Page 1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) merupakan jajaran
pemerintah yang membidangi urusan kesehatan. Saat ini Kemenkes berada di
bawah pimpinan dr. Terawan Agus Putranto sebagai menteri kesehatan.
Gambar 1.1 Logo Kemenkes RI
Sumber: kemenkes.go.id
Visi
Visi misi Kementerian Kesehatan mengikuti visi misi Presiden Republik
Indonesia yaitu Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan
Berkepribadian Berlandaskan Gotong-royong. Visi tersebut diwujudkan dengan 7
(tujuh) misi pembangunan yaitu:
1. Terwujudnya keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah,
menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim
dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan.
2. Mewujudkan masyarakat maju, berkesinambungan dan demokratis
berlandaskan negara hukum.
3. Mewujudkan politik luar negeri bebas dan aktif serta memperkuat jati diri
sebagai negara maritim.
4. Mewujudkan kualitas hidup manusia lndonesia yang tinggi, maju dan sejahtera.
5. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.
Page 2
2
6. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan
berbasiskan kepentingan nasional, serta
7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.
Dengan lokasi kantor di Jl. HR. Rasuna Said Blok X5 Kav. 4-9, Jakarta Selatan,
dalam bekerja, Kemenkes RI dipimpin oleh seorang Menteri Kesehatan dengan
didampingi oleh beberapa staf ahli. Adapun struktur organisasi Kemenkes RI
adalah sebagai berikut.
Pada penelitian ini dibahas salah satu produk dari Kemenkes RI, yaitu iklan
televisi Cegah Stunting Itu Penting. Iklan televisi ini merupakan perwujudan salah
tugas dari Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, yaitu pemberdayaan
masyarakat dan promosi masyarakat. Adapun tugas ini lebih spesifiknya
dilaksanakan oleh Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.
Gambar 1.2 Iklan Layanan Masyarakat Pencegahan Stunting
Sumber: promkes.kemkes.go.id
Page 3
3
Iklan layanan masyarakat ini merupakan salah satu bentuk realisasi dari upaya
penanggulangan stunting di Indonesia. Iklan yang dibahas pada penelitian ini
adalah iklan yang ditayangkan pada tahun 2019 mulai bulan Mei. Dengan durasi 30
detik, iklan ini berisi informasi mengenai hal-hal yang dapat dilakukan sebagai
upaya pencegahan stunting, seperti pemeriksaan rutin ke Puskesmas, pemberian
makanan dengan gizi seimbang secara teratur, serta sanitasi.
Gambar 1.3 Iklan Layanan Masyarakat Cegah Stunting Itu Penting
Sumber: data peneliti
Objek penelitian, menurut Sugiyono (2013:38), merupakan atribut atau nilai
dari seseorang, kegiatan, atau objek yang memiliki suatu variasi yang diteliti,
dipelajari, kemudian ditarik kesimpulannya. Dengan kata lain objek penelitian
merupakan pusat perhatian atau masalah dari penelitian. Adapun objek penelitian
pada penelitian ini antara lain: (1) daya tarik pesan, (2) kualitas pesan, serta (3)
frekuensi penayangan iklan layanan masyarakat Cegah Stunting Itu Penting, dan
(4) sikap khalayak.
Page 4
4
1.2 Latar Belakang Masalah
Sebagai negara berkembang tentunya Indonesia menghadapi beberapa masalah
dan tantangan, salah satunya di bidang kesehatan. Masalah kesehatan telah menjadi
perhatian pemerintah sejak dulu. Banyak hal yang memicu kemunculan masalah
kesehatan, mulai dari sulitnya akses terhadap tenaga dan fasilitas medis, hingga
yang paling umum yaitu sanitasi.
Mengutip PBB, 2,5 miliar orang di dunia masih hidup dengan sanitasi yang
buruk. Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus sanitasi
terbanyak(diambil dari https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-2202429/10-
negara-dengan-sanitasi-terburuk-di-dunia-indonesia-peringkat-2, diakses 25
Agustus 2019, 19:52 WIB). Padahal sanitasi atau kebersihan menjadi salah satu hal
paling mendasar dalam hidup sehat.
Untuk menjadi negara maju tentunya dibutuhkan bangsa yang berkualitas. Anak-
anak, khususnya, diharapkan dapat menjadi generasi penerus bangsa untuk
membangun Indonesia. Namun pada kenyataannya, tugas ini terhambat karena
masalah kesehatan yang mengganggu tumbuh kembang anak dan menghalangi
potensi mereka.
Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional
menjelaskan penelitian dan pengembangan kesehatan merupakan salah satu
komponen penting dalam program pembangunan nasional. Pada rapat Kerja
Nasional (Rakernas) yang diadakan oleh Badan Litbangkes, Menteri Kesehatan,
Nila Moeloek, menyampaikan ada lima isu utama yang dijadikan prioritas dalam
pembangunan kesehatan selama 5 tahun kedepan (2020-2024). Kelima isu tersebut
adalah angka kematian ibu (AKI)/ angka kematian neonatal (AKN) yang tinggi,
stunting, tuberkulosis (TBC), penyakit tidak menular (PTM) serta cakupan
imunisasi dasar lengkap. Riskesdas menyatakan meningkatnya PTM memerlukan
strategi penanganan dan pengendalian khusus. Di antara kelima isu tersebut,
stunting sebagai salah satu PTM menjadi perhatian Kementerian Kesehatan
(diambil dari https://www.kemkes.go.id/article/view/19031100002/lima-isu-
prioritas-tantangan-balitbangkes-5-tahun-ke-depan.html, diakses 25 Agustus 2019,
22:04 WIB)
Page 5
5
Stunting adalah salah satu masalah gizi yang dialami balita di dunia. Pada tahun
2017, stunting dialami oleh sebanyak 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia.
Akan tetapi, seperti yang nampak pada grafik, jumlah balita penderita stunting
mengalami penurunan.
Gambar 1.4 Grafik Prevalensi Balita Pendek di Dunia 2000-2017
Sumber: Buletin Stunting 2018
Pada tahun 2017, sebanyak 55% balita penderita stunting di seluruh dunia
berasal dari Asia. Dari persentasi tersebut proporsi terbanyak berasal dari Asia
Selatan, yaitu sebanyak 58,7%, sementara Asia Tenggara di urutan kedua dengan
proporsi sebanyak 14,9%. Dari data tersebut, Indonesia merupakan negara ketiga
dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara. Rata-rata prevalensi balita
stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.
Gambar 1.5 Rata-rata Prevalensi Balita Pendek di Regional Asia Tenggara Tahun 2005-
2017
Sumber: Buletin Stunting 2018
0 10 20 30 40 50 60
Thailand
Myanmar
Indonesia
Timor Leste
Prevalensi Stunting di Asia Tenggara 2005-2017
Angka dalam persen (%)
Page 6
6
Stunting atau kerdil/pendek telah menjadi masalah gizi utama di Indonesia.
Stunting merupakan kondisi bayi pada rentang usia 0-11 bulan dan balita pada
rentang usia 12-59 bulan yang gagal tumbuh. Hal ini disebabkan terjadinya
kekurangan gizi kronis, khususnya selama 1000 hari pertama kehidupan anak.
Kekurangan gizi terjadi setelah bayi lahir dan dari kandungan yang kurang sehat
maka akan terlihat perbedaannya setelah anak berusia 2 tahun. Balita/anak dengan
stunting memiliki tinggi badan yang jauh lebih pendek dibandingkan anak
seusianya dan menyebabkan perbedaan yang signifikan dengan anak seusianya.
Data Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2015-2017 menunjukkan masalah
anak pendek terjadi lebih banyak dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti
genuk, kurus, serta kurang gizi. Prevalensi balita pendek sempat mengalami
penurunan dari tahun 2015 ke tahun 2016, yaitu dari 29% menjadi 27,5%. Angka
prevalensi menunjukkan jumlah balita penderita stunting dibanding jumlah balita
secara keseluruhan dalam suatu daerah. Namun kemudian mengalami peningkatan
kembali di tahun 2017 menjadi 29,6% yang bahkan lebih tinggi lagi dari tahun 2016
(diambil dari
https://www.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/buletin/Buletin-Stunting-
2018.pdf, diakses 25 Agustus 2019, 15:47 WIB).
Gambar 1.6 Grafik Masalah Gizi di Indonesia Tahun 2015-2017
Sumber: Buletin Stunting 2018
Page 7
7
Hasil Riskesdas tahun 2007 menyatakan persentase balita pendek di Indonesia
sebesar 36,8%. Kemudian mengalami penurunan di tahun 2010 menjadi 35,6%
namun kemudian mengalami kenaikan kembali di tahun 2013 menjadi 37,2%
Gambar 1.7 Grafik Prevalensi Balita Pendek di Indonesia Tahun 2007-2013
Sumber: Buletin Stunting 2018
Kemudian pada tahun 2015, persentase balita pendek di Indonesia berada pda
angka 29%. Pada tahun 2016 angka ini menurun menjadi 27,5% dan meningkat
kembali di 2017 menjadi 29,6%.
Gambar 1.8 Grafik Prevalensi Balita Pendek di Indonesia Tahun 2015-2017
Sumber: Buletin Stunting 2018
Berdasarkan Riskesdas tahun 2018 terjadi penurunan jumlah balita stunting dari
sebelumnya 37,2% pada tahun 2013 menjadi 30,8%. Namun WHO menetapkan
angka rekomendasi untuk kasus ini sebesar 20% atau seperlima jumlah balita, yang
mana berarti kasus di Indonesia masih di atas angka rekomendasi tersebut. Dengan
ini, Atas hal ini, WHO menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi
buruk. (diambil dari
Page 8
8
https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/18/01/24/p30s85396-who-78-
juta-balita-di-indonesia-penderita-stunting, diakses 25 Agustus 2019 22:03 WIB)
Sementara itu, di Jawa Barat sendiri angka stunting telah mencapai 29,2%.
Sebanyak 2,7 juta balita di antaranya berada di delapan kabupaten/kota dengan
persentase stunting tinggi. Kedelapan kota/kabupaten ini di antaranya adalah
Kabupaten Garut (43,2%), Kabupaten Sukabumi (37,6%), Kabupaten Cianjur
(35,7%), Kabupaten Tasikmalaya (33,3%), Kabupaten Bandung Barat (34,2%),
Kota Tasikmalaya (33,2%), Kabupaten Majalengka (30,2%), dan Kabupaten
Purwakarta (30,1%). Kota Tasikmalaya salah satunya, masih memiliki prevalensi
33,2% (diambil dari http://bappeda.jabarprov.go.id/cegah-stunting-jabar-akan-
gelar-kampanye-zero-stunting-2023/, diakses 6 September 2019 22:06 WIB).
Angka ini di atas standar WHO seperti yang disebutkan di atas, yaitu 20%. Di
samping itu, terjadi pula kenaikan angka bayi dengan gizi buruk dari tahun 2016 ke
tahun 2018. Di tahun 2016, jumlah bayi dengan gizi buruk yang tercatat oleh BPS
Kota Tasikmalaya adalah 83 bayi yang tersebar di 10 kecamatan.
Gambar 1.9 Tabel Jumlah Bayi Lahir, Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), Bergizi
Buruk dan Bergizi Buruk yang Mendapatkan Perawatan Menurut Kecamatan, 2016
Sumber: tasikmalayakota.bps.go.id
Selanjutnya di tahun 2018, angka ini meningkat menjadi 115 bayi. Hal ini
menjadi penting karena gizi buruk kronis atau berkepanjangan bisa menjadi
penyebab stunting. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, stunting disebabkan
Page 9
9
oleh kurangnya asupan gizi pada 1000 hari pertama sejak kelahiran. Sementara itu,
dampaknya baru akan terlihat hingga bayi berusia 2 tahun. Data inilah yang
membuat peneliti ingin melakukan penelitian di Kota Tasikmalaya. Data ini
menunjukkan adanya kesenjangan antara program pemerintah yang telah dilakukan
dengan angka stunting yang malah meningkat, padahal tujuan dari program ini
adalah memberikan informasi dan edukasi yang dapat membantu menekan angka
stunting.
Gambar 1.10 Tabel Jumlah Bayi Lahir, Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), Bergizi
Buruk dan Bergizi Buruk yang Mendapatkan Perawatan Menurut Kecamatan, 2018
Sumber: tasikmalayakota.bps.go.id
Dalam menangani masalah kesehatan, khusunya stunting, pemerintah telah
melakukan beragam upaya selama beberapa tahun terakhir. Departemen Kesehatan
memiliki strategi yang disebut Strategi 5 Pilar Penanganan Stunting.
Kelima pilar tersebut adalah:
1. Komitmen dan Visi Kepemimpinan
2. Kampanye Nasional dan Komunikasi Perubahan Perilaku
Page 10
10
3. Konvergensi, Koordinasi Program Pusat, Daerah dan Desa
4. Gizi dan Ketahanan Pangan
5. Pemantauan dan Evaluasi
Kelima pilar ini selaras dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan terkait dengan ketahanan pangan tingkat keluarga, yaitu:
1. Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat ditujukan untuk peningkatan mutu gizi
perseorangan dan masyarakat, melalui antara lain a) perbaikan pola konsumsi
makanan, dan b) peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi;
2. Pemerintah bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga
miskin dan dalam keadaan darurat;
3. Pemerintah juga bertanggung jawab terhadap pendidikan dan informasi yang
benar tentang gizi kepada masyarakat. (Bab VIII, Pasal 142; ayat 3 UU 36/2009).
(Buletin Stunting 2018)
Melihat data mengenai stunting yang tidak hanya menjadi isu nasional, tapi juga
global, maka perlu diadakannya komunikasi berupa penyampaian informasi
mengenai stunting. Hal ini karena gejala dari stunting sendiri tidak begitu nampak
dan masih sering dianggap sepele, padahal dampaknya adalah seumur hidup.
Salah satu upaya yang penting dalam penanganan stunting ini adalah komunikasi
dari pemerintah kepada masyarakat. Untuk hal ini, pemerintah telah melakukan
penyebarluasan informasi di tahun 2018. Hal ini dilakukan melalui berbagai macam
media massa luar ruang seperti billboard, TVC, media sosial, radio, dan lainnya.
Media massa sendiri, dalam komunikasi, berperan menyampaikan informasi
kepada khalayak luas secara serentak (Rakhmat, 2018:189).
Page 11
11
Gambar 1.11 Tabel Kegiatan Penyebarluasan Informasi Tahun 2018
Sumber: depkes.go.id
Media televisi digunakan karena memiliki beberapa keunggulan sebagai media
massa dibandingkan media lainnya. Televisi mampu memberi tayangan secara
audio dan visual, yang mana lebih menarik perhatian khalayak. Selain itu televisi
juga mampu memberikan tayangan secara langsung dan real time. Ditambah lagi
televisi memiliki jangkuan yang luas dan hingga hari ini dapat diakses hampir oleh
semua lapisan masyarakat.
Televisi merupakan media yang paling banyak dikonsumsi masyarakat
berdasarkan kuantitas waktu. Berdasarkan data yang dihimpun Nielsen pada 2018,
masyarakat Indonesia menghabiskan menghabiskan waktu sebanyak 4 jam 53
menit untuk menonton televisi. Kemudian disusul oleh konsumsi internet sebanyak
3 jam 14 menit (dialmbil dari https://www.nielsen.com/id/en/press-
releases/2019/mengoptimalkan-strategi-komunikasi-dan-pemasaran-dengan-
nielsen-total-audience/, diakses 25 Agustus 2019, 22:21 WIB).
Page 12
12
Gambar 1.12 Konsumsi Waktu terhadap Media di Indonesia 2018
Sumber: Nielsen Indonesia
Televisi juga merupakan media yang telah mencapai hampir seluruh masyarakat
Indonesia. Pada tahun 2017, Nielsen melakukan survei mengenai konsumsi media
terhadap 1107 responden dari seluruh Indonesia. Responden berasal dari 11 kota
besar meliputi Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Surabaya,
Denpasar, Medan, Palembang, Makassar, dan Banjarmasin. Hasil survei tersebut
menunjukkan bahwa penetrasi media paling besar dicapai oleh televisi, yaitu
sebesar 96%. Kemudian disusul oleh media luar ruang sebesar 53% dan internet
44%. Sementara media dengan penetrasi paling kecil dilakukan oleh media tabloid
dan majalah.
Gambar 1.13 Penetrasi Media di Indonesia 2017
Sumber: Nielsen Indonesia
Page 13
13
Di samping itu, pola konsumsi media berdasaran waktu menunjukkan bahwa
mayoritas masyarakat mengakses televisi pada pagi hari sebelum jam 9 pagi, serta
petang-malam hari antara jam 6 petang – 10 malam. Hal ini dikarenakan antara jam
9 hingga jam 6 sore merupakan jam kantor di mana mayoritas orang bekerja dan
tidak dapat mengakses televisi. Iklan layanan masyarakat Cegah Stunting Itu
Penting sendiri ditayangkan pada petang hari, hal ini sesuai informasi tersebut yang
mana iklan tersebut ditayangkan pada waktu banyak khalayak menonton televisi.
Gambar 1.14 Grafik Konsumsi Media Berdasarkan Waktu di Indonesia 2017
Sumber: Nielsen Indonesia
Berdasarkan data dan informasi di atas, pilihan media televisi dapat dikatakan
tepat untuk menyebar informasi. Adapun untuk menyampaikan informasi
mengenai stunting ini, pemerintah menggunakan media televisi melalui bentuk
iklan. Kotler mendefinisikan iklan sebagai bentuk presentasi nonpersonal serta
promosi dari barang, jasa, ataupun ide dan harus dibayar (Molan, 2007:244).
Melalui iklan di televisi ini diharapkan informasi dapat diserap dengan baik oleh
masyarakat. Informasi ini disampaikan melalui elemen-elemen dalam iklan seperti
kata-kata yang diucapkan (suara & penekanan suara), kata-kata yang dilihat,
gambar, musik, warna, serta gerakan (Rossiter dan Percy, 1987:209).
Iklan di televisi dapat dianggap sebagai langkah yang tepat untuk menyebarkan
informasi secara luas dan cepat. Iklan di televisi memiliki keunggulan dibanding
media lainnya, seperti fokus perhatian yang lebih, terdapat kreativitas dan efek,
Page 14
14
prestise, waktu, daya jangkau yang luas, serta selektivitas dan fleksibilitas
(Morissan, 2010:240).
Terdapat dua jenis iklan, yaitu iklan standar dan iklan layanan masyarakat
(Bittner dalam Unpad Press 2019). Iklan standar adalah iklan yang ditata secara
khusus untuk memperkenalkan barang, jasa, pelayanan untuk konsumen melalui
media periklanan. Sementara itu, iklan layanan masyarakat adalah iklan yang
bersifat nonprofit atau tidak mengharapkan keuntungan apapun. Iklan layanan
masyarakat bermaksud untuk memberikan informasi, mempersuasi atau mendidik
khalayak dan lebih berfokus untuk mendapat keuntungan sosial seperti
bertambahnya pengetahuan, kesadaran sikap dan perubahan perilaku masyarakat
terhadap masalah yang dibahas dalam iklan, serta meningkatkan citra di mata
masyarakat (Unpad Press 2019) .
Effendy (2009:255) mengatakan bahwa efek dari komunikasi sendiri adalah
terjadinya perubahan sikap baik itu secara kognitif, afektif, maupun konatif. Sikap
sendiri, menurut Kottler dan Keller (2007:238), merupakan perasaan, emosi,
penilaian, serta kecenderungan individu untuk bertindak terhadap objek atau
gagasan tertentu. Dengan kata lain, komunikasi mampu membawa perubahan baik
dari segi pengetahuan, perasaan, hingga tindakan. Iklan yang ditayangkan di televisi
sebagai bagian dari komunikasi massa ini diharap dapat mengubah sikap khalayak
serta membantu menurunkan angka stunting nasional, sebagaimana fungsi dari
iklan menurut Nurfebiaraning (2017:6) yaitu memberi informasi/pengetahuan baru
serta membujuk khalayak untuk melakukan tindakan, yang mana sama dengan
aspek sikap kognitif dan konatif. Selayaknya iklan produk komersil yang ditujukan
mendorong khalayak untuk bertindak, yaitu mengonsumsi produk yang diiklankan,
iklan layanan masyarakat pun ditujukan untuk mendorong khalayak utnuk
bertindak sesuai pesan yang disampaikan. Iklan yang disenangi khalayak dapat
menciptakan sikap positif dan keinginan untuk membeli produk (Ammarie,
2018:83). Dalam konteks iklan layanan masyarakat, iklan yang disukai masyarakat
memiliki peluang yang lebih besar untuk mendorong perubahan sikap pada
khalayak.
Di samping itu, intensitas iklan juga berpengaruh pada perubahan sikap
khalayak. Menurut Indriarto (2006:247), khalayak memiliki peluang yang lebih
Page 15
15
besar untuk menerima informasi ketika iklan ditayangkan di media yang memiliki
cakupan luas serta dalam frekuensi tinggi. Semakin sering khalayak meneirma
informasi, semakin besar kemungkinan untuk mengubah sikap khalayak. Hal ini
juga selaras dengan pendapat Dapu dkk. (2015:3) bahwa semakin besar kegiatan
iklan yang ditayangkan, semakin banyak perubahan sikap yang terjadi. Pada
konteks iklan layanan masayarakat sendiri, perubahan sikap pada khalayak dapat
terjadi ketika lebih sering terpapar pada informasi. Selain itu jumlah khalayak yang
mengalami perubahan sikap juga didukung oleh seberapa luas cakupan media yang
digunakan untuk menyebarkan informasi. Dalam hal ini, media televisi telah
menjadi pilihan yang tepat sebagai media penyampai informasi sebagai media
dengan penetrasi tertinggi. Selain itu juga, sebagai media yang paling banyak
dikonsumsi, idealnya banyak perubahan sikap yang terjadi pada khalayak dengan
bantuan televisi.
Iklan yang menarik lebih mampu memperoleh perhatian khalayak. Khususnya
di era digital ini, informasi bisa dengan cepat menyebar ketika mereka viral. Iklan
yang viral tentunya akan menjangkau khalayak yang lebih luas dan memiliki
frekuensi yang lebih tinggi sehingga mampu mendorong khalayak menuju
perubahan sikap. Maka daya tarik dari iklan ini menjadi faktor yang penting dalam
mempengaruhi sikap khalayak.
Perubahan sikap pada individu/khalayak sendiri terjadi dalam beberapa macam
tingkatan. Beberapa iklan hanya mampu memberi perubahan di tahap kognitif atau
dengan ini khalayak hanya sampai pada tahap memperoleh informasi baru namun
tidak melakukan tindakan. Perubahan berikutnya terjadi pada tahap afektif, yang
mana iklan mampu memberi dampak emosional sehingga khalayak merasa senang
akan iklan tersebut dan iklan menjadi lebih menempel di ingatan khalayak. Tahap
berikutnya adalah terjadinya perubahan secara konatif. Pada tahap ini, iklan mampu
memberikan dampak atau dorongan sehingga khalayak mau melakukan tidakan
sesuai dengan isi pesan iklan. Hal ini selaras dengan pendapat Bovee dan Arens
(1986:5) mengenai salah satu tujuan dari iklan layanan masyarakat, yaitu
memperbaiki sikap masyarakat.
Aspek komunikasi dari iklan yang diteliti di sini adalah pesan dari iklan tersebut,
lebih spesifiknya daya tarik dan kualitas pesan, serta frekuensi dari penayangan
Page 16
16
iklan. Pengaruh iklan terhadap sikap khalayak telah diteliti sebelumnya. Di
antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Rahmadani (2018) dengan judul
Pengaruh Daya Tarik Pesan, Kualitas Pesan, dan Frekuensi Penayangan Iklan
Layanan Masyarakat “Rokok Menghancurkan Tubuhmu” terhadap Sikap Perokok
di Kota Bandung menunjukkan bahwa daya tarik pesan, kualitas pesan, dan
frekuensi penayangan berpengaruh secara signifikan terhadap sikap, baik secara
simultan maupun parsial. Semakin semakin tinggi nilai daya tarik pesan, kualitas
pesan, dan frekuensi penayangan, maka semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap
sikap. Penelitian lain juga dilakukan oleh Rullyandi (2017) dengan judul “
Pengaruh Iklan Layanan Masyarakat terhadap Sikap Pemirsa Televisi di Bandung
(Studi Iklan BBM Versi Tukul Arwana)’. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa
iklan layanan masyarakat memberikan pengaruh yang positif dan kuat terhadap
sikap pemirsa televisi. Melihat fenomena di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Pengaruh Daya Tarik Pesan, Kualitas Pesan, dan
Frekuensi Penayangan Terhadap Sikap Khalayak (Analisis terhadap Iklan Layanan
Masyarakat Cegah Stunting Itu Penting 2019)”.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, muncul beberapa pertanyaan :
a. Seberapa besar pengaruh daya tarik pesan terhadap sikap khalayak?
b. Seberapa besar pengaruh kualitas pesan terhadap sikap khalayak?
c. Seberapa besar pengaruh frekuensi penayangan terhadap sikap
khalayak?
d. Seberapa besar pengaruh daya tarik pesan, kualitas pesan, dan
frekuensi penayangan terhadap sikap khalayak secara simultan?
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui besar pengaruh daya tarik pesan terhadap sikap
khalayak.
b. Untuk mengetahui besar pengaruh kualitas pesan terhadap sikap
khalayak.
c. Untuk mengetahui besar frekuensi penayangan terhadap sikap
khalayak.
Page 17
17
d. Untuk mengetahui besar pengaruh daya tarik pesan, kualitas pesan,
dan frekuensi penayangan terhadap sikap khalayak secara simultan.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoretis
Penelitian ini khususnya diharapkan mampu menjelaskan besar pengaruh
daya tarik pesan, kualitas pesan, dan frekuensi penayangan dari iklan layanan
masyarakat Cegah Stunting Itu Penting terhadap sikap khalayak, baik secara parsial
maupun simultan. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan mampu mendukung
perkembangan ilmu komunikasi, khususnya di bidang periklanan, seperti iklan
layanan masyarakat. Selain itu diharapkan juga penelitian ini dapat menjadi
referensi bagi penelitian selanjutnya dan dikembangkan lebih jauh lagi.
1.5.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi pemerintah,
khususnya Kementrian Kesehatan, dalam menentukan media ataupun
pembuatan konten dalam penyebaran informasi serta kegiatan edukasi dan
komunikasi. Di samping itu, hasil dari penelitian juga diharap dapat dijadikan
pertimbangan bagi para pengiklan khususnya dalam membuat iklan layanan
masyarakat.