1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Kerajaan Majapahit didirikan oleh Nararya Sanggramawijaya pada tahun 1293 Masehi. Ketika Majapahit mencapai masa keemasannya, ibukotanya yang berada di tepi sungai Brantas menjadi sebuah kota yang kaya dan makmur. Banyak pendatang dari luar daerah datang ke sini khususnya untuk urusan perdagangan dan diplomatik. Para pendatang tersebut misalnya dari daerah lain di Jawa, beberapa pulau di nusantara seperti Bali, Dompo, Suwarnadwipa, dan juga orang–orang dari daerah yang lebih jauh lainnya seperti Campa, Siam, Khmer, Birma dan tentu saja Cina. Kondisi ini direkam oleh Prapanca dengan baik dalam karyanya Desawarnnana atau yang lebih banyak dikenal dengan Nagarakretagama 1 . Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, banyak sarjana yang meyakini bahwa ibukota kerajaan yang digambarkan Prapanca tersebut berada di daerah Trowulan saat ini. Setelah jatuh dan hancurnya Kraton Majapahit dalam beberapa episode konflik terbuka di internal kerajaan, kota raja Majapahit pindah ke arah barat, yakni Daha. Pada awal abad XVI, kerajaan Majapahit telah hilang dari catatan sejarah. Bekas kota rajanya, Trowulan menjadi onggokan reruntuhan bangunan–bangunan. Hanya pada waktu–waktu tertentu sajalah, raja atau pangeran dari Bali, yang meyakini bahwa mereka merupakan trah dari Majapahit, melawat untuk melakukan semacam perziarahan ke sana. Berdasarkan Kidung Pamancangah, suatu karya dari awal abad XIX, penulisnya memberikan informasi bahwa banyak penguasa dari 1 I Ketut Riana, Kakawin Desawarnnana uthawi Nagarakretagama (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), hlm. 13. Bandingkan juga dengan Slamet Muljana, Tafsir Sejarah Nagarkretagama (Yogyakarta: LkiS, 2006).
28
Embed
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88118/potongan/S2-2015... · nasionalisme para pemuda bumiputera yang pada periode hampir bersamaan juga menggelora.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Kerajaan Majapahit didirikan oleh Nararya Sanggramawijaya pada tahun 1293
Masehi. Ketika Majapahit mencapai masa keemasannya, ibukotanya yang berada di
tepi sungai Brantas menjadi sebuah kota yang kaya dan makmur. Banyak pendatang
dari luar daerah datang ke sini khususnya untuk urusan perdagangan dan diplomatik.
Para pendatang tersebut misalnya dari daerah lain di Jawa, beberapa pulau di
nusantara seperti Bali, Dompo, Suwarnadwipa, dan juga orang–orang dari daerah
yang lebih jauh lainnya seperti Campa, Siam, Khmer, Birma dan tentu saja Cina.
Kondisi ini direkam oleh Prapanca dengan baik dalam karyanya Desawarnnana atau
yang lebih banyak dikenal dengan Nagarakretagama1. Berdasarkan hasil penelitian
yang telah dilakukan, banyak sarjana yang meyakini bahwa ibukota kerajaan yang
digambarkan Prapanca tersebut berada di daerah Trowulan saat ini.
Setelah jatuh dan hancurnya Kraton Majapahit dalam beberapa episode
konflik terbuka di internal kerajaan, kota raja Majapahit pindah ke arah barat, yakni
Daha. Pada awal abad XVI, kerajaan Majapahit telah hilang dari catatan sejarah.
Bekas kota rajanya, Trowulan menjadi onggokan reruntuhan bangunan–bangunan.
Hanya pada waktu–waktu tertentu sajalah, raja atau pangeran dari Bali, yang
meyakini bahwa mereka merupakan trah dari Majapahit, melawat untuk melakukan
semacam perziarahan ke sana. Berdasarkan Kidung Pamancangah, suatu karya dari
awal abad XIX, penulisnya memberikan informasi bahwa banyak penguasa dari
1 I Ketut Riana, Kakawin Desawarnnana uthawi Nagarakretagama (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), hlm. 13. Bandingkan juga dengan Slamet Muljana, Tafsir Sejarah Nagarkretagama (Yogyakarta: LkiS, 2006).
2
kerajaan–kerajaan Bali memulai perziarahan itu sejak abad XVII atau XVIII. Banyak
sisa–sisa dari bangunan kerajaan seperti Kedaton, Manguntur, Segaran, dan Alun–
Alun dalam keadaan rusak seperti yang tercatat dalam kidung tersebut2. Dari catatan
tersebut dapat dilihat bagaimana bekas kota raja Majapahit di Trowulan ini mulai
dimaknai dan dimanfaatkan.
Berkuasanya bangsa Eropa atas Jawa membawa perubahan pada pemaknaan
dan pemanfaatan warisan Majapahit di Trowulan. Hal ini tampak pada apa yang
dilakukan oleh seorang Inggris, Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles pada
tahun 1815. Ketika Raffles berkeliling pulau Jawa, ia banyak memperhatikan
peninggalan–peninggalan monumen bercorak Hindu dan Budha, seperti relief–relief
yang ada di candi, reruntuhan dan lainnya seperti yang dikemukakan dalam bukunya,
History of Java. Reruntuhan dan sisa–sisa monumen tadi merupakan hal yang penting
karena Raffles paham bahwa orang Jawa memiliki memori tentang kejayaan di masa
lalu khususnya di era Majapahit. Raffles sendiri berkeyakinan bahwa, memori tentang
kejayaan masa lampau itu bisa dicapai kembali oleh masyarakat bumiputera melalui
bantuan dari pemerintah kolonial Inggris 3 . Namun sayang, ia tidak dapat
merealisasikan keyakinannya itu karena pada tahun 1819, Belanda kembali
mengambil alih pulau Jawa dan beberapa daerah lainnya di nusantara sesuai dengan
perjanjian yang disepakati antara kerajaan Belanda dan Inggris. Meskipun demikian,
Raffles tetap terukir namanya dalam sejarah sebagai orang pertama yang melakukan
2 Peter Carey, Amrit Gomperts, dan Arnoud Haag, “Rediscovering the Capital of Majapahit” dalam SPAFA Journal Vol. 20 No. 2, hlm. 12–15. 3 Mary Catherine Quilty, Textual Empires A Reading of Early British Histories of Southeast Asia (Clayton: Monash Asia Institute, 1998) hlm. 60–69. Menurut Catherine Quilty, Raffles berupaya membangkitkan romantisisme masa lalu Jawa sebelum kedatangan bangsa Belanda. Dia meyakini bahwa bangsa Belanda hanya memberikan kesengsaraan pada Jawa karena praktik monopoli khususnya di bidang ekonomi yang dilakukannya. Raffles juga meyakinkan para pembaca bukunya The History of Java, bahwa kedatangan Inggris ke Jawa adalah untuk membangkitkan kembali kejayaannya.
3
upaya pelestarian pusaka di Trowulan. Ia juga memerintahkan seorang Kapten
Insinyur J. W. B. Wardenaar, seorang Belanda beribu Jawa, untuk membuat pemetaan
kawasan tersebut. Peta yang dibuat oleh Wardenaar ini merupakan peta pertama yang
mendokumentasikan situs–situs di Trowulan dan sekitarnya.
Pada awal abad ke–20, pemerintah kolonial Hindia Belanda membentuk
Komisi Arkeologi dengan beberapa latar belakang seperti kepentingan politik etis dan
kerisauan estetis terhadap kerusakan yang terjadi secara alami maupun pengrusakan
dari peninggalan–peninggalan arkeologis di wilayah Hindia Belanda khususnya
monumen seperti Borobudur4. Sebelumnya telah ada institusi yang memiliki konsen
pelestarian budaya dan dibentuk oleh masyarakat yakni Bataviasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen atau Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia.
Lembaga ini mengumpulkan beberapa data tentang Majapahit dan artefak–artefak
peninggalannya yang kemudian menjadi koleksi lembaga tersebut. Pada tahun 1913,
Komisi Arkeologis Hindia Belanda berubah nomenklaturnya menjadi
Oudheidkundige Dienst atau Dinas Purbakala. Perubahan ini juga menandai semakin
meluasnya lingkup tugas institusi ini terhadap reruntuhan maupun monumen
peninggalan masa prasejarah maupun klasik di wilayah Hindia Belanda. Kawasan
Trowulan termasuk salah satu dalam obyek penelitian maupun konservasi Dinas
Purbakala.
Pemanfaatan dan pemberian makna terhadap kawasan Trowulan sejak saat itu
telah banyak didominasi oleh para sarjana yang juga menjabat dalam Dinas Purbakala
seperti H. Kern, R. Ng Poerbatjaraka, F. D. K. Bosch dan W. F. Stutterheim. Kedua
nama terakhir ini pernah menjadi Kepala Dinas Purbakala. Latar belakang disiplin
4 Marieke Bloembergen dan Martin Eickhoff, “Conserving the Past, Mobilizing the Indonesian Future; Archaeological Sites, Regime Change, and Heritage Politics in Indonesia in the 1950s” dalam BKI Vol. 167, No. 4 (2011), hlm. 405–436.
4
ilmu dari para sarjana tersebut adalah dari ilmu–ilmu humaniora khususnya ilmu
arkeologi, ilmu sejarah dan ilmu bahasa. Namun pada perkembangannya, penelitian
dan pelestarian kawasan Trowulan juga menarik minat sarjana dari disiplin ilmu yang
lain seperti arsitek Ir. Henry Maclaine Pont dan bahkan penguasa lokal Mojokerto,
Adipati Ario Kromodjojo Adinegoro IV. Nama Henry Maclaine Pont sendiri telah
kondang di Hindia Belanda sebagai arsitek dari beberapa bangunan baik di Belanda
maupun Hindia Belanda khususnya dengan arsitektur yang mengangkat kekhasan
nusantara. Sedangkan Ario Kromodjojo Adinegoro IV adalah adipati di Kadipaten
Mojokerto dimana Trowulan termasuk dalam wilayahnya. Mereka berdua juga
dikenal sebagai kolektor dari barang–barang antik dari masa klasik. Pada tahun 1924,
Maclaine Pont berinisiatif untuk mendirikan suatu lembaga yang bertujuan untuk
melakukan penelitian dan pelestarian peninggalan Majapahit di Trowulan. Lembaga
tersebut adalah Oudheidkundige Vereeniging Majapahit atau Perkumpulan Purbakala
Majapahit. Proyek paling besar dari perkumpulan ini adalah rekonstruksi dari Ibukota
Kerajaan Majapahit di Trowulan yang dimulai dari tahun 1924 sampai dengan tahun
19265.
Seiring dengan ditemukannya sumber sejarah paling primer tentang Majapahit
yakni Kakawin Desawarnnana atau yang lebih dikenal dengan nama
Nagarakretagama, banyak sarjana tertarik untuk meneliti dan melakukan interpretasi
atas sumber tersebut khususnya untuk membuat historiografi Majapahit. Manuskrip
kakawin yang ditemukan di Puri Cakranegara, Lombok ini merupakan catatan dari
Prapanca yang semasa dengan Raja Hayam Wuruk dimana kerajaan Majapahit
mencapai masa keemasannya. Kakawin ini juga menjelaskan secara rinci berbagai
5 Ir H Maclaine Pont, Overzicht van de Overwegingen Welke Geleid Hebben tot De Oprichting van de Oudheidkundige Vereeniging Majapahit te Modjokerto (Weltevreden: Albrecht & Co., 1924), hlm. 3–18.
5
aspek kehidupan pada masa itu termasuk salah satunya adalah deskripsi tentang
ibukota kerajaan. Di sana dijelaskan bagaimana istana raja Majapahit, perumahan
keluarga kerajaan, pemukiman para pejabat kerajaan termasuk Rakryan Mapatih Pu
Mada, alun–alun, pasar, candi serta pertapaan umat Hindu dan Budha, dan berbagai
bagian kota lainnya. Dari penjelasan kakawin ini, Maclaine Pont kemudian berupaya
untuk melakukan rekonstruksi dan pemetaan atas reruntuhan yang tersisa di
Trowulan. Bagi para sarjana dan pejabat di Dinas Purbakala, dari interpretasi kakawin
ini dan penemuan–penemuan artefak terbaru menambah komprehensif penulisan
sejarah tentang Majapahit dibanding masa sebelumnya6.
Namun di sisi lain, penemuan kakawin Nagarakretagama dan semakin
lengkapnya historiografi tentang kerajaan Majapahit, semakin menyulut bara
nasionalisme para pemuda bumiputera yang pada periode hampir bersamaan juga
menggelora. Salah seorang diantara para pemuda yang getol membawa isu kebesaran
kerajaan Majapahit untuk kebangkitan bangsanya justru adalah ketua terakhir dari
Jong Sumatranen Bond atau Perkumpulan Pemuda Sumatera, Muhammad Yamin.
Yamin sejak bersekolah di Algemene Middelbare School di Jawa telah banyak
menghabiskan buku–buku tentang Majapahit maupun terjemahan dari kitab–kitab
klasik seperti Pararaton dan Nagarakretagama yang diterjemahkan oleh H. Kern7.
Menurutnya, klaim wilayah bangsa Indonesia dapat didasarkan pada wilayah–wilayah
yang disebut dalam Nagarakretagama sebagai wilayah bawahan dari kerajaan
Majapahit. Yamin juga menulis beberapa buku tentang Majapahit diantaranya Gajah
Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara dan Sapta Parwa. Dalam buku Gajah Mada:
Pahlawan Nusantara, sosok Rakryan Mapatih Pu Mada dijadikan tokoh sentral dan
6 Ibid 7 Sapardi Djoko Damono, “Gajah Mada Celengan Rekaan Yamin”, dalam Tempo Edisi Khusus Hari Kemerdekaan, 18–24 Agustus 2014, hlm. 102.
6
pionir bagi persatuan di antara pulau–pulau di nusantara. Bahkan lebih jauh lagi,
Yamin menggambarkan sosok Gajah Mada dengan artefak terakota yang
ditemukannya pada saat ia berkunjung di Trowulan.
Upaya untuk meneliti sebagai bagian dari pemanfaatan kawasan Trowulan
yang dilakukan oleh Dinas Purbakala maupun perkumpulan yang dibentuk Maclaine
Pont berhenti karena kondisi yang tidak stabil di Jawa maupun Hindia Belanda yang
dimulai pada saat Perang Dunia II dan masa revolusi. Museum yang dirintis oleh
Perkumpulan Purbakala Majapahit di Trowulan ditutup dan Maclaine Pont ditangkap
oleh tentara Jepang pada tahun 1942. Barang–barang yang merupakan koleksi
museum dan milik pribadi Maclaine Pont di Trowulan disita oleh Jepang.
Pemanfaatan dan pemaknaan peninggalan purbakala di bekas wilayah Hindia
Belanda baru berlanjut ketika Republik Indonesia berdiri dan mengambil alih
pemerintahan. Kepentingan Republik Indonesia atas peninggalan dari masa lalu ini
dapat dilihat sebagaimana yang sering diungkapkan oleh presiden pertama Republik
Indonesia, Soekarno bahwa tidak ada bangsa yang dapat bertahan tanpa pengetahuan
tentang sejarah masa lalunya. Pasca kemerdekaan Republik Indonesia,
Oudheidkundige Dienst dirubah namanya menjadi Dinas Purbakala. Di Trowulan,
kantor Dinas Purbakala membuka kantor cabangnya sejak tahun 1963. Kepala Kantor
Dinas Purbakala cabang Trowulan yang pertama adalah Soediman. Sebelum bertugas
di Trowulan, Soediman merupakan Kepala kantor Dinas Purbakala cabang Bali dan
telah melanjutkan studinya di Universitas Gadjah Mada8.
Kantor Dinas Purbakala cabang Trowulan kemudian beberapa kali mengalami
perubahan nomenklatur yakni Suaka Purbakala, Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala hingga Balai Pelestarian Cagar Budaya. Sejak adanya Kantor Dinas
Purbakala di Trowulan ini, upaya pemanfaatan warisan Majapahit yakni penelitian
dan pelestarian tentang peninggalan purbakala didominasi oleh arkeolog profesional.
Pemerintah Republik Indonesia sendiri kemudian juga telah menerbitkan master plan
untuk kawasan Trowulan beberapa kali seperti Rencana Induk Arkeologi Bekas Kota
Kerajaan Majapahit pada tahun 1986 hingga menetapkan Kawasan Trowulan sebagai
Kawasan Cagar Budaya Nasional pada tahun 2013. Rencana Induk ini diharapkan
dapat menjadi acuan untuk membuat kebijakan tentang upaya pelestarian di Trowulan
secara sistematis.
Wacana pelestarian warisan Majapahit di Trowulan dari masa lalu hingga saat
ini masih menghadapi tantangan yang sama baik dari perusakan secara alamiah
maupun akibat perbuatan manusia. Secara alamiah, sejak ditinggalnya kota raja ini,
kawasan Trowulan beralih menjadi hutan. Seperti yang ditemui oleh Raffles ketika
berkunjung ke kawasan ini pada tahun 1815, yang ditemukan hanyalah reruntuhan
bata dan hutan jati yang lebat. Kerusakan yang terjadi akibat ulah manusia lebih hebat
lagi dampaknya bagi peninggalan purbakala. Perusakan paling parah terjadi karena
adanya industri batu bata tradisional yang berjumlah ribuan. Industri batu bata ini
tidak muncul begitu saja. Pemicunya terjadi sejak maraknya pabrik gula dan
perkebunan tebu yang didirikan sampai memuncak dengan diterapkannya Agrarische
Wet atau Undang–Undang Agraria tahun 18709. Implikasi diterapkannya regulasi ini
adalah maraknya industrialisasi partikelir di berbagai daerah di Hindia Belanda.
Termasuk di Mojokerto dan sekitarnya, berdirilah banyak pabrik gula dan perkebunan
tebu untuk memasok produksinya.
Industrialisasi yang terjadi di Jawa Timur tentu saja memerlukan banyak
bahan material dalam proses pembangunan pabrik–pabrik dan pendukungnya.
9 Wawancara dengan Peter Carey, Jakarta 14 April 2013.
8
Peninggalan purbakala yang terbengkalai di hutan jati Trowulan dalam kacamata
pemilik modal saat itu hanyalah tumpukan batu bata yang sudah tak berarti lagi
sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan material pembangunan. Apalagi dari segi
kualitas, batu bata peninggalan purbakala ini lebih besar dan lebih kuat dibandingkan
batu bata modern. Berawal dari hal tersebut, eksploitasi batu bata kuna dimulai.
Beberapa struktur batu bata peninggalan purbakala yang tak bisa dimanfaatkan secara
utuh dihancurkan untuk kemudian dijadikan bahan baku pembuatan batu bata baru.
Linggan atau pabrik batu bata tradisional inilah yang menarik banyak tenaga kerja
dari berbagai daerah untuk membuka lahan dari yang semula hutan jati menjadi
pemukiman dan industri batu bata. Di sin tampak terdapat perubahan pemaknaan dan
pemanfaatan warisan Majapahit yang dilandasi kepentingan ekonomi.
Eksploitasi batu bata peninggalan purbakala ini tetap berjalan meskipun telah
berdiri Dinas Purbakala Hindia Belanda. Sampai dengan tahun 1920–an, sebagian
besar struktur pondasi dari dinding kraton raja masih dapat dilihat10. Namun setelah
periode tersebut, struktur tersebut menghilang sama sekali. Upaya pelestarian yang
dilakukan oleh Dinas Purbakala pada masa itu terhalang oleh kuatnya pengaruh dan
lobi para pemilik pabrik dan perkebunan khususnya gula di pemerintahan kolonial.
Aktivitas industri pembuatan batu bata tradisional itu tetap berlangsung hingga kini.
Bahkan semakin banyak jumlahnya dan meluas area operasionalnya. Penggunaan dan
pemanfaatan lahan di kawasan Trowulan tidak hanya untuk industri batu bata saja
melainkan juga untuk industri penambangan pasir dan kerikil, penggalian lahan untuk
keperluan irigasi, pembuatan infrastruktur seperti jalan dan paving, dan tentu saja
10 Peter Carey, Amrit Gomperts, dan Arnoud Haag, “The Archaeological Identification of the Majapahit Royal Palace: Prapanca’s 1365 Description Projected onto Satellite Imagery”, dalam Journal of the Siam Society Vol. 102, hlm. 67–69.
9
yang paling kentara adalah semakin padatnya penduduk yang bermukim di kawasan
tersebut.
Dari perspektif penguasa, peranan masyarakat di kawasan Trowulan dalam
memaknai dan memanfaatkan warisan Majapahit sering diabaikan. Hal ini terbukti
dari narasi–narasi yang ada sejak masa Majapahit masih eksis hingga berdirinya
negara Indonesia hanya menonjolkan peranan penguasa. Dalam pemaknaan dan
pemanfaatan situs–situs purbakala yang ada di Trowulan, penduduk hanya dianggap
sebagai penonton belaka oleh penguasa dari masa ke masa. Bahkan jikalau bertindak
aktif, maka yang mengemuka adalah pemanfaatan yang dianggap merusak situs untuk
kepentingan ekonomi seperti yang dijelaskan pada beberapa paragraf sebelumnya.
Narasi semacam ini mendapat tantangan pada beberapa catatan sejarah yang
terjadi pada era pasca reformasi di Indonesia. Seperti dalam kasus melambungnya
situs makam Troloyo sebagai obyek wisata religi di kawasan Trowulan. Pada era–era
sebelumnya, situs ini tidak pernah mendapat perhatian yang besar dari wacana
dominan khususnya dalam pemanfaatan aspek ekonomi di bidang pariwisata. Namun
sejak kisaran tahun 2000–an, situs ini menjadi obyek wisata yang paling meraup
keuntungan ekonomi tertinggi dibanding situs warisan Majapahit lainnya di kawasan
Trowulan. Contoh kecil ini memperlihatkan kembali tentang pemaknaan dan
pemanfaatan warisan Majapahit yang mengalami perubahan.
B. Rumusan Masalah
Kerajaan Majapahit yang mencapai masa keemasaannya pada abad XIV telah
menginspirasi banyak pihak untuk memaknai dan memanfaatkan warisannya. Kita
dapat melihat dari berbagai contoh dari masa ke masa seperti pada masa pasca
runtuhnya Majapahit. Disusul masa ketika orang–orang Eropa menguasai Jawa, antara
10
Raffles dan sarjana lainnya membawa ide tentang kejayaan Majapahit dari berbagai
sisi. Kemudian pada masa ketika masyarakat bumiputera memandang dan
memanfaatkan sejarah kejayaan Majapahit pada era pergerakan. Bahkan glorifikasi
tentang Majapahit ini terus diproduksi dan direproduksi dalam masa pemerintahan
Republik Indonesia. Seperti yang dapat dilihat misalnya tentang sosok Rakryan
Mapatih Pu Mada, yang lebih banyak dikenal dengan Mahapatih Gajah Mada,
dimasukkan ke dalam daftar pahlawan nasional dalam beberapa buku sejarah 11 .
Terkait hal tersebut, adalah hal yang menarik dalam penelitian yang membahas
tentang sejarah pemaknaan dan pemanfaatan warisan Majapahit termasuk kota
Trowulan yang kaya akan peninggalan purbakala ini adalah bagaimana ideologi dari
masing–masing gerakan yang mengusung ide tentang kejayaan Majapahit ini.
Bagi Republik Indonesia sendiri, peninggalan kerajaan Majapahit tak dapat
dipungkiri dimanfaatkan di berbagai pranata kenegaraan. Misalnya dari penggunaan
semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang merupakan salah satu warisan dari
kesusastraan masa Majapahit. Institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
identik dengan sebutan Bhayangkara, sekelompok pengawal kerajaan di masa
Majapahit. Bahkan di Markas Besar Kepolisian dibangun monumen patung Gajah
Mada, sang Mahapatih legendaris yang berasal dari kesatuan Bhayangkara. Selain itu,
masih banyak contoh lainnya tentang pemaknaan dan pemanfaatan peninggalan
kerajaan Majapahit.
Dari rumusan permasalahan di atas muncul beberapa pertanyaan penelitian yang
hendak dijawab dalam penelitian ini:
11 Tim Mutiara Sumber Widya, Album Pahlawan Bangsa (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), hlm. 131–133.
11
1. Mengapa warisan Majapahit di Trowulan menjadi obyek pemaknaan dan
pemanfaatan dari berbagai aktor negara (kerajaan), industri, dan masyarakat?
dan apakah kepentingan mereka dibalik pemaknaan dan pemanfaatan itu?
2. Bagaimana transformasi pemaknaan dan pemanfaatan warisan Majapahit dari
masa pra–kolonial ke masa poskolonial di Indonesia?
C. Ruang Lingkup Penelitian
Sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan, sejarah memiliki karakteristik yakni
memiliki batasan waktu atau temporal serta spasial dalam mengulas suatu
permasalahan di masa lalu. Adapun ruang lingkup kajian ini akan berfokus pada
kepentingan, lebih khusus lagi adalah ideologi, mereka yang terlibat dalam isu
pelestarian peninggalan sejarah dari kerajaan Majapahit. Di sini kita akan menemui
betapa beragamnya kepentingan gerakan–gerakan yang muncul baik dari pemerintah
yang berkuasa, sarjana yang memiliki klaim atas ilmu pengetahuan, dan warga biasa
yang sehari–hari hidup dan beraktivitas dengan peninggalan Majapahit khususnya di
area Trowulan. Pusaka atau peninggalan sejarah tidak lagi bisa dipandang hanya
sebatas obyek yang bebas nilai, melainkan telah diberi muatan oleh berbagai pihak
yang memiliki kepentingan.
Batasan temporal dari penelitian ini dimulai pada era pasca keruntuhan
Majapahit. Merujuk pada berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,
hilangnya Majapahit dalam sejarah diperkirakan pada tahun 1527. Keruntuhan
Majapahit tidak berarti pudarnya pengaruh kerajaan tersebut. Kerajaan–kerajaan yang
berdiri setelah Majapahit di Jawa dan Bali justru memelihara hubungan dengan
kerajaan tersebut dengan beragam cara. Hal tersebut masih berlangsung bahkan pada
masa dimana kekuasaan Eropa semakin mencengkeram Jawa. Ketika kedatangan
12
Thomas Stamford Raffles ke Trowulan dan berlanjut hingga fenomena kekinian yang
terjadi dalam memaknai dan memanfaatkan peninggalan sejarah kerajaan Majapahit.
Kedatangan Raffles sebagai Letnan Gubernur Jenderal Kerajaan Inggris di bekas kota
raja Majapahit dalam rihlahnya di pulau Jawa, menjadi titik tonggak dalam perspektif
modern tentang pemanfaatan suatu warisan atau peninggalan bersejarah. Apa yang
dilakukan oleh Raffles ketika itu belum pernah dilakukan oleh pihak lain. Raffles
menugaskan J. W. B. Wardenaar untuk melakukan dokumentasi dan pemetaan atas
tinggalan kekunaan yang terdapat di sekitaran hutan jati Trowulan. Dokumentasi yang
jelas masih bisa dilihat dalam buku Raffles, History of Java dan peta yang akurat
menjadi koleksi Museum Nasional Inggris. Sejak masa inilah lalu kemudian
berduyun–duyun aktor lain khususnya para pengkoloni Jawa mulai meneliti dan
memanfaatkan peninggalan bersejarah Majapahit.
Fenomena kekinian yang dijadikan batasan akhir lingkup temporal penelitian
ini adalah masa dimana kesadaran akan pelestarian pusaka atau peninggalan
bersejarah telah menggejala di berbagai lini. Di dalam fase ini, negara sebagai otoritas
yang selama ini menjadi aktor utama dalam pelestarian dan pemanfaatan peninggalan
Majapahit mau tak mau harus berhadapan dengan banyak pihak bahkan termasuk di
dalam aparat negara itu sendiri dibanding masa–masa sebelumnya. Para sarjana
sebagai pihak yang memiliki privileges (hak–hak istimewa) dalam meneliti hingga
melakukan tafsiran atas warisan bersejarah harus berbagi dengan berbagai pihak
termasuk masyarkat lokal hingga dukun dan cenayang.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitan dan penulisan tesis ini adalah membuat historiografi
tentang pemanfaatan dan pemaknaan warisan kerajaan Majapahit. Karya tulis ini juga
13
bertujuan membahas beberapa hal. Pertama, menelusuri dan menjelaskan seperti apa
wacana dan kepentingan di balik para aktor dan gerakan–gerakan yang mengusung
ide tentang kebangkitan Majapahit dengan kota rajanya di Trowulan. Dari satu
sumber sejarah yang sama, dapat dijumpai beragam pemahaman dan pemaknaan
dilakukan oleh masing–masing pihak yang memiliki kepentingan beragam. Di dalam
penelitian ini akan diurai kepentingan politik, sosial budaya, hingga ekonomi yang
terangkum dalam suatu ideologi yang beragam. Hal tersebut tampak ketika para aktor
tersebut melakukan pemanfaatan atas warisan Majapahit. Kedua, penelitian ini juga
bertujuan untuk menjelaskan bagaimana para aktor dengan berbagai kepentingan dan
ideologi tersebut berinteraksi dalam memanfaatkan peninggalan kerajaan Majapahit
khususnya yang ada di kawasan Trowulan sebagai kota rajanya.
Penelitian ini juga memberikan kontribusi dalam penulisan sejarah tentang
peninggalan bersejarah yang selama ini belum terlalu banyak dituliskan. Lebih khusus
lagi historiografi tentang pemaknaan dan pemanfaatan bekas kota Majapahit di
Trowulan sangat jarang ditemukan dan adalah suatu hal yang ironis mengingat
kebesaran banyak fokus penelitian tentang Majapahit dan kotanya di Trowulan hanya
berkutat pada masa Majapahit itu sendiri. Melalui penelitian dan penulisan tesis ini
diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada para pihak yang selama ini terlibat
dalam kegiatan penelitian dan pelestarian pusaka atau warisan Majapahit. Apa yang
mereka lakukan saat ini memiliki kesinambungan dari masa lalu. Tanpa memiliki
pemahaman tentang itu, pelestarian pusaka atau peninggalan bersejarah di masa depan
akan berjalan tanpa panduan.
14
E. Tinjauan Pustaka
Sejarawan dan historiografi di Indonesia secara umum hanya memberikan
sedikit perhatian tentang sejarah pusaka atau peninggalan bersejarah jika
dibandingkan dengan beberapa tema lain seperti sejarah politik, ekonomi bahkan
olahraga. Pada umumnya jika berbicara tentang peninggalan bersejarah dari masa
klasik di Indonesia akan banyak didominasi oleh sarjana dari disiplin ilmu arkeologi.
Padahal jika dilihat dari berbagai kepustakaan yang dihasilkan dari masa kolonial,
sejarawan memiliki peran yang tidak sedikit dalam historiografi masa klasik
nusantara.
Beberapa penelitian yang membahas tentang sejarah peninggalan bersejarah
Majapahit dapat disebutkan antara lain pertama sebuah artikel dari Supomo, “The
Image of Majapahit in Later Javanese and Indonesia Writing” di dalam buku
Perceptions of the Past in Southeast Asia 12 . Karya ini membawa kita untuk
memahami tentang sejarah intelektual tentang karya–karya sastra yang menampilkan
kejayaan Majapahit berdasarkan peninggalannya. Supomo dalam karyanya
mengambil berbagai contoh karya sastra dari masa Kasultanan Mataram Hadiningrat
hingga era Indonesia modern yang menciptakan berbagai persepsi tentang kerajaan
Majapahit kepada sidang pembacanya. Masih dalam buku yang sama, Anthony Reid
menulis sebuah artikel “The Nationalist Quest for an Indonesian Past”13. Artikel ini
membawa isu dan konteks yang lebih luas dibanding artikel sebelumnya. Di dalam
artikel ini, Reid tidak hanya menampilkan pusaka kerajaan Majapahit saja yang
kemudian dieksploitasi oleh kelompok nasionalis dalam rangka pembentukan bangsa
12 Supomo, “The Image of Majapahit in Later Javanese and Indonesian Writing” dalam Anthony Reid & David Marr (eds.), Perception of the Past in Southeast Asia Publication Series 4 (Singapore: Heinemann, 1979). 13 Anthony Reid, “The Nationalist Quest for an Indonesian Past” dalam Anthony Reid & David Marr (eds.), Perception of the Past in Southeast Asia Publication Series 4 (Singapore: Heinemann, 1979).
15
(nation building), melainkan juga peninggalan dari berbagai masa seperti kerajaan
Sriwijaya hingga peninggalan masa kolonial.
Artikel lain datang dari Marieke Bloembergen dan martin Eickhoff yang
bertajuk “Conserving the Past, Mobilizing the Indonesian Future; Archaeological
Sites, Regime Change, and Heritage Politics in Indonesia in the 1950s”14. Walaupun
hanya membahas sekilas saja tentang pusaka Majapahit yang ada di Trowulan
khususnya pada era sebelum Indonesia merdeka, namun karya ini tetap penting bagi
penelitian ini. Artikel ini dianggap penting karena penelitian ini bertolak dari metode
ilmu sejarah dan membahas tentang topik peninggalan bersejarah. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya kebanyakan kajian tentang pusaka atau peninggalan
bersejarah di Indonesia berasal dari penelitian arkeologi atau ilmu arsitektur. Secara
umum karya ini membahas tentang bagaimana situs–situs arkeologis khususnya Candi
Borobudur dan Kompleks Candi Prambanan bertransformasi menjadi suatu
peninggalan bersejarah bangsa Indonesia.
Masih membahas tentang persepsi masa lalu, terdapat sebuah buku dari
Michael Wood, Official History in Modern Indonesia: New Order Perceptions and
Counterviews 15 . Terdapat satu bab dalam buku ini yang didedikasikan untuk
mengkritisi proyek–proyek Orde Baru yang memakai dan memanfaatkan peninggala
bersejarah dari kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Wood juga mempertanyakan
tentang istilah yang disematkan oleh negara kepada dua kerajaan tersebut sebagai
kerajaan nasional pertama dan kedua. Menurutnya, hal ini merupakan anakronisme
14 Marieke Bloembergen dan Martin Eickhoff, “Conserving the Past, Mobilizing the Indonesian Future; Archaeological Sites, Regime Change, and Heritage Politics in Indonesia in the 1950s” dalam BKI Vol. 167, No. 4 (2011). 15 Michael Wood, Official History in Modern Indonesia: New Order Perceptions and Counterviews (Leiden/Boston: Brill, 2005).
16
besar dalam mata pelajaran sejarah bagi siswa dari Sekolah Dasar hingga Sekolah
Menengah Atas di Indonesia.
Kepustakaan penting selanjutnya datang dari Soekmono, Menapak Jejak
Arkeologi Indonesia16. Soekmono sendiri sering disebut sebagai Bapak Arkeologi
Indonesia. Sebutan ini muncul karena selain merupakan sarjana arkeologi kenamaan
di Indonesia bahkan di Asia, ia juga bertindak sebagai praktisi. Di dalam buku ini,
Soekmono menjelaskan tentang sejarah perkembangan institusi yang mengurusi
tentang kepurbakalaan di Indonesia. Dari buku tersebut disinggung juga tentang
bagaimana instansi yang mengurusi kepurbakalaan hadir di Trowulan. Selain itu,
buku ini juga penting untuk memahami bagaimana munculnya berbagai instansi
pemerintah yang mengurus peninggalan bersejarah hingga saling sengkarut
kewenangan di antaranya.
Dari penelitian arkeologi terdapat terbitan lain yaitu Kajian Integratif
Perlindungan dan Pengembangan Situs Kerajaan Majapahit di Trowulan 17 .
Penelitian ini dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Badan
Pengembangan Sumber Daya, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata). Di dalam
publikasi ini, beberapa tahap–tahap penting dalam upaya pelestarian dan
pengembangan peninggalan bersejarah kerajaan Majapahit telah dijalankan. Selain
itu, disebutkan juga beberapa rekomendasi untuk tahapan pelestarian di masa yang
akan datang.
16 Soekmono, Menapak Jejak Arkeologi Indonesia (Jakarta: M3 Books, 2002). 17 Junus Satrio Atmodjo dkk., Kajian Integratif Perlindungan dan Pengembangan Situs Kerajaan Majapahit di Trowulan (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Badan Pengembangan Sumber Daya, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2008).
17
Terdapat juga kajian dari ranah ilmu arsitektur karya Wara Indira Rukmi,
Pelestarian Kawasan Kuno bersejarah Pusat Situs Majapahit Trowulan18. Di dalam
penelitiannya, Wara menampilkan banyak foto, gambar, peta dan info grafis lainnya
dalam rangka membantu pembaca karyanya untuk memahami kawasan Trowulan dan
situs–situs pusaka kerajaan Majapahit. Hal penting lain yang terdapat dalam karyanya
ini yakni terdapat kompilasi dari berbagai dialog publik, diskusi, sarasehan hingga
seminar pada tahun 2009 yang membahas tentang proyek pemerintah di Trowulan
yakni Pusat Informasi Majapahit.
Satu kepustakaan lagi yang tak kalah pentingnya bagi studi ini yaitu Politics
and Preservation, A Policy History of the Built Heritage 1882–199619. Penulis buku
ini, John Delafons membahas tentang sejarah pelestarian peninggalan bersejarah di
Inggris. Dalam penjelasannya tentang upaya pelestarian di sana, Delafons
menggunakan narasi yang kronologis. Bahasan utama dalam buku ini terkait proses–
proses politik baik di parlemen maupun di instansi terkait. Selain itu Delafons juga
membahas peran dari masyarakat dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan. Kajian
dari Delafons ini banyak berkontribusi dalam membuat suatu historiografi
peninggalan bersejarah yang komprehensif.
F. Kerangka Konseptual
Historiografi tentang warisan Majapahit ini dapat digolongkan ke dalam
kategori sejarah pemikiran. Menurut Roland N. Stromberg dalam Kuntowijoyo,
sejarah pemikiran dapat didefinisikan sebagai sebuah kajian mengenai peran dari
18 Wara Indira Rukmi, Pelestarian Kawasan Kuno Bersejarah Pusat Situs Majapahit Trowulan, Penelitian pada Program Doktoral Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, 2012. 19 John Delafons, Politics and Preservation, A Policy History of the Built Heritage 1882–1996 (London: Chapman & Hall, 1997).
18
pemikiran–pemikiran dalam berbagai peristiwa dan proses sejarah. Segala perbuatan
manusia dalam kehidupan sehari–hari pasti dipengaruhi oleh pemikiran tertentu.
Terdapat dua jenis pemikiran yakni pemikiran teoretis yang mencakup filsafat,
politik, agama, dan ekonmi serta pemikiran praktis yang terdiri atas pengetahuan
sehari–hari dan common sense20. Para aktor dalam lintasan masa ke masa tentu tidak
dapat dilepaskan dari ide–ide atau pemikiran–pemikiran yang sesuai jamannya dalam
memberi makna dan memanfaatkan warisan Majapahit.
Dalam penelitian tesis ini akan membahas tentang transformasi pemaknaan
dan pemanfaatan warisan Majapahit oleh berbagai aktor sesuai batasan temporal
penelitian. Transformasi sendiri memiliki pengertian yakni perubahan rupa (bentuk,
sifat, fungsi, dan sebagainya) 21 . Dari pengertian tersebut dapat dilihat makna
transformasi yang lebih luas daripada perubahan. Dalam linguistik, transformasi
adalah perubahan struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain dengan
menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur–unsurnya. Dalam ilmu sosial,
transformasi dipakai dalam beragam disiplin ilmu. Transformasi menurut Dawam
Raharjo berkaitan dengan pengertian yang menyangkut perubahan mendasar berskala
besar dalam suatu masyarakat. Transformasi berbeda dengan rekayasa karena
transformasi merupakan perubahan yang bersifat alamiah dan keharusan sejarah
karena adanya proses dialektis dalam kesadaran masyarakat. Sedangkan menurut
Kuntowijoyo, transformasi merupakan sebuah konsep ilmiah atau alat analisis untuk
20 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 189–200. 21 Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 1101.
19
memahami perubahan karena dengan memahaminya setidaknya dua kondisi atau
keadaan dapat diketahui yakni pra dan pasca perubahan tersebut22.
Pemaknaan dalam penelitian ini adalah suatu proses pemberian makna. Makna
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai arti dan maksud
pembicara atau penulis; pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan23.
Dari pengertian tersebut dapat disimak bagaimana terdapat satu subyek yang memiliki
maksud untuk disampaikan kepada obyek. Heritage atau warisan bukanlah suatu
obyek yang bebas nilai atau muncul begitu saja. Warisan, pusaka atau peninggalan
bersejarah adalah suatu proses kultural24.
Terdapat pihak–pihak yang berwenang dalam penciptaan, termasuk pemberian
makna, sampai pemanfaatan warisan untuk kepentingan masing–masing. Pemanfaatan
yang dimaksud dalam penelitian tesis ini memiliki pengertian yang lebih luas
daripada pengertian pemanfaatan seperti yang ada dalam Undang–Undang Republik
Indonesia No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Jika merujuk pada UU tersebut
yang dimaksud pemanfaatan adalah pendayagunaan cagar budaya untuk kepentingan
sebesar–besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.
Pemanfaatan dalam penelitian adalah proses, cara, perbuatan menjadikan ada manfaat
dari warisan Majapahit 25 . Pemanfaatan warisan memiliki korelasi dengan
pemanfaatan memori kolektif. Seperti yang dijelaskan dalam Pierre Nora yakni lieux
de mémoire atau sites of memory bahwa terdapat materialiasasi atau pengejawantahan
22 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi (Jakarta: Penerbit Mizan, 1991), hlm. 53 23 Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 454. 24 Laurajane Smith, The Uses of Heritage (New York: Routledge, 2006), hlm. 57 25 Bandingkan dengan definisi pemaknaan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Depdiknas (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 486.
20
dari memori dalam bentuk warisan untuk suatu kepentingan26. Maurice Halbwachs
menjelaskan lebih lanjut bahwa memori kolektif dapat dihadirkan kembali melalui
bantuan dari jejak–jejak material, ritual, teks, dan tradisi27. Jejak material tersebut
dapat berupa monumen, buku pelajaran, pameran dunia dan lain sebagainya. Di titik
inilah warisan menjadi rentan terhadap pemanfaatan dari suatu pihak tertentu untuk
meminggirkan kelompok–kelompok lainnya.
Pada akhir tahun 2013, Pemerintah Indonesia menetapkan Trowulan sebagai
Kawasan Cagar Budaya Nasional. Istilah cagar budaya sendiri memiliki padanan kata
dalam bahasa Inggris adalah heritage. Istilah heritage beberapa kali mengalami
transformasi makna dalam sejarah. Konsep ini sendiri berasal dari bahasa Perancis,
Patrimoine. Desvalles menjelaskan setidaknya terdapat lima kali perubahan mengenai
konsepsi dari pusaka. Pertama kali istilah ini digunakan di Perancis pada sekitar tahun
1790–an, dimana Francois Puthod de Maisonrouge membuat petisi kepada Majelis
Konstituen. Dengan petisi tersebut, de Maisonrouge berupaya untuk meyakinkan para
emigran tentang kebutuhan memindahkan warisan mereka dari keluarga untuk
bangsa. Jadi sebelum masa itu, konsep patrimoine masih identik dengan properti
milik keluarga yang diwariskan turun temurun 28 . Istilah ini sama dengan istilah
bahasa Indonesia untuk warisan. Sedangkan untuk menyebut tentang peninggalan
bersejarah dari masa lalu yang layak untuk dilestarikan, istilah monument yang
dipakai.
26 Kepentingan yang dijelaskan dalam bahasan Pierre Nora ini adalah kepentingan nasional merujuk pada contoh bangsa Perancis. Pierre Nora, “Between Memory and History: Les Lieux de Mémoire”, dalam Representation, 26, hlm. 7–24. 27 Maurice Halbwachs, On Collective Memory (Chicago: Chicago University Press, 1992), hlm. 175. 28 Andre Desvalles, “A Definition of Cultural Heritage: From the Tangible to Intangible’ dalam Journal of Cultural Heritage, Vol. 11 (2010) hlm. 321–324.
21
Perubahan kedua terjadi seiring dengan dihelatnya Konferensi Athena pada
tahun 1931. Dalam konferensi ini terjadi perluasan makna dari patrimoine/heritage
dengan memasukkan dimensi kultural dan benda–benda artistik. Dalam periode waktu
yang sama di Hindia Belanda, regulasi yang mengatur tentang pelestarian dikeluarkan
oleh pemerintah kolonial yakni Monumenten Ordonnantie. Dalam konteks ini,
pemerintah kolonial masih memakai istilah monumen dan pelestarian memang lebih
banyak berfokus pada peninggalan yang monumental seperti Candi Borobudur,
Kompleks Candi Prambanan, dan lainnya.
Perubahan ketiga terjadi pada kurun waktu pasca Perang Dunia II dimana
terbentuk banyak negara bangsa (nation state) baru yang merupakan bekas wilayah
koloni. Kembali terjadi perluasan makna dari patrimoine/heritage. Kali ini ekspresi
budaya yang tak ragawi seperti tarian, tradisi, teknologi, dan lainnya masuk ke dalam
konsep cultural heritage/patrimoine culturel. Jadi, patrimoine/heritage tidak lagi
melulu hanya pada bangunan–bangunan monumental. Selain itu istilah
patrimoine/heritage sendiri juga telah masuk ke dalam organisasi internasional seperti
dalam UNESCO dan ranah politik dan adminsitratif negara. Perubahan keempat dan
yang terakhir terjadi sekitar akhir tahun 1960–an, dimana istilah patrimoine/heritage
menjadi sesuatu yang sakral bagi publik maupun negara.
Secara internasional baru pada tahun 1964, istilah patrimoine/heritage sendiri
baru mendapatkan definisi yang diterima semua pihak. Pada Piagam Venezia atau
Venice Charter, definisi dari patrimoine/heritage sendiri adalah
“imbued with a message from the past, the historic monuments of
generations of people remain to the present day as living witnesses of their
age–old traditions. People are becoming more and more conscious of the
unity of human values and regard ancient monuments as a common
22
heritage. The common responsibility to safeguard them for future
generations is recognized. It is our duty to hand them on in the full richness
of their authenticity is found”29.
Istilah ini terus diimplementasikan dalam pemanfaatan berbentuk pelestarian
yang khususnya dilakukan oleh negara yang berpatron pada UNESCO. Sampai
dengan tahun 2008, baru kemudian organisasi tersebut merilis perincian tentang
Pedoman Operasional untuk Implementasi (the Operational Guidelines for the
Implementation). Dari pedoman tersebut, UNESCO mengklasifikasikan
patrimoine/heritage menjadi 2 kategori yakni cultural heritage dan natural heritage.
Cultural heritage terdiri atas monumen, kelompok bangunan, dan situs. Monumen
didefinisikan sebagai karya arsitektural, karya patung dan gambar yang monumental,
elemen–elemen atau struktur–struktur dari suatu benda purbakala, prasasti,
pemukiman–pemukiman di gua dan kombinasi diantara fitur–fitur tersebut yang
memiliki nilai–nilai universal yang luar biasa (outstanding universal values) dari
perspektif sejarah, seni, atau ilmu pengetahuan. Kelompok bangunan didefinisikan
sebagai kelompok dari bangunan–bangunan yang terpisah atau terhubung dimana
dikarenakan arsitekturnya, tempatnya dalam lanskap, memiliki nilai–nilai universal
yang luar biasa dari perspektif sejarah, seni, atau ilmu pengetahuan. Situs
didefinisikan sebagai karya dari manusia atau kombinasi bentukan alam dan karya
manusia dan kawasan termasuk diantaranya situs–situs arkeologis yang memiliki
nilai–nilai universal yang luar biasa dilihat dari sudut pandang historis, estetis,
etnologis atau antropologis.
Natural heritage dijelaskan dari artikel ini terdiri atas fitur alam, formasi
geologis dan fisiografis dan situs alam. Fitur alam terdiri dari formasi fisik dan
29 Piagam Venice dalam http://www.icomos.org/charters/venice_e.pdf, diakses Selasa tanggal 17 September 2013, pukul 23.37 WIB.
23
biologis atau kelompok dari formasi semacam ini yang memiliki nilai–nilai universal
yang luar biasa dari sudut pandang estetis atau ilmiah. Formasi geologis dan
fisiografis merupakan kawasan yang mendapat delineasi dimana terdiri atas habitat
spesies flora dan fauna yang terancam punah yang memiliki nilai–nilai universal yang
luar biasa dari sudut pandang ilmiah atau konservasi. Sedangkan situs alam
merupakan kawasan yang mendapat delineasi yang memiliki nilai–nilai universal
yang luar biasa dari sudut pandang ilmiah, konservasi atau estetis. Lebih lanjut dalam
Pedoman UNESCO ini juga dijelaskan tentang adanya campuran antara Cultural
Heritage dan Natural Heritage30.
Dalam konteks Indonesia, terdapat beberapa istilah sebagai padanan dari
istilah patrimoine/heritage yakni cagar budaya, peninggalan bersejarah, warisan
hingga pusaka. Untuk istilah pusaka, telah terdapat Piagam Pelestarian Pusaka
Indonesia yang dirilis pada tahun 200331. Terdapat empat butir utama dalam piagam
ini. Pertama, pusaka Indonesia adalah pusaka alam, pusaka budaya, dan pusaka
saujana. Pusaka alam adalah bentukan alam yang istimewa. Pusaka budaya adalah
hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di Tanah
Air Indonesia, secara sendiri–sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia, dan dalam
interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka saujana
adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu.
Butir kedua adalah pusaka budaya mencakup pusaka berwujud dan pusaka
tidak berwujud. Ketiga, pusaka yang diterima dari generasi–generasi sebelumnya
sangat penting sebagai landasan dan modal awal bagi pembangunan masyarakat
30 UNESCO Operational Guidelines for the Implementation of the World Heritage Convention dalam http://whc.unesco.org/archive/opguide13-en.pdf, diakses Rabu tanggal 18 September 2013, pukul 00.13 WIB. 31 Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia dalam http://www.international.icomos.org/charters/indonesia-charter.pdf, diakses Rabu tanggal 18 September 2013, pukul 00.29 WIB.
24
Indonesia di masa depan, karena itu harus dilestarikan untuk diteruskan kepada
generasi berikutnya dalam keadaan baik, tidak berkurang nilainya, bahkan perlu
ditingkatkan untuk membentuk pusaka masa datang. Keempat, pelestarian adalah
upaya pengelolaan pusaka melalui kegiatan penelitian, perencanaan, perlindungan,
pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan, dan/atau pengembangan secara selektif
untuk menjaga kesinambungan, keserasian, dan daya dukungnya dalam menjawab
dinamika jaman untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih berkualitas.
Sedangkan menurut produk hukum yang berlaku di Indonesia, yakni Undang–
Undang no.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya menjelaskan bahwa Cagar Budaya
adalah warisan budaya yang bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya,
Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan
Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena
memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan melalui proses penetapan. Sedangkan negara juga memakai istilah
warisan budaya tak benda bagi cultural heritage yang bersifat intangible seperti
tarian, batik, keris, dan sebagainya.
Untuk pembahasan tentang patrimoine/heritage dalam penelitian dan
penulisan tesis ini konsepsi yang terus bertransformasi dari masa ke masa akan
dipakai untuk melihat betapa beragamnya pemaknaan atas Majapahit dan
peninggalannya di Trowulan itu sendiri sesuai dengan kepentingan maupun ideologi
dari berbagai pihak dalam pemanfaatan maupun pelestariannya.
G. Metode Penelitian dan Sumber Penulisan
Penulisan tesis ini menggunakan metode sejarah yang terdiri atas lima
langkah. Pemilihan suatu topik, mengumpulkan sumber, melakukan verifikasi atas
25
sumber–sumber yang terkumpul, interpretasi terhadapnya, dan terakhir adalah
historiografi. Sumber yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai
tempat32. Untuk arsip–arsip, banyak digunakan berbagai dokumentasi, laporan, dan
hasil penelitian dari beberapa lembaga seperti Batavia Genotschaap van Kunsten en