1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan suatu wilayah pemusatan sejumlah penduduk yang mewadahi berlangsungnya segala macam kegiatan seperti kegiatan ekonomi, kegiatan sosial dan budaya, kegiatan produksi, hingga semua kegiatan pemerintahan dengan penduduk yang heterogen. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP), kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Perkembangan suatu kota ditandai dengan berkembangnya populasi manusia yang disertai dengan perkembangan sarana dan prasarana fisik seperti perkembangan pemukiman, transportasi, industri dan lain-lain sebagai penunjang aktifitas penduduk kota. Perkembangan suatu kota telah menjadi simbol kemajuan peradaban manusia, karena penduduk perkotaan cenderung mengikuti perkembangan zaman. 1 Kota saat ini telah menjadi mesin bagi pertumbuhan kegiatan ekonomi, hal tersebut terbukti dari banyaknya jenis 1 Cahyani, Asri Rita. 2011. Evaluasi Perubahan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan Pendekatan Penginderaan Jauh (INDERAJA) (Studi Kasus: Kota Tangerang). Skripsi, Sarjana Sistem Informasi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
57
Embed
BAB I PENDAHULUANeprints.undip.ac.id/59974/2/BAB_I.pdf · Pendekatan Penginderaan Jauh ... Tangerang ini selain memiliki dampak positif ... masih belum memenuhi standar dan angka
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota merupakan suatu wilayah pemusatan sejumlah penduduk yang
mewadahi berlangsungnya segala macam kegiatan seperti kegiatan ekonomi,
kegiatan sosial dan budaya, kegiatan produksi, hingga semua kegiatan
pemerintahan dengan penduduk yang heterogen. Menurut Peraturan Menteri
Dalam Negeri No.1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Perkotaan (RTHKP), kawasan perkotaan adalah kawasan yang
mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan
sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
Perkembangan suatu kota ditandai dengan berkembangnya populasi
manusia yang disertai dengan perkembangan sarana dan prasarana fisik seperti
perkembangan pemukiman, transportasi, industri dan lain-lain sebagai
penunjang aktifitas penduduk kota. Perkembangan suatu kota telah menjadi
simbol kemajuan peradaban manusia, karena penduduk perkotaan cenderung
mengikuti perkembangan zaman. 1 Kota saat ini telah menjadi mesin bagi
pertumbuhan kegiatan ekonomi, hal tersebut terbukti dari banyaknya jenis
1 Cahyani, Asri Rita. 2011. Evaluasi Perubahan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan Pendekatan Penginderaan Jauh (INDERAJA) (Studi Kasus: Kota Tangerang). Skripsi, Sarjana
Sistem Informasi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
2
lapangan pekerjaan yang ada di kota. Dengan segala daya tarik yang dimiliki
oleh kota, secara tidak langsung telah menyebabkan tingginya tingkat
urbanisasi yang terjadi di kota. Banyak orang tertarik untuk datang ke kota,
karena pada umumnya kota menawarkan banyak kesempatan bagi mereka yang
ingin meningkatkan kualitas hidupnya. Situasi seperti ini secara otomatis telah
meningkatkan permintaan atas lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk
perumahan dan fasilitas penunjang lainnya.
Pertumbuhan kota yang begitu pesat dan tingginya tingkat urbanisasi
yang terjadi di kota, berimplikasi terhadap timbulnya berbagai permasalahan
perkotaan seperti kemacetan, banjir, pemukiman kumuh, kesenjangan sosial,
berkurangnya lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) karena tingginya kegiatan
alih fungsi lahan di kota, serta beberapa faktor lain seperti menurunnya kualitas
ruang perkotaan dan kualitas hidup masyarakat kota. Saat ini, sekiar 52,03%
penduduk Indonesia tinggal di perkotaan dan diperkirakan akan meningkat
menjadi kurang lebih 68% pada tahun 2025.2
Kota Tangerang merupakan kota yang memiliki letak strategis karena
berada diantara DKI Jakarta, Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten
Tangerang. Sesuai dengan Intstruksi Presiden nomor 13 Tahun 1976 tentang
Pengembangan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Kota
Tangerang merupakan salah satu daerah penyangga Ibukota Negara DKI
Jakarta. Posisi strategis tersebut menjadikan perkembangan Kota Tangerang
2 Laporan Kajian Pengembangan Kota Hijau Kota Tangerang 2015. Oleh Bappeda Kota
Tangerang. 2015. Hlm 1
3
berjalan dengan pesat. Pada satu sisi, menjadi daerah limpahan dari berbagai
kegiatan di Kota Jakarta, di sisi lainnya Kota Tangerang menjadi daerah
kolektor pengembangan wilayah Kabupaten Tangerang sebagai daerah dengan
sumber daya alam yang produktif.3 Sebagai penyangga Ibukota Negara, Kota
Tangerang tentunya dituntut untuk dapat mengikuti segala perkembangan yang
ada, mulai dari perkembangan di bidang pemerintahan, IPTEK, infrastruktur,
transportasi, industri, pelayanan jasa, dll. Perkembangan pembangunan di Kota
Tangerang ini selain memiliki dampak positif bagi kesejahteraan warga kota,
juga memiliki dampak negatif pada beberapa aspek, salah satunya adalah aspek
lingkungan.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) sangat penting keberadaannya di dalam
melakukan pengaturan keseimbangan ekologi tata ruang kota, ruang terbuka
hijau tersebut memiliki fungsi yang sangat vital bagi kelangsungan lingkungan
perkotaan dimana fungsi dari ruang terbuka hijau tersebut antara lain: 1)
sebagai daya dukung ekosistem, 2) pengendalian gas berbahaya dari kendaraan
bermotor, gas-gas yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor sebagai gas
buangan bersifat menurunkan kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya,
3) pengamanan lingkungan hidrologis, 4) pengendalian suhu udara di
perkotaan, 5) pengendalian thermoscape di kawasan perkotaan, 6)
pengendalian bahaya-bahaya lingkungan lainnya.4
3 Ibid. Hlm 16 4 Hakim, Rustam. Ruang dan RTH dalam http://rustam2000.wordpress.com/ diakses pada
tanggal 11 Januari 2015.
4
Dalam usaha memperoleh keberlangsungan ketersediaan ruang terbuka
hijau yang dapat memberikan manfaat bagi makhluk hidup, perlu dilakukan
pengelolaan pengembangan RTH secara tepat. Perencanaan merupakan salah
satu aspek dalam pengelolaan lingkungan, termasuk juga pengelolaan ruang
terbuka hijau pemukiman. Perencanaan ruang terbuka hijau yang matang, dapat
menjaga keseimbangan serta keharmonisan antara ruang terbangun dan ruang
terbuka hijau dalam satu wilayah pemukiman.5
Menurut UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Ruang terbuka
hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Undang-Undang ini
juga mewajibkan setiap kota untuk memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH)
minimal seluas 30% dari luas total wilayah dengan porsi 20% sebagai RTH
publik dan 10% sebagai RTH privat (swasta). Menanggapi peraturan Undang-
Undang tersebut, Pemerintah Kota Tangerang juga telah mengeluarkan
peraturan daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Tangerang Tahun 2012 – 2032, yang dimana hal tersebut pun
dibahas dalam Pasal 34 ayat 2 yang berbunyi:
“…(2) Presentase luas keseluruhan ruang terbuka hijau sampai
akhir tahun perencanaan sekurang-kurangnya ditetapkan 30% dari
luas wilayah Kota Tangerang yang terdiri atas 20% RTH Publik
yang dilakukan secara bertahap dan 10% RTH Privat”.
kerugian untuk pihak lain. Hal lain yang menjadi bagian dari permasalahan
minimnya RTH di Kota Tangerang adalah tingginya tingkat pertumbuhan
penduduk (karena angka kelahiran dan tingkat urbanisasi) yang terjadi. Hal ini
menyebabkan tingginya permintaan lahan di Kota Tangerang untuk dijadikan
pemukiman atau tempat tinggal.
Dari penjelasan di atas, jelas jika permasalahan ketersediaan RTH di
Kota Tangerang bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah kota (selaku
pemilik wilayah), tetapi juga menjadi tanggungjawab bersama yang melibatkan
pihak lain yang terkait yakni pihak swasta dan masyarakat.
Keterlibatan pihak swasta dan masyarakat dalam menjaga ketersediaan
RTH di Kota Tangerang juga dijelaskan dalam Perda RTRW Kota Tangerang
(Nomor 6 Tahun 2012) pada Pasal 34 ayat 4 dan 5 yang berbunyi:
“…(4) RTH privat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi: a. RTH pekarangan meliputi pekarangan rumah tinggal,
halaman perkantoran swasta, pusat perbelanjaan, pertokoan, tempat
usaha, halaman industri dan pergudangan; b. lapangan golf.”
:…(5) RTH publik dan RTH privat tidak dapat diubah fungsi
dan peruntukannya.”
Potongan ayat tersebut menjelaskan bagian RTH privat yang harus
dibangun dan terus dikembangkan keberadaannya oleh pihak swasta dan
masyarakat agar mencapai target 10% pada akhir masa perencanaan
pembangunan kota. Dan juga menegaskan jika keberadaan RTH baik public
maupun privat tidak dapat diubah fungsi dang peruntukkannya. Karena
pembangunan RTH merupakan rangkaian pembangunan yang bersifat
berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa harus
7
mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan demi terciptanya
lingkungan yang baik dan layak huni.
Pemerintah daerah selaku pemilik wewenang dalam membentuk
sebuah peraturan daerah (Perda) harus dapat memaksimalkan kewenangan
yang dimiliki untuk dapat mengatasi berbagai persoalan yang ada dalam
daerahnya (Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah).
Untuk itu, menjadi wajib hukumnya bagi Pemerintah selaku pembuat regulasi
untuk dapat megatasi permasalahan ini. Peraturan Daerah No.6 Tahun 2012
tentang Rencana tata Ruang Wilayah Kota Tangerang sangatlah tepat
diterapkan untuk dapat menanggulangi permasalahan ketersediaan RTH kota
ini. Dengan melihat pengimplementasian Peraturan Daerah (Perda) ini
kemudian dapat diketahui arah kebijakan mengenai pembangunan RTH Kota
dan bagaimana pelibatan sektor swasta serta partisipasi masyarakat dalam
pembangunan RTH Kota agar sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yakni luas RTH
harus 30% (20% RTH publik dan 10% RTH privat) dari luas wilayah kota. Dan
untuk mengetahui lebih lanjut, maka penelitian ini membahas tentang “Peran
Sektor Swasta (CSR) dan Partisipasi Masyarakat dalam Mewujudkan Ruang
Terbuka Hijau Berdasarkan Perda Nomor 6 Tahun 2012 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Tangerang (Studi Kasus Kecamatan Tangerang)”
8
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah peran sektor swasta (CSR) dalam mewujudkan ketersediaan
RTH di Kecamatan Tangerang ?
2. Bagaimanakah pengaruh partisipasi masyarakat dalam mewujudkan
ketersediaan RTH di Kecamatan Tangerang ?
3. Apakah sektor swasta dan partisipasi masyarakat secara bersamaan
mempengaruhi perwujudan pembangunan RTH di Kecamatan Tangerang ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan diatas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh peran swasta (CSR) dalam terciptanya
ketersediaan RTH di Kecamatan Tangerang.
2. Untuk mengetahui pengaruh partisipasi masyarakat dalam terciptanya
ketersediaan RTH di Kecamatan Tangerang.
3. Untuk mengetahui apakah sektor swasta dan partisipasi masyarakat memiliki
pengaruh dalam terciptanya ketersediaan RTH di Kecamatan Tangerang.
9
1.4 Kegunaan Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh kegunaan antara lain:
1. Kegunaan teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih
pemikiran dan wawasan ilmu pengetahuan kepada pihak-pihak terkait, dan
juga dapat memberikan manfaat bagi penelitian serupa tentang ketersediaan
Ruang Terbuka Hijau. Selanjutnya penelitian ini juga diharapkan dapat
menambah manfaat bagi khasanah kepustakaan di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Diponegoro.
2. Kegunaan praktis, penelitian ini kemudian diharapkan dapat menambah
informasi dan dapat berguna bagi pihak-pihak terkait untuk lebih sadar
tentang pentingnya ketersediaan RTH di tempat kita.
3. Kegunaan sosial, penelitian ini dapat memberikan informasi kepada
masyarakat terutama masyarakat Tangerang tentang pentingnya peran
partisipasi masyarakat dalam pembangunan RTH.
1.5 Kerangka Teori
1.5.1 Teori Partisipasi
1.5.1.1 Definisi Partisipasi dan Partisipasi Masyarakat
Untuk mencapai keberhasilan pembangunan, maka banyak aspek
atau hal-hal yang harus diperhatikan, salah satunya adalah partisipasi
masyarakat. Sanit mengatakan ketika masyarakat ikut berpartisipasi dalam
10
pembangunan maka pembangunan akan berjalan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat karena akan tercipta kontrol terhadap pembangunan tersebut.7
Kata partisipasi berasal dari bahasa Inggris “Participation” yang
berarti pengambilan bagian atau pengikutsertaan. Begitu pula dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti dari partisipasi yaitu tindakan ikut
mengambil bagian, keikutsertaan atau ikut serta. Banyak ahli yang
memberikan pengertian mengenai konsep tentang partisipasi dan partisipasi
masyarakat diantaranya adalah sebagai berikut:
Gordon W. Allport mengemukakan, partisipasi adalah keterlibatan
mental atau pikiran atau moral atau perasaan yang mendorong seseorang
untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai
tujuan serta turut bertanggungjawab terhadap usaha yang bersangkutan.8
Oakley mengatakan jika partisipasi adalah sumbangan, keterlibatan
keikutsertaan warga masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan.9
Menurut Perda Nomer 6 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Tangerang, Partisipasi atau peran masyarakat adalah
partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
7 Suryono, Agus. 2001. Teori dan Isu Pembangunan. UNM Malang: UM Press. hlm. 32. 8 Sastropoetro, Santoso. 1988. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan
Nasional. Bandung: Alumni. hlm. 12. 9 Loekman, Soetrisno. 1991. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 6.
11
Menurut Isbandi, partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan
masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada
di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif
solusi untuk menangani masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses
mengevaluasi perubahan yang terjadi.10
Secara umum, pengertian partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan
semua anggota atau wakil-wakil masyarakat untuk ikut membuat keputusan
dalam proses perencanaan dan pengelolaan, termasuk didalamnya ikut serta
dalam memutuskan tentang rencana-rencana kegiatan yang akan
dilaksanakan, manfaat yang akan diperoleh serta bagaimana melaksanakan
dan mengevaluasi hasil pelaksanaannya. Disini jelas jika partisipasi
masyarakat meupakan komunikasi dua arah yang dilakukan secara terus-
menerus, yang kemudian dapat diartikan jika partisipasi masyarakat
merupakan suatu bentuk komunikasi antara pihak Pemerintah selaku
pemangku kebijakan dan masyarakat selaku pihak yang merasakan dampak
langsung dari kebijakan tersebut.
Keith Davis mengemukakan bentuk-bentuk partisipasi masyarakat,
yaitu sebagai berikut:
a. Partisipasi Waktu (Participation Time)
b. Partisipasi Pikiran (Psychological Participation)
c. Partisipasi Tenaga (Physical Participation)
10 Adi, Isbandi Rukminto. 2007. Perencanaan Partisipasi Berbasis Aset Komunitas: dari Pemikiran
Menuju Harapan. Depok: Fisip UI Press. hlm. 27.
12
d. Partisipasi Barang (Material Participation)
e. Partisipasi Uang (Money Participation).11
Pada dasarnya, substansi dari partisipasi adalah bekerjanya suatu
sistem pemerintahan dimana tidak ada kebijakan yang diambil tanpa adanya
persetujuan dari rakyat, sedangkan arah dasar yang akan dikembangkan
adalah proses pemberdayaan, lebih lanjut dikatakan bahwa tujuan dari
pengembangan partisipasi adalah:
1. Pertama, bahwa partisipasi akan memungkinkan rakyat secara
mandiri (otonom) mengorganisasi diri dan dengan demikian akan
memudahkan masyarakat menghadapi situasi yang sulit, serta mampu
menolak berbagai kecenderungan yang merugikan.
2. Kedua, suatu partisipasi tidak hanya menjadi cermin konkrit peluang
ekspresi aspirasi dan jalan memperjuangkannya, tetapi yang lebih
penting lagi bahwa partisipasi menjadi semacam garansi bagi tidak
diabaikannya kepentingan masyarakat.
3. Ketiga, bahwa persoalan-persoalan dalam dinamika pembangunan
akan dapat diatasi dengan adanya partisipasi masyarakat.12
Melihat dampak penting dan positif dari suatu perencanaan yang
partisipatif, maka diharapkan dapat membangun rasa pemilikan yang kuat
dikalangan masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan yang ada.
11 Sastropoetro Santoso, Op.cit., hlm 13. 12 Kunarjo, Juliantara. 2002. Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan. Jakarta: UI
Press, Hal 89-90.
13
Adapun keterlibatan partisipasi masyarakat dapat berupa: 1) pendidikan
melalui pelatihan; 2) partisipasi aktif dalam pengumpulan informasi; 3)
partisipasi dalam memberikan alternatif rencana dan usulan kepada
pemerintah.13
1.5.1.2 Tingkat Partisipasi Masyarakat
Menurut Sherry Arnstein (1969) pada makalahnya yang termuat di
Journal of the American Institute of Planners dengan judul “A Ladder of
Citizen Participation”, bahwa terdapat 8 tangga tingkat partisipasi
berdasarkan kadar kekuatan masyarakat dalam memberikan pengaruh
perencanaan, sebagaimana dijelaskan dalam gambar 2.1 berikut14:
Gambar 1.1 Delapan Tangga Tingkat Partisipasi Masyarakat
Sumber: Arnstein (1969)
13 Soemarmo. 2005. Analisis Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif pada Proses Perencanaan
Pembangunan di Kota Semarang (Studi Kasus Pelaksanaan Penjaringan Aspirasi Masyarakat di
Kecamatan Banyumanik). Tesis, Magister Administrasi Publik. Universitas Diponegoro, Semarang. 14 Suciati. 2006. Tesis: Partisipasi masyarakat Dalam Penyusunan Rencana Umum Tata Ruang
Kota Pati. Program Sarjana Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro.
Semarang. hlm 44-49
DELEGATED POWER
CONSULTATION
CITIZEN CONTROL
PARTNERSHIP
PLACATION
INFORMING
THERAPY
Degree of Citizen Power
Degree of Tokenism
8
7
6
5
4
3
MANIPULATION Non-participation
2
1
14
Berikut penjelasan dari 8 tingkat dalam tangga partisipasi:
1. Manipulation (Manipulasi)
Tingkat partisipasi ini adalah yang paling rendah, yang memposisikan
masyarakat hanya dipakai sebagai pihak yang memberikan persetujuan
dalam berbagai badan penasehat. Dalam hal ini tidak ada partisipasi
masyarakat yang sebenarnya dan tulus, tetapi diselewengkan dan
dipakai sebagai alat publikasi dari pihak penguasa.
2. Therapy (Terapi/Penyembuhan)
Dengan berkedok melibatkan partisipasi masyarakat dalam suatu
proses perencanaan, para ahli memperlakukan anggota masyarakat
seperti proses penyembuhan pasien dalam terapi. Meskipun masyarakat
terlibat dalam kegiatan, pada kenyataannya kegiatan tersebut lebih
banyak untuk mendapatkan masukan dari masyarakat demi
kepentingan pemerintah.
3. Informing (Informasi)
Memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak-hak mereka,
tanggungjawab dan berbagai pilihan, dapat menjadi langkah pertama
yang sangat penting dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat.
Meskipun yang sering terjadi adalah pemberian informasi satu arah dari
pihak pemegang kekuasaan kepada masyarakat, tanpa adanya
kemungkinan untuk memberikan umpan balik atau kekuatan untuk
negosiasi dari masyarakat. Dalam situasi saat itu terutama informasi
15
diberikan pada akhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit
kesempatan untuk mempengaruhi rencana.
4. Consultation (Konsultasi)
Mengundang opini masyarakat, setelah memberikan informasi kepada
mereka, dapat merupakan langkah penting dalam menuju partisipasi
penuh dari masyarakat. Meskipun telah terjadi dialog dua arah, akan
tetapi cara ini tingkat keberhasilannya rendah karena tidak adanya
jaminan bahwa kepedulian dan ide masyarakat akan diperhatikan.
Metode yang sering digunakan adalah survei, pertemuan lingkungan
masyarakat, dan dengar pendapat dengan masyarakat.
5. Placation (Penentraman/Perujukan)
Pada tingkat ini masyarakat mulai mempunyai beberapa pengaruh
meskipun beberapa hal masih tetap ditentukan oleh pihak yang
mempunyai kekuasaan, Dalam pelaksanaannya beberapa anggota
masyarakat dianggap mampu dimasukkan sebagai anggota dalam
badan-badan kerjasama pengembangan kelompok masyarakat yang
anggota-anggotanya wakil dari berbagai instansi pemerintah.
Walaupun usulan dari masyarakat diperhatikan sesuai dengan
kebutuhannya, namun suara masyarakat seringkali tidak didengar
karena kedudukannya relatif rendah atau jumlah mereka terlalu sedikit
dibanding anggota dari instansi pemerintah.
16
6. Partnership (Kerjasama)
Pada tingkat ini, atas kesepakatan bersama, kekuasaan dalam berbagai
hal dibagi antara pihak masyarakat dengan pihak pemegang kekuasaan.
Dalam hal ini disepakati bersama untuk saling membagi tanggungjawab
dalam perencanaan dan pembuatan keputusan serta pemecahan
berbagai masalah. Telah ada kesamaan kepentingan antara pemerintah
dan masyarakat.
7. Delegated Power (Pelimpahan Kekuasaan)
Pada tingkat ini masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk
memberikan keputusan dominan pada rencana atau program tertentu.
Untuk memecahkan perbedaan yang muncul, pemilik kekuasaan harus
mengadakan tawar menawar dengan masyarakat dan tidak dapat
memberikan tekanan-tekanan dari atas. Jadi masyarakat diberi
wewenang untuk membuat keputusan rensana tersebut kemudian
ditetapkan oleh pemerintah.
8. Citizen Control (Kontrol Masyarakat)
Pada tingkat ini masyarakat memiliki kekuatan untuk mengatur
program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan mereka.
Masyarakat mempunyai kewenangan dan dapat mengadakan negosiasi
dengan pihak-pihak luar yang hendak melakukan perubahan. Dalam hal
ini usaha bersama warga dapat langsung berhubungan dengan
sumber0sumber dana untuk mendapat bantuan atau pinjaman tanpa
17
melalui pihak ketiga. Jadi masyarakat memiliki kekuasaan untuk
merencanakan, melaksanakan dan mengawasi program yang dibuatnya.
Pada tingkat 1 dan 2 disimpulkan sebagai tingkat yang bukan
partisipasi atau non-participation. Tingkat 3, 4, 5 disebut tingkatan
penghargaan/tokenisme atau Degree of Tokenism. Dan tingkat 6, 7, 8
disebut tingkatan kekuatan masyarakat atau Degree of Citizen Power.
Melakukan pendekatan partisipatif dalam perencanaan suatu
pembangunan menjadikan masyarakat tidak hanya dianggap sebagai objek
pembangunan semata, tetapi juga sebagai subjek dalam pembangunan
tersebut. Pembangunan yang berorientasi pada masyarakat berarti hasil
pembangunan yang akan dicapai akan bermanfaat dan berguna bagi
masyarakat, selain itu juga resiko akan ditanggung oleh masyarakat.
1.5.2 Teori Peran
Peran berasal dari kata peran, yang menurut Kamus Besar bahasa
Indonesia (KBBI) diartikan sebagai pemain. Peran merupakan serangkaian
perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang
diberikan baik secara formal maupun secara informal. Dimana dengan adanya
peran ini dapat memberikan kejelasan pada setiap individu tentang apa yang
harus mereka lakukan dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi
harapan mereka sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran yang
dimilikinya tersebut.
18
Menurut Robert M. Z. Lawang, peran diartikan sebagai suatu pola
perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki status atau posisi
tertentu dalam organisasi.15
Sedangkan menurut Horton dan Hunt (1993), peran (role) adalah
perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu status. Kata
peran (role) mempunyai arti yang berhubungan dengan aspek dinamis
seseorang atau kelembagaan, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto yaitu, apabila seseorang atau lembaga melaksanakan hak dan
kewajiban sesuai dengan kedudukannya maka ia menjalankan suatu peranan.16
Mengenai peranan ini, Horoepoetri, Arimbi dan Santosa (2003),
mengemukakan beberapa dimensi yang dimiliki peran, yaitu:
a. Peran sebagai suatu kebijakan. Penganut paham ini berpendapat bahwa
peran merupakan suatu kebijaksanaan yang tepat dan baik dilaksanakan.
b. Peran sebagai strategi. Penganut paham ini mendalilkan bahwa peran
merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat (public
support). Pendapat ini didasarkan pada suatu paham bahwa keputusan dan
kepedulian masyarakat pada tiap tingkatan keputusan didokumentasikan
dengan baik, maka keputusan tersebut memiliki kredibilitas.
c. Peran sebagai alat komunikasi. Penganut paham ini berpendapat jika peran
didayagunakan sebagai instrumen atau alat untuk mendapatkan masukan
15 Robert M Z Lawang. 1985. Pengantar Sosiologi. Jakarta: PT. Karunika Universitas Terbuka. hlm
89 16 Soerjono Soekanto. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hlm 268
19
berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi ini
dilandaskan oleh suatu pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk
melayani masyarakat, sehingga pandangan dan preferensi dari masyarakat
tersebut adalah masukan yang bernilai, guna mewujudkan keputusan yang
responsif dan responsible.
d. Peran sebagai alat penyelesaian sengketa. Penganut paham ini berpendapat
jika peran dapat didayagunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi dan
meredam konflik melalui usaha pencapaian konsensus dari pendapat-
pendapat yang ada. Asumsi yang melandasi persepsi ini adalah bertukar
pikiran dan pandangan dapat meningkatkan pengertian dan toleransi serta
mengurangi rasa ketidakpercayaan dan kerancuan.
e. Peran sebagai terapi. Penganut paham ini menyatakan jika peran dilakukan
sebagai upaya “mengobati” masalah psikologis masyarakat seperti halnya
perasaan ketidakberdayaan, tidak percaya diri dan perasaan bahwa diri
mereka bukan komponen penting dalam masyarakat.
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan jika peran merupakan aspek
dinamis dari kedudukan (status) yang dimiliki seseorang, sedangkan status
merupakan sekumpulan hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang apabila
seseorang melakukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan
kedudukannya. Dengan begitu maka orang tersebut dapat dikatakan telah
menjalankan suatu fungsi atau peranan, karena peranan lebih banyak
menunjukkan pada fungsi seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat
atau organisasi.
20
1.5.2.1 Peran Sektor Swasta (CSR)
Proses penyediaan RTH tidak hanya merupakan tanggungjawab
Pemerintah saja, namun merupakan tanggungjawab dari para pelaku
pembangunan yang terkait seperti pihak pengembang (swasta). Dalam
Undang-Undang N0.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah mengatur
luasan minimal RTH di kawasan perkotaan, yang mewajibkan adanya 30%
luasan RTH dari luas wilayah kota itu sendiri. Pihak pengembang merupakan
salah satu pelaku pembangunan yang penting, dimana kehadiran pihak
pengembang mempengaruhi proses pemanfaatan ruang disuatu perkotaan.
Hal ini dikarenakan kemampuan yang mereka miliki.
Corporate Social Responsibility atau CSR adalah suatu konsep bahwa
organisasi, khususnya perusahaan adalah pemilik berbagai bentuk tanggung
jawab terhadap seluruh pemangku kepentingannya, yang diantaranya adalah
konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam
segala aspek operasional perusahaan yang mencakup aspek ekonomi, sosial
dan lingkungan. Oleh karena itu, CSR berhubungan erat dengan
pembangunan berkelanjutan. Makna dari suatu pembangunan berkelanjutan
adalah suatu organisasi, terutama perusahaan dalam melaksanakan
aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan
dampaknya dalam aspek ekonomi, tetapi juga harus menimbang dampak
sosial dan lingkungan yang timbul dari keputusannya itu, baik untuk jangka
pendek maupun jangka panjang. Dengan pengertian tersebut, CSR dapat
21
dikatakan sebagai kontribusi perusahaan terhadap tujuan pembangunan
berkelanjutan dengan cara manajemen dampak (minimalisasi dampak negatif
dan maksimisasi dampak positif) terhadap seluruh pemangku
kepentingannya.
Elkington mengemukakan bahwa CSR merupakan sebuah perusahaan
yang menunjukkan tanggung jawab sosialnya akan memberikan perhatiannya
kepada peningkat kualitas perusahaan (profit), masyarakat, khususnya
komunitas sekitar (people), serta lingkungan hidup (the earth).17
Selanjutnya Carrol, mendefinisikan CSR kedalam 4 bagian yang
digambarkan dalam sebuah poramid (Piramida CSR), dimana piramida ini
menjelaskan mengenai tingkatan tanggungjawab perusahaan dalam
melakukan aktivitasnya. Piramida ini terdisi dari empat jenjang, yaitu:18
1. Tanggungjawab ekonomis
Perusahaan memiliki tanggungjawab untuk beroperasi dengan baik
sebagai unit ekonomi yang menghasilkan pendapatan ntuk meningkatkan
keuntungannya.
2. Tanggungjawab legal
Tanggungjawab ini terkait dengan ketaatan perusahaan terhadap
persyaratan hukum atau biasa disebut obey the law.
3. Tanggungjawab etis,
17 Susanto, A.B. 2009. Reputation Driven Corporate Social Responsibility, Pendekatan