1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam melangsungkan kehidupannya, baik secara langsung maupun tidak langsung dan bahkan seringkali tanpa disadarinya akan selalu bergantung pada lingkungan fisik dan alam tempatnya hidup. Manusia dari satu segi menjadi sebagian dari lingkungan fisik dan alam tempatnya hidup, dan di sisi lainnya lingkungan fisik dan alam adalah sebagian dari diri manusia. Kerangka landasan bagi menciptakan dan membuat manusia menjadi tergantung serta menjadi bagian dari lingkungan fisik dan alam adalah kebudayannya. Suparlan (1980: 238) menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak begitu saja diturunkan, tetapi manusia harus mempelajari kebudayaannya melalui proses enkulturasi dan sosialisasi yang diwujudkan dalam proses pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan luar sekolah. Suparlan (1980: 239) mengatakan, bahwa pengetahuan tidak diperoleh manusia melalui warisan genetika yang ada dalam tubuhnya tetapi kedudukannya sebagai
34
Embed
BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
! 1!
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia dalam melangsungkan kehidupannya, baik secara langsung maupun
tidak langsung dan bahkan seringkali tanpa disadarinya akan selalu bergantung
pada lingkungan fisik dan alam tempatnya hidup. Manusia dari satu segi menjadi
sebagian dari lingkungan fisik dan alam tempatnya hidup, dan di sisi lainnya
lingkungan fisik dan alam adalah sebagian dari diri manusia. Kerangka landasan
bagi menciptakan dan membuat manusia menjadi tergantung serta menjadi bagian
dari lingkungan fisik dan alam adalah kebudayannya. Suparlan (1980: 238)
menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi
lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi
mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia.
Kebudayaan tidak begitu saja diturunkan, tetapi manusia harus mempelajari
kebudayaannya melalui proses enkulturasi dan sosialisasi yang diwujudkan dalam
proses pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan luar sekolah.
Suparlan (1980: 239) mengatakan, bahwa pengetahuan tidak diperoleh manusia
melalui warisan genetika yang ada dalam tubuhnya tetapi kedudukannya sebagai
! 2!
makhluk sosial. Ini berarti bahwa kebudayaan tersebut telah diperoleh melalui
proses belajar dari lingkungannya dan dengan proses belajar ini manusia
memperoleh berbagai macam pengetahuannya. Hubungan antara kegiatan
manusia dengan lingkungan fisik dan alamnya dijembatani oleh pola-pola
kebudayaan yang dipunyai manusia, dengan kebudayaan inilah manusia
beradaptasi dengan lingkungannya, dan dalam proses adaptasi ini manusia
mendayagunakan lingkungannya (Forde dalam Suparlan, 1963:463)
Soemarwoto (2004: 20) menegaskan suatu sistem ekologi terbentuk oleh
hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya. Hubungan
timbal balik yang harmonis antara manusia dengan alam terwujud dalam etika
ekosentrisme. Etika ini melihat kepentingan manusia bukan sebagai yang paling
utama dan dengan penuh kesadaran melibatkan alam secara keseluruhan,
sehingga menciptakan eksosistem yang seimbang.
Paham ekosentrisme justru banyak dihayati oleh masyarakat bersahaja
(indigenous people) yang meyakini bahwa alam dan dirinya adalah unsur yang
tidak terpisahkan (inklusionisme). Ryan (1992: 29) mengatakan sebenarnya
masyarakat telah melindungi sistem ekologis secara sadar selama ribuan tahun.
Para petani di Asia Selatan dan Asia Tenggara dari dahulu secara tradisional
selalu menganggap hutan sebagai tempat keramat dan sangat menghormatinya,
mereka menaruh kepercayaan bahwa hutan merupakan tempat berkuasanya para
dewa serta tempat tinggal para leluhur.
! 3!
Sekitar tahun 2000-an wacana mengenai lingkungan hangat dibicarakan
karena rusaknya hutan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Food and
Agriculture Organisation (FAO) memperkirakan angka kerusakan hutan di
Indonesia terus meningkat. Setiap tahunnya 300.000 ha pada dekade 70-an
meningkat drastis menjadi 600.000 ha pada awal tahun 80-an. FAO juga
memprediksikan laju kerusakan hutan terus meningkat mencapai 1,3 juta ha/tahun
(Tanah Air, 9/5/90). Majalah Buletin Lestari (9/3/06) melaporkan, sejak tahun
1990 hingga tahun 2000 laju deforestasi kawasan hutan di Indonesia mengalami
peningkatan. Tahun 1997 masih sekitar 1,8 juta ha/tahun, periode 1997-2000
telah meningkat mencapai 2,8 juta ha/tahun.
Saat ini diperkirakan sekitar 31.817,75 hektar atau 25 persen dari luas
keseluruhan hutan daratan di Bali, yang seluas 127.271,01 hektar, mengalami
konversi fungsi lahan. Perubahan fungsi lahan hutan tersebut disebabkan
beberapa hal, antara lain perambahan kawasan hutan oleh kelompok-kelompok
masyarakat yang berdiam di dekat hutan dan penggunaan kawasan hutan untuk
pembangunan di luar sektor kehutanan, penebangan liar dan kebakaran, serta
khusus untuk kebakaran, diperkirakan rata-rata 350 ha lahan hutan di Bali
terbakar setiap tahunnya (Anonim, 2005). Berdasarkan data Dinas Kehutanan
Bali pada tahun 2000, luas kawasan hutan daratan di Bali adalah 127.721,01
hektar atau hanya 22,59 persen dari luas keseluruhan kawasan daratan Bali yang
seluas 563.286 hektar (Anonim, 2006). Berita terkini pada bulan Agustus sampai
! 4!
dengan Nopember 2014 kembali terjadi kebakaran hutan di lereng Gunung Batur
seluas 10 hektar (Bali Post, 15/09/14 ) serta di lereng Gunung Agung seluas 15
hektar. Salah satu dampak vital dari kerusakan hutan adalah bencana kekeringan,
sebab kerusakan hutan secara langsung mengganggu aktivitas hidrologi.
Data di atas menunjukkan keadaan hutan yang kian memprihatinkan,
sehingga menimbulkan suatu kesadaran untuk meniru pola pengelolaan hutan
yang secara turun temurun dalam keadaan sengaja maupun tidak telah
dipraktekkan oleh beberapa desa yang ada di Bali, salah satunya di Desa Bayung
Gede, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa Bayung Gede salah satu
Desa Bali Mula yang sampai saat ini masih memelihara tradisi dan nilai-nilai
tradisional yang diwarisi secara turun-temurun.
Masyarakat Bali Mula di Bayung Gede juga menganut sistem desa adat yang
berlandaskan awig-awig (aturan adat setempat) yang berfungsi untuk
menjalankan fungsi-fungsi kegiatan adat yang ada di Desa Bayung Gede. Tatanan
sosial-budaya masyarakat Bayung Gede memperlihatkan bahwa desa adat
merupakan simbol sakralisasi yang telah bertahan ratusan mungkin ribuan tahun,
memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis. Hal ini bisa dilihat dari
eksistensi politis dan sosiologis yang diperankan oleh desa adat dalam
memajukan maupun mempertahankan nilai-nilai kultural masyarakat setempat
(Lasmawan, 2002; Suastika, 2008). Salah satu nilai-nilai kultural tersebut adalah
penguburan ari-ari dengan cara digantung di pohon bukak (Cerbera manghas)
! 5!
yang dipercaya oleh masyarakat setempat dapat memelihara dan melindungi bayi
mereka secara magis, sehingga terhindar dari berbagai macam penyakit dan
gangguan yang tidak dapat dilihat secara kasat mata.
Manusia tidak pernah menghadapi lingkungan fisik secara langsung, mereka
selalu mendekati alam dengan budaya, dalam berbagai sistem simbol, makna dan
nilai (Sahlin, 1997). Mitologi asal-usul masyarakat Bayung Gede menyebutkan
bahwa leluhur mereka berasal dari tued kayu (pangkal pohon) yang dihidupkan
dengan tirta kamandalu yang dibawa dari Pulau Jawa oleh titisan Bhatara Bayu.
Masyarakat Bayung Gede meyakini, bahwa asal mula mereka adalah kayu yang
mendapatkan restu dari Bhatara Bayu untuk menjelma menjadi manusia. Oleh
karena asal mereka dari kayu, maka ketika bayi baru lahir dari rahim ibunya harus
dikembalikan kepada asalnya, yaitu kepada kayu. Pelaksanaan prosesi sistem
gantung ini disimboliskan dengan menggantung ari-ari bayi atau saudara sang
bayi di pohon bukak atau bungkak (Cerbera manghas).
Masyarakat Bali Dataran pada umumnya akan menanam ari-ari bayi di
halaman rumah keluarga yang melahirkan. Ari-ari bayi memiliki kaitan yang erat
dengan kepercayaan empat saudara. Keempat saudara ini berupa unsur yeh nyom
(air ketuban), getih (darah), lamad dan ari-ari yang semuanya disebut dengan
Catur Sanak atau Kandapat (Eiseman, 1989:103). Catur Sanak memiliki fungsi
melindungi si bayi dari penyakit, mengusir roh-roh jahat yang mengganggu si
! 6!
bayi dan menjamin si bayi dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat serta
kuat.
Prosesi gantung ari-ari di pohon bukak (Cerbera manghas) merupakan tradisi
unik yang terkadang sulit diterima oleh akal sehat, apalagi ari-ari yang digantung
di areal setra (kuburan) tidak menimbulkan bau busuk. Tradisi langka ini masih
tetap dipertahankan oleh masyarakat Bayung Gede di tengah gempuran penetrasi
budaya oleh Bali Dataran ( Hindu Majapahit) dan gempuran globalisasi.
Pohon bukak (Cerbera manghas) sebagai tempat menggantung ari-ari bayi
adalah pohon yang banyak ditemukan di Desa Bayung Gede. Pohon bukak
(Cerbera manghas) dapat tumbuh dari 3 sampai dengan 10 meter dan memiliki
buah yang terbelah dua, yang memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Bayung
Gede. Secara filosofis pohon bukak (Cerbera manghas) diyakini merupakan ibu
saudara sang bayi yang akan mengasuhnya secara magis, saudara ini
dilambangakan oleh ari-ari yang lahir bersama dengan sang bayi. Prosesi upacara
ari-ari dengan sistem gantung juga merupakan bentuk penghormatan terhadap
nenek moyang masyarakat Bayung Gede. Dalam prosesi ini pohon dimaknai
sebagai manusia yang menjaga saudara bayi (ari-ari) dari berbagai macam
gangguan.
Areal setra ari-ari bertempat di sebelah Selatan pusat Desa Bayung Gede dan
merupakan bagian integral dari Desa Bayung Gede berdasarkan pada zona
pembagian ruang desa yang tegas dan sesuai dengan awig-awig Desa Bayung
! 7!
Gede. Tempat ini merupakan sebuah hutan kecil dengan luas 60 are yang
ditumbuhi berbagai jenis pohon lebat dan didominasi oleh pohon bukak (Cerbera
manghas). Setra ari-ari termasuk ke dalam kawasan sakral yang dilindungi,
segala jenis pohon yang berada dalam areal setra ari-ari dilarang untuk ditebang,
sehingga kelestarian hutan tetap terjaga.
Mengacu pada pemikiran Rappaport, bahwa masyarakat pribumi memiliki
interpretasi tentang dunia, serangkaian peraturan dan ekspektasi, menghargai
prinsip, konsep dan nilai yang signifikan dengan pengemban budaya individu dan
mencatat mengapa dia melakukan sesuatu (Rappaport, 1968). Para penganut
aliran materialisme budaya melihat kearifan ekologi sebagai logika rasionalisme
yang tersembunyi di balik selubung budaya. Menurut paham aliran ini bahwa di
balik berbagai bentuk kepercayaan tradisional sesungguhnya terdapat logika-
logika rasional yang mencerminkan prinsip-prinsip adaptasi ekologi (Pujaastawa,
2013:4)
Bali serta banyak daerah lainnya telah mengalami degradasi hubungan
manusia dengan lingkungannya. Pembangunan yang pesat di satu sisi telah
melupakan pentingnya memperhitungkan resapan air (biopori) yang berakibat
terjadinya bencana banjir atau tanah longsor (erosi). Kawasan Gunung Batur dan
sekitarnya, termasuk Bayung Gede memiliki peran yang sangat penting dalam
mempertahankan ketersediaan air serta pelestarian hutan (Anonim, 2014).
! 8!
Fenomena keberadaan hutan Setra Ari-ari menarik untuk dikaji, karena hasil
observasi dan wawancara dengan masyarakat Bayung Gede, menunjukkan bahwa
di dalam hutan setra ari-ari terkandung logika-logika rasional yang terselubung
di dalam berbagai bentuk simbol dan makna yang mencerminkan prinsip-prinsip
ekologi.
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian ini mengkaji kearifan ekologi masayarakat Bayung Gede dalam
pelestarian hutan setra ari-ari di Desa Bayung Gede, Kecamatan Kintamani,
Kabupaten Bangli, Bali. Bayung Gede berada pada ketinggian 1.100 meter di atas
permukaan laut sehingga memiliki hawa sejuk. Lokasi Bayung Gede yang berada
di daerah pegunungan memiliki peranan yang sangat penting dalam pelestarian
hutan. Berdasarkan pada latar belakang di atas Desa Bayung Gede yang termasuk
dalam Desa Bali Mula, memiliki tradisi ritual yang mengandung kearifan ekologi
terutama dalam bentuk pelestarian hutan. Secara lebih eksplisit, permasalahan
dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Mengapa masyarakat Bayung Gede melakukan pelestarian hutan Setra
Ari-ari?
2. Bagaimana makna simbolik Setra Ari-ari bagi masyarakat Bayung Gede?
! 9!
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Uraian tentang latar belakang penelitian yang kemudian dirumuskan dalam
dua permasalahan mendasar pada kajian ini, berimplikasi pada tujuan dan
manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Adapun tujuan dan manfaat
tersebut yakni sebagai berikut :
1.3.1 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kearifan ekologi masyarakat Bayung Gede dalam
mengatasi masalah pelestarian hutan setra ari-ari.
2. Untuk memahami makna simbolik Setra Ari-ari bagi masyarakat Bayung
Gede.
1.3.2 Manfaat Akademis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan bagi
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya Antropologi Ekologi.
2. Penelitian ini dapat memotivasi dan menginspirasi peneliti-peniliti lain
yang tertarik untuk melihat permasalahan lingkungan hidup berbasiskan
kearifan lokal.
! 10!
1.3.3 Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian Setra Ari-ari ini, dapat dijadikan sebagai sumbangan
informasi mengenai salah satu kearifan ekologi yang ada di Nusantara.
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan bagi para pengambil
keputusan dalam upaya pengembangan dan pengelolaan hutan berbasiskan
kearifan ekologi.
1.4 Kerangka Teori dan Konsep
1.4.1 Kerangka Teori
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan etnoekologi
dan teori interpretatif Geertz.
1.4.1.1 Pendekatan Etnoekologi
Etnoekologi menjadi pendekatan antropologi ekologi yang sangat
berkembang hampir dalam 2 dasawarsa terakhir. Pendekatan ini muncul
setelah pendekatan ekologi budaya Julian Steward yang dinilai masih kurang
memadai dalam penelitian hubungan kebudayaan dan lingkungan. Dalam
kritiknya Harris melihat adanya inkonsistensi Steward dalam konsep cultural
core miliknya, di samping itu Steward tidak mempertimbangkan bahwa
kebudayaan mungkin dapat memengaruhi lingkungan dengan cara yang kelak
akan merugikan manusia (Harris dalam Ahimsa Putra 1964: 75). Pendekatan
! 11!
dalam etnoekologi banyak berasal dari pendekatan etnosains yang melukiskan
lingkungan sebagaimana dilihat oleh masyarakat yang diteliti (Arifin, 1998:
61).
Pendekatan etnoekologi mendapat banyak pengaruh dari konsep
etnosain yang mengacu pada paradigma kebudayaan yang menyatakan bahwa
kebudayaan tidak berwujud fisik tapi berupa pengetahuan yang ada pada
manah manusia. Etnosain banyak mengkaji klasifikasi untuk mengetahui
struktur yang digunakan untuk mengatur lingkungan dan apa yang dianggap
penting oleh suatu etnik, penduduk suatu kebudayaan. Setiap suku bangsa
membuat klasifikasi yang beda atas lingkungan nya dan hal ini tercermin pula
pada kata-kata atau leksikon yang mengacu benda, hal, kegiatan bahkan juga
struktur sintaksis yang diperlukan untuk mempresentasikan pengalaman yang
berbeda unik (Goodenough dalam Ahimsa Putra, 1964).
Etnoekologi dapat diartikan sebagai upaya manusia dalam beradaptasi
dengan lingkungan, cara manusia menggunakan lingkungan dan juga
keselarasan hidup sosial dengan lingkungan alam manusia. Ahimsa Putra
(2007) juga mengungkapkan konsep etnoekologi menelaah cara-cara
masyarakat tradisional memakai ekologi dan hidup selaras dengan lingkungan
alam dan sosialnya. Kehidupan masyarakat tradisional pada umumnya amat
dekat dengan alam, dan manusia mengamati alam dengan baik, mengenal
karakteristiknya sehingga mereka tahu bagaimana menanggapinya.
! 12!
Pendekatan etnoekologi dipandang relevan dengan permasalahan yang
penulis angkat. Masyarakat Bayung Gede merupakan masyarakat Bali Mula
yang masih konsisten dengan kepercayaannya untuk menjaga dan mentaati
peraturan yang berkaitan dengan keberadaan Setra Ari-ari serta pelestarian
hutan yang diatur dalam awig-awig Desa Adat Bayung Gede. Masyarakat
Bayung Gede memiliki idea atau pemikirannya sendiri mengenai konsep
hutan yang berhubungan dengan asal-usul leluhur mereka, sehingga secara
tidak langsung menjaga kelestarian hutan. Fenomena ini sangat menarik untuk
diungkap lebih jauh untuk mencari keterkaitan serta makna dari keyakinan
masyarakat Bayung Gede.
1.4.1.2 Interpretatif Clifford Geertz
Penulis menggunakan metode interpretatif dari Clifford Geertz dalam
mengungkapkan pikiran masyarakat setempat mengenai setra ari-ari.
Paradigma interpretatif Geertz melihat kebudayaan sebagai model
pengetahuan masyarakat, yang dengan model tersebut menjadi acuan
masyarakat dalam mengambil keputusan terhadap lingkungan (Syam, 2007:
91). Clifford Geertz (1973:89) mengemukakan suatu definisi kebudayaan
sebagai: (1) suatu sisitem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang
dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia
mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian
! 13!
mereka; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang
terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk
simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan
mengembangkan pengetahuan mereka mengenai sikap terhadap kehidupan;
(3) suatu peralatan simbolik bagi pengontrol perilaku, sumber-sumber
ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu
sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan
diinterpretasi. Masyarakat menggunakan simbol untuk mengekspresikan
pandangan-pandangan dunianya, orientasi-orientasi nilai, etos, dan berbagai
aspek budaya lain (Ortner 1983:129). Ritus-ritus dalam budaya masyarakat
Bayung Gede, khususnya yang menyangkut setra ari-ari merupakan salah
satu medium yang tepat untuk mencermati pandangan masyarakat tersebut
terhadap alamnya.
Menurut Geertz, kebudayaan pada intinya terdiri dari tiga hal utama,
yaitu sistem pengetahuan atau sistem kognitif, sistem nilai atau sistem
evaluatif, dan sistem simbol yang memungkinkan pemaknaan atau
interpretasi. Adapun titik pertemuan antara pengetahuan dan nilai yang
dimungkinkan oleh simbol ialah yang dinamakan makna (system of meaning).
Dengan demikian, melalui sistem makna sebagai perantara, sebuah simbol
dapat menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai dan menerjemahkan nilai
menjadi pengetahuan. Untuk memahami budaya, seorang pengkaji tidaklah
! 14!
berangkat dari pikirannya sendiri, tetapi harus berdasar atas apa yang
diketahui, dirasakan, dialami oleh pelaku budaya yang dikajinya “to grasp the
native’s point of view, his relation to life, to realize his vision of his world
(Malinowski dalam Lahajir, 2001:27) yang merupakan hakikat dari
pemahaman antropologis.
1.4.2 Konsep
1.4.2.1 Kearifan Ekologi
Kearifan Ekologi ialah logika masyarakat yang tanpa disadari telah
mendukung pelestarian lingkungan. Kearifan ekologi dapat ditemukan dalam mitos-
mitos dan tabu yang diyakini memiliki nilai kebenaran oleh masyarakat setempat.
Kearifan ekologi termasuk dalam bentuk kearifan local (local genius). Mengutip dari
Kementrian Lingkungan Hidup, kearifan lokal ialah nilai-nilai luhur (sistem
pengetahuan, sistem sikap dan perilaku, pengetahuan dan kegiatan pelestarian
lingkungan hidup dan ingatan kolektif) yang berlaku di dalam masyarakat untuk
antara lain melindungi serta mengelola lingkungan hidup secara lestari. Hal yang
sama dikemukakan oleh Astika (2008: 39) bahwa local genius atau kearifan lokal
sebenarnya memberi arti pada keseluruhan ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki oleh
suatu masyarakat atau bangsa sebagai hasil pengalaman mereka di masa lampau.
1.4.2.2 Masyarakat Bali Mula di Bayung Gede
! 15!
Konsep Bali Mula merupakan sebutan bagi masyarakat Bali Asli yang tinggal
di pegunungan sehingga masyarakat ini juga seringkali disebut dengan Bali Aga. Aga
secara etimologi berasal dari bahasa Jawa yakni arga yang berarti gunung dan dalam
bentuk rusak menjadi aga (Danandjaja, 1980: 1). Masyarakat Bali Mula merupakan
masyarakat pra Hindu dari desa-desa yang menolak pengaruh dan budaya termasuk
juga praktek-praktek keagamaan dari kerajaan Majapahit yang tinggal di area
pegunungan bagian Utara Bali (Dalton, 1989: 406).
Wikarman (1998:45) dalam bukunya “Leluhur Orang Bali: Dari Dunia Babad
dan Sejarah” menyebutkan bahwa orang-orang Bali Mula atau Bali Asli adalah
orang-orang keturunan Austronesia yang dari jaman Megalitik telah mengenal sistem
organisasi sosial yang diaktualisasikan lewat persekutuan masyarakat yang disebut
dengan thani atau Banua (Wanua), dipimpin secara kolektif oleh 16 Jero dan oleh
para ahli disebut sebagai Republik Desa. Persekutuan kepemimpinan ini masih tetap
dipertahankan di desa-desa Bali Mula terutama dalam bidang adat. Persekutuan
kepemimpinan orang-orang Austronesia ini telah merata di seluruh wilayah di Bali
dan menjadi cikal bakal desa-desa di Bali. Orang-orang Austronesia ini dianggap
sebagai leluhur sebagian orang Bali Mula yang berarti orang-orang Bali Asli. Adanya
sebutan Bali Mula adalah untuk membedakannya dengan orang-orang yang
leluhurnya datang belakangan ke Bali yang umumnya dari Jawa. Pada jaman
Megalitik orang-orang Bali Mula ini belum beragama, mereka hanya menyembah
leluhur yang mereka sebut sebagai Hyang, dari pandangan spiritual, mereka masih
! 16!
hampa. Oleh karenanya pulau Bali ketika itu oleh purana-purana dikatakan masih
kosong dan keadaan ini berlangsung sampai abad ke-4 Masehi.
Rsi Markandya yang mengetahui keadaan Pulau Bali yang hampa
berkeinginan untuk memajukan Bali dalam berbagai sektor kehidupan. Menurut
purana, Rsi Markandya adalah seorang rsi yang berasal dari India, yaitu dari garis
keturunan Markandya. Rsi Markandya datang ke kepualauan Nusantara untuk
menyebarkan Agama Hindu dari sekte Waisnawa. Di Jawa beliau mendirikan asrama
di wilayah pegunungan Dieng, yang kemudian ber-dharmayatra ke timur dan sampai
di Gunung Raung di Jawa Timur dan kembali membuka asrama dengan murid-
muridnya dari Wong Aga (orang Aga). Beberapa tahun kemudian Rsi Markandya
pergi ke Timur, ke pulau Bali tepatnya di wilayah Taro, di sana Rsi Markandya juga
membangun Pura Gunung Raung untuk mengenang asrama beliau di Gunung Raung
Jawa Timur. Murid-murid beliau kemudian berbaur dengan orang-orang Bali Asli
atau Bali Mula dan mengajarkan berbagai pengetahuan sehingga mereka dapat
berbaur dengan baik. Istilah Bali Aga dan Bali Mula seringkali menimbulkan
kerancuan, perbedaan ini dapat dilihat dari silsilah dan latar belakang historisnya.
Orang Bali Mula adalah orang-orang Bali Asli yang dalam analisis arkeologis berasal
dari Tonkin, Cina Selatan, namun diterima dan disepakati sebagai leluhur orang Bali
Mula, sedangkan orang Bali Aga adalah orang-orang keturunan atau murid dari Rsi
Markandya yang datang ke Bali dan membaur dengan penduduk asli Bali.
! 17!
Secara geokultural, orang-orang Bali keturunan Majapahit tinggal di daerah
Bali dataran yang berlimpah dengan air. Sehingga, mereka mengenal sistem
pengairan (subak) dan juga menganut sistem apanage. Secara politis, orang Bali
dataran lebih memilih sistem kepemimpinan tunggal dan monolitik. Mereka
mengenal Puri dan Grya sebagai pemegang otoritas ekonomi-politik dan kultural.
Sebaliknya, orang Bali Mula tinggal di wilayah pedalaman yang berbukit-bukit.
Secara ekologis, mereka sangat tergantung pada alam dan sumber daya hutan. Secara
politis, mempunyai sistem sosial yang komunal dan kepemimpinan kolektif
(Dwipayana, 2007: 1).
Perbedaan orang Bali Mula dengan orang Bali belakangan (Bali Majapahit),
tampak sekali pada upacara kematiannya. Orang Bali Mula melaksanakan upacara
kematiannya dengan mendhem atau menanam, yang disebut bea tanem. Orang Bali
Mula merupakan keturunan orang-orang Austronesia dari zaman perundagian
(Megalithikum) yang memiliki tradisi menguburkan dalam upacara kematian. Tradisi
ini begitu mendarah daging dan sulit diubah. Orang Bali Mula menerima kepercayaan
Agama Hindu yang datang belakangan, namun tradisi asli tetap mereka pertahankan.
Salah satu kepercayaan yang mereka terima adalah upacara ngaben, tetapi tidak
seperti orang Bali Dataran mereka tidak membakar mayat, mereka hanya menerima
upacara dan upakaranya saja. Sistem bea tanem sampai sekarang masih dilaksanakan
oleh orang-orang Bali Mula. Ciri lainnya yang memperlihatkan keturunan orang-
orang Austronesia dari zaman Megalithikum adalah ketika ngaben, mereka tidak
! 18!
berani menghias wadahnya dengan kertas, perasbaan, kapas, dan lain-lainnya.
Mereka hanya mempergunakan bahan-bahan lokal, seperti ambu, padang-padang,
plawa, dan lain-lainnya (Singgih, 1998: 12-13).
Salah satu ciri unik dalam tradisi penguburan masyarakat Bayung Gede
sebagai salah satu Bali Mula adalah tradisi penguburan ari-ari. Tradisi penguburan
ini masih bertahan, karena konsep dan ideanya berkaitan erat dengan mitologi asal
usul masyarakat Bayung Gede yang masih dipercayai hingga kini.
1.4.2.3 Hutan
Hutan menurut pemerintah berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan
No. 5 tahun 1967 adalah “suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohonan yang secara
keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati, alam lingkungannya dan
yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan”.Food and Agriculture Organization
(FAO 2010) menyatakan hutan adalah “Lahan yang luasnya lebih dari 0,5 hektar
dengan pepohonan yang tingginya lebih dari 5 meter dan tutupan tajuk lebih dari
10 persen, atau pohon dapat mencapai ambang batas ini di lapangan. Tidak termasuk
lahan yang sebagian besar digunakan untuk pertanian atau permukiman”.
Setra Ari-ari adalah kawasan hutan kecil seluas 60 are atau 0,6 hektar yang
terletak di sebelah selatan Desa Bayung Gede . Hutan ini ditumbuhi banyak
pepohonan yang didominasi oleh pohon bukak (Cerbera manghas) yang memiliki
ketinggian dari 3 sampai dengan 10 meter. Pohon ini dipergunakan sebagai sarana
! 19!
menggantung ari-ari, karena mencegah timbulnya bau busuk, sehingga setiap
pepohonan yang tumbuh di areal setra ini dilindungi oleh peraturan adat setempat.
1.4.2.4 Setra Ari-ari
Orang Hindu menganggap plasenta bayi yang lahir bersamaan dengan sang
bayi sebagai saudara si bayi, sehingga tidak boleh dibuang sembarangan, tetapi harus
dikubur secara layak dan dilakukan dengan rangkaian upacara (Putra, 1988). Desa
Bali Mula Bayung Gede memiliki tradisi penguburan plasenta yang unik. Pada
umumnya plasenta bayi akan dikuburkan di pekarangan rumah orang yang
melahirkan, tetapi di Bayung Gede plasenta akan dikuburkan di tempat khusus yang
disebut dengan setra ari-ari.
Setra atau sema adalah areal kuburan, sedangkan ari-ari adalah plasenta.
Setra ari-ari memiliki pengertian sebagai tempat penguburan plasenta bayi yang baru
lahir. Ari-ari ini akan digantung di sebuah pohon yang disebut dengan pohon bukak
(Cerbera manghas) dan dibungkus di dalam tempurung kelapa bersama dengan
rempah-rempah. Prosesi upacara ari-ari dengan sistem gantung ini didasarkan pada
sejarah yang dipercayai dan diyakini oleh masyarakat Bayung Gede.
1.4.2.5 Konsep Simbol
Simbol-simbol adalah garis-garis penghubung antara pemikiran manusia
dengan kenyataan yang ada di luar, yang dengan mana pemikiran harus selalu
! 20!
berhubungan atau berhadapan; dan yang dalam hal ini pemikiran manusia dapat
dilihat sebagai “suatu bentuk sistem lalu lintas dalam bentuk simbol-simbol yang
signifikan (Geertz, 1973: 93). Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau
bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Bentuk primer dari
simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi manusia juga berkomunikasi
dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur,