupakan alat tukar langsung yang memiliki harga yang sah
yang biasanya dijamin dengan persedian emas sebesar yang ditentukan
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas dan perak dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (Q.S. 9: 34-35).57
Adapun dasar kewajiban zakat emas dan perak yang terdapat dalam
hadits Nabi SAW, adalah sunnah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada seorang yang memiliki emas dan perak yang dia tidak mengeluarkan zakatnya kecuali harta tersebut akan dipanaskan dalam neraka Jahannam kemudian disetrikakan dilambungnya, keningnya dan punggungnya, sampai Allah SWT selesai menghukumi di anatara hamba-hamba-Nya pada suatu hari yang kadarnya sama dengan 50.000 tahun”. (H.R. Muslim).
Menurut Abdurrahim dan Mubarok, yang dimaksud “menyimpan”
dalam ayat tersebut adalah tidak mau memberikan zakatnya. Jadi semua
Jilid I, Kairo: Dar al-Fath, hlm. 433; Wahabah Az-Zuhaili, Alfiqhu al-Islami wa Adillatu, Juz III, Dar Al-Fikr, hlm. 1819
57 Departemen Agama RI, op. cit, hlm. 283 58 Ibnu Qudamah, loc. cit.
55
emas dan perak termasuk perhiasan yang dimiliki, kalau sudah mencapai
nishab harus dizakati.59
An-Nabhani menyatakan bahwa kata emas dan perak dalam ayat-
ayat al-Qur’an maupun ketentuan-ketentuan syara’, bisa berarti dua
macam: untuk uang yang dipergunakan dalam berbagai transaksi, baik
berupa tembaga, maupun uang kertas, yang dijamin dengan emas dan
perak, serta berarti untuk emas dan perak itu sendiri.60
Itulah sebabnya sehingga para ulama kontemporer menjadikan ayat
tersebut sebagai dasar hukum diwajibkannya zakat uang.
Menurut mereka, mata uang yang berlaku pada masa sekarang di
masing-masing negara termasuk dalam kategori emas dan perak. Begitu
juga segala bentuk penyimpanan uang seperti tabungan, deposito, cek,
saham atau surat berharga lainnya. Sehingga penentuan nishab dan
besarnya zakat disetarakan dengan emas dan perak. Kekayan lainnya
seperti, rumah, villa, kendaraan, tanah dan lain-lain, yang melebihi
keperluan menurut syara’ dan dibeli atau dibangun dengan tujuan
menyimpan uang dan sewaktu-waktu dapat diuangkan juga diwajibkan
zakat.
Para ulama salaf berbeda pendapat mengenai hukum wajibnya
zakat atas uang kertas (An-Nuqud al-Waraqiyah). Jumhur fuqaha yaitu
59 Abdurrahim dan Mubarok, Zakat dan Peranannya dalam Pembangunan Bangsa serta
Kemaslahatannya Bagi Umat, Bandung: Surya Handayani Pratama, 2002, cet. I, 39 60 Taqiyuddin An-Nabhani, op. Cit, hlm. 302
56
Hanafi, Maliki dan Syafi’i, menetapkan bahwa uang kertas tersebut wajib
dikeluarkan zakatnya. Namun tidak demikian dengan madzhab Hanbali.61
Madzhab Syafi’i mengatakan:
Uang kertas sama dengan hutang bank, selama bank belum menginvestasikannya. Bank sebagai pemilik dari nilai hutang dan bank sebagai tempat yang siap membayar, maka wajib baginya untuk mengeluarkan zakatnya. Tidak adanya ijab dan qabul tidak membatalkannya, karena itu sudah menjadi tradisi. Hal itu karena menurut sebagian ulama syafi’i yang dimaksudkan dengan ijab dan qabul adalah kerelaan (ridha), baik dalam perkataan atau perbuatan. Dan keridhoan di sini benar-benar telah nyata. Madzhab Hanafi berkata:
“Uang kertas – hutang bank – termasuk dalam jenis hutang,
kecuali jika dimungkinkan untuk ditukarkan dengan perak secara
langsung, maka wajib zakat atasnya langsung.”
Sedangkan Madzhab Maliki berpendapat:
“Nota bank walaupun dalam bentuk kwitansi hutang, jika dapat
diwujudkan dengan perak secara langsung, dan mengambil alih
kedudukan emas dalam pergaulan tukar-menukar (mu’amalah),
maka wajib atasnya zakat, lengkap dengan syarat-syaratnya.”
Madzhab Hanbali menetapkan bahwa tidak wajib zakat atas uang
kertas. Mereka mengatakan:
“Tidak diwajibkan zakat atas uang kertas kecuali jika dapat
ditukarkan dengan emas atau perak dan terdapat syarat-syarat
zakat padanya.”62
61 Wahbah az-Zuhaili, op.cit, hlm. 1834 62 Abdur Rahman al-Jaziri, Kitab Al-Fiqhi Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Juz I, Mesir: AL-
Maktabah at-Tijarah al-Kubra, t.t., hlm. 605-606
57
Az-Zuhaili mengatakan bahwa alasan madzhab Hambali tidak
mewajibkan zakat atas uang kertas, karena ia tidak dapat ditukarkan
langsung dengan emas dan perak, dianalogikan dengan penerimaan
hutang. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pengqiyasan jenis uang tersebut
dengan hutang adalah salah. Dalam hutang, pemiliknya (ad-da’in) tidak
bisa memanfaatkan uang yang dihutangkan tersebut, sehingga para fuqaha’
tidak mewajibkan zakat atasnya sampai hutang tersebut diterima oleh
orang yang menghutangkan. Namun tidak demkian dengan uang, di mana
pemilik uang dapat memanfaatkannya, sebagaimana pemanfa’atan emas
sebagai harga dari segala sesuatu.
Jadi dalam penentuan hukum zakat atas uang yang ada sekarang,
masih terjadi ikhtilaf di kalangan para fuqaha’. Hal tersebut tergantung
dari sudut mana serta bagaimana cara pandang atau persepsi mereka
terhadap uang itu sendiri. Metode istinbath mereka juga ikut andil dalam
penetapan hukum zakat uang.
D. Nishab dan Kadar Zakat Uang
1. Nishab Zakat Uang
Yang dimaksud dengan nishab adalah ketentuan minimal untuk
harta yang diwajibkan zakatnya.63 Rahman menjelaskan bahwa dalam
63 Sofyan Syafri Harahap, Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam, Jakarta: Pustaka
Quantum, 2001, cet. I, hlm. vii
58
Islam setiap jenis harta telah ditentukan batas pembebasannya yang disebut
dengan nishab.64
Adapun nishab bagi emas adalah 20 mitsqal atau 20 dinar.65 Hadits-
hadits yang menerangkan tentang hal ini adalah sebagai berikut:
Diceritakan dari Abu Bakr Bin ‘Iyasy dari Ishaq dari ‘Ashim bin Dhamrah dari Ali, ia berkata: “Pada setiap dua puluh dinar (dikeluarkan zakatnya) sebesar setengah dinar dan setiap empat puluh dinar (zakatnya) satu dinar dan setiap dua ratus dirham sebesar lima dirham.” (H.R. Abu Dawud).
Telah menceritakan pada kami Bakr bin Khalaf dan Muhammad bin Yahya, keduanya berkata Abdullah bin Musa telah bercerita bahwa Ibrahim bin Isma’il telah mengabarkan kepadanya, diriwayatkan dari Abdillah bin Waqid, dari Ibnu Umar dan A’isyah, bahwasannya Nabi SAW. mengambil (zakat) pada setiap dua puluh dinar atau lebih, setengah dinar dan dari empat puluh dinar satu dinar.
Hadits yang pertama menurut Abu Ubaid merupakan hadits
marfu’68, sedangkan hadits yang ketiga, dinyatakan dha’if oleh Ibnu Majah,
karena dha’ifnya Ibrahim bin Isma’il.69
64 Afzanur Rahman, Ecomic Doctrines of Islam, terj. Soeroyo Nastangin, “Doktrin Ekonomi
Islam, Jilid. III, Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 2002, cet. II, hlm. 264 65 Lihat Abu Ubaid, op.cit, hlm. 413; Ibnu Qudamah, op.cit., hlm. 319; Ibnu Hazm, op.cit.,
hlm. 66; As-Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 434; Wahbah az-Zuhaili, op.cit., hlm. 1820 66 Ibid. 67 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz I, Dar al-Fikr, t.t., hlm. 571 68 Hadits Marfu’ yaitu hadits (khabar) yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik muttashil
sanadnya maupun tidak muttashil yaitu ada putus pada sanadnya. Jika putus pada satu tempat atau
59
Mengenai berapa sebenarnya ukuran mitsqal atau dinar para ulama
fiqh berbeda pendapat. Menurut madzhab Hanafi, 1 mitsqal = 5 gr. Bank
Islam Faishal di Sudan mengatakan 1 mitsqal = 4,457 gr atau 4,25 gr.
Sedangkan golongan Hanbali mengatakan bahwa ukuran dinar lebih kecil
dari mitsqal. Sehingga besarnya nishab emas = 25 2/7 + 1/9 dinar. Ukuran
20 mitsqal atau 20 dinar juga disamakan dengan 14 Lira emas Utsmaniyah
atau 15 Lira emas Prancis, 12 Lira Inggris dan disamakan dengan 100 gr
untuk mitsqal Irak, 96 gr mitsqal a’jam, sedangkan menurut Jumhur 20
dinar = 91 23/25 gr.70
Adapun menurut Imam Malik dalam al-Muwaththa’ 20 dinar itu
sama dengan 280 4/7 dirham menurut kurs dirham Mesir.71 Afzalur
Rahman mengatakan bahwa 20 dinar = 7 ½ tolas.72 Pendapat senada juga
dikemukakan oleh Triyuwono, di mana 7,5 tolas kalau dikonversikan
dengan timbangan sekarang, seberat 3 ons.73 Namun Mursyidi berpendapat
bahwa 20 dinar itu seukuran dengan 85 gr emas74 dan pendapat ini
didukung oleh Jati.75
Untuk perak, para fuqaha’ menetapkan nishabnya sebesar 200
dirham, dan tidak ada ihtilaf di kalangan para ulama mengenai hal ini.
Adapun hadits Nabi SAW yang menjelaskan tentang hal ini adalah: lebih secara tidak beriringan, namanya munqathi’ dan jika putus pada dua tempat secara beriringan dinamanakan mu’dhal. Lebih jelasnya lihat Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, op. cit, hlm. 171
Diriwayatkan dari Jabir dari Rasulullah SAW. beliau bersabda: “Tidak ada kewajiabn zakat untuk perak yang kurag dari lima uqiyah, tidak wajib zakat untuk unta yang kurang dari lima ekor, dan tidak wajib zakat untuk kurma yang kurang dari lima wasaq.” (H.R. Muslim)
Madzhab Hanafi mengatakan ukuran 200 dirham dengan 700 gr.
Sedangkan Jumhur menyamakannya dengan 642 gr. Namun telah
disepakati bahwa ukuran dirham yang digunakan adalah dirham syar’i,
yaitu ukuran yang digunakan untuk menentukan nishab zakat, ukuran
jizyah, diyat dan nishab pemotongan tangan pencuri pada masa Nabi SAW.
Sehingga ukuran tersebut harus disesuaikan dengan dirham Arab
(timbangan Makkah). Tetapi, dalam menentukan ukuran inipun para ulama
masih juga berbeda pendapat. Madzhab Hanafi mengatakan bahwa 1
dirham itu sama dengan 3,5 gr, Jumhur menyetarakannya dengan 3,208 gr,
sedangkan menurut dirham Arab ukuran 1 dirham = 2,975 gr, dan 1 dinar =
85 gr. Pendapat terakhir inilah yang lebih utama.77 Afzalur Rahman dan
76 Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, hlm. 267 77 Wahbah az- Zuhaili, loc. Cit.
61
Triyuwono mengatakan bahwa 200 dirham itu setara dengan 52,5 tolas atau
21 ons.78
Dumairi mengatakan bahwa 1 dirham sama dengan 6 daniq,
sedangkan setiap 10 dirham setara dengan 7 mitsqal. Sejak zaman Jahiliyah
sampai datangnya Islam ukuran mitsqal ini tidak berubah. Golongan
Hadawiyah berpendapat bahwa nishab perak sebanding dengan 13 qursy
dan 15 qursy. Adapun menurut pendapat golongan Hanafi, nishab perak
kira-kira 20 qursy lebih sedikit, dan nishab emas kurang lebih 20 qursy.79
Jadi mengenai ukuran dari dirham dan dinar ini, masih terjadi
perselisihan di antara para fuqaha’. Sedangkan Az-Zuhaili mengesahkan
untuk menentukan ukuran dirham dan dinar tersebut, sesuai dengan ukuran
yang berlaku di negara masing-masing.80
Mengenai besarnya nishab bagi zakat uang yang berlaku sekarang,
yaitu mencakup uang logam dan juga uang kertas, yang tidak disandarkan
pada emas dan perak, ada beberapa pendapat. Menurut Az-Zuhaili
nishabnya disamakan dengan emas yaitu sebesar 20 dinar atau 20 mitsqal.
Seseorang yang memiliki uang seharga 20 dinar, maka wajib baginya untuk
mengeluarkan zakat. Ia menyandarkan nishab uang dengan nishab emas,
karena menurutnya nishab emas setara dengan nishab hewan ternak, sejalan
dengan perkembangan zaman serta sesuai dengan kebutuhan. Di samping
Diceritakan dari Ali, ia berkata bahwasannya Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya aku memaafkan (tidak mewajibkan) kalian (untuk mengambil) zakat dari kuda dan hamba sahaya (budak). Akan tetapi berikanlah (keluarkanlah zakat) 1/40-nya, yaitu setiap empat puluh dirham satu dirham.”(H.R. Ibnu Majah dan dibenarkan oleh Tirmidzi dan Bukhari)
Diriwayatkan dari Abdillah bin Waqid, dari Ibnu Umar dan A’isyah, bahwasannya Nabi SAW. mengambil (zakat) pada setiap dua puluh dinar atau lebih, setengah dinar dan dari empat puluh dinar satu dinar. (H.R. Ibnu Majah)
Dari hadits tersebut dapat diketahui bahwa bila perak telah
mencapai 200 dirham, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 5 dirham.
Begitu pula bila emas telah mencapai 20 dinar, maka zakat yang harus
hlm. 261; As-Sayyid sabiq, op. cit., hlm. 434-435; Wahbah Az-Zuhaili, Ibid, hlm. 1822; lihat juga Abdurrahim dan Mubarok, Zakat dan Peranannya dalam Pembangunan Bangsa serta Kemaslahatan bagi Umat, Bogor: Surya Handayani Pratama, 2002, hlm. 42
86 Ibnu Majah, Sunnah Ibnu Majah, Juz I, Beirut: Dar al-Jaili, hlm. 546 87 Ibnu Majah, op. cit, hlm. 547
64
Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana hukumnya, bila
kurang dari nishab atau lebih dari nishab. Para ulama pada umumnya
sepakat bahwa bila emas atau perak ataupun uang yang belum mencukupi
nishab, maka tidak akan dikenakan zakat. Mereka berpegang pada hadits:
Diceritakan dari Nabi SAW. beliau bersabda: “Tidak ada (tidak wajib) zakat untuk emas yang kurang dari dua puluh mitsqal dan yang kurang dari dua ratus dirham.” (H.R. Abu Ubaid)
Diceritakan dari Ali, dari Nabi SAW. beliau bersanda: “Jika kamu mempunyai dua ratus dirham, dan telah mencapai haul, maka wajib (zakat) di dalam (dua ratus dirham tersebut), sebesar lima dirham. Dan tidak wajib bagimu sesuatupun, yakni bagi emas sehingga kamu mempunyai dua puluh dinar, yaitu ketika kamu memiliki dua puluh dinar dan telah mencapai haul, maka wajib (ditunaikan zakatnya) sebesar setengah dinar.” (H.R. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad yang baik)
F. Hikmah Zakat Uang
Zakat diterapkan atau diwajibkan pada kaum muslimin, karena zakat
mengandung hikmah yang sangat banyak sekali. Di antara hikmah-hikmah
tersebut antara lain:
1. Hikmah yang dapat dikembalikan kepada pihak pemberi:
a) Dapat membersihkan diri dari sifat kikir dan tamak terhadap
harta.
b) Dapat membiasakan diri dan mendekatkan diri kepada Khaliq.
c) Dapat melaksanakan kesyukuran hamba kepada Pemberi