1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Irak merupakan area studies yang sangat menarik. Teritorial Irak terletak di sebuah kawasan yang subur, yaitu lembah Sungai Eufrat dan Tigris, tepatnya disebut dengan Mesopotamia Kuno. Pada zaman kuno, Irak juga dikenal dengan sebutan Lembah Babilonia. Kawasan Irak menyimpan pelbagai masa gemilang dan sampai sekarang terus disenandungkan oleh para budayawan, seniman, dan ilmuwan; mulai dari peradaban kuno Mesopotamia; Babilonia dengan taman gantungnya; dan Baghdad sebagai kota seribu menara; serta kota seribu satu malam Harun ar-Rasyid. 1 Negara yang berada di bagian barat daya Asia ini, memiliki batas-batas wilayah; di selatan dengan Kuwait dan Arab Saudi, di barat dengan Yordania dan Syria, di utara dengan Turki, dan di timur dengan Iran. Negara Republik Irak (al-Jumhuriyah al-Iraqiyah) beribukota di Baghdad, dengan populasi penduduknya pada sensus 1990 sebesar 18.317.000 jiwa. Luas wilayahnya mencapai 435.052 km² dengan kepadatan penduduk 42,1/km². Bahasa resminya adalah bahasa Arab. Dan agama Islam menempati peringkat pertama dengan jumlah pengikutnya sebesar 95,8%, kemudian Kristen 3,5% dan sedikit Yahudi. 2 1 Alauddin al-Mudarris, 2004, Huru-Hara Irak Isyarat Akhir Zaman, Yogyakarta: Cahaya Hikmah, halaman 12-13. 2 Ajid Thohir, 2009, Studi Kawasan Dunia Islam: Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik, Jakarta: Rajawali Pers, halaman 174.
31
Embed
BAB I PENDAHULUAN - abstrak.ta.uns.ac.id fileNegara yang berada di bagian barat daya Asia ini, memiliki batas-batas ... terjadinya perang antara Irak dan Iran yang berlarut-larut sejak
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Irak merupakan area studies yang sangat menarik. Teritorial Irak terletak di
sebuah kawasan yang subur, yaitu lembah Sungai Eufrat dan Tigris, tepatnya disebut
dengan Mesopotamia Kuno. Pada zaman kuno, Irak juga dikenal dengan sebutan
Lembah Babilonia. Kawasan Irak menyimpan pelbagai masa gemilang dan sampai
sekarang terus disenandungkan oleh para budayawan, seniman, dan ilmuwan; mulai
dari peradaban kuno Mesopotamia; Babilonia dengan taman gantungnya; dan
Baghdad sebagai kota seribu menara; serta kota seribu satu malam Harun ar-Rasyid.1
Negara yang berada di bagian barat daya Asia ini, memiliki batas-batas
wilayah; di selatan dengan Kuwait dan Arab Saudi, di barat dengan Yordania dan
Syria, di utara dengan Turki, dan di timur dengan Iran. Negara Republik Irak
(al-Jumhuriyah al-Iraqiyah) beribukota di Baghdad, dengan populasi penduduknya
pada sensus 1990 sebesar 18.317.000 jiwa. Luas wilayahnya mencapai 435.052 km²
dengan kepadatan penduduk 42,1/km². Bahasa resminya adalah bahasa Arab. Dan
agama Islam menempati peringkat pertama dengan jumlah pengikutnya sebesar
95,8%, kemudian Kristen 3,5% dan sedikit Yahudi.2
1 Alauddin al-Mudarris, 2004, Huru-Hara Irak Isyarat Akhir Zaman, Yogyakarta: Cahaya Hikmah,
halaman 12-13. 2 Ajid Thohir, 2009, Studi Kawasan Dunia Islam: Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik, Jakarta:
Rajawali Pers, halaman 174.
2
Islam di Irak terbagi menjadi dua kelompok besar yakni Sunni dan Syi’ah.
Perpecahan antara kedua kelompok ini penting karena merupakan faktor utama
terjadinya perang antara Irak dan Iran yang berlarut-larut sejak tahun 1980.
Perpecahan antara dua sekte itu dimulai setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. pada
tahun 632 M, karena adanya perbedaan pendapat tentang siapa yang dianggap ahli
waris yang sah untuk menggantikan Nabi saw. dalam menangani kepemimpinan umat
Islam. Orang-orang Syi’ah mengklaim bahwa satu-satunya yang sah sebagai
pengganti Nabi saw. adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Mereka tidak mengakui
para Khalifah ar-Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khathab, dan Utsman bin Affan)
sebelumnya. Akan tetapi, selama berabad-abad kaum Sunni-lah yang berhasil dalam
memenangkan calon-calon mereka untuk terpilih sebagai khalifah atau pemangku
tugas kenabian Muhammad saw., khususnya di dunia politik. Disebabkan jarangnya
kaum Syi’ah memegang kekuasaan politik, maka sistem keimaman mereka pun telah
menjadi bagian dari gerakan politik yang secara tidak langsung memprotes Sunni.3
Di Irak, kaum Syi'ah adalah mayoritas yang mencakup sekitar 55-60% dari
keseluruhan jumlah penduduk Irak. Bahkan, dua kali lipat dari jumlah kaum Arab
Sunni.4 Walaupun demikian, posisi elite pemerintahan Irak selalu dikuasai oleh Arab
Sunni. Adapun kaum Syi'ah yang memegang peranan penting dalam pemerintahan
hanyalah kaum Syi'ah Arab. Kemiskinan banyak menyebar pada masyarakat Syi'ah,
termasuk mereka yang berdomisili di ibukota Baghdad.5
3 Ibid, halaman 174-175. 4 Ibid, halaman 175. 5 Alauddin al-Mudarris, 2004, Huru-Hara Irak Isyarat Akhir Zaman, Yogyakarta: Cahaya Hikmah,
halaman 14-15.
3
Pada tahun 1958 (setelah kudeta militer berdarah), Irak berubah menjadi
negara republik yang sebelumnya berbentuk kerajaan sejak 1921 sampai 1958. Sejak
tahun 1968, hanya Partai Ba'ath-lah yang menjadi partai politik tunggal di Irak. Di
bawah kepemimpinan diktator Saddam Hussein, politik regional dan luar negeri Irak
menjadi ambisius, meskipun harus menghadapkan Irak pada risiko tinggi. Irak gagal
meruntuhkan pemerintahan Islam Iran dan bahkan menghadapi kehancuran setelah
menginvasi Kuwait pada 1991.6
Sejak masa pemerintahan Ahmad Hasan al-Bakr (1968-1979) dan terlebih
masa pemerintahan Saddam Hussein (1979-2003) inilah, panggung politik Baghdad
justru didominasi kelompok minoritas Arab Sunni khususnya Partai Ba'ath, lebih
khusus lagi keluarga Saddam dan "klan" al-Takriti (adalah nama daerah kelahiran
Saddam Hussein). Kondisi inilah yang disebut "Sunnisasi" panggung politik
Baghdad.7
Terhitung semenjak tahun 1968 sampai 1977, dari lima belas anggota Dewan
Pimpinan Revolusi yang penting, tak satu pun yang berasal dari kalangan Syi'ah.
Pemerintahan Irak berhasil dikuasai oleh orang-orang yang berasal dari desa Tikrit,
kota kelahiran Ahmad Hassan al-Bakr dan Saddam Hussein.8 Sehingga dengan
adanya "Sunnisasi" dan "Ba'athisasi" panggung politik Baghdad inilah, kaum Syi'ah
melakukan penentangan terhadap rezim di Irak.9
Saddam Hussein, bersama Partai Ba'ath memimpin pemerintahan Irak
6 Ibid, halaman 15. 7 M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, dan Happy Bone Zulkarnain, 1993, Konflik dan Diplomasi di
Timur Tengah, Bandung: PT Eresco, halaman 101. 8 Chibli Mallat dalam Shireen T. Hunter, 2001, Politik Kebangkitan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana,
halaman 124. 9 M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, dan Happy Bone Zulkarnain, op. cit, halaman 102.
4
berlandaskan pada empat pilar; ideologi totalitarian, pemerintahan partai tunggal,
ekonomi terpimpin, serta kontrol yang ketat terhadap media dan tentara. Lewat Partai
Ba'ath-lah ia mengembangkan sistem politik Irak, yakni menempatkan suku-suku dan
klan-klan tradisional sebagai institusi negara kunci.10
Upaya penjilatan, pemenjaraan, penindasan, bahkan pemusnahan terhadap
kaum Syi'ah, terus dilakukan Saddam Hussein guna mengontrol pemerintahannya.
Seperti pengeksekusian Imam Syi'ah Irak "Ayatullah Muhammad Baqir al-Sadr" pada
8 April 1980 bersama saudarinya "Amina binti al-Huda", yang setahun sebelumnya
berada dalam tahanan. Juga, upaya penumpasan Saddam terhadap gerakan kaum
Syi'ah yang menyebabkan terjadinya eksodus (antara 200.000 sampai 350.000) warga
Syi'ah Irak ke Iran. Di dalam negeri Irak sendiri, tindakan Saddam tersebut justru
membangkitkan kerusuhan anti-Saddam yang lebih luas di kalangan umat Syi'ah Irak.
Sedangkan di luar Irak, tindakan Saddam tersebut menjadi penyebab munculnya
Perang Teluk 1 (perang Iran-Irak September 1980-Agustus 1988).11
Selama lebih dari dua dasawarsa kaum Sunni telah menikmati kekuasaan.
Mereka merasakan kenyamanan dan ketentraman di bawah rezim Saddam. Namun,
keadaan berubah semenjak Baghdad berhasil dikuasai pihak koalisi pada 9 April 2003,
yang ditandai dengan perobohan Patung Saddam di perempatan Firdaus. Rezim
Saddam tumbang. Ini menandakan kehidupan baru dan pemerintahan baru di Irak.
Sementara kaum Sunni harus menghadapi kenyataan baru setelah Saddam jatuh;
mereka kehilangan kekuasaan dengan segala fasilitasnya, mereka kehilangan
10 Trias Kuncahyono, 2005, Bulan Sabit di Atas Baghdad, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman
126-127. 11 M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, dan Happy Bone Zulkarnain, op. cit, halaman 101.
5
dominasi dengan segala keuntungannya.12
Di sisi lain, jatuhnya Saddam justru
menandakan kebangkitan baru bagi kaum Syi'ah dan Kurdi dalam peranan politik
mereka pada pemerintahan baru Irak.
Hilangnya sosok figur Saddam Hussein (pemimpin Sunni, pemimpin Irak)
selanjutnya, menjadikan konflik antara Sunni dan Syi'ah di Irak pasca Saddam
berlarut-larut dan semakin intensif, bahkan berujung konfrontasi di antara mereka.
Sementara masing-masing dari kelompok masyarakat harus terus memperjuangkan
eksisitensi dan pengaruhnya dalam pemerintahan baru di bawah pendudukan AS dan
sekutu. Terlebih keadaan kependudukan Irak yang terpecah dalam hal persoalan
ideologi agama dan etnis, —yaitu Irak bagian selatan dikuasai kaum Syi'ah, Irak
bagian tengah dikuasai kaum Sunni, dan Irak bagian utara di tangan suku
Kurdi—dipandang banyak pihak sebagai batu sandungan utama bagi pembentukan
negara baru.13
Kemudian, siapakah yang akan berkuasa selanjutnya? Dari kelompok
mana? Sunni? Syi'ah? Kurdi?
Isu demokrasi pasca perang Irak-AS pun menyeruak ke permukaan. Jika
memang hal tersebut terbukti di kemudian hari, berdasarkan sistem demokrasi yang
selalu diagung-agungkan AS dengan pemberian hak memilih bagi setiap individu,
maka dapat dipastikan kaum Syi'ah lah yang akan berkuasa. Lalu, bagaimanakah
dengan kaum Sunni, yang berada di bawah kekuasaan Syi'ah pasca Saddam. Akankah
sebuah pemerintahan otoriter kembali terwujud sesudah digulingkannya Saddam
Hussein oleh AS dan sekutu, atau sekurang-kurangnya sebuah pemerintahan yang
harmonis, persekutuan, hubungan antara budak dengan majikannya atau
hubungan antara pekerja dengan majikannya. Termasuk di dalamnya
kelompok-kelompok yang diikat oleh suatu kepentingan tertentu. Hal ini
didasarkan pada sifat 'ashabiyah yang khayali (imagine).
Individu-individu dalam suatu kelompok mengikatkan diri dalam suatu
komunitas yang lebih besar untuk memperjuangkan kepentingan mereka
dan disertai imaginasi tercapainya kepentingan tersebut.26
Disebabkan karena sifat yang imagine ini, maka 'ashabiyah dalam
struktur pemikiran Ibn Khaldun bukanlah sesuatu yang kaku atau tidak
bisa berubah, melainkan bisa tumbuh menjadi kuat atau sebaliknya akan
hancur dan berakhir. Lalu berganti dengan 'ashabiyah lain. 'Ashabiyah
dalam pengertian kedua ini pada gilirannya menghasilkan hal yang sama
dengan apa yang terjadi pada pengertian pertama, yaitu rasa cinta, senasib
dan sepenanggungan dalam segala suka maupun duka.27
2) Agresif
Manusia memiliki watak agresif sebagai akibat adanya animal
power dalam dirinya yang mendorong untuk melakukan kekerasan atau
penganiayaan. Agresifitas manusia ini bisa berakibat terjadinya
pertumpahan darah dan permusuhan, bahkan pemusnahan umat manusia
itu sendiri. Pandangan Ibn Khaldun ini sejalan dengan banyak penjelasan
para filosof lainnya bahwa yang membedakan manusia dengan hewan
26 Ibid. 27 Ibid, halaman 111.
20
adalah akal atau pikiran. Agresifitas manusia tersebut kemudian menjadi
pemicu terjadinya konflik antar mereka. Apalagi bila tidak terdapat
institusi atau seorang pemimpin yang mampu mengendalikan agresifitas
manusia atas yang lainnya. Argumen inilah yang kiranya dapat digunakan
untuk menjelaskan berbagai konflik dan kekerasan yang begitu lekat
dengan sejarah manusia.28
2.2 Fenomena Politik
Ibn Khaldun dikenal sebagai ilmuwan politik. Beberapa penelitian
mengenai teori-teori politiknya telah dipublikasikan dan mendapat perhatian
banyak kalangan. Dalam bidang politik, ia bukanlah ilmuwan yang hanya
menghabiskan banyak waktu di belakang meja untuk menulis atau
melakukan penelitian terhadap berbagai fenomena politik. Tetapi, selama
bertahun-tahun ia terlibat langsung dalam berbagai intrik politik, perebutan
kekuasaan dan mendirikan kekuasaan baru di atas kekuasaan lama. Di
samping juga menyaksikan berbagai fenomena politik di berbagai wilayah
yang membentang di Afrika dan Spanyol.29
Pengkajian mengenai fenomena politik yang berhubungan dengan
konflik dalam masyarakat, terdapat dua hal penting yang perlu untuk dibahas.
Yaitu, pertama, akar berdirinya negara. Pentingnya hal ini dibahas karena
mengingat negara sebagai perkembangan paling maju dalam kehidupan
berkelompok manusia seringkali dipandang sebagai arena pertarungan antar
28 Ibid, halaman 83-84. 29 Ibid, halaman 85-86.
21
kelompok dalam masyarakat. Bila benar demikian adanya, maka tentu saja
bertentangan dengan semangat hidup berkelompok manusia pada awal
mulanya. Pertarungan terjadi karena masing-masing kelompok ingin
memegang kekuasaan, dan puncak kekuasaan tersebut adalah kekuasaan
negara.30
Hal inilah yang terjadi antara Sunni dengan Syi'ah yang
masing-masing memperkuat ikatan solidaritasnya dalam membedakan
dirinya dengan yang lain, kemudian saling menyerang karena perbedaan
ikatan solidaritas tersebut ('Ashabiyah). Inilah yang melahirkan
ketegangan-ketegangan atau konflik dalam perkembangan Sunni-Syi'ah di
Irak.
Kedua, kekuasaan raja atau kepala negara. Dalam hubungan dengan
konflik, pembahasan mengenai hal ini menjadi sangat penting mengingat
peran yang semestinya dilakukan oleh seorang pemimpin diharapkan mampu
menjadi penengah dan pemisah di antara kelompok-kelompok yang berbeda.
Menurut Ibn Khaldun kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk
melarang orang lain melakukan tindakan yang merusak dan larangan itu
untuk didengarkan dan dipatuhi oleh orang lain. Namun, seorang pemimpin
dalam menjalankan kekuasaannya tidak menjamin dapat berlaku adil.
Bahkan kekuasaannya dapat membuatnya berlaku zalim dan aniaya.31
1) Akar Berdirinya Negara
Ibn Khaldun mengilustrasikan bahwa dalam hal makanan saja
30 Ibid, halaman 86-87. 31 Ibid, halaman 87.
22
manusia saling membutuhkan satu sama lain. Selain dalam hal makanan,
keterkaitan manusia satu dengan yang lainnya juga terjadi dalam hal
keamanan jiwa. Tiap manusia memerlukan bantuan dari sesamanya dalam
pembelaan diri terhadap ancaman bahaya. Manusia supaya dapat bertahan
hidup diperlukan makan dan untuk aman harus dapat membela diri dari
makhluk lain. Dua hal tersebut tidak dapat dilakukan seorang diri. Oleh
karenanya, diperlukan adanya kerja sama antar sesama manusia. Kerja
sama tersebut kemudian membentuk suatu organisasi kemasyarakatan.
Dari sinilah Ibn Khaldun menyatakan bahwa organisasi kemasyarakatan
(al-ijtima' al-insani) adalah merupakan suatu keharusan. Karenanya,
peradaban umat manusia tidak bisa terlepas dari organisasi tersebut. Ini
berarti, manusia memerlukan suatu organisasi kemasyarakatan yang
dinamakan "kota" (Arab; al-madinah, Latin; polis).32
Setelah organisasi kemasyarakatan terbentuk dan peradaban
merupakan suatu kenyataan di dunia ini, maka masyarakat membutuhkan
seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah
dan pemisah antara anggota masyarakat. Watak agresif, sebagai akibat
dari adanya potensi-potensi kebinatangan (animal power) dalam diri
manusia dapat menyebabkan terjadinya pertikaian, permusuhan,
perusuhan, pertumpahan darah, bahkan pemusnahan umat manusia itu
32 Ibid, halaman 87-89.
23
sendiri.33
Senjata-senjata yang dipergunakan untuk melindungi manusia
terhadap watak agresif manusia terhadap sesamanya. Oleh karena itu,
diperlukan sesuatu yang dapat menangkal atau mengatasi watak agresif
manusia terhadap sesamanya. Itulah yang dapat diperankan oleh
penengah atau pemisah yang berasal dari kelompok mereka sendiri.
Menurut Ibn Khaldun, tindakan agresif dan detensif hanya berhasil
dengan bantuan solidaritas sosial (Ashabiyah).34
Namun pada umumnya
semua kondisi yang memicu timbulnya perilaku agresif adalah ancaman
terhadap kepentingan hayati. Perilaku agresif binatang merupakan respon
terhadap "segala sesuatu yang mengancam kelangsungan hidup".35
2) Kekuasaan Raja atau Kepala Negara
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pandangan Ibn Khaldun
mengenai kehadiran seorang raja atau kepala negara adalah sebagai
penengah, pemisah, dan sekaligus pemegang otoritas itu merupakan suatu
keharusan bagi kehidupan bersama dalam suatu masyarakat atau negara.
Terkait hal ini, Ibn Khaldun berpandangan bahwa tugas pokok yang harus
dilakukan manusia adalah, pertama, berusaha dengan segala kemampuan
untuk dapat melestarikan kehidupan umat manusia, dan kedua,
melakukan perbuatan yang bersifat membangun dunia ini. Menurutnya,
33 Ibid, halaman 91. 34 Ibn Khaldun, 2008, Muqaddimah Ibn Khaldun, Jakarta: Pustaka Firdaus, halaman 228-229. 35 Erich Fromm dalam Ahmad Sahide, 2013, Ketegangan Politik Syi'ah-Sunni di Timur Tengah
(Sejarah Politik di Sekitar Laut Tengah Pada Abad x M), Yogyakarta: The Phinisi Press, halaman 19.
24
hubungan orang yang diperintah (rakyat) dengan orang yang memerintah
adalah hubungan kepemilikan. Orang yang memerintah adalah orang
yang memiliki rakyat dan rakyat adalah mereka yang memiliki orang
yang memerintah.36
Namun demikian, pandangannya mengenai arti penting seorang
pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat tidak hanya didasarkan pada
wahyu Tuhan atau ajaran agama, sebagaimana yang disebut di atas.
Tetapi, lebih ditekankan pada hasil pengamatannya terhadap
perkembangan kehidupan umat manusia dalam kehidupan berkelompok
atau bermasyarakat.
Di dalam suatu organisasi kemasyarakatan akan terjadi hubungan
atau interaksi antar sesama anggotanya. Dari sinilah akan memunculkan
berbagai persoalan, di antaranya adalah persoalan konflik. Mengingat
watak agresif atau animal power yang ada pada manusia, sehingga
seseorang atau sekelompok orang akan begitu saja mengambil milik atau
usaha orang lain secara tidak sah. Maka, terjadilah pertikaian yang
menimbulkan permusuhan, yang mana pada gilirannya dapat sampai pada
pemusnahan umat manusia itu sendiri.37
Selanjutnya, diperlukan seseorang yang dapat menjadi pengendali
dan mampu memerintah, yang mana untuk dapat bertindak sebagai raja
atau kepala negara adalah dia yang memiliki superioritas atau keunggulan,