Top Banner
REVOLUSI BILANGAN START SEBUAH KEADILAN S U G I A R N 0
448

BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Mar 07, 2019

Download

Documents

truonglien
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

REVOLUSI BILANGANSTART SEBUAH KEADILAN

S U G I A R N 0

Jl. Raya Petung 51 Bangsalsari,Jember, Jawa Timur 68154

Page 2: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

2002

PENGANTAR

Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa

ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti sejak pasca proklamasi. Dalam hal

ini, penulis mengajak pembaca sekalian untuk sejenak merubah posisi keterpakuan

cara pandang dalam banyak hal karena ternyata dengan merubah cara pandang

tersebut ada wajah lain dari Indonesia yang jauh lebih besar daripada yang kita kenal.

Untuk itu, buku ini harus dibaca dengan hati.

Baik keterpakuan posisi saat memandang maupun merubah cara pandang

terhadap sesuatu hanya dapat dimulai dari dunia pendidikan serta hanya dapat

dilakukan oleh dunia pendidikan itu sendiri. Oleh sebab itu, krisis multidimensi yang

melanda bangsa ini menjadi tidak lepas dari tanggungjawab dunia pendidikan secara

keseluruhan. Bukankah, semua “pelaku” penyebab timbulnya krisis tersebut adalah

output pendidikan? Dengan kata lain, pemegang kunci penyelesaian krisis

multidimensi yang melanda bangsa ini ada pada tangan para pendidik, bukan pada

tangan mantan peserta didik --siapapun mereka.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada

keluarga, sejawat, dan semua pihak yang telah memberikan masukan baik langsung

maupun tidak langsung. Semoga budi baik tersebut mendapatkan balasan yang

setimpal dari-Nya.

Jember, 6 Desember 2002

Penulis

2

2

Page 3: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

INTISARI

Sebagai disiplin ilmu yang telah memproklamirkan diri sebagai ratunya ilmu

maka kemelut krisis multidimensi yang terjadi di negara ini menjadi tidak lepas dari

tanggungjawab Matematika. Hal ini dikarenakan pola menghitung yang curang –

mengurangi “kuantitas” saat menghitung ….

Reformasi bilangan bermaksud meruntuhkan dominasi sistem bilangan Hindu

Arab dengan pola basis seribu (103) yang berlaku di Indonesia dan menggantinya

dengan pola basis seratus (102). Penerapan sistem bilangan desimal dengan pola basis

seribu (103) dengan menafikan keberadaan basis seratus (102) jelas merupakan sebuah

lompatan yang terlalu maju. Bayangkan, dari bilangan desimal basis sepuluh (10)

menjadi bilangan desimal basis seribu (103). Untuk itu, sistem bilangan Hindu Arab

perlu dikaji ulang agar keuntungan hitungan tidak selalu berpihak pada produsen

bilangan saja namun juga berpihak pada konsumen bilangan itu.

Hasil reformasi bilangan tersebut menghasilkan sistem bilangan peralihan

dan hanya berlaku selama masa transisi. Dengan mereformasi bilangan akan dapat

diketemukan satuan bilangan yang tanpa sengaja (?) “dihilangkan”, misalnya : puluh

ratusan, puluh ratus ribuan, dan sebagainya.

Sistem bilangan peralihan di Indonesia pada masa transisi :

(10)0 satu

(10)1 sepuluh

(10)2 seratus --berasal dari sepuluh-puluh

(10)3 sepuluh ratus

(10)4 seribu --berasal dari seratus-ratus

(10)5 sepuluh ribu

(10)6 seratus ribu

(10)7 sepuluh ratus ribu

(10)8 sejuta --berasal dari seribu-ribu

3

3

Page 4: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

(10)9 sepuluh juta

(10)10 seratus juta

(10)11 sepuluh ratus juta

(10)12 seribu juta (“miliar”) --berasal dari seratus-ratus juta

(10)13 sepuluh ribu juta

(10)14 seratus ribu juta

(10)15 sepuluh ratus ribu juta

(10)16 setriliun --berasal dari sejuta-juta

Berdasarkan susunan di atas, nampak perubahan “satuan bilangan” muncul

ketika bilangan desimal dengan basis sepuluh (10) ditata dengan pola deret ukur pada

pangkat faktor desimalnya --dan itu lebih mendekati konsisten sebagaimana tuntutan

Matematika.

Dalam hal ini, pakar Matematika harus membayar hutang yang telah

dilakukan terhadap bilangan laksa (10)4 dan keti (10)5 dengan miliar (103)3. Hutang

dalam satu masa juga harus dibayar dalam satu masa. Oleh karena itu, untuk

sementara waktu “miliar ditidurkan”.

Penggunaan sistem bilangan Hindu Arab dengan pola basis seribu (103) tanpa

disadari mengakibatkan konsumen bilangan dirugikan dengan prosentase yang sangat

fantastis, yaitu jika suatu bilangan bernilai ≥ seribu (103) maka kerugian yang

diderita konsumen bilangan itu adalah ≥ 90%. Dan, ternyata penyebab kerugian

tersebut adalah karena nilai kualitas bilangan seribu yang digambarkan dengan

lambang bilangan 1000 belum proporsional –masih prematur, sehingga berpengaruh

pada kuantitas bilangan yang lain. Ironisnya, hal itu baru terasa ketika bilangan sudah

masuk dalam pusaran uang.

Dengan demikian, tanpa KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tanpa

larinya investor, tanpa buruknya (?) kinerja pemerintahpun perekonomian akan

ambruk dengan sendirinya dan Indonesia akan bangkrut, hanya masalah waktu.

4

4

Page 5: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Apalagi … Dengan “rusak” -nya pilar ekonomi maka akan sangat mempengaruhi

pilar-pilar yang lain, untuk selanjutnya efek dominolah yang akan berbicara.

Rumus untuk menyembuhkan krisis keuangan /ekonomi yang melanda negara

ini adalah dengan mereformasi sistem bilangan Hindu Arab terlebih dahulu dan

selanjutnya, pada masa transisi, seluruh keuangan yang menjadi hak negara serta

kewajiban negara yang timbul karena hak tersebut dihitung berdasarkan

bilangannya (pelafalan /pengucapannya). Sedangkan realita uang yang beredar di

masyarakat dihitung berdasarkan lambang bilangannya.

Masa transisi memerlukan waktu sembilan tahun dan ini harus jelas, kapan

start dan kapan finish. Dalam rentang waktu yang panjang tersebut, Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) memposisikan diri sebagai Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) II, sedangkan seluruh lembaga tinggi negara beserta

seluruh perangkat pendukungnya berada dalam posisi “domisioner”.

Bisa dikatakan, jalan di tempat selama sembilan tahun karena biduk yang

bernama Indonesia telah salah arah dalam melaju sehingga tak terbilang korban yang

berjatuhan. Mulai dari yang konkrit seperti rakyatnya, uangnya, aksaranya sampai

dengan yang abstrak seperti bilangannya. Dengan demikian, selama itu, tidak ada

hajat nasional. Oleh karena itu, regenerasi kepemimpinan terjadi dengan cara

senioritas. Dalam masa transisi, MPR harus menarik keluar institusi-institusi yang

berada di bawah payung eksekutif /legislatif dan untuk selanjutnya majelis tersebut

akan menelorkan lima buah lembaga tinggi negara –untuk mendampingi lima buah

lembaga tinggi negara yang telah lahir terlebih dahulu, yaitu :

1. Badan Keuangan Republik Indonesia;

2. Badan Pendidikan Nasional Indonesia;

3. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia;

4. Badan Pertahanan dan Keamanan Nasional;

5. Dewan Agama Indonesia.

Sebuah kerja besar membangun peradaban Indonesia yang utuh, adil, dan

hampir melibatkan seluruh rakyat terpampang di depan mata. Apalagi, pada masa

5

5

Page 6: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

transisi akan terjadi “banjir uang”, tersingkapnya jati diri sebagai bangsa Indonesia,

dan sebagainya. Dampak psikologi dari keadaan ini harus disikapi secara fleksibel.

Dengan berakhirnya masa transisi, akan terjadi Revolusi Bilangan. Bilangan

dengan basis seratus (102) akan menampakkan kekuatan yang sesungguhnya. Hasil

dari revolusi basis seratus (102) adalah Sistem Bilangan Indonesia. Satu pilar utama

dominasi barat tumbang di bumi Pertiwi.

Sistem bilangan Indonesia :

(10)0 satu

(10)1 sepuluh

(10)2 seratus

(10)4 seribu

(10)8 selaksa

(10)16 seketi

(10)32 sejuta

(10)48 semiliar

(10)64 senoto

(10)96 setriliun

(10)124 seindonesia

Sebagai sebuah sistem, bilangan juga akan mempengaruhi sistem yang lain,

dan itu nyaris menyentuh seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal ini dapat dilihat pada saat bilangan melakukan manuver.

Bertolak dari noto (10)64, bilangan merambah noto lahan kehidupan (10)76.

Kemudian membubung tinggi ke noto uang (10)92, lantas makin tinggi terbangnya dan

singgah di noto pendidikan (10)108 , turun dengan santai ke noto agama (10)100.

Dari noto agama, bilangan naik vertikal ke noto ilmu (10)104, perjalanan pun

dilanjutkan dengan menukik tajam ke noto tarikh (10)88, lantas melesat tinggi ke noto

adil (10)112, melesat kian tinggi ke noto bela negara (10)124. Dari noto bela negara,

bilangan turun dengan tajam ke kandang sendiri, noto bilangan (10)84.

6

6

Page 7: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Sejenak bilangan beristirahat untuk mengumpulkan tenaga, lantas dengan

santai melenggang ke noto bahasa (10)80, turun dengan tajam ke noto nusa (10)72,

makin rendah terbangnya untuk menggapai noto negara (10)68.

Sontak bilangan melesat jauh tinggi ke noto penguasa (10)120. Di sana,

bilangan hanya singgah sesaat dan perjalanan dilanjutkan ke titik noto terakhir yang

belum dirambahnya, noto bangsa (10)116. Puas mengadakan penjelajahan di noto

bangsa, bilangan turun perlahan dan mendarat dengan selamat di pangkuan Ibu

Pertiwi.

Dengan mengikuti manuver bilangan, ternyata ada wajah lain dari Indonesia

yang jauh lebih besar dari yang terpampang di depan mata. Indonesia Raya bukanlah

cita-cita kosong, bukan pula mimpi di siang bolong sepanjang seluruh komponen

bangsa mau merapatkan barisan dan menyatukan langkah untuk maju bersama.

7

7

Page 8: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

DAFTAR ISI

Pengantar …………………………………………………………………. ……. 2

Intisari …………………………………………………………………………… 3

Daftar Isi ………………………………………………………………………… 8

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang ……………………………………………….. ……. 10

1.2 Tujuan ………………………………………………………………. 11

Bab II Bilangan

2.1 Sitem Bilangan Hindu Arab ………………………………………… 12

2.2 Reformasi Bilangan ………………………………………….. ……. 30

2.3 Sistem Bilangan Indonesia ………………………………………….. 38

2.4 Revolusi Bilangan ……………………………………………. ……. 48

Bab III Manuver Bilangan dalam Menata Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

3.1 Noto Lahan Kehidupan ……………………………………………. 54

3.2 Noto Uang …………………………………………………………. 86

3.3 Noto Pendidikan …………………………………………………… 96

3.4 Noto Agama ………………………………………………………. 123

3.5 Noto Ilmu …………………………………………………………. 144

3.6 Noto Tarikh ……………………………………………………….. 148

3.7 Noto Adil………………………………………………………….. 161

3.8 Noto Bela Bangsa…………………………………………………. 167

3.9 Noto Bilangan …………………………………………………….. 183

8

8

Page 9: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

3.10 Noto Bahasa …………………………………………………….. 183

3.11 Noto Nusa ……………………………………………………….. 192

3.12 Noto Negara……………………………………………………… 195

3.13 Noto Penguasa…………………………………………………… 199

3.14 Noto Bangsa …………………………………………………….. 206

3.15 Langkah-Langkah Strategis ……………………………………… 242

Bab IV Penutup

4.1 Kesimpulan ……………………………………………………….. 245

4.2 Saran………………………………………………………………. 252

Kepustakaan ………………………………………………………………….. 253

Lampiran-Lampiran :

1. Implementasi Reformasi Bilangan ……………………………… 257

2. Format Demokrasi ……………………………………………….. 267

3. Natar ……………………………………………………………… 268

4. Nilai Natar ………………………………………………………… 275

5. Sebuah Anekdot…………………………………………………… 278

9

9

Page 10: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Krisis yang berkepanjangan hanyalah akumulasi dari sebuah kondisi

ketidakstabilan basis (baca : ilmu dasar). Begitu pula halnya dengan krisis keuangan,

krisis kepercayaan, krisis jati diri, dan seluruh krisis-krisis lain yang melanda bangsa

ini. Kondisi tersebut harus diselesaikan sebab setiap sebuah dimensi kehidupan

mengalami krisis maka akan sangat mempengaruhi peri kehidupan yang lain.

Penyelesaian setiap krisis memang berbeda, kasus perkasus. Hanya saja, jika

penyelesaian tersebut hanya di permukaan tanpa menyentuh akar permasalahan maka

hal itu tak ubahnya dengan menunda datangnya krisis lain yang jauh lebih besar lagi.

Dikatakan demikian sebab krisis yang datang kemudian akan lebih kompleks

sifatnya, sehingga penyelesaiannya juga semakin rumit.

Menggali akar permasalahan untuk dapat menyelesaikan krisis multi dimensi

adalah sebuah kerja besar yang harus melibatkan banyak orang didalam

menyelesaikannya. Hanya saja, dari mana harus memulai sehingga penyelesaian bisa

tuntas dan meminimalisir jatuhnya korban, itu yang menjadi pokok permasalahannya.

Sebagai alternatif, bilangan dapat dijadikan pijakan awal.

Dengan membilang (baca : menghitung) yang benar maka akan benar pula

hasil yang didapat, begitu pula sebaliknya. Kecurangan dalam membilang bukan

hanya akan mempengaruhi Matematika namun juga akan berdampak buruk pada

yang lain. Dengan bilangan, “materi” dapat dihitung dan akan dapat diketemukan

pula “materi” lain yang berkaitan dengannya.

1.2 Tujuan

10

10

Page 11: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Sebagai masukan bagi Matematisi Indonesia untuk mengadakan kajian ulang

terhadap sistem bilangan desimal dengan pola basis seribu (103), bagi dunia

pendidikan khususnya, serta bagi penyelenggara negara pada umumnya.

BAB II

BILANGAN

2.1 Sistem bilangan Hindu Arab

Sistem bilangan di Indonesia disebut sistem bilangan Hindu Arab, disebut

demikian karena menurut sejarahnya sistem ini ditemukan oleh orang Hindu yang

oleh orang Arab disempurnakan dan diperkenalkan ke benua Eropa. Sistem ini

disebut sistem desimal karena mengggunakan bilangan dasar sepuluh.

Dengan demikian, angka yang dipergunakan adalah 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,

sedangkan untuk lambang bilangan sepuluh dipergunakan angka 1 dan angka 0

sehingga tertulis 10. Untuk lambang bilangan sebelas digunakan angka 1 dan 1

sehingga tertulis 11, dan begitu seterusnya.

Cara penulisan lambang bilangan seperti tersebut disebut dengan sistem nilai

tempat atau posisi. Berdasarkan kriterianya, pada bilangan cacah –dari kanan ke kiri--

dapat diurutkan sebagai berikut : satuan, puluhan, ratusan, ribuan, puluh ribuan, ratus

ribuan, jutaan, dan seterusnya. Pengelompokan tersebut erat kaitannya dengan

penulisan bentuk panjang suatu bilangan. Misalnya, pada bilangan xyz, artinya pada

bilangan tersebut terdapat x kelompok ratusan, y kelompok puluhan, dan z

kelompok satuan.

Berdasarkan teknik pengelompokan, maka, jika …..m.lkj.ihg.fed.cba adalah

suatu bilangan cacah akan terlihat gambaran sebagai berikut :

Bilangan Tempat Angka Nilai tempat

11

11

Page 12: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

a

b

c

satuan

puluhan

ratusan

satuan

puluhan

ratusan

1

10

100

d

e

f

g

h

i

j

k

l

m

ribuan

puluh ribuan

ratus ribuan

jutaan

puluh jutaan

ratus jutaan

miliaran

puluh muluaran

ratus miliaran

triliunan

ribuan

puluh ribuan

ratus ribuan

jutaan

puluh jutaan

ratus jutaan

miliaran

puluh miliaran

ratus miliaran

triliunan

1.000

10.000

100.000

1.000.000

10.000.000

100.000.000

1.000.000.000

10.000.000.000

100.000.000.000

1.000.000.000.000

Tabel 1

Jika pola tersebut di atas dianggap benar, maka terlihat adanya kejanggalan,

atas dasar apa istilah jutaan tidak langsung muncul sesudah ribuan, begitu pula

dengan miliaran dan triliunan, mengapa masih harus tersekat oleh istilah lain

(Penyimpangan 1). Padahal, desimal berarti persepuluhan.

Bandingkan dengan pola desimal pada masa lalu berikut ini.

Bilangan Tempat Angka Nilai tempat

1 2 3 4

a

b

c

d

e

f

g

Satuan

Puluhan

Ratusan

Ribuan

Laksa

Keti

Juta

Satuan

Puluhan

Ratusan

Ribuan

Laksa

Keti

Juta

1

10

100

1.000

10.000

100.000

1.000.000

Tabel 2

12

12

Page 13: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Kembali pada bilangan xyz , apabila bilangan tersebut ditulis dalam bentuk

panjang maka akan terlihat sebagai berikut :

xyz = (x x 102) + (y x 10) + z

= 100 x + 10y + z

Berdasarkan penulisan tersebut, pada pengelompokan bilangan bahwa cara

yang ditempuh dan pemberian nama berdasarkan atas pemangkatan bilangan 10

(sepuluh). Perhatikan hasil pemangkatan berikut ini.

Pada 10n Hasil Dibaca

100

101

102

103

104

105

106

107

108

109

1010

1011

1012

1

10

100

1.000

10.000

100.000

1.000.000

10.000.000

100.000.000

1.000.000.000

10.000.000.000

100.000.000.000

1.000.000.000.000

Satu

Sepuluh

Seratus

Seribu

Sepuluh ribu

Seratus ribu

Sejuta

Sepuluh juta

Seratus juta

Semiliar

Sepuluh miliar

Seratus miliar

Setriliun

Tabel 3

Pada hasil pemangkatan dan cara membaca (pelafalan) terlihat jelas bahwa

pada bilangan ≤ 1 triliun, penyebutan suatu istilah berubah pada satu, sepuluh,

seratus, seribu, sejuta, semiliar, dan setriliun.

Berdasarkan pola pemangkatan bilangan (10) sepuluh di atas, nyata sekali

bahwa pola yang diterapkan belumlah teratur (Penyimpangan 2). Padahal, sebagai

13

13

Page 14: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

ilmu pasti, Matematika –bilangan-- menganut hukum keteraturan (Ruseffendi E.T,

1993 : 28). Apa hubungan antara pangkat 0, pangkat 1, pangkat 2, pangkat 3, pangkat

6, pangkat 9, dan pangkat 12 pada bilangan 10 (sepuluh) sehingga menghasilkan

bilangan baru?

Dari realita pemangkatan bilangan tersebut di atas dapat dikelompokkan

sebagai berikut :

1. 1 = (10)0

10 = (10) 1

100 = (10)2

1.000 = (10)3

2. 1 = 100 = (102)0

100 = 102 = (102)1

1.000.000 = 106 = (102)3

1.000.000.000.000 = 1012 = (102)6

3. 1 = 100 = (103)0

1.000 = 103 = (103)1

1.000.000 = 106 = (103)2

1.000.000.000 = 109 = (103)3

1.000.000.000.000 = 1012 = (103)4

4. 1 = 100 = (106)0

1.000.000 = 106 = (106)1

1.000.000.000.000 = 1012 = (106)2

5. 1 = 100 = (109)0

1.000.000.000 = 109 = (109)1

6. 1 = 100 = (1012)0

14

14

Page 15: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

1.000.000.000.000 = 1012 = (1012)1

Perlu diperhatikan bahwa antara satuan bilangan dan satuan tempat suatu

bilangan adalah berbeda. Sebab pada satuan bilangan hanya ada satuan, puluhan,

ratusan, ribuan, jutaan, miliaran, dan triliunan . Sedangkan pada satuan tempat

bilangan dapat dilihat pada pola pertama di atas.

Dari pemangkatan faktor desimal di atas terlihat :

1. Pada nilai tempat l, 10, 100, dan 1.000 menerapkan pola deret hitung

dengan interval satu pada faktor desimalnya;

2. Deret hitung dengan interval dua --yang terkesan melompat-ompat-- pada

faktor desimalnya terlihat pada 1, 100, 1.000.000 dan 1.000.000.000.000;

3. Untuk 1, 1.000, 1.000.000, 1.000.000.000, dan 1.000.000.000.000

menggunakan pola deret hitung dengan interval tiga pada faktor desimalnya;

4. Pada 1, 1000.000, dan 1.000.000.000.000 menggunakan pola deret hitung

dengan interval enam pada faktor desimalnya;

5. Pada 1, 1.000.000.000 dan 1.000.000.000.000 menggunakan pola deret

hitung dengan interval sembilan pada faktor desimalnya.;

5. Dan, pada 1 dan 1.000.000.000.000 menggunakan pola deret hitung

dengan interval dua belas pada faktor desimalnya.

15

15

Page 16: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel berikut ini :

Bilangan Lambang Bilangan A B C D E F

n=10 (n2) (n3) (n6) (n9) (n12)

Satu 1 (10)0 (102)0 (103)0 (106)0 (109)0 (1012)0

Sepuluh 10 (10)1

Seratus 100 (10)2 (102)1

Seribu 1.000 (10)3 (103)1

Sejuta 1.000.000.000 (10)6 (102)3 (103)2 (106)1

Semiliar 1.000.000.000.000 (10)9 (103)3 (109)1

Setriliun 1.000.000.000.000.000 (10)12 (102)6 (103)4 (106)2 (1012)1

Tabel 4

Dari penggambaran tersebut terlihat bahwa asal usul suatu bilangan terlihat

sangat tidak konsisten (Penyimpangan 3).

Hal tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

- Basis seratus (100) atau (102) muncul setelah basis sepuluh (10)2

- Basis seribu (1000) atau (103) muncul setelah basis seratus (102)x

- Basis sejuta (1.000.000) atau (106)muncul setelah basis seribu (103)2,

mirip dengan pemunculan basis seratus

- Basis semiliar (1.000.000.000) atau (109) ini muncul setelah basis sejuta

(106)y , dan itu mirip dengan pemunculan basis seribu

- Basis setriliun (1.000.000.00.000) atau (1012) muncul pada saat basis

semiliar (109)z

Mengingat pengertian miliar sudah dibakukan dalam Bahasa Indonesia, maka

sumber masalah bilangan tinggallah seribu dan setriliun. Kiranya perlu diingat bahwa

tanpa ada maksud menafikan “kemerdekaan” dunia Bahasa Indonesia, maka dalam

16

16

Page 17: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

konteks lambang bilangan, sebenarnya basis triliun sudah muncul saat basis sejuta

(106)2. Dengan demikian, dalam hal ini, penyimpangan ada pada basis seribu (103).

Bukti lain penyimpangan penerapan basis seribu (103), juga dapat kita lihat

pada realita berikut ini. Perhatikan :

10 x 1.000 = 10.000

(satu nol nol nol nol dibaca sepuluh ribu)

10 x 1.000.000 = 10.000.000

(satu nol nol nol nol nol nol nol dibaca sepuluh juta)

10 x 1.000.000.000 = 10.000.000.000

(satu dengan sepuluh nol dibaca sepuluh miliar)

10 x 1.000.000.000.000 = 10.000.000.000.000

(satu dengan tiga belas nol dibaca sepuluh triliun)

Dengan memperhatikan uraian di atas, maka, jika ada sepuluh ribu, sepuluh

juta, sepuluh miliar, sepuluh triliun, dan sepuluh xyz yang lain, berarti 10 x 100 =

1000 (baca : sepuluh kali seratus sama dengan seribu). 1 000 dibaca seribu –

dianggap seribu-- adalah sebuah penyimpangan yang nyata.

Sebenarnya dari sinilah persoalan bilangan muncul. Sebab, selain bilangan

memiliki ciri basis sepuluh, lambang bilangan yang kita pakai juga memiliki ciri

nilai tempat sebab nilai tiap- tiap angka tergantung pada tempatnya (Heri Sutarno

: 1994).

Lucunya, pada n ≤ 1000 (103) digunakan basis sepuluh (10) namun

pada n ≥ 1000 digunakan basis seribu (103). Atau dengan kata lain, sistem

bilangan Hindu Arab bermuka dua.

Memang, kita dapat menjadikan seribu (103) sebagai basis dan memandang

bilangan sepuluh (10) dan seratus (100) dimunculkan untuk melengkapi urutan sistem

17

17

Page 18: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

bilangan dari satu ke seribu atau ke bilangan lainnya (Kosala D Purnomo, 2000 :1).

Namun dari situ timbul pertanyaan mendasar.

Pertama, mengapa basis seribu (103) yang dimunculkan sementara basis

seratus (102) baru berusia (102)0, (102)1, dan (102)x . Kedua, bisa jadi, dalam sistem

bilangan Belanda /Inggris/ Jerman serta sistem bilangan Amerika Serikat /Perancis

penerapan basis seribu (103 ) itu benar. Tetapi, Guru --khususnya guru SD-- di sini

mengajarkan bahwa bentuk panjang dari xyz adalah:

xyz = (x x 102) + (y x 10) + z

= (x x 100) + (y x 10) + z

= 100 x + 10 y + z

Bukankah, jika seribu (103) dipandang sebagai basis maka bentuk panjang

dari xyz adalah :

xyx = {x x(103)x } + {y x (103)y} + z

= (x x 100) + (y x 10) + z

= 100x + 10y + z

Meskipun, hasil akhirnya sama –dalam konteks lambang bilangan,

pertanyaanya adalah, Mengapa guru dibohongi?

Selain itu, jika seribu (103) dipandang sebagai basis bilangan, maka :

3√ 1000 = 10 --akar pangkat tiga dari seribu = sepuluh 3√ 1.000.000 = 100 --akar pangkat tiga dari sejuta = seratus3√ 1.000.000.000 = 1.000 --akar pangkat tiga dari semiliar = seribu3√ 1.000.000.000.000 = x --akar pangkat tiga dari setriliun = x

Jika sepuluh menempati posisi puluhan, seratus menempati posisi ratusan, dan

seribu menempati posisi ribuan. Pertanyaannya adalah, satuan bilangan manakah

yang ditempati oleh x? Mungkin, akan dijawab dengan sepuluh ribu. Tetapi, harus

18

18

Page 19: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

diingat bahwa sepuluh ribu bukanlah satuan bilangan, melainkan merupakan

satuan nilai tempat bilangan.

Jika Matematika konsisten memandang seribu (103) –dengan tekanan pada

pangkat 3-- sebagai basis bilangan maka seharusnya basis seribu berakhir pada miliar

atau (103)3.

Perhatikan :

1. Misal : satuan bilangan adalah x

Maka :

1. (x)0 = satuan

(x)1 = puluhan

(x)2 = ratusan

(x)3 = ribuan

2. (x3)0 = satuan

(x3)1 = ribuan

(x3)2 = jutaan

(x3)3 = miliar

3. (x9)0 = satuan

(x9)1 = miliar

(x9)2 = a

(x9)3 = b

Dari situ terlihat bahwa triliun muncul pada (x9)2 atau x18. Padahal, bilangan

desimal yang sepakat digunakan adalah bilangan dasar sepuluh. Dengan demikian,

seharusnya, triliun muncul pada saat (10)18 atau 1 dengan 18 nol di belakangnya. Dan,

itu baru tepat, sebab sebenarnya, bukankah triliun berasal dari (106)3 atau million x

million x million, bukan dari (103)4, apa lagi dari (104)3 …. Jadi, di manakah letak

konsistennya sistem bilangan yang kita pakai? Mungkin, para pakar berdalih

bahwa mereka menerapkan pola deret hitung, bukan pola deret ukur pada basis

seribu (103) sehingga satuan bilangan yang baru akan muncul setiap kelipatan

19

19

Page 20: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

pangkat tiga dari basis sepuluh (10) sehingga jadilah seperti sistem bilangan yang

ada sekarang ini – di Indonesia.

Pertanyaannya, bukankah seribu sendiri muncul setelah sepuluh pangkat tiga?

Mengapa hanya seribu (103) sendiri yang diberi keleluasaan seperti itu? Mengapa

seratus (102) tidak diberi kesempatan?

2. Misal : bilangan = a

satuan bilangan pertama = x

satuan bilangan kedua = y

satuan bilangan ketiga = z

Maka :

(a)1 = x

(a)2 = y

(a)3 = z

Jika :

1. a = sepuluh

x = sepuluh

y = seratus

z = seribu

2. a = seratus

x = seratus

y = …

z = sejuta

3. a = seribu

x = seribu

y = sejuta

z = semiliar

4. a = sejuta

x = sejuta

20

20

Page 21: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

y = setriliun

z = …

Dari gambaran di atas muncul pertanyaan :

1. Satuan bilangan manakah yang tepat untuk mengisi y pada item 2?

Apakah seribu? Kalau bukan, lantas di mana posisi seribu?

2. Satuan bilangan apa pula yang akan muncul pada z item 4?

Fersi 1(Inggris /Jerman /Belanda) atau Fersi 2 (Amerika Serikat /Uni

Soviet /Perancis) ?

Padahal, kita telah dianjurkan untuk menganut pola dengan Fersi 2, sehingga

pada 1015 sudah harus muncul satuan bilangan baru , sedangkan menurut

pembuktian di atas maka hal itu sangat tidak mungkin untuk terjadi.

Memang, dalam konteks lambang bilangan, semua paparan di atas dapat

diselesaikan sebagai berikut :

y item 2 = (100)2 atau 10.000 --sepuluh ribu

z item 4 = (1.000.000)3 atau 1 dengan 18 nol di belakangnya.

Tapi perlu dicermati bahwa sepuluh ribu bukanlah satuan bilangan melainkan

satuan nilai tempat bilangan. Posisi satuan bilangan lebih tinggi dari satuan nilai

tempat bilangan. Dalam hal ini, satuan bilangan, selain berfungsi sebagai satuan

bilangan juga berfungsi sebagai satuan nilai tempat bilangan, dengan demikian

berfungsi ganda, sebaliknya, satuan nilai tempat berfungsi tunggal. Dalam hal ini, ada

yang perlu diingat tentang konsep bilangan :

“Bilangan merupakan konsep abstrak. Bilangan bukan simbul, bukan pula angka. Tanda-tanda

atau goresan yang kita temukan pada kertas, batu, tanah liat, dan sebagainya bukan bilangan

tetapi lambang bilangan”

(Erman Suherman, 1995 : l08)

21

21

Page 22: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

“Penulisan dan penyebutan suatu bilangan lebih tergantung pada konsensus umum di

masyarakat. Masyarakat memiliki kebebasan untuk menyepakati apakah bilangan seribu itu

terdiri atas angka 1 dan 0 sebanyak tiga atau 0 sebanyak empat”

(Kosala D. Purnama, 2000 : 1)

Tetapi kebebasan itu pun perlu dipertanyakan. Benarkah mereka bebas?

Bukankah di situ ada tangan kuat (baca “guru” penulisan dan penyebutan suatu

bilangan) yang secara sistematik mengajarkan bahwa 1 dengan 0 sebanyak tiga buah

atau 1000 dibaca seribu, bukan se-x. Bisa jadi, mereka (guru tersebut) adalah produk

“sini” namun dengan lisensi “sana”. Atau dengan kata lain, mereka belajar di sini,

namun ilmu yang dipelajari adalah ilmu sana.

Kalau hal ini dirunut ke belakang, sebenarnya, para guru tersebut sekedar

melaksanakan penyampaian /memasyarakatkan hasil olahan para pakar. Dari waktu

ke waktu, mereka mengajarkan ilmu yang telah di terimanya. Mereka tidak harus (?)

memikirkan kebenaran ilmu tersebut karena memang bukan dalam otoritas

kewenangannya. Guru adalah perenang, bukan penyelam!

Pertanyaan berikutnya adalah, kepada siapa para pakar pada masa kolonial

belajar? Maka dengan mudah, telunjuk ini akan mengarah ke barat. Oleh karena itu,

jangan heran, jika miliar muncul pada saat 109 dan itu adalah model Inggris /Jerman /

Belanda (fersi 1) –sebab pada awal kemerdekaan para orang pintar negara ini belajar

di negeri Belanda, sedangkan triliun muncul pada saat 1012 dan itu merupakan fersi

Amerika Serikat /Uni Soviet /Perancis (fersi 2).

Jika konsisten menggunakan fersi 1, maka seharusnya 1012 akan disebut

biliun. Begitu pula, jika konsisten terhadap fersi 2, maka 109 disebut biliun.

Perhatikan sistem bilangan besar berikut ini1:

Fersi 1 (Inggris /Jerman /Belanda) :

109 miliar jumlah nol 9

1012 biliun jumlah nol 12

1018 triliun jumlah nol 18

22

22

Page 23: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

1 dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, halaman 1047

1024 kuadriliun jumlah nol 24

1030 kuantiliun jumlah nol 30

Fersi 2 (Amerika Serikat /Uni Soviet /Perancis) :

109 biliun jumlah nol 9

1012 triliun jumlah nol 12

1015 kuadriliun jumlah nol 15

1018 kuantiliun jumlah nol 18

dan seterusnya.

Kesan asal comot produk sana dapat dimaklumi. Mereka juga sekedar murid

yang patuh. Jadi, ganti guru ganti baju. Bergesernya “kiblat” para pakar itulah yang

menyebabkan sistem bilangan di Indonesia semrawut. Sebab, jika 109 bernilai miliar,

dan 1012 bernilai triliun, lantas dimanakah kedudukan biliun?

Atau, satuan bilangan manakan yang diasumsikan sebagai milion?

Bukankah, milion sudah diartikan dengan juta?

Sistem bilangan di Indonesia saat ini2

1 = satu

10 = sepuluh

102 = seratus

103 = seribu

106 = sejuta

109 = semiliar (fersi Belanda /Inggris /Jerman)

1012 = setriliun (fersi Amerika Serikat /Perancis)

2 pada masa lalu /pra kolonial sistim bilangan di Indonesia : 10 satuan = sepuluh, 10 puluhan = seratus;

10 ratusan = seribu; 10 ribuan = 1 laksa; 10 laksa = 1 keti; dan 10 keti = 1 juta

23

23

Page 24: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dari semua uraian di atas serta dari berbagai adanya penyimpangan pada

sistem bilangan desimal yang dipakai di Indonesia, akhirnya terlihat bahwa semua

merujuk pada satu masalah, yaitu penerapan basis seribu (103) atau memandang

seribu (103) sebagai basis bilangan.

Pertanyaannya berikutnya adalah, benarkah dalam sistem bilangan kita

sekarang, sepuluh kali seratus sama dengan seribu? Meskipun, 10 x 100=1000 Mari,

kita buktikan bersama!

Misalkan :

Sepuluh = a

Seratus = b

Seribu = c

Sejuta = d

Semiliar = e

Setriliun = f

Jika :

10a = a2 = b

10b ≠ b2 ≠ c

10c ≠ c2 = d

10d ≠ d2 = f

Maka dari persamaan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :

I II III

10a = a2

10b ≠ b2

10c ≠ c2

10d ≠ d2

a2 = b

b2 ≠ c

c2 = d

d2 = f

10a = b

10b = c

10c ≠ d

10d ≠ f

Tabel 5

24

24

Page 25: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Pada kelompok I

Secara kebetulan 10a = a2 Kebetulan di sini adalah kebetulan yang benar.

Sebab, a = sepuluh

Pada kelompok II

Terlihat ada penyimpangan, yaitu b2 ≠ c

Perhatikan :

b2 ≠ c

b x b ≠ 10 b (seratus x seratus ≠ sepuluh seratus)

bb ≠ 10 b ( seratus ratus ≠ sepuluh ratus ) -- (i)

Jika disubstitusikan ke dalam lambang bilangan, maka :

1002 ≠ 1000

100 x 100 ≠ 10 x 100

10 000 ≠ 1 000 --(ii)

Dipandang dari segi bilangan – pelafalan-- (i) maupun segi lambang bilangan

(ii) memang benar dan tepat. Tetapi, perlu diingat bahwa c = 10 b. Oleh karena itu,

benarkah c = 10 b?

Perhatikan uraian berikut ini.

Pada kelompok III

10 a = b juga terjadi secara kebetulan, dan itu juga merupakan kebetulan

yang benar, sebab a dan 10 (sepuluh) bernilai sama. Akibat bertemunya dua satuan

bilangan bernilai sama maka akan menghasilkan satuan bilangan baru, sedangkan b

= seratus –sehingga 10 a akan sama dengan sepuluh sepuluh. Munculnya dua

bilangan yang sama akan melahirkan satuan bilangan berikutnya. Perhatikan

pula pemunculan juta dan triliun.

Tetapi, kebenaran 10b = c perlu dipertanyakan

Perhatikan :

10 b = c (sepuluh seratus = seribu)

25

25

Page 26: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

10 b =10 b (sepuluh ratus = sepuluh seratus)

Kalau posisi faktor bilangan ditukarkan akan terlihat sebagai :

10 b = b 10 (sepuluh ratus = seratus sepuluh)

Sekali lagi, bilangan merupakan konsep abstrak, tetapi perlu diingat, dengan

menggunakan lambang bilangan yang telah disepakati, maka konsep yang abstrak

tadi dapat menjadi kongkrit –paling tidak dapat dilihat. Dengan demikian,

kebenarannya dapat dibuktikan.

Perhatikan :

Sepuluh ratus bermakna tunggal yaitu sepuluh kali seratus. Kedudukan

sepuluh pada sepuluh ratus sama dengan kedudukan sepuluh pada sepuluh ribu,

sepuluh juta, sepuluh miliar, sepuluh triliun, atau sepuluh-x yang lain. Sedangkan

seratus sepuluh –dalam hal ini— bermakna perkalian juga, yaitu seratus kali sepuluh.

Tetapi, seratus sepuluh dapat juga bermakna seratus ditambah sepuluh.

Masalahnya, jika ada dua buah seratus sepuluh, dari manakah kita dapat

membedakan bahwa yang satu bermakna penjumlahan sedangkan yang lain bermakna

perkalian? Perhatikan :

1. 10b = b10 --sepuluh seratus = seratus sepuluh

sepuluh ratus = seratus sepuluh

2. 10c ≠ c10 --sepuluh seribu ≠ seribu sepuluh

sepuluh ribu ≠ seribu sepuluh

3. 10d ≠ d10 --sepuluh sejuta ≠ sejuta sepuluh

sepuluh juta ≠ sejuta sepuluh

4. 10 e ≠ e 10 --sepuluh semiliar ≠ semiliar sepuluh

sepuluh miliar ≠ semiliar sepuluh

26

26

Page 27: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

5. 10 f ≠ f 10 --sepuluh setriliun ≠ setriliun sepuluh

sepuluh triliun ≠ setriliun sepuluh

Dengan demikian, nyata sekali bahwa dalam hal ini, memandang bilangan

sepuluh kali seratus sama dengan seribu itu tidaklah tepat. Keadaan akan menjadi

lain, jika seandainya b2 = c dan 10b ≠ c.

Penerapan standar ganda --di satu sisi memandang seribu sebagai basis (103)

bilangan besar (?) dan di sisi lain memandang seribu sebagai hasil dari 10 ratusan--

tersebut mengindikasikan, sadar atau tidak sadar, adanya sesuatu yang disembunyikan

oleh produsen bilangan. Dan, sesuatu yang disembunyikan itu sudah barang tentu

sangat menguntungkan mereka. Sebab, sesuatu yang disembunyikan itu, akhirnya

sangat merugikan konsumen bilangan. Ironisnya, hal ini baru terasa ketika bilangan

sudah tidak murni lagi sebagai bilangan. Dalam hal ini, Indonesia berkedudukan

sebagai konsumen bilangan.

Selain itu, jika kita memandang seribu sebagai basis memang tidak ada

salahnya. Namun dari situ timbul pertanyaan mendasar, mengapa basis seribu (103)

dimunculkan sementara basis seratus (102) baru berusia (102)0 , (102)1, dan (102)x ?

Padahal, basis seratus (102) sendiri muncul setelah basis sepuluh (10)2 .

Perhatikan :

1. Basis sepuluh (10)

(10)0 = 1 --satu

(10)1 = 10 --sepuluh

(10)2 = 100 --seratus

2. Basis seratus (102)

(102)0 = 1 --satu

(102)1 = 100 --seratus

(102)x = 1.000 --seribu

27

27

Page 28: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

3. Basis seribu (103)

(103)0 = 1 –Satu

(103)1 = 1.000 --seribu

(103)2 = 1.000.000 --sejuta

(103)3 = 1.000.000.000 --semiliar

(103)4 = 1.000.000.000.000 –setriliun

Dengan memperhatikan gambaran di atas, terlihat dengan sangat jelas bahwa

pemunculan basis seribu (103) terlalu dipaksakan –prematur. Oleh karena itu,

seandainya basis seribu muncul pada saat basis seratus (102)2 secara kasat mata lebih

dapat diterima akal.

Sungguhpun demikian, bisa jadi para pakar Matematika berdalih bahwa laksa

senilai dengan sepuluh ribu (103)x dan itu senilai dengan seratus (102)2 , sedangkan

keti senilai dengan seratus ribu (103)y.

Dalam konteks lambang bilangan, memang, antara laksa dan sepuluh ribu itu

sama, yaitu l dengan 0 sebanyak empat buah. Kemudian antara keti dengan seratus

ribu pun sama, yaitu 1 dengan 0 sebanyak lima buah. Namun, secara hakiki antara

laksa dengan sepuluh ribu sudah jelas berbeda. Andaikan kereta api, laksa memiliki

gerbong sendiri, sementara sepuluh ribu menempati gerbong ribuan. Begitu pula

halnya dengan keti. Gerbong keti lain dari gerbong ratus ribuan, ratus ribuan

merupakan bagian dari gerbong ribuan. Ingat, gerbong ribuan memiliki tiga buah

kursi, kursi ribuan, kursi puluh ribuan, dan kursi ratus ribuan. Sementara laksa dan

keti tidak memiliki kursi sama sekali, sama halnya dengan ratusan yang kita kenal.

Jika para pakar Matematika bersikukuh dengan kebenaran cara

memandang bilangan dari basis seribu (103). Ada satu pertanyaan terakhir :

“Di kemanakankah sepuluh (10), seratus (100), dan seribu (1000) yang

pernah hidup bersama, seiiring, dan harmonis bersama selaksa, seketi, dan

sejuta? Bukankah, puluh, ratus, ribu, laksa, keti, dan juta itu merupakan satu

kesatuan dari sebuah sistem bilangan?”

28

28

Page 29: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

2.2 Reformasi bilangan

Merubah cara pandang terhadap asal usul seribu dari sepuluh ratusan menjadi

seratus ratusan harus dilaksanakan agar sistem bilangan ini mendekati konsisten.

Dengan kata lain, 1.000 baru benar jika dibaca sepuluh ratus --belum mencapai

seribu. Sebab, untuk mencapai seribu maka seratus harus kali seratus atau dengan

kata lain, 1.0000 = 100 x 100 (satu nol nol no nol dibaca seribu)

Ingat, seratus bukan hanya berasal dari sepuluh puluhan melainkan juga

berasal dari sepuluh puluh. Pengertian kedua inilah yang sesuai dengan pemunculan

sejuta dan setriliun. Dengan demikian, antara seratus (100) dengan seribu (1.0000)

terpaut 99 ratus bukan 9 ratus.

Sungguhpun demikian, bukan berarti dapat menyelesaikan masalah jika basis

seratus (102) dihidupkan sementara pola yang digunakan tetap --pola deret hitung.

Sebab, jika pola deret hitung yang diterapkan maka akan terlihat sebagai berikut :

(10)0 = 1

(10)1 = 10

(10)2 = 100 -- (102)1 = 100 --seratus

(102)2 = 1.0000 --seribu

(102)4 = 1.0000.0000 --sejuta

(102)6 = 1.0000.0000.0000 --semiliar

(102)8 = 1.0000.0000.0000.0000 --setriliun

(102)10 = 1.0000.0000.0000.0000.0000 --se-x

Basis seratus dapat hidup dan mendekati benar --selama masa transisi-- dan

sudah dapat menyelesaikan masalah krisis keuangan jika pola yang diterapkan adalah

pola deret ukur pada pangkatnya, sehingga interval antar nilai tempat satuan bilangan

makin mengecil.

29

29

Page 30: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Perhatikan :

1. (10)0 = 1

(10)1 = 10

(10)2 = 100 --seratus

2. (102)1 = 100 --seratus

(102)2 = 1.0000 --seribu

3. (104)1 = 1.0000 --seribu

(104)2 = 1.0000.0000 --sejuta

4. (108)1 = 1.0000.0000 --sejuta

(108)2 = 1.0000.0000.0000.0000 --setriliun

5. (1016)1 = 1.0000.0000.0000.0000 --setriliun

(1016)2 = se-x

Alhasil, urutan nilai tempat antara satua sampai dengan ribuan adalah :

satuan, puluhan, ratusan, puluh ratusan, dan --baru—ribuan

Tabel 6

Dengan bertolak pada sistem bilangan Hindu Arab yang menyatakan bahwa

sejuta –bisa juga berasal dari seribu kali seribu masih dapat digunakan sebagai

pijakan, serta bertolak dari sepuluh kali seratus kali seratus samadengan seribu, maka

penulisan lambang bilangan sejuta adalah 1.0000.0000. Sehubungan dengan hal itu

30

30

….v. w x y z satuan puluhan

ratusan puluh ratusan

ribuan

Page 31: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

maka urutan nilai tempat antara ribuan hingga jutaan adalah ; ribuan, puluh ribuan,

ratus ribuan, puluh ratus ribuan, dan terakhir adalah jutaan.

Perhatikan :

Tabel 7

Oleh karena nilai tempat jutaan bergeser ke kanan, maka nilai tempat miliar-

pun ikut bergeser ke kanan pula, sebab posisinya telah ditempati puluh jutaan.

Padahal, yang dimaksud dengan miliar adalah seribu juta. Dengan demikian, maka

1 miliar = 1.0000.0000.0000 = (1012)

Hanya saja, --tanpa mengurangi rasa hormat penulis terhadap para pendahulu,

sebaiknya, demi keruntutan sistem bilangan Indonesia maka selama masa transisi

penggunaannya tidak dibakukan dalam Matematika. Dalam hal ini, miliar di

perlakukan seperti perlakuan yang diberikan oleh para pakar Matematika terhadap

laksa dan keti. Dengan kata lain, miliar di non aktifkan sementara waktu (selama

masa transisi) oleh seorang guru untuk membayar hutang para pakar Matematika

terhadap bilangan. Hutang dua, hanya bayar satu. Hutang pada laksa (104) dan pada

keti (105) harus dibayar oleh miliar (109). Hutang dalam satu masa juga dibayar

dalam satu masa. Adil, bukan? Bukankah setiap hutang harus dibayar?

Nanti, setelah masa transisi berlalu, kesemuanya –laksa, keti, dan miliar--

akan dibangunkan untuk bersama-sama dengan satuan bilangan yang lain

membangun Peradaban Matematika Indonesia –khususnya, serta membangun

peradaban Indonesia baru.

31

31

… r s t u v . w x y z ribuan puluh ribuan ratus ribuan puluh ratus ribuan jutaan

Page 32: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Sejalan dengan hal tersebut di atas, maka istilah baru dalam nilai tempat

sesudah jutaan adalah triliunan. Bertolak dari pengertian triliun adalah satu dengan

duabelas nol di belakangnya dan itu identik dengan sejuta kali sejuta

(1.000.000.000.000 = 1.000.000 x 1.000.000), maka pengertia triliun tetap

dipertahankan, hanya saja lambang bilangannya tidak seperti pada sitem Hindu Arab

melainkan menjadi 1 triliun = 1.0000.0000.0000.0000 = (10)16.

Di sini terlihat adanya lompatan kekuatan triliun, dari (10)12 menjadi (10)16,

inipun masih sementara sifatnya. Lompatan yang signifikan akan terjadi setelah masa

transisi.

Susunan satuan nilai tempat antara jutaan sampai dengan triliunan adalah

jutaan, puluh jutaan, ratus jutaan, puluh ratus jutaan, ribu jutaan, puluh ribu jutaan,

ratus ribu jutaan, puluh ratus ribu jutaan, dan triliunan.

Perhatikan :

Tabel 8

Tabel 8

Dengan merubah cara pandang terhadap bilangan seperti terurai di atas maka

akan nampak keruntutan “sistem bilangan Indonesia pada masa transisi” seperti

tuntutan Matematika –dan mendekati konsisten-- sehingga ketika pola desimal

bertemu dengan bilangan berpangkat basis sepuluh (10) akan terlihat sebagai berikut:

32

32

… j. k l m n. o p q r. s t u v. w x y z

... j. k l m n . o p q r . s t u v . w x y z jutaan puluh jutaan ratus jutaan puluh ratus jutaan

ribu jutaan puluh ribu jutan

ratus ribu jutaan puluh ratus ribu jutaan

triliunan

Page 33: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

(10)0 = 1 dibaca satu

(10)1 = 10 --sepuluh

(10)2 = 100 --seratus

(10)3 = 1000 -- sepuluh ratus

(10)4 = 1.0000 --seribu (seratus-ratus)

(10)5 = 10.00000 -- sepuluh ribu

(10)6 = 100.0000 --seratus ribu

(10)7 = 1000.0000 --sepuluh ratus ribu

(10)8 = 1.0000.0000 --sejuta (seribu-ribu)

(10)9 = 10.0000.0000 --sepuluh juta

(10)10 = 100.0000.0000 --seratus juta

(10)11 = 1000.0000.0000 --sepuluh ratus juta

(10)12 = 1.0000.0000.0000 --seribu juta (seratus-ratus juta)

(10)13 = 10.0000.0000.0000 --sepuluh ribu juta

(10)14 = 100.0000.0000.0000 --seratus ribu juta

(10)15 = 1000.0000.0000.0000 --sepuluh ratus ribu juta

(10)16 = 1.0000.0000.0000.0000 --setriliun (sejuta-juta)

Berdasarkan pola di atas, nampak perubahan satuan bilangan dalam nilai

tempat muncul ketika bilangan sepuluh (10) dikuadratkan secara bertingkat,

perhatikan :

(10)0 = 1 dibaca satu

(10)1 = 10 dibaca sepuluh

(10)2 = 100 dibaca seratus,

berasal dari sepuluh x sepuluh

(102)2 = 1.0000 dibaca seribu,

seribu berasal dari seratus x seratus

(104)2 = 1.0000.0000 dibaca sejuta,

sejuta berasal dari seribu x seribu

33

33

Page 34: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

(108)2 = 1.0000.0000.0000.0000.0000 dibaca setriliun,

setriliun berasal dari sejuta x sejuta

Bandingkan dengan sistem bilangan Hindu Arab :

(10)0 = 1 dibaca satu

(10)1 = 10 dibaca dibaca sepuluh

(10)2 = 100 dibaca seratus, berasal dari sepuluh x sepuluh

(10)3 atau (103)1 = 1.000 dibaca seribu,

berasal dari sepuluh x seratus

atau seratus x sepuluh

atau sepuluh x sepuluh x sepuluh

(103)2 = 1.000.000 dibaca sejuta

(103)3 = 1.000.000.000 dibaca semiliar

(103)4 = 1.000.000.000.000 dibaca setriliun

Dari dua format penyebutan asal-usul nilai tempat suatu angka pada suatu

bilangan seperti tersebut di atas maka dapat ditarik benang merah tentang adanya

kerugian konsumen bilangan –dan tentu saja keuntungan ada pada pihak produsen

bilangan tersebut. Untuk itu, agar tercipta gambaran yang lebih jelas perhatikan tabel

berikut.

No. Pada nilai tempat Kerugian konsumen bilangan

( x - y) *

%

1.

2.

3.

Satu

Sepuluh

Seratus

100- 100

101- 101

102 - 102

0

0

0

4.

5.

6.

Seribu

Sepuluh ribu

Seratus ribu

104- 103

105- 104

106- 105

90

90

90

7.

8.

Sejuta

Sepuluh juta

108-106

109– 107

99

99

34

34

Page 35: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

9. Seratus juta 1010-108 99

10.

11.

12.

Seribu juta

Sepuluh ribu juta

Seratus ribu juta

1012- 109

1013- 1010

1014 - 1011

99,9

99,9

99,9

13.

14.

15.

Setriliun

Sepuluh triliun

…..

1016- 1012

1017- 1013

99,99

99,99

* x nilai kualitatif; y nilai kuantitatif

Tabel 9

Berdasarkan tabel di atas, dapat dibuat perbandingan pertidaksamaan antara

nilai tempat suatu bilangan dengan kerugian konsumen bilangan tersebut.

Jika n sebagai nilai tempat suatu bilangan dan t sebagai kerugian

konsumen bilangan itu, maka pada pertidaksamaan :

(10)0 ≤ n ≤ (10)2 maka t = 0 %

(10)3 ≤ n ≤ (10)5 maka t = 90 %

(10)6 ≤ n ≤ (10)8 maka t = 99 %

(10)9 ≤ n ≤ (10)11 maka t = 99,9 %

(10)12 ≤ n ≤ (10)14 maka t = 99,99 %

Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa pada n < 1.000 maka t = 0 %

dan pada n ≥ 1.000 maka t ≥ 90 %. Kerugian itu disebabkan oleh adanya selisih

antara nilai kualitatif dengan nilai kuantitaif suatu bilangan. Dengan kata lain,

semakin besar sebutan nilai tempat sebuah angka pada suatu bilangan akan berakibat

semakin besar pula kerugian yang bakal diderita oleh konsumen bilangan itu, dan ini

dikarenakan hilangnya (?) sebutan nilai tempat untuk bilangan tertentu.

Pada dasarnya, pelurusan penyebutan nilai tempat yang penulis paparkan ini

tidak berpengaruh pada hasil algoritma. Bagi bilangan itu sendiri, hanya berpengaruh

pada perubahan penyebutan (nilai) suatu lambang bilangan. Namun pada skala

makro, dampak dari manuver bilangan akan menyentuh hampir seluruh sendi

kehidupan.

Dalam hal nilai bilangan ada yang perlu diperhatikan!

35

35

Page 36: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Nilai kualitas bilangan adalah parameter untuk mengukur kelayakan

bilangan menempati posisinya dengan dasar perhitungan tertentu. Untuk lebih

jelasnya perhatikan beberapa contoh berikut ini.

Contoh :

1. Dengan memandang seratus (102) sebagai basis bilangan, maka

kualitas seribu akan sama dengan (102)2 bukan (102)x maupun (103);

2. Dengan memandang seribu (103), maka (103)0 akan menempati kualitas

satuan bilangan pertama dan (103)1 menempati kualitas satuan bilangan

kedua. Dengan demikian, keberadaan sepuluh (10) dan seratus (102) hanya

sebagai sisipan;

3. Dengan menggunakan bilangan desimal –dengan basis sepuluh (10)

murni-- maka, kualitas 1 juta = 10 keti = 100 laksa = 1 000 ribuan = 10

000 ratusan = 100 000 puluhan = 1 000 000 satuan

Nilai kuantitas bilangan adalah keberadaan secara hakiki suatu bilangan dan

digambarkan dalam bentuk lambang bilangan.

Sebagai contoh :

1. Secara hakiki yang dimaksud triliun dalam basis seribu (103) adalah

satu dengan dua belas nol di belakangnya.

Sedangkan triliun --selama masa transisi-- dalam basis seratus (102)

adalah satu dengan enam belas nol di belakangnya ;

2. Secara hakiki, seribu adalah satu dengan tiga buah nol di belakangnya

atau 1.000 dalam basis seribu (103).

36

36

Page 37: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Tetapi seribu adalah satu dengan empat buah nol di belakangnya

atau 1 0000 dalam basis seratus (102);

3. Secara hakiki, satu dengan nol sebanyak sekian buah akan tetap

menjadi seperti itu dipandang dari basis sepuluh (10), (102), (103),

maupun basis (10X).

Dengan demikian dapat dipahamkan bahwa kualitas bilangan dapat

dilihat pada pelafalannya sedangkan kuantitas bilangan dapat dilihat pada jumlah

lambang bilangan /gambar deretan lambang bilangannya.

Misalnya :

1. 100 secara kualitas “ia” adalah seratus dan secara kuantitas juga seratus;

2. 1000 secara kualitas menempati posisi seribu, namun secara kuantitas

“ia” baru menempati posisi 10 ratusan;

3. 10000 secara kualitas adalah sepuluh ribu, namun kuantitasnya kurang.

Kuantitas satu dengan empat buah nol adalah seribu.

2.3 Sistem Bilangan Indonesia

Pada dasarnya, seluruh satuan bilangan yang telah dipaparkan di atas hanyalah

merupakan satuan bilangan sementara, artinya hanya dipergunakan selama masa

transisi. Oleh karena itu, tidak perlu dimasyarakatkan, penerapannya hanya di dalam

konteks negara (yang menyangkut hak dan kewajiban negara). Sebab, hal ini

nantinya akan berkaitan dengan posisi keuangan negara selama masa transisi sebagai

yang dimaksud dalam tulisan ini. Jika, dunia pendidikan telah berhasil merumuskan

kaidah pendukung maka bilangan akan menampakkan wujud pertumbuhan aslinya,

seperti yang diharapkan oleh banyak pihak --kembali ke basis (back to basic) awal.

37

37

Page 38: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dari gambaran di atas terlihat bahwa asal-usul bilangan menjadi sangat

serius. Hal ini dikarenakan bilangan harus berbicara dalam konteks kekinian, mundur

ke basis awal --masa pra kolonial, masa kini, masuk ke realita masa transisi, dan

selanjutnya menyongsong masa depan. Sebagai “makhuk” abstrak, bilangan tidak

mungkin dimatikan begitu saja. Dalam kenyataan, laksa dan keti yang telah

dikesampingkan oleh penguasa (?) dan terpinggirkan pula oleh denyut dunia

pendidikan (?) di dalam masyarakat masih hidup dan lestari –lihat wayang purwa.

Oleh karena itu dalam rangka membangun peradaban Matematika Indonesia

yang merdeka dan berdaulat atas dasar pemberian perlakuan yang adil terhadap

bilangan maka laksa dan keti perlu “dipanggil” kembali, begitu pula halnya dengan

miliar. Dengan demikian, saat Indonesia Baru pasca masa transisi Matematika telah

memiliki sembilan buah satuan bilangan ≤ triliun, yaitu satuan, puluhan, ratusan,

ribuan, laksa, keti, juta, miliar, dan triliun, yang jika dipandang dari basis sepuluh

(10) dalam konteks lambang bilangan berkekuatan (10)0, (10)1, (10)2, (10)3, (10)4,

(10)5, (10)6, (10)9, dan (10)12. Adapun satuan bilangan yang > triliun –sepengetahuan

penulis-- belum pernah terdengar dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Sedangkan lambang bilangan yang sudah siap menyandang nama sebagai satuan

bilangan –jika dipandang dari basis sepuluh (10)-- adalah (10)0, (10)1, (10)2, (10)4,

(10)8, dan (10)16.

Sembilan buah satuan bilangan dengan enam buah bilangan sudah tentu tidak

cukup untuk membangun sebuah pemetaan. Oleh karena itu harus ada tiga buah

lambang bilangan baru untuk menggenapinya. Di sisi lain, ternyata, satuan bilangan

milik Indonesia yang masih murni, berjaya, dan belum tercemar oleh pengaruh

“sana” adalah satuan, puluhan, dan ratusan. Mengingat satuan terlalu “suci” untuk

dipermasalahkan dan puluhan merupakan basis awal serta sudah pernah mengabdi

pada pertiwi, maka secara otomatis tinggallah ratusan. Dengan demikian ratusan (102)

menjadi pijakan untuk memetakan semesta bilangan yang berangotakan dua

himpunan sebagai yang dimaksud di atas, yaitu himpunan bilangan dan himpunan

satuan bilangan.

38

38

Page 39: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Perhatikan rumusan berikut :

Pada : a satuan bilangan pertama, dan b satuan bilangan ke dua

Maka a2 = b

Dengan demikian :

1. Jika a = puluhan

Maka b = ratusan , dalam konteks lambang bilangan maka :

(10)2 = (102)

(102) = (10)2 Jadi, seratus = (10)2

2. Pada a = ratusan

Maka b = ribuan, dalam lambang bilangan maka :

(102)2 = (10)4

(10)4 = (104)

Jadi, seribu = (10)4

3. Pada a = ribuan

Maka b = laksa, dalam lambang bilangan maka :

(104)2 = (10)8

(10)8 = (108)

Padahal, pada masa transisi (10)8 telah ditempati oleh jutaan, dengan

demikian posisi jutaan bergeser karena tempatnya telah diisi oleh laksa. Jadi, laksa =

(10)8

4. Pada a = laksa

Maka b = keti, dalam konteks lambang bilangan maka :

(108)2 = (10)16

(10)16 = (1016)

39

39

Page 40: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Padahal, pada masa transisi (10)16 telah ditempati oleh triliun, oleh karena itu posisi

triliun tergeser karena tempatnya telah diisi oleh keti. Jadi, keti = (10)16

5. Pada a = keti

Maka b = jutaan, dalam konteks lambang bilangan akan terlihat :

(1016)2 = (10)32

(10)32 = (1032)

Dengan demikian, (1032) = juta

6. Pada a = jutaan

Maka b = x, dalam konteks lambang bilangan x = (1032)2 = (10)64

Padahal, urutan satuan bilangan setelah jutaan adalah miliar, dan pengertian

miliar telah dibakukan dalam Bahasa Indonesia, miliar berarti seribu juta. Lantas

kalau begitu, di manakah posisi miliar?

Yang jelas, posisi bilangan ini bukan ada pada (10)64 . Oleh karena itu, nama

satuan bilangan untuk (10)64 akan diselesaikan kemudian. Bertolak dari pengertian

miliar yang sudah baku, yaitu miliar = seribu juta, pengertian seribu dalam hal ini

jangan dicampur-aduk dengan pengertian seribu item 2 --sebab ribu dan juta di sini

merupakan dua satuan bilangan yang berurutan, ribuan (103) dan jutaan (103)2--

Maka :

Jika seribu = y maka yang dimaksud juta adalah y2

Dengan demikian, jika y2 = (10)32, maka y = (10)16

Oleh karena itu, dalam konteks lambang bilangan , posisi miliar adalah (10)16

x (10)32 = (10)48 Sedangkan dalam konteks bilangan, pengertian miliar terdapat

perubahan yang mendasar yaitu dari seribu juta menjadi seketi juta --keti dan juta

adalah dua satuan bilangan yang berurutan.

40

40

Page 41: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

7. Di manakah posisi triliun? Triliun berarti million pangkat tiga. Perlu diingat bahwa

dalam konteks bilangan million diartikan juta (Efendi El Hanif, 1997 : 552). Dengan

demikian, dalam konteks lambang bilangan, triliun = (1032)3 atau dengan kata lain

triliun = (10)96 --bandingkan dengan juta (10)6 dan triliun (10)12, manakah yang lebih

konsisten?

Dari sini timbul pertanyaan, jika juta ada pada (10)32 dan triliun ada pada

(10)96, di manakah posisi billiun? Hal ini dapat diselesaikan sebagai berikut :

juta = million = (10)32

billion = (1032)2 = (10)64

Dengan ditemukannya posisi billion ada pada (10)64 maka satuan bilangan

untuk x pada item 6 telah terjawab. Mengingat billion tidak dikenal (?) atau

mungkin tidak biasa dipergunakan di Indonesia, sekalipun sudah dianjurkan, maka

pada (10)64 --atas saran seorang saudara tua yang sangat penulis hormati-- dinobatkan

satuan bilangan baru, yaitu NOTO.

Jadi, satuan bilangan biliun tetap tidak dipergunakan. Perlu diketahui, noto

berarti raja. Noto juga berarti menata –segala sesuatu yang memang layak untuk

ditata. Dalam hal ini, noto berarti menata sistem bilangan Indonesia secara adil dan

proporsional. Dengan dua alasan tersebut kepada (10)64 penulis memberi nama noto

yang berarti : Raja yang akan menata dengan Adil.

Masalahnya, di atas noto masih ada satuan bilangan yang lebih tinggi yaitu

triliun (10)96 yang merupakan warisan kegelapan (bayang-bayang barat yang

kolonial). Oleh karena itu, untuk menghapusnya, maka pada (1064)2 dimunculkan

satuan bilangan baru, Indonesia --mudah-mudahan bangsa ini sepakat dengan penulis.

Dengan kata lain, maka : 1 Indonesia = (10)128. Hal ini mengandung harapan,

semoga negara tercinta ini mampu berjaya dan lestari sampai tahun ke –10128 yang

akan datang. Di samping itu untuk menunjukkan bahwa sistem bilangan Indonesia

adalah sebuah sistem mengenal batas kekuasaannya.

41

41

Page 42: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dengan demikian asal –usul bilangan dapat dikelompokkan berdasarkan

periode kelahiran satuan bilangan tersebut. Setiap satuan bilangan akan memengaruhi

satuan bilangan berikutnya sebab pada dasarnya secara keseluruhan satuan-satuan

bilangan tersebut adalah sebuah sistem bilangan. Oleh karena itu, kelahiran sebuah

satuan bilangan tidak selayaknya mematikan satuan bilangan yang lain. Bukankah

dengan mematikan berarti merusak sebuah sistem? Dengan demikian,

pengelompokan satuan bilangan akan terlihat sebagai berikut:

Pada

bilangan

Satuan bilangan I II III IV

a

b

c

d

e

f

g

h

i

j

k

Satuan

Puluhan

Ratusan

Ribuan

Laksa

Keti

Juta

Miliar

Triliun

Noto

Indonesia

a

ba

bb

bc

bd

be

bf

a

ba

bb

bc

-

-

dd

dg

gg

a

ba

bb

cc

-

-

dd

-

gg

a

ba

bb

cc

dd

ee

ff

fg

ggg

gg

jj

Tabel 10

Keterangan :

I Sistem bilangan Indonesia pada masa feodal

II Sistem bilangan Indonesia pada masa republik

III Sistem bilangan Indonesia pada masa transisi

IV Sistem bilangan Indonesia Merdeka /Indonesia Raya

Dengan demikian, sistem bilangan Indonesia mempunyai 11 buah satuan

bilangan, yaitu :

42

42

Page 43: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

1. 7 buah satuan bilangan berasal leluhur bangsa Indonesia dari masa feodal

(satuan, puluhan, ratusan, ribuan, laksa, keti, dan juta)

2. 2 buah berasal dari masa kegelapan --peradaban-- Indonesia saat di

bawah kekuasaan kolonial (miliar dan triliun), masa republik

3. 2 buah merupakan hasil asimilasi antara budaya asli Indonesia dengan

budaya yang ditanamkan oleh kaum kolonial penjajah pada bangsa ini

(Noto dan Indonesia).

Pembaca yang budiman, ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam sistem

bilangan Indonesia sebagai yang penulis paparkan di atas yaitu :

Pertama, cara memandang miliar dan triliun. Dalam peri-”kebangsaan”

bilangan, keduanya adalah warga bilangan Indonesia keturunan asing. Oleh karena

itu --dalam konteks kekinian dan hari esok-- harga miliar dan triliun jauh lebih

tinggi daripada di negeri asal mereka. Bahwa harga miliar di atas harga juta, itu

wajar, sebab saat diperkenalkan ke bumi Indonesia memang miliar lebih mahal

daripada juta. Beruntung kekuatan miliar dibendung oleh noto sehingga miliar dan

triliun tidak dapat mendominasi sistem bilangan desimal, lebih-lebih dengan

dimunculkannya satuan bilangan tertinggi di Indonesia, indonesia, maka triliun --

meskipun besar di di hadapan noto-- menjadi kecil di mata indonesia.

Kedua, dalam hal satuan nilai tempat bilangan dibedakan menjadi dua

macam, yaitu :

a. Satuan nilai tempat bilangan antara satuan sampai dengan noto

Kelompok ini terdiri dari satuan, puluhan, ratusan, ribuan, laksa, keti, juta,

dan miliar. Pada kelompok ini, tehnik yang diterapkan seperti pada lazimnya

perlakuan yang diberikan pada bilangan –sesuai dengan basis bilangan yang

digunakan.

Misalnya :

1558 dibaca limabelas ratus limapuluh delapan

12 3456 dibaca duabelas ribu tigapuluh empatratus limapuluh enam

43

43

Page 44: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

575 8923 7561 dibaca dibaca limaratus tujuhpuluh limalaksa delapanpuluh

sembilanratus duapuluh tigaribu tujuhpuluh limaratus enampuluh satu.

Dalam hal membaca terasa sulit, namun itulah harga yang harus dibayar untuk

sebuah kebenaran bilangan --bukan kebetulan bilangan.

b. Satuan nilai tempat antara noto dan Indonesia tidak diterapkan aturanseperti

aturan yang berlaku antara satuan sampai dengan noto. Dalam hal ini,

antara noto dan Indonesia dipisahkan oleh triliun.

Dengan demikian, ada dua kelompok satuan nilai tempat bilangan, yaitu :

1. Satuan nilai tempat bilangan antara noto dengan triliun

2. Satuan nilai tempat bilangan antara triliun dengan Indonesia

Pada 1 , dalam hal ini, satuan nilai tempat yang dipergunakan mengunakan

satuan bilangan yang menyangkut aspek madani atau yang dipandang sebagai bagian

dari aspek itu atau pendukung dari aspek tersebut yang perlu dan /harus ditata oleh

penguasa di negeri ini. Amburadulnya aspek madani akan berakibat pada kekalahan

madani bangsa ini terhadap bangsa lain, dan muaranya adalah rasa rendah diri sebagai

bangsa. Keadaan ini sangat berbahaya, terlebih jika menimpa “pemimpin bangsa”.

Sedangkan pada 2, satuan nilai tempat yang dipergunakan adalah satuan

bilangan yang menyangkut aspek tsaqofi. Ambruknya aspek ini akan membawa

bangsa ini ke arah hilangnya jati diri sebagai bangsa dan keberadaannya menjadi tak

lebih dari bak buih di lautan.

Kedua aspek tersebut sangat diperlukan untuk membangun peradaban

Indonesia seutuhnya, bukankah peradaban suatu bangsa akan bertahan jika di antara

ke dua aspek tersebut saling menunjang?

Ketiga, sistem bilangan Indonesia sebagai yang terurai di atas merupakan

sebuah sistem yang baku. Maka dari itu, sebagai sebuah sistem, keberadaannya akan

44

44

Page 45: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

mempengaruhi sistem yang lain. Ini berarti, perbedaan yang memang merupakan

sebuah perbedaan asal-usul mengharuskan timbulnya perbedaan dalam memberikan

perlakuan.

Dalam hal ini, Perlakuan berbeda terhadap satuan nilai tempat bilangan yang

digunakan di atas noto disebabkan oleh dua hal, yaitu:

a. Meskipun teknik pemunculan satuan bilangan yang digunakan sama --antara

satuan sampai dengan Indonesia-- namun dalam teknik pemunculan satuan

nilai tempat berbeda. Hal ini dimaksudkan agar seratus (102) --kita-- tidak

lupa kepada sepuluh (10) --asal-usul kita. Ingat, --pangkat-- noto berada tepat

di tengah antara satu (10)0 dan Indonesia (10)128. Bukankah sangat tidak etis,

jika sampai terjadi kacang lupa kepada kulitnya? Oleh karena itu,

pemunculan satuan nilai tempat antara noto sampai dengan triliun

menggunakan pola deret hitung dengan basis seribu (104).

b. Noto merupakan satuan bilangan yang sudah sangat besar dan –mungkin--

baru akan dipergunakan beberapa abad yang akan datang, atau bahkan

mungkin tidak pernah digunakan karena “kebesarannya”. Namun, pada saat

penguasa (pemegang kedaulatan rakyat) menata suatu masalah –misalnya

noto negara--maka disitu terdapat beban moral yang harus disandang senilai

(10)68. Dengan demikian diharapkan mereka lebih arif dan bijaksana sebab

yang dipertanggungjawabkan bukan hanya 1 keputusan /ketetapan

/kebijaksanaan melainkan 1 dengan 0 sebanyak enam puluh delapan buah peri

kehidupan bernegara. Kesalahan mereka dalam mengendalikan arah kemudi

biduk yang bernama negara ini senilai dengan 1 noto negara, begitu pula

sebaliknya.

Oleh karena itu, dalam sistem bilangan Indonesia, jika dilihat dari basis

sepuluh, antara satuan sampai dengan noto akan terlihat sebagai berikut :

(10)0 = satu

(10)1 = sepuluh

45

45

Page 46: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

(10)2 = seratus

(10)4 = seribu

(10)8 = selaksa

(10)16 = seketi

(10)32 = sejuta

(10)48 = miliar

Sedangkan satuan nilai tempat antara noto sampai dengan indonesia akan terlihat

sebagai berikut –jika dilihat dari basis sepuluh :

(10)64 = noto

(10)68 = noto negara

(10)72 = noto nusa

(10)76 = noto lahan kehidupan

(10)80 = noto bahasa

(10)84 = noto bilangan

(10)88 = noto tarikh

(10)92 = noto uang

(10)96 = triliun

(10)100 = noto agama

(10)104 = noto ilmu

(10)108 = noto pendidikan

(10)112 = noto adil

(10)116 = noto bangsa

(10)120 = noto penguasa

(10)124 = noto bela negara

(10)128 = Indonesia

Yang jelas, setiap satu satuan bilangan besar sebagai termaktub di atas akan

membawahi (mengatur) sepuluh macam hal yang harus ditata, dan setiap sepuluh hal

tersebut akan dijabarkan lagi masing-masing menjadi sepuluh, begitu seterusnya,

46

46

Page 47: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

sampai ranting terakhir, kelak pada ranting ke se-Indonesia (10)128. Dengan demikian,

setiap noto induk akan menata sepuluh noto anaknya.

Sebenarnya, sepuluh sebagai yang dimaksud di atas bukanlah angka mati,

sebab pada masalah tertentu bisa jadi kurang dari sepuluh dan pada masalah yang lain

bisa jadi lebih dari sepuluh. Yang jelas, semua harus melihat kondisi riil bangsa ini.

2.4 Revolusi Bilangan

Hal terakhir yang perlu dibahas dalam bab ini adalah kapan satuan bilangan

Indonesia ini dapat diterapkan? Sebenarnya, menentukan waktu merupakan masalah

yang kesekian. Ada hal lain yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

Pertama, yaitu pengakuan pakar –bilangan-- Matematika bahwa penerapan

seribu (103) sebagai basis bilangan di Indonesia –lah yang menjadi sumber petaka di

negara ini, dan ini ditandai dengan adanya lompatan penerapan satuan bilangan

desimal dari basis sepuluh (10) ke basis seribu (103) dengan menafikan keberadaan

basis seratus (102). Ini merupakan kesalahan sejarah -- bilangan-- Matematika di

Indonesia. Mereka terlalu maju. Bukankah terlalu maju juga tidak baik?

Kedua, sekalipun yang berhadapan dengan murid adalah guru, kesalahan

bukan ada pada kelompok ini. Sekali lagi, guru hanyalah perenang, bukan penyelam!

Bukan pada mereka otoritas menentukan kebenaran suatu ilmu. Oleh karena itu,

menurut penulis, hanya ada satu solusi, mundur --dari basis seribu (103) ke basis

seratus (102).

Masalahnya, beranikah “penyelam” mengakui kesalahan itu dan sepakat

dengan revolusi bilangan yang penulis paparkan, itu masalah lain. Atau paling tidak

Matematika –sebagai ratunya ilmu-- mampu menelorkan konsep baru yang lebih baik

dan benar daripada konsep basis seribu (103) yang nyata-nyata telah membawa

bangsa ini ke jurang krisis ekonomi yang nyaris tak bertepi, sehingga semua krisis

yang menyertai krisis ekonomi pun dapat teratasi. Wallahualam.

47

47

Page 48: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Kalau pembaca perhatikan, pada uraian di atas terdapat dua buah sistem

bilangan yaitu sistem bilangan Indonesia pada masa transisi dan sistem bilangan

Indonesia. Meskipun keduanya berpola desimal basis seratus (102), keduanya

memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut sangat terlihat pada saat pemuculan satuan

nilai tempat bilangan.

Perhatikan perbedaan mendasar antara keduanya :

Sistem bilangan Indonesia pada masa transisi adalah sistem bilangan yang

digunakan di Indonesia selama masa transisi (peralihan), artinya sistem bilangan

tersebut hanya bersifat sementara. Dengan demikian jangka waktunya terbatas,

sifatnya peralihan, dan --jauh-- lebih konsisten daripada sistem desimal pola basis

seribu (103) fersi Indonesia selama ini. Mengingat waktunya terbatas, maka

perubahan tersebut tidak perlu terlalu dimunculkan ke permukaan, artinya

perubahan cara memandang terhadap bilangan baru terjadi pada level pengawal

bilangan (baca : pakar dan guru).

Mereka tidak harus menghafal sistem bilangan untuk masa transisi tersebut,

malah sistem bakulah –sistem bilangan Indonesia-- yang seharusnya mereka pahami.

Mereka perlu mengolah filosofi bilangan --sebagai contoh, bilangan (10)64 sudah

tepatkah dinobatkan sebagai Noto, implementasi bilangan dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara --sebagai contoh, apa hubungan antara (n)0 , (n)1, dengan

(n)2 di mana n adalah basis bilangan. Apa hubungan antara 0, 1, dan 2-- dalam

menata bangsa, menata negara, menata penguasa, menata peradaban, dan sebagainya

agar negara ini dapat “subur makmur loh jinawi, toto tentrem tur raharjo”

Karena sifatnya yang sementara maka reformasi bilangan (2.2)

mengisyaratkan bahwa adanya jeda antara pengakuan kekeliruan membilang, dari

pakar bilangan --bahwa pengakuan kekeliruan tersebut tidak perlu diformalkan

dalam bentuk pernyataan itu lebih baik (?). Bagi penulis tidak menjadi masalah.

48

48

Page 49: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Kita sudah sama-sama tahu. Siapa biang keladinya dan apa sebenarnya tujuan

mereka-- sampai dengan start masa transisi, dan juga mengisyaratkan adanya batas

akhir (finish) dari sistem bilangan ini.

Menurut penulis waktu yang ideal untuk masa transisi ini adalah sembilan

tahun. Hal ini didasarkan pada Wajib Belajar 9 tahun. Sebab, bagaimanapun kecilnya,

adanya perubahan pada sebuah sistem akan mempengaruhi sistem lain, dan itu butuh

waktu panjang. Dan, itu perlu belajar. Mulai dari mengkaji ulang, menyusun konsep,

mendiskusikan, seminar, lokakarya, dan sebagainya.

Masalahnya, siapakah yang paling berhak menentukan saat start dan saat

finish dari masa transisi? Menurut penulis, hanya MPR sebagai pemegang kedaulatan

rakyatlah yang paling berhak menentukannya, sebab dengan berakhirnya masa

transisi maka kondisi –segalanya-- akan bergeser sembilan puluh derajat dari tempat

semula. Hal ini dikarenakan, dengan mereformasi bilangan akan banyak sekali

perubahan mendasar yang terjadi di negara ini. Pertanyaan berikutnya, maukah MPR?

Nah, di situlah letak masalahnya. Sekalipun para pakar sepakat, misalnya, apalah arti

kesepakatan mereka. Bukan di tangan para pakar letak kedaulatan rakyat berada, tapi

sekali lagi di tangan MPR .

Sistem bilangan Indonesia adalah sistem bilangan desimal dengan

memandang seratus(102) sebagai basis bilangan yang pada paruh pertama

lambang bilangannya bersifat konkrit sedangkan pada paruh kedua bersifat

abstrak. Pada bilangan yang abstrak tersebut terkandung aspek madani dan

tsaqofi yang akan dibangun /dicita-citakan bangsa ini dalam rangka

merealisasikan amanah Allah, Tuhan Yang Maha Esa di muka bumi.

Saat masa transisi memasuki finish, semua konsep tentang ke –Indonesiaan

yang baku dan didambakan telah terwujud. Sementara itu, penopang konsep pun telah

terbentuk (dalam arti sudah tersusun). Jadi, konsep baku dan penopang sudah benar-

benar siap berangkat. Dan, tibalah giliran sistem bilangan Indonesia masa transisi

ditinggalkan. Bersamaan dengan itu terjadi Revolusi Bilangan, sehingga bilangan

Indonesia sudah benar-benar konsisten dan baku.

49

49

Page 50: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dengan berlakunya sistem tersebut maka akan terlihat siapa sebenarnya

penguasa bilangan dan siapa penguasa lambang bilangan, siapa yang mendominasi

langit atas dan siapa yang mendominasi langit bawah. Bilangan sebagai “makhluk”

abstrak kembali dikuasai oleh yang abstrak (baca : negara sebagai produsen)

sementara lambang bilangan sebagai “makhluk” konkrit kembali dikuasai oleh yang

konkrit (baca : rakyat sebagai konsumen).

Dari situ dapat difahamkan bahwa :

Pertama, Indonesia dalam hal bilangan sudah memiliki sistem bilangan

sendiri. Itu sebagai pertanda satu pilar penopang hegemoni barat tumbang. Satu lagi

madani kita sebagai bangsa telah merdeka.

Kedua, hak negara pada saat memasuki babak baru Indonesia ada pada

bilangannya, sehingga seandainya saat itu kekayaan negara hanya Rp 1 triliun, pada

masa transisi – (10)16-- maka sebenarnya kekayaan negara terangkat menjadi Rp

1096 ,00 dan itu dipandang sebagai modal awal. Dari sini terlihat kebenaran teori

bahwa bilangan adalah abstrak, baik saat murni sebagai bilangan maupun saat berada

pada pusaran uang.

Adapun hak yang diterima negara sesudah itu serta kewajiban negara yang

timbul karena hak tersebut dihitung berdasarkan lambang bilangan yang harus

ditunaikan sesuai rencana penguasa negara untuk masalah tersebut. Sementara

itu, hak dan kewajiban rakyat ada pada lambang bilangan yang dipegangnya

selama masa transisi, bukan pada bilangannya.

Masa transisi sebagai yang dimaksud dalam tulisan ini adalah saat dimulainya

perubahan dan diawali dari bilangan –dan itu harus dimulai dari dunia pendidikan--

serta dilanjutkan ke bidang-bidang lain untuk masa yang telah ditentukan. Menurut

penulis, masa transisi yang diperlukan –sekali lagi-- adalah sembilan tahun. Tanpa

adanya batasan, kapan start dan kapan finish dari masa transisi maka akan berakibat

tidak kunjung selesainya sebuah reformasi –hal yang baku. Oleh karena itu, semakin

cepat datangnya masa transisi akan semakin cepat pula kesembuhan negara ini dari

krisis multidimensi yang menderanya, begitu pula sebaliknya. Sebagai catatan

50

50

Page 51: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

terakhir, selama masa transisi, semua lembaga tinggi negara beserta seluruh

perangkatnya mau-tidak mau, suka atau tidak suka, harus dalam posisi domisioner -

mundur ke situasi Proklamasi, 17 Agustus 1945.

Diharapkan, semua orang meletakkan kepentingan pribadinya, kelompoknya,

golongannya, maupun yang senafas dengan itu. Artinya, tidak berulah macam-

macam, tidak menoleh ke kiri, juga tidak menoleh ke kanan. Mata memandang lurus

ke depan. Saat itu MPR bekerja keras menata negara tercinta.

Kegagalan dalam menyusun konsep baru selama masa transisi yang lebih adil

bagi semua pihak --termasuk dalam hal bilangan-- adalah pertanda “negara ini

belum merdeka secara hakiki” dan itu berarti kaki tangan kaum kolonial masih

bergentayangan! Itu menunjukkan, kemerdekaan yang diperoleh dengan harta, air

mata, dan darah oleh para pendahulu ternyata masih berkisar pada kemerdekaan fisik

Indonesia belaka, sementara jiwa Indonesia masih tergadai di sana!

51

51

Page 52: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

BAB III

MANUVER BILANGAN

DALAM MENATA KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

“Reformasi” telah bergulir sekian tahun yang lalu. Angin perubahan ke arah

yang lebih baik dan benar pun ditunggu oeh seluruh rakyat Indonesia, atau paling

tidak sebagian besar penghuni negara ini. Keadaan yang lebih baik dari sebelum

reformasi dalam segala bidang akan lebih bernilai jika diikuti oleh kebenaran dan

keadilan.

Tentu saja, kebenaran dan keadilan tersebut bukan atas ukuran orang-perorang

atau kelompok-perkelompok. Namun kebenaran yang hakiki, kebenaran yang

memang seharusnya benar karena kebenaran bersifat universal, berdasarkan bukti-

bukti atau paling tidak berdasarkan kenyataan yang dapat dilihat, atau keadaan yang

dapat dirasakan. Jadi, bukan kebenaran yang dipaksakan pun bukan pula adil bagi

yang kuat namun sebaliknya bagi yang lemah.

Reformasi bilangan seperti yang terurai pada bab terdahulu akan dapat

berjalan dengan baik, sepanjang tidak dicemari oleh tangan-tangan kotor dan rakus.

Apalagi, dengan memperhatikan kerugian konsumen bilangan yang prosentasenya

sangat fantastis itu maka adalah hal yang sangat wajar jika Indonesia dari segi

ekonomi dilanda krisis keuangan yang hebat, hutang luar negara makin besar,

pengangguran dari waktu ke waktu terus bertambah, tindak kejahatan menjadi berita

sehari-hari, dan jurang antara si miskin dan si kaya makin menganga lebar. Semua

terjadi di depan mata, di sekitar kita.

Dengan demikian, tanpa larinya investor ke luar negeri, tanpa KKN, tanpa

buruknya kinerja pemerintah (?), tanpa tumpulnya hukum terhadap yang kuat dan

memegang kendali kekuasaan –pun Indonesia akan gulung tikar dan selanjutnya

perekonomian akan ambruk dengan sendirinya. Di sisi lain, krisis multi dimensi pun

akan terjadi sebab bagaimanapun juga masalah keuangan dan semua masalah di

52

52

Page 53: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

negara ini berkait erat dengan bilangan, baik langsung maupun tidak langsung.

Hanya masalah waktu, cepat atau lambat, semua pasti terjadi!

Dalam hal ini, dapat dilihat pada penyebab bubarnya VOC pada 31 Desember

1799. Satu hal yang tidak pernah diungkap, sistem bilangan yang digunakan

pemerintah kerajaan Belanda dan sistem bilangan VOC pasti sama. Tetapi, nilai

mata uang kerajaan Belanda dengan mata uang VOC, apakah sama? Mereka yang

sama-sama orang “sana” saja, pada akhirnya bangkrut, apalagi …. Oleh karena itu,

dibutuhkan sebuah keberanian dan kemauan bersama membangun terobosan baru

untuk menyeimbangkan adanya perbedaan tersebut.

3.1 Noto Lahan Kehidupan (10)76

Jika sistem bilangan Indonesia –sebagai hasil pelurusan sistem bilangan

Hindu Arab-- yang penulis paparkan di atas dapat “tumbuh” di Indonesia, maka

dengan sendirinya pecahan uang seribu, lima ribu, sepuluh ribu, dua puluh ribu, lima

puluh ribu, dan seratus ribu perlu direvisi –direvisi bilangannya. Langkah tersebut

baru merupakan langkah awal perbaikan keuangan /perekonomian Indonesia. Dengan

demikian, masih ada langkah lain yang lebih bersifat praktis /ekonomis –dalam hal ini

pembahasan lebih tepat jika diungkap oleh para ekonom-- yaitu pada masa transisi

digunakan rumusan :

Seluruh keuangan yang menjadi hak negara serta kewajiban negara yang

timbul karena hak tersebut dihitung berdasarkan bilangannya (pelafalan

/pengucapan nominalnya), sedangkan realita uang yang beredar dihitung

berdasarkan pada lambang bilangan (jumlah nominal ) uang tersebut.

Contoh selengkapnya tentang teknik penerapan sistem bilangan Indonesia

pada masa transisi dapat dilihat pada lampiran tersendiri. (lampiran 1)

Dari sini timbul pertanyaan, mengapa ada perbedaan perlakuan terhadap uang

negara dan terhadap uang yang beredar di masyarakat. Mengapa tidak diperlakukan

sama, atau sederet pertanyaan lain. Untuk itu, kita perlu mundur beberapa langkah.

53

53

Page 54: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Adanya lompatan penggunaan basis bilangan –dari basis sepuluh (10) ke basis seribu

(103)-- sudah pasti bukan tindakan gegabah. Mereka telah memperhitungkan dengan

sangat cermat dan teliti. Dalam hal ini, watak kolonial sangat kental mewarnai , tentu

saja dalam upaya menguasai dunia, penetrasi ekonomi, dan dominasi budaya. Satu di

antara perilakunya adalah pengerukan sumber daya alam di dunia ketiga.

Perlu diingat kekuasaan kaum kolonial bukan hanya bertumpu pada kekuatan

--militer-- saja. Namun juga pada seluruh sistem yang mereka bangun. Ada sistem

yang berupa sistem pertahanan, sistem pendidikan, sistem pemerintahan, sistem

ekonomi, dan lain-lain maupun sistem pola pikir yang berupa teori seperti yang

diterapkan pada bahasa (baca : linguistik), tulisan (aksara), dan hitungan (bilangan).

dari semua sistem tersebut, sistem pola pikirlah yang paling berbahaya, sebab

padanya tersimpan kekuatan untuk menguasai bangsa lain tanpa harus melakukan

sebuah penjajahan primitif seperti yang dilakukan pendahulu mereka, bak jala sutra.

Jika salah satu sistem mereka mengalami penonjolan, maka tak pelak lagi,

ekspansi merupakan jalan keluarnya. Mereka akan membangun koloni baru, dan tentu

saja, dengan membawa serta seluruh sistem yang lain, baik secara terang-terangan

maupun secara terselubung. Daerah koloni pun secara perlahan menjelma menjadi

daerah jajahan, baik dalam arti madani maupun tsaqofi. Penduduknya menjadi --

sekedar-- pelaksana. Mereka tidak lagi memiliki otoritas dalam menyusun konsep,

apalagi dalam menentukan langkah maju. Atau bisa jadi, mereka akan meragukan

kemampuan bangsa sendiri, memandang rendah produk bangsa sendiri. Dengan kata

lain, menjadi bangsa robot yang selalu patuh kepada tuannya.

Semangat nasionalis para pendahulu negara ini berhasil memporak-

porandakan kekuatan militer mereka, dan ini telah dibuktikan dengan Proklamsi 17

Agustus 1945. Jadi, secara fisik, kita telah merdeka. Secara madani, kita telah

merdeka. Militer mereka telah enyah dari bumi Pertiwi. Dalam hal ini, sebagai

catatan penting, Bahasa Indonesia sudah merdeka jauh lebih dahulu –sebelum di-

formalkan dalam Undang Undang Dasar 1945-- yaitu dengan adanya pengakuan

54

54

Page 55: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

“Menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia” dalam peristiwa bersejarah

Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928

Namun di sisi lain, dalam usianya yang ke sekian puluh tahun sejak

proklamasi, jiwa bangsa ini masih terbelenggu oleh sisa sistem warisan mereka. Lihat

saja, tulisan yang anda baca ini, apakah menggunakan huruf produk Indonesia?

Sistem bilangan yang kita pakai, apakah produk Indonesia? Padahal, dengan

menggunakan huruf mereka, bangsa ini akan bergantung pada produk teknologi

mereka. Lihat saja mesin ketik dan komputer, bukankah itu produk sana? Belum

mampukah kita memproduksinya? Bukankah, kita memiliki ribuan sarjana teknik,

sarjana elektro, dan entah sarjana apa lagi? Yang setiap tahun selalu bertambah, dan

terus bertambah. Ke manakah gerangan para sarjana teknik kita pergi? Lantas

apakah arti semua itu? Bisa jadi para pembaca menjawab, kita belum mampu

memproduksinya. Jika betul demikian, bagus. Jujur mengakui kekurangan. Jadi,

lulusan sarjana kita masih, Ah …? Atau malah mungkin sudah bisa, tapi ….

Dengan itu, bukankah berarti, kita harus membayar lisensi atau royalti untuk

mereka? Atau, tidakkah sebenarnya kita sadar bahwa negara ini hanya dijadikan pasar

dari semua produk mereka? Padahal, seandainya mau, bukankah sudah ada

kemampuan untuk itu? Dan pada gilirannya nanti, modal yang kita punya tidak akan

lari ke sana? Ini hanyalah sebuah contoh kecil dari masih tergantungnya bangsa ini

pada kaum kolonial, termasuk penulis tentunya.

Oleh karena itu, melanjutkan sistem yang mereka buat sama artinya dengan

semakin membenamkan diri dalam cengkeraman mereka. Begitu pula dengan

menjiplak atau memodifikasi sistem baru yang mereka buat akan sama artinya dengan

melepaskan diri dari cengkeraman induk dan masuk ke dalam cengkeraman

kloningnya, yang lebih rakus dan jahat. Dengan demikian, untuk melepaskan diri

bangsa ini dari belenggu kolonialis modern dengan dua anak kembarnya yaitu

komunis dan kapitalis-- hanya ada satu kata kunci, meninggalkan sistem mereka.

55

55

Page 56: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

“Anda sendiri kan tahu, bahwa orang-orang yang memegang kendali dunia (selalu) berusaha

menggunakan penemuan ilmiah untuk memperbaiki kebobrokan dan kehancuran, dalam

kepentingan (memperbaiki) pengaruh cengkeraman terhadap bangsa lain, bahkan sampai pada

kasus-kasus pengalaman administrasi dan teori-teori administrasi itu sendiri, dari satu sisi,

diarahkan untuk kepentingan bangsa tertentu dan di sisi lain untuk untuk menguasai

kepentingan-kepentingan bangsa lain, bahkan kejadian psikologis pun dipergunakan untuk

menaklukkan bangsa-bangsa tertentu kepada bangsa-bangsa lain”

(Sa’id Hawwa, 1989 : 98)

Kegamangan untuk meninggalkan sistem buatan mereka, akan selalu mereka

manfaatkan dengan menawarkan bungkus-bungkus kemajuan madani mereka.

“Kebaikan” hati mereka bermuara pada satu tujuan, kita semakin masuk dalam

bayang-bayang mereka. Itu artinya, negara ini makin terpuruk.

Pada saat itu, tanpa kita sadari, seluruh sumber daya yang kita miliki mereka

keruk, mereka angkut, dan mereka habiskan untuk memenuhi nafsu rakus mereka

akan dunia. Bukankah, mereka memang menjadikan dunia sebagai tujuan? Lantas,

apa yang tersisa ? Sampah teknologi mereka? Ataukah tumpukan uang mereka yang

terbuat dari helai-helai kertas, bukan? Sebegitu berhargakah uang mereka, sampai-

sampai kekayaan alam untuk anak cucu pun kita habiskan. Di mana nurani kita

sebagai bangsa? Padahal, apakah uang itu?“Uang adalah kertas, emas, perak atau logam lain yang dicetak dengan bentuk dan gambar

tertentu, dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara sebagai alat penukar atau standar

pengukur nilai (kesatuan hitungan) yang sah”

(Kamus Besar bahasa Indonesia, 1990 : 979)

Dengan memperhatikan pengertian uang sebagai yang termaktub di atas maka

tak pelak lagi antara uang dan bilangan tidak dapat dipisahkan. Bahkan fungsi awal

tersebut telah berkembang seiring dengan tingkat kemajuan suatu bangsa. Hal ini

dikarenakan adanya sirkulasi uang dalam kegiatan ekonomi. Pada tingkat ini, seperti

yang diungkap oleh M. Manulang, “uang memiliki fungsi sebagai alat penukar, alat pengukur nilai, dan alat penimbun

kekayaan”

(Setijawan, 1987: 15)

56

56

Page 57: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Adanya pembatasan fungsi tersebut ternyata belum mencukupi. Dalam hal ini dapat

dapat dilihat pada kejadian di sekitar kita.

Dengan uang, seseoramg dapat memperoleh lahan yang dengan lahan itu yang

bersangkutan dapat memenuhi hajat hidupnya. Padahal, lahan kehidupan pada saat ini

bukan hanyan berarti lahan dalam arti sesungguhnya, namun sudah bergeser. Lahan

kehidupan sudah bisa berarti status –dengan NIP /NRP, pangkat, bahkan suatu

jabatan. Dengan statusnya, dengan pangkatnya, begitu pula dengan jabatan yang

disandangnya, uangnya pun bertambah.

Sepanjang uang dipergunakan untuk membeli lahan kehidupan dalam arti

sesungguhnya, misalnya berupa lahan pertanian atau seperangkat alat produksi, yang

karena semua itu terjadi di luar sistem birokrasi maka tidak akan menimbulkan

masalah. Namun, pada saat uang tersebut sudah digunakan untuk “membeli” lahan

kehidupan dalam arti yang kedua maka akan terjadi isu-isu tak sedap. Oleh karena itu,

isu money politic setiap ada pemilihan pejabat publik –mulai dari kepala desa hingga

gubernur-- dapat dijadikan bukti bahwa dengan uang, jabatan dapat dibeli, apalagi

hanya pangkat dan status. Memang, semua itu hanya isu. Siapa pembeli dan siapa

pula penjualnya juga tidak jelas. Oleh karena itu, biarlah semuanya menjadi rahasia

umum, tidak perlu menjadi rahasia negara.

Sungguhpun demikian, sikap realistis, obyektif dan sudi membeningkan hati

dalam menilai masalah ini sangat diperlukan. Peluang “ya atau tidak” adanya politik

uang adalah satu banding satu. Dalam kondisi tertentu, semua bisa saja terjadi. Juga

dalam kondisi tertentu, semua tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, perangkat

penangkalnya pun perlu segera dipersiapkan sejak dini.

Menurut penulis, persolan tersebut sebenarnya berpulang kepada nurani

bangsa, bukan orang-perorang. Dalam hal ini, penulis tidak sependapat jika masalah

tersebut ditimpakan sepenuhnya kepada oknum pelaku. Hal ini dikarenakan adanya

situasi yang mendukung terjadinya penyelewengan dan di samping itu adanya pihak

lain yang diuntungkan dengan situasi seperti itu.

57

57

Page 58: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dengan kata lain, dalam masalah tersebut lembagalah yang harus

mempertanggungjawabkannya. Bukankah oknum bisa datang dan pergi sesuai dengan

tuntutan keadaan? Masalah pada gilirannya nanti lembaga minta pertanggungjawaban

kepada oknum pelaku penyelewengan, itu masalah lain, dan memang begitulah

seharusnya.

Dengan demikian, adanya kesempatan untuk melakukan penyimpangan yang

mengakibatkan semakin lebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin

sebenarnya berawal dari pola pembagian lahan kehidupan yang tidak jelas. Lahan

kehidupan haruslah dibagi secara adil agar tidak menimbulkan masalah. Pembagian

yang adil tentu saja bukan dilihat pada saat ini, melainkan harus mundur ke saat

negara ini baru lahir. Dengan begitu akan dapat diketahui di mana sebenarnya posisi

seseorang dalam mencari lahan kehidupannya.

Perhatikan, pembagian lahan kehidupan untuk rakyat negara ini saat start awal

Proklamasi, 17 Agustus 1945 berikut ini :

Tabel 11

Keterangan :

Komponen I : Komponen di dalam birokrasi (baca : rakyat birokrasi)

Komponen II : Komponen di luar birokrasi (baca : rakyat murni)

58

58

1 2

AA Aa aA aa X bb bB Bb BB

Posisi lemah, fasilitas lemah

Posisi lemah, fasilitas kuat

Posisi kuat, fasilitas lemah

Posisi kuat, fasilitas kuat

Page 59: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dalam hal pekerjaan, mereka telah memilih. Dalam hal tempat untuk

dapatnya memenuhi kebutuhan,mereka telah memilih. Bahwa demokrasi,

pemerintahan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mereka

laksanakan. Gen murni telah tersusun. Siapa di dalam --struktur birokrasi-- dan siapa

di luar –struktur birokrasi-- telah mereka tentukan, tanpa ada paksaan dari siapapun,

dan dari manapun. Mereka telah memilih berdasarkan panggilan jiwanya.

Oleh karena itu, jika pada akhirnya keturunan mereka sampai memperebutkan

kembali lahan kehidupan yang telah mereka bangun, sungguh merupakan sebuah

pengingkaran sejarah. Memang, di dalam memperebutkan lahan kehidupan tidaklah

seperti pelelangan ikan ….“Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dari mana didapatnya belanja buat hidup,

harus ditetapkan oleh Rakyat itu sendiri, dengan perantaraan Dewan Perwakilannya. Rakyat

menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya”.

(Penjelasan pasal 23, Undang-Undang Dasar 1945)

Perhatikan :“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan”.

(Pasal 27, Undang-Undang Dasar 1945)

Seiring dengan perjalanan waktu, generasi pertama negara ini mulai

mengakhiri pengabdiannya pada Pertiwi. Satu persatu, mereka berpulang ke

pangkuan Tuhan Yang Maha Esa. Dari sini timbul masalah, sebab adanya aturan

main yang berbeda antara Kelompok I dan Kelompok II.

Pada Kelompok I :

a. Lahan kehidupan tidak diwariskan;

b. Lahan kehidupan (pekerjaan) dapat diperoleh sesuai dengan keahlian.

Pada Kelompok II :

a. Lahan kehidupan dapat diwariskan;

b. Lahan kehidupan (pekerjaan) dapat diperoleh sesuai dengan keahlian;

c. Lahan kehidupan dapat dibeli.

59

59

Page 60: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dengan demikian, pintu masuk ke lahan 1 hanya ada satu, yaitu berupa

keahlian –dan ini dapat diperoleh dengan pendidikan yang memadai. Sedangkan pada

lahan 2, pintu masuknya ada tiga buah, jadi cukup longgar. Namun, karena

longgarnya maka memudahkan AA (dari Kelompok I) untuk menembusnya dengan

cara membeli, sementara posisinya di lahan 1 tetap. Begitu pula halnya dengan BB

(dari Kelompok II), dengan segala kemampuannya, ia pun mampu menembus lahan

1, sementara posisinya di lahan 2 tetap.

Dalam hal ini, penulis tidak menafikan adanya perpindahan stratum dalam

satu kelompok karena adanya sebab-sebab tertentu di antara mereka, dan itu bisa saja

terjadi secara alami. Dengan demikian, pada lahan kehidupan akan terjadi perubahan

pemetaan karena munculnya kelompok baru, dan akan terjadi sebagai berikut :

Turun

an

Kelompok I di Lahan 1

(di dalam sistem birokrasi)

Kelompok II di Lahan 2

(di luar sistem birokrasi)

Kelompok III

(di luar sistem)

F AA Aa aA aa BB Bb bB bb

F1 AA Aa aA BB BB Bb bB bb aa

F11 AA Aa BB aA BB Bb bB AA aa bb

F 111 AA BB Aa AA BB Bb AA bB aa bb

Tabel 12

Pada F1 :

1. “aa” dari Kelompok I yang berposisi lemah dengan finansial yang juga

lemah tergusur dari tempatnya.

Bisa jadi, “aa” berdesakan dengan ‘bb”, masuk Kelompok II di lahan

II. Namun, bisa jadi, ia membentuk kelompok baru, kelompok yang

tersisihkan /kelompok pencari kerja (Kelompok III)

Untuk sementara waktu, tempat “aa” diisi oleh “BB”.

BB dapat menembus lahan 1 karena memang mempunyai kemampuan

untuk itu.

60

60

Page 61: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dengan kata lain, F1 adalah lonceng kematian untuk “aa”

2. “bb” masih bisa bertahan pada tempatnya karena mendapatkan tempat

(warisan) dari F

Pada F2 :

1. Dengan segala kelebihan yang dimiliki, “BB” mulai menggeser “aA” dan

--mungkin-- tanpa harus menunggu alih generasi, “BB” sudah dapat

berdekatan dengan “AA” dengan menggeser “Aa”.

2. “AA” mulai menggeser “bb”. Hal ini ditandai dengan adanya usaha

sejenis yang dilakukan “AA”, dan tentu saja dengan didukung oleh

fasilitas dan posisinya yang kuat di lahan 1 (dalam struktur birokrasi).

Pada F2 inilah lonceng kematian “bb” bergema.

Pada F3 :

1. “AA dan BB” sudah berdekatan, kondisi inilah yang memunculkan

pejabat yang juga pengusaha, atau sebaliknya, pengusaha yang juga

merangkap sebagai pejabat

2. “aa dan bb” semakin tergeser dan tergusur. Lahan kehidupan hanya

dikuasai oleh yang kuat, baik kuat dalam posisi maupun dalam finansial.

Kedudukan keduanya hanyalah sebagai pencari kerja. Mereka sudah tidak

lagi memiliki lahan kehidupan yang dapat diperjualbelikan serta tak dapat

pula diwariskan.

Pada F3, deretan makin panjang untuk “aa” maupun “bb”

Dalam hal ini, ada yang perlu dicatat bahwa pencari kerja setiap tahunnya kurang lebih

2,5 juta orang, dan akan terus bertambah

(Kuncoro Ningrat, Berita Petang TVRI, 26 April 2002)

61

61

Page 62: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Sejauh ini, penulis belum pernah mendengar adanya penelitian empiris

tentang nasib keturunan “aa”, baik dari a1a1 sampai dengan a111a111. Begitu pula

dengan keturunan “bb”, baik dari b1b1 sampai b11b11. Secara teori, mereka telah

termarginalkan sejak F1 untuk a1a1 dan sejak F2 untuk b1b1, terdepak ke luar dari

struktur yang telah dibangun bersama gen inti lainnya.

Sebagai bangsa yang mengaku “Berkemanusiaan yang adil dan beradab”, ada

satu pertanyaan, adilkah melibas lahan kehidupan orang lain? Dalam hal ini, kita

tidak perlu menjawab dengan langsung. Kita perlu merenung. Bagaimana seandainya,

kita ada di posisi “aa” atau “bb”?

Bahwa, mereka tidak pernah menghutangkan perjuangan mereka, itu benar.

Bahwa, mereka dulu ikhlas tanpa pamrih, itu pun tidak salah. Namun, ada satu hal

yang harus diingat, mereka yang mendirikan negara ini. Mereka yang telah membuka

lahan kehidupan.

Bisa jadi, pembaca beranggapan bahwa mereka telah memilih, dan

termarginalkan itu merupakan konsekuensi hidup. Anggapan itu bisa jadi benar,

seandainya Peraturan Pemerintah tentang pensiun (maaf, penulis tidak mamiliki

arsip) terbit saat proklamasi. Jadi, mereka sudah tahu akan resiko yang akan

diterimanya jika memilih berada di dalam struktur birokrasi.

Masalahnya, peraturan pemerintah tersebut terbit saat “aa” sudah mulai uzur

serta saat “BB” atau malah mungkin “Bb” mulai mengintervensi lahan 1. Keuzuran

“aa”, lemahnya posisi tawar, dan lemahnya finansial membuat “aa” pasrah menerima

nasib saat miliknya “dirampas” negara oleh penguasa.

Dari sini, timbul pertanyaan. Bukankah mereka telah menerima pensiun?

Dan, penulis balik bertanya, bukankah sekian persen dari gaji mereka memang untuk

itu? Dengan kata lain, sebenarnya uang pensiun itu milik siapa?

Bukantah itu memang miliknya? Tapi, ke mana perginya NIP /NRP --atau

mungkin nomor lain yang sejenis dengan itu-- milik mereka? Bukankah NIP /NRP

tersebut dapat dianggap sebagai tanda bukti “kepemilikan” mereka terhadap lahan 1?

62

62

Page 63: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dengan kata lain, NIP /NRP mereka tidak dapat disejajarkan dengan NIP

/NRP aparat negera ini dari generasi berikutnya –sebagai nomor registrasi, itu sudah

pasti. Mereka bukanlah aparat biasa, namun juga sebagai pemilik seperti halnya AA,

Aa, aA, BB, Bb, bB, dan bb --masalah (1). Mereka adalah pembuka lahan kehidupan.

Dengan demikian, “aa” juga pemilik lahan kehidupan di negera.

Sebagai pembanding, saat Anda naik becak. Anda duduk manis di atas becak

dan minta diantarkan. Sesampai di tempat yang Anda tuju, Anda memberi imbalan

yang pantas kepada si tukang becak. Lantas, becaknya? Apakah karena Anda telah

merasa memberi upah, lantas becaknya juga Anda minta? Dan, kalaupun Anda

mengucapkan terima kasih, karena si tukang becak telah bersusah payah, apa

ruginya? Bukankah, bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa

pahlawannya? Atau mungkin, Anda memarkir kendaraan di tempat penitipan sepeda.

Setelah hajat Anda selesai, anda membayar ongkos parkir dan berteima kasih.

Apakah karena telah merasa membayar, lantas Anda merampas bidang kerjanya?

Masuknya “BB” ke lahan 1 bukannya tanpa resiko. Kebiasaan yang terjadi

pada lahan 2 –bisa jadi-- terbawa, sebagai contoh jual beli lahan. Bahwa semua

pemegang otoritas pengadaan personalia di negara ini membantah, itu sudah pasti.

Semua hanya kabar burung, tanpa bukti, fitnah dan entah apa lagi sumpah serapah

mereka. Yang jelas, mereka mengelak tegas. --(masalah 2).

Dengan demikian, lahan kehidupan yang ada di birokrasi (Lahan 1) telah

menelantarkan “aa” --masalah (1)-- serta adanya perilaku (isu) jual beli jabatan

/pekerjaan (masalah 2) itu harus segera dihentikan. Masalah pertama merupakan

masalah ketidakadilan, sedangkan masalah kedua merupakan masalah harga diri.

Kedua masalah ini harus diselesaikan. Dalam hal ini, ada dua pilihan yaitu:

1. Aturan waris yang berlaku pada Kelompok II di lahan 2 (luar

birokrasi) juga diterapkan dalam Kelompok I di lahan 1 (dalam birokrasi)

2. Aturan waris pada Kelompok II di lahan 2 (luar birokrasi) dihilangkan

seperti perlakuan negara terhadap kelompok I di lahan 1

63

63

Page 64: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Sebuah dilema. Jika aturan pertama diterapkan, maka semua komponen II

akan memprotes. Itu, menciptakan feodalisme baru atau malah mungkin memandang

itu ciri masyarakat terbelakang. Begitu pula seandainya aturan kedua yang

diterapkan, mereka juga akan protes keras. Itu perlakuan sosialis, komunis, dan itu

merampas hak rakyat. Dominasi Kelompok II sangat kuat di negeri ini, sampai-

sampai gen murni dalam birokrasi pun tidak diberi kesempatan tumbuh.

Jika menyangkut hak rakyat yang ada di kelompok II dirampas negara,

mereka tidak setuju, bahkan mungkin ramai-ramai berunjuk rasa. Namun, di saat

yang sama, jika yang dirampas oleh penguasa --atas nama negara-- itu hak rakyat

dari kelompok I, setuju-setuju saja. Jadi, aslinya mereka hipokrit bin munafik.

Di luar birokrasi diterapkan pola kapitalis, sedangkan di dalam birokrsi

diterapkan pola …. Semua milik negara /bersama –termasuk NIP /NRP dari generasi

pertama negara ini.Dengan demikian benar sekali bahwa antara komunis dan kapitalis

itu bersaudara, kembar malah. Jadi, jika yang satu ada di kiri, maka yang lain ada di

kanan. Jika yang satu ada di dalam, dapat dipastikan pasangannya ada di luar.

Baik langsung maupun tidak langsung, semua ini terjadi karena uang. Jika

“aa” mampu secara finansial, maka dia akan mampu membiayai pendidikan

keturunannya, sehingga –meskipun-- lemah posisinya, lahannya tidak akan digeser

oleh “BB”. Begitu pula dengan “BB”, karena hanya --maaf-- sebuah status (?) dia

mau melepaskan sedemikian banyak uang untuk membiayai pendidikan

keturunannya sehingga mampu menembus lahan 1, dan … semua komponen bangsa

ini diam seribu bahasa. Pertanyaannya, Mengapa “aa” di anak tirikan?

Oleh karena itu, jika gen murni “BB” adalah x maka setelah yang

bersangkutan duduk sebagai pejabat, sifat asli bawaannya akan muncul. Jadilah ia

seorang pejabat x, sehingga dengan jabatannya akan lancar usaha x sanak ke-

luarganya. Itulah onani jabatan! Mereka hanya memuaskan diri sendiri –keluarga dan

kroninya, sumber nepotisme di negara ini.

64

64

Page 65: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Di luar birokrasi, nepotisme merupakam hal yang lumrah, bahkan sangat

manusiawi. Mana ada manusia tega melihat sanak keluarganya yang kekurangan,

apalagi jika yang menderita itu anaknya sendiri. Padahal, di saat itu dirinya mampu

memberikan pertolongan. Lihat saja, tukang cendol akan memberikan gerobak

cendolnya saat merasa dirinya sudah uzur kepada anaknya untuk mencari nafkah.

Pedagang di pasar akan dengan sukarela memberikan kios miliknya kepada anaknya,

atau paling tidak anaknya akan diupayaan memiliki usaha seperti dirinya. Petanipun

akan menyerahkan sawah-ladang milik kesayangannya kepada anaknya.

Sedangkan di dalam birokrasi praktek semacam itu, tabu. Berhubung “BB”

memiliki posisi strategis maka dengan segala cara dan mudah (?) yang bersangkutan

menarik masuk sanak keluarganya dalam struktur birokrasi dan mendepak keluar

“aa” dari atas kursi pengabdiannya. Tentu saja, harus ada peraturan sebagai perisai.

Bagaimana seandainya pejabat x tersebut meng-x-kan jabatannya? Itulah

pelacuran jabatan! Dengan melacurkan jabatannya yang bersangkutan dapat

mengeruk keuntungan pribadi. Dan, itulah kolusi. Sebuah bentuk kong-kali-kong

antara orang dalam dengan orang luar. Lantas, bagaimana seandainya pejabat x

tersebut meng-x-kan jabatan yang ada di bawahnya? Gawat bukan? Menurut penulis,

persaingan tidak sehatlah yang akan terjadi. Ujung-ujungnya, yang menjadi korban

perilaku ini adalah “aa atau “bb” lagi.

Bahwa kekuasaan itu seperti gula-gula seperti kata sebagian orang ada

benarnya juga. Banyak orang yang memikirkan, namun sedikit sekali yang dapat

menggapainya. Oleh karena itu, bisa dibayangkan jika gen murni “BB” adalah

“benalu” atau malah “rayap”.

Mereka akan menggerogoti negara dari dalam. Itulah korupsi! Di sini,

korupsi bukan hanya berarti korupsi uang negara. Namun juga dapat berarti korupsi

waktu. Sudah saatnya bekerja memberikan pelayanan kepada masyarakat malah asyik

menyibukkan diri dengan kegiatan lain yang “dipaksa” relevan dengan bidang

kerjanya. Korupsi waktu hampir dianggap biasa dan nyaris menyentuh seluruh

lapisan, “Hanya, sepuluh menit, atau hanya satu jam”.

65

65

Page 66: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Satu jam masih dianggap “hanya”. Padahal, bagi seorang sopir dalam waktu

satu jam sudah dapat menempuh jarak berapa kilometer? Bagi seorang dokter, berapa

orang yang dapat diobati, atau malah mungkin diselamatkan? Bagi seorang penyadap

getah karet, berapa liter getah dapat diambil?

Memang, semua mempunyai alasan, dan semua alasan mereka sangat masuk

akal. Namun, di era profesional menjadi suatu keharusan maka ketepatan waktu

dalam memberikan pelayanan kepada publik sedikit banyak akan turut membantu

percepatan terbentuknya kepercayaan. Sebab, jika dalam masalah waktu saja sudah

sering lalai, apalagi ….

Masalahnya, siapa yang membuat aturan semacam itu? Pemerintah sendiri!

Dengan kata lain, Peraturan Pemerintah tentang pensiun itu hanya menimbulkan

borok atau malah “hanya” untuk menutup borok yang bernama korupsi, kolusi, dan

nepotisme. Nah, untuk menutup borok tersebut, kepada “aa” diberikan hak pensiun.

Padahal, uang pensiun itu adalah uang mereka sendiri. Sekali lagi, lantas

dikemanakan NIP /NRP yang bersangkutan? Bukankah deretan angka tersebut

sebenarnya dapat dipandang sebagai bukti kepemilikan lahan kehidupan atau

semacam sertifikat tanah sawah bagi petani? Atau semacam kios bagi seorang

pedagang di pasar? Atau semacam BPKB sepeda motor milik tukang ojek? Sekali

lagi, mereka tidak seperti aparat negara dari generasi berikutnya.

Oleh karena itu, seandainya, keturunan “aa” mulai dari “a1a1 sampai dengan

anan” melakukan tindak pelanggaran dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup

menurut penulis, itu sangat wajar –bukan maksud penulis mentolelir kejahatannya.

Pelanggaran yang dilakukan mereka tidak dapat disamakan dengan pelanggaran yang

dilakukan oleh “AA, Aa, aA, BB, Bb, bB, maupun bb” sendiri.

Mereka juga butuh hidup, untuk hidup butuh biaya, untuk dapat biaya harus

kerja, untuk dapat kerja harus ada lahan yang dikerjakan, dan saat lahan “aa”

dirampas negara, ke mana harus membuka lahan baru? Bukankah lahan 2 sudah ada

pemiliknya?! Sekali lagi, mengapa saat “aa” yang tergusur semua diam? Semua tidak

ambil pusing?

66

66

Page 67: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Memang, teorinya, mereka dapat bekerja apa saja. Jadi, intinya peraturan

pemerintah tersebut menginginkan (menciptakan) agar keturunan mereka dijadikan

kelas pekerja (baca : pencari kerja) atau malah mungkin kelompok tanpa kelas!

Bukan lagi kelas pemilik. Padahal, saat start awal, Kelompok I dan Kelompok II

sama-sama sebagai pemilik lahan kehidupan.

Dari dua gambaran masalah di atas terlihat dengan jelas bahwa sumber petaka

yang bernama Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di negara ini adalah uang.

Kedudukan para pelaku KKN hanyalah sebagai faktor pemercepat saja, maka

penyelesaiannya pun harus dengan uang atau sesuatu yang dapat diuangkan.

Penyelesaian seperti itu barulah adil, sungguhpun pahit.

Perhatikan :

Jika : untuk masuk ke lahan 1 = p

untuk masuk ke lahan 2 = q , dimana p = q

Maka :

1. Pada p dan q bernilai keahlian, maka p = q

2. Pada p dan q bernilai uang, maka x = q

3. Pada p dan q bernilai waris, maka x = q

Dari situ terlihat bahwa pintu masuk ke lahan 1 ada dua yang belum terpakai

yaitu uang dan waris. Menggunakan uang berarti haruslah ada penjual, ada yang

dijual, dan ada pembeli. Dalam hal ini, yang berkedudukan sebagai penjual adalah

gen murni aparat birokrasi /negara (Kelompok I, “AA,Aa,aA, dan aa”).

Yang dijual adalah miliknya yang paling mendasar sebagai aparat negara,

yaitu Nomor Induk Pegawai (NIP) atau Nomor Resimen Pusat (NRP).

Sedangkan pembelinya adalah unsur luar birokrasi yang hendak masuk ke

birokrasi, dari Kelompok II (BB, Bb, bB, dan bb). Jual-beli NIP /NRP dapat terjadi,

jika ada ahli waris yang bersangkutan menjualnya.

67

67

Page 68: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dengan demikian, sebenarnya, kepemilikan pada lahan 1 juga ada tiga

macam, yaitu : melalui keahlian, melalui waris, dan dengan cara membeli. Pintu

keahlian baru terbuka pada saat negara membuka lembaga baru, misalnya sebuah

departemen baru, sekolah baru, batalion baru, puskesmas baru, dll. Jika, seseorang

masuk ke lahan 1 hanya berbekal keahlian tanpa ada tugas membuka lahan baru,

maka keberadaanya tidak lebih dari pekerja profesional. --Teknik ini, meskipun

dalam konteks yang berbeda telah diterapkan pemerintah dalam program

transmigrasi. Kepada para transmigran (dari Kelompok II) diberikan lahan pertanian

seluas sekian hektar, rumah sebegai tempat tinggal, alat-alat pertanian, dan jaminan

hidup sekian bulan. Pintu waris hanya diperuntukkan bagi generasi penerus mereka

belaka. Sedangkan, cara membeli, sekalipun sudah tersedia uang yang cukup maka

masih tetap harus ditambah dengan persyaratan akademik yang memadai, yang sesuai

dengan kebutuhan bidang kerja.

Dari sini timbul pertanyaan, bukankah keahlian seorang anak bisa jadi

berbeda dengan orangtuanya? Pertanyaan itu memang tepat. Oleh karena itu, jika ahli

waris tidak tertarik melanjutkan pekerjaan orangtuanya karena tidak adanya keahlian

atau karena ada sebab lain maka ada tiga macam pilihan, yaitu :

Pertama, yang bersangkutan dapat menyewakan lahan kehidupannya dalam

jangka waktu tertentu kepada orang lain. Seperti halnya anak seorang petani yang

enggan melanjutkan pekerjaan ayahnya --karena, misalnya lebih tertarik untuk

menjadi pedagang-- bukankah ia dapat menyewakan sawah miliknya? Nah, di sinilah

sebenarnya terjadi kontrak kerja --dokter kontrak, guru kontrak, dan sebagainya.

Kedua, yang bersangkutan dapat saja menjual lahan miliknya --yang berupa

NIP /NRP-- kepada yang menginginkan, dan tentu saja si pembeli harus memenuhi

persyaratan akademik dan persyaratan lain yang diperlukan. Tapi, menurut penulis,

hal ini akan langka terjadi, di sini ada sebuah kehormatan.

Ketiga, yang bersangkutan hanya memetik jasa (baca : pokok gaji) dari

leluhurnya dan merelakan posisinya ditempati orang lain. Dalam hal ini, dalam

konteks pertanian, dikenal dengan bagi hasil.

68

68

Page 69: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Seandainya, konsep ini diterapkan maka keturunan “aa” atau bahkan

mungkin keturunan Kelompok I yang lain tidak akan termarginalkan, atau sekalipun

pada akhirnya harus keluar dari birokrasi yang telah dibangunnya maka “aa” sudah

mengantongi modal untuk membuka lahan baru di lahan 2. Sehingga, keturunan “aa”

tidak sampai menjadi kelompok pencari kerja /penganggur. Sementara itu, “BB” atau

dari Kelompok II yang lain tidak mungkin dapat dengan begitu mudah menguasai dua

lahan kehidupan sekaligus, sebab untuk “masuk” ke jajaran birokrasi, mereka juga

harus membeli terlebih dahulu atau paling tidak mengontrak. Jadi, tidak cukup hanya

dengan mengandalkan keahlian seperti yang berlaku selama ini (?).

Namun, ada satu hal yang patut disyukuri, “Uang bukanlah segalanya”.

Mungkin karena itulah maka keturunan “aa” masih terus bertahan dan berjuang. Jika

pada masa lalu “aa” berjuang bersama “AA, Aa, aA, BB, Bb, bB, dan bb” mengusir

penjajah, maka keturunannya berjuang sendiri mancari, dan terus mencari lahan baru

sekedar untuk mempertahankan hidup.

Dengan kata lain, “aa” telah dikhianati oleh kawan seperjuangannya.

Mereka hanya bisa pasrah, dan menerima nasib sebagai orang yang dipinggirkan,

sebagai warga negara yang tersisihkan oleh sebuah sistem yang diciptakan oleh yang

kuat. Keadaan ini, jelas bukan sebuah cermin keadilan.

Jadi, demokrasi yang mereka bangun bersama saat proklamasi itu adalah

demokrasi cap mobil, “bukan” Demokrasi Pancasila. Pada saat mobil mogok, semua

ikut mendorong, seia-sekata dalam pahit-getirnya perjuangan. Namun kala mobil

mulai hidup dan lari kencang, mereka ditinggalkan. Dan, dengan ucapan manis si

sopir, awak sopir, dan penumpang mengucapkan “Terima kasih, Pahlawan”.

Bahwa segudang tanda ucapan terima kasih layak mereka terima, itu sudah

pasti. Tapi, jangan lantas merampas hak mereka. Oleh karena itu, pada saat start

Indonesia Baru pasca transisi nanti, hak “aa” dan mungkin Kelompok I yang lain

selayaknya dikembalikan, dan ini adalah kewajiban pemegang kedaulatan rakyat di

negara ini, atau paling tidak menjadi kewajiban pemerintah --lihat lampiran 2.

69

69

Page 70: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Selain itu, masuknya “AA” atau unsur Kelompok I ke lahan 2 pun ada yang

perlu diwaspadai. Tidak setiap unsur luar yang masuk berdampak positif, pun tidak

selalu masuknya unsur luar berdampak negatif. Namun, jika negatifnya lebih

menonjol maka lebih baik unsur luar tersebut dikembalikan ke habitatnya.

Dengan kata lain, masuknya “AA” ke lahan 2 bukannya tidak beresiko, sebab

sedikit banyak akan mempercepat kematian usaha kecil sejenis di daerah itu (lahan

2). Dan, itu hanya masalah waktu. Menyusutnya lahan pertanian karena salah

letaknya suatu proyek atau karena berpindah tangan kepada pejabat “kaya”, rusaknya

hutan di banyak tempat karena salah urus, menyusutnya air tanah sebagai akibat tidak

langsung dari rusaknya hutan, kurang bagusnya mutu bangunan tempat-tempat

umum –misalnya gedung sekolah dasar-- dapat dijadikan contoh sisi negatif yang

perlu dicermati.

Semua sisi negatif tersebut sedikit banyak mempercepat kematian “bb”, dan

keturunannya makin terpingirkan. Mereka hanya menjadi penonton kemajuan

pembangunan. Nasib mereka tak jauh berbeda dengan nasib “aa”, malah mungkin

lebih susah.

Seyogyanya, kepemilikan lahan berada pada tangan yang tepat. Sebagai

contoh : tanah pertanian, paling tepat berada di tangan para petani. Tanah ladang

dimiliki oleh peladang, tambak-tambak dikuasai nelayan, dunia pendidikan berada di

tangan pendidik –bukan di tangan administratur (?), dunia militer di tangan militer –

bukan di tangan sipil, dunia spiritual berada di tangan para rohaniawan, dan

sebagainya. Secara hakiki, merekalah sebenarnya pemegang otonomi. Bukankah,

jika sebuah urusan dipegang oleh yang bukan ahlinya, kita hanya tinggal menunggu

saat kehancurannya?

Pembaca yang budiman, masalahnya sekarang adalah siapa itu gen murni dari

kelompok I dan siapa pula gen murni dari kelompok II? Gen murni kelompok I

adalah mereka yang sejak start Proklamasi, 17 Agustus 1945 berada di dalam

kelompok I, begitu pula dengan gen murni kelompok II adalah mereka yang sejak

start tersebut berada di dalam kelompok II.

70

70

Page 71: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Padahal, saat negara ini memproklamirkan diri, pemegang kedaulatan belum

berada di tangan bangsa ini. Bukankah penyerahan kedaulatan dari tangan Belanda

baru terjadi pada 27 Desember 1949?

Oleh karena itu, pengertian gen murni pun berkembang menjadi siapa yang

saat itu berada dalam kelompok I menjadi gen murni kelompok I dan siapa yang saat

itu berada pada kelompok II menjadi gen murni kelompok II (1). Dalam

perkembangan selanjutnya, negara /pemerintah membuka lembaga-lembaga baru di

berbagai sektor kehidupan. Mereka yang berasal dari kelompok I karena faktor x

berhijrah ke kelompok II (2), di saat lain, mereka dari kelompok II berbondong-

bondong pindah ke dalam kelompok I (3). Dari tiga macam rentetan kejadian di atas,

akhirnya dapat dijelaskan bahwa gen murni kelompok I adalah :

Pertama, mereka yang sejak 27 Desember 1949 telah berada di dalam

kelompok I.

Kedua, mereka yang berasal dari kelompok II yang mendapat tugas membuka

“lembaga baru” yang disediakan oleh negara /pemerintah pada lahan I.

Sedangkan gen murni kelompok II adalah :

Pertama, mereka yang sejak 27 Desember 1949 telah berada di dalam

kelompok II.

Kedua, mereka yang berasal dari kelompok I yang memanfaatkan lahan baru

yang dibuka oleh negara /pemerintah pada lahan II –dalam hal ini, misalnya ikut

program transmigrasi khusus (?).

Dengan demikian :

1. Mereka yang saat start awal masa transisi berada dalam kelompok I

namun tidak memenuhi salah satu syarat gen murni kelompok tersebut

maka, mereka tidak dapat dipandang sebagai gen murni kelompok I.

Mereka inilah sebenarnya yang disebut Pegawai Negeri, dan Peraturan

Pemerintah tentang pensiun layak ditetapkan kepada mereka.

71

71

Page 72: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

2. Gen murni kelompok I memiliki status kepegawaian yang lain /lebih

tinggi. Mereka adalah Pegawai Negara bukan hanya sekedar pegawai

negeri biasa.

Dengan demikian, pola waris lahan kehidupan di lahan I hanya dapat

diterapkan pada Pegawai Negara tersebut dan oleh karena itu pegawai negara tidak

mendapatkan pensiun. Sejalan dengan hal itu, maka, jika selama ini sebagian gajinya

dipotong untuk dana pensiun maka harus dikembalikan …., kecuali jika atas kemauan

sendiri yang bersangkutan ikut Taspen.

Dari situ timbul dua buah pertanyaan mendasar :

Pertama, mengapa Pegawai Negeri tidak dapat mewariskan lahan

kehidupannya? Pembaca yang budiman, “membuka” lahan baru tidak dapat

disamakan sulitnya dengan “mengerjakan” di atas lahan yang sudah ada.

Dalam contoh yang paling sederhana, membuka lahan pertanian baru (yang

dikerjakan para transmigran) jauh lebih sulit daripada menanami lahan pertanian saat

lahan (baca : sawah, atau ladang) telah terbuka.

Pada yang pertama, macam kendala tak terhingga banyaknya mulai dari

“kayu-kayu” yang malang-melintang tak karuan, akar-akar yang masih kokoh

tertancap, teknik memindah kayu, teknik membongkar akar bercokol sampai “hewan”

buas dan berbahaya, teknis menghalau hewan buas, dan sebagainya. Sedangkan pada

yang kedua, kendala memang ada, dan penghalang itu hanyalah berupa teknis belaka.

Dalam konteks yang lebih dalam, bisa jadi ada yang berpendapat lain, mengisi

kemerdekaan tidak lebih gampang daripada merebut kemerdekaan. Pernyataan itu

benar dan tepat sepanjang “isi” yang hendak dimasukkan ke dalam “wadah”

kemerdekaan belum ada. Jadi, jika “isi” sudah ada, dan “wadah” telah tersedia,

lantas di mana letak sulitnya?

72

72

Page 73: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Masalahnya akan sangat lain, jika wadah “merdeka” sudah ada sementara

“isi” yang hendak dimasukkan masih harus “mengambil” dari “sumur tetangga”,

apalagi … timbanya tidak tersedia! Maka akan terasa sangat sulit. Atau mungkin,

sekalipun timbanya ada. Namun, bolong.

Kedua, mengapa Pegawai Negara tidak mendapatkan pensiun? Pembaca yang

budiman, sebagai “pemilik lahan” maka saat lahan telah diwariskan maka sudah

barang pasti status kepemilikannya berpindah kepada keturunannya, atau kalau lahan

kehidupannya dijual maka akan berpindah kepemilikannya kepada si pembeli. Lantas,

siapa yang memberinya pensiun? negara /pemerintah? Mana mau negara /pemerintah

merugi. Dalam hal ini, harus dibedakan antara hak Taspen dengan hak pensiun.

Pembaca mungkin akan mengajukan pertanyaan lain, bukankah lahan kehidupan

tersebut milik negara? Pembaca memang benar adanya, jangankan lahan kehidupan.

Bahkan bumi, air, dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh negara (ayat 3, pasal 33, UUD 1945).

Masalahnya, bukankah sejak awal lahan kehidupan tersebut sudah dibagi

secara adil? Lahan pertanian /sawah adalah milik petani, lahan perdagangan /pasar

dikuasai pedagang, lahan pendidikan /sekolah merupakan tempat mencari rezeki bagi

guru, rumah sakit untuk dokter, pondok pesantren untuk para ulama, asrama /markas

untuk militer, dan sebagainya.

Marilah, kita belajar kepada alam. Bagaimanapun, ikan hanya dapat hidup

dengan tenang di air, burung-burung akan terbang bebas di angkasa, harimau akan

menjadi raja saat di hutan, dan sebagainya. Kalaulah sesekali, mereka meninggalkan

habitatnya pastilah ada sesuatu yang dicari, dan saat yang dicari telah diketemukan,

bukankah mereka akan kembali ke habitat aslinya? Mengapa, manusia tidak mau

belajar kepada mereka? Mereka yang tidak memiliki akal budi saja tidak merebut

lahan hidup makhluk lain, mengapa manusia sebagai makhluk yang “sempurna”

berebut lahan kehidupan? Salah yang mengatur ataukah salah yang diatur? Jika salah

yang mengatur, berarti kesalahan ada pada sistem. Namun, jika kesalahan ada pada

yang diatur, itu berarti hanya ada satu kata kunci jawaban, tamak!

73

73

Page 74: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa “aparatur negara” –bukan

pejabat negara-- dibedakan menjadi dua macam, yaitu : Pegawai Negara dan

Pegawai Negeri. Dari sini, muncul sebuah pertanyaan, siapa Pegawai Negara? dan

siapa pula Pegawai Negeri?

Pegawai Negara terdiri dari dua angkatan, yaitu :

1. Angkatan pertama adalah mereka yang pada 27 Desember 1949 telah

berada dalam struktur birokrasi;

2. Angkatan kedua yaitu mereka yang mendapat tugas dari negara

/pemerintah membuka “lembaga baru” yang disiapkan oleh negara.

Dari sini muncul sebuah pertanyaan mendasar, setelah membuka lembaga

baru, apa yang dikerjakan? Pembaca yang budiman, setelah membuka lembaga maka

yang bersangkutan berkewajiban “mengerjakan” lembaga tersebut. Berapa lama?

Bukankah –misal-- perang kemerdekaan saja ada masanya? Jadi, untuk membuka

“lembaga baru” -pun harus ada “batas masa” –nya. Kapan dikatakan sebagai “masa

membuka” dan kapan dikatakan sebagai “masa mengerjakan”.

Menurut penulis, ada patokan yang dapat dipergunakan sebagai dasar

perhitungan, yaitu :

1. Wajib Belajar 6 Tahun yang telah ditetapkan oleh Presiden Suharto

pada 2 Mei 1984;

2. Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang juga telah ditetapkan

oleh Presiden Suharto sepuluh tahun kemudian, 2 Mei 1994.

Dalam hal ini, mungkin pembaca bertanya, apa hubungan antara “lembaga

baru” dengan wajib belajar? Pembaca, jika makna tersurat yang dibaca maka wajib

belajar memang hanya akan berlaku pada bidang pendidikan. Padahal, lahan

kehidupan bukan hanya ada pada pendidikan. Namun, jika makna tersirat dapat kita

tangkap maka cakupan wajib belajar tersebut sangat luas.

74

74

Page 75: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Misalnya, wajib belajar kesehatan, wajib belajar hukum, dan sebagainya, yang

kesemuanya akan berujung pada “pembukaan lembaga baru”, misalnya:

a. Pada bidang kesehatan berupa pembukaan Puskesmas baru;

b. Pada bidang militer berupa pembukaan Koramil baru;

c. Pada bidang pendidikan berupa universita /fakultas /sekolah baru;

d. dan lain-lain.

Dengan demikian, maka “periode” untuk membuka lahan baru dapat

dikelompokkan menjadi tiga periode, yaitu :

1. Periode pertama, dimulai pada 27 Desember 1949 dan diakhiri 2 Mei

1984 (25 tahun);

2. Periode kedua, antara 2 Mei 1984 s.d. 2 Mei 1994 (10 tahun);

3. Periode ketiga, antara 2 Mei 1994 s.d. ….

Dari ketiga periode pembukaan lahan baru, hanya periode kedua yang telah

memilki batasan yang jelas, yaitu Wajib Belajar 6 Tahun. Sedangkan untuk periode

pertama belum ada, begitu pula dengan yang ketiga. Untuk itu, mari, kita hitung!

Jika :

a. Periode kesatu :

27 - 12 - 1949 s.d. 2 - 05 - 1984 = 24 th. 04 bl.05 hari

Wajib Belajar yang ditetapkan p

b. Periode kedua :

02 – 05 - 1984 s.d. 02 – 05 - 1994 = 10 tahun

Waktu yang diperlukan = a + b = 34 th. 04 bl. 05 hari

Wajib Belajar 6 Tahun, 6 tahun dimisalkan q

c. Periode ketiga : 02 – 05 – 1994 s.d. ….

Wajib Belajar 9 Tahun, 9 tahun dimisalkan r

75

75

Page 76: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Maka :

24 th. 04 bl. 05 hari x q = p

34 th. 04 bl. 05 hari

7 x q = p

10

Substitusikan :

7 x 6 = p

10

42 = p

10

4,2 = p 4 th = p (dibulatkan)

Dengan demikian, pada periode pertama “berlaku” Wajib Belajar 4 Tahun --

yang meskipun tidak pernah dikumandangkan oleh Presiden Soekarno. Tidak

dikumandangkannya wajib belajar bukan berarti menafikan kewajiban untuk belajar.

Bukankah, pada dasarnya wajib belajar itu seumur hidup? Jadi, komando wajib

belajar tersebut hanyalah bentuk formal dari sebuah perintah.

Ini berarti “masa membuka lembaga baru” ada tiga periode serta dapat

dikelompokkan sebagai berikut :

1. Periode kesatu : 27 Desember 1949 s.d. 2 Mei 1984 masa membuka

lembaga baru adalah 4 tahun;

2. Periode kedua : 2 Mei 1984 s.d. 2 Mei 1994 masa membuka lembaga

baru adalah 6 tahun;

3. Periode ketiga : 2 Mei 1994 s.d. … masa membuka lembaga baru adalah

9 tahun. Periode ketiga ini akan berakhir, kelak pada saat pemerintah

mengumandangkan adanya Wajib Belajar 12 Tahun --entah, kapan.

76

76

Page 77: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dengan berakhirnya “masa membuka” maka yang bersangkutan barulah

memasuki “masa mengerjakan”. Pembaca yang budiman, “Pengabdian selama

masa membuka itulah yang dijadikan tiket untuk mendapatkan status sebagai

Pegawai Negara”.

Bisa jadi muncul pertanyaan, bukankah selama “masa membuka” yang

bersangkutan mendapatkan gaji? Dan, penulis balik bertanya, bukankah selama tanah

garapan belum menghasilkan --dalam konteks serupa-- para transmigran juga

mendapatkan biaya hidup dari negara /pemerintah? Dan, bukankah sesudah itu, lahan

pertanian /tanah garapan tersebut menjadi milik mereka?

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

dengan Pegawai Negara angkatan kedua tersebut aterdiri dari tiga gelombang, yaitu :

a. Gelombang pertama, periode 27 Desember 1949 s.d. 2 Mei 1984

Misalnya, pada lembaga x adalah :

1. Mereka yang mendapat tugas membuka lembaga x dan mampu bertahan

≥ 4 tahun;

2. Mereka yang mendapat tugas di lembaga x sebelum lembaga tersebut

genap berusia 4 tahun dan bertahan ≥ 4 tahun.

b. Gelombang kedua, periode 2 Mei 1984 s.d. 2 Mei 1994

Misalnya, pada lembaga y adalah :

1. Mereka yang mendapat tugas membuka lembaga y dan mampu bertahan

≥ 6 tahun;

2. Mereka yang mendapat tugas di lembaga y sebelum lembaga tersebut

genap berusia 6 tahun dan bertahan ≥ 6 tahun.

c. Gelombang ketiga, periode 2 Mei 1994 s.d. ….

Misalnya, pada lembaga z adalah :

77

77

Page 78: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

1. Mereka yang mendapat tugas membuka lembaga z pada periode ini dan

mampu bertahan ≥ 9 tahun;

2. Mereka yang mendapat tugas di lembaga z sebelum lembaga tersebut

berusia 9 tahun dan bertahan ≥ 9 tahun.

Dengan pola seperti terurai di atas maka akan terjaring Pegawai Negara yang

sampai saat ini “keberadaan dan pengertiannya masih tumpang tindih” dengan

Pegawai Negeri. Pegawai Negara inilah sebenarnya gen murni birokrasi (rakyat

birokrasi). Dari sini timbul pertanyaan, apakah ini bukan merupakan perlakuan

diskriminatif terhadap sesama aparat? Pembaca yang budiman, perlu diketahui

bahwa tidak semua Pegawai Negeri bersedia untuk mengemban misi membuka

lembaga baru. Jadi, mirip saat revolusi, tidak semua rakyat bersedia mengangkat

senjata, yang berkolaborasi dengan musuh pun banyak, yang skeptis juga banyak. Hal

ini dikarenakan beberapa faktor.

Pertama, lembaga baru pada umumnya terletak di daerah yang relatif sulit

dan belum terjangkau “kemajuan”. Kedua, lembaga baru masih sarat dengan

kekurangan. Ibarat tumbuhan, mereka adalah lumut yang masih harus

menghancurkan batuan. Ibarat lahan pertanian, mereka masih harus mencetak sawah

baru, menyiapkan pematang, membuat saluran irigasi, mendirikan dangau, dan

sebagainya. Padahal, pada saat yang bersamaan, lembaga baru tersebut juga harus

memberikan pelayanan kepada publik. Dengan kata lain, ke bawah membangun basic

dan ke atas memberikan servis. Kondisi seperti ini jelas sangat tidak menarik.

Sungguh berbeda dengan lembaga yang sudah memiliki basic, pengelola lembaga ini

hanya tinggal melanjutkan perjuangan pendahulu lembaga tersebut dalam

memberikan pelayanan kepada publik.

Dengan berakhirnya “masa membuka” maka dengan sendirinya lembaga

tersebut memasuki “masa mengerjakan”. Dengan demikian, sebagai contoh,

seandainya si fulan TMT 1 April 1985 mendapat tugas di sebuah lembaga yang

didirikan pada 1 Agustus l984 dan ia bertahan sampai tujuh tahun maka :

78

78

Page 79: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

a. 1 April 1985 s.d. 30 Maret 1991 adalah “masa membuka” --6 tahun

b. 1 April 1991 s.d. 30 Maret 1992 adalah “masa mengerjakan” --1tahun

Sekali lagi, “masa membuka” itulah tiket untuk mendapatkan kursi sebagai

Pegawai Negara. Dan, menjadi Pegawai Negara berarti pemilik lahan “infra struktur”

di dalam negara. Urusan di lembaga mana, bidang apa, di mana, semua itu tergantung

pada profesionalis masing-masing. Sebab, bisa saja mereka ada pada dunia militer,

dan bisa juga ada di dunia sipil. Mereka adalah sel dari sebuah tangan negara.

Sedangkan Pegawai Negeri adalah alat dari sebuah tangan negara. Jadi,

Pegawai Negara merupakan bagian dalam dari struktur negara itu sendiri. Sedangkan

Pegawai Negeri merupakan alat negara (bagian luar struktur negara). Dari itu, status

kepegawaian di antara keduanya selayaknya berbeda, yang pertama lebih tinggi dari

yang kedua, oleh karena itu hak merekapun berbeda.

Perhatikan dengan apa yang telah mereka lakukan –setiap kegiatan bernilai 1 :

No. Kegiatan Pegawai Negara Pegawai Negeri Rasio

1.

2.

Membuka lahan

Mengerjakan lahan

1

1

0

1

1 : 0

1 : 1

Jumlah 2 1 2 : 1

Tabel 13

Dari tabel di atas terlihat bahwa pegawai negara mengerjakan dua poin

kegiatan sedangkan pegawai negeri melakukan satu poin kegiatan., atau dengan kata

lain rasio di antara mereka adalah 2 : 1. Ironisnya, hak yang mereka terima sama.

Perhatikan penerimaan mereka dalam hitungan kasar :

No. Penerimaan Pegawai Negara Pegawai Negeri Rasio

1. Gaji pokok ditambah

tunjangan*

1 1 1 : 1

Jumlah 1 1 1 :1

* sesuai dengan peraturan pemerintah

Tabel 14

79

79

Page 80: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dengan membandingkan dua buah tabel di atas terlihat dengan jelas bahwa

perlakuan tersebut sangat tidak adil sebab memberikan nilai yang sama terhadap

mereka yang dua kali kerja dengan yang satu kali kerja. Bukankah seharusnya, kerja

dua kali akan mendapat imbalan dua kali juga?

Oleh karena itu, MPR harus meluruskan. MPR harus mengembalikan hak

pegawai negara. Urusan kewenangan ini dilimpahkan kepada institusi yang berada di

bawahnya , itu masalah lain dan wajar. MPR tidak mungkin untuk mengurus hal kecil

semacam itu. Menurut penulis, sebagai solusi, tidak ada cara selain dari harus

memberikan pemasukan lain kepada mereka agar perbandingan dapat seimbang, 2 :1.

Pemasukan lain yang penulis maksud bukan pemasukan berupa kenaikan gaji

pokok atau pemberian tunjangan tambahan, sebab jika hal itu ditempuh maka akan

menimbulkan kerancuan dalam sistem penggajian pegawai. Seyogyanya, kepada

pegawai negara diberikan pokok gaji. Dengan demikian penerimaan pegawai akan

terlihat sebagai berikut :

No Penerimaan Pegawai Negara Pegawai Negeri Rasio

1.

2.

Pokok gaji

Gaji pokok ditambah

tunjangan*

1

1

0

1

1 : 0

1 : 1

Jumlah 2 1 2 : 1

*sesuai dengan peraturan pemerintahTabel 15

Pokok gaji dan NIP /NRP dari pegawai negara inilah kelak yang akan

diwariskan kepada keturunan mereka. NIP /NRP sebagai bukti kepemilikan mereka

atas lahan kehidupan di lahan 1 (di dalam birokrasi) , sedangkan pokok gaji ini dapat

dipandang sebagai jasa atas saham kepemilikan mereka di lahan 1.

Dengan begitu, kelak :

1. Jika keturunan Pegawai Negara akan masuk ke dalam struktur, tidak ada

yang dapat menghambatnya, sepanjang orangtuanya telah mengundurkan

diri –seperti anak petani mengerjakan sawah orangtuanya.

80

80

Page 81: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dan, ini tergantung pada keahlian keturunan Pegawai Negara tersebut.

Disitulah akan terbukti kebenaran bahwa pahlawan berjuang sampai tetes

darah yang terakhir.

2. Jika ada keturunan pendiri “lahan kehidupan” yang karena satu dan lain

hal tidak dapat mencari nafkah, maka yang bersangkutan masih dapat

membiayai hidupnya dengan warisan leluhurnya. Dengan demikian,

kehormatan dia dan kehormatan leluhurnya dapat terjaga. Nah, disitulah

bukti nyata dari ucapan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat

menghargai jasa pahlawannya”

Pembaca yang budiman, oleh karena ada dua angkatan Pegawai Negara

dengan dua medan juang yang berbeda bobot perjuangannya –yang pertama

mengangkat senjata menghalau penjajah, yang kedua mengangkat kapur tulis

menghalau kebodohan /mengangkat jarum suntik menghalau penyakit /mengangkat

palu menghalau ketidak-adilan, dsb. --maka adalah wajar jika penghargaan yang

mereka terima pun berbeda. Saham generasi pertama lebih tinggi daripada generasi

kedua, di sana ada darah dipertaruhkan. Konsekuensi dari perbedaan besar saham

mereka adalah adanya perbedaan besar pokok gaji mereka.

Dengan melihat pokok gaji seorang Pegawai Negara, maka akan terlihat

seberapa besar “saham” yang telah ditanamkan leluhurnya. Yang jelas, sebagai

pemilik lahan, Pegawai Negara itulah yang berhak untuk menentukan siapa yang

layak untuk duduk pada sebuah jabatan struktural. Peluang ini, tentu saja akan

terbuka lebar bagi yang memiliki “saham” besar. Dalam sebuah “perusahaan” hal

semacam itu wajar terjadi. Namun dalam hal “negara” maka manjadi tidak wajar. Di

situlah perlunya dewan penasihat. Oleh karena itu, jika memungkinkan, hendaknya

dewan ini benar-benar terisi oleh para profesional.

Pola ini akan menggiring Pegawai Negara untuk “tahu diri”. Ada tanggung

jawab moral untuk menjaga nama baik leluhur. Sebagai pemilik lahan, mereka akan

dituntut untuk mengoptimalkan mutu perjuangan yang telah dirintis oleh leluhurnya.

Kemunduran mereka tak ubahnya mencoreng nama baik leluhurnya sendiri.

81

81

Page 82: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Bagi Pegawai Negeri, modal mereka hanya berupa keahlian, sementara

keahlian semacam itu, di luar struktur birokrasi, luar biasa banyaknya. Mereka tidak

pernah menanamkan sahamnya. Oleh karena itu, jangan macam-macam, jangan

nakal-nakal dalam bekerja, tahu dirilah!!

Dari sini muncul pertanyaan, siapa Pegawai Negara dan siapa Pegawai Negeri

itu? Pegawai Negara dapat berada di jalur sipil dan dapat juga berada di jalur militer.

Selanjutnya, untuk memudahkan pembahasan, mereka yang berada di jalur sipil

disebut Aparatur Negara Sipil (ANS), sedangkan yang berada di jalur militer disebut

Aparatur Negara Militer (ANM).

Sedangkan Pegawai Negeri pun ada dua macam, yang satu berada pada jalur

sipil, untuk selanjutnya disebut Pegawai Negeri Sipil (PNS). Satunya lagi berada di

jalur militer dan untuk selanjutnya disebut Pegawai Negeri Militer (PNM).

ANS dan PNS dapat tersebar di seluruh perangkat birokrasi sipil di negara ini,

dari level terendah sampai tertinggi. Sedangkan ANM maupun PNM bisa berada pada

ketentaraan maupun kepolisian. Jadi, perbedaan antara pegawai negara dengan

pegawai negeri hanya status ke-”pegawaian”-nya. Oleh karena beda status, maka

akan berbeda pula haknya dan kewajibannya.

Pegawai Negara (ANS dan ANM) angkatan pertama telah purna tugas,

angkatan kedua pun mulai menyusul. Satu persatu, mereka mundur dari medan juang

karena faktor usia. Masalahnya, siapakah ahli waris dari Pegawai Negara? Mereka

adalah semua anak /keturunan yang sah dengan jumlah yang sesuai dengan peraturan

kala itu. Dengan demikian, ada dua kelompok besar, yaitu :

Pertama, mereka yang belum terkena peraturan 2 (dua) orang anak.

Kedua, mereka yang sudah terkena peraturan 2 (dua) orang anak.

Maka dari itu, pada segmen pertama masa transisi, F1 /F11 /Fn dari pegawai

negara tersebut harus dicari dan didata. Pada segmen kedua, mereka akan dilatih dan

dibimbing dengan intensif. Merekalah pewaris sah dari lahan kehidupan yang telah

dibangun orangtua mereka. Dalam hal ini, kedudukan Pegawai Negeri (baik PNS

maupun PNM) sebagai wali --“anak” yang belum cukup umur.

82

82

Page 83: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Sedangkan pada segmen ketiga, mereka mulai magang, dan untuk selanjutnya

menerima “lahan kehidupan” warisan pendahulunya. Kalaupun mereka canggung di

awal-awal masa pasca transisi itu adalah hal yang wajar, mereka terlalu lama terlunta-

lunta di “luar sana”. Adalah menjadi tugas kita semua –khususnya para

wali--“membimbing” mereka. Dengan masa magang yang cukup, penulis rasa,

mereka siap untuk masuk dalam barisan dan mampu menyesuaikan langkah dengan

barisan yang telah ada.

Pertanyaannya, di mana posisi Pegawai Negeri saat pasca transisi? Pembaca

yang budiman, dengan jiwa ksatria, seandainya mereka berada pada jabatan

struktural, maka tidak ada kata lain selain mundur. Kursi yang mereka duduki

ternyata milik orang lain. Kecuali, jika keahliannya masih diperlukan karena sangat

spesifik.

Dari sini terlihat betapa sangat pentingnya memberi kesempatan tumbuh

kepada birokrasi, baik secara infra struktur (aparatur) maupun secara struktur

(kelembagaan) pun juga terlihat betapa tingginya negara memberikan penghormatan

kepada para pendahulunya yang telah merintis lahan kehidupan. Jadi, tidak sekedar

ucapan “Terima kasih, Pahlawan”.

Oleh karena itu, model pemangkasan “sesuka hati” hendaknya ditinggalkan,

semua harus mengikuti pola bilangan satu, sepuluh, seratus, dst. Dengan demikian,

mereka yang layak untuk dinaikkan akan menduduki jabatan fungsional baru --yang

belum pernah ada sebelumnya, baik pada masa transisi maupun pada masa pra

transisi (sampai tulisan ini selesai ditulis, 6 Desember 2002). Sedangkan bagi mereka

yang dipandang kurang layak, … mundur.

Nasib yang menimpa “aa” (Pegawai Negara) yang juga menimpa “bb”

sebagai bagian kelompok II yang lemah, kelak juga harus diatasi. Mereka sebagai

pemilik lahan kehidupan --lahan dalam arti sesungguhnya-- tergusur oleh

pembangunan. Jika ketergusuran mereka dapat dibuktikan, dalam arti mereka tidak

menerima ganti rugi yang memadai –kala itu-- maka selayaknya sebuah kompensasi

yang saling menguntungkan antara negara dengan rakyatnya diperlukan.

83

83

Page 84: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Menurut penulis, solusi terbaik untuk mengatasi masalah “bb” yang tergusur

dan tergeser dari lahan kehidupannya adalah keikutsertaan dalam kepemilikan. Ini

berarti, sekian persen dari nilai “bangunan” yang berdiri di atas lahan yang tergusur

tersebut adalah saham mereka. Mengingat “bangunan” tersebut juga menghasilkan

(produktif) maka sudah sewajarnya jika sekian persen dari laba usaha tersebut juga

dialirkan kepada mereka.

Dengan pola seperti itu, mereka akan ikut merasa memiliki. Rasa itu sangat

penting untuk ditumbuhkan dalam hati masyarakat dalam rangka menjaga aset

negara. Tanpa adanya rasa tersebut akan menjadi bertambah berat tugas komponen

keamanan negara ini, khususnya. Pembaca dapat melihat sendiri perusakan yang

dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab terhadap aset kepentingan

umum. Kalau sudah begini, siapa yang rugi?

Sejalan dengan itu, pada gilirannya nanti, Badan Pertanahan hendaknya

menertibkan administrasi tanah. Masalah yang sangat rawan ini harus dituntaskan.

Jangan sampai --misalnya-- karena intimidasi dari sekelompok lidah api akhirnya

merugikan orang lain yang dalam posisi lemah. Badan pertanahan hendaknya mampu

memproyeksikan, daerah mana yang ditetapkan sebagai daerah pemukiman, daerah

untuk fasilitas umum, daerah resapan, lahan hijau, hutan, berapa luas maksimal hak

kepemilikan tanah pemukiman, dan sebagainya.

Pola di atas akan menggiring terwujudnya sebuah lahan kehidupan bagi

seseorang. Dengan demikian, sungguh tidak pada tempatnya jika ada penganggur di

negara ini sementara di sisi lain ada yang kekurangan waktu untuk melaksanakan

kewajibannya, karena yang bersangkutan memang mempunyai banyak pekerjaan. Di

samping itu, pola di atas juga akan menggiring untuk dapatnya seseorang memiliki

tempat tinggal tetap yang layak. Bukankah tidak pada tempatnya, di negara yang luas

ini ada warganya yang tercecer di jalanan? Sementara di sisi lain, ada pemilik tanah

yang luasnya sampai …. Yang tidak sempat mengurus tanahnya, dan hanya sekedar

untuk menumpuk kekayaan. Bukankah penetrasi penguasaan tanah itu pada

hakekatnya juga merampas hak orang lain?

84

84

Page 85: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

3.2 Noto Uang (10) 92

Selain semua paparan di atas, uang juga dapat dipergunakan untuk membeli

uang, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Jika tujuannya untuk

memudahkan saat transaksi dengan pihak asing maka yang dibeli adalah mata uang

asing. Tujuan mulia ini juga telah dipelintir oleh mereka yang sama sekali tidak

pernah sekalipun berhubungan dengan pihak asing, namun sangat berkepentingan

dengan mata uang mereka, sebab dengan uang tersebut mereka dapat memperoleh

keuntungan dalam bentuk uang pula. Ironis memang, melacurkan uang sendiri.

Pembelian uang secara tidak langsung inilah yang lebih banyak menyedot

pelaku. Lihat saja, dengan iming-iming bunga tinggi, hadiah besar, dan berbagai

kemudahan, orang pun berbondong-bondong “membeli uang dengan uang”. Mereka

akan “membelanjakan” uang mereka untuk jangka waktu tertentu di bank-bank

konvensional, sebulan, triwulan, setahun, atau lebih dari itu. Dan, pada saat yang

telah disepakati bersama, mereka akan mengambil kembali uang yang telah mereka

“belanjakan” dan sudah barang tentu lengkap dengan anak cucu uang tersebut.

Praktek ribawi, jelas tidak senafas dengan Islam. Dalam hal ini, patut

disyukuri bank-bank syariah telah tumbuh dan mulai berkembang. Alangkah baiknya,

seandainya bank-bank pemerintah memberlakukan sistem ini kepada nasabahnya

yang Muslim. Dengan demikian tidak ada lagi keraguan. Dengan kata lain, satu bank

dengan dua pintu. Mereka yang Muslim biarlah hidup dengan cara muslimnya.

Sedangkan bagi mereka yang non muslim biarlah hidup dengan cara mereka.

Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Oleh karena itu, sangatlah terpuji jika pihak

bank tidak memanfaatkan ketidakberdayaan si Muslim untuk memetik keuntungan

sendiri. Dengan pola seperti itu, maka bank sudah andil dalam upaya mencerdaskan

kehidupan bangsa.

Mengingat sudah sedemikian pesatnya fugsi uang dalam kehidupan sehari-

hari, maka tak pelak lagi uang seakan-akan menjadi darah kehidupan, darah ekonomi

rakyat. Oleh karena itu, memposisikan Bank Indonesia --sebagai bank sentral

85

85

Page 86: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

dengan tugas untuk mengkoordinir, membimbing, dan mengawasi seluruh dunia

erbankan Indonesia, baik bank-bank pemerintah serta swasta nasional dan maupun

bank-bank asing (Undang-Undang Perbankan Nomor 14 Tahun 1967)-- di bawah

payung eksekutif dan legislatif sangatlah berbahaya, sebab dapat saja dimanfaatkan

oleh komunitas tertentu untuk kepentingan sesaat dan itu sangat berbahaya.

Oleh karena itu, harus ada lembaga keuangan nasional, yang untuk

selanjutnya penulis beri nama Badan Keuangan Republik Indonesia, dan berdiri

sebagai institusi tersendiri dan langsung berada di bawah payung MPR. Jadi,

Departemen Keuangan dan Bank Indonesia pada saat start awal pasca transisi

bernaung di bawah lembaga tersebut. Tidak lagi bernaung di bawah presiden.

Maka dari itu, pada Badan Keuangan Republik Indonesia akan ada jabatan

baru, di atas Kepala Departemen Keuangan Republik Indonesia (sebutan baru untuk

mengganti Menteri Keuangan Republik Indonesia) dan Gubernur Bank Indonesia,

yaitu Presiden Bank Republik Indonesia. Pejabat yang mempertanggungjawabkan

uang negara kepada majelis tertinggi negara (MPR).

Dari semua paparan di atas, terlihat dengan jelas bahwa uang telah hampir

menguasai kehidupan dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Ia bisa menjadi senjata

ampuh untuk menaklukan bangsa lain, tanpa harus mengangkat senjata. Uang dapat

membuat jatuh bangunnya sebuah regim, seorang penguasa, ataupun seorang pejabat

publik. Uang juga dapat menentukan posisi negara dalam tataran internasional.

Kehebatan uang dalam hal ini dapat dilihat pada perbandingan mata uang setiap

negara yang setiap hari dimuat pada berbagai media, baik media cetak maupun media

elektronik..

Kurs Tansaksi Bank Indonesia* :

Mata uang Beli Jual

US $

Pound

Aust $

9.022,00

14.329,64

5.055,93

9.112,00

14.477,15

5.110,92

86

86

Page 87: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Sin $

MYR

HK $

Yen

Euro

5.117,70

2.373,90

1.156,71

75,3403

9.120,34

5.171,69

2.398,21

1.168,29

76,1109

9.218,61

* Sumber : Kompas, 14 November 2002

Tabel 16

Dari kurs mata uang di atas terlihat betapa hebatnya mata uang AS, ba-

yangkan, 1$ mampu menghadang Rp 9.112,00; 1 poundsterling mampu menjinakkan

Rp 14.477,15; dan seterusnya. Padahal, antara dolar, poundsterling, rupiah, dan lain-

lain tersebut berstatus sama, mata uang tertinggi suatu negara --yang padanya

melekat kehormatan negara pemiliknya. Dunia bahasa Indonesia mengajarkan bahwa

duduk sama rendah, berdiri sama tingi. Namun dalam hal uang, sunguh jauh

panggang dari api. Pertanyaannya, adakah yang salah dalam materi pelajaran Bahasa

Indonesia tersebut?

Dalam hal ini, bisa jadi, para pakar berargumen dengan sederet alasan yang

sangat --dan sekali lagi sangat-- masuk akal. Semua argumen tersebut akan bermuara

pada satu jawaban yang mendasar. Kita kalah dalam kekuasaan, bangsa ini tak

berdaya, negara ini tak berkutik dalam menghadapi uang mereka. Dengan kata lain,

Rupiah lemah. Ia menjadi “makhluk” yang tak berdaya.

Jangankan dengan mata uang asing, dengan produk domistik pun, ia takluk

menyerah. Rupiah tak berdaya mempertahankan kehormatannya. “Ia” terpuruk

dipermainkan keadaan. Padahal, sejak proklamasi, sudah berapa kali rupiah

didevaluasi?

“ …, maka Indonesia telah mengalami tujuh kali tindakan moneter drastis yaitu tiga kali

dalam masa Orde Lama dan ditambah masa Liberal dan empat kali di masa Orde Baru”

(Setijawan , 1987 : 44)

87

87

Page 88: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Pertanyaannya, mengapa ekonom selalu gagal menciptakan rupiah yang

stabil? Bukankah dengan devaluasi dimaksudkan untuk memperkuat rupiah atau

paling tidak untuk meningkatkan daya saingnya? Atau, hal lain yang masih senafas

dengan upaya peningkatan stabilitas ekonomi rakyat? Mengapa selalu gagal?

Kegagalan tersebut, menurut penulis, bukan karena kurang piawainya para

ekonom penyelenggara negara, namun ada sebab lain di luar otoritas mereka. Mereka

telah melanglang buana untuk menimba ilmu untuk diterapkan di negara tercinta,

demi kemakmuran rakyat tentunya. Untuk itu harus dituntaskan duduk

permasalahannya dengan cara merunut ke belakang agar kesalahan tidak terlalu

ditimpakan kepada tim ekonomi..

Sebagi contoh, perhatikan :

1. Gunting Syafrudin Prawiranegara, dari Rp 10.000,00 diturunkan menjadi

Rp 100,00 dengan koefisien Rp 1, 00 = 100 sen

2. Kabinet Dwikora, dari Rp 1.000,00 diturunkan menjadi Rp 1, 00 dengan

koefisien Rp 1, 00 = 100 sen

Dalam konteks lambang bilangan, akan terlihat sebagai berikut :

No. Devaluasi Dilepas rakyat Diterima rakyat Rasio

1.

2.

Syafrudin

Prawiranegara

Kabinet Dwikora

10 000

1 000

100 x 100 = 10 000

1 x 100 = 100

1 : 1

10 : 1

* Koefisien Rp 1, 00 = 100 sen

Tabel 17

Dalam konteks bilangan, kita misalkan:

satu = a

88

88

Page 89: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

sepuluh = b

seratus = c

seribu = d

Maka dalam konteks bilangan akan terlihat sebagai berikut :

No. Devaluasi Dilepas rakyat Diterima rakyat Rasio

1.

2.

Syafrudin

Prawironegoro

Kabinet Dwikora

bd = b. bc

= bb. c

= c.c

= cc

d = bc

c.c = cc

ac

1 : 1

10 : 1

Tabel 18

Dari dua buah tabel di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Dipandang dari sudut ekonomi, gunting Syafrudin Prawironegara sangat

tepat, impas. Namun, dari sudut matematika sangatlah bertolak belakang.

Mengapa persoalan basis seribu (103) harus diselesaikan dengan

menggunakan basis seratus (102)? Bukankah, seharusnya persoalan basis

seribu (103) juga diselesaikan sendiri oleh basis seribu (103)?

2. Devaluasi yang dilakukan oleh Kabinet Dwikora, jika dipandang dari segi

matematika sangat tepat sebab persoalan basis seribu (103) diselesaikan

oleh basis seribu (103). Namun, jika masalah ini dipandang dari segi

ekonomi sangat merugikan rakyat.

Dengan segala keterbatasan ilmu yang penulis miliki, semua itu disebab kan

oleh karena kita menggunakan sistem bilangan yang sama –seperti yang mereka

gunakan-- namun menerapkan harga uang yang berbeda. Yang jelas, pengalaman

VOC di Indonesia beberapa abad yang lalu patut dijadikan pelajaran.

89

89

Page 90: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Sistem bilangan yang digunakan VOC sama dengan sistem bilangan yang

berlaku di negeri Belanda, namun nilai uang mereka berbeda, di mana nilai gulden

Belanda lebih tingi dari mata uang yang dikeluarkan oleh VOC. Akhirnya, kongsi

dagang Belanda itu pun bangkrut, mereka gulung tikar. Hanya saja, yang selalu kita

pelajari dalam pelajaran sejarah adalah sebab kebangkrutan VOC antara lain :

peperangan dan pejabat yang korup.

Pengalaman pahit VOC diulang kembali oleh Indonesia saat merdeka.

Bedanya, penguasa saat itu --tanpa ada maksud menafikan keberadaan raja-raja yang

masih berdaulat-- adalah orang Belanda, sedangkan pada saat Indonesia merdeka

para penguasa adalah bangsa sendiri. Hanya saja, ada istilah yang belum muncul saat

itu, krisis multi dimensi. Problem VOC belum sekompleks saat Indonesia merdeka …

Oleh karena itu, ketidakberanian (?) para pakar Matematika di negara ini

menciptakan sistem bilangan sendiri setelah merdeka sekian puluh tahun --dalam

rangka memperkuat rupiah-- untuk menghadang uang mereka tentunya sangat

disayangkan. Masa yang demikian panjang itu, akhirnya terbuang sia-sia. Sungguh

sangat beruntung, hidup tidak selalu menggunakan kalkulasi Matematika. Sebab, jika

Matematika dijadikan tolok ukur, entah apa yang terjadi.

Kembali ke masalah bilangan. Secara hakiki, satu di Amerika Serikat dan

dimanapun juga, termasuk di Indonesia adalah sama. Tetapi Rp 1,00 ≠ 1 $ Sangat

jauh sekali selisih antara keduanya. Oleh karena adanya perbedaan cara pandang

terhadap bilangan setelah masuk ke dalam pusaran uang itulah maka diperlukan

keberanian membongkar sistem bilangan lama dan membangun sistem bilangan

baru, yang tidak merugikan mereka, namun menguntungkan kita sebagai bangsa.

Urusan berani atau tidak itu tanggungjawab kita semua.

Apalah artinya seragam dalam sistem bilangan, jika pada akhirnya uang kita

(baca rupiah) menjadi tak berdaya di hadapan uang mereka, bahkan menjadi santapan

uang mereka belaka. Bukankah –lebih baik--membangun sistem bilangan baru yang

lebih adil? Dari sini pun muncul sebuah pertanyaan, beranikah para pakar –penguasa

langit atas-- Matematika melakukan? Nah, di situlah letak masalahnya!

90

90

Page 91: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Pada bagian terdahulu telah disingung bahwa sebenarnya nilai kualitas seribu

adalah 1 dengan 0 sebanyak empat buah, karena nilai kualitas yang diterima

konsumen (baca : negara Indonesia) sengaja dijatuhkan oleh produsen bilangan --

maaf, lewat tangan para Pakar Matematika-- sehingga menjadi 1 dengan 0 sebanyak

tiga buah, dan ini merupakan sumber petaka krisis keuangan /ekonomi di negara ini

maka hak yang seharusnya diterima negara harus dikembalikan.

Dengan demikian, secara formal –misalnya-- seribu rupiah tetap seribu rupiah,

namun secara materi akan bertambah. Oleh karena itu, pada dasarnya secara formal

keuangan negara tetap, tidak bertambah /tidak berkurang. Sunguhpun demikian,

kekuatan rupiah akan menanjak tajam, bahkan tajam sekali.

Perhatikan peta kekuatan rupiah masa transisi --saat reformasi bilangan!

Nilai (Rp) Rupiah saat ini Rupiah saat transisi Rasio kekuatan

Satu

Sepuluh

Seratus

Seribu

Sejuta

Semiliar

Setriliun

1

10

100

1 000

1 000 000

1 000 000 000

1 000 000 000 000

1

10

100

1 0000

1 0000 0000

1 0000 0000 0000

1 0000 0000 0000 0000

1 : 1

1 : 1

1 : 1

1 : 10

1 : 100

1 : 1 000

1 : 1 0000

Tabel 19

Akan terjadi lompatan kuantitas uang. Hal ini dikarenakan, pada saat negara

melaksanakan kewajibannya maka Bank Indonesia –sebagai bank sentral-- harus

menyiapkan dana sesuai nilai formal uang tersebut. Adanya penambahan kuantitas

uang pada saat negara melaksanakan kewajibannya sudah barang pasti berdampak

pada perekonomian rakyat.

Jika dilihat sekilas, akan terjadi banjir uang. Negara akan banyak –secara

kuantitas-- mengeluarkan uang, namun secara formal --secara kualitas-- uang yang

dikeluarkan negara tetap. Kondisi itu akan lebih baik daripada pemerintah menambah

jumlah peredaran uang dengan meluncurkan program-program pengentasan

kemiskinan.

91

91

Page 92: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Pada yang pertama akan menggairahkan usaha, sedangkan pada yang kedua

akan menggairahkan “tangan tengadah”.

Dalam hal ini, ada sedikit perbedaan yang mendasar. Sekalipun secara materi

jumlah uang yang beredar sama-sama bertambah, namun dengan mereformasi

bilangan terlebih dahulu, secara formal uang yang beredar tidak bertambah. Namun,

pada program-program pengentasan kemiskinan, secara formal jumlah uang yang

beredar pun bertambah. Dan, bukankah, jika secara formal uang bertambah maka laju

inflasi pun akan meroket? Lihat saja, sebagai contoh, setiap ada kenaikan gaji PNS

/ABRI atau saat ada kenaikan UMR, prosentasenya selalu berada di bawah

prosentase kenaikan harga barang kebutuhan di pasar yang mengikutinya.

Oleh karena itu, kekhawatiran akan adanya gejolak yang biasa ditim-

bulkan oleh para spekulan setiap ada devaluasi rupiah sangat tidak beralasan –sebab

pada dasarnya tidak ada devaluasi rupiah selama masa transisi. Memang, saat itu

akan terjadi banjir uang di setiap lini kehidupan. Oleh karena itu, nanti akan muncul

orang kaya baru. Mereka akan dengan cepat menaikkan strata sosial

kehidupannya.roda kehidupan akan berputar dengan cepat. Perekonomian akan

bangkit, dengan catatan, sekali lagi, asal tidak dikotori oleh tangan-tangan kotor yang

tamak dan rakus. Kejadian serupa, kalau penulis tidak salah –dalam konteks

berbeda-- pernah dialami bangsa Jepang saat revolusi Meiji.

Pembaca yang budiman. Devaluasi rupiah memang harus dilaksanakan,

namun pelaksanaannya kelak pada pasca masa transisi --Dalam hal ini, ada sedikit

hal mendasar yang perlu penulis tambahkan. Perlu diingat bahwa satuan uang kecil di

bawah rupiah adalah sen, kelip, ketip, dan tali.

Di antara empat satuan uang tersebut, dua di antaranya yang menggunakan

bilangan dasar sepuluh adalah sen dan ketip.

Perhatikan :

1 rupiah = 10 ketip

1 rupiah = 100 sen

1 ketip = 10 sen

92

92

Page 93: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Sedangkan kelip dan tali mempunyai korelasi tersendiri, dan sepengetahuan

penulis tidak ada sangkut-pautnya dengan bilangan dasar sepuluh.

Perhatikan :

1 kelip = 5 sen

1 tali = 5 kelip

1 tali = 25 sen

Dengan demikian, satuan uang kecil yang berpeluang untuk hidup adalah sen

dan ketip. Dari itu, muncul pertanyaan, di mana posisi keduanya? Perhatikan :

1. Karena:

1. Dalam konteks basis seribu (103), 1 rupiah = 10 ketip

2. Pengertian seribu berubah dari (103) menjadi (104)

3. 104 = (103) x (10)

Maka : 1 rupiah = 10 ketip x 10 = 100 ketip

2. Karena :

1. Dalam konteks basis seribu (103), 1 ketip = 10 sen

2. Pengertian seribu berubah dari (103) menjadi (104)

3. 104 = 103 x 10

Maka : 1 ketip = 10 sen x 10 = 100 sen

Oleh karena itu, devaluasi /senering saat itu mirip dengan gunting Syafrudin

Prawironegara yang terkenal itu juga mirip dengan devaluasi Kabinet Dwikora.

Setiap Rp 1 0000,00 (seribu rupiah) uang lama diturunkan nilainya menjadi Rp 1,00

(satu rupiah) uang baru dengan angka koefisien 1 0000 (seribu).

Ini berarti :

1. Rp 1 0000, 00 uang lama akan diturunkan menjadi Rp 1, 00 uang baru;

2. Rp 1, 00 uang baru akan senilai dengan 100 ketip;

3. Rp 1, 00 uang baru akan senilai dengan 1 0000 sen

4. 1 ketip senilai dengan 100 sen

93

93

Page 94: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dari sini terjadilah perubahan pengertian, perhatikan!

Pengertian lama, dalam basis seribu (103) :

1. Ketip n mata uang yang nilainya sama dengan sepersepuluh rupiah

atau sepuluh sen, picis

seketip sepuluh sen, sepicis

2. Kelip n mata uang dari nikel bernilai lima sen

(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990 : 411-435)

Pengertian baru, dalam basis seribu (104) :

a. Ketip n mata uang yang nilainya sama dengan seperseratus

rupiah atau seratus sen, picis

seketip seratus sen, sepicis

b. Kelip : ditiadakan 3

Pembaca yang budiman, dengan demikian, baik dipandang dari sudut

ekonomi maupun dipandang dari sudut Matematika, devaluasi kali ini benar. Ada tiga

buah keuntungan mendasar dalam devaluasi pada akhir masa transisi, yaitu :

Pertama, rakyat tidak dirugikan. Devaluasi akan sangat tidak bermakna kala

rakyat sebagai pengguna (konsumen) uang menderita kerugian, terlebih jika kerugian

tersebut mencapai prosentase yang tinggi.

Kedua, rupiah menjadi mampu bersaing dengan mata uang asing sehingga

membuat mata uang republik ini tidak “diremehkan”. Lebih-lebih dengan adanya dua

mata uang kecil di bawah rupiah, maka dengan sendirinya posisi rupiah akan

terangkat. “Ia” memiliki dua lapis fondasi. Menurut penulis, itu sudah cukup

membuat rupiah kokoh dalam menghadapi dunia.

3. kalaupun negara mengeluarkan uang lima sen-an, maka tetap dibaca lima sen.

Dengan demikian, tidak perlu memunculkan satuan “uang” lagi, agar tidak rancu

94

94

Page 95: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Ketiga, antara satuan bilangan dengan uang terdapat hubungan –karena

masing-masing menggunakan basis bilangan yang sama, dan ini sangat penting.

Kembali ke masalah uang.

Setelah uang keluar dari kas negara –karena negara melakukan kewajibannya-

maka uang akan jatuh ke tangan masyarakat, dan menjadi hak mereka. Secara hakiki,

kekayaan yang dimiliki masyarakat adalah lambang bilangannya /jumlah nominal

uang, bukan pada bilangannya. Dari sini terlihat adanya dominasi atas dan dominasi

bawah, dan juga terlihat daerah kekuasaannya. Dominasi atas (baca : negara)

menguasai bilangan yang tertera pada uang sedangkan dominasi bawah (baca :

rakyat) menguasai lambang bilangan yang tertera pada uang tersebut. Dengan

demikian, keduanya mendapatkan daerah “kekuasaan”. Adil, bukan?

Dominasi ini akan tetap dipertahankan dan akan dilanjutkan pada saat revolusi

bilangan benar-benar terlaksana, sebab sistem bilangan di Indonesia telah baku. Pada

hari H nanti --start awal pasca transisi, semua satuan bilangan yang telah ditidurkan

oleh para pakar –laksa dan keti-- serta satuan bilangan yang telah dipaksa tidur oleh

seorang guru –miliar-- akan dibangunkan oleh MPR untuk berbakti bersama-sama

pada Pertiwi.

Pada hari itu, kekayaan yang dimiliki negara ada pada bilangan uang

sedangkan kekayaan yang dimiliki rakyat ada pada lambang bilangan uang– yang

keduanya tertera pada uang yang sama. Nah, pada hari H + 7 --misalnya--

devaluasi /senering rupiah seperti terurai di atas dilaksanakan.

3. 3 Noto Pendidikan (10)108

Tanpa turun tangannya bidang pendidikan, sebagus apapun manfaat sebuah

ilmu (baca : sistem) tidak akan dapat berjalan, ilmu hanya akan sebagai ilmu, sebab

pada pundak para pendidiklah ilmu tersebut dapat dibumikan kepada tunas-tunas

bangsa. Oleh sebab itu, pada bidang pendidikan ada tiga komponen pokok yang

saling berkait dan berkelindan yaitu pendidik, peserta didik, dan ilmu.

95

95

Page 96: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Perlu diingat dalam era otonomi daerah, bidang pendidikan –selain per-

guruan tinggi-- dialihkan ke daerah. Pengalihan tanggung jawab itu sah-sah saja,

memenuhi tuntutan daerah (?), dan sambil melihat seberapa besar kesungguhan

daerah dalam menangani bidang pendidikan. Namun sebagai bangsa, kita harus

realistis. Apa yang diharapkan dari pendidikan dengan pola semacam itu?

Apakah memang ada faktor kesengajaan untuk menarik mundur ke situasi pra

zaman pergerakan? Mengkotak-kotakkan lagi daerah?

Kita harus ingat bahwa di bidang pendidikanlah tempat yang paling stategis

untuk menanamkan konsep ke-Indonesia-an. Bahwa mencerdaskan kehidupan

bangsa itu sudah jelas-jelas termaktub dalam Pembukaan Undang Undang Dasar

1945 , dengan itu nyata sekali bahwa satu di antara tujuan didirikannya negara ini

adalah untuk mencerdaskan bangsa. Oleh karena itu, membelokkan pengertian dari

negara menjadi daerah –bagi penulis-- sangat sulit untuk dipahami, sungguhpun

daerah merupakan bagian integral dari negara itu sendiri. Hal ini dikarenakan adanya

karakteristik setiap daerah yang berbeda –baik ditinjau dari sosio budaya, geografis,

etnik, maupun “warna” pucuk pimpinan di daerah itu-- dan pendidikan nasional

merupakan wadahnya.

Jangankan pendidikan berada di tangan pemerintah daerah, sekalipun

pendidikan masih berada di tangan pusat jika kacamata yang digunakan pemerintah

pusat berwarna merah maka akan merah pula pendidikan. Jika kacamata yang

digunakan berwarna kuning akan kuning pula pendidikan, demikian pula jika warna

hijau yang dikenakan. Masalahnya, sedemikian mudahkah pendidikan berganti

warna?

Kita dapat melihat perjalanan pendidikan pada masa lalu. Pada saat penguasa

mengenakan kacamata pahlawan, maka semangat heroik sempat mewarnai

pendidikan sampai-sampai muncul mata pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa

(PSPB). Tak berselang lama, saat Pancasila menjadi tolok ukur moral muncul mata

pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, bahkan sampai dengan diadakan berbagai

penataran P4, sedemikian rentannya dunia pendidikan menghadaip intervensi dari

96

96

Page 97: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

penguasa. Itu baru dalam hal mata pelajaran /kurikulum, belum lagi soal libur

panjang pada pendidikan dasar /menengah, program CBSA, kelas unggulan, sekolah

unggulan, SD Inti /SD Imbas, EBTANAS /UAS, UMPT /SPMB, BP3, Komite

Sekolah dan entah akan ada apa lagi. Oleh karena itu sangat tidak salah jika sampai

ada suara sumbang, ganti Menteri ganti kurikulum, ganti peraturan. Dengan pola

kerja semacam itu --yang sering ganti-- kesan asal jalan, kesan coba-coba, dan kesan

asal comot tidak dapat dihindarkan. “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,

pengajaran dan /atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”

(Pasal 1, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989)

Dari situ terlihat bahwa pendidikan dilakukan secara sadar. Jika usaha sadar

tersebut menanamkan konsep ke-Indonesia-an maka peserta didik pun akan

berwawasan Indonesia. Jika konsep barat yang ditanamkan maka peserta didikpun

akan kebarat-baratan, bahkan mungkin lebih barat dari orang barat sendiri. Namun,

jika konsep kedaerahan yang ditonjolkan maka harapan tumbuhnya wawasan

Indonesia akan semakin jauh. Kita harus ingat bahwa dengan mengedepankan konsep

ke-Indonesia-an saja masih sering terjadi konflik horisontal lantas apa gerangan yang

akan terjadi sekian puluh tahun lagi jika konsep kedaerahan terus dipertahankan.

Dalam hal ini, penulis tidak memandang sepi peran pemerintah daerah dalam

pendidikan. Jika dipandang dari segi materi yang telah diberikan dapat dipandang

cukup, hanya saja pemerataannya yang kurang. Namun pendidikan bukan hanya

bersifat materi yang dapat diwujudkan dalam bentuk bangunan fisik, fasilitas,

kesejahteraan pendidik, dan sebagainya, masih ada aspek lain yang tidak kalah

pentingnya yaitu aspek imateri yang dalam hal ini berupa kurikulum, kompetensi

pendidik, profesionalisme pendidik yang pada akhinya akan sangat mempengaruhi

mutu pendidikan itu sendiri, dan kesamaan visi dalam membangun Indonesia yang

satu. Dalam hal materi, pemerintah daerah dapat dipastikan mampu(?), namun dalam

hal imateri?

97

97

Page 98: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Terputusnya herarki pendidikan dari pusat di level atas dengan sekolah di

level bawah --bagi penulis-- sangat memprihatinkan. Adanya celah antar institusi

pendidikan tersebut dapat dipandang sebagai bukti akan rentannya dunia pendidikan

terhadap intervensi politik (?).

Bandingkan saja pada masa pra otonomi, meskipun tidak secara keseluruhan,

terpecah secara vertikal --pada tingkat provinsi ada Kantor Wilayah Departemen

Pendidikan Nasional dan ada Dinas Pendidikan Provinsi, pada tingkat kabupaten

/kodia ada Kantor Departemen Pendidikan Nasional Kabupaten /Kodia dan ada Dinas

Pendidikan Kabupaten /Kodia, di tingkat kecamatan ada Kantor Departemen

Pendidikan nasional Kecamatan dan ada Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan.

Pembaca dapat saja berargumen bahwa bidang garapan kedua instansi

pendidikan tersebut berbeda. Namun, hendaknya juga ingat bahwa “payung” mereka

juga berbeda, yang satu bernaung di bawah Menteri Pendidikan Nasional sedang

yang lainnya di bawah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Yang jelas, adanya

dualisme tersebut merupakan pertanda ketidaksehatan sebuah organisasi. Sesekali

beriring sejalan, sesekali bertolak belakang, membuat bingung lapisan bawah.

Sedangkan pada era otonomi keadaannya lebih parah lagi, pendidikan dapat

dikatakan seatap di bawah, namun terpotong-potong di atas. Dari dua model tersebut

muaranya sama, pendidikan terkoyak.

Memang, pada setiap model seperti yang tertera di atas ada pihak yang

diuntungkan, dan pihak ini akan terus berusaha mempertahankan pola yang

dianutnya. Dan, yang berposisi sebagai obyek penderita adalah sama, yaitu: dunia

pendidikan secara keseluruhan, atau paling tidak Guru.

Dari situ dapat dimengerti, jika pada akhirnya output pendidikan pun juga

mudah terkoyak sebab mereka memang sudah membawa virus terkoyak selama

dalam pendidikan. Sungguhpun demikian, bukan berarti pendidikan akan lebih baik

jika pola sentralisasi kembali diterapkan sehingga dunia pendidikan akan membentuk

sebuah kurva lurus.

98

98

Page 99: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Padahal, dari banyak macam warna4 yang tersedia dapat dipastikan hanya ada

satu yang benar-benar berkenan di hati peserta didik. Sebuah pilihan yang benar-

benar berasal dari lubuk hatinya. Jika “warna” tersebut cocok dengan “warna”

penguasa maka tidak akan menimbulkan masalah, namun jika berbeda --apalagi

kalau sampai berseberangan-- lagi-lagi output pendidikan yang akan menjadi korban.

Oleh karena itu, pada masa pasca transisi, pendidikan harus dilepaskan dari

jeratan “warna” –politik pemerintah. Lepas dari jeratan politik berarti keluar dari

bayang-bayang pemerintah. Artinya, pendidikan harus merupakan institusi tersendiri

yang mandiri, sebuah badan --Badan Pendidikan Nasional Indonesia (BPNI).

Dengan kata lain, badan ini setara dengan lembaga tinggi negara yang

lain. BPNI hanya menangani satu bidang garapan negara, yaitu mengurus

masalah pendidikan seperti yang diamanatkan Pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945.

Badan Pendidikan Nasional Indonesia

BPNI merupakan wadah pendidikan di tingkat nasional. Disinilah sebenarnya

puncak organisasi satuan pendidikan di Indonesia. Sebagai sebuah badan pendidikan,

maka tugasnya adalah mengurus masalah pendidikan nasional dengan segala

aspeknya. BPNI inilah yang menghadapi “dunia luar” pendidikan di dalam MPR.

Badan ini di bawah pimpinan guru (bukan sipil lain) dengan jabatan struktural guru

tertinggi di Indonesia, yaitu Guru Pendidikan Nasional.

Dibawah BPNI ini terdapat tiga buah lembaga, yaitu : Pertama, sepuluh buah

Satuan Lembaga Pendidikan (SLP) yang masing-masing dipimpin oleh seorang Guru

Pendidikan Tinggi Strata 3 Bagian --misalnya : Guru Pendidikan Tinggi S3 Bagian

Sumatera, Guru Pendidikan Tinggi S3 Bagian Jawa, Guru Pendidikan Tinggi S3

Bagian Kalimantan, Guru Pendidikan Tinggi S3 Bagian Sulawesi, dsb. Kedua, adalah4 lihat Noto Agama

99

99

Page 100: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dibawah pimpinan Kepala

Departemen Pendidikan Nasional (bukan Menteri Pendidikan Nasional), dan ketiga

adalah sebuah Lembaga Pendidikan Nasional (Lemdiknas) dibawah pimpinan

Gubernur Pendidikan Nasional.

Satuan Lembaga Pendidikan

Satuan Lembaga Pendidikan (SLP) adalah satuan organik pendidikan. Sebagai

sebuah satuan organik akan terlihat perputaran sesungguhnya dari roda kehidupan

pendidikan. Hal ini dikarenakan, pada setiap satuan pendidikan terdapat kewenangan

untuk mengurus masalah teknis edukatif dan edukatif sesuai lingkupnya. Di dalam

struktur organisasinya terdapat :

a. Guru --dengan status Aparatur Negara Sipil (ANS);

b. Pegawai Guru -- dengan spesialisasi sebagai guru, dengan status tertinggi

Pegawai Negeri Sipil (PNS);

c. Pegawai Pendidikan --dengan status Aparatur Negara Sipil (ANS)

yang mengurus masalah non teknis, misalnya : laboran, pustakawan, tata

usaha, penjaga, dan sebagainya.;

d. Pegawai Sipil Pendidikan --dengan status tertinggi Pegawai Negeri

Sipil (PNS) yang juga mengurus masalah non teknis.

Pada SLP inilah sebenarnya terletak otonomi pendidikan. Oleh karena itu,

penjenjangan Satuan Lembaga Pendidikan dengan Pendidikan Nasional Indonesia

sebagai satuan pendidikan utama (satuan puncak) akan terlihat sebagai berikut :

No Jenjang

Pendidikan

Jenjang Satuan Pendidikan Nomor

Satuan

Satuan

Pendidikan

100

100

Page 101: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

1. Pendidikan

dasar

Pendidikan dasar 1 SD

Pendidikan dasar atas 2 SLTP

2. Pendidikan

menengah

Pendidikan menengah dasar 3 SLTA

Pendidikan menengah atas 4 Diploma 1

5 Diploma 2

6 Diploma 3

7 Diploma 4

3..

.

Pendidikan

tinggi

Pendidikan tinggi dasar 8 Strata 1

Pendidikan tinggi menengah 9 Strata 2

Pendidikan tinggi atas 10 Strata 3

Tabel 20

Pola di atas akan menggiring pada penataan teritorial Indonesia5, penataan

penguasa6, dan terbentuknya sebuah piramida besar pendidikan. Hal ini dikarenakan

beberapa sebab:

Pertama, Pendidikan Nasional Indonesia (Universitas bumi Indonesia)

merupakan satuan (10)0 lembaga pendidikan di Indonesia. Dengan demikian,

idealnya pada “Universitas bumi Indonesia” terdapat 10 buah Pendidikan Tinggi

Strata 3 yang terdapat pada setiap bagian Indonesia.

Setiap Pendidikan Tinggi Strata 3 mewadahi 10 buah Pendidikan Tinggi

Strata 2. Pendidikan Tinggi Strata 2 tersebar di tiap wilayah bagian. Jadi pada setiap

wilayah bagian hanya terdapat sebuah Pendidian Tinggi Strata 2.

5 lihat Noto Nusa ; 6 lihat Noto Penguasa

Setiap Pendidikan Tinggi Strata 2 mewadahi 10 buah Pendidikan Tinggi

Strata 1. Pendidikan Tinggi Strata 1 tersebar pada setiap provinsi. Jadi, pada setiap

provinsi hanya ada sebuah Pendidikan Tinggi Strata 1.

101

101

Page 102: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Setiap Pendidikan Tinggi Strata 1 mewadahi 10 Pendidikan Diploma IV.

Pendidikan Diploma IV terdapat di tiap karesidenan. Dengan demikian, pada tiap

karesidenan hanya ada sebuah pendidikan Diploma IV.

Setiap Pendidikan Diploma IV mewadahi 10 Pendidikan Diploma III.

Pendidikan Diploma III tersebar di tiap kabupaten. Oleh karena itu, pada tiap

kabupaten hanya ada sebuah Pendidikan Diploma III.

Setiap Pendidikan Diploma III mewadahi 10 Pendidikan Diploma II.

Pendidikan Diploma II berada pada setiap kota. Maka dari itu, pada tiap kota akan

terdapat sebuah Pendidikan Diploma II.

Setiap Pendidikan Diploma II mewadahi 10 Pendidikan Diploma l.

Pendidikan Diploma 1 tersebar di setiap kawedanan. Oleh karena itu, pada tiap

kawedanan hanya ada sebuah Pendidikan Diploma I.

Setiap Pendidikan Diploma I mewadahi 10 SLTA. Lembaga pendidikan ini

tersebar di tiap kecamatan. Oleh karena itu, sebuah Sekolah Menengah Umum

(SMU) terdapat di tiap kecamatan, sedangkan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

hendaknya ada pada setiap kawedanan --sesuai kebutuhan daerah setempat. Jadi,

pada galibnya sebuah SMK untuk 100 SLTP.

Setiap SMU mewadahi 10 SLTP. Lembaga pendidikan ini tersebar di tiap

desa. Dengan demikian, pada tiap desa harus ada sebuah SLTP.

Setiap SLTP mewadahi 10 SD. Setiap SD tersebar di tiap Kelurahan. Dengan

demikian, pada tiap kelurahan hanya ada sebuah SD, dan setiap SD tidak harus

mewadahi 10 buah TK --karena TK belum merupakan jalur pendidikan formal

sungguhpun pada beberapa SD favorit menerapkan persyaratan calon murid Kelas I

adalah “lulusan” TK. Yang penulis maksud dengan mewadahi adalah sebagai

“rayon”, bukan jurusan, bukan pula program.

Dengan pola semacam itu, sepanjang pendidikan masih bersifat “umum” --

dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi-- maka peserta didik yang tamat

dari sebuah sekolah untuk dapat masuk ke lembaga pendidikan yang memayungi

sekolahnya, padanya tidak perlu lagi diberikan tes penerimaan murid baru. Dengan

102

102

Page 103: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

demikian, mereka cukup mengikuti ujian akhir. Tes penerimaan murid baru hanya

diberikan, jika peserta didik berasal dari rayon lain.

Kedua, pola tersebut juga menggiring dunia pendidikan menjadi sebuah

piramida besar dengan satu puncak dan piramida besar tersebut adalah Universitas

bumi Indonesia itu sendiri. Piramida-piramida terkecil sebagai penyusunnya adalah

sekolah dasar, sedangkan sekolah dasar sendiri tersusun dari dua macam “batu” mata

pelajaran . Perhatikan :

1. Pendidikan Dasar

Pada Sekolah Dasar terdapat enam tingkat /kelas. Pada enam tingkat /kelas

tersebut terdapat mata pelajaran dasar umum dan mata pelajaran dasar khusus.

Mata pelajaran dasar umum terdapat pada : Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan (PPKn) –seyogyanya untuk yang akan datang diganti dengan

Pendidikan Bela Negara sehingga cakupannya lebih luas, Bahasa Indonesia, Ilmu

Pengetahuan Sosial (IPS), Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), dan Matematika.

Sedangkan mata pelajaran dasar khusus terdapat pada : Pendidikan Agama, Kerajinan

Tangan dan Kesenian, Olah raga dan Kesehatan, dan Muatan Lokal. Mata pelajaran

dasar umum menjadi tugas Guru Kelas, sedangkan mata pelajaran dasar khusus

menjadi tugas Guru Mata Pelajaran.

Dengan demikian, seharusnya pada setiap sekolah dasar sedikitnya terdapat

empat macam guru mata pelajaran. Guru mata pelajaran dasar umum (baca : Guru

Kelas) hanya menggarap segi intelektual, sedangkan Guru mata pelajaran dasar

khusus mempunyai bidang garapan yang lebih luas, yaitu : segi spiritual (Guru

Agama), segi emosional (Guru Kerajinan Tangan dan Kesenian serta Guru Muatan

Lokal yang berbasis seni budaya daerah), dan segi motorik (Guru Olahraga).

Sejalan dengan hal itu, idealnya pada setiap sekolah dasar dengan 6

rombongan belajar, rasio Guru Kelas dengan jumlah kelas (rombongan belajar)

adalah 1 : 1, rasio Guru Mata Pelajaran dengan kelas adalah 1 : 6, dan rasio guru :

murid –pada SD tipe paling sederhana-- adalah 1 : 10. Dengan kondisi seperti itu,

103

103

Page 104: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

barulah dapat diharapkan “tamatan” Sekolah Dasar memiliki pribadi yang utuh. Hal

ini dikarenakan yang bersangkutan mendapatkan “pelayanan” dari ahlinya serta lebih

longgar bagi guru untuk dapat memberikan pelayanan individu. Keadaan serupa akan

semakin tegas terlihat saat yang bersangkutan menamatkan pendidikan dasar (SLTP),

sebab mata pelajaran dasar sudah terpilah lebih jelas --hal ini terlihat dari Guru Kelas

(di SD) menjadi Guru Mata Pelajaran di SLTP-- sementara mata pelajaran dasar

khusus masih berlanjut.

Pola di atas akan menggiring pertumbuhan sekolah dasar sehingga tipe SD

pada pasca transisi menjadi empat macam. Perhatikan tabel berikut :

No. Tipe

SD

Jumlah

Rombongan

Belajar

Guru

Kelas*

Guru

Mapel

Murid Rasio Guru

/Murid

1. A 12 12 8 240 1 : 12

2. B 6 6 4 120 1 : 12

3. C 6 5 1 60 1 : 10

4. D 6 - 1 10 1 : 10

*Belum termasuk pimpinan sekolah.

Tabel 21

Bandingkan dengan rasio dosen /mahasiswa beberapa Perguruan Tinggi Negeri :

a. Universitas Indonesia = 1 : 10

b. Institut Teknologi Bandung = 1 : 7

c. Universitas Diponegoro = 1 : 6

d. Universitas Gajahmada = 1 : 15

e. Universitas Airlangga = 1 : 10

f. Institut Teknologi Sepuluh November = 1 : 13

(Prestasi Tinggi Mulai di Sini, 2002 : 5)

Oleh karena itu, memandang ideal rasio guru SD /murid ± 1 : 40 atau 1 :

30 seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.

0424/U/1993 Tanggal 1 Desember 1993 tentang Pembakuan Tipe Sekolah pada

Satuan Pendidikan Dasar jelas merupakan sebuah bentuk diskriminasi yang

104

104

Page 105: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

terlembagakan. Begitu pula dengan memposisikan Guru SD Kecil (SD Tipe C)

selama ini yang dikondisikan untuk melaksanakan tatap muka pada dua kelas dengan

tanpa memandang jumlah muridnya (sekalipun sudah melebihi ambang batas

kewajaran) merupakan sebuah bentuk penganiayaan profesi. Dari sini muncul

pertanyaan, bagaimana mungkin institusi di luar pendidikan dapat berlaku adil jika

penguasa pendidikan sendiri tidak dapat berlaku adil terhadap para pendidiknya?

Bahwa guru akan mampu mengatasi permasalahan, itu benar (?). Namun,

perlu diingat bahwa standart pendidikan keprofesionalan Guru SD belum mencapai

taraf profesional purna. Pada perguruan tinggi yang staf pengajarnya –mayoritas--

sudah berkualifikasi profesional purna saja, rasio tertinggi adalah 1:15. Mengapa

pada SD yang para pendidiknya baru berkualifikasi profesional parapurna

(berpendidikan SLTA) dan sebagian profesional semipurna II (berpendidikan

Diploma II) sudah menerapkan rasio 1: 30 atau malah 1 : 40, apalagi ada yang masih

harus mengajar rangkap karena kekurangan guru?

Di mana letak keadilannya? Dalam hal ini, mungkin pembaca mengajukan

argumen, bukankah di SD banyak juga guru yang berpendidikan S1 Keguruan?

Bukankah itu menunjukkan mereka sudah berkualifikasi profesional dekat purna?

Pendapat tersebut tidak salah sepanjang pendidikan S1 yang mereka tempuh adalah

S1 jurusan Guru Kelas, bukan S1 jurusan Guru bidang studi --kecuali untuk

Pendidikan Agama, Kerajinan Tangan dan Kesenian, Olahraga, dan Muatan Lokal.

Oleh karena itu, keberadaan pendidikan S1 untuk jurusan Guru Kelas seyogyanya

dipertimbangkan /dikembangkan.

Pola di atas akan menggiring akan keberadaan sebuah SD pada setiap

kelurahan, dan pada gilirannya nanti, sebuah SLTP pada setiap desa, sebuah SMU

setiap kecamatan, dan seterusnya hingga pada setiap bagian Indonesia terdapat

sebuah lembaga Pendidikan Tinggi dengan kualifikasi S3. Dengan pola seperti itu

barulah dapat diharapkan tuntasnya Wajib Belajar 9 tahun. Mengingat adanya

perubahan pola pada SD, maka dengan sendirinya tipe SLTP harus menyesuaikannya.

Dengan demikian, pada masa transisi sebagai langkah persiapan harus dituntaskan

105

105

Page 106: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

perampingan sekolah-sekolah dasar kompleks. Ini berarti, pada setiap lokasi hanya

ada sebuah lembaga. Oleh sebab itu, pada masa transisi, dari tiga macam tipe sekolah

dasar akan ada lima macam tipe sekolah dasar. Perhatikan :

No. Tipe

SD

Jumlah

Rombongan

Belajar

Guru

Kelas*

Guru

Mapel

Murid RasioGuru /Murid

1. A 18 18 12 720 1 : 24

2. B 12 12 8 480 1 : 24

3. C 6 6 4 240 1 : 24

4. D 6 3 1 60 1 : 15

5. E 6 - 1 18 1 : 18

* Belum termasuk pimpinan sekolah

Tabel 22

Dari tabel di atas, akhirnya dapat diproyeksikan pertumbuhan sekolah dasar

yang bersangkutan sebagai berikut: Kelak, sekolah dasar dengan tipe A akan

ditumbuhkembangkan sehingga pada lembaga tersebut akan lahir sebuah SLTP

(menjadi SD + SLTP) dan untuk selanjutnya dari situ juga akan lahir sebuah SLTA

(SD + SLTP + SMU) dengan tipe yang paling sesuai.

Sedangkan pada tipe B akan dirintis untuk melahirkan sebuah SLTP. Ini

berarti, pada lembaga tersebut selain terdapat sebuah SD juga akan terdapat sebuah

SLTP. Jadi, masalah tipe mana yang akan ditempati tergantung pada faktor

pendukung dan kendala yang ada, dengan demikian sifatnya longgar.

Tipe sekolah yang baku hendaknya tidak dijadikan alasan untuk

membonsai sebuah sekolah untuk tumbuh, juga tidak dijadikan dalih “untuk

menyembunyikan penganggur terselubung …”.

Dengan demikian, tipe sekolah adalah baku. Namun sebenarnya yang

dimaksud baku tersebut adalah tipenya, bukan sekolahnya. Oleh karena itu, tipe

sebuah sekolah dapat saja berubah dari tipe yang satu menjadi tipe yang lain. Bisa

jadi, suatu saat menjadi tipe yang lebih tinggi dan pada saat yang lain akan turun.

106

106

Page 107: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Begitu pula halnya dengan SLTP yang sudah ada, lembaga tersebut harus

berani membangun basis sendiri. Yang dimaksud dengan membangun basic sendiri

berarti membangun sebuah garis lurus dengan sepuluh lembaga pendidikan di

bawahnya. Ini berarti SLTP tersebut akan menjadi wadah dari sepuluh SD yang sudah

dapat dipastikan berada di dalamnya.

2. Pendidikan Menengah

Pada SLTA, mata pelajaran dasar umum (MPDU) dan mata pelajaran dasar

khusus (MPDK) mulai menempuh jalur masing-masing. Pada SMU, Mata pelajaran

dasar umum dan mata pelajaran Agama merupakan pelajaran wajib, sedangkan mata

pelajaran dasar khusus dan mata pelajaran Agama merupakan pelajaran wajib di

SMK. Dengan demikian, pada SMK, MPDK menjadi MPDU.

Jadi, pada SMK barulah berupa dasar dari penjurusan keterampilan dasar.

Dari situ terlihat bahwa tidak ada perubahan yang mendasar dari pola. pendidikan

sampai pada level pendidikan menengah bawah. Tetapi, pada pendidikan menengah

atas (diploma) --umum, mata pelajaran dasar umum mulai memisahkan diri satu

persatu sehingga menjadi mata ajaran. Sehingga, setiap peserta didik menyelesaikan

satu periode pembelajaran pada pendidikan menengah atas maka sudah dipandang

dapat menamatkan satu paket “mata pelajaran” yang terdiri dari sepuluh mata ajaran.

Dengan demikian, seandainya, karena satu dan lain hal, peserta didik tidak

dapat menamatkan pendidikannya sampai pada program Diploma IV, maka berarti

yang bersangkutan tetap memiliki nilai jual sebab ia telah dapat menamatkan sepuluh

mata ajaran di program Diploma III. Begitu pula, seandainya peserta didik terputus di

tengah jalan dalam program S1 –nya, maka ia tetap memiliki nilai dari program

Diploma IV –nya.

3. Pendidikan Tinggi

Sebagai mana kita tahu, pada perguruan tinggi terdapat beberapa buah

fakultas dengan spesifikasi tertentu. Dengan pola bilangan maka akan menuntun

munculnya sepuluh macam fakultas pada setiap perguruan tinggi dan akan

107

107

Page 108: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

menggiring lahirnya sepuluh jurusan pada setiap fakultas, yang tentu saja

kesemuanya akan berorientasi langsung dengan dunia pasar sebagai pengguna output

pendidikan serta dengan tidak meninggalkan jati diri ilmu itu sendiri.

Pola bilangan juga menggiring akan makin singkatnya masa belajar pada

Pendidikan Tinggi, khususnya pada program S1, sebab untuk dapat masuk ke jenjang

tersebut peserta didik telah melewati program Diploma. Dengan demikian, dari

seratus sekian Sistem Kredit Semester (SKS) yang harus diselesaikan dalam program

S1, maka pada saat pola ini diterapkan hanya tinggal beberapa buah saja.

Jadi, setiap setiap satu macam pelajaran menjadi wadah dari sepuluh macam

cabang pelajaran dari pelajaran tersebut. Dengan kata lain, pohon pelajarannya ada

di Pendidikan Dasar (baca : SD) sedangkan ranting terkecilnya ada di Pendidikan S3.

Ingat, setiap pohon bercabang sepuluh, setiap cabang bercabang sepuluh, dan

seterusnya.

Ketiga, noto pendidikan akan menggiring kelahiran lembaga pendidikan

negeri (baca : Sekolah Dasar Negeri sampai dengan Perguruan Tinggi Negeri) baru

untuk mendampingi sekolah-sekolah negeri yang telah lebih dahulu lahir (untuk SD,

adalah SD Induk dan SD Inpres) Lembaga pendidikan negeri “baru” tersebut adalah

lembaga pendidikan swasta yang dinegerikan secara masal pada pasca transisi nanti,

dengan kata lain negerinisasi lembaga pendidikan swasta. Lembaga-lembaga

pendidikan negeri baru tersebut layak menyandang status reformasi, karena

kelahirannya pada zaman reformasi.

Hal ini dikarenakan, adanya tuntutan –bilangan-- tiadanya lembaga

pendidikan yang setingkat pada sebuah wilayah teritorial. Dengan kata lain, tidak ada

lembaga pendidikan tandingan, “satu” daerah teritorial akan diisi “satu” satuan

lembaga pendidikan. Dalam hal ini, kualifikasi guru sangat perlu untuk diperhatikan.

Dari situ muncul pertanyaan, di mana peran masyarakat dalam pendidikan?

Pembaca yang budiman, sebagai mana telah diamanatkan oleh Pembukaan UUD

1945 bahwa satu di antara tujuan didirikannya negara ini adalah mencerdaskan peri

kehidupan bangsa. Jadi, menjadi tugas negaralah untuk mencerdaskan bangsa ini.

108

108

Page 109: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Kelak, tugas negara tersebut, dalam konteks pembagian daerah kerja, telah diemban

oleh Badan Pendidikan Nasional Indonesia. Oleh karena itu, tidak ada dalih bagi

negara untuk mengalihkan tanggungjawabnya kepada masyarakat. Bahkan pada saat

inipun, menurut penulis, peran masyarakat yang diartikan sebagai penyelenggara

pendidikan pun adalah sebuah bentuk lari dari tanggung jawab dan –secara mikro-

sangat berbahaya bagi dunia pendidikan itu sendiri.

Oleh karena itu, jangan heran jika ada suara sumbang tentang amburadulnya

dunia pendidikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan seringnya muncul ijazah aspal

(asli tapi palsu), atau yang disinyalir oleh Adri Wibowo (HR & Division Head PT

Gotrans Interna Express) bahwa ijazah dapat dibeli (Tarbawi, edisi 38 Th. 4 : 33),

model belah bambu dalam menangani lembaga pendidikan sejenis, maupun berita

miring yang lain.

Dengan demikian, kelak, penetrasi pendidikan tidak hanya pada daerah-

daerah tertentu dan dunia pendidikan benar-benar diperuntukkan bagi seluruh anak

bangsa –tanpa memandang status sosial (dalam kondisi tertentu, memang perlu).

Dengan model semacam itu baik dunia pendidikan maupun masyarakat sebagai

pengguna jasa pendidikan akan sama-sama diuntungkan.

Oleh karena itu, jika Guru Pendidikan Nasional adalah satuan pertama dan

“utama” jabatan struktural dalam dunia pendidikan maka jabatan struktural

organik pendidikan akan berkembang menjadi sebagai berikut :

1. Guru Pendidikan Tinggi Strata 3 --pra transisi : Rektor Pendidikan

Tinggi dengan kualifikasi S3

2. Guru Pendidikan Tinggi Strata 2 --pra transisi : Rektor Pendidikan Tinggi

dengan kualifikasi S2

3. Guru Pendidikan Tinggi Strata 1 --pra transisi : Rektor Pendidikan Tinggi

dengan kualifikasi Sl

4. Guru Pendidikan Tinggi --pra transisi : Dekan Diploma 4

5. Guru Pendidikan Menengah Atas --pra transisi : Dekan Diploma 3

109

109

Page 110: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

6. Guru Pendidikan Menengah Dasar --pra transisi : Dekan Diploma 2

7. Guru Pendidikan Dasar --pra transisi : Dekan Diploma 1

8. Guru SLTA --pra transisi : Kepala SLTA

9. Guru SLTP – pra transisi : Kepala SLTP

10. Guru SD –pra transisi : Kepala SD

Dari situ terlihat bahwa sebenarnya Kepala Sekolah Dasar pada masa pra

transisi (saat ini) adalah sebuah jabatan struktural terendah pada dunia pendidikan.

Oleh karena itu, sungguh sangat naif jika menafikan keberadaanya. Kelak, hak

Kepala Sekolah Dasar yang berupa tunjangan struktural harus dikembalikan untuk

mendampingi kewajiban yang telah dilaksanakannya.

Jabatan sebagai tersebut di atas merupakan jenjang jabatan struktural, oleh

karena itu selama masih dalam jalur pendidikan “umum” maka dari Guru Sekolah

Dasar sampai dengan Guru Pendidikan Tinggi Strata 3 akan membentuk sebuah

kurva lurus. Oleh karena itu, ke depan perlu ada pendidikan umum di atas SLTA

(baca :SMU). Merekalah kelak yang akan menjadi Sarjana Pendidikan sebenarnya --

jadi sarjana pendidikan bukan output dari FKIP. Merekalah yang dapat diharapkan

mampu merumuskan arah pendidikan secara utuh.

Kelak, pola di atas akan menggiring ke situasi tidak ada “pejabat

administrasi” di atas jabatan guru atau lebih tepatnya, atasan guru adalah Guru. Guru

mempunyai tugas membimbing guru.

Dengan demikian, sebagai contoh :

1. Atasan Guru Kelas I/II/III/IV/V/VI dan Guru mata pelajaran Agama,

Kerajinan Tangan dan Kesenian, Olahraga, dan Muatan Lokal pada SD

adalah Guru SD;

2. Atasan Guru SD adalah Guru SLTP. Selain membawahi sepuluh orang

Guru SD, Guru SLTP juga membawahi seluruh guru yang ada di SLTP –

nya. Pada kondisi sempurna (SLTP tipe A) antara Guru SLTP dan guru

yang ada di SLTP terdapat jabatan Guru MIPA /Sosbud /BK /lain-lain

110

110

Page 111: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

sesuai kebutuhan. Guru MIPA akan menjadi atasan lansung Guru Mata

Pelajaran Matematika, Fisika, dan Biologi. Guru Sosial Budaya akan

membawahi Guru Mata Pelajaran Geografi, Sejarah, dan Ekonomi.

Dengan kata lain, jabatan struktural guru tergantung pada satuan pendidikan

tempatnya mengabdikan diri, semakin besar piramida pendidikan semakin panjang

pula deretan jabatan struktural yang tersedia.

Adapun fungsional guru dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, fungsional

dalam arti pekerjaan guru. Kedua, fungsional dalam arti pekerjaan pendidikan. hal itu

dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Fungsi guru dalam arti pekerjaan guru terdiri atas :

a. Pada pendidikan tinggi : Guru mata kuliah x

b. Pada pendidikan menengah : Guru mata ajaran x

c. Pada pendidikan dasar :

1. Guru mata pelajaran x

2. Guru kelas x

2. Fungsi guru dalam arti pekerjaan pendidikan –untuk selanjutnya digunakan

istilah fungsi pendidikan. Dalam hal ini berarti ada dua lapis. Lapis pertama

menduduki jabatan struktural dan lapis kedua menduduki jabatan fungsional.

Jabatan struktural dalam bidang pendidikan sudah terinci di bagian atas.

Sedangkan jabatan fungsional guru bukan ada pada pekerjaan guru. Dengan

demikian ternyata bahwa fungsi guru dalam pekerjaan maupun dalam bidang

pendidikan adalah berbeda. Perbedaan tersebut terlihat dari adanya beban

tambahan yang harus diselesaikan, baik berupa beban pekerjaan administrasi

maupun beban dalam masalah bimbingan konseling.

Dari situ muncul sebuah pertanyaan. Fungsi guru yang manakah yang

dihitung sehingga pada mereka diberikan tunjangan fungsional? Fungsi pertama atau

fungsi kedua? Sebab, dalam kenyataan, fungsi guru bukan hanya sekedar sebagai

guru (fungsi guru), padanya masih dibebani tugas lain (fungsi pendidikan) dan tugas

111

111

Page 112: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

itu tidak diemban semua guru yang –maaf-- tidak ada hitungannya, atau semacam

kerja bakti. Sebagai contoh :

1. Guru Kelas I SD, secara otomatis akan merangkap sebagai Wali Kelas I.

Pekerjaan (baca : fungsi guru) yang bersangkutan adalah Guru Kelas I.

Sedangkan Wali. Kelas I adalah jabatan fungsional (baca : fungsi

pendidikan);

2. Guru mata pelajaran Matematika SLTP Negeri 1 yang juga sebagai Wali

Kelas II, maka pekerjaan (fungsi guru) yang bersangkutan adalah Guru

mata pelajaran Matematika. Sedangkan Wali Kelas II adalah jabatan

fungsional (fungsi pendidikan);

3. Guru Biologi SMU Negeri IX yang tidak menjadi wali kelas.Pekerjaan

(fungsi guru) yang bersangkutan adalah Guru Biologi, sedangkan jabatan

fungsional yang bersangkutan tidak memiliki.

4. Guru olahraga SD yang tidak menjadi wali kelas. Pekerjaan (fungsi guru)

yang bersangkutan adalah Guru Olahraga dan jabatan fungsional tidak

dimilikinya.

Dengan kata lain, pemberian tunjangan fungsional kepada guru selama ini

sangat tidak tepat sasaran, sebab semua guru mendapatkannya. Keadaan akan

menjadi lain, jika istilah yang digunakan adalah “tunjangan pendidikan”. Sedangkan

tunjangan fungsional hanya diberikan kepada guru yang memegang jabatan

fungsional. Dalam hal ini jabatan fungsional harus dibedakan dengan jabatan

struktural. Dengan demikian, seharusnya kepada nomor satu dan dua sebagai contoh

di atas mendapatkan dua macam tunjangan yaitu tunjangan pendidikan dan tunjangan

fungsional. Sedangkan untuk nomor tiga dan empat hanya mendapatkan satu macam

tunjangan (tunjangan pendidikan) saja.

Fungsi pendidikan adalah merupakan kedudukan guru pada suatu daerah

satuan pendidikan. Bagi guru di sekolah dasar fungsi guru menjadi tumpang-tindih

dengan fungsi pendidikan, bayangkan selain sebagai guru kelas juga merangkap

sebagai wali kelas. Padahal, di antara keduanya terdapat hak dan kewajiban yang

112

112

Page 113: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

berbeda. Jadi, Wali Kelas adalah satuan --wali (guru)-- yang pertama dan terkecil itu

setingkat dengan kepala urusan di kantor kelurahan.

Dengan demikian, jabatan fungsional guru berikutnya adalah :

1. Wali Guru SD

2. Wali Guru SLTP

3. Wali Guru SLTA

4. Wali Guru Diploma 1

5. Wali Guru Diploma II

6. Wali Guru Diploma III

7. Wali Guru Diploma IV

8. Wali Guru Pendidikan Strata 1

9. Wali Guru Pendidikan Strata 2

10. Wali Guru Pendidikan Strata 3

Contoh :

1. Seharusnya seorang Guru Kelas I di Sekolah Dasar mendapatkan dua

macam tunjangan –selain tunjangan istri/anak/beras-- yaitu: tunjangan

pendidikan karena berprofesi sebagai guru, dan tunjangan fungional

karena menjadi Wali Kelas I. Sedangkan guru mata pelajaran x di

Sekolah Dasar hanya mendapatkan satu macam tunjangan, yaitu tunjangan

pendidikan sebab yang bersangkutan “hanya” menjadi guru mata pelajaran

x, tidak menjadi wali kelas.

2. Wali Guru SD membawahi 6 Wali Guru Kelas --yaitu Wali Guru Kelas

I, Wali Guru Kelas II, wali Guru Kelas III, Wali Guru Kelas IV, Wali

Guru Kelas V, dan wali Guru Kelas VI-- dan 4 Wali Guru Mata Pelajaran

(Agama, Kerajinan Tangan dan Kesenian, Pendidikann jasmani dan

kesehatan, dan Muatan Lokal) dari sepuluh buah sekolah dasar. Pada

113

113

Page 114: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

merekalah tugas membimbing berada. Dengan model seperti itu akan

dapat ditekan pemborosan biaya /waktu “penataran” ataupun pelatihan.

3. Wali Guru x, Fakultas y, Universitas z --pada Pendidikan Tinggi

dengan kualifikasi S-- (sebelum transisi, baca : Ketua Jurusan x, Fakultas

y, Universitas z) membawahi sejumlah Guru Mata Kuliah yang ada pada

jurusan x.

Para wali guru tersebutlah yang mempunyai tugas membimbing dan melatih

guru dalam meningkatkan pengetahuan /keterampilan yang kesemuanya akan

memacu peningkatan mutu “keprofesional” guru.

Sebagai contoh,

1. Wali Guru Kelas I mempunyai tugas membimbing Guru Kelas I;

2. Wali Guru Agama SD mempunyai tugas membimbing Guru Agama SD;

3. Wali Guru SD mempunyai tugas membimbing Guru SD;

4. Wali Guru Agama SLTP mempunyai tugas membimbing Guru Agama

SLTP;

5. Wali Guru Fisika SLTP bertugas membimbing Guru Fisika SLTP.

Namun perlu diingat, wali guru bukan jabatan struktural melainkan jabatan

fungsional. Kewenangan mereka sebatas melatih , bukan menilai. Oleh karena itu,

mereka tetap mempunyai tugas melaksanakan tatap muka sesuai dengan ketentuan

yang berlaku. Dengan demikian, sebagai contoh :

1. Pada Sekolah Dasar, jabatan Wali Guru Sekolah Dasar itulah sebenarnya

tempat bagi Ketua Kelompok Kerja Kepala Sekolah Dasar. Jabatan Wali

Guru Kelas I. itulah sebenarnya tempat Ketua Kelompok Kerja Guru

Kelas I, dan seterusnya;

2. Pada SLTA, jabatan Wali Guru MIPA menjai tempat bagi Ketua jurusan

MIPA (bukan IPA);

114

114

Page 115: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

3. Pada perguruan tinggi, Wali Guru Hukum Internasional itulah tempat bagi

Ketua jurusan Hukum Internasional, dan seterusnya.

Adapun pangkat guru, menurut penulis, sebenarnya terdapat pada jabatan

guru yang disandangnya. Konsep ini akan menyederhanakan sistem kepangkatan

guru. Dengan demikian, seorang guru pratama dengan pangkat pengatur muda, IIa.

Maka seharusnya, pangkat guru tersebut adalah guru pratama. Sedangkan golongan

ruangnya adalah IIa. Dalam hal pangkat /golongan ruang guru, tanpa mengurangi rasa

hormat penulis kepada para guru, seyogyanya, kelak juga dimulai dari I a. Bukankah,

pada dasarnya yang penting bukan tinggi pangkatnya, melainkan tingkat

kesejahteraannya?

Apalah arti sebuah pangkat yang tinggi menjulang, jika ternyata tingkat

kesejahteraan yang dirasakan oleh keluarganya jauh dari yang seharusnya? Bukankah

malah membuat malu “penguasa guru”?

Dengan pola semacam itu, lulusan Diploma 1 jurusan pendidikan sudah dapat

menjadi guru Sekolah Dasar. Keadaan ini jelas membantu percepatan pengurangan

pengangguran. Pertanyaan yang muncul dari kondisi ini adalah, bagaimana dengan

mutu guru tersebut, dapatkah dipertanggungjawabkan?

Sudah menjadi rahasia umum, peserta didik yang agak pintar alergi untuk

menjadi guru. Dan, itu wajar, sebab selain, gaji guru tergolong minim juga karena,

mungkin, kurang menantang. Jadi, sebelum dana pendidikan memadai, janganlah

berbicara mutu. Jangan pula menuntut yang muluk-muluk dari dunia pendidikan.

Namun, dengan reformasi bilangan, 20 % dari APBN sudah lebih dari cukup!

Disamping itu, tidak digunakannya pangkat pegawai negeri dalam pangkat

guru dimaksudkan untuk membedakan institusi guru dengan institusi pegawai negeri

lain yang menaunginya.

Dengan kata lain, pangkat guru akan terlihat sebagai berikut :

1. Guru Juru, Ia

2. Guru Juru Tingkat I, Ib

115

115

Page 116: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

3. Guru Bantu, Ic

4. Guru Bantu Tingkat I, Id

5. Guru Pratama, IIa

6. Guru Pratama Tingkat I, IIb

7. Guru Muda, IIc

8. Guru Muda Tingkat I, IId

9. Guru Madia, IIIa

10. Guru Madia Tingkat I, IIIb

11. Guru Dewasa, IIIc

12. Guru Dewasa Tingkat I, IIId

13. Guru Pembina, IVa

14. Guru Pembina Tingkat I, IVb

15. Guru Utama Muda, IVc

16. Guru Utama Madia, IVd

17. Guru Utama, IVe

Makin panjangnya pangkat guru akan membuat lebih longgar ruang

kepangkatan guru sehingga mereka tidak berdesak-desakan. Hal ini dikarenakan,

adanya perubahan start awal kepangkatan guru. Guru Juru, diperuntukkan bagi calon

guru tamatan SLTA yang sudah menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Guru Juru.

Karena modal akademik calon guru adalah SLTA, maka yang bersangkutan telah

mengantongi kelebihan 3 poin di atas Wajib Belajar 9 Tahun atau satu tingkat lebih

tinggi dari tamatan pendidikan dasar.

Maka dari itu, secara akademik yang bersangkutan telah layak mengajar di

Sekolah Dasar. Mungkin ada pertanyaan begini, sudah layakkah tamatan SLTA

menjadi guru? Jika si calon guru berasal dari luar keluarga guru, pertanyaan tersebut

sangat relevan. Sebab, mereka “asing” dengan kesibukan guru. Namun, jika calon

guru berasal dari keluarga guru, pertanyaan tersebut menjadi aneh. Sebab, pertama,

116

116

Page 117: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

secara genetika sifat bawaan akan menurun, sekalipun tidak semurni induknya.

Kedua, sedikit banyak, mereka telah tahu peri kehidupan “dunia” guru.

Kekurangmurnian ini akan tertutup dengan dua cara, pertama dengan

pendidikan dan ke dua dengan pelatihan. Jika jalur pendidikan yang ditempuh, maka

berarti harus masuk ke pandidikan guru. Namun, jika jalur pelatihan yang ditempuh,

maka ia harus mengikuti penataran. Penataran sebagai aplikasi dari pendidikan

sebagai yang dimaksud menjadi kewajiban Departemen Pendidikan Nasional, kelak.

Departemen Pendidikan Nasional

Departemen Pendidikan Nasional hanya akan mengurus dua masalah yaitu

edukasi (baca : pendidikan untuk calon pendidik) serta melaksanakan kepengawasan.

1. Masalah Edukasi

Masalah edukasi dimunculkan dalam bentuk keberadaan sekolah yang harus

ditangani. Pada sekolah-sekolah tersebut itulah tempat para Widya Iswara

mendarmakan ilmunya untuk kemajuan pendidikan. Mereka menjalankan fungsi guru

sekaligus menjalankan fungsi pendidikan. Dengan demikian, bidang garapan untuk

masalah edukasi adalah Sekolah Pendidikan Guru dan Sekolah Pendidikaan Non

Guru. Pada Sekolah Pendidikan Guru ini ada empat buah jenjang yang masing-

masing berdiri lepas namun merupakan sebuah kesatuan /berkesinambungan serta

sebuah sekolah jabatan guru.

Perhatikan :

1. Sekolah Pendidikan Guru terdiri dari:

a. Sekolah Pendidikan Guru Juru;

b. Sekolah Pendidikan Guru Pratama;

c. Sekolah Pendidikan Guru Madia;

d. Sekolah Pendidikan Guru Pembina;

117

117

Page 118: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

2. Sekolah jabatan guru yang dimaksud adalah Sekolah Guru.

Sedangkan Sekolah Pendidikan Non Guru diperuntukkan bagi tenaga di lingkup

pendidikan non guru yang meliputi :

a. Sekolah Juru;

b. Sekolah Pratama;

c. Sekolah Penata;

d. Sekolah Pembina.

Keberadaan Sekolah Pendidikan Guru, Sekolah Guru, dan Sekolah

Pendidikan Non Guru dimaksudkan untuk menampung gen murni pendidikan (dari

Kelompok I) yang akan mewarisi lahan kehidupan orangtuanya untuk mendapatkan

keahlian mendidik /kecakapan khusus. Dalam hal ini, mereka harus memenuhi

persyaratan umum.

Misalnya, berpendidikan SLTA untuk masuk ke Sekolah Pendidikan Guru

Juru, berpendidikan Diploma untuk Sekolah Pendidikan Guru Pratama,

berpendidikan S1 untuk masuk ke Sekolah Pendidikan Guru Madia dan seterusnya.

Keberadaan sekolah ini harus dibedakan dengan Diploma Pendidikan /Fakultas

Pendidikan, juga dibedakan dengan PGSD /FKIP /lainnya.

Lembaga pendidikan guru tersebut –mulai dari Sekolah Pendidikan Guru Juru

sampai dengan Sekolah Pendidikan Guru Pembina --dipersiapkan untuk mencetak

tenaga guru, sedangkan Sekolah Guru dipersiapkan untuk guru-guru yang akan

menduduki jabatan struktural. Adalah sebuah keniscayaan, setiap Guru yang akan

menduduki jabatan struktural wajib untuk mengenyam terlebih dahulu Sekolah Guru

tersebut. Dengan demikian, mereka tidak gagap edukasi.

Sedangkan Diploma Pendidikan/Fakultas Pendidikan –yang bernaung di

bawah Satuan Lembaga Pendidikan-- yang mempelajari ilmu murni pendidikan

tersebut diperuntukkan bagi gen luar (dari Kelompok II) yang akan masuk ke dalam

Kelompok I dengan cara kontrak, membeli, atau sebagai pegawai pada “lahan

kehidupan” guru.

118

118

Page 119: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

2. Masalah Kepengawasan

Kepengawasan dimunculkan dengan keberadaan Inspektorat Pendidikan dari

tingkat pusat sampai tingkat kecamatan. Dengan demikian, pada level terendah,

sebuah Kantor Inspektorat Pendidikan Kecamatan (F) akan mengawasi kinerja

sepuluh buah lembaga pendidikan dasar (baca : 10 SLTP), sedangkan untuk tingkat

desa yang ada adalah Kantor Kepenilikan Pendidikan Desa (F1), lembaga ini akan

menjadi institusi pengawas bagi sepuluh buah sekolah dasar yang tersebar di sepuluh

buah kelurahan

Oleh karena itu, pada kantor kepenilikan tersebut akan muncul sepuluh

jabatan penilik, yaitu : Penilik Kelas I, Penilik Kelas II, Penilik Kelas III, Penilik

Kelas IV, Penilik Kelas V, Penilik Kelas VI, Penilik Agama, Penilik Kerajinan

Tangan dan Kesenian, Penilik Olahraga, dan Penilik Muatan Lokal. Kesepuluh

macam penilik tersebut dibawah pimpinan seorang Penilik Sekolah Dasar.

Lembaga Pendidikan Nasional

Lembaga Pendidikan Nasional (Lemdiknas) mengurus masalah non teknis

/non edukatif pendidikan . Dengan demikian, lembaga ini dapat dipandang sebagai

sebuah alat untuk meningkatkan kesejahteraan pendidik dan dunia pendidikan pada

umumnya. Bisa juga dipandang sebagai sebuah badan usaha milik pendidikan. Di

bawah lembaga ini bernaung beberapa buah dinas, misalnya :

a. Dinas Kesejahteraan Guru;

b. Dinas Kesehatan Guru;

c. Dinas Bantuan Hukum Tenaga Pendidikan;

d. dan sebagainya, sesuai kebutuhan.

119

119

Page 120: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Masing-masing dinas membawahi beberapa bidang garapan. Misalnya :

1. Dinas Kesejahteraan Guru bergerak dalam bidang perbankan (bank

guru /bank pendidikan), perumahan (realestat guru), asuransi, dan

sebagainya;

2. Dinas Kesehatan Guru akan mendorong tumbuhnya rumah sakit milik

guru. Ke sanalah para guru akan dapat memperoleh pelayanan kesehatan

bagi diri dan keluarganya dengan sangat memuaskan, karena semua

personal yang bekerja di rumah sakit tersebut berada di bawah “payung”

guru.

Model ini termasuk satu di antara kiat untuk mengangkat citra guru. Dengan

demikian, guru tidak digiring ke situasi untuk mendirikan lembaga pendidikan

tandingan sendiri. Guru mengalihkan bidang usahanya. Bahwa semua yang terpapar

di atas tidak dapat dikerjakan oleh guru, itu memang benar. Semua bidang tersebut

harus berada di tangan ahlinya. Nah, di situlah letak partisipasi guru dalam dalam

pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Guru, sebagai person, mampu

menyediakan lapanga kerja untuk mantan anak-anak didiknya.

Sebagai sebuah badan usaha, dinas-dinas sebagai dimaksud di atas merupakan

sebuah Badan Usaha Milik Guru dan merupakan unit usaha waralaba yang padanya

melekat nuansa edukasi. Maka orientasi pasar yang hendak dibidik pun harus jelas.

Pembaca yang budiman, pola tersebut di atas terpaksa akan meninggalkan

model lama dunia pendidikan. Keunggulan model tersebut antara lain:

Pertama, segi edukasi. Di dalam pola ini tidak ada organisasi setara di dalam

organisasi /daerah teritorial, sehingga tidak ada dua /lebih pucuk pimpinan dalam satu

daerah kerja –yang satu sebagai kepala sedangkan yang satunya lagi sebagai ketua,

tidak ada siapa menjadi kepanjangan tangan siapa, juga tidak ada siapa akan

dimanfaatkan siapa. Jadi, loyalitas guru kepada atasannya tidak dapat begitu saja

120

120

Page 121: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

diartikan secara sempit. Atasan bisa datang dan pergi seiring perjalanan waktu,

namun satuan pendidikan? Dengan demikian, loyalitas guru kepada atasan adalah

selama atasan tidak merugikan lembaga pendidikannya. Rasa ikut memiliki “ satuan

pendidikan” sangat diperlukan sebab dengan adanya rasa tersebut yang bersangkutan

dapat menentukan sikap dengan benar terhadap isu-isu inovasi pendidikan, setiap ada

intervensi dari luar terhadap satuan pendidikannya, serta berani

mempertanggungjawabkan sikap yang telah diambilnya.

Kedua, segi profesi. Persaingan murni dalam kelompok pendidikan mulai

level terendah sampai dengan level tertinggi akan memacu semangat untuk lebih

profesional. Di sinilah letak perlunya kompetensi guru. Dengan kompetensi yang

tepat akan dapat diharapkan munculnya guru yang profesional. Pada gilirannya nanti,

peserta didik pun akan mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan tingkat kebutuhan

mereka. Satu di antara parameter yang paling sederhana untuk mengukur kompetensi

yaitu lewat pendidikan.

Di samping itu, oleh karena arena perjuangan guru adalah adalah lembaga

pendidikan, maka setinggi apapun pangkat dan jabatannya, padanya masih melekat

kewajiban melaksanakan tatap muka. Kewajiban yang satu ini tidak dapat

didelegasikan begitu saja kepada guru /orang lain. Ingat, Guru adalah Guru, dan

predikat itu akan sirna saat yang bersangkutan tidak memiliki murid seorangpun.

Oleh karena itu, jika Guru SD (baca : saat pra transisi Kepala SD) memiliki

kewajiban tatap muka selama enam jam pelajaran per minggu, maka harus dihitung

dengan cermat berapa jam pelajaran kewajiban tatap muka seorang Guru Pendidikan

Nasional per tahun.

Ketiga, segi kesejahteraan guru dan tenaga lain yang ada pada lingkungan

pendidikan. Dengan adanya Lemdiknas, maka kesejahteraan guru /tenaga lain dapat

diproyeksikan sebagai berikut:

Keberadaan Dinas Kesejahteraan Guru akan melahirkan Bank Guru. Bank ini

sangat diperlukan untuk menopang perekonomian guru. Gaji guru, hutang-

121

121

Page 122: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

piutang guru, jual beli lahan kehidupan guru, ataupun kontrak kerja guru akan

diurus oleh ahlinya dibawah pengawasan orang dalam (baca :guru).

Keberadaan Dinas Kesehatan Guru akan memungkinkan guru mendapatkan

pelayanan kesehatan yang lebih memuaskan dari sebelumnya, dan jika

dikelola dengan baik maka tidak mustahil akan menjadi sumber pendapatan

asli pendidikan.

Dinas Bantuan Hukum Tenaga Pendidikan jelas merupakan kemajuan

tersendiri. Dinas inilah yang akan mengurus /menyelesaikan masalah hukum

antara guru dengan pihak lain.

dan seterusnya.

3. 4 Noto Agama (10)100

Masalah adanya perbedaan “warna” output pendidikan tersebut jika dirunut ke

belakang maka akan terlihat bahwa sumbernya ada pada pendidikan itu sendiri. Hal

ini dapat dilihat pada beberapa fase proses pendidikan.

Fase pertama, input pendidikan adalah anak yang masih polos, polos dalam

arti sesungguhnya. Mereka masih bebas dari segala warna kehidupan, ambisi

pribadi, primordialisme, maupun -isme-isme yang lain. Mereka memandang dunia

dengan mata penuh ceria, hanya karena keinginan orangtua maka mereka masuk ke

lingkungan pendidikan --formal.

Fase kedua, selama proses pembelajaran (baca : bersekolah) kepada peserta

didik diperkenalkan aneka warna kehidupan. Sejak dari a sampai z –nya kehidupan,

termasuk “warna ekonomi” --misalnya tentang laba-rugi, bunga, kurs, “warna politik”

–misalnya tentang organisasi, susunan pemerintahan, daerah pemerintahan, wilayah--

dan berbagai warna yang lain.

122

122

Page 123: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Fase ketiga, jika peserta didik mampu menembus perguruan tinggi maka

“warna” pilihan peserta didik makin mengkristal --lihat saja, ada elemen mahasiswa

yang berkibar di bawah bendera merah, bendera putih, atau mungkin bendera lain --

dan ini akan terus terbawa sampai yang bersangkutan kembali ke masyarakat, habitat

asalnya. Yang, kesemuanya memang ada di dalam sebuah masyarakat yang majemuk.

Kondisi seperti itu dapat diejawantahkan sebagai seberkas sinar putih yang

menembus sebuah prisma bening sehingga menghasilkan warna pelangi yang

langsung ditangkap sebuah layar. Pelangi memang indah, mereka saling memberi

ruang gerak pada warna yang lain, tidak ada dominasi. Masalahnya, dunia nyata

tidaklah seindah dan semengerti pelangi.

Oleh karena itu, negara ini harus mampu menyiapkan prisma bening kedua

yang bersifat mengikat saat peserta didik dikembalikan ke tengah masyarakat

sehingga peserta didik dapat kembali putih seperti sediakala, yang mau-tidak mau

harus dilaluinya. Hanya disitu terdapat perbedaan, saat sebagai input, peserta didik

masih putih dan polos karena belum mengerti, namun saat sebagi output yang

bersangkutan putih dan polos karena sudah mengerti.

Dengan menggunakan mata dan hati yang benar-benar bening, barulah output

pendidikan dapat memandang wajah asli “dunia”. Ia akan dapat membedakan mana

merah karena memang kodratnya merah atau merah karena kacamata yang

dikenakan merah. Mana kuning yang kodratnya memang kuning atau kuning karena

lensa kacamatanya berwarna kuning, dan seterusnya. Mata dan hati yang bening

hanya akan terwujud jika negara mampu --sekali lagi-- membangun prisma bening

kedua sebelum peserta didik dilepaskan.

Jika membilang diawali dari satu –kecil, maka akan diakhiri dengan satu –

besar. Jika pembelajaran warna hidup berbangsa dan bernegara diawali dengan

Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” pula peserta

didik mengakhiri masa belajarnya. Dengan berakhir masa belajar pada jenjang

123

123

Page 124: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

pendidikan formal, berarti kembali ke tengan masyarakat. Kembali ke masyarakat,

berarti masuk ke pendidikan “umum” nasional

Ini berarti, prisma kedua yang harus dipasang oleh pendidikan adalah ilmu

yang berdasarkan pada moral transedental, sebab hanya ilmu tersebut yang dapat

membeningkan seluruh ilmu di mayapada ini. Dengan demikian, prisma kedua

tersebut adalah ajaran agama. Pendidikan agama harus dipahami, diyakini, dan untuk

diamalkan sesuai dengan kemampuan dan keyakinan agama yang dianutnya.

Dengan demikian, pada level terakhir pendidikan nanti –Pendidikan

Nasional Indonesia-- negara harus mampu meluruskan pandangan-pandangan

yang keliru, dengan kata lain, Pendidikan Nasional Indonesia harus mampu

menyeimbangkan “ warna” pada diri peserta didiknya.

Bahwa pada akhirnya ada kecondongan hati pada salah satu “warna” itu sudah

alami. Adalah hal sangat mustahil menyukai “semua warna”. Namun setidaknya,

peserta didik memiliki bekal yang cukup sehingga kelak tidak memandang rival

kepada yang berseberangan dengannya. Itu teorinya, berhasil atau tidaknya berpulang

pada niat masing-masing. Bukankah, sebagus apapun bingkai yang dipasang, fokus

pandangan akan tetap jatuh ke pusat bingkai?

Penulis percaya bahwa untuk menambah jam pelajaran agama dalam

pendidikan (baca : sekolah) itu tidak gampang, harus ada terobosan baru. Mereka

yang berkeberatan akan mengajukan berderet-deret argumen Dari pandangan bahwa

agama merupakan urusan individu –hak asasi-- sampai dengan parameter yang

digunakan untuk mengukur tingkat pemahaman yang diwujudkan dalam bentuk

pengamalan --yang ikhlas. Padahal, pada dasarnya, mereka (!) sangat berkepentingan

dengan semakin dangkalnya tingkat pemahaman agama bangsa ini.

Mereka sangat berkepentingan dengan tumbuhnya tunas-tunas bangsa yang

asing dengan ajaran agamanya. Padahal, mayoritas penduduk negeri ini adalah

Muslim. Oleh karena itu, jangan heran jika ada lembaga pendidikan --negeri-- yang

sampai belasan tahun tidak memiliki Guru Agama, dalam arti formal. Beruntung,

124

124

Page 125: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

pendidik pada lembaga tersebut seagama dengan peserta didik, dan masih beruntung

pula ada tokoh-tokoh agama setempat yang peduli.

Jika tidak, apa gerangan yang terjadi? Dalam hal ini, penanggung jawab

pendidikan dapat mengajukan sederet alasan seperti pelajaran alasan yang mereka

terima dari atasan mereka, dan atasan mereka pun akan mengajukan deretan alasan

lagi seperti deretan alasan yang mereka terima dari atasannya lagi, dan akhirnya,

siapa yang berada di balik itu semua? Muara dari semua jawaban ada pada sistem

pendidikan itu sendiri.

Bisa jadi pembaca beranggapan bahwa generalisasi yang penulis paparkan di

atas keliru, tidak tepat, atau tanpa dasar. Tapi, dari banyak kejadian, fakta di lapangan

menunjukkan bahwa agama hanya dijadikan sarana untuk mencari dukungan saat

yang bersangkutan membutuhkan dukungan, agama hanya dijadikan benteng terakhir

saat mereka terjepit, saat tumbang dari kekuasaan di depan mata, atau malah saat

nyawa sudah sampai di batang tenggorok.

Mereka baru sadar dan baru berlindung pada baju agamanya dan peduli pada

kewajibannya. Mereka lupa bahwa selama berkuasa, politik belah bambu telah

mereka praktekkan, sebagian kecil diangkat dan selebihnya diinjak. Lihat saja,

mereka yang komitmen terhadap ajaran agamanya malah dituduh sebagai sok alim

oleh kanan-kiri, ektrem oleh penjajah Belanda, sampai dengan stempel teroris oleh

polisi dunia dan kawan-kawannya.

Padahal, sejarah membuktikan bahwa tanpa turun tangannya mereka yang

“sok alim”, yang “ekstremis”, dan yang “teroris” maka negara ini belumlah merdeka

dan kaum penjajah tetap bercokol di negara ini. Memang, dari masa ke masa, secara

materi terjadi pergantian individu. Tetapi, kita harus selau ingat bahwa populasi

mereka sama, komunitas mereka sama, mereka adalah umat beragama.

Dari situ timbul pertanyaan, umat agama yang mana? Bukankah ada enam

macam agama yang diakui sah berlaku di Indonesia, yaitu Islam, Kristen Katolik,

Kristen Protestan, Hindu, Buda, dan Khong Hu Chu lantas yang mana?

125

125

Page 126: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dalam hal ini, kita harus realistis. Jika komunitasnya kecil, populasinya kecil

maka kontribusi yang diberikan juga kecil dan cakupannya pun kecil, begitu pula

sebaliknya. Kondisi seperti itu sudah sesuai dengan hukum alam, yang kecil akan

menggunakan ruang kecil, dan yang besar akan membutuhkan ruang lebih besar.

Kalau pada akhirnya ruang gerak yang mereka gunakan sama luasnya, maka di situ

ada keserakahan dari yang kecil dan ada faktor luar yang mengakibatkan

ketidakberdayaan pada yang besar.

Dalam masalah yang peka ini, kita harus menggunakan mata bening dengan

hati jernih. Menghilangkan prasangka buruk dengan mau secara suka rela melepaskan

kepentingan pribadi atau kelompok. Harus diakui, kontribusi yang diberikan oleh

umat Islam terhadap negara ini jauh lebih besar daripada umat lain. Jumlah mereka

sebagai mayoritas jelas merupakan sebuah modal kelebihan sepanjang tidak keliru

dalam mengelolanya, sebaliknya jika salah dalam pengelolaan maka akan

menimbulkan masalah yang besar pula.

Dalam hal ini, penulis rasa tidak pada tempatnya untuk membahas hal

tersebut. Oleh karena itu, rasa saling pengertian dengan mengalah sedikit untuk

tujuan bersama yang jauh lebih besar sangat diperlukan. Dan, tujuan bersama tersebut

adalah membangun Indonesia yang satu, yang adil, yang aman serta damai, dan cita-

cita mulia yang lain.

Dengan kondisi seperti itu maka pikiran, tenaga, dan dana yang harus umat

Islam keluarkan juga menjadi jauh lebih besar. Apalagi, selain dana wajib sebagai

warga negara yang berupa pajak, bagi umat Islam yang mampu juga masih harus

mengeluarkan zakat. Dengan demikian --langsung atau tidak langsung, umat Islam

akan “bayar” dua kali untuk hidup di bumi yang bernama Indonesia ini, sedangkan

umat lain cukup satu kali.

Perhatikan --sebelum Khong Hu Chu ditetapkan sebagai agama-- :

No. Umat Frekuensi % Rata-rata

1. Islam 2 33,33… 20

126

126

Page 127: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

2.

3.

4.

5.

Kristen Katolik

Kristen Protestan

Hindu

Buda

1

1

1

1

16,66…

16,66…

16,66…

16,66…

20

20

20

20

Jumlah 6 100 100

Tabel 23

Dari gambaran di atas terlihat bahwa umat Islam sudah mensubsidi negara.

Padahal, apa yang penulis paparkan di atas barulah berupa nilai kasar yang berupa

frekuensi --cermin kesetiakawanan sosial nasional. Bisa dibayangkan seandainya

angka-angka itu merupakan angka yang sebenarnya. Oleh karena itu, sangat wajar

jika hendak memperbaiki tempat ibadah saja --di antara mereka-- ada yang harus

tengadahkan kaleng dipinggir jalan dari pagi hari sampai sore hari …. Jadi, bukan

salah mereka!

Bisa jadi, dalam hal ini, pembaca berpendapat bahwa bukankah zakat berputar

pada kalangan umat Islam sendiri? Pendapat itu memang benar adanya. Tetapi,

bukankah pajak yang mereka bayar itu akan dipakai oleh negara untuk belanja negara

dan pengguna negara ini bukan hanya umat Islam saja? Jadi, pemanfaatan pajak tanpa

memandang agama mereka lagi.

Kondisi seperti itu, jelas merupakan ketidakadilan sosial sebuah sistem, sebab

pada akhirnya yang memanfaatkan adalah negara --baik langsung maupun tidak

langsung. Sistem seperti itu, menurut penulis-- merupakan sebuah pola pemiskinan

yang sistematis dan sangat terselubung oleh negara kepada rakyatnya.

Dari sini timbul pertanyaan, untuk apa negara memiskinkan rakyatnya? Untuk

menjawab pertanyaan ini, kita harus mundur ke situasi pra kemerdekaan.

Perhatikan kronologi berikut ini:

1. 22 Juni 1945 Panitia sembilan menghasilkan Piagam Jakarta. Kompromi

politik yang bernama Piagam Jakarta ini adalah “benang pertama” –

127

127

Page 128: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

benang putih-- yang dihasilkan oleh para petinggi nasional, pendiri

negara.

2. 7 Agustus 1945 PPKI terbentuk.

3. 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

4. 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)

yang mengagendakan pertemuan dimulai pukul 09.30, ternyata sampai

pukul 11.30 belum juga dimulai. Apa yang terjadi dalam dua jam tersebut

itu ternyata sesuatu yang amat penting bagi sejarah konstitusi Indonesia.

Hatta menuturkan bahwa petang hari 17 Agustus 1945, seorang apsir

Angkatan Laut Jepang datang padanya, dan mengatakan bahwa orang-

orang Protestan dan Katholik dalam kawasan opsir tersebut keberatan

sangat atas anak kalimat Islami dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.

Karena begitu serius rupanya, sebelum sidang dimulai saya ajak Ki Bagus

Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku

Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk

membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kita

mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum

Kristen itu dengan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”

Sehubungan dengan peristiwa tersebut, Prawoto Mangkusasmito

menyampaikan catatan sebagai berikut : Reaksi positif Teuku Hasan atas usul

perubahan tersebut dapat dipahami, karena dia sama sekali tidak tergolong

kelompok nasionalis Islami. Sedangkan H.A. Wahid Hasyim tidak hadir dalam

pertemuan 18 Agustus 1945 itu karena dia sedang dalam perjalanan ke Jawa Timur.

Sementara itu, Kasman Singodimedjo, yang menjadi anggota baru sebagai

tambahan, menerima undangan baru pada pagi itu dan dapat dimengerti bila dia

sama sekali tidak siap untuk berurusan dengan masalah tersebut. Jadi—seluruh

tekanan psykologis tentang hasil atau tidaknya penentuan Undang-Undang dasar

terletak di atas pundak Ki Bagus Hadikusumo, sebagai satu-satunya exponen

128

128

Page 129: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

perjuangan Islam pada saat itu. Sangat penting untuk dicatat , bahwa hanya empat

orang penandatangan Piagam Jakarta yang ditunjuk dan dipilih sebagai anggota

Panitia Persiapan, yaitu: Soekarno, Hatta, Subardjo, dan Wahid Hasyim. Karena,

Wahid Hasyim --satu-satunya penandatangan dari pihak Islam yang dapat diangkat

menjadi anggota Panitia Persiapan-- sedang ke Jawa Timur maka praktis hanya

tinggal tiga orang penandatangan Piagam Jakarta yang terlibat dalam perubahan

penting yang menghilangkan kalimat Islami dari Pembukaan Undang-Undang dasar

1945, ketiga-tiganya dari kelompok nasionalis sekuler Perubahan tersebut tentu saja

diterima dengan sepenuh hati oleh kaum nasionalis sekuler dan sungguhpun kecewa,

kelompok nasionalis Islami menunjukkan toleransinya. Lebih-lebih dengan adanya

janji Soekarno saat mengambil alih pimpinan.

(Al- Muslimun, 1985, No. 179 : 60)

Singkatnya, hasil pertemuan sidang PPKI sebagai berikut :

a. Kata “Mukadimah” diganti dengan kata “Pembukaan”;

b. Tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihilangkan;

c. Pasal 6, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama

Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret.

d. Pasal 29, “Negara berdasarkan kepada Ke-Tuhanan, dengan

kewajiban menjalakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluk -nya”,

diganti dengan “Negara berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha

Esa”.

Dengan hilangnya tujuh kata itu, kaum nasionalis sekuler mempunyai hutang

sejarah kepada kaum nasionalis Islami. Islam mengalah, Pancasila mulai tampil

memimpin negeri. Pancasila adalah “telur kedua” –benang merah-- yang

dihasilkan oleh kaum nasionalis negara, petinggi pendiri negara ini.

5. Sepuluh tahun kemudian, yaitu sesudah pemilihan umum pertama tahun

1955, di bawah payung UUDS 1950, kembali Pancasila dan Islam

129

129

Page 130: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

bergumul pada pelataran konstitusional, dalam Dewan Konstitutuante.

Sekalipun seru, Konstituante baru dapat menyelesaikan 90% dari

tugasnya saat Dekrit Presiden, 5 Juli 1959 (A. Syafii Maarif, 1993 : 198)

Penulis tidak hendak menceritakan pasang surut Pancasila sebagai dasar

negara, karena memang tidak ada relevansinya dengan maksud dibuatnya tulisan ini.

Yang jelas, dasar negara tersebut telah menghasilkan perundang-undangan yang

berlaku di negeri ini. Dengan kata lain, benang merah --hukum merah-- telah

menetas dan bahkan beranak pinak. Sebagai produk hukum, semua bersifat mengikat.

Dalam kurun waktu yang panjang itu terjadi berbagai persoalan melanda, misal :

krisis keamanan --DI/TII (1948), PRRI/Permesta (1958), RMS (1950), GAM, dsb.,

krisis politik (1965), krisis moneter (1997), kisis kepercayaan, krisis jati diri atau

lebih lengkap biasa disebut krisis multi dimensi.

Dari sini timbul pertanyaan sederhana, mengapa? dan muara dari jawabannya

adalah pemegang amanah tidak dapat menunaikan amanah yang dipegangnya.

Pemegang amanah tersebut tahu bahwa hukum di bawah naungan Pancasila

dapat disiasati, semua bisa diatur. Bukankah pembuat hukum tersebut adalah mereka

(baca : manusia) sendiri?

Oleh karena itu, jangan heran, jika hukum menjadi tumpul pada saat

berhadapan dengan yang orang “besar”, uang, atau segala sesuatu yang memiliki

akses kekuasaan. Ironisnya, hukum menjadi sangat tegak saat berhadapan dengan

yang kecil, lemah, atau yang semakna dengan itu. Jadi, sejatinya hukum yang mereka

buat itu hanya diperuntukkan bagi rakyat yang lemah.

Padahal, posisi lemah akan ditempati oleh mayoritas penduduk negeri ini, dan

mayoritas penduduk negeri ini adalah Muslim. Jadi, hukum yang mereka buat itu

pada galibnya memang untuk mengatur umat Islam, dengan kata lain, umat Islam

menjadi obyek hukum. Mereka belum menjadi subyek hukum.

Jadi, sebenarnya … penghilangan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut

adalah tikaman pertama teman seperjuangan. Sedangkan Dekrit Presiden yang

130

130

Page 131: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

terkenal itu adalah tikaman kedua dari seorang penguasa kepada umat Islam. Dari sini

timbul pertanyaan sederhana, mengapa? jawabnya pun sederhana, sebab pada

awalnya, semua pasal-pasal dalam UUD 1945 memang diperuntukkan menopang

Piagam Jakarta, bukan untuk menopang Pancasila. Bukankah menurut Matematika,

jika langkah pertama diubah maka akan “mengubah” seluruh langkah selanjutnya dan

hasil akhir?

Islam sebagai agama, telah membekali dirinya sendiri dengan hukum. Hukum

Islam sudah sangat lengkap. Padanya terdapat aturan yang sempurna, bahkan sangat

sempurna, karena pembuat hukum Islam adalah Sang Maha Pencipta sendiri, pencipta

manusia. Ahli fikih Islam dapat menguraikan lebih luas, lebih rinci, dan lebih jelas.

Sebagai hukum positif, Islam bersifat mengikat terhadap siapa yang menganutnya.

Dengan terkondisikannya umat Islam dalam posisi lemah, maka akan

memudahkan pihak lain (yang juga atas jasa kaum orientalis) datang sebagai

pahlawan untuk membantu. Mereka bak dewa penolong datang membantu musafir

yang kehausan di padang pasir, mulai dalam bentuk makanan; melayani para

transmigran seperti yang diberitakan Mingguan Hidup, No. 16/ 17, 15-22 April 1984

(Al-Muslimun, 1984), beasiswa, sampai dengan pinjaman lunak tuan besar IMF

atau tuan besar yang lain. Bantuan tersebut sebenarnya adalah sembilan puluh

sembilan bungkus manis terhadap satu maksud mereka yang sesungguhnya.

Bukankah pada setiap bantuan tersedia perangkap yang akan menghilangkan

pertumbuhan ekonomi dan integritas nasional seperti yang pernah disinyalir oleh M.

Amin Rais? (1994 :89) Mereka sangat ahli dalam membungkus satu kebusukan

dengan sembilan puluh sembilan macam kebaikan. Dan, kebusukan tersebut sungguh-

sungguh akan menghapus tandas seluruh kebaikan mereka saat tersingkap.

Perlu diingat, musuh utama kaum kolonialis adalah Islam (ingat

dendam barat akibat perang salib). Mereka memelihara dengan baik naluri

untuk menguasai, sedangkan Islam mengajarkan kemerdekaan.

Karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim maka tidak ada pilihan

lain, penghancuran peradaban Indonesia dengan segala cara, dan itu artinya sebuah

131

131

Page 132: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

penjajahan haruslah dilaksanakan, dengan tangan sendiri (penjajahan primitif) atau

dengan penjajahan internal, pinjam tangan bangsa Indonesia sendiri (penjajahan

modern). Penjajahan model kedua ini lebih aman bagi mereka, lebih efektif, dan juga

akan lebih menguntungkan.

Sampai pada titik ini, misi kaum orientalis berhasil dengan nyaris sempurna,

dan ini tidak lepas dari hasil pendidikan nasional. Pendidikan Nasional tidak mampu

membangun secara optimal prisma bening ke dua. Prisma bening hanya muncul

dalam pelajaran agama yang sangat kecil prosentasenya. Selebihnya, siswa maupun

“siswa” mencari sendiri di kegiatan keagamaan di lingkungan sekolah (ekstra

kurikuler) atau di luar sekolah.

Pendidikan, sekalipun mengklaim bertujuan membangun manusia Indonesia

seutuhnya, pada kenyataannya, lebih menekankan pada aspek kognitif --intelektual

(IQ)-- sedangkan aspek afektif dan spirituial – perasaan dan keagamaan (EQ dan

SQ) kurang. Pendidikan kering jika hanya mengejar target kurikulum. Pendidikan

lupa bahwa sekalipun IQ tinggi jika tidak dibentengi dengan EQ dan SQ yang

memadai akan menghasilkan manusia pandai yang “nakal”. Kondisi semacam itu,

jelas sangat berbahaya.

Oleh karena itu, pada masa pasca transisi, institusi agama harus ditarik keluar

dari payung pemerintah, maupun lembaga tinggi negara. Agama terlalu agung untuk

bernaung pada payung itu. Ini berarti agama berdiri sendiri sebagai badan (dewan).

Pada level nasional –yang setara dengan lembaga tinggi negara-- ini akan diisi oleh

tokoh umat beragama dengan komposisi berimbang. Mereka akan duduk semeja.

Dari situ muncul pertanyaan, bukankah tokoh agama yang tertarik pada

“politik” pemerintahan (negara) telah tersebar pada berbagai partai politik. Partai

politik yang mana?

Dalam hal ini, kita harus membedakan antara partai agama dengan agama

partai –sekalipun muaranya sama. Partai agama adalah partai politik yang membawa

132

132

Page 133: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

simbul-simbul agama tertentu ke dalam partai, simbul agama tersebut dimaksudkan

sebagai tanda adanya keterikatan partai tersebut dengan agama tertentu sehingga

mudah dikenali, sekalipun oleh awam. Jadi, di sini posisi simbul menjadi sangat

penting. Sedangkan agama partai adalah azas yang dianut oleh sebuah partai politik.

Dengan melihat azas partai, akan terlihat isi partai, apakah itu Nasionalis Islami,

nasionalis sekuler, atau sosialis. Jika azas yang digunakan adalah x maka akan di

kelompokkan sebagai golongan x, dan dalam perkembangan selanjutnya, bisa jadi

azas partai tersebut tidak hanya satu, semuanya tergantung pada misi apa yang akan

dipersembahkan pada negeri ini.

Di samping itu, kita hendaknya juga ingat bahwa pemuka-pemuka tiap agama

juga telah mengkristal. Suara mereka, fatwa mereka sangat diharapkan /diperhatikan

untuk dilaksanakan oleh umat. Dengan demikian, sungguhpun tujuan mereka “sama”,

harus ada pemilahan medan juang antara daerah pemuka agama dengan daerah partai

politik bebasis agama.

Maka dari itu, Dewan Agama Indonesia akan menjadi wadah bagi : Majelis

Ulama Indonesia, Wali Gereja Indonesia, Dewan Gereja Indonesia, Parisada Hindu

Darma, Walubi, dan lainnya. Pada dewan agama itulah para pemuka agama duduk

semeja. Dalam hal ini, mereka bukan untuk berdoa bersama seperti yang akhir-akhir

ini sering kita dengar. Sebagai pemuka umat beragama, mereka berkewajiban

memberikan timbangan wahyu terhadap semua keputusan majelis teringgi.

Dewan Agama Indonesia ini sudah selayaknya diisi dengan komposisi yang

berimbang, sesuai dengan prosentase agama penduduk Indonesia. Dewan Agama

Indonesia inilah kelak yang menjadi elemen moral bagi MPR, karena padanya

melekat hak menolak keputusan majelis yang dirasa merugikan umat beragama.

Sedangkan bidang “pemerintahan agama”akan diisi oleh partai agama mayoritas

komunitas umat beragama (baca : penganut agama terbanyak) di sebuah daerah

teritorial, di sinilah tempat perjuangan partai agama itu.

Dengan demikian, dalam Noto Agama pada :

Teritorial x

133

133

Page 134: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Mayoritas penganut agama y

Maka pada teritorial x harus ada pemerintah agama y

Dengan menggunakan pola seperti itu akan terlihat, sebagai contoh:

1. Teritorial Indonesia.

“Pemerintah Pusat Agama” akan diisi oleh komunitas Islam, mereka –partai-

partai Islam -- akan membentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia

(Masyumi), bukan partai Masyumi!, dan mengurus urusan “dalam negeri”

umat Islam.

Oleh karena itu, pada Masyumi inilah tempat Partai Persatuan Pembangunan

(PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), partai-partai Islam

lainnya, dan ormas-ormas Islam (misalnya : NU, Muhammadiah, Al Irsyad,

Persis, dan lain-lain) berada.

Di bawah Masyumi inilah Departemen Agama Islam (Depag Islam) bernaung,

departemen ini dipimpin oleh Kepala Departemen Agama Islam Pusat (bukan

Menteri Agama, meskipun jabatan tersebut setingkat menteri).

Pada daerah teritorial yang lebih kecil serta mayoritas penduduknya Muslim

maka akan didirikan Depag. Islam pula. Dengan demikian akan ada Depag.

Islam Provinsi Jawa Timur, Depag. Islam Provinsi Sulawesi Selatan, dan

sebagainya. Yang kesemuanya dipimpin oleh Kepala Depag. Islam Provinsi.

Turunan Depag. Islam ini akan terus paralel dengan level pemerintahan

sampai yang terendah.

2. Teritorial Sulawesi Utara “pemerintah provinsi agama” akan diisi oleh

komunitas Nasrani --jika umat Protentan dan Katolik berkoalisi.

Di sana akan terdapat Depatemen Agama Nasrani dan dipimpin oleh Kepala

Departemen Agama Nasrani Provinsi Sulawesi Utara.

Departemen Agama Nasrani Provinsi Sulawesi Utara ini akan mengurus

urusan “dalam negeri” umat Nasrani. Depag. Nasrani ini pun akan paralel

dengan level pemerintahan sampai yang terendah di daerah itu.

134

134

Page 135: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

3. Teritorial Bali “pemerintah provinsi agama” akan diisi oleh komunitas Hindu-

Buda --jika umat Hindu-Buda berkoalisi. Departemen Agama Hindu-Buda

akan berdiri di sana. Depag. Hindu-Buda Provinsi Bali akan mengurus urusan

“dalam negeri” umat Hindu-Buda di sana. Depag. Hindu-Buda akan dipimpin

oleh Kepala Departemen Agama Hindu-Buda dan akan terus paralel dengan

level pemerintahan di daerah itu.

4. Teritorial Kabupaten Jember “pemerintah kabupaten agama” akan didisi oleh

komunitas Islam. Dengan demikian akan ada Depag. Islam Kabupaten Jember

dipimpin oleh Kepala Depag. Islam Kabupaten Jember. Depag. Islam ini akan

mengurus “urusan dalam negeri” umat Islam Kabupaten Jember.

5. Teritorial Kecamatan Bangsalsari “pemerintah kecamatan agama” akan diisi

oleh komunitas Muslim. Dengan demikian, pada kecamatan tersebut akan ada

Departemen Agama Islam Kecamatan Bangsalsari dipimpin oleh Kepala

Depag Islam Kecamatan Bangsalsari. Depag Islam Kecamatan Bangsalsari ini

akan mengurus urusan “dalam negeri” umat Islam di Kecamatan Bangsalari.

6. Teritorial kelurahan x dengan mayoritas penganut agama y, maka di situ akan

ada departemen agama y.

Dengan pola seperti di atas pada gilirannya nanti akan terlihat, umat mana

yang seharusnya tampil sebagai pemimpin umat beragama. Juga akan terlihat umat

mana sebenarnya yang merupakan rahmat bagi negeri, dan umat mana sebagai

pembawa laknat bagi negeri. Pun juga akan terlihat, umat mana yang “nakal” dalam

usaha penyebaran agamanya.

Dengan demikian, butir ajaran demokrasi bahwa keputusan –dalam hal ini

kepemimpinan-- diambil dari suara terbanyak dibuktikan. Hanya dengan melihat hasil

sensus penduduk maka akan dengan mudah akan didapat penganut agama mayoritas

pada suatu wilayah teritorial di negera ini.

Keberadaan Dewan Agama Indonesia ini menjadi sangat penting bagi

kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara bagi sebuah negera yang majemuk

seperti Indonesia ini. Hal ini dikarenakan beberapa sebab.

135

135

Page 136: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Pertama, dengan semakin canggihnya teknologi maka deal-deal politik, lalu

lintas informasi, pendelegasian kewenangan, dan sebagainya menjadi tidak dapat

dilacak perangkat hukum karena nyaris minimnya /tak ada saksi. Sebagai contoh,

kasus Supersemar, Tanjung Priok, rekaman kaset Theo Syafii, Bullogate, dan

sebagainya akan dapat selesai dengan sumpah agama -Muhabalah.

Sumpahnya para tertuduh /saksi di muka majelis hakim dalam persidangan

selama ini tidak dapat disamakan dengan sumpah agama. Sekalipun sama-sama

mengatasnamakan Tuhan, ataupun di bawah kitab suci sebab dalam persidangan

tersebut tidak digunakan hukum agama /sanksi agama.

Pertanyaannya, bukankah Indonesia bukan negara agama? Perlu diingat

bahwa bangsa ini telah mengaku ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengakuan tersebut

menunjukkan bahwa bangsa ini --suka atau tidak suka-- tunduk kepada kekuasaan

Tuhan Yang Maha Esa. Masalah adanya perbedaan konsep ketuhanan antar ajaran

agama, serta urusan siapa yang dimaksud tuhan oleh Pancasila dan siapa yang

dimaksud Tuhan oleh agama, itu masalah lain pula, sebab ternyata pada atheispun

masih dikenal tuhan --hanya tuhan mereka berbeda dengan Tuhan milik umat

beragama pada umumnya.

“Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa tidak identik agama tetapi berkaitan dengannya. Nilai

Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua

pemeluk agama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk

berkembang di Indonesia. Nilai ini berfungsi sebagai kekuatan mental spiritual dalam

Ketahanan Nasional. Dengan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Atheisme tidak berhak hidup

di bumi Indonesia”.

(Ketahanan Nasional, 1997 : 43)

Kedua, umat beragama tidak hanya menjadi obyek hukum negara namun juga

sebagai subyek hukum negara itu sendiri. Ini berarti, mereka tidak hanya

136

136

Page 137: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

dikendalikan oleh hukum negara tetapi juga sebagai pengendali. Konkritnya, selain

sebagai pemain, umat beragama juga sebagai sutradara.

Sebagai sutradara, mereka akan berpegang pada pakem. Masalahnya, pakem

tersebut diyakini penganutnya bukanlah produk manusia namun wahyu dari Sang

Maha Pencipta yang tertulis dalam kitab suci ajaran agama yang mereka imani. Oleh

karena itu pada mereka juga ada beban pertanggungjawawaban kepada Tuhan

mereka. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara negara hukum --Indonesia,

“negara Pancasila” dengan negara hukum --Indonesia -- baru, negara Pancasila.

Dengan pola seperti itu, antara konteks negara dengan kontek agama terlihat

sejalan, tidak lagi siapa mengendarai siapa. Pada yang pertama, posisi hukum sangat

sentral, sampai-sampai harus ditegakkan dengan segala daya.

Padahal hukum tersebut adalah buah akal budi manusia biasa yang bisa saja

suatu saat akan usang dan mungkin ditinggalkan. Lihat, nasib negara hukum

“komunis”. Sebaliknya, pada yang kedua, posisi hukum sebagai alat untuk

menegakkan ajaran agama yang dianut oleh rakyatnya, tegaknya agama akan

membuat tegak pula negaranya. Pada yang pertama, hukum dapat tegak karena rakyat

dipaksa ikut menegakkan, sedangkan pada yang kedua hukum akan tegak karena

rakyat sadar akan fungsi hukum.

Ketiga, sebagai timbangan kalbu (moral), Dewan Agama Indonesia me-

miliki hak untuk menolak keputusan yang telah ditetapkan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat serta lembaga tinggi negara yang lain jika keputusan

tersebut beresiko bagi umat beragama. Konkritnya, sekalipun anggota Dewan Agama

Indonesia merangkap sebagai anggota MPR, sebagai dewan padanya melekat hak

veto dan hak ini tidak boleh dimiliki oleh lembaga tinggi yang lain.

Oleh karena itu, dewan ini dapat dipandang sebagai rem bagi majelis tertinggi.

Dengan demikian suara mayoritas, baik dalam pemilu maupun saat penetapan

rancangan tidak lagi berfungsi dan bukan merupakan suatu jaminan untuk

mengegoalkan sebuah skenario. Apalah arti mayoritas “kelas beo”, “kelas perkutut”,

137

137

Page 138: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

“kelas bebek”, lebih-lebih, apalah arti mayoritas “kelas tikus” jika pada akhirnya

hanya mampu menggasak tandas isi lumbung yang harus dijaganya. Sebab, muara

dari semua kelas tersebut adalah kesengsaraan rakyat banyak.

Keempat, dengan adanya institusi agama dalam struktur negara maka akan

nampak perubahan yang sangat signifikan. Agama akan menjadi pemain dalam

kenegaraan, dan Islam sebagai pemain utamanya, bukan sebagai figuran. Sebagai

mayoritas, ia akan mendapat tempat tersendiri. Dengan tampilnya Islam sebagai

pemain inti dari “regu putih” --regu agama-- akan menopang regu merah, dalam

menjalankan biduk yang bernama Indonesia. Saat itulah, cakrawala baru tersingkap.

Dan, hal ini akan selaras dengan yang pernah diungkap oleh mantan Wakil Presiden

RI Umar Wirahidikusumah bahwa Pancasila tanpa agama akan kosong (Al

Muslimun, 172 : 97) Nah, disini perlu ada kejelasan dari agama mana yang dimaksud.

Dari sinilah, kita baru bisa berharap adanya nurani pada hukum. Tanpa itu,

tuntutan tegaknya hukum hanyalah sebuah bumerang, bukankah takkan pernah ada

Keadilan yang adil dan beradab tanpa ada Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa? Selain itu,

konsep ini juga semakin memperjelas, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan

Tuhan Yang Maha Esa pada Pancasila.

Dengan pola seperti yang terurai di atas, maka pada pasca tarnsisi nanti,

giliran “benang putih” –Piagam Jakarta, yang telah dipersiapkan sejak awal oleh

PPKI, akan menjahit Merah Putih yang sobek di sana-sini, mendampingi “benang

merah” –Pancasila, yang aus dimakan zaman.

Hanya saja, ada satu syarat yang harus dipenuhi untuk itu, yaitu pada H

minus sekian (misalnya, minus 7), semua isi lembaga pemasyarakatan harus

dikeluarkan tanpa kecuali, baik tahanan politik maupun tahanan kriminal, atau

tahanan yang lain. Mereka masuk tempat tersebut –sekalipun bersalah--

berhukum pada hukum yang timpang, hukum yang tidak adil. Atau dengan kata

lain diadakan pemutihan hukum.

Dengan demikian, pada hari pertama pasca transisi, lembaga tersebut dalam

keadaan kosong. Semua orang diharapkan jujur menilai dirinya masing-masing –

138

138

Page 139: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

termasuk dari mana asal-usul hartanya. Dari sini timbul pertanyaan, mungkinkah?

Bukankah, sangat mustahil meminta maling mengaku? Hanya Tuhan Yang Tahu.

Bukankah, Tuhan Maha Kaya? Sebagai solusi untuk memebersihkan keraguan,

menjaga nama baik, dan demi kebaikan semua, seyogyanya diadakan sedekah

nasional untuk negara. Jika sedekah tersebut berupa materi, maka, kelak harus

dilelang secara terbuka, dan hasil pelelangan tersebut masuk kas negara.

Pada H minus 1, diadakan pertobatan nasional. Semua komponen bangsa

saling memaafkan. Semua dendam lama, semua sakit hati, semua intrik buruk untuk

menjegal atau menjatuhkan teman yang dianggap pesaing, maupun yang dipandang

sebagai lawan harus ditinggalkan. Dan, ini sifatnya wajib. Sebab pasca transisi nanti,

hukum telah mempunyai nurani, tanpa pandang bulu, dari rakyat jelata sampai

dengan individu pemegang kedaulatan rakyat (wakil rakyat di MPR) … Jika bersalah

akan dihukum dengan hukuman yang setimpal, hukum yang mereka pilih sendiri.

Pada pertobatan nasional itulah terdapat relevansi antara halal bi halal dengan

kegiatan kenegaraan, sebab hajat tersebut bukan lagi merupakan hajat seorang

penguasa melainkan hajat negara. Dengan demikian, hajat tersebut tidak hanya

mengikat umat Islam saja, namun juga mengikat umat agama lain. –lihat noto tarikh.

Dengan kata lain, pada masa pasca transisi nanti, mereka berhukum kepada hukum

merah atau berhukum kepada hukum putih tergantung pada pilihannya. Nah, saat

itulah kita mulai menata hidup baru sebagai bangsa. Hukum merah --Pancasila--

mengatur siapa, dan hukum putih –Islam-- akan mengatur siapa. Dalam hal apa dan

dalam hal bagaimana kedua hukum itu bertemu menjadi tugas praktisi hukum untuk

membahasnya, mempersiapkan perangkat pendudukungnya, dan mensosialisasikan.

Kalaupun pembaca memaksa bertanya tentang dasar penggunaan “benang

putih” tersebut, maka silakan baca dan renungkan kembali alinea ketiga dalam

Pembukaan UUD RI 1945,

139

139

Page 140: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

“Atas berkat Rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan

luhur,supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia menyatakan

dengan ini kemerdekaannya”.

Siapa Allah yang dimaksud dalam alinea tersebut? Itu adalah Tuhannya umat

Islam, yang pada-Nya melekat segala sifat Maha, dan para pendiri negara ini pun

telah mengakui. Hal itu dipertegas, dan dapat juga dilihat sebelum tujuh kata pada sila

pertama Pancasila dihilangkan, dan kata “Islam” pada ayat 1, pasal 6 diganti dengan

kata “Indonesia asli”.

Oleh karena itu, pada saat itulah hutang konstitusi --generasi awal--

mereka kepada Muslim terbayar dan lunas. Demikian pula, hutang penguasa yang

semena-mena terhadap Konstituante terbayar. Kalau tidak, sampai kapan hutang

konstitusi itu dilunasi? Beruntung, hutang mereka hanya dihitung pokok

pinjamannya saja, tanpa ada bunga!

Di atas telah disinggung bahwa satu terlalu suci untuk disinggung dan

dibicarakan. Oleh karena itu, satu di sini berarti Indonesia itu sendiri. Dengan

demikian, satuan terbesar dalam negara ini adalah Negara Indonesia, yang padanya

terdapat rakyat, budaya, bentang alam, dan seluruh yang ada di dalamnya. Jadi,

sekalipun seekor semut, sepanjang tidak membuat “keributan” ia berhak hidup dan

mendapatkan perlindungan.

Oleh karena itu, sikap konsisten terhadap pola menghitung seyogyanya juga

terpancar pada perilaku “ negara”. Bilangan telah mengajarkan tentang adanya 11

satuan bilangan, di mana “satuan” adalah satuan puncak dengan sepuluh satuan lain

sebagai penopangnya.

Kondisi ini, jika ditarik ke konteks negara akan sesuai dengan hasil yang

dicapai oleh MPR, sebab selama masa transisi MPR memposisikan diri sebagai PPKI

–MPR sebagai PPKI II-- pra sidang 18 Agustus 1945.

Dengan demikian , dari uraian di atas dapat ditarik sebuah benang Merah

Putih sebagai berikut :

140

140

Page 141: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

1. Jika, PPKI pada 18 Agustus 1945 menghasilkan “satu” dasar negara yaitu

Pancasila. Maka MPR sebagai PPKI II menghasilkan “satu” jiwa dari

dasar negara, yaitu Piagam Jakarta. Dari situ baru terbukti kebenaran

bahwa Piagam Jakarta menjiwai Pancasila seperti pengakuan mantan

Presiden Soekarno pada Pengantar Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Jiwa

tanpa masuk ke dalam raga bagai air tanpa wadah, begitu pula sebaliknya.

Pengakuan tanpa diformalkan oleh yang berwenang untuk itu maka

kedudukannya menjadi tidak lebih dari sebuah pengakuan, tanpa ada

ikatan, hanya sebatas lisan;

2. Jika, pada PPKI I nasionalis Islami mengalah, maka pada PPKI II nanti

tiba giliran nasionalis Sekuler yang harus mengalah --bayar hutang!

Sebab, kalau tidak saat itu, sampai kapan hutang turunan tersebut

disandang? Bayar hutang memang terasa berat namun karena hal tersebut

adalah sebuah kewajiban maka betapapun beratnya harus ditunaikan;

3. Jika, MPR sebagai “satuan tertinggi” lembaga negara, maka MPR akan

membawahi sepuluh lembaga tinggi negara yang lain, sehingga MPR

menjadi lembaga tertinggi negara .

Penulis percaya, konsep ini akan mengundang gelombang penolakan dari

banyak pihak. Jangankan berskala nasional, berskala provinsi saja --jika menyangkut

nasib umat Islam-- sering terabaikan, lihat nasib Nangro Aceh Darussalam, berapa

lama mereka “berjuang”? Bandingkan dengan Timor Timur, berapa lama mereka

berjuang? Padahal, pada yang pertama memperjuangkan status istimewa yang

memang layak disandangnya, dan pada yang kedua memperjuangkan lepas dari

pelukan Pertiwi.

Konteks kesejarahan masuknya dua daerah tersebut ke wilayah Indonesia

tidak dapat dijadikan alasan, sebab pada dasarnya Indonesia tidaklah menganeksasi

Timor Timur, dan disamping itu pengorbanan militer pada yang kedua sangat besar,

begitu pula dana yang harus dikeluarkan negara ini. Kalaupun terjadi juga penolakan,

maka mereka yang menolak tersebut dapat dipastikan mengidap Islam phobia atau

141

141

Page 142: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

bisa juga lantaran sangat ketakutan kehilangan “telur emas” yang selalu dihasilkan

oleh umat Islam. Dalam hal ini, penulis maklum, bukankah bangsa ikan merasa

ketakutan untuk tinggal di perairan yang jernih?

Jika penolakan tersebut datang dari umat non Muslim, kepada mereka penulis

bertanya, apakah hak anda mengatur peri kehidupan Muslim? Dan kalaupun

penolakan datang dari kelompok Muslim sendiri, kepada mereka penulis hanya dapat

mendoakan semoga cepat sadar, bertobatlah. Agama anda memerintahkan untuk

masuk Islam secara kafah, jangan menerima yang sebagian dan menolak sebagian

yang lain.

Dan, bukankah dapat dibuktikan dengan referendum –khusus bagi umat

Islam-- tentang hal ini? Anda tidak bisa berdalih bahwa tidak ada paksaan dalam

agama. Dalih semacam itu memang tepat saat diucapkan oleh orang yang belum

memeluk Islam. Namun saat Islam sudah Anda pilih sendiri, tidak ada yang

menyuruh, juga tidak ada yang memaksa, dan Anda telah berada dalam pelukannya,

dengan sendirinya dalih tersebut tidak berlaku lagi.

Jadi, sebenarnya, Andalah yang paling bertanggungjawab atas lemahnya

kondisi jutaan umat Islam di negara ini! Bagaimana? Bukankah kemunduran umat

Islam karena meninggalkan aturan agamanya?

Oleh karena itu, dalam perjalanannya nanti, dari segi ekonomi negara maka

baitul maal akan terbentuk sehingga pajak bagi umat Islam ditiadakan karena sudah

ada zakat --baik zakat fitrah, zakat ternak, maupun zakat yang lain. Yang jelas, jika

umat lain bayar satu untuk negara maka umat Islam juga bayar satu, meskipun pada

yang satu tersebut ada penjelasan lebih lanjut.

Tentang detail dua setengah persen, lima persen, sepuluh persen, atau dua

puluh persen serta bagaimana hubungan antara baitul maal dengan pendapatan

/belanja negara, penulis tidak mampu menjelaskan. Tapi percayalah, di luar sana,

ribuan ahli hukum syariah siap menguraikan dengan rinci.

142

142

Page 143: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dengan berdirinya baitul maal, barulah dapat ditata ekonomi rakyat dengan

adil. Bahkan, di samping itu, kita baru dapat mempersiapkan diri untuk menyongsong

revolusi industri jilid dua. Jika jilid satu model Eropa yang didanai riba hasilnya

adalah kerusakan bumi --Indonesia, maka pada jilid dua nanti yang didanai oleh dana

umat Islam akan terlihat sebaliknya.

3. 5. Noto Ilmu (10)104

Di atas ada disinggung bahwa daerah ilmu adalah daerah pikir dengan

cakupan yang terbatas, sebatas materi yang dapat ditangkap nalar. Adanya dikotomi

antara ilmu umum dengan ilmu agama --mungkin-- dikarenakan adanya anggapan

bahwa agama itu juga termasuk ilmu. Padahal, di dalam agama itulah ilmu bernaung.

Ini berarti ada bagian agama yang tidak dapat ditangkap ilmu, dan bagian tersebut

hanyalah dapat diterima oleh iman (keyakinan). Adalah hal yang sia-sia jika ada

keinginan untuk menguak areal iman.

Dalam konteks ke-Indonesia-an, ilmu menjadi sangat penting dalam rangka

membangun peradaban bangsa. Lebih-lebih sejak pasca Proklamasi 1945 hingga saat

ini, tak henti-hentinya derita melanda penduduk negeri ini. Bukankah seharusnya

setelah merdeka, menata langkah untuk maju bersama? Bukan malah sikut kiri, sikut

kanan. Atau malah lebih parah lagi, menggunting dalam lipatan untuk maju sendiri.

Apalah artinya, seorang jenderal terangkat ke singgasana jika ribuan prajurit menjadi

penopang singgasananya itu.

Masalahnya, sudahkah ilmu Indonesia itu merdeka? Sebagaimana pendapat

para ahli bahwa ilmu itu bercabang-cabang, masing-masing cabang melahirkan

cabang baru lagi, beranting-ranting, dan beranting-ranting lagi. Semua berkembang

seiring dengan lajunya pengetahuan umat manusia. Lahirnya ranting ilmu yang terlalu

dini akan membuat merana ilmu itu sendiri, sebab “pasar” belum siap menerimanya.

Bahkan, bisa-bisa yang melahirkan ilmu tersebut dianggap miring.

143

143

Page 144: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Begitu pula sebaliknya, jika ranting terlalu banyak --dan sejenis-- maka,

pasarpun akan menjadi jenuh. Muara dari titik jenuh itulah yang disebut dengan

pengangguran. Kondisi ini sudah ada di depan mata.

Dari sini, dapat dimengerti, jika awam berpendapat untuk apa menuntut ilmu

--yang membutuhkan banyak biaya -- jika pada akhirnya hanya menjadi seorang

pengangur. Bisa jadi, para penanggung jawab pendidikan berkilah bahwa tugas

lembaga pendidikan hanya membekali siswanya dengan kail. Urusan mengail di

mana itu sudah bukan tanggungjawabnya lagi.

Dalih semacam itu tidak salah, sepanjang masih ada kolam, empang, perigi,

danau, atau laut yang masih sarat dengan ikan. Namun saat tempat-tempat yang

seharusnya berisi ikan tersebut telah kosong, bahkan airnya pun telah lenyap, lantas

untuk apa gerangan kail yang mereka cari dengan susah payah itu? Bahwa

pendidikan berganti haluan, membekali siswanya dengan parang pun tak akan

berguna saat kayu-kayu di hutan telah tinggal pokok-pokok pepohonannya saja.

Semua telah habis, dan tandas. Dari itu, seharusnya, pendidikan mampu membekali

siswanya dengan ilmu yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

Pembaca yang budiman, perlu diingat bahwa tugas pendidik (guru) dan

pengajar ( baca : dosen) hanyalah sebagai penyampai, tugas pokok mereka bukanlah

“menemukan” ilmu, sekalipun pada guru tertentu dan pengajar ada tugas tambahan

untuk itu –sesekali menjadi penyelam. Untuk itu, wadah para ilmuwan Indonesia

perlu ada. Pada merekalah tertumpu lahirnya ilmu yang berguna bagi zamannya,

bahkan kalau mungkin, bermanfaat bagi generasi yang akan datang. Yang penulis

maksud dengan berguna bagi zamannya adalah ilmu tersebut berguna bagi pencari

ilmu saat yang bersangkutan tamat dari lembaga pendidikan karena dunia kerja

memerlukan ilmu tersebut. Dengan demikian, mereka tidak perlu lagi mencari

tambahan ilmu pengetahuan di luar lembaga pendidikan.

Mencari tambahan ilmu menunjukkan kurangnya bobot bekal ilmu yang

mereka terima dari lembaga pendidikan. Dan, jika itu terjadi berarti ada kesenjangan

yang dalam antara dunia pendidikan dengan dunia kerja.

144

144

Page 145: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Itu menunjukkan lembaga pendidikan yang dimaksud tidak menghasilkan

lulusan yang siap pakai juga dapat dipandang sebagai adanya kekurang percayaan

masyarakat terhadap dunia pendidikan. Kalau kondisi seperti ini tercipta, siapa yang

rugi? Output pendidikan, bukan?

Menjamurnya Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) di berbagai kawasan di

satu sisi memang baik, sebab dapat dipandang ada semacam gairah menimba ilmu.

Namun, di sisi lain, sisi gelap membayang pada pencari ilmu dari keluarga yang

hidupnya pas-pasan. Ini, jelas sebuah ketidakadilan dalam penyebaran ilmu.

Dengan model semacam itu, akhirnya ilmu hanya akan tersebar pada mereka

yang mampu, sedangkan pada mereka yang tidak /kurang mampu cukuplah sebagai

penonton. Padahal, jumlah mereka yang tidak mampu jauh lebih banyak daripada

mereka yang mampu. Beruntung, banyak LBB yang memberikan semacam beasiswa

kepada siswa-siswanya dengan persyaratan tertentu., dan itu sudah merupakan sebuah

pengorbanan (?) dari LBB tersebut. Dalam kondisi seperti itu, kita kembali kepada

hukum alam. Oleh karena itu, terlalu menggiring peserta didik ke arah yang tidak

sejalan dengan jalur hidupnya hanyalah akan menghasilkan kekecewaan.

Pada bagian terdahulu telah disinggung bahwa saat memasuki bangku sekolah

(baca :pendidikan) peserta didik diibaratkan seberkas sinar putih yang menembus

prisma bening dan darinya akan terlahir banyak macam warna yang akan ditangkap

layar. Dalam hal ini, seluas “layar” Indonesia. Jika sinar putih tadi diganti dengan

ilmu murni Indonesia maka akan nampak aneka warna ilmu, misalnya : ilmu

tatanegara, ilmu kesenian, ilmu kesehatan, ilmu bahasa, dan sebagainya. Kesemuanya

berakhir pada ilmu “tradisional”. Memang, dari yang tradisional itulah akan lahir

yang nasional. Namun, memandang nasional adalah hasil penjumlahan dari yang

tradisional tidak selalu tepat.

Persoalan tidak semua yang tradisional dapat terangkat ke permukaan

Indonesia sehingga menjadi milik nasional harus diatasi. Sebagai contoh, bahasa

Indonesia yang terlahir dari rumpun bahasa Melayu akan membuat bangga orang

Sumatera, karena satu di antara banyak bahasa daerah yang ada di Indonesia dapat

145

145

Page 146: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

tampil sebagai bahasa nasional. Perjalanan waktu yang ditempuh bahasa Melayu

untuk dapat menasional cukup panjang. Namun, hasil yang dicapai juga gemilang,

mampu menguasai jagat Indonesia. Bagaimana dengan ilmu yang lain? Keengganan

menerima kelebihan budaya etnik lain yang sebangsa jelas bukan sikap yang

diharapkan dalam membangun peradaban Indonesia secara keseluruhan.

Padahal, tidak diragukan, jika kelebihan tersebut dimanfaatkan dan ditambah

sedikit polesan akan melepaskan bangsa ini dari belenggu tiran kolonialis modern.

Apakah arti kolonialis kalau bukan penjajahan. Pertanyaannya, masihkan bangsa ini

terjajah? Menurut hemat penulis, sepanjang negara tidak mampu memasang prisma

bening kedua, maka kemerdekaan masih jauh. Mari kita buktikan tentang masih

adanya penjajahan dari ilmu yang dihasilkan pakar dan diajarkan oleh guru untuk

bangsa ini! Sepanjang “pengetahuan” penulis, ada empat macam penjajahan, yaitu:

penjajahan tarikh7, penjajahan aksara8 , penjajahan bilangan9, dan penjajahan

internal10, yang kesemuanya bersimpul pada satu simpulan.

Pembaca yang budiman, dari pentingnya ilmu yang berakar di Indonesia demi

masa depan bangsa dan negara ini maka harus ada satu wadah yang lebih besar bagi

para ilmuwan. Untuk itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai

lembaga bentukan pemerintah sangat layak untuk dinaikkan statusnya menjadi sebuah

lembaga tinggi negara. Dengan demikian, LIPI bernaung di bawah MPR.

lembaga ini mendapat mandat dari pemegang kedaulatan rakyat serta

mendapat tugas tambahan untuk menggali “ilmu murni (ilmu dasar)” Indonesia dan

segala bentuk pertangungjawaban keilmuan menjadi tanggungjawabnya. Pada “ilmu

murni” Indonesia itulah terletak jati diri sebagai bangsa.

Oleh karena itu, badan ini diharapkan merangkul ilmuwan-ilmuwan lain yang

masih terkotak-kotak di luar, seperti ICMI misalnya. Kotak-kotak ilmuwan tersebut

dapat dipandang sebagai satuan organik. Kehadiran badan ini menjadi sangat penting

karena setiap ilmu yang berakar dan tumbuh di Indonesia akan melahirkan sebuah

sistem yang “merdeka”. Dengan sistem itulah, peradaban Indonesia dibangun.7 lihat Noto Tarikh ; 8 lihat Noto Bahasa; 9 lihat Noto Bilangan; 10 lihat Noto Bela Negara

146

146

Page 147: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

3. 6 Noto Tarikh Indonesia (10)88

Tarikh yang dipakai di Indonesia adalah tarikh Masehi (samsiah), itu artinya

produk barat, bukan produk timur. Bangsa-bangsa timur lazimnya menggunakan

tarikh bulan (komariah). Hal ini dikarenakan adanya hubungan antara bulan dengan

hari besar agama mereka. Bukan hanya agama pagan semisal Hindu dan Buda yang

mempergunakannya, bahkan Islam pun menyandarkan perhitungan tarikhnya pada

bulan. Dalam konteks Indonesia mempunyai beberapa kelemahan, antara lain:

a. Dipandang dari sudut agama

Ini berarti mengistimewakan umat Nasrani –Kristen Katolik dan Kristen

Protestan- dengan menafikan (?) umat lain -Islam, Hindu, dan Buda- dalam masalah

perhitungan waktu. Itu sama artinya dengan dua makan tiga, atau minoritas

menguasai mayoritas. Padahal, umat Nasrani hanyalah minoritas dan hari Minggu

adalah hari Tuhan mereka, sedangkan umat Islam yang mayoritas dengan hari Jumat

sebagai hari Tuhan mereka.

Hari Tuhan minoritas dijadikan hari libur umum, di mana gerangan hari

Tuhan mayoritas? Lantas di mana hari Tuhan Hindu dan Buda? belum lagi urusan

taklif dan berbagai ritual yang ada hubungan langsung dengan masalah waktu,

misalnya Ramadhan, liburan sekolah, dan sebagainya.

b. Dipandang dari segi tarikh itu

Pada 1 Masehi, di manakah posisi Indonesia? Di mana pula posisi umat

Nasrani -Indonesia-? Sejarah tanah air dimulai dari Kutai, lantas apa gerangan

hubungan antara Kutai dengan Masehi? Bukankah agama Masehi sendiri masuk

Indonesia bersamaan dengan masuknya Portugis di Maluku? Bukankah dalam

rentang waktu yang panjang antara Kutai dengan masuknya bangsa barat tersebut di

147

147

Page 148: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

tanah air ini telah ada negara berdaulat, dan sebagai negara berdaulat dan berbudaya,

bukankah dari situ dapat dipastikan saat itu, Kutai telah memiliki tarikh sendiri?

Bukankah mereka mengadakan pemujaan secara periodik?

Bahkan, bukankah sampai detik-detik proklamasipun secara hukum Aceh

masih berdaulat di samping Yogyakarta? Itu artinya, Indonesia belum jatuh ke tangan

penjajah. Jadi, klaim sejarahwan bahwa Indonesia telah dijajah bangsa barat selama

ratusan tahun perlu dipertanyakan sebab Yogyakarta dan Aceh masih berdaulat,

hanya saja wilayah –Indonesia- makin sempit karena sebagian besar jatuh ke tangan

asing. Selain itu masih ada bukti lain yang membingungkan, jika kita mau

merenung :

Satu tujuh delapan tahun empat lima

Itulah hari kemerdekaan kita

Hari merdeka, nusa dan bangsa

Hari lahirnya bangsa Indonesia

Merdeka

…………………

(Lagu wajib, H. Mutahar)

Berarti, masa sebelum 17 agustus 1945 bangsa Indonesia belum ada. Dan, kalau

belum ada, bagaimana mungkin bisa terjajah selama ratusan tahun?

Memang, secara materi -wilayah dan populasi penghuninya- jatuh ke tangan

bangsa barat, namun, bukankah mereka semua belum menjadi “Bangsa Indonesia”?

Jadi, untuk apa gerangan mempelajari sejarah Kutai, Sriwijaya, Mataram, Medang,

Majapahit, sampai dengan kerajan-kerajaan bercorak Islam seperti Goa, Mataram,

Banten, dan sebagainya, jika ternyata semua itu bukan Indonesia, karena Indonesia

sendiri belum lahir. Bukankah pengakuan satu bangsa baru muncul saat Sumpah

Pemuda, 28 Oktober 1928? Itu menunjukkan bahwa, sebenarnya bangsa Indonesia

baru terjajah Belanda sejak Sumpah Pemuda sampai dengan masuknya Jepang ke

148

148

Page 149: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

tanah air ini. Sebelum itu, mereka masih merupakan bangsa (bukan suku bangsa)

Jawa, bangsa Batak, bangsa Ambon, bangsa Pasundan, Bangsa Sulawesi, dan

sebagainya, yang dalam hal kepemudaan dimunculkan dalam bentuk organisasi

pemuda mereka.

Dari situ dapat difahamkan bahwa pengakuan dan pembelajaran kepada

peserta didik sebagai bangsa yang dijajah selama ratusan tahun sangat tidak tepat dan

menyesatkan. Penulis maklum, bukankah para sejarahwan mempelajari sejarah

negara sendiri pada bangsa -yang memandang dirinya sebagai bangsa- superior -

Belanda, dan memandang bangsa ini sebagai bangsa inferior yang perlu ditata, diatur,

dan diarahkan untuk menjadi bangsa “beradab” seperti yang mereka inginkan.

Dengan kata lain, ada kesengajaan agar bangsa ini dihinggapi rasa rendah diri karena

memiliki masa lalu yang suram, sebagai bangsa terjajah.

Sungguh sangat berbahaya, jika rasa rendah diri ini sampai menghinggapi

bangsa, apalagi para pemimpin negara ini, saat jalinan hubungan bilateral maupun

multilateral menjadi sebuah kebutuhan bagi sebuah negara. Dengan adanya rasa

rendah diri, maka akan hilanglah rasa percaya diri, meragukan kemampuan bangsa

sendiri, dan berbagai sifat negatif lain dan ini akan bermuara pada memberi

kemudahan bagi “barat” untuk mendiktekan kemauannya untuk dipatuhi. Lagi-lagi,

rakyat yang menjadi korban.

Pembaca yang budiman dapat melihat hal ini pada setiap perjanjian antara

negeri ini dengan pihak barat, mulai dari Linggarjati, 25 Maret 1947, sampai dengan

AFTA dengan model pasar bebasnya. Apa arti semua itu? Kita hanya digiring untuk

menjadi bangsa figuran, atau mungkin paling tinggi sebagai bangsa pajangan. Negara

ini hanya akan dijadikan “sapi perah” bahan mentah dan pada gilirannya nanti

menjadi “tong sampah” teknologi mereka.

Bahwa teknologi itu penting, memang benar. Namun, apa arti sebuah

teknologi, jika pada akhirnya membuat tanah tercemar, air tercemar, udara penuh

asap, ozon bolong, hutan gundul, ekonomi ambruk, dan mempercepat tumbuhnya

pengangguran serta masalah sosial lain. Bahwa bangsa ini membutuhkan teknologi

149

149

Page 150: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

mereka untuk melaksanakan pembangunan, itupun tidak salah. Namun hendaknya

tidak dilupakan bahwa negara ini masih memiliki nilai tawar yang tinggi. Mereka

masih membutuhkan suplai bahan mentah dan pasar.

Di samping itu, sebelum sejarah dimulai disebut zaman pra sejarah yang --

dalam hal ini pembabakannya didasarkan pada alat-alat yang mereka pergunakan--

dikelompokkan dua masa, yaitu zaman batu dan zaman logam. Zaman batu sendiri

dipilah lagi menjadi tiga masa, yaitu zaman batu tua (paleoliticum), zaman batu

tengah (mesoliticum), dan zaman batu muda (neoliticum) yang masing-masing

mempunyai ciri sendiri-sendiri. Adapun zaman logam dipilah lagi menjadi dua

zaman, yaitu zaman perunggu dan zaman besi.

Oleh karena itu, jika tarikh Masehi dimulai dengan 1 M, dan sejarah Indonesia

dimulai dari Kutai (400 M), maka masa pra sejarah Indonesia adalah masa sebelum

Kutai. Ini berarti, masa pra sejarah Indonesia terpisah menjadi dua, yaitu zaman

sebelum Masehi dan zaman antara 1 M dengan 400 M. Pemilahan tersebut jelas tidak

adil. Sebab pertama, zaman pra sejarah itu sendiri merupakan sebuah rentang waktu

yang padanya terdapat lima zaman. Apalagi, konon rentang waktu masing-masing

ratusan sampai dengan ribuan tahun. Kedua, apakah dapat dipastikan bahwa zaman

logam diawali 1 M dan diakhiri saat Kutai berdiri, sementara zaman batu berakhir

pada 1 SM?

Jika tarikh Masehi dikaitkan dengan pendidikan, maka akan lebih runyam

lagi. Kita tahu, bahwa mayoritas penduduk negara ini adalah Muslim yang setiap

tahun mempunyai kewajiban menunaikan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan.

Pro-kontra tentang perlu tidaknya Ramadhan dijadikan hari efektif telah terjawab

dengan munculnya istilah hari efektif fakultatif. Ini menunjukkan akumulasi

kebingungan dunia pendidikan dengan realita.

Pendidikan menghadapi dilema, akan meliburkan bukan saatnya libur,

sementara akan mengefektifkan … bukan saat yang tepat untuk berefektif. Akhirnya,

sebagai solusi, silakan masuk jika ingin masuk. Dengan kata lain, tidak ada

keharusan. Jika masuk, maka akan menjadi tugas berat bagi Guru Agama, ia ahlinya.

150

150

Page 151: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Sebaliknya, jika diliburkan maka lembaga pendidikan akan dipandang kurang /tidak

proaktif dengan kondisi religius. Akhirnya, hanya lembaga pendidikan tertentu saja

yang mampu (?) melaksanakan dengan baik (?), dan hasilnya juga baik (?).

Situasi yang mengambang seperti itu, jelas sulit untuk menghasilkan hasil

yang optimal, terlebih lagi apabila asal melaksanakan. Menyikapi keadaan seperti itu

ada yang perlu direnungkan bersama.

Pertama, adanya hari efektif fakultatif selama ± 15 hari (dibulatkan) dan jika

dikonversikan ke dalam jam petemuan akan menjadi ± 630 jam pertemuan pada hari

efektif.

Kedua, pembelajaran tidak dapat disamakan dengan pekerjaan administrasi

atau pekerjaan lain yang dapat dihentikan di tengah jalan untuk kemudian dilanjutkan

pada waktu yang akan datang.

Pembelajaran adalah sebuah proses dari awal sampai akhir tahun pelajaran,

yang kalau dihentikan di tengah jalan maka tak ubahnya dengan kegiatan memasak di

dapur yang berhenti di tengah jalan, lantas apa yang terjadi? Bukankah akan membuat

“makanan” menjadi masak setengah? Mentah, tidak, dikatakan masak juga belum.

Keadaan akan menjadi lain, seandainya, penanggung jawab pendidikan

berinisiatif menambah jumlah jam pertemuan pada mata pelajaran Pendidikan

Agama, dari dua jam pertemuan menjadi ± 5 jam pertemuan setiap minggunya. –tiga

jam menjadi tugas Guru Agama, sedangkan yang dua jam itu tempat bagi Guru

Mengaji! Guru Al Kitab! Atau yang sejenis dengan itu. Sudah saatnya, mereka ditarik

masuk struktur!-- Dengan kata lain, tidak ada hari efektif fakultatif. Hari efektif, ya,

efektif. Hari libur, ya, libur. Bukankah, pembelajaran akan lebih berhasil saat

disampaikan sedikit demi sedikit, namun teratur dan berkesinambungan?

Dari gambaran di atas terlihat bahwa dalam konteks Indonesia, penggunaan

tarikh Masehi hanya menimbulkan penjajahan internal terhadap mayoritas yang

akhirnya bermuara pada kebingungan penguasa mengelola waktu kerja dan juga

menentukan waktu libur yang tepat, karena mayoritas penduduk negara ini

menyandarkan hitungan waktunya pada bulan bukan pada matahari.

151

151

Page 152: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Oleh karena itu, mengembalikan penggunaan tarikh komariah (bulan)

sangatlah tepat. Menempatkan hari Jumat sebagai hari libur umum, juga tepat, sebab

mayoritas penduduk Indonesia Muslim. Hanya saja perlu diingat, kita berbicara

dalam koridor Merah Putih. Dan di samping itu, saat Proklamasi 17 Agustus 1945

yang bertepatan dengan 9 Romadhon 1364 H pun hari Jumat.

Dengan demikian, sekalipun menggunakan tarikh komariah maka nanti yang

ditetapkan sebagai Tahun 1 Indonesia adalah saat berdirinya Kutai di bumi

Kalimantan. Jadi, untuk tahun dimulai dari Kutai (pengaruh agama pagan), untuk

bulan menggunakan bulan Hijriah (pengaruh Islam), sedangkan untuk hari

menggunakan hari Masehi (pengaruh Nasrani). Jadi, semua agama

menyumbangkan andil sebagai saham untuk membangun tarikh Indonesia.

Dari situ muncul pertanyaan, mengapa tidak sekalian saja menggunakan

tarikh Hijriah? Pembaca yang budiman, kembali penggunaan tarikh Hijriah secara

total dengan menggantikan tarikh Masehi akan sama artinya dengan membalik

dominasi, giliran yang besar makan yang kecil. Juga akan terkesan meng-Arab-kan

Indonesia, atau bisa juga dipandang meng-Islam-kan Indonesia.

Hal semacam itu haruslah dihindari, sebab pada masa pasca transisi nanti,

bangsa ini sudah harus berani mengucapkan “selamat tinggal, dominasi”. Apapun

bentuknya, sebab yang namanya dominasi sangatlah menyebalkan bagi yang

didominasi. Oleh karena itu, rasa ikut memiliki yang akan lebih memperkokoh

mozaik Indonesia haruslah dibangun bersama.

Pertanyaanya, kapan tahun baru Indonsia? Apakah seperti tahun baru hijriah

ataukah seperti tahun baru saka? Menurut hemat penulis, tidak seperti kedua-duanya.

Tarikh Indonesia, sekalipun menggunakan bulan sebagai dasar pehitungan,

mempunyai tahun baru sendiri. Bagi mayoritas penduduk Indonesia di antara dua

belas bulan dalam dalam kalender hijriah terdapat sebuah bulan yang istimewa yaitu

bulan Syawal yang juga biasa disebut Lebaran. Lihat saja, mulai hiruk-pikuknya

dapur, pasar, pusat-pusat perbelanjaan, sampai dengan arus mudik saat itu.

152

152

Page 153: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Oleh karena itu, nantinya, pengertian Syawal dan Lebaran harus dipertegas.

Perhatikan :

Syawal adalah bulan bulan kesepuluh dalam perhitungan Tahun Hijriah;

Lebaran hari raya umat Islam sehabis menjalankan ibadah puasa (tanggal 1 Syawal);

idhulfitri;

(Kamus Besar Bahasa Indonesia,1990 : 506 /878)

Pada 1 Syawal, umat Islam di seluruh dunia –bukan hanya di Indonesia--

bergembira karena dapat “lulus ujian” dalam menunaikan ibadah puasa di bulan suci

Ramadhan. Dengan demikian, masa penggemblengan untuk dapat kuat dalam

memerangi hawa nafsu “selesai”. Dalam hal ini ditandai dengan dilaksanakannya

shalat Idhul Fitri. Jadi urusan Ramadhan “selesai” pada 1 Syawal dengan Idhul

Fitrinya. Oleh karena itu, pengertian Syawal lebih mendunia.

Sedangkan pengertian lebaran sekalipun yang dimaksud adalah sama, namun

“semesta” –nya hanya sebatas Indonesia. Dengan kata lain, semesta lebaran lebih

sempit, sebatas bumi Indonesia. Dengan kata lain, lebaran adalah produk akal budi

manusia Indonesia. Di luar sana, sesudah shalat Idhul Fitri, mereka kembali bekerja.

Padahal, untuk masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim --Muslim

Indonesia-- tidaklah berakhir begitu saja, masih ada acara lain, yaitu berhalal bi halal.

Sepengetahuan penulis, acara ini dirintis oleh presiden pertama negara ini. Memang,

kegiatan tersebut senafas dengan Islam karena di dalamnya ada silaturahmi, dan itu

sangat dianjurkan.

Namun, merayakan lebaran itu adalah budaya murni Indonesia. Jadi, menurut

penulis, memformalkan silaturahmi pada bulan Syawal tersebut tidak ada kaitan

langsung dengan Islam. Bukankah silaturahmi dapat dilakukan kapan saja? Begitu

pula dengan bermaaf-maafan, tidak harus menunggu datangnya bukan Syawal,

bukan? Bukankah, jika merasa bersalah akan lebih baik apabila segera minta maaf,

mengapa harus menunggu datangnya Syawal?

153

153

Page 154: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Oleh karena kegiatan tersebut adalah budaya Indonesia --yang dalam hal ini

bisa jadi melibatkan umat agama lain, baik langsung maupun tidak langsung-- maka

Islam berposisi sebagai pengisi bingkai budaya. Sehingga, ketika isi bingkai sudah

menempati 1 Syawal, maka dengan sendirinya si bingkai akan menempati 2 Syawal.

Nah, pada 2 Syawal itulah start awal budaya Indonesia. Padahal, start harus dimulai

dari satu, tidak dari dua, apalagi dari nol --konsep ini secara keseluruhan menampik

nihilisme-- Dengan demikian, maka 2 Syawal = 1 Lebaran.

Oleh karena itu, menurut penulis, 1 Lebaran lebih tepat jika ditetapkan

sebagai tahun baru Indonesia (penggunaan istilah lebaran ini untuk membedakan

antara kalender Indonesia dengan kalender Islam agar tidak membingungkan saudara-

saudara sebangsa yang Muslim, kelak). Dari sini muncul pertanyaan, apakah sistem

tersebut tidak terlalu mengistimewakan Islam? Praduga semacam itu wajar, sebab,

jika hanya diperhatikan sekilas, maka nanti akan terlihat bahwa libur semester 2 dan

libur sekitar proklamasi bersamaan dengan bulan suci Ramadhan, dan libur sekitar

tahun baru beriringan dengan Idhul Fitri. Namun sesungguhnya yang terjadi tidaklah

seperti itu, justru Indonesia yang akan memetik keuntungan.

Perhatikan :

Pertama, bulan Ramadhan sebagai bulan suci dapat benar-benar dibuktikan

kesuciannya dengan “nihil” aktifitas selain ibadah, nihil aktifitas jangan diartikan

tidak bekerja. Dengan Ramadhan umat Islam berkesempatan untuk meningkatkan

kualitas ibadahnya. Mereka secara otomatis akan menghentikan segala aktifitas yang

bertentangan dengan norma agama kecuali mereka yang terbelenggu oleh hawa nafsu

mereka sendiri. Dengan kata lain, beraktifitas sebelas bulan, menata batin

sebulan.Sehingga usai Ramadhan akan lahir pribadi baru yang lebih baik.

Di saat mereka merayakan kemenangan tersebut, tibalah tahun baru Indonesia.

Dengan bagusnya akhlak mayoritas isi negara ini maka akan membawa ke arah

kebaikan pula, begitu pula sebaliknya. Muatan positif Islam akan terasa membumi

manakala negara dapat memanfaatkan dengan baik dan benar, sebaliknya muatan

tersebut hanya akan bermanfaat bagi umat Islam secara mikro saat negara

154

154

Page 155: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

mengabaikannya. Dalam hal ini, pendapat dari Karen Amstrong dalam The Battle for

God yang perlu untuk direnungkan bersama :“Di bawah kerajaan Islam, agama Yahudi dan Kristen mampu hidup damai secara harmonis

selama lebih dari enam ratus tahun . … Mereka tidak menjadi korban pembantaian seperti di

belahan Eropa lainnya”

(Sabili, 01 Th. X : 17)

Kedua, bagi dunia pendidikan khususnya, akan memberi kesempatan kepada

peserta didik untuk beristirahat panjang. Sehingga, saat masuk kembali sekolah

(belajar) suasana, benar-benar baru karena tahun ajaran telah berganti. Sedangkan

bagi dunia kerja, situasi tersebut dapat dimanfaatkan oleh para pekerja untuk

mengambil cuti tahunan mareka –kecuali untuk bidang-bidang tertentu-- sehingga

sesudah berlibur, semangat kerja dan produktifitas meningkat.

Terus terang, penulis merasa kagum atas pandangan jauh ke depan presiden

pertama negara ini dalam membaca muatan positif yang dibawa oleh Islam. Hanya

saja, tindak lanjut dari apa yang telah dibangunnya menjadi hampa dan kurang

bermakna bagi Indonesia seutuhnya karena budaya yang telah dibangun tersebut

hanya berhenti sampai di situ (baca : sesudah halal bi halal, ya, “sudah”). Jadi, jika

ingin muatan positif yang dibawa Islam bermakna bagi negara karena bersifat

mondial, tidak ada cara lain tinggalkan tarikh Masehi. Dengan demikian, rintisan

budaya yang telah dibangun Ir. Soekarno tidak sia-sia.

Ketiga, dengan 1 Lebaran sebagai tahun baru Indonesia, budaya hedonistis

yang identik dengan hura-hura dengan sendirinya akan minggir dan “pulang” ke

negara asalnya. Dari situ dapat difahamkan bahwa Ramadhan adalah embrio untuk

melahirkan budaya Indonesia yang santun, yang secara keseluruhan bertolak

belakang dengan ciri budaya hedonistik.

Dari sini muncul pertanyaan, bukankah sering terjadi ada dua fersi 1 Syawal?

Lantas yang manakah yang dipakai sebagai pedoman 1 Lebaran. Keberadaan dua

fersi tersebut tidaklah lantas begitu saja menggugurkan ketepatan penggunaan tarikh

155

155

Page 156: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

bulan. Sebab, sejak jaman Rasulullah SAW. pun kejadian serupa pernah juga terjadi

(?). Oleh karena itu, jika pada hari H (yang pertama) itu adalah 1 Syawal, hari

rayanya umat Islam. Maka pada H + 1 itu adalah 1 Lebaran, tahun baru Indonesia.

Dan, bisa jadi, pada suatu ketika antara 1 Syawal fersi kedua akan bertemu dengan 1

Lebaran dalam sehari. Dalam hal ini, ada sedikit hal yang perlu penulis tambahkan,

bahwa agar lebih meng-Indonesia, maka seyogyanya nama-nama bulan tarikh

Indonesia menggunakan dialek Indonesia. Misalnya : Suro untuk bulan Muharam.

Dari sini muncul pertanyaan, bagaimana dengan hari libur yang lain?

Pembaca yang budiman, menurut penulis, semua hari besar nasional yang kita

rayakan setiap tahun hanyalah sebuah seremonial yang ”kering” karena nyaris tak

ubahnya dengan membaca cepat sejarah bangsa maupun cita-cita sang pembina

upacara. Jadi, sekalipun amanah Pembina Upacara terdengar menggelora dan

membakar semangat. Namun kenyataannya, berapa persen dari isi negara ini yang

peduli dengan isi amanahnya? Atau berapa persen penduduk yang hadir dalam

upacara tersebut? Atau lebih dalam lagi, berapa persen dari yang hadir yang serius

dalam mengikuti upacara? Atau, apa yang didapat peserta upacara dan bangsa ini

sesudah mengikuti upacara? Padahal, bukankah negara ini milik kita semua?

Jadi, berkaitan dengan itu, maka libur nasional cukup dua kali, yaitu :

a. Libur sekitar proklamasi, meliputi :

(10)0 = 1 hari libur untuk detik-detik proklamasi;

(10)1 = 10 hari libur untuk sekitar proklamasi;

b. Libur tahun baru Indonesia

(10) = 10 hari sebagai hari libur tahun baru Indonesia.

Daripada waktu, pikiran, dana, dan sebagainya terbuang sia-sia karena

seringnya ada peringatan-peringatan hari besar yang tidak jelas manfaatnya, lebih

baik untuk “bekerja”. Sudah saatnya bangsa ini giat bekerja bukan malah disibukkan

dengan upacara peringatan. Bukankah mengenang perjuangan para pendahulu tidak

identik dengan mengadakan peringatan yang sesudah itu, sudah! Jika pendahulu

“giat” menghalau musuh, menjadi tugas penerus “giat” mengisi kemerdekaan.

156

156

Page 157: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Sedangkan libur untuk hari-hari besar agama mendapatkan porsi lebih, yaitu

setiap agama mendapatkan jatah masing-masing tiga hari, sehingga dalam setahun

akan terlihat pemanfaatan hari --pada lingkungan pendidikan-- sebagai berikut :

1. Hari efektif = 247 hari

2. Hari libur 6 agama @ 3 hari = 18 hari

3. Hari libur umum = 48 hari

4. Hari libur semester 1 = 10 hari

5. Hari libur semester 2 = 10 hari

6. Hari libur Proklamasi = 1 hari

7. Hari libur sekitar Proklamasi = 10 hari

8. Hari libur sekitar Tahun Baru = 10 hari

9. Cadangan = 1 hari

Jumlah = 355 hari

Bandingkan dengan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

Propinsi Jawa Timur Nomor 188/701/108.03/2002 tentang Hari Sekolah dan Hari

Libur bagi Sekolah di Propinsi Jawa Timur Tahun Pelajaran 2002 /2003, dengan

rincian sebagai berikut :

1. Hari efektif = 241 hari

2. Hari efektif fakultatif = 18 hari

3. Hari libur umum = 52 hari

4. Hari libur hari besar = 14 hari

5. o Libur semester 1 = 12 hari

o Libur semester 2 = 12 hari

6. Libur permulaan puasa = 3 hari

7. Libur sekitar hari raya = 12 hari

Jumlah = 364 hari

157

157

Page 158: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dengan demikian, selama masa transisi segmen kedua, adalah menjadi tugas

para sejarahwan untuk menyusun tarikh Indonesia yang baru, yang juga tidak

berkiblat ke manapun. Mereka juga berkewajiban menata ulang sejarah bangsa

/negara ini. Mereka harus menyusun konsep untuk dapat mengembalikan image

kebesaran Indonesia yang telah berhasil diporakporandakan oleh kaum orientalis

sebagai kaki tangan imperialis modern. Hal ini dikarenakan, pada pasca transisi

nanti, pembabakan sejarah Indonesia akan terlihat sebagai berikut :

1. Masa sebelum Kutai disebut masa pra sejarah Indonesia

… < tahun 1 Sebelum Indonesia ( … < 1 SI);

2. Masa antara Kutai sampai dengan Proklamasi dalam tarikh Masehi

disebut Indonesia pada masa feodal. Jika dikonversikan dalam

tarikh Indonesia akan menjadi: tahun 1 sampai dengan tahun x;

3. Masa antara Proklamasi sampai dengan berakhirnya masa transisi

dalam tarikh Masehi disebut Indonesia pada masa republik. Jika

dikonversikan akan menjadi : tahun x sampai dengan tahun y;

4. Indonesia pasca transisi disebut Indonesia Merdeka, dan itu baru

tercapai pada tahun y.

Dengan pengelompokan /pembabakan sejarah seperti itu, barulah terasa

faedah mempelajari sejarah bangsa sendiri /sejarah tanah air sebab ternyata, yang

dimaksud dengan INDONESIA itu adalah Kutai sampai dengan Indonesia.

Bahwa pada zaman pra sejarah, wajah Indonesia seperti “itu”. Pada masa

feodal wajah Indonesia seperti “ini” karena waktu itu madani dan tsaqofinya mulai

dirongrong bangsa asing. Pada masa republik, wajah Indonesia seperti “ini” karena

madani telah merdeka, sementara tsaqofi yang merdeka barulah bahasa Indonesia dan

158

158

Page 159: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

politik luar negeri, sementara yang lain belum. Karena tiadanya “rem” pada MPR,

hukum hanya dapat tegak di atas yang lemah sementara pada yang kuat, hukum

menjadi tumpul. Karena tiadanya kekuatan agama masuk dalam struktur negara,

maka politik luar negeri yang seharusnya diterapkan pemerintah adalah bebas aktif

menjadi begini, kadang condong ke sana, kadang condong ke sana. Dan disamping

itu, terjadi pendangkalan akidah agama dan bahkan pemurtadan (dengan berbagai

cara) karena penyebaran agama yang vulgar. Islam hanya dijadikan kendaraan politik.

Karena kesalahan sistem bilangan, maka terjadilah krisis keuangan.

Karena masuknya srtuktur luar birokrasi ke dalam birokrasi serta menafikan

keberadaan Pegawai Negara maka terjadilah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)

dan pengangguran. Karena masuknya struktur dalam birokrasi ke struktur luar

birokrasi maka terjadilah pengangguran, dan dari keduanya terciptalah kelas baru,

kelas pekerja. Karena militer berada di bawah sipil maka militer menjadi represif,

sipil (baca : -isme) yang berkuasa cenderung ingin menyingkirkan sipil lain yang

dianggap menjadi pesaing beratnya dengan memanfaatkan kekuatan militer. Karena

mengadopsi aksara ciptaan barat maka matilah industri berbasis aksara. Karena

terlalu banyaknya “piramida” dalam pendidikan, maka pendidikan menjadi tidak

maju-maju, dan seterusnya, dan seterusnya.

Bahwa wajah Indonesia setelah merdeka seperti ini, semua -isme hidup

berdampingan dengan damai karena pada dasarnya kesemuanya adalah hasil buah

pikir (budaya) umat manusia di bawah naungan iman kepada Yang Maha Kuasa,

semua nampak transparan, namun bukan berarti telanjang. Saat itulah, krisis jati diri

sebagai bangsa lenyap karena setiap orang berani menampilkan jati dirinya yang

sesungguhnya dengan rasa aman.

Negara milik rakyat, bukan milik penguasa karena penguasa

memandang kekuasaannya adalah sebuah amanah yang harus

dipertanggungjawabkan bukan hanya kepada atasannya, namun juga kepada

atasan dari atasannya, yaitu Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.

159

159

Page 160: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Hukum tegak di atas semua rakyat tanpa pandang bulu, baik mereka yang ada

di dalam struktur birokrasi maupun mereka yang berada di luar birokrasi, baik kepada

yang lemah maupun kepada yang kuat, dan seterusnya.

3.7 Noto Adil (10)112

Di atas ada disingung bahwa sejak 17 Agustus 1945 bangsa ini

memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, sementara di bagian lain juga

disinggung adanya penjajahan bangsa atas bangsa ini sendiri. Keadaan yang

sepertinya mustahil ini, karena bertolak belakang, akan terlihat saat pembaca

membuka perjalanan sejarah bangsa ini. Sejak awal, jadi sebelum proklamasi

kemerdekaan, ada tiga buah -isme yang menonjol di tanah air yaitu nasionalis Islami,

nasionalis sekuler, dan sosialis, yang pada dua yang terakhir ini sering dikaburkan

menjadi satu, nasionalis sekuler.

Di bagian lain juga ada disinggung bahwa Islam mempunyai dimensi iman

dengan demikian pada nasionalis Islami ada dasar iman di sana, bumi ini milik Allah

SWT –jadi, bukan hanya berdasarkan ilmu. Kedudukan manusia hanyalah sebagai

hamba-Nya. Dari situ dapat ditarik benang merah bahwa Islam sebenarnya bukanlah

sebuah -isme, sebab Islam bukan produk manusia.

Sebaliknya, -isme yang lain adalah produk manusia, buah akal budinya.

Adanya perbedaan akar tersebut bukannya tidak menimbulkan masalah dalam

perjalanan politik bangsa. Kita bisa melihat, bagaimana perlakuan penguasa negera

ini terhadap tokoh-tokoh Islam dari waktu ke waktu saat mereka dianggap mendekati

“kursi kekuasaan”, mulai dari Karto Suwiryo, Kahar Muzakar, Andi Azis,

Mohammad Natsir, Buya Hamka, sampai dengan Abu Bakar Baasyir.

Jangankan kepada mereka, kepada sesama -isme yang sama-sama produk

manusia pun saling sikut. Lihat peristiwa berdarah 1965, yang oleh CIA dinamakan

“salah satu pembunuhan massal paling buruk abad 20” (Prof. Peter Dale Scott, 1998 :

3). itu semua menunjukkan adanya tangan kuat bermain di sana.

160

160

Page 161: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Pertanyaannya, siapa tangan kuat tersebut? Behwa untuk membabat gerakan

berbasis Islam maka militer bergerak sendiri, sebaliknya untuk menumpas -isme yang

lain, maka militer memerlukan dukungan Islam. Dengan kata lain, Islam

dimanfaatkan oleh militer, Islam hanya dijadikan –maaf-- kuda troya.

Pertanyaan berikutnya, siapa yang memanfaatkan militer?“Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan

Udara”

(Pasal 10,Undang-Undang Dasar 1945)

Perlu diingat bahwa, pasal-pasal pada batang tubuh UUD 1945 sebenarnya

dipersiapkan untuk menopang “Piagam Jakarta” bukan untuk menopang Pancasila,

sebab jika dasar negara ini –misalnya-- Piagam Jakarta, maka presiden –yang orang

Islam (Pasal 6, UUD 1945)-- akan mempertanggungjawabkan pekerjaannya secara

Islam, di mana yang bersangkutan akan selalu terkondisi dan dikondisikan pada

koridor amar ma’ruf nahi mungkar dengan bingkai Merah Putih.

Oleh karena itu, dengan dihilangkannya tujuh kata pada Piagam Jakarta dan

mengubah Pasal 6, tanpa ada perubahan pada Pasal 10 itulah penyebab

ketidakstabilan politik dan keamanan di dalam negeri --Lihat, karena kepiawaian

mendiang Presiden Soekarno merengkuh militer, maka Konstituante dapat

dibubarkan dengan Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Padahal, lembaga dengan tugas

utama menyusun konstitusi negara tersebut hampir dapat menyelesaikan tugas yang

diembannya. Karena kurang berhasil merangkul militer, mantan Presiden

Abdulrahman Wahid gagal membubarkan DPR dengan dekritnya. Padahal, presiden

adalah Kepala Negara (penjelasan pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15 UUD 1945)-- Bahkan,

untuk mempersubur kekuasaan, diciptakan pula massa mengambang. Massa

mengambang, bak buih di lautan, dapat dipandang sebagai massa tanpa jati diri.

Mereka akan rapat-rapat mengunci jati dirinya agar tidak dituduh kanan atau

kiri.Padahal, apalah arti kanan atau kiri saat sudut pandang dibalik.

161

161

Page 162: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dalam konteks dunia, dalam teks yang abadi, siapakah musuh Islam

sebenarnya? Penulis tidak perlu mencarikan rumusan, sebab rumusan tersebut sudah

ada sejak sekian abad yang silam.

“Dan orang-orang Yahudi dan Nashara tidak akan suka kepadamu hingga engkau turut agama

mereka. Katakanlah : “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (sebenar-benar) petunjuk”. Dan

sesungguhnya jika engkau turut kemauan-kemauan mereka, sesudah datang pengetahuan

kepadamu, maka engkau tidak akan dapat dari Allah, pengawal dan (tidak) pembantu”

(QS, Al Baqoroh : 120)

Di samping itu, ada beberapa pendapat barat yang dikeluarkan oleh tokoh mereka

yang perlu direnungkan dalam menata Indonesia :

1. “Missi utama yang dibebankan oleh negara-negara Kristen kepada kita bukanlah

menjadikan kaum muslimin sebagai orang Kristen, karena hal itu adalah soal hidayah dan

kemuliaan. Missi utama kita ialah mengeluarkan seorang muslim dari Islam, supaya

menjadi orang yang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Allah, sehingga ia tidak

mempunyai ikatan akhlak sebagai pegangan hidup umat Islam. Dengan demikian akan

membuka pintu bagi kemenangan imperialis di kerajaan-kerajaan Islam. Tugas kalian

adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam, tetapi tidak usah

memasukkannya ke dalam Kristen. Generasi muslim yang sesuai dengan kehendak kaum

penjajah, generasi yang pemalas, dan hanya mementingkan kepuasan hawa nafsunya.

Dengan demikian missi utama kalian bisa terpenuhi dengan sebaik-baiknya,” Samuel

Zweimer, Direktur organisasi missi pada konferensi para missionaris di kota Qudus tahun

1935.

(DR. Jalal ‘Alam, 1996 : 54)

2. Pimpinan redaksi majalah Time dalam bukunya yang berjudul Safar Asia, memberikan

nasihat kepada pemerintah Amerika membangun suatu pemerintahan diktator militer di

negara-negara Islam. Tujuannya tidak lain untuk mempermainkan umat Islam sehingga

tetap dalam penjajahan barat.

(DR. Jalal ‘Alam, 1996 : 58)

162

162

Page 163: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dalam konteks Indonesia, gambaran yang tertuang dalam wahyu Illahi,

berbagai -isme, militer berseberangan dengan militansi sipil, adanya perbedaan latar

belakang bersatu, dan perbedaan tujuan masing-masing untuk bersatu serta adanya

sedikit metamorfose --pengakuan sebangsa, bangsa Indonesia--, dan adanya

kecurigaan terhadap sumber falsafah lain di luar Pancasila. Hal terakhir ini pernah

disinyalir oleh L.B Moerdani, mantan Panglima ABRI,

“ …Dari segi sumber-sumber ancaman itu sendiri, kiranya perlu secara jelas dapat diuraikan

sifat-sifat yang menunjukkan bahwa marxisme dan komunisme dan falsafah-falsafah lainnya

di luar Pancasila memang benar-benar ancaman”.

(Al Muslimun, No. 172 : 96)

Keadaan ini sungguh merupakan sebuah tantangan yang harus diselesaikan

dengan cantik. Padahal, semua perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan dari

bangunan sebuah bangsa yang majemuk, dan itu merupakan hukum alam yang tak

terpatahkan sepanjang masa, sebuah sunatullah. Sebuah bangunan yang besar tidak

hanya terdiri dari satu macam bahan, di situ ada aneka ragam unsur pendukung yang

saling menunjang dan saling melengkapi.

Oleh karena itu, saat satu “-isme” menguasai sistem birokrasi dan militer

berada dalam kendalinya, sedangkan sistem yang lain dengan –isme yang lain

menguasai luar birokrasi maka umat Islam pada posisi terjepit. Image sebagai

penebar teror pun segera menguasai jagat media informasi, opini masyarakat digiring

untuk mendiskriditkannya. Padahal, umat Islam (garis keras) hanyalah membela diri

dari kepungan musuh-musuh Islam, baik yang terang-terangan maupun yang

terselubung. Ingat, umat Islam mempunyai andil besar dalam mendirikan negara ini.

Melupakan andil mereka tak ubahnya dengan tidak tahu berterima kasih.

Namun, apa yang diperoleh? Mereka hanya disibukkan dengan ritual –baru--

dan pemenuhan hajat hidup sehingga tidak sadar bahwa mereka telah terkepung dari

segala penjuru.

163

163

Page 164: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dengan demikian, nyatalah bahwa Pasal 10 UUD 1945 tersebut akan

menggiring penguasa --siapa saja dan dari golongan mana saja-- untuk melenyapkan

saingannya atau yang dianggap sebagai pesaingnya, dengan halus maupun kasar.

Padahal, konon, negara ini berfaham demokrasi. Bukankah dalam demokrasi

seharusnya beda pendapat (baca : beda pandangan --isme) adalah sesuatu yang wajar?

Bukankah, semuanya berhak untuk hidup? Sungguh sangat beruntung, umat Islam –di

Indonesia, khususnya-- masih menggenggam erat pedoman hidupnya,

“Sesungguhnya sembahyangku, dan ibadahku, dan hidupku, dan matiku, adalah karena Allah,

Tuhan bagi sekalian makhluk”

(QS. Al An’am, 6 :162)

Jadi, sebenarnya medan perjuangan umat Islam (di Indonesia) tidaklah hanya

sebatas teritorial Indonesia ini saja. Medan perjuangan mereka seluas bumi ini.

Nasionalisme mereka melampaui luas “nasionalisme” yang lain. Sangat berbeda jauh

dengan pedoman hidup yang diajarkan oleh dunia pendidikan.

Perhatikan :Padamu negeri kami berjanji

Padamu negeri kami berbakti

Padamu negeri kami mengabdi

Bagimu negeri jiwa raga kami

(Lagu wajib, Kusbini)

Lagu tersebut merupakan sebuah ajaran yang sangat menyesatkan peserta

didik. Bagi bangsa ini, yang mayoritas Muslim, itu sebuah ajaran yang akan

menggiring mereka untuk melakukan perbuatan syirik. Jadi, sangat bertolak belakang

dengan pedoman mayoritas bangsa ini. Bayangkan, jiwa raga dipersembahkan untuk

negeri! Salah atau benar negeri harus dibela! Apakah ini tidak bertentangan dengan

ajaran sila pertama dari Pancasila? Dan, pada gilirannya nanti, sekalipun

penguasanya zalim harus dibela!

164

164

Page 165: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Apakah itu bukan merupakan sebuah bentuk pemujaan diluar ajaran Islam?

Apakah itu bukan berarti menuhankan negeri? Dengan kata lain, lagu tersebut akan

menggiring muslim di negeri ini untuk menjadi seorang musyrik dengan sangat

halus /tanpa disadari oleh Muslim itu sendiri. Sampai pada titik ini, misi Kristen di

Indonesia seperti yang diungkap oleh Samuel Zweiner tercapai dengan sangat

menggembirakan, bagi mereka, namun tentunya akan menjadi sebaliknya bagi si

muslim. Sebuah ketimpangan religi.

Negeri (baca : negara Indonesia) memang harus dicintai, dijunjung, dan

dibela sampai tetes darah terakhir. Namun, harus ada penjelasan lebih lanjut tentang

batas paling kiri dan batas paling kanan dari pembelaan tersebut. Tanpa adanya

batasan, maka tak ubahnya sebuah cinta yang membabi buta. Dan, kalaupun pada

akhirnya mati di dalam pembelaannya itu, maka matinya akan mirip dengan kematian

Sang Kumbakarno. Demi Alengka, ia korbankan jiwa raganya. Padahal, ia pun

tahu bahwa Rahwana adalah seorang yang keji. Padahal, ia pun tahu bahwa dirinya

hanya dimanfaatkan. Sebuah kematian yang sia-sia! Ia hanya mati sebagai pahlawan

untuk satu masa saja. Pada saat terjadi pergantian regim yang berkuasa, maka bisa

jadi penghormatan itu hilang dan berganti dengan kebalikannya.

Hal ini sejalan dengan penuturan Yusril Ihza Mahendra, SH yang

mengungkap pendapat Prof. Muchtar Lintang dari Universitas Kebangsaan Malaisia,“Sebenarnya Tuhan itu, hanyalah menciptakan satu bumi untuk di huni manusia, tetapi

manusia sendirilah, yang telah membagi-bagi bumi ini ke dalam wilayah-wilayah, yang

mereka katakan, sebagai milik leluhur mereka sendiri.”

(Al Muslimun, 172 : 80)

Dari situ, dapat dimengerti jika Hizbullah tampil ke permukaan, baik secara

perseorangan maupun kelompok. Mereka akan tampil dengan berbagai nama, sesuai

dengan jamannya. Mereka akan membela saudaranya sesama Muslim di dalam

negara ini khususnya dari kepungan musuh yang semakin beragam dan kian samar,

karena … bisa jadi, sebangsa.

165

165

Page 166: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Di samping itu, dapat juga dimengerti jika suatu saat Hizbullah membantu

saudaranya yang lain di luar negara ini. Bukankah dimensi perjuangan mereka

melampaui batas teritorial sebuah negara?

Mengingat pentingnya arti militer bagi negara dalam mengendalikan

pertahanan dan keamanan negara di satu sisi serta adanya kekuatan besar di luar

struktur birokrasi /negara sejak Proklamasi, 17 agustus 1945 di dalam negara ini

(baca : Tentara Tuhan /Hizbullah), maka harus ada pemilahan daerah kekuasaan

masing-masing –lihat noto bela negara. Ini harus dilakukan sebelum terjadi benturan

terbuka antara militer yang dikendarai sipil dengan Hizbullah sebagai militansi Islam.

Konflik bersenjata antara keduanya memang selalu diharapkan oleh pihak ketiga,

sebab merekalah yang akan diuntungkan.

3. 8. Noto Bela Negara (10) 124

Oleh karena itu, pada pasca transisi nanti militer harus ditarik keluar dari

payung pemerintah /payung sipil. Dengan kata lain, militer berdiri sendiri sebagai

sebuah badan, Badan Pertahanan dan Keamanan Indonesia. Itu berarti, Pasal 10 UUD

1945 harus diamandemen --urusan setuju atau menolak, itu masalah lain.. Dengan

begitu maka panglima tertinggi militer adalah seorang militer, bukankah hanya

militer yang tahu seluk beluk militer? Dari sini, kita baru bisa berharap azas netralitas

militer dapat berjalan dengan benar.

Setahu penulis, struktur organisasi militer adalah sebuah struktur yang paling

solid dibandingkan dengan struktur arganisasi yang lain. Sungguhpun demikian perlu

ada parameter tentang hubungan sipil-militer. Dalam hal ini harus jelas, siapa militer,

siapa sipil --dan siapa pula rakyat, sebab pada keduanya terdapat hak dan kewajiban

membela negara (Pasal 30 UUD 1945) yang lebih dikenal dengan pertahanan

keamanan rakyat semesta (Hankamrata).

166

166

Page 167: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Militer : tentara; anggota tentara; ketentaraan

Sipil : berkenaan dengan penduduk atau rakyat (bukan militer)

Rakyat : segenap penduduk suatu negara (sebagai imbangan pemerintah)

Dari pengertian tersebut di atas, jika ditarik mundur ke belakang saat

proklamasi maka terlihat bahwa militer terdiri dari Angkatan Darat (AD), Angkatan

Laut (AL), Angkatan Udara (AU), dan Polisi Republik Indonesia (Polri) yang

kesemuanya masuk ke dalam sistem birokrasi, sedangkan Hizbullah memposisikan

diri di luar birokrasi. Mereka yang berada di dalam sistem itulah cikal-bakal

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), merekalah gen murni pertahanan

dan keamanan (militer) negara ini.

Di situlah letak kebenaran ABRI berasal dari rakyat. Sedangkan Hizbullah

adalah gen murni pertahanan dan keamanan sipil. Dalam perjalanan berikutnya, Polri

melepaskan /dilepaskan (?) dari ABRI, dan difungsikan sebagai pertahanan negara.

Selama ini, Hizbullah sebagai Tentara Tuhan belum mendapatkan tempat

dalam struktur birokrasi /negara, namun fungsinya telah ditempati oleh institusi

lain… Memang, dalam kapasitas papan nama, Hizbullah dapat muncul dengan

berbagai nama, secara materi dapat saja berganti individu, namun pada hakekatnya

institusi mereka adalah sama.

Mereka adalah Tertara Allah, Tantara Tuhan, yang akan selalu dan selalu

hadir di setiap zaman, di seluruh penjuru bumi –bukan hanya di Indonesia. Oleh

karena itu, tidak memberi tempat kepada institusi tersebut --menurut penulis--

seperti membiarkan “gunung karang” terbang. Itu sangat berbahaya.

Oleh karena itu, berkaitan dengan adanya dua kekuatan besar, keberadaan

militer, keberadaan sipil, dan keberadaan rakyat serta jika dihubungkan dengan Noto

Adil maka pada pasca masa transisi nanti, jika, bela negara adalah satuan bela

negara yang pertama dan utama,maka satuan bela negara berikutnya adalah:

167

167

Page 168: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

No. Nomor satuan Satuan bela negara Unit kerja pembelaan

A 1 Pertahanan dan keamanan negara Aparatur Negara Militer

2 Pertahanan dan keamanan sipil Aparatur Negara Sipil

3 Petahanan dan keamanan rakyat Rakyat

B 4 Keamanan negara Pegawai Negeri Militer (TNI)

5 Keamanan sipil Tentara Tuhan

6 Keamanan rakyat Keamanan Rakyat (Kamra)

C 7 Pertahanan negara Polisi

8 Pertahanan sipil Pegawai Negeri Sipil (PNS)

9 Pertahanan rakyat Pekerja

D 10 Pertahanan dan keamanan rakyat semesta Seluruh rakyat Indonesia

Tabel 24

Dari kolom nomor pada tabel di atas dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :

A. Kelompok ini adalah pemilik lahan kehidupan, generasi pertama

negara ini.

B. Kelompok ini berisi para ksatria negara;

C. Kelompok ini terisi para profesional dan “profesional”

D. Kelompok ini terisi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecualai, baik yang

berada pada dunia militer, dunia sipil, dan rakyat murni.

A. Kelompok pemilik lahan kehidupan

Aparatur Negara Militer dan Aparatur Negara Sipil berada di dalam

struktur birokrasi dan selanjutnya berstatus sebagai Pegawai Negara. Sedangkan

rakyat berada di luar struktur birokrasi. Sebagai pemilik lahan kehidupan, padanya

melekat sederet hak-hak istimewa kepemilikan, misalnya mewariskan

(mengalihkan), menyewakan, mengontrakkan, memperjualbelikan, maupun

melepaskan kepemilikannya.

168

168

Page 169: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

1. Unit kerja pertahanan dan keamanan negara ditempati oleh Aparatur

Negara Militer. Dengan demikian, adanya tuntutan sementara pihak agar militer

pulang ke barak tidak sepenuhnya tepat. Bahwa barak adalah habitat militer itu ada

benarnya, namun harus diingat bahwa barak --dalam konteks pendidikan-- dapat

disejajarkan dengan sekolah, dalam konteks perdagangan dapat disejajarkan dengan

pasar, dalam konteks pertanian dapat disejajarkan dengan sawah. Mengingat beratnya

tugas yang diemban, yaitu menjaga eksistensi negara secara keseluruhan, maka

menggiring sepenuhnya militer pulang ke barak akan sama artinya dengan

menempatkan pagar di dalam kamar, bukan pada tempatnya.

Dengan kata lain, pola tersebut akan membelenggu militer dan muaranya, saat

pemerintah sipil “kalah” secara politis dengan pemerintah sipil negara lain, siapa

yang rugi? Oleh karena itu, harus ada penjelasan yang lebih rinci tentang militer

mana yang harus berada di dalam barak tersebut. Mengingat aparatur ini dapat berada

pada satuan organik AD, AL, dan AU. Maka, jika mereka berada pada satuan organik

itulah ada benarnya tuntutan militer pulang ke barak.

Menurut konsep bilangan, keberadaan “pemerintah militer” perlu sampai ke

tingkat kelurahan --level terendah pemerintah sipil. Jadi, seyogyanya, di bawah

Komando rayon Militer (Koramil) –yang selanjutnya bernama Komando Pertahanan

dan Keamanan Kecamatan-- masih ada dua institusi militer lagi, yaitu di tingkat desa

dan di tingkat kelurahan. Bagaimana akan mampu dengan cepat menyerap informasi

adanya infiltrasi /subversi atau anasir-anasir berbahaya jika keberadaanya masih

“agak” jauh. Ketakutan akan represifnya militer sudah saatnya ditinggalkan. Militer

sudah netral. Pada markas komando itulah tempat sebenarnya bagi aparatur tersebut.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, petinggi militer dari struktur terendah

sampai tertinggi dipilih dari militer dan oleh militer sendiri tanpa ada campur

tangan sipil. Dengan demikian, mereka --secara perseorangan /institusi-- tidak

mempunyai beban hutang budi kepada sipil yang memilih /mendukungnya.

Bagaimanapun, keinginan membayar hutang budi adalah hal yang manusiawi.

169

169

Page 170: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Oleh karena itu, dengan dihilangkannya peluang untuk itu, militer akan sulit

untuk dimanfaatkan sipil untuk mendukung kepentingan sipil sesaat, terlebih jika

kepentingan sipil tersebut sampai menjurus pada lepasnya “kedaulatan”. Jadi,

keberadaan “pemerintah militer” hendaknya tidak dipandang sebagai pemerintah

bayangan. Militer mempunyai kewajiban untuk itu, dan bahkan, dalam hal tertentu

militer berkewajiban mendampingi sipil –sebagai suport energi.

Tugas apatur ini adalah menghadapi segala macam bentuk ancaman bagi

negara yang datang baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar, baik

ancaman langsung maupun tidak langsung. Jika dipandang perlu, mereka dapat

diperbantukan ke sipil. Yang penulis diperbantukan adalah untuk menangani

masalah tertentu karena sipil tidak /belum mempunyai kemampuan untuk itu.

2. Unit kerja pertahanan dan keamanan sipil diisi oleh Aparatur Negara Sipil.

Mereka dapat saja tersebar pada berbagai institusi sipil sesuai dengan keahlian

masing-masing di dalam struktur birokrasi. Dengan demikian, fungsi unit ini akan

diisi oleh Aparatur Negara Sipil.

Pada Aparatur Negara Sipil inilah sebenarnya terdapat hak untuk memilih

dan dipilih untuk duduk dalam jabatan “pemerintahan” sipil, baik di tingkat pusat

maupun di tingkat daerah. Jadi, menurut konsep ini sebagai contoh :

Jabatan pada pemerintah dari lurah sampai dengan presiden dipilih dari dan

oleh Aparatur Negara Sipil yang ada pada bidang tersebut;

Jabatan pendidikan, dari Guru Sekolah Dasar sampai dengan Guru

Pendidikan Nasional dipilih oleh dan dari Aparatur Negara Sipil yang ada

di bidang pendidikan (baca : Guru) di daerah itu.

Dengan demikian, “sipil” memilih sendiri siapa yang tepat sebagai

pemimpinnya. Oleh karena itu, berdasarkan konsep ini, presiden bukan dipilih oleh

MPR. Presiden pun tidak boleh berasal dari militer. Presiden juga tidak boleh dari

rakyat murni.

170

170

Page 171: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dengan kata lain, pola ini akan menggiring ke situasi persaingan murni tanpa

mengabaikan senioritas. Begitu pula dengan jabatan lain dalam lingkup sipil. Jika

dipandang perlu, sipil dengan keahlian tertentu dapat diperbantukan ke militer,

misalnya untuk menangani administrasi, kebersihan, dan sebagainya. Dengan

demikian, tidak ada halangan bagi sipil untuk hidup di dunia militer, dan begitu pula

sebaliknya, semua tergantung kebutuhan.

3. Pertahanan dan keamanan rakyat diisi oleh rakyat yang menguasai unit-unit

produksi, baik unit prokduksi dalam arti sesungguhnya maupun dalam arti produksi

jasa, serta dalam arti jasa itu sendiri. Pada unit produksi, mereka dapat terlihat dalam

penguasaan lahan pertanian, perikanan, perkebunan, perindustrian, dan sebagainya.

Sedangkan pada unit produksi jasa dapat terlihat pada penguasaan sarana jasa,

misalnya alat-alat pertanian (baca : traktor, dsb.), alat transportasi (baca : taksi, bis,

sado, dsb.), alat komunikasi (baca : wartel, warnet), sarana hiburan, dan sebagainya.

Jasa itu sendiri dapat berupa jasa tenaga, jasa keahlian, dan sebagainya.

B. Kelompok ksatria negara secara keseluruhan.

Pada kelompok ini, nasionalis ilmu dan nasionalis iman bertemu dalam satu

paket dengan bidang garapan yang berbeda.

4. Keamanan Negara diisi oleh warga negara Indonesia yang

melaksanakan /terkena wajib militer. Oleh karena itu, doktrin militer (baca : Sapta

Marga) mengikat mereka. Dengan demikian, berdasarkan pola ini, mereka dapat

berasal dari gen murni militer, gen murni sipil, dan dapat pula berasal dari gen

murni rakyat. Perhatikan :

Apabila mereka berasal dari keturunan militer, maka yang

bersangkutan adalah Militer Wajib yang melaksanakan Wajib Militer.

Jika berasal dari keturunan sipil, maka yang bersangkutan adalah Sipil

Wajib yang melaksanakan Wajib Militer.

171

171

Page 172: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Sedangkan jika berasal dari rakyat, maka mereka adalah rakyat yang

melaksanakan Wajib Militer .

Butir satuan keamanan negara ini, jika ditempati oleh militer yang berasal

dari rakyat maka yang bersangkutan berstatus sebagai Pegawai Negeri Militer.

Dengan statusnya itu, hak dan kewajiban sebagai pegawai negeri melekat padanya.

Mereka berada di dalam Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan

Udara (AU).

5. Keamanan Sipil ditempati oleh militansi sipil.

Kelompok ini tidak lain adalah Tentara Tuhan di muka bumi. Maka dari itu,

modal pembelaan mereka kepada negara adalah iman. Pada posisi puncak, fungsi

ini ditempati oleh Hizbullah, sedangkan pada level yang lain akan sejalan dengan

Pemerintahan Agama yang ada. Dengan demikian, untuk daerah Bali misalnya akan

diisi oleh Pacalang, untuk Minahasa akan diisi oleh Tentara Salib, dan sebagainya.

Dari sini muncul sebuah pertanyaan, mengapa bukan keturunan F? Perlu

diingat bahwa keimanan sebagai dasar seseorang masuk ke dalam barisan itu tidaklah

dapat diwarisi, iman juga tidak dapat dibeli. Bukankah tidak menutup kemungkinan,

ada yang orang tuanya seperti Sultan Agung Hanyokrokusuma sedangkan anaknya

seperti Amangkurat? atau malah mungkin sebaliknya ….

Tugas mereka adalah menghadapi “sipil” yang mengganggu /mengancam

keamanan sipil lain. Dengan demikian, seharusnya, tempat polisi yang kita kenal

selama ini adalah tempat bagi mereka, tempat polisi bukan di sana. Mereka memiliki

kekuatan yang luar biasa, karena dilandasi oleh iman, maka keberadaan mereka harus

ditarik ke dalam struktur. Dalam dunia pewayangan, mereka adalah Gunawan

Wibisono. Mereka mencintai negaranya, namun juga berani bersikap kritis terhadap

penguasanya. Bahkan bila perlu, berseberanganpun, mereka tidaklah gentar.

Relefansi pengabdian mereka kepada negara tidaklah sebatas dunia yang fana, di situ

ada warna pengabdian kepada Yang Maha Kuasa.

172

172

Page 173: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dari sini, muncul pertanyaan, lantas di manakah posisi polisi berada? Untuk

itu, silakan lihat pada butir pertahanan negara. Sebab, menempatkan sesuatu jika

bukan pada tempatnya akan menimbulkan masalah bagi “sesuatu” itu sendiri.

6. Keamanan rakyat ini akan ditempati oleh rakyat dengan identitas tertentu.

Fungsi ini ditempati oleh Keamanan Rakyat (Kamra) yang kita kenal selama ini.

Sungguhpun demikian, perlu diingat bahwa kelahiran Kamra jauh terjadi sesudah

proklamasi kemerdekaan negeri ini. Dengan kata lain, Kamra memang anak kandung

dari gen ketiga, oleh karena itu bidang garapan dan regenerasi di antara mereka perlu

dikaji lebih lanjut oleh para pakar pertahanan dan keamanan nasional.

Saat ini, dalam konteks yang sederhana, posisi Kamra telah ditempati oleh

Satpam yang dapat dilihat kehadirannya pada tempat-tempat tertentu. Dan, dalam

konteks yang paling sederhana mereka muncul sebagai penjaga keamanan “seorang”

rakyat, dalam hal ini mereka dikenal sebagai pengawal pribadi.

Oleh karena sangat pentingnya arti Kamra bagi suatu komunitas atau bagi

orang-orang tertentu, maka ada baiknya jika keberadaannya dibina dengan lebih

intensif sehingga keberadaannya membawa rasa aman bagi yang melahirkan di satu

sisi serta tidak menimbulkan gangguan keamanan bagi “pasangan” yang melahirkan.

Sebagai contoh, pasangan pedagang adalah pembeli /pelanggan. Pasangan guru

adalah murid. Pasangan sopir /awak angkutan adalah penumpang, dan sebagainya.

Pada dasarnya, tugas mereka adalah menjaga keamanan rakyat dari gangguan

rakyat. Sebagai contoh, rakyat pedagang akan melahirkan Kamra pedagang. Dengan

demikian, di satu sisi, pada Kamra Pedaganglah tugas menghadapi preman, tukang

palak, dan sebagainya dan di sisi lain, mereka dapat menimbulkan rasa aman bagi

pembeli. Rakyat petani akan melahirkan Kamra petani. Rakyat nelayan akan

melahirkan Kamra nelayan, dan begitu seterusnya.

173

173

Page 174: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

C. Kelompok ini diisi oleh kelompok profesi /semua komponen (baca: militer,

sipil, dan rakyat) yang terkena kewajiban melakukan pertahanan

7. Pada butir pertahanan negara akan ditempati oleh militer tertentu yang

terkena kewajiban. Dengan demikian,berdasarkan konsep bilangan maka satuan ini

sebenarnya masih bernaung dibawah payung pertahanan dan keamanan negara.

Dengan demikian, posisi ini ditempati oleh Polisi Republik Indonesia (Polri). Namun

polisi yang dimaksud bukanlah polisi yang kita kenal selama ini.

Dari sini muncul pertanyaan, siapakah yang dimaksud dengan militer tertentu

itu? Pembaca yang budiman, militer yang dimaksud adalah militer yang telah

mencapai kondisi tertentu, misalnya karena faktor usia. Dengan demikian, batasan

antara seorang tamtama, bintara, atau perwira untuk dialihfungsikan haruslah jelas.

Misalnya, untuk seorang tamtama adalah 48 tahun, untuk bintara 54 tahun, dan untuk

perwira adalah 60 tahun. Dengan demikian, polisi adalah tempat pengabdian yang

terakhir bagi militer apapun statusnya kepada Pertiwi.

Tugas mereka adalah menghadapi segala macam ancaman bagi negara yang

datang dari dalam negara, baik ancaman yang datang dari sipil maupun dari rakyat.

Maka dari itu, tempat bagi mereka adalah menjaga aset negara. Aset tersebut berupa

barang tidak bergerak seperti aset perkantoran, aset budaya, pertambangan, hutan,

laut, maupun aset negara yang lain. Aset bergerak seperti kendaraan, serta aset lain

yang berupa jaminan keamanan bagi penyelenggara negara. Dalam konteks yang

paling sederhana, aktivitas mereka adalah mengawasi absensi pegawai negeri pada

sebuah institusi negara dan menjaga keamanan institusi tersebut.

Dari sini muncul pertanyaan, lantas di manakah posisi polisi yang kita kenal

selama ini? Pembaca yang budiman, tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada

polisi, tempat mereka bukan di sana. Selagi mereka masih muda dan energik, posisi

mereka adalah di dunia militer, bukan di dunia sipil. Kelak, saat usia sudah berangkat

senja maka dengan sendirinya mereka akan masuk ke dunia sipil.

174

174

Page 175: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Urusan sipil, biarlah diurus oleh sipil murni sendiri –lihat keamanan sipil di

atas. Dengan demikian, kelak, tidak ada polisi berusia muda.

8. Pertahanan sipil ditempati oleh sipil dengan identitas tertentu. Yang

penulis maksud dengan identitas tertentu bukan menyangkut suku, agama, ras, atau

golongan (SARA) melainkan identitas melekat yang berupa profesionalis

/keahlian /kecakapan yang bersangkutan. Keahlian mereka dibutuhkan oleh negara

/pemerintahan dalam rangka memberikan pelayanan kepada rakyat secara

keseluruhan.

Dengan kata lain, sipil dengan identitas tertentu tersebut dapat berasal dari

militer, dari sipil sendiri, dan dapat pula berasal dari rakyat murni.

Jika mereka berasal dari militer, maka mereka adalah Militer Wajib

yang menjalankan wajib Sipil;

Jika berasal dari sipil sendiri, maka mereka adalah Sipil Wajib yang

menjalankan Wajib Sipil;

Sedangkan jika berasal dari rakyat, maka merekalah yang selama ini

dikenal sebagai Pegawai Negeri Sipil. Jadi, pegawai negeri sipil adalah

rakyat yang melaksanakan Wajib Sipil.

9. Pertahanan rakyat. Jika ditarik mundur ke saat Proklamasi, 17 Agustus

1945, pola ini akan menggiring kita pada spesialisasi yang telah dipilih gen murni

para pendahulu negeri ini. Spesialisasi gen murni nampak pada mata pencaharian

yang berkaitan dengan keahlian mereka. Dengan demikian, pada dasarnya, pada mata

pencaharian rakyat itulah sesungguhnya fungsi rakyat dalam pertahanan rakyat.

Pertahanan rakyat dapat dilihat pada berbagai sektor kehidupan, misalnya :

buruh, tukang, sopir, artis, sekretaris, akuntan, dan sebagainya. Jadi pada dasarnya,

kelompok ini diisi oleh para pekerja dari segala strata kehidupan sosial. Pertumbuhan

kelompok ini sangat cepat, baik dilihat dari angka pencari kerja maupun dari

175

175

Page 176: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

pertumbuhan keahlian itu sendiri. Oleh karena itu, keberadaan proyek-proyek padat

karya dalam berbagai lini kehidupan sangat membantu terhindarnya ledakan

pengangguran dan berbagai masalah sosial lain yang menyertainya.

Mengingat pada fungsi pertahanan rakyat sangat mudah terjadi permutasian,

maka pembekalan kecakapan /keahlian yang diberikan oleh pendidikan hendaknya

ditingkatkan. Baik porsi, macam, maupun intensitasnya Sehingga output pendidikan

tidak sampai ketinggalan kereta “pasar tenaga kerja” yang membutuhkan. Bahkan,

bila dipandang perlu Balai Latihan Kerja (BLK), kursus-kursus, dan yang sejenis

dengan itu diperbanyak.

D. Pertahanan dan keamanan rakyat semesta

10. Unit kerja pertahanan dan keamanan rakyat semesta. Dalam hal ini ada

dua pengertian yang perlu diperhatikan. Pengertian pertama, pertahanan dan

keamanan dalam arti sempit. Dengan kacamata mikro, maka yang dimaksud oleh

dunia militer akan berbeda dengan yang dimaksud oleh dunia sipil, begitu pula

dengan dunia rakyat. Masing-masing mempunyai pandangan sendiri-sendiri, sebagai

gambaran sederhana :

Militer akan menjaga “pertahanan dan keamanan” dunia militer dari

ganguan dunia sipil maupun dari dunia rakyat;

Sipil akan menjaga “pertahanan dan keamanan” dunia sipil dari

intervensi dunia militer, dunia sipil lain, maupun dari dunia rakyat;

Pendidik akan menjaga “pertahanan dan keamanan” dunia pendidikan

dari pengaruh negatif yang datang dari dunia lain agar peserta didik

dapat menjadi pribadi yang utuh;

Rakyat akan menjaga “pertahanan dan keamanan” rakyat dari serbuan

dunia sipil, dunia militer, atau dunia rakyat lain.

Gangguan tidak selalu harus diartikan dalam bentuk gangguan keamanan atau

fisik belaka, sebab dalam keseharian bentuk gangguan dapat saja berupa kebijakan

176

176

Page 177: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

yang tidak populer karena merugian rakyat banyak atau merugikan sebagian rakyat,

sementara ada “rakyat lain” diuntungkan. Dalam hal ini, sangat banyak sekali contoh

yang dapat dilihat dan dirasakan.

Dengan demikian, pada dasarnya masing-masing “kehidupan” mempunyai

naluri untuk mempertahankan diri dari gangguan keamanan yang datang dari

“kehidupan” lain. Padahal, pada Noto Kehidupan kepemilikan lahan kehidupan telah

terbagi sejak pasca Proklamasi, 17 Agustus 1945 yang lalu. Dari sini, dapat

dimengerti bahwa secara mikro penanggung jawab pertahanan dan keamanan rakyat

semesta menjadi tanggung jawab mereka sendiri, sesuai dengan tempat mereka

berada.

Mereka yang berada di dalam srtuktur menjaga pertahanan dan keamanan

dari dalam struktur, sementara mereka yang berada di luar struktur menjaga

pertahanan dan keamanan dari luar struktur birokrasi. Dengan kata lain, mereka yang

berada di dalam struktur birokrasi melaksanakan hak dan kewajibannya dalam bela

negara lewat jalur birokrasi (baik sipil maupun militer). Adapun, mereka yang berada

di luar struktur birokrasi melaksanakan hak dan kewajibannya lewat jalur parlemen.

Baik jalur birokrasi maupun jalur parlemen akhirnya akan bermuara pada satu titik

yang sama, yaitu majelis tertinggi11.

Masalahnya, tempat yang telah tertata pada generasi pertama menjadi kacau.

Mereka yang seharusnya berada di lahan satu tempat tergeser oleh kekuatan lain

tanpa ada yang meluruskan. Bahwa A tidak mungkin digantikan oleh B, begitu pula

sebaliknya. Memang, dalam kondisi tertentu substitusi dapat dilakukan, namun

memposisikan A = B jelas sangat tidak adil. Bukankah seharusnya, siapa yang datang

lebih dahulu akan menempati barisan di depan? Pola tersebut di atas akan

menggiring masuknya rakyat pada lembaga perwakilan rakyat di dalam struktur

negara yang selanjutnya disebut lembaga perwakilan rakyat (parlemen).11 lihat Noto Penguasa

Untuk selanjutnya lembaga perwakilan tersebut (DPR) akan melakukan fungsi

legislatif. Oleh karena itu, di dalam DPR --atau turunannya, wakil rakyat harus jelas

177

177

Page 178: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

basisnya sehingga saat menyuarakan aspirasi rakyat menjadi jelas rakyat mana yang

diwakilinya. Begitu pula saat rakyat mengadukan nasibnya, akan jelas pula, kepada

siapa mereka akan mengadu.

Dari sini muncul pertanyaan, bukankah di DPR sudah terdapat komisi-komisi

dengan bidang garapan yang berlainan? Bukankah seharusnya kepada mereka rakyat

mengadu? Memang, komisi telah ada dan akan secepatnya (?) merespon aspirasi

rakyat. Namun perlu diingat bahwa pada komisi-komisi tersebut para wakil rakyat

masih akan membawa pandangan fraksi /partainya atau dengan kata lain masih

mambawa kepentingan sempit. Adanya perbedaan cara pandang setiap partai itulah

yang membuat sebuah masalah menjadi tidak cepat selesai, terkatung-katung, dan

akhirnya terabaikan karena rumitnya memadukan perbedaan cara pandang.

Pada akhirnya, rakyat sendirilah yang rugi. Muaranya adalah

ketidakpercayaan rakyat terhadap para wakil mereka yang telah mereka antarkan

sampai ke kursi parlemen. Ketidakpercayaan akan membuahkan kekecewaan. Pada

saat rasa kecewa mencapai puncaknya, bisa saja mereka lupa pada rambu-rambu

kehidupan yang dijunjungnya.

Berdasarkan konsep bilangan, akhirnya dapat ditelusuri bahwa lembaga

perwakilan rakyat haruslah ada sejak dari tataran terendah pemerintah sampai tingkat

nasional, dan itu berarti harus ada sebelas macam satuan lembaga legislasi. Oleh

karena itu, jika lembaga legislatif tingkat pusat (baca : DPR RI) adalah satuan

perwakilan rakyat yang pertama dan utama, maka akan ada sepuluh macam satuan

legislatif yang ada dibawahnya, yaitu :

l. Bagian : DPR Bagian

2. Wilayah : DPR Wilayah

3. Provinsi : DPR Provinsi

4. Karesidenan : DPR Karesidenan

5. Kabupaten : DPR Kabupaten

6. Kota : Perwakilan Rakyat Kota

178

178

Page 179: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

7. Kawedanan : Perwakilan Rakyat Kawedanan

8. Kecamatan : Perwakilan Rakyat Kecamatan

9. Desa : Perwakilan Rakyat Desa

10. Kelurahan : Perwakilan Rakyat Kelurahan

Mengingat yang dimaksud rakyat adalah mereka yang berada di luar struktur

birokrasi yang di dalam hak dan kewajiban pembelaan negara serta pemenuhan hajat

hidup tidak lagi memandang –isme maka dari itu keberadaan partai politik

“praktis” menjadi tidak perlu. Negara ini sudah merdeka. Jadi, apa untungnya

membentur-benturkan rakyat di dalam pemilihan umum. Apalagi dengan dana yang

bukan main besarnya. Dengan demikian, yang diperlukan adalah partai politik yang

sesuai dengan kondisi riil mereka. Sebuah partai yang benar-benar sesuai dengan

kebutuhan mendasar mereka, sebuah partai politik praktis.

Dengan kata lain, partai yang diperlukan adalah partai yang sesuai dengan

warna dasar mereka di luar yang berbau suku, agama, ras, maupun antar golongan /-

isme (SARA). Bahwa posisi suku sudah mendapatkan tempat pada bangsa, posisi

agama sudah mendapatkan tempat terhormat dalam struktur negara, ras sudah luruh

dalam pengertian manusia Indonesia, dan masa bakti -isme sudah berlalu dengan

merdekanya bangsa.. Maka dari itu, akhirnya dapat diketahui bahwa warna dasar

selain yang berbau SARA adalah pekerjaan. Sebagai contoh “partai politik” petani,

“partai politik” pedagang, “partai politik” nelayan, “partai politik” pengusaha,

“partai politik” pekerja pabrik, “partai politik” seniman, dan sebagainya itulah yang

mereka perlukan.

Dengan demikian, tingkat keprofesionalan, basis, dan keterkaitan batin antara

pemilih dan yang dipilih dapat dipertanggungjawabkan. Kondisi seperti ini jelas

tidak seperti pola menjual kucing dalam karung, yang pada akhirnya mengecewakan

para pemilih. Dan, lagi-lagi yang menjadi korban adalah rakyat.

Dasar perjuangan partai mereka sama, yaitu Pancasila --yang telah

mempunyai nurani karena Piagam Jakarta telah mengisi kekosongan jiwanya. Dengan

179

179

Page 180: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

demikian, tidak pada tempatnya menaruh kecurigaan akan tumbuh suburnya sebuah –

isme di dalam partai. Ingat, agama sudah mempunyai posisi kontrol yang kuat dari

lembaga tertinggi negara sampai lembaga terendah negara sehingga tipis

kemungkinan bagi sebuah “partai” untuk keluar dari rel yang telah ditentukan.

Pola ini akan menggiring ke arah terciptanya sebuah lahan kehidupan yang

adil bagi seluruh rakyat. Pola ini pun akan menggiring rakyat untuk menjadi pemilik

lahan kehidupan tertentu. Jika petani, di mana sawahnya. Jika pedagaang, di mana

tempat berdagangnya. Jika penjahit, di mana tempat usahanya. Jika sopir pada

perusahaan apa, trayeknya mana. Jika tukang, tukang apa, dan sebagainya. Semuanya

dapat dilacak dan akan tertata. Sebab, di situlah sumber pendapatan mereka. Mereka

yang memilih sendiri dan peran mereka dalam pembangunan benar-benar

dipertaruhkan.

Oleh karena itu, dengan numerisasi penduduk berdasarkan matapencaharian

secara tepat dan akurat akan dapat memproyeksikan penataan sesuai keahlian dan

/jumlah kebutuhan tempat usaha mereka. Dengan demikian, semua akan tertata, tidak

kacau-balau. Mereka yang ahli hukum akan bergerak di bidang hukum, misalnya.

Oleh karena spesialisasi mereka yang majemuk, maka berdasarkan konsep

bilangan dapatlah dilacak berapa orang jumlah ideal anggota lembaga legislatif dari

level terendah sampai level tertinggi. Jika “bilangan desimal basis sepuluh (10)”

diganti dengan “basis kehidupan” yang berarti pekerjaan, maka pada langit bawah

parlemen akan terisi oleh 10 unsur basis kehidupan di daerah itu.

Dengan kata lain, pada Perwakilan Rakyat Kelurahan sampai dengan

Perwakilan Rakyat Kota adalah 10 orang. Sedangkan pada langit atas parlemen,

penggunaan hitungan dengan menggunakan bilangan desimal basis sepuluh (10)

sudah ditinggalkan karena pada tataran tersebut dimensi kehidupan makin bervariasi

sehingga dipergunakan basis seratus (102), oleh karena itu pada DPR kabupaten

sampai dengan DPR Bagian beranggotakan 100 orang.

Dari sini muncul pertanyaan, berapa orang anggota DPR RI? Perlu diingat

bahwa seratus tidak hanya berasal dari sepuluh puluhan, namun juga berasal dari

180

180

Page 181: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

sepuluh puluh. Dengan demikian, jika pengertian pertama telah dipergunakan pada

parlemen tingkat daerah (baca : DPR Kabupaten sampai dengan DPR Bagian), maka

pengertian kedua akan digunakan pada parlemen tingkat pusat. Oleh karena itu, DPR

RI pun beranggotakan 100 orang dan sudah barang tentu dengan prosentase yang

seimbang antar basic kehidupan rakyat.

Berdasarkan konsep tersebut, dengan sendirinya, dengan kepala tegak,

militer akan keluar dari parlemen, dan … begitu pula dengan keberadaan dan

partai-partai politik! Itulah saatnya bagi partai politik yang selama ini mengaku

berisi kaum profesional membuktikan kebolehannya.

Sejalan dengan hal itu, maka kementerian (istilah pengganti departemen) akan

menyesuaikan keberadaannya sehingga DPR dapat melakukan fungsinya dengan

tepat, dan nyambung …. Sehingga misalnya, Kementerian Pertanian akan diawasi

oleh Partai politik Petani. Kementerian Perindustrian akan diawasi oleh Partai politik

Kerajinan /Industri, dan sebagainya. Begitu pula halnya dengan dinas-dinas yang ada

pada tataran daerah.

Pengertian kedua, pertahanan dan keamanan rakyat semesta dapat diartikan

sebagai upaya bertahan dari gangguan keamanan secara bersama-sama. Mengingat

asal-usul gangguan tidak hanya berasal dari dalam negara namun juga dapat berasal

dari luar negara, maka sepanjang gangguan yang datang dari dalam tersebut tidak

ada niatan untuk melepaskan diri dari pelukan Pertiwi seyogyanya dihadapi dengan

lembut dan persuasif. --Bukankah, saat seorang anak menolak untuk makan belum

tentu makanannya tidak enak? Bisa jadi, ia sedang sakit, kecewa, atau mungkin sebab

lain yang tidak dapat diungkapkan secara terbuka. Bukannya langsung dihajar!

Disitulah perlunya dialog, baik lintas agama, lintas sektor, lintas generasi,

maupun lintas-lintas yang lain. Dengan demikian, setiap permasalahan akan menjadi

jelas duduk persoalannya. Sebaliknya, apapun bentuknya, semua gangguan yang

datang dari luar harus dihadapi bersama.

3.9 Noto Bilangan (10)84

181

181

Page 182: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Masalah ini selengkapnya dapat dilihat kembali pada Bab II. Namun di sini,

ada sedikit hal yang perlu penulis tambahkan.

Pertama, bahwa karena sistem bilangan Hindu Arab yang dipakai di

Indonesia --andaikan pohon-- tidak berakar di Indonesia maka menurut penulis

sampai kapanpun hutang Indonesia sulit untuk lunas, malah makin membengkak.

Keuntungan akan tetap lari ke sana, pemodal. Sebab, bagaimanapun, di dalam

menghitung uang digunakan bilangan. Jadi, saat bilangan yang dipelajari ternyata

salah karena adanya kecurangan, maka …. Lantas, apa yang masih tersisa ?

Kedua, keberadaan sistem bilangan Indonesia akan mempengaruhi sistem lain

dan itu adalah hal yang wajar. Menurut penulis, dengan segala keterbatasan ilmu

yang penulis miliki, sistem bilangan Indonesia akan menuntun ke arah keadilan yang

hakiki. Dengan bilangan, semua materi --yang layak dihitung-- dapat dihitung.

Ketiga, kelak, pada saat ada sepuluh negara tetangga /lain yang dengan “suka

rela” mau tunduk dan bernaung di bawah kibaran Merah Putih akan muncul satuan

puncak bilangan Indonesia, 1 Indonesia Raya (10)256.

Keempat, bilangan dengan sistem bilangan Indonesia mempunyai batas. Ini

menandakan adanya keterbatasan kemampuan manusia. Bilangan di atas (10)256 sudah

bukan daerah kekuasaan manusia, sudah merupakan daerah kekuasan-Nya.

Pola bilangan menggiring manusia Indonesia untuk tahu batas, sehingga

tidak menjadi manusia yang melampaui batas /tidak tahu batas.

3.10 Noto Bahasa (10)80

Sebagai satu di antara unsur budaya, bahasa mempunyai dua buah unsur

pendukung yaitu, bahasa itu sendiri (linguistik) dan aksara. Yang, antara keduanya

dapat diibaratkan sebagai suami istri. Dalam tulisan ini, pokok permasalahan lebih

dititik beratkan pada aksara Indonesia sebagai pasangan bahasa Indonesia.

Perlu diingat bahwa sebelum 1901 bahasa Melayu ditulis dengan meng-

gunakan huruf Arab-Melayu dan dibeberapa tempat ditulis dengan menggunakan

182

182

Page 183: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

huruf latin. Karena adanya ketidak-seragaman tersebut, atas perintah dari Peme-

rintah Hindia Belanda maka sejak 1896 Charles Adrian Van Ophuysen memulai

usahan penciptaan ejaan untuk menuliskan bahasa Melayu. Usaha tersebut dapat

diselesaikan pada 1901 serta dibukukan dalam “Kitab Logat Melajoe”. Untuk

selanjutnya, agar tidak terjadi kerancuan dalam pengertian, penulis manggunakan

kata aksara sebagai pengganti kata ejaan.

Dalam perjalanannya, aksara ciptaan Van Ophuysen itu dimodifikasi beberapa

kali dengan maksud agar lebih praktis tentunya. Modifikasi terakhir adalah dengan

ditetapkannya Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) oleh mantan Presiden Soeharto

pada 17 Agustus 1971. Jadi, pada dasarnya EYD adalah meta- morfose terakhir dari

ejaan Van Ophuysen.

Sebagai seorang ahli bahasa, Van Ophuysen dapat membaca ke arah mana

sebenarnya arah dari perintah yang diterimanya. Membangun sebuah pintu “masuk”

bagi sebuah budaya baru. Sejak itu, perang budaya baru dimulai. Daerah jajahan

tidak lagi sekedar sebagai “sapi perah” namun juga menjelma sebagai “satelit”

budaya mereka. Dengan kata lain, mereka mulai melakukan penaklukan budaya

dengan melalui “pintu aksara”. Bukankah, bahasa adalah bangsa? Bukankah bahasa

baru lengkap setelah disandingkan dengan aksara? Jadi, sekalipun bahasa Indonesia

telah merdeka, maka kemerdekaannya menjadi kurang mampu bersaing karena belum

lahir aksara Indonesia. Dengan demikian, pada dasarnya bangsa ini baru sebatas bisa

bicara ….

Apakah arti semua itu? Pembaca yang budiman, sebagai bangsa yang telah

berbudaya sejak Kedatuan Kutai hingga Kesultanan Yogyakarta bangsa ini telah

mengenal aksara, dari huruf Palawa, pra nagari, Jawa, Batak, Bugis, Arab, dan

sebagainya, yang hingga saat ini ada di antara aksara tersebut masih bertahan dan jika

aksara tersebut milik etnik (baca : suku bangsa) tertentu untuk selanjutnya disebut

sebagai aksara daerah.

Gencarnya pembelajaran bahasa Indonesia mempercepat terpinggirkannya

aksara daerah. Ini berarti aksara daerah telah berada dalam stadium koma, di ambang

183

183

Page 184: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

kematian. Bisa jadi, hal itu dikarenakan adanya anggapan bahwa aksara daerah

kurang praktis. Namun, anggapan tersebut juga lemah, sebab pada EYD pun terdapat

sederet kelemahan. Pertama, pada EYD terdapat konsonan rangkap seperti sy, ny, ng,

dan sebagainya. Kedua, pada EYD terdapat vokal rangkap seperti ai, au, dan oi.

Ketiga, EYD tidak dapat membedakan aksara untuk vokal /e/ pepet , vokal /e/ taling,

dan vokal /e/. Juga tidak dapat membedakan aksara konsonan d pada /dupa/ dan d

pada /dada/, dan sebagainya. Jadi, anggapan kurang praktisnya aksara daerah pun

sebenarnya lemah.

Begitu pula dengan anggapan Van Opusyen tentang tidak praktisnya aksara

Arab, bukankah aksara Arab lebih banyak “macamnya” ? dari situ dapatlah

dimengerti bahwa penggunaan aksara dengan EYD tentulah didorong oleh faktor lain,

ini berarti ada tangan kuat di balik itu.

Pertanyaannya adalah siapa tangan kuat yang dimaksud ? Dengan

digunakannya aksara produk mereka di negeri ini, maka teknologi mereka yang

berbasis aksara akan laku di sini. Lihat saja mulai dari mesin ketik sampai dengan

komputer adalah produk mereka, dan ini dipermulus dengan bahasa mereka yang

gencar juga dimasyarakatkan --dengan adanya jam muatan lokal Bahasa Inggris

sejak Sekolah Dasar pada sekolah-sekolah tertentu.

Memang, pada zaman kolonial Belanda, mereka yang mampu berbahasa

Belanda dengan aktif akan memudahkan yang bersangkutan untuk mendapatkan

posisi /tempat dalam pemerintahan kolonial. Dan, sekarang, mereka yang mampu

berbahasa Inggris makin berpeluang untuk tampil sebagai pemenang dalam kompetisi

“karir”. Pertanyaannya, apakah sekarang bangsa ini telah jatuh ke dalam kolonialis

baru, imperialis Inggris, atau lebih tepatnya penjajahan linguistik Inggris? Atau malah

ke penjajah linguistik yang lain? Kalau tidak, untuk apa membebani semua peserta

didik –di SLTP /SLTA-- mempelajari “bahasa” mereka? Berapa persen dari mereka

yang pada akhirnya menggantungkan hidup pada bahasa tersebut?

Berapa persen yang tidak? Jadi, dengan kata lain, demi satu dua butir telur

dunia pendidikan mengorbankan yang sekeranjang ….

184

184

Page 185: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Menurut penulis, tidak ada jeleknya mempelajari bahasa asing asal ada

manfaat bagi yang mempelajarinya, sehingga “masa” yang dipergunakan untuk

belajar tidak terbuang sia-sia. Mereka hidup di Indonesia, temannya orang Indonesia,

tetangganya orang Indonesia,di pasar orang Indonesia, di atas kendaraan umum orang

Indonesia, dalam kehidupan sehari-hari berhubungan dengan orang Indonesia. Lantas

untuk apa susah-susah belajar bahasa asing kalau pada akhirnya hanya berhubungan

dengan mereka yang sebangsa dan sebahasa pula?

Oleh karena itu, menurut penulis, seyogyanya pembelajaran bahasa asing

tidak memanfaatkan jam efektif namun dimasukkan pada kegiatan ekstra kurikuler,

sehingga, hanya mereka yang berkeinginan saja yang perlu mempelajari sedangkan

yang tidak berkepentingan tidak terbebani. Bukakah di negara yang berbahasa

Inggris, bahasa Indonesia juga tidak diajarkan di tingkat dasar? Jadi, untuk apa

bangsa ini terlalu mengalah?

Memang ada pepatah Cina mengatakan jika ingin mengalahkan lawan maka

harus tahu isi perut lawan. Masalahnya, untuk mengetahui isi perut lawan tidak

mungkin dapat ramai-ramai, cukup beberapa orang saja. Jadi, hanya mereka yang

benar-benar tertarik dan ada kemampuan untuk itu saja yang dibimbing dengan

intensif. Sedangkan peserta didik yang lain biarlah mempelajari ilmu yang lain.

Dengan demikian, mereka semua dapat belajar sesuai dengan yang mereka butuhkan.

Perlu diingat bahwa bahasa Inggris tidak hanya digunakan di negeri asalnya,

namun juga di Amerika Serikat, Kanada, dan Australia --Mereka adalah negara-

negara yang madaninya maju. Itu berarti produk teknologi mereka yang berbasis

aksara menguasai negara ini, jadi bukan hanya sekedar laku. Bahkan, dalam

perkembangan selanjutnya penguasaan bahasa Mandarin, Jepang, Korea pun ikut-

ikutan menentukan mendapatkan posisi (lahan kehidupan). Itu menunjukkan, makin

banyak tangan asing berkuasa di bumi Pertiwi. Jadi, mereka adalah kaum kapitalis,

baik pemain lama –negara barat-- maupun pemain baru –negara Asia, yang

menjadikan Indonesia di satu sisi hanya sebagai sapi perah bahan mentah serta

penyedia tenaga kerja yang murah dan di sisi lain sebagai pasar produk mereka.

185

185

Page 186: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Lantas untuk apa?

Dengan digunakannya aksara yang sama seperti aksara yang mereka gunakan

akan memudahkan mereka untuk mengadakan kontrol terhadap kemajuan yang telah

dicapai bangsa ini. Mereka tidak perlu belajar lagi, rahasia kita telah berada di tangan

mereka. Sebaliknya, siswa-siswa kita harus membagi waktu, mempelajari aksara

sendiri (aksara daerah) agar tidak punah dan mempelajari aksara mereka agar dapat

dikategorikan bangsa “maju”, bahkan bila memungkinkan untuk mendapatkan

predikat “daerah bebas buta aksara” untuk daerahnya, atau “negara bebas buta

aksara” untuk negaranya.

Ini berarti, siswa-siswa kita belajar dua, sedangkan siswa mereka belajar satu.

Waktu yang dipergunakan siswa kita lebih banyak, dengan kata lain … jalan di

tempat. Semakin pandai output pendidikan –dalam ilmu aksara mereka, maka

semakin memperkokoh posisi mereka sebagai kapitalis! Itulah tujuan mereka,

membuat kita jalan di tempat setelah berhasil menghalau mereka dari bumi Nusantara

sebagai bangsa imperalis sekian puluh tahun silam. Atau, paling tinggi berputar-putar

pada tiang tambatan yang mereka buat.

Memang, saat penghuni negara ini menjadi melek huruf “aksara mereka” ada

pihak yang diuntungkan, yaitu media massa. Namun, sadarkah kita bahwa dengan

begitu akan semakin mematikan aksara kita sendiri? Dari kenyataan tersebut muncul

pertanyaan, bagaimana cara melepaskan diri dari “sihir” mereka yang semakin

bervariasi dan semakin canggih? Jawabannya tegas, tinggalkan produk mereka!

Meninggalkan “produk” mereka bukan menyelesaikan masalah selama aksara mareka

tetap kita pakai di sini.

Oleh karena itu, sastrawan, pujangga, ahli bahasa daerah, dan ahli bahasa

Indonesia duduk semeja untuk menciptakan aksara baru. Mereka yang berkompeten

tersebut mempunyai tugas membangun peradaban aksara Indonesia sebagai penopang

bahasa Indonesia yang sudah terlebih dahulu merdeka. Dengan kata lain, aksara

Indonesia harus mengejar ketertinggalannya. Dalam hal ini tentulah sangat berat dan

sulit, terlebih jika tidak ada akar budaya yang kuat di masyarakat. Ini berarti, aksara

186

186

Page 187: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

baru nanti harus berupa huruf daerah yang sudah baku sebagai cikal bakal sedangkan

huruf daerah yang lain melengkapi aksara yang belum ada.

Menurut penulis, dinamakan aksara daerah untuk aksara-aksara milik daerah

itupun belumlah benar. Sebab, pertama, belum pernah ada semacam Sumpah Pemuda

yang mencanangkan “Menjunjung aksara persatuan, aksara Indonesia” atau mengakui

aksara “anu” sebagai aksara Indonesia. Kedua, pada galibnya, aksara daerah tersebut

adalah aksara sebuah bangsa pra Sumpah Pemuda. Bukankah sebelum Sumpah

Pemuda, 28 Oktober 1928, mereka belum mengaku sebagai bangsa Indonesia?

Dengan demikian, sebagai contoh, Yong Celebes marupakan organisasi pemuda --

bangsa-- Celebes.

Hanya saja, saat posisi sebagai bangsa diturunkan sebagai suku bangsa, posisi

aksara milik mereka tidak serta-merta mengikutinya. Aksara tersebut masih bertahan

di tempatnya. “Ia” masih berdaulat penuh, hanya sebutannya saja diubah menjadi

aksara daerah oleh dunia Bahasa Indonesia, dari aksara sebuah negara menjadi aksara

sebuah negeri. Dalam konteks yang berbeda, dalam cerita pewayangan, nasib aksara

daerah ini mirip dengan nasib Dewi Drupadi kala dijadikan taruhan oleh suaminya

yang kalah dalam permainan dadu!

Pembaca yang budiman, sampai saat ini masih ada sembilan buah aksara

daerah yang mampu bertahan hidup, yaitu : aksara Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Karo,

Mandailing, Lampung, Rejang, dan Toba Jika kita perhatikan dengan seksama maka

akan terlihat bahwa antara aksara Sunda, Jawa, dan Bali ada kesamaan. Demikian

juga antara aksara yang ada di pulau Sumatera dengan aksara yang ada di Sulawesi.

Jadi, kalau ditarik garis tegas, hanya ada dua model aksara, yaitu model sujali

(Sunda /Jawa /Bali) dan model sutera susi (Sumatera /Sulawesi) dengan kelebihan

/kekurangan masing-masing. Di samping itu, keberadaan aksara Arab yang tetap

dipelajari oleh umat Islam pun tidak boleh diabaikan.

Jadi, sebenarnya sampai saat ini ada sebelas aksara “bangsa” yang hidup di

bumi Indonesia dengan komposisi aksara sebagai berikut :

187

187

Page 188: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

a. Aksara Bali = 21 buah

b. Aksara Jawa = 22 buah

c. Aksara Sunda = 21 buah

d. Aksara Bugis = 23 buah

e. aksara Karo = 21 buah

f. Aksara Mandailing = 19 buah

g. aksara Lampung = 21 buah

h. Aksara Rejang = 22 buah

i. Aksara Toba = 19 buah

j. Aksara Arab = 29 buah

k. Aksara Van Opusyen dengan EYD-nya = 26 buah

(Kamus Besar bahasa Indonesia, 1990 : 1056/1057)

Adanya keseimbangan dalam jumlah aksara di atas, bukanlah berarti adanya

kemutlakan kesamaan fonem aksara tersebut. Sebagai contoh, pada aksara Jawa

fonem /dh/, /ny/, /th/,/ng/, /re/, /le/ dan hanya terdiri dari satu aksara. Pada aksara

Bugis, fonem /mp/, /ng/, ngk/, /nr/, /ny/, /nyc/ pun hanya terdiri dari satu aksara.

Pada aksara Arab, /dl/, /gh/, /ts/, dan sebagainya juga hanya satu akara. Dan, begitu

pula dengan aksara-aksara yang lain, ada yang berfonem sama --tentu saja dengan

aksara berbeda.

Dalam hal ini, kita hendaknya ingat bahwa dalam Indonesia baru pasca

transisi nanti, semua daerah diberi kesempatan untuk menjadi sentral, dalam arti

sebuah sentral budaya bangsa. Oleh karena itu, jika bahasa Indonesia berakar dari

ranah Sumatera, bilangan berakar di Jawa, maka untuk aksara --menurut penulis--

lebih tepat jika diakarkan di daerah yang belum menjadi sentral. Bukan maksud

penulis menggiring opini Pembaca budiman agar menunjuk ranah Sulawesi, namun

jika memungkinkan mengapa tidak. Dan, jika ada kekurangan-lengkapan, maka saat

itulah ditarik “sumbangan” aksara dari daerah lain. Kelak, satu fonem, satu aksara.

Dengan demikian, jumlah aksara Indonesia akan semakin banyak dan lengkap.

Pertanyaannya, dengan lahirnya aksara Indonesia, apakah masih diperlukan

keberadaan aksara daerah? Pertanyaan ini memang agak sulit untuk menjawabnya.

188

188

Page 189: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Hal ini dikarenakan, pada saat Indonesia benar-benar menjadi satu, maka identitas

lokal (baca : aksara daerah) pun melebur menjadi satu. Nah, kondisi seperti ini tidak

muungkin tercipta dalam sepuluh atau dua puluh tahun ke depan. Oleh karena itu,

untuk menjadi lebur dan menjadi satu tersebut sangat diperlukan sebuah

pengorbanan. Dengan demikian, semua unsur aksara --daerah-- sebagai disebut di

atas harus melepaskan konsesi, melepaskan kedaulatannya. Dan, ini tidak dapat

dilakukan oleh ahli bahasa Indonesia, melainkan oleh para budayawan etnik.

Ketidak relaan melepaskan konsesi dengan dalih melenyapkan satu unsur

budaya daerah pun, menurut penulis, kurang tepat. Sebab dengan mempertahankan

keberadaan satu aksara lain sebagai tandingan satu aksara Indonesia akan

memperlemah kedua-duanya. Keadaan ini tentu sangat tidak menguntungkan konsep

Indonesia yang satu.

Agar tidak hilang begitu saja, maka pembelajaran bahasa daerah / aksara

daerah dimunculkan pada kegiatan ekstra kurikuler sehingga keberadaannya akan

menopang budaya daerah. Dengan demikian, secara formal, pada tataran pendidikan

dasar, pembelajaran aksara daerah maupun bahasa daerah harus ditinggalkan.

Kelak, pada jenjang pendidikan menengah, aksara daerah dan bahasa daerah barulah

dimunculkan sebagai mata pelajaran wajib.

Sedangkan mata pelajaran bahasa asing, pada pendidikan dasar --dalam

kondisi normal-- tidak diajarkan. Mata pelajaran ini, pada pendidikan menengah

dasar (baca : SLTA) baru muncul sebagai muatan lokal, dan baru pada pendidikan

menengah atas (baca : diploma) menjadi mata ajaran wajib. Oleh karena itu, aksara

latin dengan EYD-nya barulah dipelajari siswa pada tingkat /jenjang ini.

Pola di atas akan menggiring peserta didik untuk memperkuat

nasionalismenya sehingga bahasa Indonesia dapat berjalan seiring dengan aksara

Indonesia. Dengan demikian, genderang perang budaya yang dicanangkan oleh Van

Ophuysen sejak 1911 telah terjawab! Lihatlah, penjajahan linguistik sudah menguasai

dunia pendidikan, sampai-sampai pada SLTP dan SMU -pun bahasa Inggris

189

189

Page 190: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

diebtanaskan. Kedudukannya disejarkan dengan bahasa Indonesia, tentu saja dengan

dalih … bahasa Inggris adalah bahasa dunia.

Pertanyaannya, dunia yang mana? Apa relevansi bahasa Inggris dengan

kehidupan riil peserta didik? Sekali lagi, jangan karena sebutir telur sampai harus

mengorbankan yang sekeranjang! Oleh karena itu, pada gilirannya nanti, Lembaga

Bimbingan Belajar hanya akan memfokuskan materi pembelajarannya pada bahasa

/aksara asing, sedangkan materi yang lain cukuplah diterima siswa di sekolah.

Dengan demikian tidak terjadi pengulangan meteri, tidak terjadi sekolah-sekolah

bayangan sebagai tandingan sekolah-sekolah formal, dan memberi kesempatan

kepada LBB untuk membuka lahan kehidupan yang baru.

Dari sini muncul pertanyaan, apakah itu bukan suatu kemunduran?

Sesungguhnya, apalah artinya mundur sembilan tahun jika sesudah itu mampu

melepaskan diri dari jeratan mereka? Bukankah, deretan panjang para pahlawan telah

memberi contoh dengan merelakan dirinya berjuang “ratusan tahun” tanpa mengenal

kata menyerah sampai tetes darah yang terakhir? Jika pendahulu saja bisa, mengapa

kita tidak? Memang, pada akhirnya, kita semua harus belajar lagi sebab ternyata kita

masih buta huruf!

Sangkaan, bahwa mayoritas (?) bangsa ini sudah melek huruf ternyata keliru.

Karena ternyata, hurufnya sendiri belum ada, belum pernah tercipta. Disitulah letak

perlunya masa transisi sembilan tahun! Guru, murid, dan semua isi penghuni negara

ini harus kembali belajar. Pada tahun pertama pasca transisi, murid Kelas I Sekolah

Dasar akan memulai babak baru. Merekalah generasi yang benar-benar merdeka.

Dengan adanya satu aksara Indonesia yang stiril dari pengaruh imperialis,

barulah kita dapat berharap tumbuhnya industri yang berbasis aksara di negeri ini.

Dengan demikian, tenaga terdidik untuk bidang itu tidak lari ke luar negeri. Di sini

lapangan kerja luas tersedia, dan itu berarti pengurangan pengangguran dan hemat

devisa, pasar dalam negara berada dalam genggaman sendiri.

3.11 Noto Nusa (10)72

190

190

Page 191: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Nusa di sini bararti wilayah teritorial. Satuan teritorial pertama dan utama

yaitu Indonesia. Oleh karena itu, satuan teritorial berikutnya adalah :

1. Bagian

2. Wilayah

3. Provinsi

4. Karesidenan

5. Kabupaten

6. Kota

7. Kawedanan

8. Kecamatan

9. Desa

10. Kelurahan

Dengan pola seperti itu, terlihatlah bahwa ternyata tidak ada satupun wilayah

teritorial di negara Indonesia ini yang bernama Indonesia. Jadi, ibarat pohon “ia”

tidak memiliki akar. Oleh karena itu, jika sampai terjadi masalah disintegrasi --

menurut penulis-- wajar. Logikanya, Bagaimana mungkin sebuah pohon akan kokoh

berdiri tanpa sehelai akarpun yang menghujam ke bumi? Sebab, ternyata ada yang

kurang untuk dapat mempunyai rasa ikut memilikinya.

Maka dari itu, kelak, dari 10 bagian teritorial Indonesia hendaknya 1 bagian

untuk Indonesia, dan diberi nama Bagian Indonesia, sedangkan 9 bagian yang lain

diberi nama disesuaikan dengan faktor geografisnya, misal : Bagian Sumatera,

Bagian Kalimantan, Bagian Irian, Bagian Bali, dan sebagainya.

Bagian Indonesia tadi --setelah dipecah menjadi 10 wilayah-- disisakan lagi 1

wilayah untuk Indonesia, dan diberi nama Wilayah Indonesia. Nama sembilan

wilayah yang lain –misalnya-- disesuaikan dengan kondisi sejarah.

Dengan demikian akan terlihat :

a. Wilayah Indonesia, Bagian Indonesia

191

191

Page 192: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

b. Wilayah x, Bagian Indonesia

c. Wilayah y, Bagian Indonesia

d. dan seterusnya.

Begitu pula halnya dengan “Bagian –teritorial-- Indonesia” yang lain, jika

memungkinkan masing-masing dipecah lagi menjadi 10 wilayah dan satuan wilayah

pertama diberi nama seperti “fenotipnya” dan satuan wilayah kedua deberi nama

Indonesia.

Dengan demikian, misalnya :

1. Pada Bagian Sumatera, akan ada :

a. Wilayah Sumatera, Bagian Sumatera

b. Wilayah Indonesia, Bagian Sumatera;

c. Wilayah x, Bagian Sumetera;

2. Pada Bagian Irian akan ada :

a.Wilayah Irian, Bagian Irian;

b.Wilayah Indonesia, Bagian Irian

c. Wilayah x, Bagian Irian;

Sedangkan “bagian” yang tidak memungkinkan untuk dipecah karena

terbatasnya wilayah teritorial maka dengan sendirinya tidak perlu dipecah lagi

sehingga pada tataran “wilayah”, Indonesia tidak muncul. Dalam hal ini, bisa jadi

teritorial Indonesia baru akan muncul pada satuan wilayah teritorial yang lebih kecil,

lebih kecil, atau mungkin lebih kecil lagi, dan bahkan bisa jadi pada satuan teritorial

paling kecil, yaitu kelurahan. Misalnya : Kab. Indonesia, Karesiden x, Prov. Bali,

Wilayah Bali, Bagian Bali.

Untuk selanjutnya, Wilayah Indonesia dipecah lagi menjadi 10 provinsi dan

satu di antaranya adalah Provinsi Indonesia. Sedangkan urusan nama sembilan

192

192

Page 193: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

provinsi yang lain terserah keadaan /kondisi /sejarah /kesepakatan penduduk

setempat, dan begitu seterusnya.

Begitu pula halnya dengan wilayah yang lain. Jika memungkinkan, juga

dipecah lagi menjadi 10 provinsi, satu diberi nama Indonesia, satu diberi nama seperti

nama wilayah, dan satu diberi nama seperti bagian, dan seterusnya sampai ke level

terendah wilayah teritorial (kelurahan).

Keuntungan yang dapat dipetik Indonesia dengan model seperti itu adalah

Indonesia akan memiliki akar yang kokoh karena pada tiap-tiap wilayah teritorialnya

benar-benar memiliki “wilayah”. Menurut penulis, selama ini “wilayah” Indonesia

masih ada pada “bungkus” dan di awang-awang. Jadi, belum menyentuh “isi”. Dari

itu, jika sering terjadi benturan antar isi, sekali lagi, wajar. Oleh karena itu, cara

pandang “apalah arti sebuah nama” dalam konteks ke-Indonesia-an perlu

ditinggalkan, sebab pada nama terkandung sebuah makna.

Kelak, 10 % dari (10)128 kelurahan di Indonesia adalah Kelurahan Indonesia,

10% dari (10)96 desa di Indonesia adalah Desa Indonesia, 10 % dari (10)64 kecamatan

di Indonesia adalah Kecamatan Indonesia, 10 % dari (10)48 kawedanan di Indonesia

adalah Kawedanan Indonesia, 10 % dari (10)32 kota di Indonesia adalah Kota

Indonesia, 10% dari (10)16 kabupaten di Indonesia adalah Kabupaten Indonesia, 10 %

dari (10)8 karesidenan di Indonesia adalah Karesidenan Indonesia, 10 % dari (10)4

provinsi di Indonesia adalah Provinsi Indonesia, 10 % dari (10)2 wilayah di Indonesia

adalah Wilayah Indonesia, 10 % dari 10 bagian Negara Indonesia adalah Bagian

Indonesia, dan 1 Negara Indonesia.

Pola ini akan menggiring Indonesia untuk memiliki akar yang kokoh

sehingga dapat mencengkeram ke bawah, karena pada setiap sudutnya telah tertancap

ujung sebuah akarnya, yaitu Kelurahan Indonesia. Dengan demikian, dapat

diketemukan letak sebenarnya “pohon” Indonesia.

Seyogyanya, daerah yang diperuntukkan bagi Indonesia adalah daerah baru

yang merupakan daerah pemekaran sehingga tidak mengurangi nama daerah yang

sudah ada. Oleh karena itu, pada para sejarahwan dan para pini sepuh bangsa ini

193

193

Page 194: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

diharapkan sumbangsarannya agar dalam pemetaan pemekaran wilayah tersebut tidak

terlalu menyimpang jauh dari konteks sejarah. Misalnya, daerah tapal kuda, lebih

tepat sebagai Provinsi Blambangan ataukah Provinsi Indonesia?

Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa dalam konsep bilangan, antara desa

dan kelurahan adalah berbeda. Sepuluh buah kelurahan akan menjadi sebuah desa.

Jadi sangat berbeda dengan pengertian selama ini.

3. 12 Noto Negara (10)68

Pada noto negara (10)68 akan muncul pemegang kedaulatan negara. Jika

satuan noto negara adalah (10)0 = 1, maka 1 yang dimaksud adalah pelaku pemegang

kedaulatan tertinggi di negara ini. Perlu diingat Pasal 1, UUD RI 1945, menyatakan

bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan demikian, yang dimaksud dengan noto

negara adalah majelis tertinggi itu sendiri.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa antara jabatan Kepala Negara

dengan jabatan Kepala Pemerintahan (Presiden) tidaklah sama. Sebab, di dalam

sistem bilangan tidak ada satuan bilangan yang merangkap sebagai satuan bilangan

yang lain. Oleh karena itu, konsep bilangan ini akhirnya menuntun kepada jabatan

yang ada di atas Presiden.

Padahal, kita tahu “person” yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari

Presiden adalah Ketua Majelis Permusyawaratan (MPR). Dengan demikian, akhirnya

dapat diketahui bahwa jabatan Kepala Negara ini disandang oleh Ketua MPR. Pola

ini akan menggiring ke arah “satu orang, satu kursi kekuasaan”.

Jadi, kelak tidak ada rangkap jabatan. Rangkap jabatan terbukti membuat

kisruhnya “langit atas” dan dampaknya sangat terasa di “bumi”. Ingat dengan kasus

Dekrit Presiden oleh mantan Presiden Ir. Soekarno dan geger soal pembekuan DPR

oleh mantan Presiden Abdulrahman Wahid.

194

194

Page 195: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Mengingat hak dan kewajiban antara seorang “ketua” dengan seorang

“kepala” berbeda, seyogyanya di dalam MPR terdapat elemen pemegang nurani.

Sehingga, meskipun keputusan Kepala Negara tersebut tergolong “ludah api” akan

tetap berada pada jalur yang lurus. Selain sebagai pensuplai energi moral juga

berfungsi sebagai kontrol terhadap keputusan lembaga tertinggi negara.

Perlu diingat bahwa noto negara adalah satuan bilangan pertama dan utama

dalam menata negara untuk level negara. Dengan demikian, pada satuan bilangan

kedua akan muncul satuan negara berikutnya. Oleh sebab itu, masih ada 10 satuan

noto negara yang berada di dalamnya. Satuan noto negara tersebut untuk selanjutnya

disebut lembaga tinggi negara. Pada galibnya setiap lembaga tinggi negara akan

menopang lembaga tinggi negara yang lain, baik langsung maupun tidak langsung.

Dengan demikian, kelak akan lahir lima buah lembaga tinggi negara untuk

mendampingi lima buah lembaga tinggi yang sudah ada selama ini. Menurut penulis,

keberadaannya sangat diperlukan dalam rangka membangun peradaban Indonesia

seutuhnya.

Perhatikan satuan noto negara pada lapis kedua berikut ini :

No. Satuan noto negara Lembaga tinggi negara

1. Agama Dewan Agama Indonesia

2. Ilmu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

3. Pendidikan Badan Pendidikan Nasional Indonesia

4. Uang Badan Keuangan Indonesia

5. Pertahanan dan keamanan Badan Pertahanan dan Keamanan Nasional Indonesia

6. Eksekutif Kepresidenan

7. Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat

8. Yudikatif Mahkamah Agung

9. Pengawas keuangan Badan Pemeriksa Keuangan

10 Pertimbangan Dewan Pertimbangan Agung

Tabel 25

195

195

Page 196: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Pada dasarnya, setiap satuan noto negara akan memiliki turunan, semakin

panjang --sampai di tingkat kelurahan-- menunjukkan semakin sempurnanya satuan

penguasa negara tersebut. Perlu diingat bahwa pada kasus tertentu hal semacam itu

tidak mungkin, sebab malah akan menimbulkan masalah lain. Misalnya untuk

masalah keuangan yang diperiksa oleh Badan Keuangan Indonesia. Jadi,

pertumbuhan setiap noto negara harus realistis, tidak dipaksakan, dan melihat skala

prioritas.

Dari sini muncul pertanyaan, berapa anggota masing-masing lembaga tinggi

negara tersebut? Sistem bilangan Indonesia menunjukkan bahwa seratus merupakan

bilangan tertinggi yang masih belum tercemar. Bilangan tersebut akan menuntun kita

kepada jumlah anggota yang ada pada lembaga tinggi negara tersebut. Oleh karena

itu, misalnya :

a. Lembaga kepresidenan akan beranggotakan 100 orang “presiden” serta

dipimpin oleh seorang Presiden. Ini berarti, lembaga kepresidenan berbentuk

presidium. Di bawah presiden tersusun 10 buah kementerian yang masing-masing

dipimpin oleh seorang menteri.

Turunan paling sederhana dari lembaga kepresidenan adalah lembaga

kelurahan. Bedanya, jika pada lembaga kepresidenan beranggotakan 100 orang, maka

pada lembaga kelurahan hanya beranggotakan 1 orang yaitu lurah. Pada level inilah

terdapat kepemimpinan tunggal.

b. Dewan Pertimbangan Agung akan berisi 100 orang penasihat serta

dipimpin oleh Penasihat Agung (bukan Ketua DPA). Keseratus orang penasihat

tersebut mengelompok menjadi sepuluh kelompok (komisi), sesuai dengan jumlah

lembaga tinggi negara yang ada.

Dengan demikian, ada Penasihat Kepresidenan, Penasihat Pendidikan,

Penasihat Militer, dan sebagainya. Jika pola bilangan dilanjutkan maka setiap orang

dari penasihat tersebut akan mempunyai sebuah lahan dengan sepuluh buah bidang

garapan. Sebagai contoh, pada kelompok penasihat untuk bidang pendidikan akan

muncul :

196

196

Page 197: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

1. Penasihat Sekolah Dasar;

2. Penasihat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama;

3. Penasihat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas;

4. Penasihat Pendidikan Diploma 1;

5. Penasihat Pendidikan Diploma 2;

6. Penasihat Pendidikan Diploma 3;

7. Penasihat Pendidikan Diploma 4;

8. Penasihat Pendidikan Tinggi Strata 1;

9. Penasihat Pendidikan Tinggi Strata 2;

10. Penasihat Pendidikan Tinggi Stata 3.

c. Badan Pendidikan Nasional Indonesia pun beranggotakan 100 orang. Ingat,

badan pendidikan ini dipimpin oleh seorang Guru Pendidikan Nasional. Mereka

mengelompok menjadi sepuluh kelompok (komisi) dan masing-masing kelompok

tersebut beranggotakan 10 orang. Tiap kelompok mempunyai satu “garapan” pada

jenjang satuan pendidikan. Sebagai contoh, pada kelompok Sekolah Dasar akan

muncul jabatan:

1. Guru Pendidikan Nasional Kelas I Sekolah Dasar;

2. Guru Pendidikan Nasional Kelas II Sekolah Dasar;

3. Guru Pendidikan Nasional Kelas III Sekolah Dasar;

4. Guru Pendidikan Nasional Kelas IV Sekolah Dasar;

5. Guru Pendidikan Nasional Kelas V Sekolah Dasar;

6. Guru Pendidikan Nasional Kelas VI Sekolah Dasar;

7. Guru Pendidikan Nasional Agama Sekolah Dasar;

8. Guru Pendidikan Nasional Kerajinan Tangan dan Kesenian Sekolah

Dasar;

9. Guru Pendidikan Nasional Olahraga dan Kesehatan Sekolah Dasar;

10. Guru Pendidikan Nasional Muatan Lokal.

197

197

Page 198: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Sudah pasti untuk lembaga tinggi - lembaga tinggi yang lain, kelompok-

kelompok (komisi) di dalam lembaga tinggi tersebut menyesuaikan diri.

3.13 Noto Penguasa (10)120

Berdasarkan pemetaan wilayah teritorial dan pemetaan noto negara, maka

akhirnya dapat ditelusuri satuan-satuan penguasa pada setiap wilayah tersebut.

Satuan-satuan penguasa tersebut secara keseluruhan pernah ada, dan sebagian masih

terpakai, sebagian tumpang tindih pengertiannya, dan hanya sebuah satuan penguasa

yang benar-benar baru, yaitu Gubernur Madia.

Dalam hal ini, sebagai contoh, jika presiden ialah penyelenggara Pemerintah

Negara yang tertinggi di bawah Majelis (baca : MPR) menjadi satuan pertama pada

noto penguasa eksekutif dalam bidang pemerintahan, maka akan ada 10 satuan

penguasa eksekutif yang bernaung di bawahnya. Penguasa eksekutif di bawah

presiden ada sepuluh tingkatan.

Perhatikan urutan “kepala eksekutif” berikut ini :

1. Gubernur Jendral : Bagian Negara (bukan negara bagian!)

2. Gubernur Madia : Wilayah

3. Gubernur : Provinsi

4. Residen : Karesidenan

5. Bupati : Kabupaten

6. Wali kota : Kota

7. Wedana : Kawedanan

8. Camat : Kecamatan

9. Petinggi : Desa

10. Lurah : Kelurahan

198

198

Page 199: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dengan pola seperti tersebut di atas serta dikaitkan dengan “ajaran” sistem

bilangan maka pertumbuhan struktur organ negara /pemerintahan akan terpola (10)0,

(10)1, (10)2, dan seterusnya, mengikuti pola bilangan.

Jadi, pertumbuhan struktur organ negara /pemerintahan tidak “sesuka hati”

tanpa bentuk seperti pepohonan di rimba raya yang pada akhirnya hanya memberi

tempat hidup dan ruang gerak yang cukup bagi yang kuat, juga tidak dipangkas

“sesuka hati” oleh penguasa dengan mengorbankan yang lemah. Sudah saatnya,

politik belah bambu ditinggalkan! Pertumbuhan birokrasi akan sangat mengurangi

bahkan menghambat pembusukan birokrat, dan itu sangat penting bagi sebuah negara

yang sedang tumbuh /berkembang untu mendapatkan bentuk ideal. Keteraturan ini

sangat diperlukan dalam memerintah rakyat /menata bangsa.

Dari konsep di atas, apabila ditarik ke dalam konteks pendididikan, sebagai

contoh lain, maka susunan penguasa edukasi akan terlihat sebagai berikut. Jika Guru

Pendidikan Nasional adalah jabatan struktural edukasi pertama dan utama (baca :

tertinggi) maka jabatan struktural edukasi berikutnya akan menjadi :

1. Guru Pendidikan Bagian : Bagian

2. Guru Pedidikan Wilayah : Wilayah

3. Guru Pendidikan Provinsi : Provinsi

4. Guru Pendidikan Karesidenan : Karesidenan

5. Guru Pendidikan Kabupaten : Kabupaten

6. Guru Pendidikan Kota : Kota

7. Guru Pendidikan Kawedanan : Kawedanan

8. Guru Pendidikan Kecamatan : Kecamatan

9. Guru Pendidikan Desa : Desa

10. Guru Pendidikan Kelurahan : Kelurahan

Satu hal yang perlu diperhatikan, bahwa jabatan struktural edukasi berbeda

dengan jabatan struktural organik pendidikan –lihat halaman 102. Struktural edukasi

mempunyai kedudukan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan struktural organik

199

199

Page 200: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

pendidikan. Dengan demikian, pada jabatan strukural edukasi itulah sebenarnya

terletak kewenangan memberikan penilaian tentang prestasi kerja seorang guru,

apapun status, pangkat, maupun golongannya. Oleh karena itu, mengingat baik

/buruknya prestasi kerja seorang guru --termasuk profesi lain-- tergantung banyak

faktor, maka penilaian tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya, bukan kepada

pengguna jasa pendidikan. Dengan kata lain, di situlah tempat gen murni pendidikan.

Dalam garis besar, pembagian kerja institusi pendidikan akan terlihat sebagai

berikut :

o Badan Pendidikan Nasional : Pemerintah edukasi

o Satuan Lembaga Pendidikan : Satuan organik pendidikan

o Depatemen Pendidikan Nasional : Penghasil /pengawasan pendidikan

o Lembaga Pendidikan Nasional : Kesejahteraan pendidikan

Sebagai contoh lain, untuk pemerintah militer, maka jika Komando

Pertahanan dan Keamanan Nasional adalah satuan pemerintah militer yang pertama

dan “utama” maka satuan pertahanan dan keamanan negara berikutnya adalah :

1. Komando Pertahanan dan Keamanan Bagian

2. Komando Pertahanan dan Keamanan Wilayah

3. Komando Pertahanan dan Keamanan Provinsi

4. Komando Pertahanan dan Keamanan Karesidenan

5. Komando Pertahanan dan Keamanan Kabupaten

6. Komando Pertahanan dan Keamanan Kota

7. Komando pertahanan dan Keamanan Kawedanan

8. Komando Pertahanan dan Keamanan Kecamatan

9. Komando Pertahanan dan Keamanan Desa

10.Komando Pertahanan dan Keamanan Kelurahan

Masalah militer akan menggunakan istilah panglima atau komandan untuk

pucuk pimpinan pada masing-masing level pemerintahan militer agaknya perlu dikaji

lebih jauh, yang jelas mereka bukan penguasa organik militer. Namun, mengingat

200

200

Page 201: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

pada markas-markas komando itulah sebenarnya tempat gen murni militer, maka

sudah selayaknya pada Markas Komando Pertahanan dan Keamanan Nasional itu

nanti menjadi tempat bagi Panglima Tertinggi Militer.

Oleh karena itu, jika “sepuluh” penguasa teritorial yang setara berada dalam

satu majelis maka tersusunlah pemerintahan daerah dan di situlah tempat bagi

penguasa daerah, atau Kepala Daerah. Dengan kata lain, Kepala Daerah adalah

turunan dari Kepala Negara –bukan turunan kepala eksekutif.

Jadi, pada dasarnya, pada majelis daerah tersebutlah sebenarnya letak otonomi

daerah. Karena majelis bersifat mengikat, maka musyawarah harus diutamakan,

sehingga harus saling sedikit mengalah. Dengan demikian, berdasarkan konsep

bilangan maka seharusnya ada 10 buah “Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)”

di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yaitu :

1. “MPR” Bagian

2. “MPR” Wilayah

3. “MPR” Provinsi

4. “MPR” Karesidenan

5. “MPR” Kabupaten

6. “MPR” Kota

7. “MPR” Kawedanan

8. “MPR” Kecamatan

9. “MPR” Desa

10. “MPR” Kelurahan

Sungguhpun “MPR” merupakan turunan dari MPR, pada majelis tersebut

tidak terdapat kedaulatan rakyat sepenuhnya. Hal ini dikarenakan, jika pada “MPR”

juga ada hak berdaulat atau otonomi penuh maka keadaan tersebut tak ubahnya

dengan keberadaan negara di dalam negara.

Oleh karena itu, menurut penulis, kedaulatan “MPR” hanyalah sebatas

menerjemahkan garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh pemerintahan pusat ke

201

201

Page 202: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

dalam garis-garis kecil. Kongkritnya, sebuah garis besar akan diurai menjadi sepuluh

garis kecil yang mampu untuk dilaksanakan.

Sebuah garis kecil diturunkan kembali kepada pemerintahan yang berada di

bawahnya untuk diterjemahkan lagi menjadi sepuluh garis yang lebih kecil lagi,

sedangkan yang sembilan buah dikerjakan sendiri, dan begitu seterusnya hingga

sampai pada tingkat terendah pemerintahan. Dan, dalam hal ini, sudah bukan menjadi

kewajiban penulis untuk menguraikannya. Dengan demikian, “sepuluh yang besar”

dikerjakan sendiri, sedangkan “sepuluh yang kecil” dikerjakan oleh bawahannya.

Pola di atas akan memberikan keseimbangan beban kerja antara yang di atas

dengan yang di bawah dan di samping itu akan dapat memberikan tempat yang lebih

sesuai dengan kapasitas seseorang. Oleh karena itu, jangan heran, saat seharusnya

berada “di belakang meja” menyelesaikan tugas dalam memberikan pelayanan

kepada publik malah berada di tempat lain yang tidak semestinya. Dengan demikian,

tidak sisa-sia bangsa ini mengangkat mereka sebagai penguasa.

Perlu diingat bahwa berdasarkan pola bilangan, maka kelurahan adalah satuan

‘pemerintah eksekutif pusat” yang terendah. Jadi, posisi lurah (baca : bukan perangkat

kelurahan) adalah tempat bagi gen murni eksekutif pusat sebab pemerintahan pusat

telah tersusun pasca proklamasi, 18 Agustus 1945.

Dari sini, muncul pertanyaan, di mana posisi pemerintah eksekutif daerah?

Berdasarkan butir ajaran demokrasi, pemerintah berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan

untuk rakyat. Maka, jika pemerintah eksekutif pusat telah tersusun dan mencapai

bentuk sempurna --karena telah sampai di tingkat kelurahan-- dengan sendirinya

yang dimaksud dengan pemerintah eksekutif daerah adalah susunan pemerintahan

yang tersusun di bawah kelurahan

Dalam kehidupan manusia, bentuk pemerintahan yang paling sederhana

adalah keluarga. Di dalam keluarga, siapa yang menjadi pemimpin dan siapa yang

dipimpin sudah jelas. Rambu-rambu hak dan kewajiban dari masing-masing anggota

keluarga telah tertanam sedemikian rupa sehingga meskipun sudah menjadi kaidah

202

202

Page 203: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

umum, kadangkala masih terjadi silang pendapat. Itu manusiawi. Maka dari itu, posisi

keluarga menjadi sentral pembentukan basic pemerintahan.

Baik atau buruknya masyarakat pada sebuah “pemerintah daerah” merupakan

cermin dari kelurga-keluarga penyusunnya. Begitu pula dengan baik atau buruknya

kinerja pemerintah pusat tergantung pada baik atau buruknya kinerja pemerintah

daerah. Oleh karena itu, jika keluarga adalah basis dari pemerintah eksekutif

daerah dan kelurahan merupakan basis pemerintah eksekutif pusat maka antara

kepala keluarga dan lurah itulah posisi penguasa eksekutif daerah.

Padahal, di satu sisi antara kepala keluarga sampai dengan lurah --pada masa

pra transisi-- terdapat Ketua RT, Ketua RK, dan Kepala Dusun; dan di sisi lain, pada

masa transisi posisi dusun telah ditingkatkan menjadi kelurahan.

Masalahnya, posisi lurah ≠ kepala dusun, sebab :

1. Lurah adalah gen murni sipil pada tingkat terendah sedangkan kepala

dusun adalah gen murni rakyat pada tingkat tertinggi;

2. Lurah memperoleh “tempat” karena perjuangan orangtuanya /leluhurnya

di masa lalu. Dengan kata lain, lurah duduk di kursi peninggalan

orangtuanya sedangkan kepala dusun mendapatkan “tempat” dari hasil

perjuangan sendiri.

Dari sini muncul pertanyaan, siapakah yang lebih tinggi posisinya? Untuk

menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita belajar bersama kepada saudara-saudara

kita yang Muslim. Mereka mempunyai perilaku yang menarik saat melaksanakan

salat berjamaah (salat bersama), siapa yang datang lebih awal akan menempati sof

depan dan siapa yang datang kemudian akan menempati sof berikutya. Konsep

sederhana itu ternyata menyimpan makna yang dalam.

Menurut penulis, hal tersebut dapat dijadikan rujukan dalam menata penguasa,

sebab sangat tidak etis, jika yang datang kemudian –untuk duduk-- masih harus

mengusir orang lain dari tempat duduknya, baik dengan cara halus maupun kasar.

203

203

Page 204: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Sudah saatnya ditanamkan, “Kalau ingin duduk di dalam /di luar silakan buat

kursi sendiri, atau paling tidak bawa sendiri. Jangan rampas kursi orang lain, juga

jangan duduk di kursi orang”. Oleh karena itu, berdasarkan ajaran tersebut posisi

lurah lebih tinggi dari kepala kampung. Untuk selanjutnya, agar padu, maka ketua RT

diubah menjadi Kepala RT, ketua RK diubah menjadi Kepala RK.

Perubahan seperti terurai di atas sangat perlu dilakukan, dan itu menunjukkan

bahwa status keberadaan mereka pun sudah dinaikkan sedemikian rupa. Dengan

demikian, mereka telah masuk ke dalam jajaran pemerintahan. Jadi, jabatan Kepala

Kampung adalah jabatan tertinggi pada pemerintah eksekutif daerah. Maka, pola

pemilihan setiap kepala eksekutif daerah pun menerapkan persaingan murni.

Pola seperti itu hendaknya dipertahankan. Pemerintah eksekutif daerah pada

dasarnya adalah pemerintahan rakyat, menafikan keberadaannya akan sama artinya

dengan mematikan demokrasi “generasi” berikut, sebaliknya jika menarik masuk

semua pemerintah eksekutif daerah ke dalam payung pemerintah eksekutif pusat akan

sama artinya dengan memandang sebelah mata akan hasil pendidikan.

Dengan demikian, pada tataran kelurahan pemerintah eksekutf pusat dan

dan pemerintah eksekutif daerah bertemu, hanya sebatas garis merah putih.

Pemerintah eksekutif pusat (baca : pemerintah sipil) diwujudkan dengan keberadaan

lurah, sedangkan pemerintah eksekutif daerah (baca : pemerintah rakyat)

diwujudkan dengan keberadaan Kepala Kampung. Jika pemerintah pusat, yang

dalam hal ini diwakili oleh keberadaan gen murni sipil maka Kepala Kampung

mewakili gen murni rakyat. Pada kelurahan itulah, lembaga perwakilan rakyat

dimulai dan lembaga ini setara dengan lembaga pemerintahan pusat di kelurahan.

Dari sini muncul pertanyaan, apakah hal itu tidak mengistimewakan gen

murni yang ada di dalam birokrasi? Pembaca yang budiman, jika dilihat sepintas,

kesan tersebut memang sangat terlihat. Oleh karena itu, penulis balik bertanya.

Siapakah yang lebih berhak menjadi penerus Anda, keturunan Anda atau pekerja

Anda? Masalah keturunan Anda tidak bersedia karena satu dan lain hal, itu masalah

lain, dan pemecahan yang adil telah ada.

204

204

Page 205: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Untuk itu, agar lebih jelas, silakan baca kembali Noto Lahan Kehidupan.

Menurut penulis, banyaknya masalah di dalam birokrasi dikarenakan oleh satu sebab

yaitu negara menafikan pemilik pada lahan 1. Penguasa negara memandang lahan 1

sebagai daerah tak bertuan, sehingga siapapun dia asal bisa masuk, masuklah dia.

Penguasa negara tidak peduli dengan asal-usul kepemilikan lahan 1, masalah nanti

diurus nanti, toh … itu bisa diatur! Dan buah dari “itu bisa diatur” sudah sangat

“telanjang” di depan mata.

3. 14 Noto Bangsa (10)116

Penulis tidak tahu dengan pasti, manakah yang lebih dulu lahir dasawisma

ataukah catur warga. Namun secara umum diketahui bahwa yang dimaksud dengan

dasawisma adalah sekumpulan tempat tinggal yang terdiri dari sepuluh buah rumah

/kepala keluarga. Sedangkan catur warga adalah keberadaan jumlah anggota keluarga

yang terdiri dari 1 orang ayah, 1 orang ibu, dan 2 orang anak.

Dengan demikian, pada dasa wisma maka jumlah wisma /kepala keluarga

yang menjadi pijakan, sedangkan pada catur warga maka jumlah batih yang menjadi

sandaran penghitungan.

Dengan demikian, jika :

a. 10 keluarga = 1 RT

10 RT = 1 RK

10 RK = 1 kampung (dusun)

1 kampung = 1 kelurahan

b. 1 keluarga = 4 jiwa

Maka :

Penduduk 1 kelurahan ± 4000 jiwa

Penduduk 1 kelurahan ± 1000 kepala keluarga

205

205

Page 206: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Jika, misalnya, setiap keluarga menempati tanah hunian seluas 100 m2 maka

setiap kelurahan yang dihuni 4000 jiwa tersebut akan membutuhkan lahan seluas ±

0,10 km2 dan jika ditambah fasilitas lain seluas 100% maka setiap kelurahan baru

akan membutuhkan tempat seluas ± 0,20 km2.

Padahal, luas daratan Indonesia adalah ± 1.919.443 km2 (Datta Wardana, 1998

: 3) dan penulis mengasumsikan yang 10 % untuk daerah pemukiman, maka daerah

pemukiman akan menempati areal seluas ± 191.944,3 km2. Ternyata, tanah yang

diperlukan untuk membangun tempat tinggal bangsa ini, sementara waktu masih lebih

dari cukup. Jika, misalnya jumlah penduduk Indonesia mencapai 300 juta maka akan

membutuhkan 75.000 buah kelurahan. Jadi pada dasarnya pertumbuhan kelurahan

melihat pertumbuhan penduduk.

Dari sini muncul pertanyaan, perlukah pertumbuhan kelurahan “memakan”

lahan pertanian? Sepengetahuan penulis, makan memang bukan tujuan hidup, namun

untuk dapat bertahan hidup maka harus makan. Masalahnya, jika lahan pertanian

menyusut dari tahun ke tahun karena pertumbuhan penduduk maupun karena

pembangunan maka tidak menutup kemungkinan pada suatu ketika akan terjadi pula

kelangkaan pangan karena adanya penyusutan suplai bahan pangan.

Oleh karena itu, seyogyanya, pembangunan daerah pemukiman “baru” tidak

digiring ke samping, namun digiring ke atas. Dengan demikian, konsep rumah susun

sangatlah tepat. Bahkan, menurut konsep bilangan, rumah susun yang ideal adalah 11

lantai, di mana lantai dasar dipergunakan untuk meletakkan barang-barang bergerak

semacam kendaraan bermotor, dan sepuluh tingkat di atasnya digunakan sebagai

tempat hunian.

Hal tersebut diutarakan dengan alasan, sebuah kelurahan hanya memerlukan

lahan seluas 20 ha, 10 ha di antaranya untuk hunian dan 10 ha yang lainnya untuk

pengadaan fasilitas umum yang diperlukan, misalnya jalan, sarana ibadah, sekolah,

pusat perbelanjaan, bank, dan sebagainya. Pada tempat hunian terdapat 10 petak

rumah susun yang masing-masing petak akan terisi 100 kepala keluarga.

206

206

Page 207: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Pertanyaannya adalah, siapa yang harus menyiapkan rumah rakyat tersebut?

Pembaca yang budiman, pembukaan UUD 1945 mengisyaratkan bahwa satu di antara

tujuan didirikannya negara ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Jika

kondisi ini ditarik mundur pada pasca proklamasi, maka akan terlihat bahwa baik

rakyat maupun negara dalam kondisi lemah, karena baru lahir.

Bahwa rakyat dalam kondisi lemah karena energi yang mereka miliki telah

terkuras untuk merebut kemerdekaan, sementara itu kondisi negara pun lemah karena

baru saja lepas dari cengkeraman kuku kolonial. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa pada saat itu keduanya lemah. Posisi lemah negara dan rakyat, pada sutu titik

berpisah, posisi negara makin lemah karena terpuruk oleh berbagai krisis yang

melandanya sementara posisi rakyat, sebagian semakin kuat dan sebagian yang lain

tetap lemah, dan sebagian di antara yang sudah lemah tersebut semakin lemah.

Dengan reformasi bilangan, posisi negara menjadi kuat, rakyat yang sudah

kuat tidak berkurang kekuatannya, sementara rakyat yang lemah akan menjadi kuat,

karena pada kedua macam rakyat tersebut telah ada kepastian keadilan di dalam

hidupnya. Bahwa, yang besar mendapat “kue kemerdekaan” lebih besar dari yang

kecil itu wajar, dan sangat wajar. Begitu pula dengan setiap pelanggaran yang

dilakukan. Meskipun “rakyat besar”, jika melakukan kesalahan akan tetap

mendapatkan sanksi, begitu pula dengan “rakyat kecil”, tidak ada keistimewaan bagi

seseorang di bumi Pertiwi. Dengan kata lain, semua setara di mata hukum.

Kembali ke masalah rumah rakyat. Untuk membangun rumah, maka harus ada

lahan dan rumah itu sendiri. Pertanyaannya, siapakah pemilik lahan untuk rumah itu?

jika yang satu mengatakan bahwa bumi itu milik Allah SWT., negara mengklaim juga

sebagai milkinya, sementara itu di luar sana, permukaan bumi telah dikapling-kapling

oleh penghuninya. Jadi, siapa sebenarnya pemiliknya?

Pengakuan umat beragama benar sekali adanya. Bahwa bumi sebagai satu di

antara sekian banyak ciptaan-Nya adalah milik Sang Maha Pencipta itu sendiri. Posisi

negara sebagai pemilik hanya sebagai tanda batas kekuasaan (?) yang mencakup

kedaulatan, pengelolaan, dan pemanfaatannya.

207

207

Page 208: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Sedangkan, rakyat sebagai “person” kepemilikannya hanya sebatas

pemanfaatan saja. Oleh sebab itu, rakyat tidak boleh menelantarkan tanah miliknya.

Jadi, jika dilihat dari segi pengelolaan dan pemanfaatannya maka tanah yang sudah

dimiliki rakyat adalah milik rakyat itu sendiri di bawah kendali pengawasan negara.

Maka dari itu, sepanjang tidak melakukan pelanggaran yang telah disepakati

bersama12, rakyat (baca : penduduk) suatu daerah tidak dibenarkan mengusir rakyat

(baca : penduduk) lain –apapun alasannya.

Masalahnya, tidak semua rakyat “berkesempatan” memiliki tanah, padahal

tanah adalah prasyarat untuk keberadaan tempat tinggal. Oleh karena itu, pada saat

seorang rakyat sudah beranjak dewasa dan telah siap berkeluarga dan berkehendak

memisahkan diri dari orangtua, maka menjadi kewajiban negara memenuhinya.

Dengan demikian, urusan tempat tinggal (baca : rumah) –bagi rakyat yang tidak

beruntung tersebut-- menjadi kewajiban negara. Saat itulah, hutang negara kepada

rakyat yang telah “memerdekakan”-nya terbalas. Bukankah, pada saat merebut

“kemerdekaan negara”, rakyat juga telah mengorbankan seluruh miliknya?

Masalahnya, tanah-tanah yang dikuasai oleh negara telah dimanfaatkan untuk

berbagai usaha dalam rangka menghidupi negara itu sendiri, sementara tanah milik

rakyat telah ada pula pemiliknya pada saat pasca proklamasi. Bahwa mengambil

tanah milik rakyat untuk diberikan kepada “rakyat” lain, jelas bukan solusi cerdas.

Untuk itu, harus ada pemecahan yang saling menguntungkan.

Rakyat sebagai pemilik tanah mendapat untung, rakyat yang membutuhkan

rumah untung, dan negara yang menunaikan kewajibannya juga untung. Dalam hal

ini, menurut penulis, pola bagi hasil akan dapat membantu penyelesaiannya.

Rakyat sebagai pemilik tanah “menanamkan” saham berupa “tanah” untuk

pemukiman, dengan demikian, kepemilikan tidak berpindah tangan. Masalah

prosentase laba, menentukan pengembang, dan lain sebagainya sudah menjadi

kewajiban negara. Pada waktu yang telah ditentukan, misalnya setiap bulan, pemilik

tanah tinggal mengambil “jasa” dari milknya yang dimanfaatkan oleh negara.2 bentuk kesepakatan sebagai yang dimaksud, sepengetahuan penulis “belum ada”

208

208

Page 209: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Rakyat yang tidak memiliki tempat tinggal dapat diibaratkan sebagai anak-

anak bangsa yang belum beruntung dalam perantauan yang panjang (baca: puluhan

tahun merdeka). Pada saat seorang anak tidak berhasil “ di rantau”, ke mana harus

kembali? Bukankah, mereka akan pulang ke pangkuan Ibu? Masalah akan terjadi

kejutan psikhologis, itu sudah pasti.

Untuk itu pemuka agama, psikholog, pendidik, dan mereka yang peduli pada

masalah-masalah sosial perlu bahu membahu dalam mengatasinya. Hanya saja, ada

satu hal yang perlu diingat bahwa kewajiban negara hanyalah sebatas menyediakan

rumah untuk tempat tinggal yang layak. Jadi, bukan pada menentukan pilihan “tempat

rumah”. Urusan mereka sendiri dalam menentukan, mau di petak 1, petak 2, di lantai

1, lantai 2, atau kamar 1, atau di kamar berapa, terserah mereka. Mereka juga akan

memilih sendiri, siapa pemimpin-pemimpin mereka. Siapa yang akan menjadi Kepala

Kampung, Kepala RT, dan sebagainya.

Dari sini, muncul pertanyaan, apakah mereka harus membeli? Dan, penulis

balik bertanya. Jika ada kemampuan, adakah yang mau tinggal di tempat-tempat

kumuh seperti di pinggir-pinggir sungai, di tepian rel kereta api, di kolong-kolong

jembatan, atau bahkan tercecer di pasar atau di jalan-jalan sebagai gelandangan? Jadi,

mereka tinggal menempati. Jika pembaca merasa iri dengan keberuntungan yang

mereka terima karena manuver bilangan, silakan ikuti jejak mereka! Gampang,

bukan? Sistemlah yang telah menggiring mereka talantar di negara yang kaya dan

makmur. Dari situ, janji manis bahwa fakir-miskin dan anak-anak telantar menjadi

tanggungan negara direalisasikan dalam karya nyata. Rumah yang merupakan sebuah

kebutuhan mendasar sebagai manusia telah dipenuhi oleh negara.

Dengan pola seperti itu, tidak akan ada daerah kumuh. Pinggir-pinggir rel

kereta api akan bersih dari pemandangan yang memilukan, daerah tepian sungai akan

berfungsi sebagaimana mestinya, kolong-kolong jembatan akan stiril dari

gelandangan, dan sebagainya. Dan, saat mereka terkumpul dalam satu kelurahan,

itulah kelurahan Indonesia! itulah potret kemerdekaan yang diagungkan!

209

209

Page 210: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Memang, penulis mendengar, ada “rakyat besar” dari negara seberang yang

pernah mengatakan bahwa “Jangan kau tanyakan, apa yang telah diberikan negara

kepadamu. Tapi, bertanyalah, apa yang telah engkau berikan kepada negaramu”.

Namanya juga omongan “rakyat besar”, maka dalam tempo yang tidak terlalu lama

menjadi rujukan pendapat dan mendapatkan pembenaran dari kaum oportunis yang

setia mengitarinya.

Pernyataan tersebut sekarang dibalik oleh “rakyat kecil” dengan ungkapan

senada, “Negara, jangan lagi kau tanyakan apa yang telah diberikan rakyat kepadamu.

Tapi bertanyalah, apa yang telah kau berikan kepada rakyatmu? Apakah murah

sandang, murah pangan? Apakah rasa aman? Apakah rasa keadilan? Ataukah

ketakutan, kelaparan, dan kenistaan?” Hanya penguasa yang mampu menjawabnya!

Dari sini muncul pertanyaan, siapakah rakyat Indonesia? Pembaca yang

budiman, pada bagian terdahulu telah disinggung bahwa pada saat proklamsi, dalam

hal ini, lahan kehidupan telah terbagi dengan adil, sebagian rakyat berada di dalam

sistem birokrasi dan sebagian di luar sistem birokrasi. Mereka yang berada di dalam

struktur birokrasi terbagi menjadi dua kelompok, yang satu berada pada jalur sipil,

dan yang lain berada pada jalur militer.

Oleh karena itu, pada garis besarnya, rakyat Indonesia dikelompokkan

menjadi tiga kelompok besar, yaitu rakyat sipil, rakyat militer, dan rakyat murni.

Pengelompokan seperti itu bukan terjadi secara kebetulan, sebab bukan tanpa alasan

mereka masuk ke dalam sebuah komunitas dengan natar tertentu. Di situ, ada

panggilan jiwa dan iklim yang mendukung. Rakyat sipil akan menurunkan rakyat

sipil, rakyat militer akan menurunkan rakyat militer, begitu pula dengan rakyat murni.

Jika terjadi penyimpangan garis “nasab” sudah dapat dipastikan adanya

ketidakberesan dalam alur kehidupan. Masalah nasib bisa berbeda, namun masalah

“nasab” tidak dapat begitu saja dibelok-belokkan. Itu semua terjadi karena penguasa

negara hanya memberi tempat tumbuh kepada rakyat murni, sementara di sisi lain,

negara memandang keberadaan “rakyat sipil” dan “rakyat militer” hanya sebagai

tumbal kemerdekaan. Hal semacam itu, menurut konsep bilangan, tidaklah tepat!

210

210

Page 211: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Meskipun prosentase rakyat sipil dan rakyat militer tersebut sangat kecil,

keberadaannya harus diperhitungkan dan harus pula dikembalikan hak-haknya.

Dengan demikian, mereka dapat melanjutkan pengabdiannya kepada Pertiwi. Itu, jika

penguasa negara mau berlaku adil terhadap semua rakyatnya. Dalam konteks apapun,

penguasa negara hendaknya adil terhadap semua rakyatnya. Jadi, yang selama ini

dipandang sebagai rakyat kecil hanyalah mereka yang hidup di bawah garis

kemiskinan, atau mungkin masyarakat kelas pinggir jalan, tidak terlalu tepat, sebab

masih ada rakyat kecil “yang lain” yang juga terjepit. Ke mana harus mencari lahan

kehidupan, karena lahan kehidupannya “diserbu” oleh rakyat lain.

Jika kondisi tersebut ditarik ke pasca transisi, maka rakyat sipil akan kembali

ke dunia sipil dan mengelola pemerintahan sipil, rakyat militer akan kembali ke dunia

militer dan mengelola pemerintahan militer, dan rakyat murni akan kembali ke dunia

rakyat murni serta mengelola pemerintahan rakyat murni. Transfer antar mereka

dapat saja terjadi dan untuk itu sudah ada kejelasan tentang aturan aturan mainnya.

Hanya saja, perlu diperhatikan. Mengingat, rakyat agama dan rakyat sipil

agama pun telah muncul pada masa pasca transisi maka “agama rakyat” menjadi

fokus. Oleh sebab itu, pada daerah yang mayoritas rakyatnya beragama x maka,

seyogyanya, ditempatkan rakyat sipil x dan juga rakyat militer x. Begitu pula pada

daerah yang mayoritas rakyatnya beragama y maka, seyogyanya, ditempatkan rakyat

sipil y dan rakyat militer y.

Ini semua dilakukan untuk mencegah masuknya radikal bebas negatif ke

dalam sebuah sistem. Bagaimanapun, radikal bebas negatif akan sangat berbahaya

bagi sebuah komunitas saat pada posisi yang tidak semestinya.

Dari situ muncul pertanyaan, apakah itu bukan berarti diskriminasi terhadap

agama? Jawabannya, tidak. Masing-masing agama telah diberi tampat tumbuh serta

diberi kesempatan yang sama untuk menjadi nomor satu pada setiap komunitas. Jadi,

pada akhirnya penempatan rakyat sipil dan rakyat militer harus memperhatikan

agama rakyat murni setempat, lebih-lebih bagi mereka yang ditempatkan pada jabatan

struktural baik pada stratum organik maupun non organik.

211

211

Page 212: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Di samping itu, ada hal lain yang tidak kalah pentingnya. Rasio antara rakyat

sipil, rakyat militer, rakyat agama, rakyat sipil agama, dan rakyat murni pada setiap

kelurahan dapat dijadikan perbandingan. Di atas telah disinggung, idealnya sebuah

kelurahan berisi 1000 kepala keluarga. Itu berarti 4000 jiwa, yang terdiri dari 1000

orang ayah, 1000 orang ibu, dan 2000 orang anak. Dari 1000 keluarga tersebut terinci

sebagai berikut :

a. Rakyat militer : 1 keluarga

b. Rakyat sipil : 10 keluarga

c. Rakyat agama : 1 keluarga

d. Rakyat sipil agama : 10 keluarga

e. Rakyat murni : 978 keluarga

Dari 978 keluarga rakyat murni tersebut dapat dirinci lebih jauh tentang posisi

mereka di dalam sistem sebagai berikut :

a. Pegawai negeri militer : 10 keluarga

b. Pegawai negeri militer sipil (Polisi) : 10 keluarga

c. Pegawai negeri sipil : 100 keluarga

d. Pegawai negeri sipil agama : 10 keluarga

e. Pegawai Daerah Negeri Sipil : 111 keluarga

f. Lembaga perwakilan kelurahan : 11 keluarga

g.”MPR” kelurahan : 1 keluarga

Jumlah : 253 keluarga

Dengan demikian, dari 978 keluarga rakyat murni, yang 253 telah terserap ke

dalam sistem pemerintahan daerah kelurahan. Jadi, sisa 725 keluarga. Nah, pada

mereka inilah lahan kehidupan di luar sistem birokrasi /negara diperuntukkan.

Mereka dapat bergerak dalam bidang usaha. Seandainya, wanita tidak “harus” bekerja

di luar rumah maka peluang bagi kaum pria untuk berhasil dan mendapatkan

penghasilan lebih akan terbuka lebar-lebar .… Dengan demikian, wanita tinggal

mengurus rumah tangga suaminya.

212

212

Page 213: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Karena kondisinya tidak seperti itu, maka secara otomatis lapangan kerja yang

harus tersediapun akan lebih banyak. Bayangkan, tiap 2000 penduduk dewasa, 275

orang di antaranya telah terserap di dalam, sementara sisanya belum mendapatkan

tempat. Jadi, mereka harus berada di luar.

Pembaca yang budiman, rakyat –secara keseluruhan-- negara ini tidak dapat

dipisahkan dari bangsa negara ini sendiri. Justru, rakyat tersebut dapat dipandang

sebagai unsur utama penyusun bangsa. Bukankah timbangan pemerintah adalah

rakyat? Dari sini, muncul pertanyaan, siapakah bangsa Indonesia itu? Jika noto

bangsa menempatkan bangsa Indonesia sebagai satuan bangsa yang pertama dan

utama, maka satuan bangsa berikutnya adalah x.

Bangsa n 1 kesatuan orang-orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa dan

sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri; 2 golongan manusia, binatang, atau tumbuh-

tumbuhan yang mempunyai asal-usul sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan; 3

macam; jenis; 4 kedudukan (keturunan) mulia (luhur); 5 jenis kelamin.

(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990 : 76)

Merujuk pada pengertian pengertian pertama, maka yang dimaksud dengan

bangsa Indonesia adalah hasil penjumlahan dari seluruh suku bangsa yang mendiami

wilayah Indonesia (1). Sebab, asal-usul mereka sama, konon dari Hindia Belakang,

Yunan. Adat-istiadat mereka, meskipun tidak sama persis, ada kesamaan. Bahasa

pemersatu mereka miliki, bahkan pada bahasa daerah pun ada kemiripin. Begitu pula

dengan sejarah masa lalunya, mereka senasib, sepenanggungan. Dan, di samping itu,

mereka telah memiliki pemerintahan sendiri, dan telah pula mendapatkan pengakuan

dari dunia (baca : negara lain).

Pengertian tersebut menjadi lebih jelas setelah dikaitkan dengan pengertian

kedua, sebab pada pengertian tersebut terlihat bahwa yang dimaksud dengan bangsa

Indonesia adalah golongan menusia yang mempunyai asal-usul sama dan sifat-sifat

khas atau bersamaan.

213

213

Page 214: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dari sini, muncul pertanyaan, dari mana asal-usul manusia Indonesia? Sebagai

bangsa yang beragama, maka sudah dapat dipastikan adanya pengakuan bahwa

bangsa ini tidaklah muncul dengan sendirinya. Mereka ada karena ada yang

menciptakan, dan Sang Maha Pencipta tersebut adalah Tuhan YME. Tentang

bagaimana proses penciptaan manusia pertama sampai dengan tumbuhnya bangsa

ini bergantung pada keyakinan agama masing-masing manusia Indonesia itu sendiri.

Di samping karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki, masalah tersebut

sudah masuk dalam lingkaran kekuasaan iman. Pada daerah tersebut, ilmu tidak

mampu menjangkaunya. Adalah hal yang sia-sia jika ada keinginan menguak areal

tersebut.

Pertanyaan berikutnya, siapa manusia Indonesia? Pembaca yang budiman,

Pancasila mengajarkan bahwa sila kelima dijiwai oleh sila keempat. Sila keempat

dan kelima dijiwai oleh sila ketiga. Sila ketiga, keempat, dan kelima dijiwai oleh sila

kedua. Dan, sila kedua, ketiga, keempat, dam kelima dijiwai oleh sila pertama.

Dengan demikian, manusia Indonesia adalah manusia yang ber-Ketuhanan Yang

Maha Esa. Maka dari itu, pengakuan tentang ke-Esa-an Tuhan menjadi sentral

parameter dan sekaligus menjadi tolok ukur menjadi atau tidak menjadinya seseorang

sebagai manusia Indonesia (2).

Sebagai catatan kecil, ke-Esa-an adalah sifat mutlak Tuhan-nya manusia

Indonesia. Oleh karena itu, dalam hal ini, tidak ada “modifikasi” oleh tangan manusia

–siapapun mereka dan apapun alasannya. Dengan demikian, manusia Indonesia tidak

akan menuhankan Tuhan YME sembari memuja tuhan lain sebagi tandingan.

Padahal, menuhankan sesuatu di luar makhluk akan menggiring pemujanya

untuk memeluk suatu agama. Masalahnya, manusia beragama yang mengakui ke-

Esa-an Tuhan tidak hanya tinggal di antara Sabang sampai Meraoke. Mereka dapat

bertempat tinggal di mana saja, di seluruh penjuru bumi, dari belahan bumi bagian

utara sampai belahan bumi bagian selatan, dari ujung timur sampai ujung barat.

214

214

Page 215: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dengan hipotesa (1) sebagai penalaran --penulis-- tentang pengertian bangsa

Indonesia, maka untuk menjadi bangsa Indonesia hanya ada lima syarat yang harus

dipenuhi, yaitu : pengakuan kesamaan asal usul, adanya kesamaan adat, memiliki

kesamaan sejarah, dan berpemerintahan sendiri. Sedangkan hipotesa (2) sebagai

penalaran --penulis-- tentang perwujudan manusia Indonesia itu adalah manusia

beragama yang mengakui ke-Esa-an Tuhan dengan segala konsekuensinya. Dengan

kata lain, manusia beriman. Oleh sebab itu, manusia Indonesia dapat muncul sebagai

bangsa apa saja, apa pun warna kulitnya, dan di manapun tempat tinggalnya.

Jadi, konsep ini menuntun kepada satu pengertian yang sangat mendasar

bahwa yang dimaksud dengan manusia Indonesia itu sebenarnya adalah bangsa

manusia --secara keseluruhan-- yang mengakui ke-Esa-an-Nya. Sebaliknya, mereka

yang menampik ke-Esa-an Tuhan, sekalipun mengaku sebagai bangsa Indonesia

ternyata bukan manusia Indonesia. Maka dari itu, cita-cita membangun manusia

Indonesia seutuhnya ternyata hanyalah sebuah fatamorgana.

Ssebab bagaimana mungkin akan menjadi manusia Indonesia seutuhnya jika

jiwanya pecah. Di satu sisi memuja Tuhan YME, di sisi lain memuja tuhan lain. Di

satu sisi memuja Tuhan YME, di sisi lain memuja kekuasaan. Di satu sisi memuja

Tuhan YME, di sisi lain menuhankan uang. Di satu sisi mengaku ber-Tuhan Yang

Maha Esa, di sisi lain menentang aturan yang datang dari Tuhannya.

Bukankah pada setiap pengakuan ada aturan lain yang mengikat? Oleh karena

itu, sebagai konsekuensi pengakuan sebagai manusia Indonesia, maka mereka harus

tunduk sepenuhnya pada aturan main yang telah ditetapkan oleh agama yang

dianutnya. Dengan demikian, mereka harus taat sepenuhnya kepada Tuhan YME, taat

kepada Rasulullah SAW. –jika Islam-- /ajaran yang dibawa oleh penyebar agama

mereka, dan taat kepada pemerintahnya (a).

Ketaatan kepada Tuhan YME dan taat kepada ajaran agama sudah sering

dibahas oleh para pemuka agama dalam berbagai kesempatan. Masalah sering timbul

pada tataran ketaatan kepada pemerintah. Sejak manusia dilahirkan, perintah pertama

datang dari orangtua, kemudian dari guru, dan terakhir dari pemerintah itu sendiri (b).

215

215

Page 216: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Baik pada (a) maupun pada (b), jika antara ketiganya sejalan maka tidak akan

menimbulkan masalah, namun pada saat terjadi perbedaan arah tujuan perintah maka

suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju harus dikembalikan pada ajaran agama.

Bukankah ajaran agama Tuhan Yang Maha Esa tidak mungkin bertentangan dengan

perintah Tuhan Yang Maha Esa? Oleh karena itu, pada saat ada perbedaan pandangan

dalam hal apa pun juga, bukan serta merta senapan yang harus berbicara.

Oleh karena manusia Indonesia adalah manusia yang ber-Ke-Tuhan-an Yang

Maha Esa maka sudah sepantasnya, mereka yang bukan manusia Indonesia

menghormati eksistensinya. Pola ini akan menggiring budaya permisif yang datang

dari “sana” pulang ke negeri asalnya Sebagai contoh sederhana, kegembiraan

menyambut “tamu asing” dengan aneka suguhan yang tidak sesuai dengan ajaran

Tuhan YME dengan imbalan segepok uang mereka tak ubahnya dengan melacurkan

negeri untuk menghidupi anak bangsa ini. Bukankah, jika negara ini sebagai Ibu

Pertiwi, maka bangsa ini sebagai anak-anaknya? Sebagai anak, mana mungkin

melacurkan Ibunya, apa lagi “menjualnya”. Dengan kata lain, mereka yang

melacurkan Ibu Pertiwi, sekalipun mengaku sebagai bangsa Indonesia ternyata bukan

manusia Indonesia, mereka adalah anak tetangga! Mereka adalah penumpang gelap!

Maka dari itu, di dalam menata bangsa ini tidak ada pilihan lain, ajaran agama dari

Tuhan YME harus dijadikan landasan yang utama oleh pemegang kekuasaan. Tanpa

itu, berarti penguasa telah mengingkari dasar negara sendiri.

Dari sini muncul pertanyaan. Jika manusia Indonesia dapat muncul dari mana

saja, dari belahan bumi manapun, apapun warna kulitnya, apapun bahasa ibunya,

lantas bagaimana membedakan manusia Indonesia dengan manusia lain? Pembaca

budiman, pertanyaan tersebut mengarah pada ciri-ciri khusus manusia Indonesia.

Kita berbicara dalam konteks moral. Jadi tolok ukur yang digunakan bersifat

normatif yang tidak dapat dijabarkan dengan angka-angka mati. Dengan demikian,

skala penilaian adalah baik dan buruk. Penulis tidak memberi tempat bagi nilai antara

keduanya dengan maksud agar jelas. Jikalau baik, agar menjadi terang akan baik

baginya, dan jikalau buruk menjadi terang akan keburukan yang ada padanya.

216

216

Page 217: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Ciri-ciri manusia Indonesia dapat ditelusuri dari kata kunci yang ada pada

Pancasila, falsafah bangsa Indonesia sendiri. Sepanjang pemahaman penulis, kata-

kata kunci yang padat tersebut menjadi ciri dasar manusia Indonesia. Kata-kata

kunci13 tersebut antara lain : Ber-Tuhan Yang Maha Esa; (berperi) kemanusiaan; adil;

beradab; (mau) bersatu (bukan hanya jasadnya, namun juga jiwanya); (dapat

mengambil) hikmah; (me) rakyat; bijaksana; (suka) musyawarah; dan (berjiwa)

sosial. Dalam hal ini, penulis tidak hendak menafsirkan Pancasila sesuai kehendap

penulis sendiri, sebab falsafah tersebut sudah baku, jelas, padat, dan rinci. Jadi,

tergantung pada individu untuk mengaplikasikan dalam kehidupannya. Dengan

demikian, bagi penulis, kata-kata kunci menjadi itu skala penilaian. Bahwa tidak ada

yang sempurna di dunia, itu pasti. Namun, setidaknya dengan skor enam

menunjukkan seseorang sudah baik.

Pada dasarnya, semua kata kunci tersebut merupakan bentuk pengamalan (?)

tentang pengakuan ke-Esa-an Tuhan. Dengan kata lain, bagi manusia Indonesia,

Tuhan YME adalah sentral. Dia adalah asal dan tujuan akhir manusia Indonesia.

Dengan adanya pengakuan bahwa dirinya lahir di dunia atas kehendak-Nya, hidup

atas kehendak-Nya, dan kalaupun mati maka kematian itupun atas kehendak-Nya.

Pada saat manusia Indonesia berada pada posisi apapun juga, mereka akan

sabar, teguh hati, lapang dada, dan sifat-sifat terpuji lainnya. Sungguhpun demikian,

karena hanya ada dua pilihan --meskipun hidup menyediakan banyak pilihan-- maka

tergantung pada dirinya sendiri untuk menentukan keadaan yang baik maupun

keadaan yang tidak baik baginya. Dengan demikian, manusia Indonesia bukan

“makhluk” statis. Mereka dinamis, inovatif, kreatif, dan berbaik sangka.

Jadi, kongkritnya, manusia Indonesia adalah orang beriman. Sebagai orang

beriman, manusia Indonesia tidak akan , melakukan kesalahan berulangkali, cukup

satu, dua, dan paling banyak tiga kali. Sebagai makhluk berakal, manusia Indonesia

tidak mau terperosok untuk kedua kali pada lubang yang sama. Dan, agar tidak

terperosok pada lubang lain, mereka akan waspada dan berhati-hati. 13 jika ternyata keliru, penulis akan rujuk pada pendapat yang benar

217

217

Page 218: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dengan demikian, manusia Indonesia tidak menjadikan harta dan kekuasaan

sebagai tujuan hidupnya. Keduanya dipandang sebagai sarana untuk sebuah

pengabdian total kepada Tuhan YME. Oleh sebab itu, mereka tidak akan berdalih

membangun, padahal sebenarnya merusak, mereka tidak akan berbuat zalim namun

juga tidak mau dizalimi, mereka tidak gentar panasnya peluru yang mematikan dalam

membela yang benar, mereka tidak takut kelaparan karena telah tahu mana makan

yang baik dan halal baginya, mereka tidak silau terhadap kemilau dunia meskipun

berada di tengah kemilau dunia, mereka juga tidak congkak saat berada di puncak

kekuasaan.

Pendeknya, karena berbenteng iman, manusia Indonesia memandang harta

dan kekuasaan sebagai amanah, sebagai barang titipan, yang pada keduanya terdapat

hak orang lain yang harus ditunaikan dan ada pertanggungawaban. Dengan kata lain,

seluruh aktivitas manusia Indonesia hanya dalam rangka mencari ridho-Nya. Jadi,

jika mengaku beragama Islam, mereka akan hidup secara Islami. Jika beragama

Nasrani, mereka akan hidup sebagaimana ajaran Al Masih. Jika sebagai pengikut

Hindu maka ajaran Weda menjadi pedoman hidupnya. Jika memposisikan diri

sebagai penganut Buda maka ajaran Sang Buda akan dipatuhi. Jika menempatkan diri

sebagai penganut Khong Hu Chu, maka akan menjadi penganut yang baik.

Manusia Indonesia berusaha mengaplikasikan ajaran agamanya sebatas

kemampuan maksimal yang ada pada dirinya. Dengan demikian, yang dapat menilai

bukan orang lain. Penilaian orang lain seringkali keliru, sebab tidak jarang, kita

terkecoh dengan penampilan seseorang. Kita menyangka baik, ternyata culas dan

pendendam. Kita menyangka jahat, ternyata berhati lembut,dan sebagainya.

Pertanyaannya, adakah ajaran agama-agama yang dianut manusia Indonesia

membimbing ke arah hidup glamour, vulgar, otoriter, anarkhis, atau mengajarkan hal-

hal negatif yang lain? Tidak bukan? Kita sering terjebak oleh ulah orang lain….

Sekarang saatnya menghitung, apakah kita –termasuk penulis-- meskipun dilahirkan,

218

218

Page 219: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

dibesarkan, tinggal, dan kelak akan mati di negara Indonesia (?) termasuk manusia

Indonesia? Jika tidak, andalah kaki tangan penjajah!

Manusia Indonesia dapat muncul dalam berbagai strata kehidupan, dari rakyat

jelata sampai penguasa, dari si miskin yang papa sampai pengusaha kaya raya. Jika

muncul sebagai rakyat, mereka akan menjadi rakyat yang baik. Saat menjadi

penguasa, ia akan menjadi penguasa yang baik, yang tahu akan kesulitan rakyatnya.

Saat miskin karena kefakirannya, ia tidak menjadi peminta-minta. Begitu pula saat

kaya, mereka suka berderma.

Sifat baiknya, prasangka baiknya, dan hal-hal baik yang ada pada mereka

itulah yang seringkali dimanfaatkan oleh orang lain yang bukan manusia Indonesia.

Nah, disitulah letak perlunya Tentara Tuhan pada setiap level pemerintahan. Mereka

akan berada pada posisi keamanan sipil.

0leh karena itu, sangat berbahaya saat yang bukan manusia Indonesia duduk

sebagai pengendali kekuasaan. mereka akan membawa ke situasi ketidakpastian.

Negara dan bangsa akan terombang-ambing, rakyat gelisah, “kemelut” nyaris terjadi

di segala lini kehidupan.

Pertanyaannya, jika sebagai rakyat, sudahkah Anda menjadi rakyat yang baik?

Sudahkah Anda penuhi kewajiban Anda sebagai rakyat? Jangan hanya menuntut hak

Anda! Jika penguasa, sudahkah Anda menjadi penguasa yang baik? Sudahkan Anda

penuhi hak-hak rakyat Anda? Hak-hak bawahan Anda? Janganlah Anda hanya pandai

menuntut kewajiban mereka, penuhi pula hak mereka. Dari uraian di atas dapat

disimpulkan bahwa jika bangsa Indonesia adalah satuan noto bangsa yang pertama

dan “utama”, maka untuk melacak satuan noto bangsa yang lain adalah sebagai

berikut :

a. (10)0 = 1

(10) adalah basis bangsa Indonesia, suku-suku bangsa di Indonesia

0 adalah Sumpah Pemuda, peleburan bangsa-bangsa Nusantara

1 adalah bangsa Indonesia

219

219

Page 220: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

b. (10)0 =1

(10) adalah bangsa Indonesia

0 adalah proklamasi

1 adalah rakyat Indonesia

c. (10)0 = 1

(10) adalah rakyat Indonesia

o adalah reformasi bilangan

1 manusia Indonesia

d. (10)0 = 1

(10) adalah manusia Indonesia

o adalah noto bangsa

1 natar manusia Indonesia

Sekarang, mari kita tarik ke dalam konteks bilangan. Berdasarkan hitungan

noto bangsa, ternyata bahwa :

(10)0 = 1 --1 bangsa Indonesia

(10)1 = 10 --10 rakyat Indonesia

(10)2 = 100 --100 manusia Indonesia

(10)4 = 1 0000 --1 0000 natar manusia Indonesia

Dari situ dapat difahamkan bahwa hanya ada satu bangsa Indonesia dengan

sepuluh macam rakyat Indonesia. pertanyaannya, bukankah rakyat Indonesia hanya

ada satu? Rakyat Indonesia memang hanya satu yang tinggal di Indonesia, sedangkan

yang sembilan tidak tinggal di Indonesia, mereka tercecer di sembilan manca negara.

Ini berarti pola bilangan dengan sistem Indonesia menggiring bangsa Indonesia

menjadi bangsa agresor, atau dengan kata lain melakukan intervensi.

220

220

Page 221: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Padahal, pembukaan UUD 1945 mengisyaratkan bahwa kemerdekaan itu ialah

hak segala bangsa dan penjajahan di muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai

dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Jadi?

Bangsa Indonesia adalah manusia yang ber-Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa,

kelompok bangsa manusia beriman. Jadi, sepanjang eksistensi sembilan rakyat

Indonesia (baca : orang beriman) yang tinggal di manca negara tidak diganggu, maka

tidak ada alasan bagi Indonesia melakukan ekspansi, apalagi menganeksasi.

Perlu dicatat, ekspansi (kalaupun terjadi) tersebut bukan dimaksudkan untuk

menjajah seperti ekspansi barat terhadap dunia timur, justru untuk memerdekakannya.

Dari situ dapat ditengarai akan adanya kekuatan lain yang mendorong lepasnya Timor

Timur dari pelukan Pertiwi.

Oleh sebab itu, kelak, tidak ada alasan bagi penguasa negara untuk

menghalangi keberangkatan Tentara Tuhan (baik Hizbullah, Tentara Salib, Pacalang,

dsb.) ke negara lain, dalam rangka membebaskan rakyat Indonesia sendiri. Justru,

negara harus memfasilitasinya. Apakah ini bukan berarti, Indonesia mencari musuh?

Tidak. Sebagai inti negara manusia beriman, justru di situlah letak dari

pertanggungjawabannya. Siapa yang menyuruh dasar negaranya ber-Ke-Tuhan-an

Yang Maha Esa? Bukankah kekuasaan Tuhan YME tidak mengenal batas teritorial?

Jadi, intinya, intervensi tersebut bukan dalam rangka menjajah melainkan

dalam rangka membebaskan manusia beriman dari belenggu penindasan manusia

tidak beriman, sebuah perang suci. Di medan laga itulah, mereka yang Islam dapat

menunaikan jihatnya, yang Nasrani dapat martir di sana, yang Hindu /Buda dapat

melakukan puputan di sana. Bahwa tidak semua manusia beriman mempunyai

kekuatan fisik yang memadai atau karena adanya halangan lain bukan merupakan

alasan baginya untuk menunaikan kewajiban agamanya dengan cara lain.

Di sanalah barisan orang beriman bertemu dengan barisan orang tidak

beriman. Mereka akan saling menolong sesamanya. Orang beriman menolong orang

beriman, orang tidak beriman pun akan menolong orang tidak beriman.

221

221

Page 222: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Oleh karena itu, sangat disayangkan jika sesama orang beriman harus

“berkelahi” di rumah sendiri. Kondisi itu sangat merugikan dan memperlemah diri

orang beriman sendiri, dan di sisi lain membuat orang tidak beriman bersorak dan

semakin kuat. Dengan kata lain, mereka yang untung, kita sendiri yang buntung.

9 (sembilan) adalah angka yang besar, terbesar malah. Itu menunukkan bahwa

ternyata masih banyak orang beriman di negara lain yang belum merdeka. Dalam hal

ini, bisa jadi mereka saling bertikai dengan sesamanya. Ini berarti, tugas besar

membayang di depan mata. Itulah sebabnya, jika penguasa negara tidak di tangan

orang beriman (manusia Indonesia) maka Indonesia akan tetap “indonesia” tidak akan

pernah menjadi INDONESIA. Ternyata, jalan masih panjang dan berliku untuk

menuju Indonesia Raya.

Indonesia Raya adalah negara besar tempat orang-orang beriman, apapun

agamanya, akan mendapatkan perlindungan yang adil dari penguasa. Oleh sebab itu,

bersatulah dan hadapi musuh bersama. Silakan melaksanakan ritual sesuai agama

masing-masing, agar hati menjadi tenteram, jiwa menjadi tenang. Silakan hidup

sesuai dengan keyakinan agama masing-masing. Jangan melanggar trilogi kerukunan

umat beragama, baik terang-terangan maupun terselubung.

Dari sepuluh “macam” rakyat Indonesia, karena hanya satu yang tinggal di

Indonesia, maka dengan sendirinya manusia Indonesia pun hanya tinggal sepuluh

“macam”. Mereka tersebar di dalam agama-agama. Jika, sekarang hanya ada enam

agama di Indonesia, maka seyogyanya yang empat macam tersebut berani

menampakkan diri, tidak terus menerus bersembunyi di balik baju agama-agama lain.

apakah penulis mengada-ada? Tidak.

Dalam hal ini, kita sering melihat /mendengar adanya ritual-ritual tertentu di

daerah tertentu yang bukan merupakan ajaran agama yang kita kenal. Apakah ritual

tersebut bukan merupakan sebuah bentuk pelaksanaan sebuah ajaran agama?

Memang, pada KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang bersangkutan akan

menyebutkan agama x, agama y, atau agama z. Namun, jika x, y, maupun z tidak

memerintahkan penganutnya untuk melaksanakan ritual semacam itu.

222

222

Page 223: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Apakah itu termasuk sekte agama tertentu? Tidak, bukan? Kalau demikian

adanya, maka itu adalah agama tersendiri, bukan agama yang kita kenal. Nah, dari

pada merusak citra agama tertentu akan terlihat lebih ksatria jika berani

menampakkan jati dirinya yang sesungguhnya. Dan, jika mereka mau kembali ke

fitrahnya, agama asalnya, tentunya lebih baik bagi dirinya. Seandainya, mereka

mengetahui ….

Dari 1 0000 natar manusia Indonesia, hanya 100 macam yang tinggal di

Indonesia, sedangkan sisanya tersebar di sembilan manca negara. Natar adalah

warna dasar ( semacam kecenderungan). Warna dasar tidak mengenal ras, etnis,

agama, maupun golongan. Dari asal-usulnya dapat dilihat natarnya. Sebagai ilustrasi

sederhana: petani, nelayan, penambang bernatar alam. Pelawak, artis, dalang, dan

pelukis bernatar seni budaya. Dengan melihat natarnya, maka akan dapat dilacak

letak sebenarnya dari lahan hidupnya. --lihat lampiran 3

Pembaca yang budiman, dari 100 natar manusia Indonesia maka 12 macam di

antaranya sudah jelas. Mereka ada pada jalur birokrasi di lahan 1, sedangkan yang 88

berada pada jalur rakyat di lahan 2. Keberadaan natar di lahan 1 (jalur birokrasi) dan

natar di lahan 2 (jalur rakyat murni) tersebut harus diselesaikan agar “kue

kemerdekaan” tidak hanya menetes di bawah dan melimpah ruah di atas.

Pada awalnya, setiap orang mengantongi sebuah natar namun karena satu dan

lain hal, bisa juga lebih dari itu. Nah, pada segmen pertama dari masa transisi adalah

masa untuk melacak natar seseorang sehingga pada pasca transisi nanti satu orang

berarti satu lahan kehidupan, tidak boleh duduk di antara dua kursi.Perlu diingat

bahwa seratus (102) lahir karena basis sepuluh (10) yang dikuadratkan.

Pola ini akan menggiring ke asal-usul natar. Menurut pemahaman penulis,

asal-asul natar adalah satu yaitu natar agama (addin) dan berkembang menjadi 10

macam, yaitu :

1. Natar militer

2. Natar sipil

3. Natar alam

223

223

Page 224: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

4. Natar perdagangan

5. Natar komunikasi

6. Natar transportasi

7. Natar seni budaya

8. Natar industri

9. Natar jasa

10. Natar x

Bagi seorang “penyelam”, pengelompokan tersebut bisa jadi kurang tepat.

Terlebih lagi dengan munculnya natar x. Namun, bagi “perenang” yang terbawa arus

dan tenggelam maka dengan sisa-sisa nafas yang masih ada, hanya itu yang terlihat.

Mungkinkah natar x tersebut adalah natar para pendiri negara?

Bisa jadi anggapan penulis benar, sebab, sejak awal pejabat tinggi negara

diposisikan bukan sebagai aparat biasa. Mudah-mudahan para “penyelam” berkenan

melakukan penyelaman ulang yang lebih dalam, sehingga dalam penataannya lebih

tepat --lihat lampiran 2.

Di manapun, dari bangsa apapun, natar militer akan memiliki ciri khas yang

sama. Siap! Natar sipil, jelas berbeda dengan natar militer, baik dalam kedisiplinan

maupun yang lain. Natar nelayan akan berlainan dengan natar petani. Natar pendidik

berbeda dengan natar perdagangan, dan sebagainya. Sunguhpun demikian, karena

pendidikan, pembiasaan, situasi yang mendukung, dan tekanan lain dari luar dirinya

maka kecenderungan sebuah natar akan berubah.

Namun, suatu ketika pada saat “terdesak” maka natar dasarnya akan muncul

kembali. Oleh sebab itu, agar tidak mengganggu natar asli suatu komunitas di dalam

mencari penghidupan, maka posisi natar harus dibagi secara proporsional. Dengan

demikian, semua manusia Indonesia berkesempatan sama. Sebagai contoh, natar alam

akan menjadi natar induk dari natar-natar yang mengandalkan sumber

penghidupannya dari alam, seperti : natar petani, natar peladang, natar perkebunan,

natar kehutanan, natar nelayan, natar peternak, natar penambang, dan sebagainya.

224

224

Page 225: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Oleh sebab itu, tidak ada halangan bagi natar petani untuk mengembangkan

usahanya sepanjang masih di dalam dunia tanah, sebab tanah masih masuk di dalam

lingkup alam dan menghasilkan hasil bumi. Dia boleh menjadi petani dengan sepetak

tanaman sayuran sampai dengan menjadi petani dengan sawah sekian hektar (sesuai

batas maksimal). Tidak ada halangan bagi peternak unggas menjadi peternak lembu,

atau mungkin menjadi peternak gajah. Begitu pula dengan natar pedagang. Ia bisa

muncul, mulai dari pedagang sayur keliling dari rumah ke rumah, pemilik kios di

pasar, sampai dengan pemilik pasar swalayan semisal Hero, Atrium, Matahari, Alfa,

dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan natar sipil, ia bisa muncul dari tukang

sapu pada sebuah institusi negara sampai dengan presiden.

Pendeknya, selama berusaha di lahan kehidupan masing-masing, tidak ada

hambatan … asal jangan rangkap. Misalnya, sudah memposisikan diri sebagai natar

sipil hendaknya tidak nyelonong ke lahan perdagangan, begitu pula sebaliknya.

Semua itu hanya demi sebuah keteraturan sebuah sistem.

Mengapa hal semacam itu ditabukan? Sederhana saja, di sana sudah ada

penghuninya. Dengan demikian, berdasarkan konsep bilangan, setiap natar leluasa

untuk tumbuh dan bebas bergerak secara vertikal, bukan horisontal. Ini berarti ada

kebebasan untuk berkembang tanpa harus bersaing apalagi mematikan “tetangga”.

Bahasa Indonesia mengajarkan bahwa untuk masuk kandang kambing harus

mengembik, dan untuk masuk kandang harimau harus mengaum. Ajaran tersebut

sesungguhnya bukan untuk menggiring siswa menjadi “manusia bunglon” . Itu adalah

sebuah etika untuk menghormati tuan rumah. Itulah uniknya Indonesia, sebuah

negara multi etnik, multi ras, multi budaya, multi natar, dan multi-multi yang lain.

Perbedaan bukan merupakan petaka. Dus, di situlah letak menariknya!

Jika ajaran tersebut ditarik ke dalam konteks noto bangsa maka jika seseorang

dari natar tertentu untuk berusaha di lahan kehidupan natar lain harus mengikuti

aturan yang ada pada natar yang dituju. Masalahnya tidak sesederhana itu, sebab

belum ada perangkat pendukungnya. Oleh sebab itu, harus diciptakan sebuah aturan

yang jelas, lengkap, dan tidak saling merugikan.

225

225

Page 226: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Ibaratnya, tuan rumah tidak terganggu, dan si tamu merasa betah dan nyaman.

Sebagai alternatif, penulis menawarkan aturan main sebagai berikut :

Pertama, perolehan natar dengan pola waris.

o Berdasarkan garis keturunan dengan start awal proklamasi 17 Agustus 1945.

Dengan model seperti itu, maka secara otomatis natar seorang istri ikut suaminya.

Dari sini muncul pertanyaan, mengapa? sederhana, wanita yang sudah bersuami akan

mengikuti suaminya … sepanjang tidak diajak melakukan hal-hal yang dilarang oleh

ajaran agama mereka.

Oleh sebab itu, pada jalur lahan 1 (lahan di dalam birokrasi) sudah jelas.

Adapun di lahan 2 (lahan di luar birokrasi) natar seseorang belum jelas. Seiring

dengan perjalanan waktu, natar mereka akan muncul dengan bagaimana cara hidup

mereka.

Jika, mereka menghidupi keluarganya dengan mengandalkan lahan pertanian

maka akan masuk pada natar alam. Jika, mereka hidup sebagai penggali pasir maka

mereka memiliki natar alam. Jika, mereka mencari nafkah dari dunia seni, baik

sebagai penari, penyanyi, dalang, pelawak, dan sebagainya, maka mereka bernatar

seni budaya. Jika mereka mencari nafkah di pasar, baik sebagai penjaja sayuran,

penjual nasi, pedagang kain, dan sebagainya maka dengan sendirinya mengantongi

natar pedagang.

Dengan demikian, pada lahan 2 ada dua kemungkinan :

1. Andaikan, pada saat start transisi, si suami telah tiada dan si istri dapat

menunjukkan lahan kehidupannya –misalnya dengan KTP-- maka di situlah

natarnya. Jika tidak ada tanda bukti dan saat itu usianya belum mencapai 64

tahun maka kepada yang bersangkutan diberi kebebasan untuk memilih.

Dari sini muncul pertanyaan, mengapa usia 64 tahun? Pembaca yang

budiman, jika bilangan berbasis sepuluh maka usia berbasis umur. Bukankah,

pada (10)64 bilangan menjadi noto? Dengan demikian, apabila (10) kita ganti

dengan (umur) maka pada umur ke-64 yang bersangkutan sudah harus

226

226

Page 227: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

menjadi noto. Itulah, posisi puncak usia manusia …, sudah saatnya mundur

dari hiruk-pikuknya dunia. Itulah saat alih generasi, saat-saat terakhir bagi

seseorang untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi kehidupan lain yang

abadi. Kemudian, berapa batasan usia produktif? Ringkasnya, usia produktif

adalah ± 24 tahun sampai dengan 64 tahun.

2. Andaikan, pada saat start transisi, suami /istri dari F (baca : generasi pertama)

telah tiada dan si anak tidak dapat membuktikan natar ayahnya maka, jika

laki-laki, sepanjang si anak berusia produktif diberi kebebasan untuk memilih

salah satu natar yang ada di lahan 2, sedangkan –jika perempuan-- ia ikut

natar suaminya.

o Natar diturunkan lewat garis ayah. Dengan demikian, 1 orang anak akan

mendapat 1 natar dari orangtuanya, baik mereka yang berada di lahan 1 maupun

mereka yang berada di lahan 2;

o Pada saat peraturan jumlah anak belum ada, maka semua anak (F1) akan

memperoleh natar yang sama nilainya dengan natar yang diterima orangtuanya (F),

baik mereka yang berada di lahan 1, maupun yang di lahan 2. Gender tidak

dipermasalahkan;

o Pada F1, terjadi perkawinan. Sepasang suami istri, bisa jadi memiliki natar

yang sama dan bisa pula berbeda. Yang pasti, mereka telah memegang natar sendiri

sendiri sebagai warisan dari orangtuanya. Mereka memiliki keturunan (F2). Dengan

demikian :

1. Jika keturunan mereka tunggal, maka kedua natar orangtuanya menjadi

miliknya. Ia bebas memilih, pada lahan mana yang bersangkutan akan

melanjutkan. Jadi, satu natar dimanfaatkan untuk mencari nafkah. Sedangkan

satu natar yang lain, terserah dia --misalnya dijual, disewakan, dikontrakkan,

dan sebagainya.

227

227

Page 228: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

2. Jika keturunan mereka lebih dari satu –satu yang dimaksud adalah ketentuan

pemerintah, maka si anak diberi kebebasan untuk memilih garis ayah atau

garis ibu. Jika pemilih sebuah natar lebih dari seorang maka nilai nominal

natar dibagi secara adil, atau sesuai kesepakatan mereka. Artinya, menganut

pola waris fersi agama masing-masing atau fersi konvensional (dibagi rata) …

hanya saja, nilai nominalnya berkurang. Sedangkan natar yang “menganggur”,

terserah kepada mereka.

Dengan demikian, tiap anak tetap memegang sebuah natar. Pola ini akan

menggiring kepada kepemilikan yang sesungguhnya sebuah lahan kehidupan,

baik mereka yang berada di lahan 1 maupun di lahan 2.

Kedua, perolehan natar berdasarkan usaha sendiri.

Perlu diingat, pada lahan 1 kepemilikan lahan telah tertata dalam noto lahan

kehidupan. Dengan demikian, mereka yang dapat menembus lahan 1 dan memenuhi

syarat sebagai yang dimaksud berhak untuk mendapatkan sebuah natar. Satu hal yang

perlu diperhatikan, nilai nominal natar pada gelombang pertama harus lebih tinggi

daripada gelombang berikutnya. Mereka dapat berasal dari Kelompok I maupun

Kelompok II --(a). Pada lahan 2, sepengetahuan penulis, hanya terjadi pada pertanian

dengan terlaksananya transmigrasi umum. Oleh karena itu, mereka pun mengantongi

sebuah natar --(b).

Baik (a) maupun (b) dapat memperoleh natar dua kali karena usahanya –

maksudnya pada lahan kehidupan yang sama namun pada petak yang berbeda.

Pembatasan dua kali tersebut dimaksudkan untuk tidak menjadikan mereka sebagai

“perintis” terus menerus. Mereka cukup menjadi perintis dua kali. Rintisan pertama

terjadi karena mereka memanfaatkan peluang yang diberikan negara /pemerintah,

sedangkan rintisan kedua karena faktor lain yang harus terjadi di luar kehendaknya.

Dengan demikian, tidak ada yang dirugikan. Oleh sebab itu, paling tidak, F1

akan mengantongi sebuah natar dari orangtuanya. Sedangkan mereka yang mau

memanfaatkan peluang yang diberikan negara /pemerintah dengan berusaha sendiri

228

228

Page 229: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

maka dengan sendirinya dapat lebih dari satu. Dan, maksimal seorang F1 akan

memegang tiga macam natar. Sebuah berasal dari orangtuanya, dan dua buah atas

usaha sendiri. Yang bersangkutan tidak mungkin dapat menggunakan /mengerjakan

kesemuanya maka dua diantaranya harus dilepaskan dengan berbagai cara. Dan,

sebagai catatan, natar yang sejenis (satu lahan) dapat dikumpulkan menjadi satu.

Natar bukan berupa materi seperti halnya sawah, ladang, toko, pabrik, atau

berupa unit-unit produksi. Dalam konteks noto bangsa, natar adalah warna dasar

seseorang untuk hidup pada sebuah lahan kehidupan.

Dengan demikian, natar generasi pertama harus diwujudkan dalam sebuah

sertifikat natar yang diterbitkan oleh negara. Sejalan dengan hal itu, bagi mereka

yang berada di jalur birokrasi akan menjadi tugas instansi terkait. Sedangkan bagi

mereka yang berada di luar birokrasi akan menjadi tugas perangkat pemerintah

daerah. Yang jelas, masalah natar harus selesai dalam tempo tiga tahun. Di dalam

sertifikat natar harus jelas tercantum identitas diri dan nilai nominal.

Dalam hal ini, negara memberikan natar secara gratis kepada yang berhak

menerimanya --baik rakyat militer, rakyat sipil, maupun rakyat murni. Kelak, natar

juga hanya dapat dibeli dengan natar --tidak dengan uang!

Berdasarkan alternatif pertama dan kedua tersebut di atas, maka sertifikat

natar diberikan kepada :

1. Generasi pertama sebuah keluarga dengan garis lurus ke atas. Artinya,

natar diberikan kepada orangtua, selama orangtua masih ada. Mereka

adalah generasi pertama negara ini.

Jika orangtua sudah tiada, bagi Kelompok I dapat dibuktikan dengan

surat-surat keputusan orangtua yang mereka miliki atau bukti lain sebagai

pendukung bahwa yang bersangkutan benar-benar anak dari si fulan –

meskipun namanya tidak tercantum pada surat keputusan sebagai yang

dimaksud.

Bagi mereka yang berasal dari Kelompok II, maka sartifikat natar jatuh

kepada keturunannya sesuai kecenderungan mereka sendiri.

229

229

Page 230: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

2. Generasi pertama dari sebuah lembaga /institusi /transmigran di suatu

petak (lokasi).

Mereka yang berada di lahan 1 (jalur birokrasi), kelak berstatus sebagai

aparatur negara (sipil /militer), dan mereka yang berada di lahan 2 (jalur

rakyat murni) berstatus sebagai rakyat negara.

Ketiga, nilai nominal sertifikat natar harus jelas, misalnya sekian juta rupiah.

Kelak, pada saat sertifikat natar dipecah kepada ahli waris maka dengan

sendirinya natar pun pecah. Yang dimaksud pecah di sini bukanlah nilai nominalnya,

melainkan nilai “nilai natar”. Artinya, jika pada F1 bernilai “A” , pada F11 bernilai

“B”, dan pada F111 bernilai “C”. Adanya perbedaan nilai tersebut akan menunjukkan

senioritas pemegang natar. Kemudian juga harus ada penjelasan rinci, bahwa sekian

“C” akan senilai dengan sekian “B”, dan seterusnya.

Sebagai penjelasan , nilai nominal natar dibedakan menjadi tiga macam, yaitu

nilai “nilai natar”, nilai nominal natar, dan nilai sertifikat natar. Dengan demikian,

pada setiap sertifikat natar akan memuat tiga macam nilai yaitu nilai “nilai natar”,

nilai natar, dan nilai sertifikat natar. Perhatikan :

Nilai “nilai natar” merupakan bilangan yang menunjukkan posisi pemegang

natar. Perlu diingat bahwa dua macam rakyat telah jelas kedudukannya, rakyat

birokrasi berada di dalam (lahan 1) dan rakyat murni berada di luar (lahan 2). Tetapi,

di atas keduanya masih ada rakyat lain (natar x). Dengan demikian, ada tiga macam

rakyat. Jika dikelompokkan berdasarkan kuantitas, maka jumlah paling sedikit adalah

rakyat x, kemudian diikuti oleh rakyat birokrasi, dan terbanyak akan diisi oleh rakyat

murni.

Bilangan telah mengisyaratkan bahwa hanya ada tiga macam satuan bilangan

yang masih suci dan belum tercemar pengertiannya, yaitu satuan (100), puluhan (101),

dan ratusan (102). Dari situ dapat difahamkan bahwa rakyat x menempati satuan. Ini

menunjukkan bawa mereka menempati posisi pertama (I) karena jumlah mereka

230

230

Page 231: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

paling sedikit dan berada di atas dua rakyat yang lain /dua lahan. Posisi kedua (II)

ditempati oleh rakyat birokrasi, dan dengan sendirinya posisi ketiga (III) diisi oleh

rakyat murni.

Untuk selanjutnya, nilai “nilai natar” disebut Kelompok Natar . Dengan kata

lain :

I menunjukkan rakyat x

II menunjukkan rakyat birokrasi

III menunjukkan rakyat murni

Pengelompokan tersebut bukan berarti memandang rakyat x adalah warga

negara kelas satu, atau pandangan lain yang semacam itu, melainkan hanya untuk

memilah medan juang mereka.

Mengingat natar bersifat absolut, maka jika F adalah I, maka pada F1 juga I,

pada Fn pun I. Begitu pula, jika F adalah II maka pada F1 juga II, dan Fn pun II.

Demikian pula halnya, jika F adalah III, maka F1 juga III, dan Fn pun III. Dalam hal

ini, perlu diingat bahwa rakyat birokrasi telah berkembang, begitu pula halnya dengan

rakyat murni

Nilai nominal natar adalah bilangan yang menunjukkan nilai yang diperoleh

pemegang natar, baik karena usaha sendiri, diperoleh dari waris, maupu membelinya.

Nilai sertifikat natar adalah besaran yang menunjukkan penghargaan yang

diberikan oleh negara kepada seluruh rakyatnya secara adil. Itu berarti, penghargaan

terhadap I, II, dan III adalah sama. Namun, karena jumlah mereka berbeda maka akan

berbeda pula besar kuantitas yang mereka terima. Berapa?

Perlu diingat bahwa satuan bilangan tertinggi sebelum dominasi barat adalah

juta (106) atau (10)6. Dengan demikian, penghargaan terhadap I, II, dan III adalah Rp

1000000 --satu dengan enam buah nol. Ini berarti,

1. Nilai sertifikat natar untuk rakyat x adalah :

(10)2 x 1 000 000 = n

100 x 1 000 000 = n

231

231

Page 232: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

100 000000 = n

Jadi nilai sertifikat natar rakyat x adalah Rp 1 0000 0000,00

2. Nilai sertifikat natar untuk rakyat birokrasi adalah :

(10)1 x 1 000 000 = n

10 x 1 000 000 = n

10 000 000 = n

Jadi nilai sertifikat natar rakyat birokrsi yaitu Rp 1000 0000,00

3. Nilai sertifikat natar untuk rakyat murni adalah :

(10)0 x 1 000 000 = n

1 x 1 000 000 = n

1 000 000 = n

Jadi nilai sertifikat natar rakyat murni adalah Rp 100 0000,00

Sepanjang pemegang sertifikat natar tidak melanggar peraturan pemerintah

tentang jumlah anak maksimal yang dimiliki maka nilai nominal sertifikat natar

bersifat absolut. Ini berarti, jika F bernilai x rupiah, maka pada F1 pun bernilai x

rupiah. Tetapi, jika mereka melanggar maka nilai nominal sertifikat natar pun akan

berkurang.

Perhatikan :

Nilai sertifikat natar pada F adalah x

Jumlah anak maksimal adalah 2 orang

F mempunyai 5 orang anak, maka pada F1 nilai sertifikat natar adalah : 2x :

5 = 0,4 x

Dalam hal ini, ada yang perlu dicermati bahwa :

Peraturan dua orang anak sebagai contoh di atas hanya mengikat rakyat x

dan rakyat birokrasi. Rakyat x dikenai peraturan tersebut karena mereka

sendiri yang membuatnya. Dengan kata lain, peraturan tidak hanya

232

232

Page 233: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

mengikat yang diatur, tetapi juga mengikat si pengatur (pembuat aturan)

sendiri. Sementara rakyat birokrasi terikat dengan peraturan tersebut

karena lahan hidup mereka di lahan 1.

Dalam perkembangan selanjutnya negara (melalui pemerintah) membuka

“lahan” baru baik di lahan 1 maupun di lahan 2 oleh karena itu, besaran

nilai nominal serifikat natarpun berbeda. Selengkapnya, lihat lampiran 4.

.

Dari sini muncul pertanyaan, apa fungsi sertifikat natar? Sertifikat natar akan

sangat bermanfaat bagi negara, bermanfaat bagi rakyat secara keseluruhan, dan akan

bermanfaat dalam pemerataan “kue kemerdekaan”. Dalam hal ini, merata bukan

berarti harus sama besar, juga bukan berarti harus tidak sama besar. Merata bersifat

relatif, pada kondisi tertentu semua mendapatkan dan pada kondisi tertentu pula tidak

semua yang mendapatkan. Semua mendapat bagian sesuai amal baktinya.

Bagi negara, sertifikat natar dapat dipandang sebagai balas budi negara

kepada seluruh rakyat yang telah memerdekakan dan “memerdekakan” -nya. Mereka

yang bekerja satu mendapat satu, mereka yang bekerja dua mendapat dua, sedangkan

mereka yang hanya sebagai penonton di tepi lapangan …. Itulah “rampasan perang”

yang dibagi oleh noto bangsa kepada rakyatnya. Meskipun terlambat!

Bagi rakyat, sertifikat natar akan menuntun generasi berikut kepada lahan

kehidupan yang dibangun oleh orangtua /leluhurnya. Urusan, mereka tidak mau

melanjutkan jalan yang dirintis oleh pendahulunya karena telah memiliki pilihan

sendiri, itu masalah mereka sendiri.

Yang jelas, barisan bagi generasi berikut sudah tertata lurus. Jalan yang

terbentang di hadapannya pun sudah lurus. Tinggal bagaimana mereka melangkah,

bersantai, atau berlari untuk sampai ke garis finis itu urusan mereka.

Perlu diingat bahwa rakyat murni yang hidup di jalur birokrasi dapat

dikelompokkan berdasarkan tempat “badan” atau lembaga tinggi negara yang

menaunginya. Mereka dapat berada pada lingkup eksekutif, pendidikan, militer, dan

233

233

Page 234: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

sebagainya. Dengan kata lain, pada dasarnya, mereka berada dalam dua buah

kelompok besar, yaitu Korp Militer dan Korp Sipil. Sementara, Korp Sipil sendiri

terdiri dari sepuluh macam. Dan, saat 11 macam “tokoh” mereka tergabung dalam

sebuah wadah maka di situlah kamar pertama dari parlemen. Untuk selanjutnya

wadah tersebut disebut Parlemen Birokrat.

88 macam natar yang merupakan pecahan dari 8 macam natar induk berada di

jalur parlemen murni. Oleh sebab itu, setiap natar induk digiring untuk berani

mendirikan “pemerintah” sendiri. Untuk membedakan antara “pemerintah” di bawah

payung birokrasi dengan “pemerintah” di bawah payung parlemen murni, maka untuk

selanjutnya “pemerintah” di bawah perlemen murni disebut pamong. Oleh sebab itu

akan ada 8 buah pamong di dalam jalur parlemen –untuk selanjutnya disebut

Parlemen Pamong. Setiap pamong menjadi lahan kehidupan bagi 11 macam natar.

Jadi, baik buruknya, maju tidaknya, sejahtera tidaknya setiap natar rakyat murni

menjadi tanggung jawab pamong masing-masing bukan menjadi tanggung jawab

pemerintah.

Dengan demikian, jika pada saat start proklamasi hanya rakyat sipil dan

rakyat militer yang berada di dalam struktur birokrasi, maka pada start pasca transisi

rakyat murni juga berada di dalam struktur pamong --awas, yang dimaksud di dalam

adalah di dalam pemerintahan mereka sendiri. Begitu pula halnya, jika pasca

proklamasi rakyat militer dianggap duri (?) saat berada di dalam parlemen murni oleh

sebagian komponen maka, kelak, dengan kepala tegak, militer akan keluar dari kamar

parlemen murni untuk masuk ke kamar parlemen birokrasi.

Pada tingkat nasional, jika parlemen birokrat dan parlemen pamong

berkumpul dalam satu wadah maka di situlah posisi Dewan Perwakilan Rakyat

Indonesia (DPRI) dan beranggotakan 1 000 orang (masing-masing natar 10 orang

wakilnya). Sedangkan pada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)

beranggotakan 100 orang (10 % dari DPRI).

Dari situ dapat dipahamkan bahwa, rakyat sipil dan rakyat militer yang berada

di dalam pemerintah membentuk parlemen birokrasi, sedangkan rakyat murni yang

234

234

Page 235: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

berada di dalam perlemen membentuk pamong. Sekalipun yang dimaksud antara

pemerintah dan pamong adalah sama, namun karena asal-usulnya berbeda maka

pucuk pimpinan pamong disebut Ketua, bukan kepala.

Pembaca yang budiman, dengan menggunakan natar manusia Indonesia, suara

seluruh rakyat –murni-- sudah dapat masuk ke parlemen. Seratus macam suara

mereka! Lantas apa manfaat politik “praktis”? Berdasarkan konsep bilangan, politik

“praktis” tidak diperlukan. Eranya sudah berlalu, kita sudah MERDEKA.

Sudah saatnya rakyat murni, rakyat sipil, dan rakyat militer melangkah maju

bersama, bukan beroposisi (dalam arti negatif) satu dengan yang lain, bukan pula

tukang stempel. Di situlah saat untuk membuktikan kepedulian dan keprofesionalan

para wakil rakyat –masing-masing.

Bahwa pemilihan umum masih diperlukan, itu benar, namun bukan pemilu

seperti yang seperti selama ini. Kelak, harimau bersaing dengan harimau, ayam

bersaing dengan ayam, mahoni bersaing dengan mahoni, ikan bersaing dengan ikan.

Itulah persaingan murni! Siapa yang terbaik di antara mereka silakan tampil sebagai

pemimpin, orang nomor satu pada natar masing-masing. Sudah barang pasti untuk

mewujudkannya dibutuhkan perangkat hukum, infrastuktur, SDM, dan faktor

pendukung yang lain. Semua itu adalah kerja besar, berat, dan nyaris melibatkan

semua orang. Nah, di situlah perlunya masa transisi 9 tahun. Demi masa yang masih

panjang untuk generasi berikut.

Apakah ini berarti pendidikan akan mandek selama itu? Tidak, pendidikan

terus berjalan dengan pola lama, hanya saja, pada tahun ke sepuluh, murid Kelas I

Sekolah Dasar akan mulai membuka lembaran baru, merekalah anak-anak yang

merdeka. Merdeka dalam arti sesungguhnya. Jadi, perubahan tidak dilakukan secara

drastis, satu-demi satu. Tahun kesebelas Kelas I dan Kelas II. Tahun kedua belas

Kelas I, Kelas II, dan Kelas III, dan begitu seterusnya. Dengan demikian, guru dan

murid akan maju bersama, hukum yang akan ditegakkan oleh subyek hukum kepada

obyek hukum dapat seiring, dan sebagainya. Yang jelas, tidak ada generasi tumbal.

235

235

Page 236: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Pola ini akan menggiring keseimbangan antara pemerintah yang di atas

dengan rakyat yang di bawah. Jika selama masa republik, rakyat hanya berposisi

/diposisikan sebagai obyek (?) pembangunan maka kelak secara keseluruhan mereka

juga akan sebagai subyek pembangunan itu sendiri. Sebaliknya, jika selama masa

republik pemerintah hanya berposisi sebagai tukang perintah atau subyek perintah

namun kelak menjadi pula tukang melaksanakan keinginan atau obyek perintah.

Dengan demikian, kecemburuan sebagian rakyat murni terhadap birokrat terobati.

Oleh karena itu, seluruh tetek bengek “lahan” yang tidak ada kaitan langsung

dengan pemerintah seyogyanya diserahkan kepada pamong yang berhak

mengelolanya. Misalnya, sawah, ladang, hutan, dan segala yang berkaitan dengan

alam deserahkan kepada Pamong Alam. Pengelolaan pasar, pabean, sampai ekspor-

impor diserah terimakan kepada Pamong perdagangan. Masalah jalan raya, jembatan,

SIM, dan sebagainya kepada Pamong Transportasi.

Keempat, sumber dana.

Pembaca yang budiman, untuk mewujudkan itu semua tentunya dibutuhkan

dana yang bukan main besarnya. Sudah bukan masanya membangun dengan dana

pinjaman. Bagaimanapun, kebiasaan berhutang harus ditinggalkan. Oleh karena itu,

semua pemilik natar mengumpulkan sertifikat natar kepada pemerintah /pamong

masing-masing untuk dijadikan jaminan pinjaman kepada Bank Indonesia.

Dengan demikian, jika yang bersangkutan bekerja pada lingkup natar induk

yang sesuai dengan natar miliknya maka dipandang bekerja pada lahan sendiri. Jika

mereka Muslim, tidak dikenai pajak melainkan dikenai zakat sesuai nisob /ketentuan.

Sebaliknya jika bekerja diluar natar induknya maka dipandang sebagai

pekerja. Pekerja yang berada di lingkungan sipil dengan status tertinggi pegawai

negeri sipil, pekerja yang bekerja di lingkungan militer dengan status tertinggi

sebagai pegawai negeri militer, pekerja yang bekerja di lingkungan pamong dengan

status tertinggi pekerja negeri rakyat. Kepada kelompok inilah “pajak” berganda

dikenakan. Pajak –jika Muslim zakat-- pertama akan menjadi pemasukan bagi negara,

236

236

Page 237: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

sementara “pajak” kedua (dapat dipandang sebagai sewa lahan kehidupan) akan

menjadi pemasukan bersih pemerintah /pamong.

Secara keseluruhan, di satu sisi pola ini akan mendorong seseorang untuk

menekuni lahan kehidupan masing-masing. Dengan kata lain, silakan menjadi “besar”

di rumah sendiri. Di sisi lain menghindari terjadinya monopoli lahan kehidupan. Oleh

sebab itu, pemilik modal –baik dalam arti sesungguhnya maupun dalam arti lain--

akan berpikir dua atau tiga kali sebelum melibas lahan kehidupan “tetangga”.

Menurut penulis, dengan pola ini akan tercapai “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia, sehingga jurang antara si kaya dengan si miskin tidak kian melebar /dalam,

serta akan terhindar terjadinya keserakahan kolektif.

Kelima, pemerintah dan pamong mempunyai kewajiban memberi biaya hidup

“rakyat”-nya.

Kewajiban ini dimaksudkan untuk pemerataan pendapatan. Mungkin pembaca

bertanya, dari mana dananya? Pembaca tentunya masih ingat bahwa sertifikat natar

dijadikan barang jaminan yang dalam pengelolannya dilakukan oleh pemerintah jika

mereka adalah rakyat sipil /militer dan oleh pamong masing-masing jika mereka

berasal dari rakyat murni, serta di samping itu adanya pajak-pajak yang dikenakan

terhadap para pekerja (lihat butir keempat). Jadi, dana tersebut berasal dari “jasa”

sertifikat natar dan pemasukan bersih –misal, dari sewa-- yang lain.

Pendapatan-pendapatan itulah yang dipergunakan oleh pemerintah /pamong

untuk menghidupi “rakyat” mereka. Untuk selanjutnya, pada aparatur negara biaya

hidup tersebut disebut pokok gaji dan pada rakyat negara disebut gaji rakyat. Dengan

demikian, rakyat sipil yang berposisi sebagai aparatur negara sipil dan rakyat militer

yang berposisi sebagai aparatur negara militer mendapatkan pokok gaji. Begitu pula

halnya dengan rakyat murni, mereka akan mendapatkan gaji rakyat –lihat lampiran 4.

Sekalipun pada dasarnya yang dimaksud pokok gaji dengan gaji rakyat adalah

sama, namun agar tidak rancu maka istilah yang dipergunakan berbeda. Dengan

demikian akan terjadi sirkulasi pendapatan nasional secara merata.

237

237

Page 238: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Nah, dengan noto bangsa maka rakyat sipil, rakyat militer, dan rakyat murni

sebagai sesama pemilik lahan kehidupan (lihat 2.1) diposisi manapun juga akan

aman, sehingga sekalipun terlempar keluar dari sistem yang mereka bangun sendiri,

andil mereka terhadap negara masih memiliki nilai –bukan sekedar nilai “sejarah”,

dan nilai itu masih dapat diuangkan sebagai biaya hidupnya /keturunannya. Bukankah

“saat terlempar” itu hanya masalah waktu?

Oleh karena itu, pemerintah /pamong masing mempunyai kewajiban

menyalurkan tenaga “rakyat” –sesuai keahlian-- masing-masing. Disitulah

pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat /negaranya.

Pembaca yang budiman, dari penggambaran noto bangsa yang dalam

perjalanannya bertemu dengan beberapa noto yang lain, akhirnya dapat diketahui

bahwa, ternyata merombak sistem bilangan akan mempengaruhi sistem yang lain.

Perhatikan :

1. Parlemen rendah (DPRI) berisi 1000 orang anggota, dengan rincian :

110 orang dari parlemen birokrat --11 natar rakyat murni yang ada pada jalur

birokrasi @ 10 orang

880 orang dari parlemen pamong --88 natar rakyat murni yang ada pada jalur

pamong @ 10 orang

10 orang dari natar rakyat murni x

2. Parlemen tinggi (DPR RI) berisi 100 orang anggota, dengan rincian :

11 orang dari unsur parlemen birokrat --11 natar rakyat murni yang ada

pada jalur birokrasi @ 1 orang

88 orang dari unsur parlemen pamong --88 natar rakyat murni yang ada

pada jalur pamong @ 1 orang

1 orang dari natar rakyat murni x

Sejalan dengan hal itu, agar terjadi perimbangan kekuatan di dalam lembaga

tinggi negara, karena setiap lembaga tinggi negara akan beranggotakan 100 orang.

Dengan demikian, semua lembaga tinggi negara adalah sebuah badan dan pada badan

tersebut semua unsur penopang –dari yang terendah sampai tertinggi harus terlihat.

238

238

Page 239: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Atau dengan kata lain, pada tataran lembaga tinggi negara akan muncul sebuah suara

dari elemen “peri kehidupan”.

Oleh sebab itu, jika masalah ini ditarik ke dalam konteks noto negara, maka

pada MPR akan ada 1000 orang anggota, 100 orang utusan dari 10 bagian Indonesia14

– tiap bagian Indonsia mengirimkan 10 orang utusannya, 10 orang ketua fraksi

(mereka adalah pucuk pimpinan lembaga tinggi negara), dan 1 orang pucuk pimpinan

MPR.

Pada majelis tertinggi itulah posisi Kepala Negara. Hanya saja, seyogyanya

tidak digunakan istilah kepala ataupun ketua. Sebab, kepala adalah sebutan untuk

pucuk pimpinan di bawah payung birokrat sipil sedangkan ketua untuk sebutan pucuk

pimpinan di bawah payung parlemen. Jadi? Bertanyalah kepada bahasa Indonesia,

“ia” telah merdeka! Begitu pula halnya dengan sebutan para pucuk pimpinan majelis

(kepala daerah) yang ada pada setiap wilayah teritorial, seyogyanya juga tidak

menggunakan sebutan kepala atau ketua. Turunan untuk itu sudah disediakan oleh

bahasa Indonesia.

Pada posisi Kepala Negara dan Kepala Daerah itulah baru terdapat kebenaran

pemilihan langsung oleh rakyat secara keseluruhan (baca : rakyat militer, rakyat sipil,

dan rakyat murni). Dengan demikian, isu pemilihan presiden secara langsung yang

digulirkan akhir-akhir ini, berdasarkan konsep bilangan tidaklah tepat. Presiden

“hanyalah” kepala pemerintahan, bukan kepala negara. Dengan kata lain, justru

“Ketua” MPR –lah yang harus dipilih secara langsung.

14 Tiap bagian Indonesia mengirimkan 10 orang wakilnya dari unsur-unsur yang belum terwakili,

misalnya dari unsur natar rakyat murni x yang belum terwakili

3. 15 Langkah-langkah Strategis

239

239

Page 240: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Untuk dapat melaksanakan /mewujudkan kebijakan serta menelorkan badan-

badan sebagai yang dimaksud di atas, tidak ada cara lain selain menarik terlebih

dahulu semua institusi yang dimaksud terlebih dahulu dari naungan payung

pemerintah /lain, dan kewenangan itu hanya berada di tangan majelis tertinggi

(MPR). Oleh sebab itu, dukungan lahir-batin dari seluruh rakyat Indonesia sangat

diperlukan.

Bahwa ada pihak-pihak yang merasa dirugikan karena posisinya telanjur kuat

di lahan orang, itu sudah pasti. Itu wajar dan manusiawi. Jangankan tidak tahu,

berhutangpun terasa berat saat membayar. Benar, bukan?

Maka dari itu, selama masa transisi, posisi negara mundur ke suasana

proklamasi, atau tepatnya pagi 18 Agustus 1945. Dengan demikian kendali negara

ada pada MPR. Selama masa transisi, MPR --yang memposisikan diri sebagai PPKI

II dan menerapkan langkah-langkah sebagai berikut :

Pertama, MPR menetapkan kapan start awal masa transisi dan kapan

berakhirnya --seyogyanya diawali 18 Agustus tahun x dan diakhiri 17 Agustus tahun

x + 9. Dengan adanya masa transisi sembilan tahun tersebut, diharapkan semua hasil

kerjanya --yang bersifat mendasar-- nanti akan tidak bersifat sementara, dengan kata

lain hasilnya sudah baku. Di samping itu, MPR tidak dikejar-kejar “waktu”.

Jika penulis tidak salah dalam menghitung, maka pada penghujung tahun

2014 adalah saat terakhir generasi pertama turun dari hiruk-pikuknya percaturan

dunia. Oleh karena itu, selepas dari tahun itu, sekalipun masih bermanfaat, tulisan

ini akan kurang mengena pada sasaran sebab ada butir yang dimatikan. Dan, butir

yang dimatikan tersebut menyangkut aspek keadilan sosial.

Kedua, MPR menetapkan berlakunya sistem bilangan di masa transisi.

240

240

Page 241: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Ketiga, MPR menelorkan lima buah badan /lembaga tinggi negara baru

yang akan dipersiapkan sebagai penopang negara ini untuk mendampingi lima

lembaga tinggi negara yang sudah ada. Kelima badan tersebut adalah:

a. Badan Pendidikan Nasional Indonesia (BPNI);

b. Dewan Agama Indonesia (DAI);

c. Badan Keuangan Republik Indonesia (BKRI);

d. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);

e. Badan Pertahanan dan Keamanan Nasional (BPKN);

Keempat, pada tahun terakhir masa transisi, MPR menetapkan berlakunya

Piagam Jakarta. Namun harus diingat, semua masih harus belajar. Dan, wajib belajar

tersebut adalah 9 tahun. Dengan demikian, Syariat Islam dilaksanakan setahap demi

setahap dan baru dapat ditegakkan dengan sempurna pada tahun ke sepuluh pasca

transisi.

Selama masa transisi, posisi lembaga-lembaga tinggi negara serta seluruh

perangkat pendukung --sekali lagi-- dalam suasana domisioner. Dengan kata lain,

selama sembilan tahun itu negara ini jalan di tempat. Jalan di tempat dalam arti tidak

melanjutkan perjalanan ke arah yang salah karena banyak menimbulkan korban dan

ketidakadilan di sana sini, namun membelokkan arah tujuan bernegara sembilan

puluh derajat dari arah semula.

Dengan demikian, “melanjutkan” hubungan dengan luar negeri seperti biasa,

semua perangkat negara tetap bekerja seperti biasa, melanjutkan program-program

yang telah direncanakan sebelumnya, dan di atas itu semua adalah segera

mempersiapkan diri untuk dapat merealisasikan setiap butir keputusan MPR

sehingga pada saat berakhirnya masa transisi semua sudah siap.

Di atas sudah ada disinggung bahwa masa transisi yang lamanya sembilan

tahun itu dipilah menjadi tiga bagian, yaitu :

1. Tiga tahun pertama akan dipergunakan oleh MPR untuk mengolah konsep

ini sampai dengan menghasilkan ketetapan. Setiap sebuah ketetapan

241

241

Page 242: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

dihasilkan, maka institusi yang dimaksud harus segera dilepaskan dari

payung eksekutif dan segera mengadakan penataan ke dalam. Selain itu,

semua pakar menyatukan visi ke-Indonesiaan-nya agar jiwa bangsa dan

negara ini benar-benar dapat terlepas dari cengkeraman kolonial sehingga

anak-cucu /generasi penerus bangsa ini dapat tampil sebagai pemenang

dalam perang peradaban. Dengan demikian, mereka yang memiliki dasar

dari segala jurusan ilmu berkepentingan untuk merumuskan konsep ilmu

murni Indonesia (sebagai ilmu dasar) tersebut dengan lokakarya, penataan

wilayah, pemetaan natar, dan sebagainya.

2. Tiga tahun kedua dipergunakan untuk sosialisasi. Dalam hal ini, diisi

dengan penataran --bukan indoktrinasi, pelatihan, dan pendidikan.

3. Tiga tahun ketiga dipergunakan untuk magang, dan dilanjutkan dengan

menunjukkan habitat masing-masing. Dalam hal ini, mereka diberi

kebebasan untuk memilih, melanjutkan pengembaraan di habitat (lahan

kehidupan) orang lain atau kembali ke habitat (lahan kehidupan) sendiri.

Dengan berakhirnya masa transisi, Indonesia memasuki babak baru dalam

berbangsa dan bernegara. Ini berarti semua aturan lama yang merugikan sebagian

komponen bangsa dan hanya menguntungkan sebagian komponen lain bangsa ini

telah dihilangkan /diluruskan. Selain itu, Pancasila (pancasila merah) dan Piagam

Jakarta (pancasila putih) telah terbang beriringan melanglang buana Indonesia. Saat

itulah, hukum memiliki nurani dan akan tegak di atas semua orang, tanpa pandang

bulu. Siapapun dia, apapun jabatannya, dari manapun asal-usulnya, jika salah akan

tetap salah dan akan mendapatkan ganjaran yang sesuai.

Kelak, sesudah masa transisi berlalu, wajah Indonesia akan sangat berbeda

dengan saat ini. Pada saat itu andaikan Indonesia itu sebuah keluarga besar, maka

mereka tidak lagi menempati sebuah rumah besar dengan beberapa buah kamar,

242

242

Page 243: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

karena semua anak-anaknya telah beranjak dewasa. Mereka sudah memiliki rumah

sendiri-sendiri. Pada saat itu “Fondasi yang dapat ditembus rayap telah dilapisi beton

anti rayap dan karat. Genting-genting ditata untuk menempati atap bangunan, tidak

berserakan. Genting yang masih utuh diletakkan di atas. Tiang-tiang penyangga

diletakkan pada tempatnya. Rumah besar untuk keluarga besar, rumah kecil untuk

keluarga kecil. Kamar ukuran besar untuk anak yang dewasa, kamar ukuran kecil

untuk anak yang kecil. Baju besar untuk kakak yang besar, baju kecil untuk adik

yang masih kecil. Tanaman sudah terpagar sesuai dengan kelayakannya, pagar kebun

berbeda dengan pagar halaman. Pagar taman berbeda pula dengan pagar kandang.

Ikan-ikan kembali ke air, capung dan belalang kembali ke padang, harimau-harimau

pun kembali ke hutan.

Pendidikan tidak lagi mengajari ikan untuk berlari, namun mengajar ikan

untuk dapat berenang lebih cepat. Tidak mengajari kambing berenang namun

mengajari kambing untuk menghadapi serigala. Tidak juga mengajari durian berbiji

pasilan, semua digiring kembali ke habitat masing-masing, dan sebagainya. Saat

itu, start awal sebuah persaingan murni. Saat itu start awal sebuah keadilan!

Dari semua uraian di atas akhirnya dapat diketahui bahwa sumber petaka yang

benama krisis multi dimensi yang menerpa bangsa ini ternyata mempunyai sebab

yang berbeda dan saling berkaitan. Semua penyebab tersebut berawal dari dalam

dunia pendidikan. Jadi, menurut penulis, penyelesaiannya pun tergantung pada

dunia pendidikan itu sendiri. Masalahnya, beranikah dunia pendidikan

“merombak” dirinya sendiri dengan mengadakan otokritik yang berdasarkan

kebeningan hati dan mengedepankan kejujuran intelektual? Kiranya, hanya

waktu yang akan dapat menjawabnya.

Wallahualam.

243

243

Page 244: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Bilangan adalah sebuah sistem yang jika penataannya benar maka akan

dapat menata sistem lain dengan benar pula, sebaliknya jika sistem

bilangan itu sendiri kacau /curang maka tak ayal lagi, akan kacau pula

sistem yang lain.

Sistem bilangan Indonesia dengan bilangan desimal dengan memandang

seratus sebagai basis akan dapat mengatasi banyak masalah (krisis

multidimensi) sepanjang tidak dikotori oleh tangan-tangan tamak dan

culas;

2. Dengan memandang Proklamasi, 17 Agustus 1945 sebagai start awal

pembagian lahan kehidupan maka ada dua lahan kehidupan yaitu : lahan 1

terdapat di jalur birokrasi dan lahan 2 terdapat di jalur rakyat.

Keduanya lahan tersebut memiliki rakyat tersendiri. Saat itu, demokrasi

telah mereka tegakkan, siapa di dalam (lahan 1) dan siapa di luar (di

dalam lahan 2) telah mereka pilih sendiri.

Dengan demikian, memandang lahan 1 sebagai daerah tak bertuan /milik

bersama adalah sebuah kesalahan. Kesalahan cara pandang itulah di satu

sisi sebagai penyebab timbulnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)

dan di sisi lain sebagai pemicu lahirnya pengangguran;

3. Penerapan sistem bilangan yang sama dengan negara asing namun tidak

sama dalam menilai harga uang tertinggi (Indonesia : Rupiah) merupakan

244

244

Page 245: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

penyebab krisis ekonomi. Dengan demikian, jika nilai uang tidak sama

maka sistem bilangan yang digunakan juga seharusnya tidak sama.

Penguasa uang (Badan Keuangan Republik Indonesia) harus independen.

Badan tersebut langsung bertanggungjawab kepada majelis tertinggi. Di

bawah badan ini, Departemen Keuangan dan Bank Indonesia bernaung

dan mempertanggungjawabkan hasil kerjanya.

Uang adalah satu di antara beberapa pilar penopang kehormatan negara.

Oleh karena itu, harus ada dua lapis mata uang di bawah rupiah –maaf,

sebagai pakaian dalam rupiah. Di situlah letak perlunya dilakukan

senering yang benar;

4. Pendidikan harus merupakan satu wadah atau sebuah piramida besar

dengan sebuah puncak yang ditopang oleh sepuluh piramida yang lebih

kecil, dan begitu seterusnya. Semua terpola satu - sepuluh. Pendidikan

harus berada di bawah sipil pendidikan, bukan sipil eksekutif. Oleh karena

itu dimunculkan Badan Pendidikan Nasional Indonesia (BPNI).

Di bawah badan ini satuan organik pendidikan, Lembaga Pendidikan

Nasional, dan Departemen Pendidikan Nasional bernaung. Satuan organik

pendidikan ada sepuluh macam dan itu merupakan sebuah kesatuan,

diwali dari Sekolah Dasar dan diakhiri pada Pendidikan Tinggi Strata 3.

Lembaga Pendidikan Nasional dipimpin oleh Gubernur Pendidikan

Nasional akan menangani masalah non teknis /non edukatif pendidikan,

misalnya : Dinas Kesejahteraan Guru, Dinas Kesehatan Guru, Dinas

Bantuan Hukum Tenaga Pendidikan.

245

245

Page 246: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional yang dipimpin oleh Kepala

Departemen Pendidikan Nasional menangani masalah edukasi (baca :

pendidikan untuk natar pendidikan) dan pengawasan.

5. Sekalipun Indonesia bukan negara agama --karena ada banyak agama

yang dianut oleh rakyatnya, agama menempati posisi sentral. Agama

harus berdiri sendiri sebagai sebuah lembaga tinggi, Dewan Agama

Indonesia (DAI). Pada dewan agama itulah terkumpul majelis-majelis

tinggi umat beragama dengan komposisi yang berimbang.

DAI mempunyai hak menolak keputusan MPR jika dipandang keputusan

tersebut merugikan umat beragama.

Di bawah dewan ini, pemerintah pusat agama (baca : Masyumi)

bernaung. Departemen Agama Islam, Departemen Agama Nasrani,

Departemen Agama Hindu, Departemen Agama Buda, dan Departemen

Agama Khong Hu Cu berada di bawah pemerintah pusat agama.

Kedudukan departemen-departemen tersebut sebagai pemerintah daerah

agama;

6. Ilmu murni Indonesia harus digali sebab pada ilmu tersebutlah terletak

identitas sebagai bangsa dan sebagai negara. Ilmu murni tersebut,

misalnya : tarikh, bahasa, dan bilangan. Jika dikembangkan, ilmu murni

Indonesia akan semakin memperkokoh persatuan dan kesatuan.

Dari pentingnya ilmu --dasar, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(LIPI) yang sudah dibentuk pemerintah perlu ditingkatkan statusnya

sebagai lembaga tinggi negara dengan tujuan agar lebih bebas /leluasa

dalam melangkah;

246

246

Page 247: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

7. Penggunaan tarikh Masehi di Indonesia perlu dikritisi, baik dalam bidang

pendidikan maupun dalam “manfaat” --khususnya bagi mayoritas

penghuni negara-- memiliki kelemahan sebab menggunakan matahari

sebagai dasar perhitungannya. Untuk itu, Indonesia harus berani

melahirkan tarikhnya sendiri yang dengan itu, Tarikh Indonesia tidak

berkiblat kemanapun.

Tahun pertama dimulai dari Kutai di bumi Kalimantan. Bulan pertama

dimulai dari Lebaran –start budaya Indonesia. Hari pertama dimulai dari

Jumat --Ingat, saat proklamasi kemerdekaan juga hari Jumat. Tahun baru

Indonesia bertepatan dengan 2 Syawal, bukan 1 Syawal. Dengan

demikian 1 Lebaran = 2 Syawal. Pola ini akan membawa Indonesia

menjadi tuan di negara sendiri.

8. Keadilan yang hakiki baru akan terwujud di bumi Indonesia jika hutang

konstitusi kaum nasionalis sekuler terhadap nasionalis Islami terbayar.

Hutang penguasa kepada konstituante terbayar. Piutang pertama dan

kedua pada dasarnya sama, yaitu Piagam Jakarta.

Jika hutang tersebut dapat dilunasi, dengan sendirinya krisis

kepercayaan /hukum akan terselesaikan. Hukum akan dapat tegak di atas

semua rakyat, tidak pandang siapa mereka, baik pejabat maupun rakyat

jelata;

9. Hak dan kewajiban membela negara harus tegas batasannya. Bela negara

dilakukan oleh rakyat melalui sepuluh macam saluran, yaitu :

a. Pertahanan dan keamanan negara : Aparatur Negara Militer

b. Pertahanan dan keamanan sipil : Aparatur Negara Sipil

c. Pertahanan dan keamanan rakyat : Rakyat

d. Keamanan negara : Pegawai Negeri Militer (Korp TNI)

247

247

Page 248: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

e. Keamanan sipil : Tentara Tuhan

f. Keamanan rakyat : Keamanan Rakyat (Kamra)

g. Pertahanan negara : Polisi

h. Pertahanan sipil : Pegawai Negeri Sipil (Korp Sipil)

i. Pertahanan rakyat : Pekerja

j. Pertahanan dan kemanan rakyat semesta : Seluruh rakyat Indonesia

10. Bahasa Indonesia yang sudah merdeka sejak 28 0ktober 1928 sudah

saatnya memiliki pasangan hidup. Bahasa (linguistik) Indonesia harus

berpasangan dengan aksara Indonesia, bukan aksara manca yang

dimodifikasi. Ketidakberanian menciptakan aksara Indonesia sungguh

tidak beralasan.

Sejarah sudah membuktikan bahwa siapa yang menguasai bahasa akan

menguasai media massa /dunia tanpa harus mengangkat senjata. Embrio

sudah ada, aksara model sujali (Sunda-Jawa-Bali) atau model sutera susi

(Sumatera-Sulawesi). Keduanya memiliki akar budaya, hanya saja,

sebagai saran, seyogyanya digunakan model Sutera Susi dengan tekanan

pada Susi, sebab ranah Sulawesi belum terwakili dalam peradaban

Indonesia;

11. Dengan menggunakan pemetaan nusa, terlihat bahwa tidak sebuah titik

pun di Indonesia yang bernama “Indonesia”. Ternyata, Indonesia adalah

negara di atas, sebuah negara maya. Agar yang “maya” menjadi konkrit,

maka teritorial dibagi menjadi sepuluh dan satu di antaranya diberi nama

Indonesia, dan begitu seterusnya.

Idealnya, sebuah daerah teritorial akan mencakup sepuluh daerah

teritorial yang lebih kecil. Pada noto nusa akan terlihat satuan teritorial

248

248

Page 249: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

sesudah negara sebagai berikut : bagian, wilayah, provinsi, karesidenan,

kabupaten, kota, kawedanan, kecamatan, desa, dan kelurahan. Dengan

pola ini akan dapat ditemukan, di mana sebenarnya “akar pohon”

Indonesia. Di situlah letak perlunya pemekaran wilayah. Dengan kata

lain, pemekaran harus mengikuti pola.

Jika konsep ini ditarik ke noto pendidikan, maka pada setiap kelurahan

terdapat sebuah sekolah dasar. Pada setiap desa terdapat sebuah SLTP –

Ingat kelurahan berbeda dengan desa. Pada setiap kecamatan akan

terdapat sebuah SLTA, dan seterusnya.

12. Berdasarkan konsep bilangan, dapat ditemukan bahwa seharusnya, di

bawah lembaga tertinggi negara terdapat sepuluh buah lembaga tinggi

negara. Lima di antaranya telah lahir, yaitu : DPR, Presiden, BPK, MA,

dan DPA. Sedangkan yang lima belum lahir. Lima lembaga tinggi yang

belum ada tersebut akan menangani agama, ilmu, pendidikan, keuangan,

serta pertahanan dan keamanan.

Masalah agama akan diurus oleh Dewan Agama Indonesia (DAI),

masalah ilmu oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), masalah

pendidikan oleh Badan Pendidikan Nasional Indonesia (BPNI), masalah

keuangan oleh Badan Keuangan Republik Indonesia (BKRI), sedangkan

pertahanan dan keamanan akan diurus oleh Badan Pertahanan dan

Keamanan Nasional (BPKN).

13. Pemerintah adalah tempat bagi rakyat birokrasi, sedangkan pamong

adalah tempat bagi rakyat murni. Sekalipun yang dimaksud antara

pemerintah dan pamong itu sama, namun karena perbedaan asal-usul

maka digunakan istilah yang berbeda.

249

249

Page 250: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Ada enam macam pemerintah –yang berdiri setara. Sedangkan pamong

terdiri dari sepuluh macam. Dengan demikian, wadah rakyat untuk masuk

ke dalam struktur negara sudah ada. Dalam hal ini, pertumbuhan pamong

lebih cepat dari pertumbuhan pemerintah.

Pemerintahan /pamong ada sebelas tingkat, dan ini sesuai dengan daerah

teritorial yang ada. Pada tataran teritorial yang sama akan berdiri setara.

Di sinilah letak perlunya pertumbuhan birokrasi dalam rangka mencegah

pembusukan birokrat. Bagaimanapun, pembusukan birokrat sangat

merugikan negara, rakyat birokrasi, dan rakyat murni sendiri.

Mengingat pemerintah adalah timbangan dari rakyat --timbangan

pamong-- maka Kepala Pemerintahan berbeda dengan Kepala Negara.

Kepala Negara dijabat oleh Ketua MPR, sedangkan Kepala Daerah

dijabat oleh Ketua “MPR”;

14. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa.

Konsekuensi dari pengakuan tersebut mereka memeluk sebuah agama

sesuai dengan keyakinannya. Dengan demikian, rakyat Indonesia

tergolong manusia beriman.

Natar adalah warna dasar. Manusia Indonesia dapat dilacak natarnya

dengan melihat posisi yang bersangkutan pada start negara ini berdiri,

yaitu antara 17 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949, bisa

juga dilihat dengan menggunakan parameter tertentu.

Dengan diketemukannya natar seseorang, ketepatan posisi mereka dapat

dideteksi. Adanya mobilitas, pendidikan, maupun pengaruh lain sebagai

250

250

Page 251: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

faktor perpindahan jalur harus diatasi dengan cantik. Tanpa itu, mereka

yang kuat akan semakin kuat dan sebaliknya yang lemah akan kian

tersingkir. Jika semua itu dapat diatasi, maka saat itulah start sebuah

keadilan.

4.2 Saran

Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam rangka mengentaskan

bangsa dan negara tercinta ini dari terpaan krisis yang datang silih berganti. Dengan

demikian, kajian yang lebih mendalam dari para pakar /ahli sangat diharapkan. Demi

Indonesia tercinta

251

251

Page 252: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

KEPUSTAKAAN

Aghnides B.L, Nicolas P, M.A., Ph. D, Pengantar Ilmu Hukum Islam, AB Sitti

Sjamsijah, Solo, 1956

Alam Jalal, Dr, dkk, Dendam Barat dan Yahudi Terhadap Islam CV. Pustaka

Mantiq, Solo, 1996.

Amjas, Moch., Risalah Zakat ke mana bagiankoe …? berikan akoe lapar, Ponpes

Sirajul Anwar Pecoro Rambipuji, Jember,1420 H

Anshari, Endang Saifuddin, H, Sejarah Konsensus nasional Antara Nasionalis

Islami dan Nasionalis Sekular tentang Dasar Negara Republik Indonesia, Al

Muslimun, 179: 60, Bangil, 1985.

Al-Qordawi, Yusuf, Dr, Membumikan Syariat Islam, Dunia Ilmu, Surabaya, 1997.

Arifin, M, H, Drs, M.Ed, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan

Sekolah dan Keluarga, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.

Azis, Jum’ah Amin Abdul, Tsawabit dalam Manhaj Gerakan Ikhwan, Asy

Syaamil Press & Grafika, Bandung, 2002.

Darhim, Drs., dkk, Pendidikan Matematika 2, Buku III IA Modul 7, Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Peningkatan Mutu Guru SD

Setara D II, Jakarta, 1994.

252

252

Page 253: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Dhofir, Syarqawi, Hadiah Untuk Kebangkitan Islam, Al Muslimun,169: 78, 1984

Djono, I.A, dkk., Kumpulan Nyanyian, Jaya Baya, Surabaya, 1975

Hasan, Said Hamid, M.A., Ph.D, Pendidikan IPS 2, Buku IV 3A Modul 6,

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Penigkatan Mutu

Guru SD setara D II, Jakarta, 1994

Hawwa, Sa’id, Agar Kita Tidak Dilindas Zaman, Pustaka Mantiq, Solo, 1989

Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Ketahanan Nasional, PT Balai Pustaka

–Lemhanas, Jakarta, 1997

Maarif, Syafii. A, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Mizan, Bandung,

1994

Manager Gerald, Prestasi Tinggi Mulai di Sini, Lembaga Pendidikan Primagama,

2002

Purwanto, Ngalim, M, Drs. MP., Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, PT Rosda

Karya, bandung, 1997.

Rais, Amien. M. Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Mizan, Bandung, 1994

Ridwan, Nurkholis. M, Mengapa Menolak Syariat Islam?, Sabili, No. 01 Th. X :

3, Juli 2002

Ruseffendi E.T, S.Pd, M.Sc, Ph.D,Prof.,dkk (1993), Pendidikan Matematika 3, Buku

IV IA Modul 2, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Peningkatan

Mutu Guru SD setara D II dan Pendidikan Kependudukan, Jakarta.

253

253

Page 254: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Scott, Peter Dale. Prof, Konspirasi Soeharto-Cia Penggulingan Soeharto 1965-1967,

PMII Unair-Pekad, Surabaya, 1998

Setijawan, Pengaruh Devaluasi dengan Kepercayaan Masyarakat terhadap Uang –

Skripsi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas Jember,

Fakultas Hukum, 1987

Shabana, Whs, Kedengkian Barat terhadap Dunia Islam suatu Telaah Kasus, Al

Muslimun, 265 : 69, Bangil, 1412 H /1992 M

Soedijarto, H, Dr, Prof, Kemampuan Profesional Tenaga Kependidikan (Terutama

Guru) dan Implikasinya dalam Penyususnan Kurikulum Lembaga Pendidikan,

Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga, 1997

Sugiono, MA, Politik Luar Negeri Indonesia : Antara Keinginan Mandiri dan

Ketergantungan, Tarbawi, 39 Th. 4 : 50, 2002

Suparman, Drs, dkk., IPS Sejarah 2, Tiga Serangkai, Solo, 1995

Sya’Rawi, Mutawalli, M, Dr, Prof, Islam Di Antara Kapitalisme dan Komunisme,

Gema Insani Press, Jakarta, 1992

Uhin, Pendidikan Dasar 9 Tahun dalam Pembakuan Tipe Sekolah pada Satuan

Pendidikan Dasar Penyempurnaan Angka Kredit Kenaikan Pangkat Bagi

Guru, CV Kloang Klede, 1994

254

254

Page 255: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Wibowo, Andri, HR&GA Division Head PT Gentrans Interna Express, Tarbawi, 38

Th. 4 : 32, Juli 2002

Wardana, Datta, dkk., Ilmu Pengetahuan Sosial 3, Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1998

Yamani MCJ LL M, Ahmad Zaki, Syari’at Islam Yang Abadi, PT Al Ma’arif,

Bandung, 1980

Perundang-undangan /Peraturan :

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Apollo, Surabaya –

sebelum amandemen

2. Biro Hukum dan Humas, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1992

255

255

Page 256: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Lampiran : 1

Implementasi bilangan pada masa transisi

Contoh 1

Pada Tahun Anggaran 2001, cadangan devisa negara adalah Rp 1 triliun, ini

berarti cadangan devisa negara adalah Rp 1.0000.0000.0000.0000,00 bukan Rp.

1.000.000.000.000,00

Penjelasan : Adanya lompatan jumlah devisa negara dalam bentuk rupiah, membuat

pemerintah tidak memiliki alasan apapun untuk membuat hutang baru pada lembaga

keuangan manapun, tidak ada alasan untuk menaikkan BBM, tarif dasar listrik,

pajak, dan atau yang sejenis dengan itu. Dengan kekuatan 10.000 kali di atas Rp 1

triliun sebelumnya, maka akan mengundang “tikus” semakin menggila. Dengan

demikian, “kucing-kucing” harus dipersiapkan dengan sebaik mungkin. Mereka

inilah yang berkewajiban menggiring “tikus” –dari yang kelas comberan sampai

tikus putih kelas kantoran (?) kembali ke habitatnya. Pencatatan kekayaan para

penyelenggara negara menjadi sangat diperlukan.

.Contoh 2

Gaji seorang pegawai negeri sipil (PNS) pada bulan Januari 2001 adalah

satu juta rupiah (Rp 1.000.000,00). Maka, seharusnya gaji yang diterima adalah Rp

1.0000.0000,00. Bukan Rp 1.000.000,00 --satu dengan enam nol di belakangnya

belum mencapai satu juta.

Penjelasan : Perubahan penerimaan gaji PNS seperti contoh tersebut di atas bukan

merupakan kenaikan gaji, sebab uang yang mereka terima selama ini belum

sekualitas dengan yang seharusnya mereka terima. Sehingga, sebenarnya, tuntutan

agar aparat negeri ini memberikan pelayanan yang baik kepada rakyat merupakan

tuntutan yang semena-mena, sehingga –maaf-- ada di antara mereka yang “nakal”.

256

256

Page 257: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Baik nakal dalam arti sesungguhnya maupun nakal dalam arti –maaf- melacurkan

jabatan. Misal: PNS merangkap sebagai x. Pejabat merangkap sebagai y.

Dengan pekerjaan dan /jabatan yang disandangnya, ia memuluskan jalan

usahanya di satu sisi pun itu berarti merebut lahan hidup orang lain di sisi lain.

Padahal, antara bidang x dan bidang pekerjaan si PNS tidak ada hubungannya sama

sekali, kalaupun dipandang ada, itu pun terlihat sangat dipaksakan. Antara jabatan

dan bidang y si pejabat pun tidak ada relevansinya. Memang, tidak ada halangan bagi

siapapun untuk berusaha dalam upaya meningkatkan taraf hidupnya, sepanjang

dilakukan di luar jam dinas serta tidak memanfaatkan fasilitas dan /statusnya. Jadi,

kesalahan total bukan ada pada mereka. Kalau, ada di antara mereka yang nakal …

itu wajar, dan sangat wajar sekali. Tapi, percayalah. PNS yang baik –yang komitmen

terhadap tugasnya- -jauh lebih banyak daripada mereka yang nakal, begitu pula

dengan pejabat (?). Dengan bertambahnya pendapatan PNS –yang hanya satu di

antara sekian kran keluarnya uang negara-- maka pada gilirannya nanti akan

meningkatkan pula pendapatan rakyat. Bukankah PNS tidak mungkin menyimpan

uangnya ke luar negeri? Juga terlalu berlebihan, jika mencurigai mereka akan

membelanjakan rupiah ke manca negara. Mereka sudah dilatih untuk berpola hidup

sederhana, terlebih bagi golongan rendah.

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan :

Pertama, seorang PNS tidak mutlak menerima gaji sebesar terurai di atas

selama masa transisi. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan masa kerja yang

bersangkutan antara 27 Desember 1949 sampai dengan start masa transisi. Dengan

demikian ada masa pembetulan gaji. Ini berarti, semakin panjang masa kerja seorang

PNS maka akan semakin panjang pula jangka penerimaan, sebaliknya semakin

sedikit masa kerjanya akan semakin singkat pula penerimaannya. Dengan demikian

seandainya masa transisi dimulai 18 Agustus 2003 dan diakhiri 17 Agustus 2012 dan

itu (9 tahun) = 108 bulan, dan 27 Desember 1949 s.d. 18 Agustus 2003 = 62 tahun

08 bulan – lebih dari 14 hari dibulatkan menjadi 1 bulan = 752 bulan. Maka cara

257

257

Page 258: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

menghitung masa “pembetulan gaji” adalah = (masa kerja keseluruhan : 752) x 108

x 1 bulan.

Kedua, dengan berakhirnya masa pembetulan gaji, maka harus diadakan

rasionalisasi gaji. Rasionalisasi gaji sangat diperlukan sebab –bagi PNS sebagai

contoh di atas-- penerimaan gaji 100 kali lebih besar dari penerimaan tentunya akan

menimbulkan dampak psikhologi yang luar biasa, dari (10)0 satuan gaji menjadi

(10)2 satuan gaji atau secara sederhana dari pangkat nol menjadi pangkat dua. Ini

terlalu maju. Oleh karena itu harus dimundurkan, sehingga menjadi pangkat satu atau

(10). Dengan demikian, besar rasionalisasi gaji adalah 10 kali dari gaji yang

diterimanya.

Misalkan :

Anton, gaji Rp 1 000 000,00 (satu juta rupiah) dengan masa kerja keseluruhan

30 tahun 05 bulan = 365 bulan

Maka, masa pembetulan gaji = (365 : 752) x 108 x 1 bulan = 51 bulan.

Dari itu, Anton menerima pembetulan penerimaan gaji selama 51 bulan.

Itu berarti, gaji September 2003 sampai dengan 51 bulan berikutnya

(Desember 2008) tertulis Rp 1.000.000,00, namun yang diterima Anton

adalah Rp 1.0000.0000,00 Sesudah itu, gaji dirasionalisasikan sebagaimana

seharusnya. Dengan demikian, pada bulan Januari 2009 dalam daftar gaji

Anton menerima 10 x gaji atau 10 x Rp 1.000.000,00 sehingga tertulis Rp

1000.0000,00. –jadi, pada Januari 2009 Anton menerima sebesar Rp

1000.0000,00

Supali, pensiunan 1 Januari 1980 dan angkatan pertama negara ini. Gaji Rp

500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dengan demikian masa kerja yang

bersangkutan dari 27 Desember 1949 sampai dengan 1 Januari 1980 adalah

258

258

Page 259: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

30 tahun = 360 bulan. Maka , masa pembetulan gaji = (360 : 752 ) x 108 x 1

bulan = 51 bulan. Supali menerima pembetulan gaji dari September 2003

sampai dengan 51 bulan berikutnya (Desember 2008). Dengan demikian,

pada daftar gaji tertulis Rp 500.000,00 namun yang diterima adalah Rp

500.0000,00 Pada Januari 2009, gaji Supali pun dirasionalisasikan sehingga ia

menerima 10 x Rp 500.000,00 = Rp 500.0000,00 pada daftar gaji Supali

sudah tertulis Rp 500.0000,00

Armando, seorang hakim angkatan 1 April 1997 dengan gaji, misalnya : Rp

2.000.000,00. Dari itu masa kerja keseluruhan Armando adalah 06 tahun 04

bulan = 52 bulan Maka, masa pembetulan gaji = (52 : 752) x 108 x 1 bulan =

7,5 bulan -- dibulatkan menjadi 8 bulan. Armando menerima pembetulan gaji

selama 8 bulan, mulai September 2003 sampai dengan 8 bulan berikutnya

(April 2004). Dengan demikian, pada daftar gaji tertulis Rp 2.000.000,00

namun yang diterima adalah Rp 2.0000.0000,00. Sedangkan pada bulan ke

sembilan (Mei 2004), gaji Armando telah disesuaikan (dirasionalisasikan)

sehingga tertulis Rp 2000.0000,00, dan deretan angka tersebut berasal dari 10

x Rp 2.000.000,00

Sebagai catatan terakhir untuk masalah ini, seyogyanya selama masa transisi

dan setusnya agar tidak menimbulkan masalah tiap orang memiliki struktur gaji

sendiri-sendiri, seperti para pensiunan, dan menggunakan jasa bank.

Contoh 3

Pada hari Senin, 21 Agustus 2001, harian Jawa Pos menuliskan bahwa akibat

carut-marut MSAA kerugian yang diderita negara adalah Rp 80 triliun. Berdasarkan

sistem dan /rumusan di atas, kerugian yang diderita negara baru mencapai Rp 80 ribu

juta (Rp 80 miliar). Sebab, dalam hal ini kerugian menjadi kewajiban negara.

259

259

Page 260: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Penjelasan : dengan adanya perubahan cara memandang bilangan, maka secara

hakiki kerugian yang diderita negara pun akan mengecil. Mengecil dalam arti kualitas

kerugiannya, sedangkan secara kuantitas tetap. Masalahnya, manakah yang lebih

penting antara nilai kualitas dan nilai kuantitas? Memandang salah satu lebih

penting dari yang lain, jelas merupakan kesalahan yang fatal. Dan, itu akan

membuat timpangnya keadilan. Apalah artinya sebuah kualitas tanpa diimbangi

dengan kuantitas yang memadai, begitu pula sebaliknya.

Masalah ini akan terjawab setelah rupiah didevaluasi, yaitu pada saat sistem

bilangan Indonesia berlaku --revolusi bilangan dikukuhkan. Hanya, jika ingin berhasil

dalam satu hari itu berarti mimpi di siang bolong, namun jika berbilang tahun dan

dilakukan bersama dengan penuh kesadaran itu –baru-- sebuah harapan.

Contoh 4

Pada awal tahun 2001, hutang luar negeri Indonesia sebesar Rp 50 triliun dan

pada triwulan pertama akan dibayar Rp 1 miliar. Berapa sisa hutang luar negeri

Indonesia?

Jawab : Hutang = Rp 50 triliun = Rp 50.000.000.000.000,00

Bayar = Rp 1 miliar = Rp 1.000.0000.0000,00

Sisa hutang = Rp 49.000.000.000.000,00

Ingat, bayar hutang merupakan kewajiban.

Penjelasan : Sepanjang hutang tersebut tidak menggunakan mata uang asing sebagai

alat pembayarnya maka contoh di atas sudah sangat jelas. Namun, jika pembayaran

dengan menggunakan valuta asing maka jumlah dana yang disediakan untuk itu

dikonversikan dengan mata uang asing yang dimaksud.

Adalah menjadi tugas para ekonom untuk menahan laju kekuatan uang

mereka. Bahwa, jumlah hutang luar negeri pemerintah mencapai Rp 1.280,1 triliun

(Sabili, 2000 : 21) benar-benar menyuramkan masa depan anak-anak yang saat ini

260

260

Page 261: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

masih berada di bangku sekolah. Mereka tidak ikut berhutang, mereka yang harus

mempertanggungjawabkan. Malang nian ….

Contoh 5

Harga sekaleng sarden kecil Rp 2.000,00 Maka, sebenarnya harga sarden

tersebut baru mencapai dua puluh ratus rupiah, belum sampai dua ribu rupiah --dua

ribu rupiah = Rp 2.0000,00

Penjelasan : dalam hal ini, perubahan hanya terjadi pada pelafalan –bilangan. Namun

sebenarnya yang terjadi adalah kualitas ribuan turun menjadi puluh ratusan,

sedangkan kuantitas 2 dengan 0 sebanyak tiga buah –sebagai kekayaan hakiki rakyat-

tidak diusik.

Contoh 6

Pajak yang dikenakan kepada si A sebagai pemilik sebidang sawah adalah Rp

40.000,00. Dengan demikian, si A membayar sejumlah lambang bilangan yang

menjadi kewajibannya –empat nol nol nol nol yang dalam sistem bilangan Hindu arab

dibaca empat puluh ribu rupiah tetapi karena penerima pajak adalah negara, dan

selanjutnya menjadi hak negara, maka negara tidak lagi melihat deretan bilangan

penyusunnya melainkan menghitung pelafalannya --bilangannya, oleh karena itu

empat puluh ribu = Rp 40.0000,00 (perhatikan perbedaan jumlah nol-nya).

Penjelasan : dengan konsep ini tidak ada lagi bagi alasan pemerintah untuk

menaikkan penerimaan negara dari sektor pajak, sebab pajak yang diterima negara

nilai kualitas uangnya telah dinaikkan.

Dengan demikian, Bank Indonesia –sebagai bank sentral-- berkewajiban

menggenapi kuantitas yang sesuai dengan kualitas pajak yang masuk negara. Dalam

hal ini –sesuai contoh – penyelesaiannya adalah Bank Indonesia berkewajiban

menyediakan dana sebesar Rp 360 000,00 sebagai selisih antara Rp 40 000,00 dengan

Rp 40 0000,00 –perhatikan perbedaan jumlah nol –nya.

261

261

Page 262: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Adapun, jika ada rencana pemerintah untuk menggali pajak dari potensi yang

belum tergarap selama ini, itu tidak menjadi masalah, sebab itu merupakan upaya

pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak.

Apalagi, bagi sebuah negara yang beranjak “maju” penerimaan sektor ini

akan menjadi tulang pungung perekonomian nasional dan tentunya sangat

diandalkan.

Contoh 7

Pada hari Jumat, 5 April 2002, harian Kompas memuat berita bahwa kurs

tengah Bank Indonesia terhadap dolar AS adalah : 1$ =Rp 9.733,00 (sembilan ribu

tujuh ratus tiga puluh tiga rupiah). Berdasarkan rumusan di atas, maka kurs mata uang

tersebut sebenarnya baru bernilai sembilan puluh tujuh ratus tiga puluh tiga rupiah.

Jadi, belum mencapai seribu rupiah.

Penjelasan : Ingat, dalam hal ini tidak ada devaluasi. Dan, memang, diharapkan

selama masa transisi pemerintah tidak melakukan devaluasi, apapun alasannya.

Sungguhpun demikian, para ekonom mempunyai kewajiban untuk membendung

kekuatan dolar AS --khususnya dan /mata uang asing lainnya agar tidak sampai

menembus level Rp 10 000,00.

Kepiawaian menerapkan ilmu yang telah mereka serap dari “sana” harus

dibuktikan. Memang, ada sekelompok spekulan yang malah bersyukur dengan

melemahnya rupiah, mereka malah memetik keuntungan yang tak terkira besarnya.

Mereka adalah pemilik modal. Sebenarnya, mereka telah cukup lama menikmati

keuntungan dengan melemahnya rupiah –mereka memiliki sesuatu sebagai harga

tawar. Namun, sebagian besar penghuni negara ini akan merasakan akibat langsung

dari melemahnya rupiah.

Contoh 8

Dalam tahun angggaran 2002, Pemerintah mengalokasikan dana Bantuan

Operasional untuk Sekolah Dasar @ Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) maka

262

262

Page 263: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

seharusnya dana yang dicairkan adalah lambang bilangan dua dengan delapan buah

di belakangnya atau Rp 2.0000.0000,00 –perhatikan perbedaan jumlah nol-nya.

Penjelasan : Bisa pembaca bayangkan, dengan dana sebesar itu, Sekolah Dasar (SD)

tidak perlu lagi menarik iuran /sumbangan apaun namanya dari orangtua /wali

muridnya. Rakyat boleh –dan sah-sah saja-- menuntut peningkatan mutu pendidikan

sebab dana yang tersedia memang sangat, sekali lagi sangat, mencukupi. Tanpa ada

kenaikan alokasi angggaran pendidikan pun, dana sudah sangat cukup.

Dengan dana sebesar itu, SD yang kekurangan guru dapat merekrut sendiri

tenaga yang diperlukan. SD akan mampu membayar tenaga terampil untuk

mengajarkan kecakapan tertentu –bahkan tenaga ahli sekalipun. SD akan mampu

menyiapkan fasilitas dan segala sesuatu yang memang selayaknya ada pada tingkat

SD. Penulis rasa, hal serupa juga akan terjadi pada jenjang pendidikan yang lebih

tinggi. Rasanya tidak berlebihan, jika dengan Reformasi Bilangan maka pendidikan

akan gratis. Gratis dalam arti sebenarnya, bukankah sesungguhnya “mencerdaskan

kehidupan bangsa” itu merupakan kewajiban negara?

Dalam bidang ini saja, terlihat adanya pendistribusian tenaga kerja –

khususnya tenaga terdidik. Bisa dibayangkan, jika sebuah SD saja mampu menyerap

empat orang guru baru15 dan ditambah lima orang tenaga terampil non guru16 .

Maka berapa ratus ribu orang pencari kerja yang tertampung SD di seluruh

tanah air ini? Rakyat menuntut sekolah sehari pun tidak menjadi masalah, sebab gaji

guru sudah sangat mencukupi. Mereka sudah dapat duduk setara dengan rekan-rekan

mereka dari negera tetangga ataupun dari negara maju. Di atas kertas, semua terasa

mudah. Semuanya, tergantung pada niat baik pengelola pendidikan.

Contoh 9

45 x 301 = n n = 1 3545

Dibaca : empat puluh lima kali tiga ratus satu = n

n = seribu tiga puluh lima ratus empat puluh lima

15 guru yang dibutuhkan sekolah karena sekolah kekurangan tenaga guru

263

263

Page 264: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

16 tenaga terampil, tenaga honorer yang dipanggil sekolah untuk mengajarkan keterampilan tertentu,

misalnya keterampilan elektronik.

Penjelasan : di sini terlihat bahwa secara metematis, reformasi bilangan tidak

merubah hasil . Perubahan hanya terlihat pada berubahnya kualitas bilangan --

pelafalan bilangan-- dan untuk memudahkan pemahaman maka tehnik penulisan

menggunakan empat digit dipisahkan.

Contoh 10 B

Bea retribusi setiap masuk terminal bagi sebuah kendaraan umum adalah

Rp5.000,00 (lima ribu rupiah).

Penjelasan : Bea retribusi termasuk pendapatan asli daerah –negara. Oleh karena itu,

bagi awak angkutan berkewajiban membayar sejumlah lambang bilangan

penyusunnya yaitu lima nol nol nol, yang dalam sistem bilangan Hindu Arab dibaca

lima ribu rupiah Tetapi, karena penerima adalah Pemerintah Daerah –yang

merupakan kepanjangan tangan dari penguasa negara, maka lima ribu rupiah tidak

lagi berupa Rp 5.000,00 melainkan Rp 5.0000,00 –perhatikan perbedaan lambang

bilangan penyusunnya.

264

264

Page 265: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Lampiran 2

Sebuah Format Demokrasi

265

265

Pemerintah Militer Natar Militer Natar X Dewan Pertimbangan Agung

Rakyat Militer Rakyat XBadan Pertahanan dan Keamanan

Nasional

Rakyat Indonesia

Rakyat Birokrasi

Rakyat Murni

Rakyat Sipil

Natar Sipil Eksekutif

Pemerintah Sipil

Kepresidenan

Natar Sipil Hukum

Pemerintah Hukum

Mahkamah AgungNatar Sipil Pendidikan

Rakyat Agama

Natar Agama

Dewan Agama Indonesia

Natar Alam

Pamong Alam

Natar Pedagang

Pamong Pedagang

Natar Transportasi

Pamong Transportasi

Page 266: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Lampiran 3

TABEL NATAR

No. Natar Induk Natar Manusia

Indonesia

Ruang Gerak Keterangan

1 2 3 4 5

266

266

Natar Pendidik

Natar Ilmu

Pemerintah Edukasi

Badan Pendidikan Nasional Indonesia

Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia

Natar Sipil KeuanganBadan

Pemeriksa Keuangan

Pemerintah Keuangan

Badan Keuangan Republik Indonesia

Majelis Permusyawaratan Rakyat

Dewan Perwakilan Rakyat RI

Natar Sipil Agama

Pemerintah Agama

Natar Komunikasi

Pamong Komunikasi

Natar Seni Budaya

Pamong Seni Budaya

Natar Industri

Pamong Industri

Parlemen Pamong

Natar Rakyat X

Natar Jasa

Pamong Jasa

Pamong Pegawai Negeri Korp Sipil

Pamong Pegawai Negeri Korp TNI

Parlemen Birokrasi

Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia

Page 267: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

1. Natar militer 1. Angkatan Darat

2. Angkatan Laut

3. Angkatan Udara

4. Polisi

5. Tentara Tuhan :

a. Hizbullah

b. Tentara Salib

c. Pacalang

d. Lain-lain

6. Kamra

7. Lain-lain

Pemerintah Militer

Dewan Agama

Indonesia

Sesuai kebutuhan

Lahan 1

Lahan 1

/Militansi sipil

Lahan 1 /2

Militansi rakyat

2. Natar Sipil 1. Pamong praja

2. Agama

3. Pendidikan

4. Keuangan

5. Hukum

1. Pemerintah

Eksekutif

2. Pemerintah

Agama

3. Pemerintah

Edukasi

4. Pemerintah

Keuangan

5. Pemerintah

Hukum

Lahan 1

1 2 3 4 5

3. Natar Alam 1. Pertanian

2. Peladang

3. Perkebunan

4. Peternakan

5. Kehutanan /Utas

6. Perajin

Pamong Alam Lahan 2

267

267

Page 268: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

7.Nelayan /kelautan

8. Perlistrikan

9. Pertambangan

10. Lain-lain

4. Natar

Perdagangan

1. Pedagang hasil

bumi :

a.tanaman pangan

b.tanaman sandang

c. tanaman keras

d. lain-lain

2.Pedagang hasil

industri:

a. logam

b. kimia dasar

c. aneka industri

d. industri kecil

e. industri rumah tangga

3. Lain-lain

Pamong Pedagang Lahan 2

1 2 3 4 5

268

268

Page 269: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

5. Natar

Komunikasi

1. Pos

2. Telepon

3. Telegram

4. Media cetak

5. Media elektronik

6. Penerjemah

7. Juru bahasa

8. Wartawan

9. Kurir

10. Lain-lain

Pamong

Komunikasi

Lahan 2

6.

1

Natar

Transportasi

2

1. Perhubungan darat

a. Kereta api

b. Bukan kereta api

dalam bagian

c. Bukan kereta api

antar bagian

d.Perhubungan

sungai

e. Perhubungan

danau

2. Perhubungan laut

a. Antar pulau

b. Antar negara

3

Pamong

Transportasi

4

Lahan 2

5

269

269

Page 270: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

3. Perhubungan udara

a. Penerbangan

nasional

b. Penerbangan

internasional

3. Lain-lain

7. Natar Seni

Budaya

1. Seniman tradisional

2. Awak seni tradisional

3. Artis /aktor

4. Penyanyi

5. Pelawak

6. Pesulap

7. Akrobatik

8. Sulih suara

9. Awak seni

kontemporer

10. Lain-lain

Pamong Seni

/Budaya

Lahan 2

8. Natar Industri 1. Industri logam :

a. Mesin

b. Elektronik

2. Industri kimia

dasar

3. Aneka industri :

a. Pangan

b. Sandang

Pamong Industri Lahan 2

1 2 3 4 5

270

270

Page 271: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

c. Serat dan kimia

d. Bangunan

4. Industri kecil

5. Industri rumah

tangga

6. Lain-lain

9. Natar Jasa 1. Tenaga :

a. Jasa militer :

1.PNM pada lingkup AD

2.PNM pada lingkup AL

3.PNM pada lingkup AU

4. PNM pada lingkup

sipil

5. PNS pada lingkup AD

6. PNS pada lingkup AL

7. PNS pada lingkup AU

8. Militansi sipil pada

lingkup militer

9. Militansi sipil pada

lingkup “sipil”

10. Militansi rakyat

pada lingkup

militer

Pamong Pegawai

Negeri Korp TNI

Lahan 1

271

271

Page 272: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

1 2 3 4 5

1 2

b. Jasa sipil :

1. PNS pada lingkup

agama

2. PNS pada lingkup

eksekutif

3. PNS pada lingkup

pendidikan

4. PNS pada LIPI

5. PNS pada lingkup

hukum /peradilan

6. PNS pada lingkup

pemerintah keuangan

7. PNS pada lingkup

BPK

8. PNS pada lingkup

DPA

9. PNS pada lingkup

DPR

10. PNS pada lingkup

lain-lain

c. Jasa tenaga lain-lain

2. Konsultasi

3. Rancang

4. Busana

5. Peralatan

3

Pamong Pegawai

Negeri Korp Sipil

Pamong Jasa

4

Lahan 1

Lahan 2

5

272

272

Page 273: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

6. Kendaraan

7. Hunian

8. Wisata

9. Pendidikan

10.Lain-lain :

10 Natar X 1. Pendiri negara

a. Raja-raja

b. Proklamator

c. Tokoh pendiri negara

d. Lain-lain

2. Rakyat murni :

a. LSM

b. Lain-lain

Dewan

Pertimbangan

Agung (DPA)

Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR)

Lahan 1

Lahan 2

Lampiran 4

273

273

Page 274: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

NILAI NATAR

N0

.

Periode Usia Lembaga Kel.

Natar

Nilai

Natar

Nilai

Nominal

Sertifikat

Natar

(Rp)

Pokok

Gaji

/gaji

rakyat

(Rp)

Ket.

1 2 3 4 5 6 7 8

1. 17-08-1945

s.d.

27-12-1949

I 100 108 1000,00 *

II 10 107 100,00 **

III 1 106 10,00 ***

2. 27-12-1949

s.d.

02-05-1984

00 th 01 bl s.d.

00 th 05 bl

II.1.1 10 107 100,00 Wajar

4

Tahun00 th 06 bl s.d.

00 th 10 bl

II.1.2 9 9 x 106 90,00

00 th 11 bl s.d.

01 th 02 bl

II.1.3 8 8 x 106 80,00

01 th 03 bl s.d.

01 th 07 bl

II.1.4 7 7 x 106 70,00

01 th 08 bl s.d.

02 th 00 bl

II.1.5 6 6 x 106 60,00

02 th 01 bl s.d.

02 th 05 bl

II.1.6 5 5 x 106 50,00

274

274

Page 275: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

1 2 3 4 5 6 7 8

02 th 06 bl s.d.

02 th 10 bl

II.1.7 4 4 x 106 40,00

02 th 11 bl s.d.

03 th 02 bl

II.1.8 3 3 x 106 30,00

03 th 03 bl s.d.

03 th 07 bl

II.1.9 2 2 x 106 20,00

03 th 08 bl s.d.

≥ 04 th

II.1.10 1 1 x 106 10,00

3. 02-05-1984

s.d.

02-05-1994

00 th 01 bl s.d.

00 th 07 bl

II.2.1 10 1 x 106 10,00 Wajar

6

Tahun00 th 08 bl s.d.

01 th 02 bl

II.2.2 9 9 x 105 9,00

01 th 03 bl s.d.

01 th10 bl

II.2.3 8 8 x 105 8,00

0l th 11 bl s.d.

02 th 05 bl

II.2.4 7 7 x 105 7,00

02 th 06 bl s.d.

03 th 00 bl

II.2.5 6 6 x 105 6,00

03 th 01 bl s.d.

03 th 07 bl

II.2.6 5 5 x 105 5,00

03 th 08 bl s.d.

04 th 03 bl

II.2.7 4 4 x 105 4,00

04 th 04 bl s.d.

04 th 11 bl

II.2.8 3 3 x 105 3,00

05 th 00 bl s.d.

05 th 06 bl

II.2.9 2 2 x 105 2,00

275

275

Page 276: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

1 2 3 4 5 6 7 8

05 th 07 bl s.d.

≥ 06 th

II.2.10 1 1 x 105 1,00

4. 02-05-1994

s.d. …

00 th 01 bl s.d.

00 th 11 bl

II.3.1 10 1 x 105 1,00 Wajar

9

Tahun01 th 00 bl s.d.

01 th 11 bl

II.3.2 9 9 x 104 0,90

02 th 00 bl s.d.

02 th 11 bl

II.3.3 8 8 104 0,80

03 th 00 bl s.d.

03 th 11 bl

II.3.4 7 7 x 104 0,70

04 th 00 bl s.d.

04 th 11 bl

II.3.5 6 6 x 104 0,60

05 th 00 bl s.d.

05 th 11 bl

II.3.6 5 5 x 104 0,50

06 th 00 bl s.d.

06 th 11 bl

II.3.7 4 4 x 104 0,40

07 th 00 bl s.d.

07 th 11 bl

II.3.8 3 3 x 104 0,30

08 th 00 bl s.d.

08 th 11 bl

II.3.9 2 2 x 104 0,20

≥ 9 th II.3.10 1 1 x 104 0,10

* Rakyat X /Pendiri Negara

** Rakyat birokrasi

*** Rakyat murni

Sebuah Anekdot

276

276

Page 277: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

Suatu pagi. Seorang ibu tani yang tinggal di pedalaman pulau Jawa hendak

menanam padi. Ia membawa serta dua orang anaknya yang masih kecil ke sawah.

Seorang masih bayi dan yang seorang baru mulai disapih. Sementara anak-anaknya

yang lebih besar sibuk menyelesaikan urusan mereka masing-masing.

Ibu tani tersebut berbekal sebungkus singkong (telo, Jawa) rebus sebagai

pengganjal perut dan sebotol air. Sebuah bekal makanan yang sangat sederhana. Ia

tidak mengetahui kandungan gizi pada makanan yang dikonsomsinya, yang penting

kenyang.

Matahari semakin tinggi, hangat panasnya mulai terasa. Ia tak peduli. Satu

demi satu, peluhnya mulai menetes membasahi bumi pertiwi. Dari kejauhan, sesekali

dilihatnya dua orang anaknya. Diam-diam, ia tersenyum.

“Bu, lo!” terdengar teriakan nyaring anak sapihannya.

“Ya, ambillah!” jawabnya singkat.

“Lo, Bu! Lo!” teriakan si anak makin keras.

“Ya, ambil! Jangan teriak-teriak!” jawab ibu tani tak mau kalah kerasnya,

“Makan …! Telo itu memang untuk dimakan!”

Si anak sapihan terus berteriak-teriak, ”Lo! Lo!!” dan si ibu juga tetap

menjawab dengan teriakan-teriakannya yang jauh lebih keras. Ia tak bergiming dari

tempatnya. Bahkan, kala si bayi menangis dan menjerit pun, ia masih terus sibuk

dengan dunianya sendiri. Ia ingin tanaman padinya cepat tumbuh, cepat besar, cepat

berbuah, dan panen. Bahkan, khayalannyapun sempat melayang!

Seiring dengan semilirnya angin, anak sapihannya telah diam. Ia sudah tidak

berteriak-teriak lagi. Ia telah lelah berteriak-teriak. Tangisan si bayi pun telah tak

terdengar. Tentu saja, ibu tani merasa senang. Ia menyangka, anak sapihannya telah

makan dan kenyang. Ia semakin giat bekerja!

Matahari mulai condong. Ibu tani telah menyelesaikan tugasnya. Senyum

tersungging di sudut bibirnya yang tipis. Ia puas melihat hasil kerjanya. Dengan

277

277

Page 278: BAB I · Web viewJember, Jawa Timur 68154 2002 PENGANTAR Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti

langkah kakinya yang ringan, ia menuju dangau tempat dua orang anaknya …. Kala

dilihat anak sapihannya meringkuk pucat di sudut dangau dengan noda darah yang

telah mengering dan bayinya lenyap, ibu tani terkesiap, “Di mana adikmu?”

“Lo, Bu! Lo!” jawab si sapihan sambil menunjuk semak-semak yang

bergerak-gerak di kejauhan sana. Ia berusaha mengungkapkan yang ia tahu agar

ibunya mengerti.

“Lo, lagi! Lo, lagi!” gumannya pendek.

Rupanya, ibu tani lupa bahwa masih ada “Lo” lain selain “telo” yang telah

menelan bayinya. Ia masih terus celingukan mencari, entah sampai kapan …

Sementara itu, sepasang mata menatap tajam dari rimbun semak-semak!!!***

278

278