BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perdebatan mengenai aborsi di Indonesia akhir-akhir ini semakin ramai, karena dipicu oleh berbagai peristiwa yang mengguncang sendi-sendi kehidupan manusia. Kehidupan yang dberikan kepada setiap manusia merupakan Hak asasi Manusia yang hanya boleh dicabut oleh pemberi kehidupan tersebut. Berbicara mengenai aborsi tentunya kita berbicara tentang kehidupan manusia karena aborsi erat kaitannya dengan wanita dan janin yang ada dalam kandungan wanita. Pengguguran kandungan (aborsi) selalu menjadi perbincangan, baik dalam forum resmi maupun tidak resmi yang menyangkut bidang kedokteran, hukum maupun disiplin ilmu lain. 1 Aborsi merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin memprihatinkan. Keprihatinan itu bukan tanpa alasan, karna sejauh ini prilaku pengguguran kandungan banyak menimbulkan efek negatif baik untuk diri pelaku maupun pada masyarakat luas. Hal ini disebabkan karena aborsi menyangkut norma moral serta hukum suatu kehidupan bangsa ditambah lagi dengan kebutuhan hidup manusia tak ada habisnya dan tentu sangatlah beragam. Aborsi telah dikenal sejak lama, aborsi memiliki sejarah panjang dan telah dilakukan oleh berbagai metode baik itu natural atau herbal, penggunaan alat-alat tajam, trauma fisik dan metode tradisional lainnya. Zaman kontemporer 1 Achadiat Charisdiono, 2009, Dinamika Etika Dan Hukum Kedokteran, Jakarta,h. 12.
27
Embed
BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf · Aborsi telah dikenal sejak lama, aborsi memiliki sejarah panjang dan ... pelaku abortus provocatus yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perdebatan mengenai aborsi di Indonesia akhir-akhir ini semakin ramai,
karena dipicu oleh berbagai peristiwa yang mengguncang sendi-sendi kehidupan
manusia. Kehidupan yang dberikan kepada setiap manusia merupakan Hak asasi
Manusia yang hanya boleh dicabut oleh pemberi kehidupan tersebut. Berbicara
mengenai aborsi tentunya kita berbicara tentang kehidupan manusia karena aborsi
erat kaitannya dengan wanita dan janin yang ada dalam kandungan wanita.
Pengguguran kandungan (aborsi) selalu menjadi perbincangan, baik
dalam forum resmi maupun tidak resmi yang menyangkut bidang kedokteran,
hukum maupun disiplin ilmu lain.1 Aborsi merupakan fenomena sosial yang
semakin hari semakin memprihatinkan. Keprihatinan itu bukan tanpa alasan,
karna sejauh ini prilaku pengguguran kandungan banyak menimbulkan efek
negatif baik untuk diri pelaku maupun pada masyarakat luas. Hal ini disebabkan
karena aborsi menyangkut norma moral serta hukum suatu kehidupan bangsa
ditambah lagi dengan kebutuhan hidup manusia tak ada habisnya dan tentu
sangatlah beragam.
Aborsi telah dikenal sejak lama, aborsi memiliki sejarah panjang dan
telah dilakukan oleh berbagai metode baik itu natural atau herbal, penggunaan
alat-alat tajam, trauma fisik dan metode tradisional lainnya. Zaman kontemporer
1Achadiat Charisdiono, 2009, Dinamika Etika Dan Hukum Kedokteran, Jakarta,h. 12.
memanfaatkan obat-obatan dan prosedur operasi teknologi tinggi dalam
melakukan aborsi. Legalitas, normalitas, budaya dan pandangan mengenai aborsi
secara substansial berbeda diseluruh negara. Banyak negara di dunia isu aborsi
adalah permasalahan menonjol dan memecah belah publik atas kontroversi etika
dan hukum. Aborsi dan masalah-masalah yang berhubungan dengan aborsi
menjadi topik menonjol dalam politik nasional di banyak negara seringkali
melibatkan gerakan menentang aborsi pro-kehidupan dan pro-pilihan atas aborsi
di seluruh dunia. Menggugurkan kandungan sama halnya dengan membunuh atau
merampas hak hidup seseorang, hal tersebut merupakan suatu pelanggaran hukum
yang memiliki sanksi tegas.
Menurut Soebakti dalam bukunya Abdul Djamali menyatakan, bahwa
hukum itu terdiri dari norma kesopanan, norma kesusilaan dan norma hukum
yang disebut dengan norma sosial.2 Norma sosial merupakan ketentuan-
ketentuan umum yang berlaku sebagai pedoman bertingkah laku bagi individu
dalam kehidupan sosial. Yang penting dan perlu diperhatikan dalam hal ini
adalah kegiatan individu dalam kaitannya dengan kehidupan sosial yang
memiliki norma sosial.
Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia hak aborsi dibenarkan
secara hukum jika dilakukan karena adanya alasan atau pertimbangan medis atan
kedaruratan medis. Tenaga medis mempunyai hak untuk melakukan aborsi bila
dan pertimbangan media atau kedaruratan media dilakukan untuk menyelamatkan
nyawa ibu hamil. Pada kehamilan yang tidak diinginkan aborsi yang dilakukan
2Abdul Djamil, 1984, Psikolog Dalam Hukum, Armico, Jakarta, h. 118
umumnya adalah Abortus Provocatus Criminalis dengan beberapa alasan seperti;
Kehamilan di luar nikah, masalah beban ekonomi, ibu sendiri sudah tidak ingin
punya anak lagi akibat incest, alasan kesehatan dan sebagainya.
Berdasarkan sumber berita online yang ditulis oleh Chilmi Ardiantofani,
terhitung sejak tahun 2009 hingga 2013, kasus aborsi di Jawa Timur mengalami
peningkatan sebesar 5 persen setiap tahunnya dan 30 persen pelaku aborsi adalah
usia remaja. Sejak 2012 hingga 2014 bulan Juli, kasus aborsi di Indonesia
mencapai 2,5 juta orang. Fenomena melakukan aborsi dikarenakan akibat
perkosaan dan hubungan suka sama suka.3 Data tersebut menerangkan betapa
buruknya sistem pola kehidupan yang sedang terjadi berkaitan dengan aborsi.
Keberadaan norma-norma yang tumbuh di dalam masyarakat telah pudar seiring
dengan tidak diberlakukannya hukuman yang tegas, adil dan berkemanfaatan
bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana aborsi.
Bila diperhatikan dari segi istilahnya, aborsi adalah menggugurkan
kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah abortus yang
artinya pengeluaran hasil konspesi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan.4 Dikatakan bahwa aborsi merupakan suatu
terminasi kehidupan dari janin sebelum diberi kesempatan hidup dan
berkembang dengan cara yang disengaja.5
3Chilmi Ardiantofani, 30 Persen Kasus Aborsi di Jatim Pelakunya Remaja,
http://surabayanews.co.id/2014/08/18/3745/30-persen-kasus-aborsi-di-jatim-pelakunya-remaja.html, diakses tanggal 5 Desember 2015.
4Namora Lumongga Lubis, 2013, Psikologi Kespro “Wanita & Perkembangan Reproduksinya” Ditinjau dari Aspek Fisik dan Psikologinya, Kencana, Jakarta, h. 83.
5Ibid.
Menurut Gordon E. Maxwell dalam bukunya Daniel Rumondor, bagi
ahli kandungan istilah aborsi mempunyai definisi yang khusus, yaitu gangguan
kehamilan sebelum fetus bisa hidup sendiri secara independen, dan fetus dianggap
mampu berdiri sendiri setelah 26-28 minggu usianya.6
Menurut Buku Etika Profesi Kebidanan, aborsi adalah keluarnya hasil
konsepsi sebelum janin mampu hidup di luar rahim, yaitu sebelum 20 minggu.
Aborsi juga berarti penghentian kematian setelah tertanamnya ovum yang telah
dibuahi dalam rahim sebelum usia janin mencapai 20 minggu.7
Aborsi adalah menggugurkan kandungan, yang dimaksud dengan
perbuatan menggugurkan kandungan adalah melakukan perbuatan yang
bagaimana pun wujud dan caranya terhadap kandungan seorang perempuan yang
menimbulkan akibat lahirnya bayi atau janin dari dalam rahim perempuan tersebut
sebelum waktunya dilahirkan menurut alam. Perbuatan memaksa kelahiran bayi
atau janin belum waktunya ini sering disebut dengan abortus provocatus.8
Perbuatan abortus provocatus juga sering dilakukan oleh wanita yang
menjadi korban perkosaan, alasan para korban perkosaan tersebut adalah
mengandung anak hasil perkosaan menambah derita batinnya, karena anak itu
akan mengingat peristiwa perkosaan yang dialaminya. Bagi kalangan yang tidak
setuju dilakukannya aborsi bagi korban perkosaan mereka berpendapat setiap
6Daniel Rumondor, 1900, Jangan Membunuh! Tinjauan Etis Terhadap Beberapa Praktek
Kedokteran, Yayasan Andi, Yogyakarta, h. 56 7Heni Puji Wahyuningsih et al., 2005, Etika Profesi Kebidanan, Fitramaya, Yogyakarta, h. 85
8Adami Chazawi, 2010, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Rajawali Grapindo Persada,
Jakarta, h. 133.
orang berhak untuk hidup, janin yang ada dalam kandungan perempuan akibat
perkosaan itu adalah ciptaan Tuhan yang berhak menikmati kehidupan. Bagi
kalangan yang setuju dapat dilakukanya aborsi bagi korban perkosaan, kehamilan
itu timbul bukan dari atas kemauan korban jadi dapat mengurangi penderitaan
korban baik secara psikis maupun sosial, maka diberi hak bagi korban perkosaan
untuk dapat melakukan aborsi.
Membahas persoalan aborsi bukan merupakan rahasia umum dan
bukanlah hal yang tabu lagi untuk diperbincangkan. Hal ini dikarenakan aborsi
yang terjadi dewasa ini sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya dapat
terjadi dimana-mana dan bisa saja dilakukan secara ilegal. Ketika memandang
bagaimana kedudukan hukum aborsi di Indonesia sangat perlu untuk melihat
kembali apa yang menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut. Sejauh ini,
persoalan aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat
sebagai suatu tindak pidana.
Seperti salah satu contoh kasus yang dikutip dari kasus posisi Putusan
Pengadilan Negeri Cilacap Nomor 343/Pid.Sus/2014/PNClp. Peristiwa aborsi
terjadi di Cilacap, Jawa Tengah. Seorang wanita masih berumur 19 tahun harus
mendekam dipenjara karena telah dengan sengaja melakukan tindakan aborsi
karena tidak sanggup menerima keadaan dirinya yang hamil di luar pernikahan
yang sah dengan kekasihnya. Wanita tersebut melakukan aborsi dengan caranya
sendiri seperti mengkonsumsi buah nanas kemudian meminum minuman bersoda
yang dicampur dengan ragi. Pada akhirnya janin harus keluar dan dibuang
olehnya ke saluran pembuangan air. Kasus tersebut telah berkekuatan hukum
tetap dengan amar putusan hakim Pengadilan Negeri Cilacap yaitu pidana penjara
1 tahun 8 bulan dengan denda Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidair 1
bulan kurungan.
Penguguran kandungan atau aborsi dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het leven).
Hal ini karena aborsi dilakukan secara sengaja menghilangkan nyawa orang lain
atau perbuatan yang mengakibatkan matinya korban. Kejahatan terhadap nyawa
dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan atas 2 (dua) dasar, yaitu : (1)
atas dasar unsur kesalahannya dan (2) atas dasar obyeknya (nyawa).9 Kejahatan
pengguguran terhadap kandungan sendiri termasuk dalam kelompok kejahatan
terhadap nyawa atas dasar obyeknya (kepentingan hukum yang dilindungi).
Pengaturan mengenai aborsi di Indonesia telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan yaitu KUHP khususnya dalam Pasal 346, Pasal 347, Pasal
348, dan Pasal 349, dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan (Undang-Undang Kesehatan) khususnya Pasal 75, Pasal 76, dan Pasal
77, dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi khususnya Pasal 31 hingga pada Pasal 37.
Berdasarkan ketentuan KUHP terdapat dua bentuk perbuatan pada aborsi
yakni perbuatan menggugurkan kandungan dan perbuatan mematikan kandungan.
Menurut KUHP, setiap tindakan aborsi dengan motif, indikasi dan cara apa pun
dalam usia kehamilan berapa pun adalah tindak pidana. Tindak pidana aborsi
9ibid., h. 55.
dimasukkan ke dalam Bab XII Buku II KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa
yaitu pada Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, dan 349 KUHP.
Tindak pidana menyebabkan atau menyuruh menyebabkan gugurnya
kandungan atau matinya janin yang berada dalam kandungan oleh wanita yang
mengandung janin itu sendiri, oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam
Pasal 346 KUHP yang menyatakan bahwa: “Seorang wanita yang sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk
itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 346 KUHP itu, sama halnya
dalam ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 347 dan Pasal 348
KUHP, pembentuk undang-undang melarang orang melakukan:
(a). suatu pengguguran kandungan atau afdrijving ataupun yang di dalam
ilmu pengetahuan kedokteran juga disebut sebagai suatu abortus.
(b). sesuatu perbuatan yang menyebabkan matinya janin yang berada
dalam kandungan.10
Keberadaan Pasal 346 KUHP memiliki unsur-unsur pasal yaitu bahwa
pelaku aborsi yang dimaksud adalah seorang perempuan yang dengan sengaja
melakukan aborsi atau seorang perempuan yang menyuruh orang lain untuk
melakukan hal itu. Pasal tersebut menerangkan mengenai pelakunya yaitu
seseorang perempuan atau orang lain yang dalam hal ini apabila bidan dan/atau
dokter yang diminta untuk melakukan hal tersebut maka sanksi pidana yang
dikenakan padanya adalah diancam dengan pidana penjara paling lama 4(empat)
10P.A.F lamintang dan Theo Lumintang, 2010, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, & Kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 90.
tahun. Bila dikaitkan dengan profesi tersebut di atas, bahwa dokter dan/atau bidan
bukanlah sebagai pelaku tunggal. Pengertian tindakan medis yang dilakukan oleh
seseorang baik itu oleh perempuan yang adalah si ibu dan/atau tenaga medis
tersebut merupakan suatu tindak pidana berdasarkan aturan dalam Pasal 346
KUHP.
Pasal 347 KUHP memiliki unsur yang berbeda dengan pasal sebelumnya
karena di dalam ketentuan Pasal 347 KUHP unsur si pelaku di sini lebih luas
dengan mencantumkan syarat yaitu barangsiapa. Maksudnya adalah bahwa
siapapun setiap orang baik itu seorang perempuan yang mengandung janin atau
seorang laki-laki yang dalam hal ini suami atau kekasih dari si ibu yang sedang
mengandung atau seorang tenaga medis yaitu bidan dan/atau dokter dengan unsur
kesengajaan melakukan aborsi dengan tanpa persetujuan perempuan itu maka
akan dikenakan sanksi yang sangat berat yaitu diancam dengan pidana penjara
paling lama 12 (dua belas) tahun dan bila mengakibatkan matinya wanita maka
ancaman pidana penjara yang lebih tinggi paling lama 15 (lima belas) tahun. Pada
Pasal 347 KUHP sanksi pidananya yang paling berat dibanding dengan ketentuan
pada Pasal lain yang berkaitan dengan aborsi yaitu Pasal 229, 346, dan 348
KUHP.
Unsur Pasal 348 KUHP menjabarkan tentang setiap orang yang dengan
sengaja menggugurkan kandungan wanita dengan persetujuan wanita tersebut
diancam dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun 6(enam) bulan. Pada
Pasal 348 KUHP bila perbuatan tersebut mengakibatkan matinya wanita maka ada
pemberatan pidananya dengan ancaman hukuman penjara paling lama 7(tujuh)
tahun.
Berbeda dengan KUHP yang tidak membenarkan perbuatan aborsi,
Undang-Undang Kesehatan memberikan perlindungan terhadap perempuan
pelaku abortus provocatus yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang
Kesehatan. Ketentuan Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan menyatakan
larang aborsi dikecualikan berdasarkan :
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Ketentuan Pasal 75 ayat (2) huruf b merupakan bentuk pengecualian
hukum terhadap perempuan pelaku abortus provocatus yaitu dengan
membenarkan adanya abortus provocatus terhadap perempuan korban perkosaan.
Kedua penjabaran Undang-Undang yang mengatur mengenai aborsi yaitu
pada Pasal 346-348 KUHP dengan Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan
memiliki kesamaan klausul dan unsur pasal yang mengatakan bahwa setiap orang
dilarang melakukan aborsi. Larangan tersebut berlaku bagi seorang perempuan
yang sedang mengandung, bagi suaminya atau kekasihnya dan bagi para tenaga
medis yaitu bidan dan/atau dokter. Namun bila diteruskan lagi, pada Pasal 75 ayat
(2) Undang-Undang Kesehatan terjadilah pengecualian terhadap tindakan aborsi.
Pada Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan menyatakan bawa larangan
aborsi pada ayat (1) dikecualikan berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang
dideteksi sejak usia dini dan berdasarkan kehamilan akibat perkosaan. Dicermati
di dalam ketentuan Pasal 75 Undang-Undang Kesehatan terdapat perbedaan yang
signifikan terhadap tindakan aborsi dibanding dengan ketentuan Pasal 346-348
KUHP yang secara tegas melarang aborsi dalam bentuk dan alasan apapun.
Beranjak kepada ketentuan pidana atau sanksi pidana yang diancam
kepada pelaku aborsi. Ketentuan Pasal 346-348 KUHP, sanksi yang tergolong
paling rendah terdapat pada Pasal 346 KUHP yaitu ancaman pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan ancaman paling tingginya terdapat pada
ketentuan Pasal 347 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 12 (dua
belas) tahun. Bila kemudian dibandingan dengan sanksi pidana yang diatur oleh
Undang-Undang Kesehatan yaitu pada Pasal 194 Undang-Undang Kesehatan
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Berdasarkan perbandingan ini
dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam kaitannya dengan sanksi
pidana yang terdapat dalam kedua peraturan perundang-undangan ini antara lex
spesialist derogat legi generalist.
Sebagai pelaksana dari beberapa pasal yang terdapat pada Undang-Undang
Kesehatan, kini pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (PP Kesehatan
Reproduksi). PP Kesehatan Reproduksi ini muncul dengan tujuan untuk
melaksanakan ketentuan dari beberapa pasal yaitu Pasal 74 ayat (3) tentang
reproduksi dengan bantuan, Pasal 75 ayat (4) berkaitan dengan aborsi, Pasal 126
ayat (4) tentang kesehatan ibu, bayi dan anak, dan Pasal 127 ayat (2) tentang
upaya kehamilan di luar cara alamiah Undang-Undang Kesehatan. Ketentuan
mengenai pembenaran abortus provocatus perempuan korban perkosaan dalam
Pasal 31 ayat (1) dan (2) PP Kesehatan Reproduksi yang antara lain mengatakan
bahwa:
(1). Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis; atau b. kehamilan akibat perkosaan.
(2). Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
PP Kesehatan Reproduksi muncul dengan tujuan untuk mengatur
Penyelenggaran Kesehatan Reproduksi yang dituangkan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah. PP Kesehatan Reproduksi tidak memiliki aturan pidananya atau
sanksi pidana di dalam ketentuan isi pasal-pasalnya. Hanya mengatur mengenai
tanggungjawab pemerintah dan Pemerintah daerah berkaitan dengan Kesehatan
Reproduksi masyarakat, mengenai pelayanan kesehatan ibu, indikasi kedaruratan
medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan aborsi, reproduksi
dengan bantuan, pendanaan dan di bidang pembinaan serta pengawasan
Kesehatan Reproduksi.
Penjabaran mengenai pengaturan terhadap tindak pidana aborsi telah
diatur dalam beberapa instrumen yang telah diundangkan menjadai suatu
peraturan perundang-undangan. Namun setelah dicermati muncul suatu
pertanyaan yang mengakibatkan timbulnya suatu benturan antar norma hukum
atau istilahnya adalah konflik norma.
Konflik norma yang terjadi adalah konflik norma pada Pasal 346, 347,
348 KUHP yang secara tegas melarang tindakan aborsi dalam bentuk apapun
dalam keadaan apapun, kemudian munculah Undang-Undang Kesehatan sebagai
suatu lex spesialis dalam hukum pidana yang melarang aborsi namun dengan
pengecualian dan dengan persyaratan tertentu yang terdapat pada Pasal 75-76
Undang-Undang Kesehatan yaitu seperti adanya indikasi kedaruratan medis
kemudian pada Pasal 31 PP Kesehatan Reproduksi sebagai aturan pelaksana
Undang-Undang Kesehatan memperbolehkan dilakukannya aborsi berdasarkan
indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan
aborsi serta mengatur penyelenggaraan aborsi. Keadaan tersebut menimbulkan
ketidakharmonisan dalam perundang-undangan yang berimplikasi pada
implementasi hukum oleh praktisi hukum.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, menarik untuk dianalisis dan
disajikan menjadi sebuah penelitian ilmiah berupa skripsi dengan judul “
ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGUGURAN
KANDUNGAN (ABORTUS) DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG
KESEHATAN DAN PP NO. 61 TAHUN 2014”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka
permasalahan pokok dalam penulisan skripsi ini dirumuskan sebagai berikut
1. Bagaimanakah Pengaturan Mengenai Tindak Pidana Aborsi
Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ?
2. Bagaimanakah Pertanggungjawaban Terhadap Tindak Pidana Aborsi
Berdasarkan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari
permasalahan yang dibahas maka perlu terdapat pembatasan dalam ruang lingkup
masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut :
1. Membahas tentang Pengaturan Mengenai Tindak Pidana Aborsi
Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia yaitu di dalam
ketentuan Pasal 346, 347, dan 348 KUHP kemudian pada Pasal 75-76,
Pasal 194 Undang-Undang Kesehatan dan pada Pasal 31 PP Kesehatan
Reproduksi.
2. Membahas tentang Pengaturan Terhadap Tindak Pidana Aborsi
Berdasarkan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia yaitu yang terdapat
pada konsep hukum pidana nasional dan RUU KUHP.
1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini ada dua, yakni tujuan umum dan tujuan khusus.
Adapun tujuan tersebut antara lain:
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memahami
mengenai kebijakan hukum pidana Indonesia terhadap Pengaturan
Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Perspektif KUHP. Dan
juga terdapat konflik norma antara Peraturan Pemerintah dengan Undang-
Undang.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui Pengaturan Pengaturan Mengenai Tindak Pidana
Aborsi Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
2. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana pada masa yang akan
datang terhadap Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan
Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
ilmiah bagi pengembangan ilmu hukum di bidang hukum pidana, khususnya
pemahaman teoritis mengenai kebijakan hukum pidana Indonesia terhadap aborsi
dan pengaturannya yang bertentangan antara hukum yang khusus dengan hukum
yang umum, termasuk di dalamnya pengkajian terhadap peraturan perundang-
undangan terkait yang berlaku saat ini serta pembaruan hukum pidana nasional
pada masa yang akan datang sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan
aborsi di Indonesia.
1.5.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dan sumbangan pemikiran, serta dapat memberikan kontribusi bagi
lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sebagai
bagian dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia dalam proses
penanggulangan aborsi di Indonesia. Selain itu, penulisan ini diharapkan dapat
menjadi bahan pertimbangan bagi pembentuk undang-undang terkait dengan
larangan terhadap pelegalan aborsi yang perlu mendapat perhatian khusus dalam
rangka penegakan hukum di Indonesia yang lebih baik dalam suatu cita hukum
(ius constituendum).
1.6 Landasan Teoritis
Teori Tindak Pidana
Istilah tindak pidana hakekatnya merupakan istilah yang berasal dari
terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Beberapa perkataan yang
digunakan menerjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana Indonesia
antara lain: tindak pidana, delict, dan perbuatan pidana. Sementara dalam
berbagai perundang-undangan digunakan berbagai istilah, antara lain: peristiwa
pidana, perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang
diancam dengan hukum, dan tindak pidana. Tidak ada batasan yuridis tentang
tindak pidana. Pengertian tindak pidana hanya ada dalam teori/pendapat para
sarjana.11
Pengertian sederhana dari tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum, larangan dimana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.12 Unsur-unsur
11Ismu Gunadi W. dan Jonaedi Efendi, 2011, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana,
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 40-41. 12Ismu Gunadi W. dan Jonaedi Efendi, op.cit., h. 41-42.
tindak pidana dalam rumusan pasal peraturan perundang-undangan terdiri atas
unsur subjektif dan unsur objektif. Lamintang mengemukakan bahwa:
Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si
pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya
segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun yang dimaksud dengan
unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan,
yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si pelaku harus dilakukan.13
Menurut teori monistis, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur
perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuat yang
lazimnya dinamakan unsur subjektif. Dicampurnya unsur perbuatan dan unsur
pembuatnya, maka dapatlah disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama
dengan syarat-syarat penjatuhan pidana.14 Teori dualistis sebaliknya ingin
memisahkan (mengeluarkan) schuld itu dari pengertian tindak pidana.15 Teori
dualistis adalah teori yang memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban
pidana.16
13Leden Marpaung, 2009, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 11.
14Muladi dan Dwidja Priyatno, 2012, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 63.
15Chairul Huda, 2011, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 9.
16Ibid., h. 15.
Teori Kebijakan Hukum Pidana
Kebijakan penanggulan kejahatan atau politik kriminal (criminal policy)
adalah suatu kebijakan atau usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan.
Politik kriminal ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti
luas (law enforcement policy), yang seluruhnya merupakan bagian dari politik
sosial (social policy), yaitu suatu usaha dari masyarakat atau negara untuk
meningkatkan kesejahteraan warganya.17
Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
kejahatan termasuk bidang ”kebijakan kriminal” (criminal policy). Kebijakan
kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu ”kebijakan
sosial” (social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk
kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk
perlindungan masyarakat (social defence policy).18
Marc Ancel dalam bukunya Barda Nawawi Arief merumuskan criminal
policy sebagai “rational organization of the control of crime by
society”.19Sementara itu, G. Peter Hoefnagels dikutip dalam buku yang sama
mengemukakan bahwa “Criminal policy is the rational organization of the social
17Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,
(selanjutnya disingkat Muladi dan Barda Nawawi Arief I), h. 1. 18Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief I), h. 77.
19Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II), h. 1, dikutip dari Marc Ancel, 1965, Social Defence, h. 209.
reaction to crime”. Berbagai definisi lainnya yang dikemukakan G. Peter
Hoefnagels ialah:
a. Criminal policy is the science of responses;
b. Criminal policy is the science of crime prevention;
c. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime;
d. Criminal policy is a rational total of the responses to crime.20
Terdapat tiga arti mengenai kebijakan kriminal. Menurut Sudarto, yaitu
sebagai berikut:
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi
dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana;
b. Dalam arti luas, adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak
hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
c. Dalam arti yang paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang
dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang
bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.21
Kebijakan kriminal meliputi ruang lingkup yang cukup luas, menurut G.
Peter Hoefnagels dalam bukunya Trini Handayani upaya penanggulangan
kejahatan dapat ditempuh dengan:
a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);
20Ibid., h. 2.
21Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto I), h. 113-114.
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime
and punishment/mass media).22
Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan
kebijakan, dalam arti:
a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial;
b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan
dengan “penal” dan “non penal”.23
Pelaksanakan kebijakan kriminal harus menunjang tujuan kesejahteraan
masyarakat dan perlindungan masyarakat, serta harus dilakukan dengan
pendekatan integral melalui keseimbangan sarana penal dan non penal untuk
mencegah dan menanggulangi kejahatan.
Kebijakan hukum pidana merupakan bagian daripada politik kriminal
(criminal policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana
yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan
kejahatan. Dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik
dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
22Trini Handayani, 2002, Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Perbuatan, Jakarta, h. 48,
dikutip dari G, Peter Hoefnagels, 1973, The Other Side of Criminology, Kluwer-Denver, Holland, h. 56.
23Barda Nawawi Arief II, op.cit., h. 3-4.
pidana). Dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian
pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).24
Politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana adalah bagaimana
mengusahakan atau membuat atau merumuskan suatu perundang-undangan
pidana yang baik. Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan
pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik,
dalam artian memenuhi syarat keadilan dan daya guna.25 Sama halnya dengan
pendapat Marc Ancel yang dikutip dalam bukunya Barda Nawawi Arief II bahwa
kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang
mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik.26
Menurut A. Mulder, dalam bukunya Barda Nawawi Arief II
strafrechtspolitiek atau kebijakan hukum pidana ialah garis kebijakan untuk
menentukan:
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah
atau diperbarui;
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
24Barda Nawawi Arief II, op.cit., h. 24.
25Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto II), h. 153.
26Barda Nawawi Arief II, op.cit., h. 23.
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan
pidana harus dilaksanakan.27
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal
merupakan penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi
atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap:
1) Tahap formulasi (kebijakan legislatif);
2) Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);
3) Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).28
Melalui tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan penanggulangan
kejahatan bukan hanya tugas aparatur penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas
aparat pembuat hukum (aparat legislatif), bahkan kebijakan legislatif merupakan
tahap paling strategis dari penal policy. Karena itu, kesalahan/kelemahan
kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi
penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi
dan eksekusi.29
Menurut Stanley Benn, pemidanaan diartikan sebagai akibat yang diderita
karena melakukan pelanggaran diterapkan secra sengaja, bukan merupakan
konsekuensi alamiah dari perbuatan seseorang (seperti mabuk akibat alkohol) dan,
27Barda Nawawi Arief II, loc.cit.
28Barda Nawawi Arief I, op.cit., h. 78. 29Barda Nawawi Arief I, op.cit., h. 79.
ketidaknyamanan tersebut harus esensial, bukan secara kebetulan menyertai
perlakuan lainnya (seperti sakit yang ditimbulkan dari mata bor dokter gigi).30
Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum
pidana. Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar
belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri. Pada
hakikatnya pembaruan hukum pidana merupakan suatu upaya untuk melakukan
reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral
sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang
melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum
di Indonesia.31 Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana adalah:
a. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan
- Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-
masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka
mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan
sebagainya).
- Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan
masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).
- Sebagai bagian dari dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan
hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya
30Stanly Benn I., 1967, Punishment, The Encyclopedia of Philosophy, Macmillan Publishing
Co., Vol. 7&8, h. 29.
31Barda Nawawi Arief II, op.cit., h.. 25.
memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka
mengefektifkan penegakan hukum.32
b. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai
Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan
peninjauan kembali nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan sosiokultural yang
melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum
pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan (“reformasi”) hukum pidana,
apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP
Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah
(KUHP Lama atau Wetboek van Strafrecht).33
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum
normatif. Yang dimaksud dengan penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum kepustakaan atau penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder.34
Penelitian hukum normatif digunakan dalam penulisan ini beranjak dari
adanya persoalan dalam aspek norma hukum, yaitu norma yang konflik
(Geschijld Van Normen) yang ada dalam peraturan perundang-undangan terkait
pengaturan tindak pidana aborsi dalam perspektif beberapa jenis aturan hukum
32Barda Nawawi Arief II, op.cit., h.. 26.
33Ibid. 34Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 118.
yaitu yang terdapat pada Pasal 346, 347, dan 348 KUHP, Pasal 75-76,dan 194
Undang-Undang Kesehatan dan Pasal 31 PP Tentang Kesehatan Reproduksi.
Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait.
1.7.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan yang digunakan adalah jenis pendekatan perundang-undangan
(The Statue Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & The
Conseptual Approach).
Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti
adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam
penelitian ini.35 Pendekatan perundang-undangan digunakan berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan, norma-norma hukum yang berhubungan dengan
tindak pidana pengguguran kandungan.
Pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach), yang oleh Peter
Mahmud Marzuki disebut pendekatan Undang-undang (The Statue Approach)
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut
paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.36 Pendekatan ini menggunakan
ketentuan KUHP, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
dengan Peraturan Pemerintah No. 61 Tentang Kesehatan Reproduksi.
Pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & The Conseptual
Approach) merupakan pendekatan yang digunakan untuk memahami dan
35Ibrahim Johnny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, h. 302.
36Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cetakan ke-6, Prenada Media Group,
Jakarta, h. 93.
menemukan konsep-konsep hukum, asas-asas hukum yang relevan dengan
permasalahan tindak pidana penguguran kandungan atau abortus berdasarkan PP
Kesehatan Reproduksi agar tidak ada kekaburan norma dan penentuan norma
yang akan digunakan dalam penerapaan hukum bagi para pelaku aborsi.
1.7.3 Sumber Bahan hukum
Pada penelitian hukum ini menggunakan beberapa sumber bahan hukum,
yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier.
1. Bahan Hukum Primer
Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang bersifat
mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan, yang
bersifat mengikat.37 Sumber bahan hukum primer yang digunakan adalah :
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
- Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063).
- PP No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5559).
2. Bahan Hukum Sekunder
Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Meliputi buku-buku, literature,
37Soerjono Soekanto dan Sri Mahmmudji, 1988, Penulisan Hukum Normatif, Rajawali Press,
Jakarta, h. 34
makalah, skripsi, tesis, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan
dengan permasalahan penelitian.38 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini adalah literatur-literatur yang relevan dengan tindak pidana
pengguguran kandungan (abortus), pembaharuan hukum pidana Indonesia, baik
literatur-literatur hukum yang berupa buku-buku hukum (textbook) yang ditulis
para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana (doktrin), skripsi
atau makalah hukum yang berkaitan dengan kesehatan, hukum pidana, aborsi
maupun literatur non hukum dan artikel atau berita yang diperoleh via internet
dengan cara mengcopy atau mendownload bahan hukum yang diperlukan.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar
bahasa Indonesia dan kamus hukum.39
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document).40
Mengumpulkan semua peraturan perundang-undangan yang beraitan dengan
tndak pidana aborsi. Telaah kepustakaan yaitu dengan cara mencatat dan
memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum
38Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penulisan Hukum, Cetakan ke-4, Kencana, Jakarta, h. 141 39Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penulisan Hukum, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, h. 119. 40H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penulisan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.107.
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang relevan, kemudian
dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan.
1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan ini adalah ketika telah
mengumpulkan semua bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
ditambah dengan bahan hukum tersier sebagai tambahan, selanjutnya diolah dan
dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif-analisis dan dengan
menggunakan teknik argumentatif, yaitu dengan menguraikan serta
menghubungkan dengan teori-teori dan literatur-literatur yang berkaitan dengan
pengaturan tindak pidana pengguguran kandungan (abortus) dan cita hukum ke
depan terkait pengaturan hukum tentang aborsi di Indonesia. Kemudian
melakukan penafsiran sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan dalam bentuk
argumentasi hukum untuk mendapatkan hasil yang akurat. Karena suatu undang-
undang pada hakikatnya merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-
undangan yang berlaku sehingga tidak mungkin ada satu undang-undang yang
berdiri sendiri tanpa terikat dengan peraturan perundang-undangan lainnya.