1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa dalam sebuah karya sastra berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari dan bahasa pada karya ilmiah. Bahasa karya sastra merupakan hasil ide atau kreativitas pengarang yang membutuhkan pemikiran yang mendalam, sedangkan bahasa dalam kehidupan sehari-hari terjadi secara spontan atau refleks yang bersifat praktis, mudah dimengerti, dan tidak mementingkan struktur karena lebih menekankan unsur komunikatif. Bahasa pada karya ilmiah bersifat denotatif, lebih terstruktur, langsung diarahkan ke objek sasaran, menghindarkan unsur estetis, fungsi mediasi dan emosionalitas. Bahasa karya sastra mengutamakan unsur estetis, fungsi mediasi dan emosionalitas. Perbedaan tersebut tergantung dalam proses seleksi, memanipulasi, mengombinasikan kata-kata (Nyoman Kutha Ratna, 2009: 14-15). Têmbang merupakan salah satu bentuk karya sastra sebagai hasil penuangan ide atau gagasan yang dimanifestasikan ke dalam bahasa dan memiliki makna filosofis bagi kehidupan manusia. Têmbang -têmbang Jawa tersebut memiliki nilai-nilai ajaran yang adiluhung, sehingga tidak heran jika sering diabadikan dalam karya sastra yang berupa sêrat. Karya sastra yang berupa sêrat tersebut lazimnya menggunakan ragam bahasa yang berbeda dari bahasa pada umumnya. Bahasa yang digunakan dalam suatu karya sastra cenderung menggunakan ragam bahasa literer dan memiliki nilai estetik. Sêrat banyak ditemukan pilihan kata yang arkhais dan penggunaan gaya bahasa yang memiliki makna konotatif. Hal tersebut menimbulkan suatu permasalahan dalam hal penggunaan bahasa. Masalah- masalah yang timbul dalam penggunaan bahasa sangatlah kompleks, dan di setiap masalah
41
Embed
BAB I PENDAHULUAN - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112038_bab1.pdf · Mangkunegaran, yaitu Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV. Sêrat Tripama
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa dalam sebuah karya sastra berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari dan
bahasa pada karya ilmiah. Bahasa karya sastra merupakan hasil ide atau kreativitas pengarang yang
membutuhkan pemikiran yang mendalam, sedangkan bahasa dalam kehidupan sehari-hari terjadi
secara spontan atau refleks yang bersifat praktis, mudah dimengerti, dan tidak mementingkan
struktur karena lebih menekankan unsur komunikatif. Bahasa pada karya ilmiah bersifat denotatif,
lebih terstruktur, langsung diarahkan ke objek sasaran, menghindarkan unsur estetis, fungsi
mediasi dan emosionalitas. Bahasa karya sastra mengutamakan unsur estetis, fungsi mediasi dan
emosionalitas. Perbedaan tersebut tergantung dalam proses seleksi, memanipulasi,
mengombinasikan kata-kata (Nyoman Kutha Ratna, 2009: 14-15).
Têmbang merupakan salah satu bentuk karya sastra sebagai hasil penuangan ide atau
gagasan yang dimanifestasikan ke dalam bahasa dan memiliki makna filosofis bagi kehidupan
manusia. Têmbang -têmbang Jawa tersebut memiliki nilai-nilai ajaran yang adiluhung, sehingga
tidak heran jika sering diabadikan dalam karya sastra yang berupa sêrat. Karya sastra yang berupa
sêrat tersebut lazimnya menggunakan ragam bahasa yang berbeda dari bahasa pada umumnya.
Bahasa yang digunakan dalam suatu karya sastra cenderung menggunakan ragam bahasa literer
dan memiliki nilai estetik. Sêrat banyak ditemukan pilihan kata yang arkhais dan penggunaan gaya
bahasa yang memiliki makna konotatif.
Hal tersebut menimbulkan suatu permasalahan dalam hal penggunaan bahasa. Masalah-
masalah yang timbul dalam penggunaan bahasa sangatlah kompleks, dan di setiap masalah
2
kebahasaan dapat dikaji dari sudut pandang yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini akan
mengkaji penggunaan bahasa dalam Sêrat Tripama.
Berikut adalah unsur stilistika yang ditemukan dalam têmbang Dhandhanggula Sêrat
Tripama.
(1) yogyanira kang para prajurit (ST/B1/L1)
‘seyogyanya para prajurit’
Pada data (1) di atas terdapat asonansi/ purwakanthi guru swara atau pengulangan huruf
vokal /a/ yang terdapat dalam kata yogyanira ‘seyogyanya’ pada suku kata ketiga dari belakang
(anteapaenultima); kang ‘yang’ pada suku kata pertama; prajurit ‘prajurit’ pada suku kata
pertama. Adapun asonansi/ purwakanthi guru swara atau perulangan bunyi huruf /O/ terdapat
dalam kata yogyanira ‘seyogyanya’ pada suku kata terakhir; dan dalam kata para ‘para’ pada suku
kata pertama dan suku kata terakhir. Di samping itu, asonansi /a/ dtemukan pada kata para yaitu
pada suku kata pertama dan suku kata terakhir (ultima). Dengan adanya asonansi/ purwakanthi
guru swara /O/ dan /a/ tersebut membuat lirik pada contoh data (1) menjadi lebih merdu.
(2) liré lêlabuhan tri prakawis (ST/B2/L1)
‘arti jasa bakti yang tiga macam’
Pada data (2) di atas terdapat aliterasi/ purwakanthi guru sastra yang berupa konsonan /r/,
yaitu dalam kata liré ‘arti’ pada suku kata terakhir; tri ‘tiga’ pada suku kata pertama; dan dalam
kata prakawis ‘macam’ pada suku kata pertama. Adanya aliterasi/ purwakanthi guru sastra
tersebut membuat lirik têmbang menjadi lebih indah dan juga untuk mempertegas makna têmbang.
Selain purwakanthi guru swara dan purwakanthi guru sastra juga ditemukan purwakanthi
lumaksita atau purwakanthi basa. Adapun contoh penggunan data yang mengandung purwakanthi
umaksita sebagai berikut.
(3) guna bisa saniskarèng karya (ST/B2/L2)
3
‘memiliki kepandaian dan kemampuan dalam segala pekerjaan’
Data (3) menunjukkan adanya pemanfaatan purwakanthi lumaksita yang berupa
perulangan suku kata kar pada kata saniskarèng ‘dalam segala’ dan pada kata karya ‘pekerjaan’.
Perulangan suku kata kar pada kedua kata tersebut memberikan kesan estetis dalam pelafalannya,
sehingga kedua kata tersebut terasa merdu.
Sêrat Tripama merupakan karya sastra yang diciptakan oleh salah satu raja pujangga
Mangkunegaran, yaitu Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV. Sêrat Tripama
berisi tentang ajaran keprajuritan yang ditujukan bagi prajurit Mangkunegaran pada masa itu. Sêrat
tersebut berbentuk têmbang Dhandhanggula yang berjumlah tujuh bait. Karena bentuk Sêrat
Tripama berupa têmbang, maka menjadi suatu kelaziman jika bahasa yang digunakan adalah
bahasa yang mengandung ragam bahasa literer dan tidak mudah dipahami oleh orang awam pada
umumnya. Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya pemanfaatan aspek penanda morfologis
ragam literer, pemanfaatan diksi, dan pemanfaatan gaya bahasa yang digunakan dalam Sêrat
Tripama.
Pemanfaatan aspek penanda morfologis ragam literer berupa penambahan imbuhan yang
meliputi prefiks, sufiks, infiks, sufiks, dan simulfiks. Kesan arkhais dan indah karena adanya diksi
yang meliputi sinonimi, antonimi, protesis, têmbung plutan, têmbung garba, têmbung camboran,
têmbung saroja, dan penggunaan bahasa Jawa Kuna/ Sanskerta. Berikut akan diuraikan beberapa
contoh pemanfaatan diksi dalam Sêrat Tripama.
(4) yogyanira kang para prajurit (ST/B1/L1)
‘seyogyanya para prajurit’
Data (4) menunjukkan pemanfaatan aspek penanda morfologis yang berupa akhiran atau
sufiks {-ira}. Pemanfaatan sufiks {-ira} tersebut masih termasuk rumpun bahasa Jawa Kuna,
sehingga kata yang dilekati sufiks tersebut terkesan lebih arkhais.
4
(5) binudi dadi unggulê (ST/B2/L3)
‘diusahakan menjadi yang unggul’
Imbuhan yang berupa infiks {-in-} pada kata binudi ‘diusahakan’ merupakan salah satu
contoh pemanfaatan aspek penanda morfologis ragam literer. Infiks {-in-} pada konteks data (5)
di atas terasa lebih indah dibandingkan dengan afiks lain yang berarti sama, misalnya prefiks {di-
}.
(6) tur iku warna diyu (ST/B3/L4)
‘meskipun itu berwujud raksasa’
Data (6) menunjukkan adanya diksi yang berupa pemanfaatan bahasa Jawa Kuna atau
bahasa Sanskerta. Kata diyu ‘raksasa’ merupakan kata yang berasal dari bahasa Jawa Kuna yang
berarti raksasa. Pemilihan kata diyu dalam konteks kalimat tersebut menjadikan tuturan lebih
arkhais, sehingga menimbulkan kesan keindahan.
(7) katri mangka sudarsanèng Jawi (ST/B7/L1)
‘ketiganya merupakan teladan bagi orang Jawa’
Kata sudarsanèng ‘teladan bagi’ pada data (7) di atas merupakan diksi yang berupa
têmbung garba, yaitu gabungan dua kata yang mengalami persandian di dalamnya. Kata
sudarsanêng ‘teladan bagi’ berasal dari kata sudarsana ‘teladan’ dan kata ing ‘di’. Pertemuan
vokal /O/ pada akhir kata sudarsana dengan vokal /i/ pada awal kata ing ‘di’ menjadikan kedua
kata tersebut mengalami persandian, sehingga menjadi vokal /è/. Adanya pemanfaatan têmbung
garba tersebut berfungsi untuk menjadikan tuturan lebih indah, dan juga untuk memenuhi
konvensi tembang yang berupa jumlah guru wilangan pada setiap barisnya.
Selain pemanfaatan bunyi bahasa dan pemanfaatan aspek penanda morfologis serta diksi,
dalam penelitian ini juga ditemukan adanya pemanfaatan gaya bahasa. Aspek gaya bahasa dalam
Sêrat Tripama meliputi gaya bahasa simile, epilet, anastrof, eponim, hiperbola, metonimia, dan
5
inuendo. Pemanfaatan gaya bahasa dalam Sêrat Tripama betujuan untuk memberikan kesan yang
tidak lazim atau arkhais sehingga bahasa yang digunakan di dalamnya tidak monoton dan memiliki
fungsi keestetisan suatu tembang. Adapun contoh penggunaan gaya bahasa dalam Sêrat Tripama
adalah sebagai berikut.
(8) duk bantu prang Manggada nagri (ST/B2/L5)
‘ketika berperag membantu negeri Manggada’
Frasa Manggada nagri ‘negeri Manggada’ pada data di atas merupakan salah satu contoh
pemanfaatan gaya bahasa yang berupa gaya bahasa anastrof. Gaya bahasa anastrof merupakan
pemanfaatan gaya bahasa dengan cara pembalikan susunan kata. Pembalikan kata Manggada
nagri ‘negeri Manggada’ seperti yang ditunjukkan oleh data (8) bertujuan untuk memenuhi
konvensi sastra yang berupa jatuhnya guru lagu /i/ pada têmbang dhandhanggula, yakni di akhir
kalimat pada baris ke lima.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti akan mengkaji Sêrat Tripama dengan kajian stilistika.
Alasan pemilihan topik penelitian ini yaitu peneliti ingin mengetahui dan mengkaji: (1) aspek-
aspek penanda bunyi yang terkait dengan fungsi purwakanthi guru swara, purwakanthi guru
sastra, dan purwakanthi lumaksita (2) aspek penanda morfologis literer dan diksi yang arkhais,
dan (3) aspek pemanfaatan gaya bahasa yang berkaitan dengan keprajuritan dalam Sêrat Tripama
Karya KGPAA Mangkunegara IV. Dari berbagai pemanfaatan aspek bunyi yang bervariasi,
penanda morfologis literer dan diksi yang arkhais, serta gaya bahasa yang relevan dengan dunia
keprajuritan dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara IV tersebut, adapun penelitian
sejenis sebagai berikut:
1. Sêrat Piwulang Warni-Warni Karya Mangkunegara IV, skripsi oleh Priyanto, Fakultas Sastra
dan Seni Rupa, UNS (2007). Penelitian tersebut mengkaji tentang aspek-aspek pemanfaatan
6
bunyi bahasa, pemilihan kata, dan penggunaan gaya bahasa. Sumber datanya berupa Sêrat
Paliatma, Sêrat Paliwara, dan Sêrat Yogatama.
Sêrat Piwulang Warni-Warni dan Sêrat Tripama merupakan karya Mangkunegara IV,
sehingga akan dapat diketahui adanya kesamaan gaya bahasa atau ciri khas pengarang.
2. Kajian Stilistika Lirik Lagu Bahasa Jawa Karya Sujiwo Tedjo, skripsi oleh Dewi Arum Sari,
Fakultas Sastra dan Seni Rupa, UNS (2011). Penelitian tersebut mengkaji tentang aspek-aspek
penanda bunyi, pilihan diksi, gaya bahasa, dan aspek pencitraan dalam lirik lagu berbahasa
Jawa modern karya Sujiwo Tedjo.
Penelitian ini sebagai referensi dalam hal penganalisisan aspek-aspek pemanfaatan bunyi
bahasa, diksi, dan gaya bahasanya.
3. Kajian Stilistika Antologi Geguritan Puser Bumi Karya Gampang Prawoto, skripsi oleh Dewi
Untari, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, UNS (2014). Penelitian tersebut mengkaji tentang
aspek-aspek pemanfaatan bunyi bahasa, pilihan diksi, pemanfaatan gaya bahasa, dan aspek
pencitraan dalam antologi geguritan Puser Bumi karya Gampang Prawoto yang sebagian besar
berbahasa Jawa modern dan disisipi bahasa Indonesia serta bahasa Jawa Kuna.
Penelitian Dewi Untari dijadikan sebagai referensi dalam penganalisisan aspek-aspek
pemanfaatan bunyi bahasa, pilihan kata, dan gaya bahasanya.
4. Stilistika Syiir Berbahasa Jawa Bait Pengajian Akbar Bersama Habib Syech bin Abdul Qodir
Assegaf, skripsi oleh Erlyna Puspitasari, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, UNS (2014).
Penelitian tersebut mengkaji tentang aspek-aspek bunyi, pemilihan diksi, penggunaan bahasa,
dan aspek pencitraan dalam syiir berbahasa Jawa pada pengajian akbar bersama Habib Syech
bin Abdul Qodir Assegaf.
7
Kajian ini sebagai referensi penentuan metode penelitian dan dalam aspek-aspek penanda
bunyi bahasa, pemilihan kata, dan penggunaan gaya bahasa atau majas.
Perbedaan penelitian (1) Sêrat Piwulang Warni-Warni Karya Mangkunegara IV, (2)
Kajian Stilistika Lirik Lagu Bahasa Jawa Karya Sujiwo Tedjo, (3) Kajian Stilistika Antologi
Geguritan Puser Bumi Karya Gampang Prawoto, dan (4) Stilistika Syiir Berbahasa Jawa Bait
Pengajian Akbar Bersama Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf tersebut dengan penelitian ini
adalah adanya pemilihan kata-kata arkhais yang berfokus dalam hal keprajuritan. Kata-kata
arkhais yang termasuk dalam keprajuritan tersebut misalnya: prajurit, satriya, jurit, aprang,
tandhing, jinêmparing, dan prawira yang digambarkan melalui tiga tokoh pewayangan yaitu Patih
Suwanda, Kumbakarna, dan Adipati Karna.
B. Pembatasan Masalah
Dalam sebuah penelitian, perlu adanya pembatasan permasalahan dengan tujuan agar
permasalahan yang dikaji tidak meluas.
Dalam penelitian ini, pengkajian masalah dibatasi pada aspek pemanfaatan aspek-aspek
bunyi bahasa, penanda morfologis dan diksi, serta penggunaan gaya bahasa dalam Sêrat Tripama
Karya KGPAA Mangkunegara IV.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pemanfaatan aspek-aspek bunyi bahasa dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA
Mangkunegara IV?
8
(Permasalahan ini dikaji untuk mendeskripiskan ritme persajakan yang berupa purwakanthi
guru swara (asonansi), purwakanthi guru sastra (aliterasi), dan purwakanthi lumaksita dalam
Sêrat Tripama).
2. Bagaimanakah aspek penanda morfologis dan diksi dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA
Mangkunegara IV?
(Permasalahan ini dikaji untuk mendeskripsikan aspek penanda morfologis ragam literer yang
berupa penggunaan prefiks, sufiks, infiks, konfiks, dan simulfiks. Permasalahan ini juga dikaji
untuk mendeskripsikan diksi yang berupa sinonimi, antonimi, protesis, têmbung plutan,
têmbung garba, têmbung camboran, têmbung saroja, penggunaan bahasa Jawa krama dan
penggunaan bahasa Sanskerta dalam Sêrat Tripama).
3. Bagaimanakah penggunaan gaya bahasa dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara
IV?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan pemanfaatan aspek-aspek bunyi bahasa dalam Sêrat Tripama Karya
KGPAA Mangkunegara IV.
2. Mendeskripsikan aspek morfologis dan diksi dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA
Mangkunegara IV.
3. Mendeskripsikan penggunaan gaya bahasa dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA
Mangkunegara IV.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu manfaat penelitian teoretis dan
manfaat penelitian praktis.
9
1. Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis dari penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan teori stilistika,
terutama yang berkaitan dengan kajian stilistika têmbang Jawa. Penelitian ini diharapkan juga
mampu memperkuat teori stilistika yang sudah ada.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini:
1. Untuk menambah hasil penelitian yang berkaitan dengan bidang stilistika têmbang-
têmbang Jawa.
2. Untuk menambah materi ajar yang ada kaitannya dengan bidang stilistika, terutama
dalam têmbang-têmbang Jawa.
3. Sebagai model penelitian stilistika berikutnya.
10
F. LANDASAN TEORI
1. Pengertian Stilistika
Panuti Sudjiman dalam bukunya yang berjudul Bunga Rampai Stilistika (1993),
menjelaskan bahwa makna dari stilistika yaitu mengkaji ciri khas penggunaan bahasa dalam
wacana sastra. Secara singkat stilistika mengkaji fungsi puitika suatu bahasa. Menurut Sudjiman,
stilistika menjembatani analisis bahasa dan sastra (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2009: 42).
Stilistika berkaitan dengan medium utama, yaitu bahasa, keindahan berkaitan dengan hasil akhir
dari kemampuan medium itu sendiri dalam menampilkan kekhasannya (Nyoman Kutha Ratna,
2009: 253). Stilistika sebagai ilmu pengetahuan mengenai gaya bahasa, maka sumber
penelitiannya adalah semua jenis komunikasi yang menggunakan bahasa, baik lisan maupun
tulisan (Nyoman Kutha Ratna, 2009: 13).
Stilistika adalah ilmu tentang gaya (style). Gaya (style) adalah cara penggunaan sistem
tanda yang mengandung ide, gagasan, dan nilai keindahan tertentu (Aminuddin, 1995: 31 dalam
Untari, 2014: 11). Gaya tersebut menjadi ciri khas pengarang dalam menciptakan karangannya.
Sutejo (2010: 4-5 dalam Puspitasari: 11) style merupakan gaya bahasa termasuk di dalamnya
pilihan gaya pengekspresian seorang pengarang untuk menuangkan sesuatu yang dimaksudkan
yang bersifat individu atau kolektif. Kasnadi dan Sutejo (2010: 82 dalam Puspitasari: 12)
mengelompokkan fokus perhatian teori stilistika pada bunyi, kata, kalimat yang digunakan oleh
pengarang dalam menciptakan karya sastra. Bunyi-bunyi dalam karya sastra meliputi pola rima
dan irama, kata meliputi pemilihan kata atau diksi, sedangkan kalimat meliputi kalimat pendek,
kalimat yang kompleks, kalimat pasif, kalimat aktif, kalimat interogatif, kalimat yang ritmis dan
puitis.
11
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
definisi stilistika ialah kekhasan penggunaan bahasa oleh seseorang dalam menciptakan suatu
karya sastra, sehingga dapat menjadi karya yang indah dan unik karena setiap pengarang memiliki
ciri khas tersendiri.
Dalam penelitian ini, penulis cenderung mengacu pada teori yang disampaikan oleh Panuti
Sudjiman dan teori yang disampaikan oleh Kasnadi serta Sutejo. Hal itu dikarenakan teori yang
dikemukakan oleh ketiga ahli tersebut relevan dengan penelitian stilistika dalam Sêrat Tripama
ini. Penelitian yang berjudul Kajian Stilistika dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara
IV ini menganalisis tentang aspek-aspek bunyi bahasa (meliputi pola rima dan irama), aspek-aspek
penanda morfologi dan diksi, serta satuan lingual yang mengandung gaya bahasa yang puitis.
2. Pengertian Têmbang
Têmbang adalah suatu karya sastra menyerupai syair atau puisi (geguritan) yang berirama
dan kata-kata yang digunakan lazimnya memiliki nilai keindahan. Dalam hal ini, têmbang juga
memiliki makna filosofis yang kuat sebagai simbol pengingat bagi berbagai segi kehidupan
manusia. Istilah têmbang biasanya sering dikaitkan dengan budaya Jawa.
Dalam Ngéngréngan Kasusastran Djawa I (Padmosoekotjo, 1955: 12-14) dijelaskan
bahwa têmbang macapat juga disebut sebagai têmbang cilik yang terdiri dari 9 macam. Masing-
masing têmbang memiliki konvensi atau aturan, yang antara satu dengan lainnya tidak sama.
Penelitian ini membahas tentang têmbang macapat Dhandhanggula bait 1-7 yang terdapat dalam
Sêrat Tripama. Têmbang Dhandhanggula terdiri dari 10 gatra (baris). Masing-masing gatra atau
baris memiliki guru lagu (bunyi vokal di setiap akhir baris) dan guru wilangan (jumlah suku kata
tiap baris) yang berbeda. Jumlah guru lagu dan guru wilangan pada têmbang Dhandhanggula
mulai dari baris pertama sampai baris ke sepuluh akan dijelaskan sebagai berikut:
12
1. Baris pertama terdiri dari 10 suku kata dengan bunyi vokal terakhir berbunyi i
2. Baris kedua terdiri dari 10 suku kata dengan bunyi vokal terakhir berbunyi a
3. Baris ketiga terdiri dari 8 suku kata dengan bunyi vokal terakhir berbunyi é
4. Baris keempat terdiri dari 7 suku kata dengan bunyi vokal terakhir u
5. Baris kelima terdiri dari 9 suku kata dengan bunyi vokal terakhir i
6. Baris keenam terdiri dari 7 suku kata dengan bunyi vokal terakhir a
7. Baris ketujuh terdiri dari 6 suku kata dengan bunyi vokal terakhir u
8. Baris kedelapan terdiri dari 8 suku kata dengan bunyi vokal terakhir a
9. Baris kesembilan terdiri dari 12 suku kata dengan bunyi vokal terkahir i
10. Baris kesepuluh terdiri dari 7 suku kata dengan bunyi vokal terkahir a
Menurut Padmoesoekotjo (1955: 13), ḍanḍanggula awatak: luwes, rêsêp. Tumrap ing
tjarita kang ngêmu surasa kepriyé baé bisa maṭuk, pantjén luwêsan. Kanggo ing bêbuka prajoga,
kanggo meḍaraké piwulang ja kêna, kanggo tjarita kang isi gandrung-gandrungan uga kêna,
kanggo panutuping karangan ja lumrah ‘dhandhanggula berwatak: fleksibel, menyenangkan. Di
dalam cerita yang berisi apa saja bisa cocok, memang fleksibel. Untuk pembukaan juga baik, untuk
memaparkan pelajaran juga bisa, untuk cerita yang berisi tentang percintaan juga bisa, untuk
penutupan karangan juga suatu hal yang lazim’.
3. Pengertian Sêrat Tripama
Sêrat Tripama merupakan suatu karya sastra karya KGPAA Mangkunegara IV yang
bertahta sebagai raja pada tahun 1809-1881 di Pura Mangkunegaran Surakarta. Sêrat Tripama
berbentuk têmbang Dhandhanggula sebanyak tujuh bait yang mengisahkan keteladanan tiga
prajurit Pura Mangkunegaran, yaitu Patih Suwanda (Bambang Sumantri), Kumbakarna, dan
Suryaputra (Adipati Karna).
13
Kisah Patih Suwanda terdapat dalam bait satu dan dua. Patih Suwanda memiliki nama kecil
Bambang Sumantri. Ia adalah putra dari pendeta Suwandahagni, salah seorang pendeta yang
sangat tekun bertapa. Sejak kecil, Bambang Sumantri sudah diajarkan berbagai ilmu tentang
kesaktian. Setelah beranjak dewasa, Bambang Sumantri mengabdikan dirinya sebagai prajurit
kepada Harjunasasrabahu di Maespati. Ia dikenal sebagai prajurit yang gagah berani dan memiliki
kesetiaan serta tanggung jawab yang besar terhadap Harjunasasrabahu. Hal itu dibuktikan dengan
kerelaan untuk mengorbankan nyawanya ketika ia berperang melawan Dasamuka, hingga pada
akhirnya ia gugur di medan perang.
Kisah Kumbakarna terdapat dalam bait tiga dan empat. Di dalam bait tersebut dikisahkan
bahwa Kumbakarna yang berwujud sebagai raksasa juga ingin mencapai keutamaan. Ia adalah
adik dari Dasamuka. Meskipun bertubuh raksasa, tetapi jiwanya tidak seburuk raganya. Raden
Kumbakarna memiliki sifat-sifat cinta tanah air dan watak ksatria. Kumbakarna rela
mempertaruhkan jiwa raganya dan berperang melawan prajurit kera, semata-mata demi
menjalankan kewajibannya sebagai ksatria dan warga negara.
Kisah Suryaputra atau Adipati Karna terdapat dalam bait lima dan enam. Raden Suryaputra
adalah seorang adipati di Ngawangga, yang masih memiliki hubungan saudara seibu lain ayah
dengan Pandhawa. Sejak lahir hingga dewasa, Suryaputra tidak hidup dan tinggal bersama
Pandhawa. Ia diasuh oleh kusir Adirata. Ketika beranjak dewasa, Suryaputra diangkat menjadi
adipati oleh raja Ngastina, yaitu Prabu Duryudana. Menjelang perang Bharatayuda, Karna dibujuk
oleh ibunya agar berperang di pihak Pandhawa. Namun, Karna bersikukuh bahwa walaupun
Pandhawa masih saudaranya dan berada di pihak yang benar, tetapi sebagai ksatria ia harus
membela raja yang telah mengangkat derajatnya. Karna ingin membalas budi kepada Prabu
14
Duryudana, sehingga ia rela berjuang di medan perang untuk melawan saudaranya sendiri. Hingga
akhirnya, Karna gugur akibat terkena panah Raden Arjuna.
Bait ketujuh merupakan kesimpulan dari keteladanan tiga tokoh tersebut. Ketiga tokoh
tersebut adalah teladan bagi orang Jawa. KGPAA Mangkunegara IV berpesan agar kita
meneladani apa yang telah dicontohkan ketiganya. Secara ringkas, ajaran yang dapat dicontoh dari
Patih Suwanda adalah keutamaan tri prakaranya, yaitu “guna, kaya, lan purun”, kepandaian,
kecukupan, dan keberaniannya. Adapun keteladanan yang dapat dicontoh dari sosok Kumbakarna
adalah sikap setia mengabdi kepada negara. Keteladanan yang dapat dipetik dan dijadikan contoh
dari Adipati Karna adalah berani mengorbankan segala-galanya demi mempertahankan loyalitas
dan komitmen walaupun ia sadar sepenuhnya bahwa yang ia bela berada di pihak yang salah
(Jatmiko, 2012: 217-225).
4. Pengertian Aspek Bunyi
Pemanfaatan aspek bunyi meliputi purwakanthi swara (asonansi), purwakanthi sastra
(aliterasi), dan purwakanthi lumaksita. Purwakanthi secara etimologis berasal dari kata purwa dan