BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya setiap perusahaan, baik pabrik maupun perusahaan dagang, mempunyai beberapa tujuan yang hedak dicapai. Sama halnya denganperusahaan Pt. Bosowa Beton yang mempunyai tujuan yang hendak dicapai, antara lain: - Mendapat keuntungan optimal - Memenuhi kebutuhan masyarakat - Menjaga kelangsungan hidup perusahaan Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perusahaan melakukan kegiatan-kegiatan seperti produksi, pembelanjaan, personalia pemasaran, administrasi, akuntansi, dan sebagainya. Dalam upaya mencapai produksi yang optimal i, maka salah satu cara yang dilakukan adalah mengoptimalkan kinerja mesin/peralatan produksi.PT. Bosowa Pasir Bara
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada umumnya setiap perusahaan, baik pabrik maupun perusahaan dagang,
mempunyai beberapa tujuan yang hedak dicapai. Sama halnya denganperusahaan Pt.
Bosowa Beton yang mempunyai tujuan yang hendak dicapai, antara lain:
- Mendapat keuntungan optimal
- Memenuhi kebutuhan masyarakat
- Menjaga kelangsungan hidup perusahaan
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perusahaan melakukan kegiatan-kegiatan
seperti produksi, pembelanjaan, personalia pemasaran, administrasi, akuntansi, dan
sebagainya.
Dalam upaya mencapai produksi yang optimal i, maka salah satu cara yang
dilakukan adalah mengoptimalkan kinerja mesin/peralatan produksi.PT. Bosowa
Pasir Bara yang bergerak dalam bidang Industri pengecoran Beton, memeiliki
beberapa unit mesin yang saling mendukung satu dengan yang lainnya. Out put dari
salah satu mesin akan menjadi Input bagi mesin lainnya, sehingga untuk menjamin
kegiatan produksi yang optimal maka perlu dijaga keseimbangan kapasitas (balance
Capasity) bagi semua unit mesin/peralatan produksi yang dimiliki sehingga akan
mewujudkan keseimbangan lintasan produksi yang nantinya akan menentukan
kelancaran proses produksi. Ketertarikan penulis memilih permasalahan
keseimbangan kapasitas ini karena perusahaan saat ini mendapatkan order yang
sangat besar untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur di kota
Makassar. Dengan jumlah order yang begitu besar dikuatirkan perusahaan akan
kewalahan melayaninya terutama jika dikaitkan dengan kapasitas mesin/peraltan
produksi yang dimiliki perusahaan saat ini. Bertitik tolak dari permasalahan tersebut
maka penulis mencoba melakukan penelitian pada perusahaan diatas dengan
mengambil judul : “Tin jauan terhadap keseimbangan lintasan produksi Untuk
mengoptimalkan waktu kerja pada PT. Bosowa Pasir Bara Makassar. Dengan
penelitian ini diharapkan nantinya akan memberikan masukan sekaligus solusi bagi
perusahaan tentang pentingnya keseimbangan kapasitas dalam melakukan proses
produksi sehingga proses produksi akan menjadi efektif.
Dengan proses produksi yang efektif maka perusahaan akan:
1. Membuat barang dan jasa dengan biaya murah
2. Menentukan harga pokok dan harga jual dengan harga yang cukup murah
3. Dapat bersaing dengan kemampuan yang cukup kuat dengan produsen lainnya
Dengan proses produksi yang efektif maka perusahaan akan:
1. Membuat barang dan jasa dengan biaya murah
2. Menentukan harga pokok dan harga jual dengan harga yang cukup murah
3. Dapat bersaing dengan kemampuan yang cukup kuat dengan produsen lainnya
B. Masalah Pokok
Yang menjadi masalah pokok yang akan diteliti lebih lanjut dalam penelitian ini
adalah :
1. Kurang optimalnya proses produksi dari segi efisiensi penggunaan mesin
produksi
2. Kurang optimalnya proses produksi disebabkan oleh tidak terjadinya
keseimbangan Kapasitas (balance capacity) diantara mesin produksi yanag ada
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana menentukan waktu kerja secara optimal
2. Bagaimana menentukan keseimbangan Lintasan Produksi pada
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:
a. Untuk mengetahui tingkat efisiensi mesin /peralatan/produksi pada
perusahaan melalui perhitungan keseimbangan kapasitas (Balance Capasity)
mesin produksi
b. Untuk mengetahui pengaruh balance capacity terhadap produktifitas
perusahaan .
c. Untuk memberikan sumbangan pikiran yang mungkin bisa dijadikan sebagai
bahan pertimbangan dalam mencari jalan keluar dari permasalahan yang
dihadapi oleh perusahaan.
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah :
a. Sebagai bahan masukan kepada perusahaan tentang pentingnya keseimbangan
lintasan produksi
b. Sebagai bahan masukan bagi perusahaan dalam menentukan waktu kerja yang
optimal
D. Hipotesis
Dengan masalah yang dipaparkan di atas, penulis mengemukakan beberapa hipotesis,
yaitu:
Diduga bahwa keseimbangan lintasan produksi pada setiap stasiun kerja pada PT.
Bosowa Pasir Bara Belum sempurna (Optimal)
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Keseimbangan Lintasan
Menurut Baroto (2002, p192), aliran proses produksi suatu departemen ke
departemen yang lainnya membutuhkan waktu proses produk tersebut.
Apabila terjadi hambatan atau ketidakefisienan dalam suatu departemen akan
mengakibatkan tidak lancarnya aliran material ke departemen berikutnya
sehingga terjadi waktu menunggu (delay time) dan penumpukan material
(material in process storage). Dalam upaya menyeimbangkan lini produksi
maka tujuan utama yang ingin dicapai adalah mendapatkan tingkat efisiensi
yang tinggi bagi setiap departemen dan berusaha memenuhi rencana
produksi yang telah ditetapkan sehingga diupayakan untuk memenuhi
perbedaan waktu kerja antardepartemen dan memperkecil waktu tunggu.
Dalam praktek penyeimbangan lini yang sesungguhnya di perusahaan,
waktu yang dibutuhkan bukan hanya sekedar waktu proses, melainkan masih
harus ditambahkan faktor penyesuaian dan kelonggaran demi
kepentingan tenaga kerja sehingga diperoleh waktu normal dan waktu baku.
Waktu baku inilah yang nantinya akan digunakan untuk perhitungan
selanjutnya. Oleh karena itu sebelum masuk ke pembahasan teori mengenai
line balancing, terlebih dulu akan diuraikan mengenai teori tentang waktu
baku.
2.2 Waktu Siklus (Cyclus Time)
Data waktu proses yang diperoleh dari perusahaan tidak dapat langsung
digunakan untuk perhitungan line balancing karena yang akan digunakan
adalah data waktu baku. Sebelum mendapatkan waktu baku, terlebih dahulu
harus diperoleh waktu siklus (cycle Time), Waktu Normal yang
perhitungannya melibatkan faktor penyesuaian. Setelah itu barulah dapat
diperoleh waktu baku yang perhitungannya melibatkan faktor kelonggaran.
Namun dengan demikian untuk kondisi kondisi tertentu perhitungan
keseimbangan kapasitas dapat menggunakan waktu siklus (Ciclus Time)
2.2.1 Penyesuaian
Menurut Wignjosoebroto (2003, p196), kecepatan, usaha, tempo, ataupun
performance kerja semuanya akan menunjukkan kecepatan gerakan
operator pada saat bekerja. Aktivitas untuk menilai atau mengevaluasi
kecepatan kerja operator ini dikenal sebagai ‘Rating Performance’. Secara
umum kegiatan rating ini dapat didefinisikan sebagai proses di mana seorang
pengamat membandingkan performans kerja operator pada saat diamati dengan
konsep si pengamat mengenai performans normal. Untuk menormalkan waktu
kerja maka diadakan penyesuaian yaitu dengan cara mengalikan waktu kerja
dengan faktor penyesuaian / rating ‘P’.
Metode penyesuaian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode
objektif. Menurut Sutalaksana (1979, p146), metode objektif memperhatikan 2
faktor yaitu kecepatan kerja (P1) dan tingkat kesulitan pekerjaan (P2). Kedua
faktor inilah yang dipandang secara bersama-sama menentukan berapa harga P
untuk mendapatkan waktu normal.
Menurut Wignjosoebroto (2003, p196), cara untuk menentukan besarnya
faktor P1 adalah sebagai berikut :
1. Apabila operator dinyatakan terlalu cepat yaitu bekerja di atas
batas kewajaran (normal) maka rating faktor ini akan lebih besar
daripada 1 (P1 > 1 atau P1 > 100 %).
2. Apabila operator bekerja terlalu lambat yaitu bekerja dengan
kecepatan di bawah kewajaran (normal) maka rating faktor ini akan
lebih kecil daripada 1 (P1 < 1 atau P1 < 100 %).
3. Apabila operator bekerja secara normal atau wajar maka rating
faktor ini diambil sama dengan 1 (P1 = 1 atau P1 = 100 %).
Menurut Sutalaksana (1979, p146), untuk kesulitan kerja disediakan sebuah
tabel (lihat Lampiran) yang menunjukkan berbagai keadaan kesulitan kerja
seperti apakah pekerjaan tersebut memerlukan banyak anggota badan,
apakah ada pedal kaki, dan sebagainya. Angka yang ditunjukkan di sini
adalah dalam per seratus dan jika nilai dari setiap kondisi kesulitan kerja
yang bersangkutan dengan pekerjaan yang sedang diamati dijumlahkan
akan menghasilkan P2 yaitu notasi bagi bagian penyesuaian objektif untuk
tingkat kesulitan pekerjaan.
Waktu normal dapat diperoleh dari rumus berikut :
Waktu normal = Waktu proses x Penyesuaian (P)
Untuk penyesuaian dengan metode objektif, nilai P diperoleh dari hasil
kali P1 dan P2.
2.2.2 Kelonggaran
Menurut Wignjosoebroto (2003, p201), waktu normal untuk suatu elemen
operasi kerja adalah semata-mata menunjukkan bahwa seorang operator yang
berkualifikasi baik akan bekerja menyelesaikan pekerjaannya pada kecepatan /
tempo kerja yang normal. Walaupun demikian pada prakteknya kita akan
melihat bahwa tidaklah bisa diharapkan operator tersebut akan mampu
bekerja secara terus-menerus sepanjang hari tanpa adanya interupsi sama
sekali. Di sini kenyataannya operator akan sering menghentikan kerja dan
membutuhkan waktu-waktu khusus untuk keperluan seperti personal needs,
istirahat melepas lelah, dan alasan-alasan lain yang di luar kontrolnya.
Waktu baku yang akan ditetapkan adalah termasuk kelonggaran- kelonggaran
yang perlu. Dengan demikian maka waktu baku adalah waktu yang diperoleh
dari waktu normal yang masih ditambah dengan besarnya kelonggaran.
Menurut Wignjosoebroto (2003, p203), apabila kelonggaran waktu tersebut
diaplikasikan secara bersamaan untuk seluruh elemen kerja, maka hal ini akan
bisa menyederhanakan perhitungan yang harus dilakukan. Untuk
mendapatkan waktu baku untuk penyelesaian suatu operasi kerja, di sini
waktu normal harus ditambahkan dengan kelonggaran. Di samping itu ada
kecenderungan untuk mempertimbangkan kelonggaran ini sebagai waktu yang
diberikan / dilonggarkan untuk berbagai macam hal per hari kerja. Dengan
demikian waktu baku tersebut dapat diperoleh dengan mengaplikasikan rumus
berikut :
2.3 Line Balancing
Menurut Baroto (2002, 192-193), lini produksi adalah penempatan area-area
kerja di mana operasi-operasi diatur secara berurutan dan material bergerak
secara kontinu melalui operasi yang terangkai seimbang. Menurut
karakteristiknya lini produksi dibagi menjadi 2 :
1. Lini fabrikasi, merupakan lintasan produksi yang terdiri atas sejumlah
operasi pekerjaan yang bersifat membentuk atau mengubah bentuk
benda kerja.
2. Lini perakitan, merupakan lintasan produksi yang terdiri atas sejumlah
operasi perakitan yang dikerjakan pada beberapa stasiun kerja dan
digabungkan menjadi benda assembly atau subassembly.
Kriteria umum keseimbangan lintasan perakitan adalah memaksimumkan
efisiensi atau meminimumkan balance delay. Tujuan pokok dari
penggunaan metode ini adalah untuk mengurangi atau meminimumkan
waktu menganggur (idle time) pada
lintasan yang ditentukan oleh operasi yang paling lambat.
Gambar 2.1 Elemen-elemen Utama Permasalahan Keseimbangan Lintasan
Sumber : Perencanaan dan Pengendalian Produksi, Nasution, p150
Menurut Bedworth dan Bailey (1987, p360-361), line balancing adalah
masalah yang berorientasi pada kegiatan manufaktur yang berkaitan dengan
masalah alokasi sumber daya dan penyeimbangan sumber daya. Dalam
sejarahnya, masalah line balancing berevolusi dari lini perakitan di mana
Masukan:Kinerja waktu dari tugasKebutuhan pendahuluan
Tingkat output
Kesimbangan
lintasan
Keluaran : Pengelompokan tugas-tugas pada stasiun-
stasiun kerja dengan kapasitas/tingkat output
yang sama
proses perakitan yang terdiri dari task-task harus dibagi ke para pekerja dengan
ketentuan bahwa usaha (effort) pekerja harus sedapat mungkin disamakan
(equal) dan jumlah pekerja diminimumkan sambil menjaga agar tingkat
produksi yang spesifik dapat terpenuhi.
Menurut Baroto (2002, 194-195), tujuan perencanaan keseimbangan
lintasan adalah mendistribusikan unit-unit kerja atau elemen-elemen kerja pada
setiap stasiun kerja agar waktu menganggur dari stasiun kerja pada suatu
lintasan produksi dapat ditekan seminimal mungkin, sehingga pemanfaatan dari
peralatan maupun operator dapat digunakan semaksimal mungkin.
Syarat dalam pengelompokan stasiun kerja dalam line balancing adalah
sebagai berikut :
a Hubungan dengan proses terdahulu.
b Jumlah stasiun kerja tidak boleh melebihi jumlah elemen kerja.
c Waktu siklus lebih dari atau sama dengan waktu maksimum dari tiap
waktu di stasiun kerja dari tiap elemen pekerjaan.
Penyeimbangan lintasan memerlukan metode tertentu yang sistematis.
Adapun metode yang akan digunakan dalam skripsi ini yaitu :
1. Aturan Largest Candidate.
2. Metode Ranked Positional Weights atau metode Helgesson – Birnie.
3. Metode Kilbridge – Wester.
4. Metode Moodie – Young.
5. Metode Region Approach.
Untuk dapat memilih dan menentukan metode yang tepat dalam
penyeimbangan lini perakitan perlu dikembangkan analisis guna mengetahui
performansi masing- masing metode yang ada terhadap karakteristik
pekerjaan perakitan, sehingga akan dapat ditentukan cara penyusunan
stasiun kerja yang paling efisien dan pertimbangan kelebihan dan
kekurangan untuk tiap metode.
Menurut Groover (2001, p529), dalam line balancing ada asumsi mengenai
waktu pengerjaan task, yaitu :
1. Waktu pengerjaan task mempunyai nilai yang konstan.
2. Nilai waktu pengerjaan task bersifat aditif, artinya waktu untuk
mengerjakan dua atau lebih task secara berurutan adalah jumlah dari
waktu pengerjaan task individual.
Dalam kenyataannya, asumsi di atas tidak terlalu benar. Waktu
pengerjaan task adalah variabel yang berkaitan dengan masalah
variabilitas task time. Di samping itu sering ada ekonomi gerakan yang
dapat dicapai dengan menggabungkan dua atau lebih task sehingga
melanggar asumsi aditifitas. Meskipun demikian, asumsi tersebut dibuat
agar dapat menghasilkan solusi bagi masalah line balancing.
2.3.1 Istilah-istilah Dalam Line Balancing
Menurut Baroto (2002, 195-197), sebelum membahas mengenai operasional
dari metode-metode dalam line balancing, perlu dipahami dulu beberapa
istilah yang lazim digunakan dalam line balancing.
1. Precedence diagram merupakan gambaran secara grafis dari urutan
operasi kerja serta ketergantungan pada operasi kerja lainnya yang
tujuannya untuk memudakan pengontrolan dan perencanaan kegiatan
yang terkait di dalamnya. Adapun tanda-tanda yang dipakai sebagai
berikut :
a. Simbol lingkaran dengan huruf atau nomor di dalamnya untuk
mempermudah identifikasi dari suatu proses operasi.
b. Tanda panah menunjukkan ketergantungan dan urutan proses
operasi. Dalam hal ini, operasi yang berada pada pangkal panah
berarti mendahului operasi yang ada pada ujung panah.
c. Angka di atas simbol lingkaran adalah waktu standar yang
diperlukan untuk menyelesaikan setiap operasi.
2. Assemble product adalah produk yang melewati urutan Work Station
(WS) di mana tiap WS memberikan proses tertentu hingga selesai
menjadi produk akhir pada perakitan akhir.
3. Work element (elemen kerja / operasi / task) adalah bagian dari seluruh
proses perakitan yang dilakukan.
4. Waktu operasi (Ti) adalah waktu standar untuk menyelesaikan suatu
operasi (di skripsi ini, Ti adalah waktu baku yang di dalamnya sudah
mencakup faktor penyesuaian dan kelonggaran).
5. Work Station (WS) adalah tempat pada lini perakitan di mana proses
perakitan dilakukan. Setelah menentukan interval waktu siklus maka
jumlah stasiun
Kerja (k) efisien dapat ditetapkan dengan rumus berikut :
kmin = ∑i=1
n
Ti
CT
Di mana :
Ti = Waktu operasi pada task ke- (i = 1,2,3,…,n).
CT = Waktu siklus.
n = Banyaknya task.
kmin = Banyaknya stasiun kerja minimal.
6. Cycle Time / waktu siklus (CT) merupakan waktu yang diperlukan
untuk membuat 1 unit produk per satu stasiun. Apabila waktu produksi
dan target produksi telah ditentukan, maka waktu siklus dapat diketahui
dari hasil bagi waktu produksi dan target produksi. Dalam mendesain
keseimbangan lini perakitan untuk sejumlah produksi tertentu, waktu
siklus harus sama dengan atau lebih besar dari waktu operasi terbesar
yang merupakan penyebab terjadinya bottleneck (kemacetan) dan waktu
siklus juga harus sama atau lebih. kecil dari jam kerja efektif per hari
dibagi dengan jumlah produksi per hari yang secara matematis
dinyatakan sebagai berikut :
Ti maks = ≤ CT ≤ P/Q
Di mana :
Timaks = Waktu operasi terbesar pada lintasan.
CT = Waktu siklus.
P = Jam kerja efektif per hari.
Q = Jumlah produksi per hari.
7. Station Time (ST) adalah jumlah waktu dari elemen kerja / task
yang dilakukan pada suatu stasiun kerja yang sama.
8. Idle time adalah selisih (perbedaan) antara CT dikurangi dengan STi.
9. Balance Delay (BD), sering disebut balance loss, adalah ukuran
dari ketidakefisienan lintasan yang dihasilkan dari waktu menganggur
sebenarnya yang disebabkan oleh pengalokasian yang kurang sempurna
di antara stasiun- stasiun kerja. Balance Delay dinyatakan dalam
persentase. Balance Delay dapat dirumuskan sebagai berikut :
k
(k × CT ) − ∑ STi
BD = i =1 × 100% (k × CT )
Di mana :
k = Banyaknya stasiun kerja
(WS). CT = Waktu siklus.
STi = Station Time dari WS ke-i.
10. Line Efficiency (LE) adalah rasio dari total waktu di stasiun kerja
terhadap keterkaitan antara waktu siklus dengan jumlah stasiun kerja
(dinyatakan dalam persentase).
k
∑ STi
LE = i =1 × 100%
(k × CT )
Di mana :
k = Banyaknya stasiun
kerja (WS). CT = Waktu
siklus.
STi = Station Time dari WS ke-i.
11. Smoothness Index (SI) adalah suatu indeks yang menunjukkan
kelancaran relatif dari suatu keseimbangan lini perakitan. Suatu
Smoothness Index dikatakan sempurna apabila nilainya sama dengan
nol atau disebut juga perfect balance.
k
ST= ∑ (CT − STi) 2
i =1
Di mana :
k = Banyaknya stasiun kerja (WS).
CT = Waktu siklus.
STi = Station Time dari WS ke-i.
2.3.2 Metode Line Balancing
Menurut Groover (2001, p534), tujuan dalam line balancing adalah untuk
mendistribusikan beban kerja total pada lini perakitan seseimbang mungkin di
antara para pekerja. Tujuan ini dapat diekspresikan secara matematis dalam 2
alternatif bentuk yang ekuivalen :
k k
Meminimumkan (kCT - ∑ STi ) atau meminimumkan ∑ (CT − STi)
i =1 i =1
Dengan syarat:
1. Jumlah waktu di setiap WS tidak melebihi CT.
2. Semua persyaratan presedens dipatuhi.
Metode yang akan digunakan bersifat heuristic, artinya metode tersebut
didasarkan pada common sense dan eksperimen daripada optimasi matematis,
serta tidak menjamin dihasilkannya solusi optimal. Dalam setiap metode,
diasumsikan bahwa manning level adalah 1 sehingga jika kita mengidentifikasi
stasiun i maka kita juga mengidentifikasi pekerja pada stasiun i.
2.3.2.1 Aturan Largest Candidate
Menurut Groover (2001, p535), dalam metode ini, elemen kerja diatur
secara descending (dari nilai paling besar ke paling kecil) berdasarkan nilai Ti.
Metode ini terdiri dari langkah-langkah :
1. Buat precedence dia
2. Urutkan waktu operasi pada masing-masing task dari yang terbesar
ke yang terkecil secara urut.
3. Tentukan waktu siklus (CT).
4. Tugaskan task pada pekerja di WS 1 dengan memulai dari daftar
paling atas dan memilih task pertama yang memenuhi persyaratan
presedens dan tidak menyebabkan jumlah total Ti pada WS tersebut
melebihi CT yang diizinkan. Ketika task sudah dipilih untuk ditugaskan
pada WS, telusuri kembali dari daftar paling atas untuk penugasan
selanjutnya.
5. Ketika tidak ada lagi task yang dapat ditugaskan tanpa melebihi CT,
lanjutkan ke WS berikutnya.
6. Ulangi langkah 4 dan 5 untuk semua WS sampai semua task telah
ditugaskan.
2.3.2.2 Metode Ranked Positional Weights (RPW) atau Metode
Helgesson – Birnie
Menurut Baroto (2002, p197-198), langkah-langkah dalam metode ini
adalah sebagai berikut :
1. Buat precedence diagram.
2. Tentukan bobot posisi untuk masing-masing task yang berkaitan
dengan waktu operasi untuk waktu pengerjaan yang terpanjang dari
mulai operasi permulaan hingga sisa operasi sesudahnya
3. Membuat ranking tiap task berdasarkan bobot posisi di langkah 2.
Task yang mempunyai bobot terbesar diletakkan pada ranking pertama.
4. Tentukan waktu siklus (CT).
5. Pilih task dengan bobot tertinggi, alokasikan ke suatu WS. Jika masih
layak (STi ≤ CT), alokasikan task dengan bobot tertinggi
berikutnya yang memenuhi persyaratan presedens. Namun alokasi
ini tidak boleh membuat STi > CT.
6. Bila alokasi suatu task membuat STi > CT, maka task ini
tidak jadi ditugaskan. Sebagai gantinya, sisa waktu ini (CT – STi)
dipenuhi dengan alokasi task dengan bobot paling besar dan
penambahannya tidak membuat STi > CT dan memenuhi persyaratan
presedens.
7. Jika task yang dialokasikan untuk membuat STi ≤ CT sudah
tidak ada, kembali ke langkah 5 untuk semua WS sampai semua task
telah ditugaskan.
2.3.2.3 Metode Kilbridge – Wester
Menurut Groover (2001, p536), metode ini merupakan prosedur heuristic
yang memilih task untuk ditugaskan ke dalam WS berdasarkan posisinya pada
precedence diagram. Metode ini mengatasi salah satu kesulitan dalam aturan
Largest Candidate di mana task dipilih karena nilai Ti yang tinggi tapi
posisinya di precedence diagram kutang sesuai. Langkah-langkahnya adalah :
1. Buat precedence diagram.
2. Task-task dalam precedence diagram diatur ke dalam kolom-kolom.
3. Task-task kemudian disusun ke dalam suatu daftar berdasarkan kolomnya,
di mana task-task pada kolom pertama didaftar pertama.
4. Jika suatu task dapat ditempatkan pada lebih dari 1 kolom, maka daftarlah
semua kolom untuk task tersebut.
5. Task-task pada kolom yang sama diurutkan berdasarkan nilai Ti
terbesar seperti pada aturan Largest Candidate. Hal ini akan membantu
dalam menugaskan task ke WS karena dapat memastikan bahwa task
terlama akan dipilih lebih dulu, jadi meningkatkan kesempatan untuk
membuat jumlah Ti pada setiap WS mendekati batas waktu siklus / Cycle
Time (CT) yang diizinkan.
6. Tentukan waktu siklus (CT).
7. Tugaskan task pada pekerja di WS 1 dengan memulai dari daftar paling
atas dan memilih task pertama yang memenuhi persyaratan presedens dan
tidak menyebabkan jumlah total Ti pada WS tersebut melebihi CT yang
diizinkan. Ketika task sudah dipilih untuk ditugaskan pada WS, telusuri
kembali dari daftar paling atas untuk penugasan selanjutnya.
8. Ketika tidak ada lagi task yang dapat ditugaskan tanpa melebihi CT,
lanjutkan keWSberikutnya.
9. Ulangi langkah 7 dan 8 untuk semua WS sampai semua task telah
ditugaskan.
2.3.2.4 Metode Moodie – Young
Menurut Nasution (2003, p159-160), langkah penugasan pekerjaan pada
stasiun kerja dengan menggunakan metode ini berbeda pada urutan prioritas
pembebanan pekerjaan. Langkah-langkahnya adalah :
1. Buat precedence diagram.
2. Buat matriks operasi pendahulu (P) dan operasi pengikut (F) untuk
setiap operasi berdasarkan precedence diagram.
3. Tentukan waktu siklus (CT).
4. Perhatikan baris di matriks kegiatan pendahulu P yang semuanya
terdiri dari angka 0 dan bebankan task terbesar yang mungkin terjadi
jika ada lebih dari 1 baris yang memiliki seluruh task sama dengan nol.
5. Perhatikan nomor task di baris matriks kegiatan pengikut F yang
bersesuaian dengan task yang telah ditugaskan. Setelah itu kembali
perhatikan baris pada matriks P yang ditunjukkan, ganti nomor
identifikasi task yang telah dibebankan ke WS dengan nol.
6. Lanjutkan penugasan task-task itu pada setiap WS dengan ketentuan
bahwa waktu total operasi tidak melebihi waktu siklus. Proses ini
dikerjakan hingga semua baris pada matriks P bernilai nol.
2.3.2.5 Metode Region Approach
Menurut Nasution (2003, p164), metode ini dikembangkan oleh Bedworth
untuk mengatasi kekurangan metode RPW. Metode ini tetap tidak akan
menghasilkan solusi optimal, tetapi solusi yang dihasilkannya sudah cukup
baik dan mendekati optimal. Pada prinsipnya metode ini berusaha
membebankan terlebih dulu pada operasi yang memiliki tanggung jawab
keterdahuluan yang besar. Bedworth menyebutkan bahwa kegagalan metode
RPW ialah mendahulukan operasi dengan waktu terbesar daripada operasi
dengan waktu yang tidak terlalu besar tetapi diikuti oleh banyak operasi
lainnya. Langkah-langkah penyelesaian dengan metode Region Approach
adalah sebagai berikut :
1. Buat precedence diagram.
2. Bagi precedence diagram ke dalam wilayah-wilayah dari kiri ke
kanan.
Gambar ulang precedence diagram, tempatkan seluruh task di daerah
paling ujung sedapat-dapatnya.
3. Dalam tiap wilayah urutkan task mulai dari waktu operasi terbesar
sampai dengan waktu operasi terkecil.
4. Tentukan waktu siklus (CT).
5. Bebankan task dengan urutan sebagai berikut (perhatikan pula
untuk menyesuaikan diri terhadap batas wilayah) :
a.. Daerah paling kiri terlebih dahulu.
b. Dalam 1 wilayah, bebankan task dengan waktu terbesar pertama
kali.
6. Pada akhir tiap pembebanan stasiun kerja, tentukan apakah utilisasi
waktu tersebut telah dapat diterima. Jika tidak, periksa seluruh task
yang memenuhi hubungan keterkaitan dengan operasi yang telah
dibebankan. Putuskan apakah pertukaran task-task tersebut akan
meningkatkan utilisasi waktu stasiun kerja. Jika ya, lakukan perubahan
tersebut.
2.4. Konsep Dasar Tentang Desain Pabrik
a. Pengertian dan definisi pabrik atau industri
Pabrik yang dalam istilah asingnya dikenal sebagai factory atau plant adalah
setiap tempat dimana faktor-faktor seperti:
1. Manusia
2. Mesin dan peralatan (fasilitas) produksi lainnya
3. Material
4. Energi
5. Uang (modal/kapital)
6. Informasi dan
7. Sumber daya alam (tanah, Air, mineral,dll)
Dikelola bersama-sama dalam suatu sistem produksi guna menghasilkan
suatu produk atau jasa secara efektif, efisien dan aman. Istilah pabrik ini
diartikan sama dengan industri, meskipun industri sebenarnya memiliki
pengertian yang lebih luas. Pabrik pada dasarnya merupakan salah satu jenis
industri yang terutama akan menghasilkan produk jadi (finished goods
product). Seperti halnya yang dijumpai pada industri manufaktur.
Dengan mempertimbangkan aktivitas-aktivitas yang umum dilaksanakan, maka
industri akan dapat diklasifikasikan sebagai:
1. Industri Penghasil Bahan Baku (The Primary Raw Material Industries)
Yaitu industri yang aktivitas produksinya adalah mengolah sumber daya alam
guna menghasilkan bahan baku maupun bahan tambahan lainnya yang dibutuhkan
oleh industri penghasil produk atau jasa. Industri tipe ini dikenal juga sebagai
“extractive/primary industry”. Contoh: Industri pengolahan bijih besi dll.
2. Industri Manufaktur (The Manufacturing Industries)
Yaitu industri yang memproses bahan baku guna dijadikan bermacam-macam
bentuk/model produk, baik yang berupa produk setengah jadi (semi finished
good) ataupun yang sudah berupa produk jadi (finished good product). Disini
akan terjadi suatu transformasi proses baik secara fisik ataupun kimiawi terhadap
input material dan akan memberi nilai tambah terhadap material tersebut.
Contoh: Industri permesinan, industri mobil, dan lain-lain.
3. Industri Penyalur (Distribution Industries)
Yaitu industri yang berfungsi untuk melaksanakan pelayanan jasa industri baik
untuk bahan baku maupun “finished good product”. Disini bahan baku ataupun
bahan setengah jadi akan didistribusikan dari produsen yang lain dan dari
produsen ke konsumen. Operasi kegiatan akan meliputi aktivitas pembelian dan
penjualan, penyimpanan, sorting, grading, packaging dan moving goods
(transportasi).
4. Industri Pelayanan/Jasa (Service Industries)
Yaitu industri yang bergerak dalam bidang pelayanan atau jasa, baik untuk
melayani dan menunjang aktivitas industri yang lain maupun langsung
memberikan pelayanan/jasa kepada consumen. Contoh: Bank, jasa angkutan,
rumah sakit, dll.
Dari hal-hal tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa industri akan memiliki
pengertian dan definisi yang luas sesuai dengan karakteristik dari jenis masukan,
proses produksi yang berlangsung, dan jenis keluaran yan dihasilkan. Dalam
kaitannya dengan jenis keluaran yang dihasilkan maka industri yang
menghasilkan keluaran berupa material, peralatan produksi, mesin dan lain-lain
yang akan digunakan untuk proses produksi di industri/pabrik lain dikenal sebagai
“producer goods industries”. Sedangkan industri yang hasil keluarannya akan
langsung digunakan oleh consumer disebut “consumer goods industries”.
2.5. Ruang Lingkup Perencanaan Fasilitas Produksi
Didalam perencanaan fasilitas pabrik ada dua hal pokok yang akan dibahas , yaitu
pertama berkaitan dengan perencanaan lokasi pabrik (plant location) yaitu
penetapan lokasi dimana fasilitas-fasilitas produksi harus ditempatkan, dan yang
kedua adalah perancangan fasilitas produksi (facilities design) yang akan meliputi
perancangan tata letak fasilitas produksi (facilities/plant layout design) dan
perancangan sistem pemindahan material. Secara skematis hirarki dari
perencanaan fasilitas pabrik tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: