BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara adalah dua dari dua puluh empat Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang identik dengan wilayah yang didiami oleh etnis Toraja. Terletak di bagian Selatan pulau Sulawesi, kedua kabupaten yaitu Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara merupakan hasil pemekaran Kabupaten Tana Toraja lama. Pemekaran ini ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Toraja Utara di Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Tana Toraja berpenduduk 221.081 jiwa dengan luas wilayah 2.054,30 km 2 sedangkan Kabupaten Toraja Utara berpenduduk 216.762 jiwa dengan luas wilayah 1.151,47 km 2 . Wilayah Kabupaten Tana Toraja tetap masih lebih luas dibandingkan Kabupaten Toraja Utara. Kabupaten Toraja Utara terdiri dari 21 kecamatan. Sementara itu, jumlah kecamatan yang tersisa dan tetap menjadi Kabupaten Tana Toraja adalah 19 kecamatan. Sebelum pemekaran kepadatan penduduk Kabupaten Tana Toraja adalah 108 jiwa/km 2 , sedangkan Kabupaten Toraja Utara 189 jiwa/km 2 (BPS, 2010). Komunitas etnis Toraja dikenal luas di dalam negeri maupun di manca negara karena keterikatan komunitas Toraja yang relatif kuat
70
Embed
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang pulau Sulawesi, kedua ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91271/potongan/S3-2015... · istilah dalam bahasa Inggrisnya, berasal dari kata colere
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara adalah dua
dari dua puluh empat Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang identik
dengan wilayah yang didiami oleh etnis Toraja. Terletak di bagian Selatan
pulau Sulawesi, kedua kabupaten yaitu Kabupaten Tana Toraja dan
Kabupaten Toraja Utara merupakan hasil pemekaran Kabupaten Tana
Toraja lama. Pemekaran ini ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Toraja Utara di Provinsi
Sulawesi Selatan.
Kabupaten Tana Toraja berpenduduk 221.081 jiwa dengan luas
wilayah 2.054,30 km2 sedangkan Kabupaten Toraja Utara berpenduduk
216.762 jiwa dengan luas wilayah 1.151,47 km2. Wilayah Kabupaten Tana
Toraja tetap masih lebih luas dibandingkan Kabupaten Toraja Utara.
Kabupaten Toraja Utara terdiri dari 21 kecamatan. Sementara itu, jumlah
kecamatan yang tersisa dan tetap menjadi Kabupaten Tana Toraja adalah
19 kecamatan. Sebelum pemekaran kepadatan penduduk Kabupaten Tana
Toraja adalah 108 jiwa/km2, sedangkan Kabupaten Toraja Utara 189
jiwa/km2 (BPS, 2010).
Komunitas etnis Toraja dikenal luas di dalam negeri maupun di
manca negara karena keterikatan komunitas Toraja yang relatif kuat
2
terhadap nilai-nilai budayanya. Hal ini ditandai dengan praktik budaya
Toraja yang khas dan fenomenal yaitu upacara adat dalam rangka
pemakaman sesepuh keluarga serta situs-situs makam para sesepuh
keluarga Toraja. Praktik budaya Toraja ini memang unik dan hanya terjadi
di Toraja yang menjadi tujuan wisata mancanegara. Lebih-lebih karen
asetiap upacara adat selalu dilaksanakan berhari-hari dan mengorbankan
puluhan hingga ratusan ekor kerbau dan babi. Maka tidak heran jika Tana
Toraja telah sejak lama menjadi salah satu ikon wisata yang diminati oleh
wisatawan internasional.
Masyarakat Toraja mempunyai ikatan yang kuat dengan perangkat
kebudayaan lama yang disebut aluk to dolo (kepercayaan lama). Aluk to
dolo inilah yang merupakan rujukan penyelenggaraan praktik-praktik
budaya pesta rambu tuka’ (upacara adat untuk pesta adat) dan upacara
rambu solo’ (untuk upacara pemakaman sesepuh keluarga). Aluk to dolo
menentukan bahwa jenazah sesepuh keluarga hendaknya dimakamkan
dengan rangkaian upacara yang berintikan penghormatan kepada sesepuh
keluarga. Pemakaman jenazah dilaksanakan dalam suatu prosesi upacara
adat yang dilangsungkan berhari-hari, melibatkan seluruh unsur keluarga
besar baik keturunan seorang sesepuh lelaki atau perempuan yang
meninggal. Sebelum pemakaman maka jenazah itu disemayamkan terlebih
dahulu di rumah yang dibangun secara khusus. Rumah itu disebut
tongkonan (rumah adat). Selama disemayamkan di tongkonan menanti saat
yang tepat untuk dimakamkan maka jenazah itu dijaga dan diperlakukan
3
secara simbolik ibarat seseorang yang tengah sakit (to makula’).
Tongkonan berperan sebagai tempat untuk melakukan berbagai aktivitas
persiapan penyelenggaraan upacara pemakaman jenazah. Pertemuan-
pertemuan di tongkonan melibatkan semua unsur keluarga. Rapat-rapat
keluarga terutama membahas dan memutuskan segala sesuatu yang terkait
dengan proses dan pelaksanaan pemakaman jenazah yang saat itu masih
disemayamkan di tongkonan.
Penyelenggaraan upacara adat dalam prosesi pemakaman atau
rambu solo’ dilaksanakan antara 1 sampai dengan 12 hari. Rangkaian
penyiapan serta segala hal menyangkut upacara ini merujuk pada prinsip-
prinsip aluk to dolo1. Aluk to dolo dapat disebut sebagai suatu sistem tata
nilai, dalam manifestasinya menurut Palebangan (2007) merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Toraja hingga saat ini.
Bahkan Kalua et al, (1992) mengatakan bahwa ke depan praktik-praktik
budaya khususnya penyelenggaraan pesta adat rambu tuka’ dan rambu
solo’ tidak akan pernah hilang.
Besarnya pengaruh adat dan besarnya peran para pemangku adat,
khususnya pengaruh kalangan puang (bangsawan) di dalam masyarakat
Toraja diungkap oleh Kobong (2008). Penyelenggaraan upacara adat
rambu tuka’ dan rambu solo’ selalu menjadi fenomenal karena dihadiri
1Kobong, et al, (1992: 5) mengatakan bahwa aluk to dolo mencakup kepercayaan-kepercayaan,
upacara-upacara peribadatan menurut cara-cara yang telah ditetapkan berdasarkan ajaran agama yang bersangkutan, adat-istiadat, dan tingkah laku sebagai ungkapan kepercayaan dalam kehidupan sehari-hari. Opini masyarakat Toraja mengenai aluk to dolo.
4
oleh ribuan orang dan berlangsung berhari-hari. Ajaran aluk to dolo
mewajibkan setiap orang Toraja berpartisipasi dalam suatu upacara rambu
tuka’ dan upacara rambu solo’. Adanya ritual yang diikuti oleh ribuan
orang itu, dikombinasikan dengan pemandangan alam Tana Toraja yang
relatif indah, dan membutuhkan persiapan dalam waktu yang lama telah
merupakan daya tarik bagi kunjungan wisatawan mancanegara.
Sepanjang upacara adat rambu solo’ yang berlangsung berhari-hari,
prosesi upacara ini memerlukan beberapa hewan kerbau sebagai kurban
atau persembahan. Dagingnya menjadi santapan mewah untuk partisipan
upacara. Jumlah hewan kerbau yang wajib dijadikan kurban sesuai ajaran
lama (aluk to dolo) sedikitnya1 hingga 24 ekor dan jumlah hewan babi tiga
atau empat kali lebih banyak. Namun demikian perkembangan dalam dua
dekade terakhir ini jumlah hewan yang dikorbankan dapat mencapai
puluhan hingga ratusan ekor kerbau dan babi. Sementara itu, populasi
hewan kerbau di Kabupaten Tana Toraja menurut angka statistik 2010
berjumlah 22.927 ekor, sedangkan hewan babi sebanyak 239.443 ekor.
Diperkirakan sekitar 8.000 ekor kerbau disembelih setiap tahunnya untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pesta adat. Jumlah ini merupakan
atau sekitar sepertiga dari populasi ternak kerbau dan babi di kedua
kabupaten.
Bagi masyarakat Toraja, upacara pemakaman sesepuh merupakan
acara yang penting dan harus dilaksanakan. Terlepas dari sorotan
masyarakat yang bukan Toraja bahwa ritual seperti itu hanyalah
5
pemborosan. Sejalan dengan itu, bagi masyarakat lain yang bukan orang
Toraja mungkin menimbulkan banyak pertanyaan dibalik acara yang
mewah ini, karena ekonomi masyarakat Toraja secara umum tidak jauh
berbeda dengan masyarakat lain di Kabupaten sekitarnya seperti
Kabupaten Enrekang, Kabupaten Luwu, dan Kabupaten Mamasa. Hal itu
menarik untuk diteliti karena pada satu sisi, dibalik budaya/ritual adat yang
mewah tersebut diindikasi sudah tidak lagi memiliki makna yang murni
sebagaimana masa lalu, bahkan tampak adanya kecenderungan pergeseran
dalam maknanya. Pada sisi lain, juga tampak adanya pergeseran makna
budaya yang mana berbagai elemen masyarakat memanfaatkan hal
tersebut untuk mewujudkan keinginan politiknya.
Palebangan (2007), mengatakan bahwa peran pemangku adat
dipandang penting oleh masyarakat Toraja. Para pemangku adat selalu
berusaha mensosialisasikan dan mewariskan nilai-nilai dalam adat yang
merupakan bagian dari budaya. Budaya Toraja yang dilandaskan pada pola
kepercayaan lama (aluk to dolo) dimana norma-norma dan seluruh aturan
beserta sanksinya, diyakini oleh masyarakat Toraja berasal dari langit yang
diturunkan ke bumi melalui tangga (eran dilangi’). Karena diturunkan
langit maka manusia harus mematuhinya (Palebangan, 2007: 66).
Ikatan yang kuat pada masyarakat Toraja terhadap nilai-nilai
budaya memang fenomenal. Istilah Toraja di dalam bahasa Toraja
memang mempunyai beberapa arti atau makna. Toraja dalam kamus
bahasa Toraja disebut Toraa atau Toraya. Toraa terdiri atas dua kata yaitu
6
to berarti orang dan raa berarti murah. Jadi Toraa berarti orang pemurah
hati. Arti lainnya dapat dilihat jika menggunakan susunan lain, yakni
berasal dari kata toraya yang terdiri atas to berarti orang dan raya berarti
raja atau terhormat, sehingga Toraya berarti ”orang terhormat” atau ”raja”.
Itulah sebabnya menurut Kalua et al (2010: 5) orang Toraja berpendapat
bahwa mereka harus menjadi ”manusia yang rendah hati, sederhana,
penyayang, murah hati, demokratis, dan orang besar atau tempat asal raja-
raja”. Berbeda dengan ungkapan di atas, komunitas luar Toraja yaitu suku
Bugis Sidenreng menyebut masyarakat Toraja sebagai Toriaja artinya
masyarakat yang mendiami negeri atas atau pegunungan. Sedangkan
dalam dialek Luwu, Toraja berarti To Riajang yang artinya orang-orang
yang berdiam di sebelah Barat.
Koentjaraningrat (1974) mengatakan bahwa kebudayaan itu dapat
diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan budi dan akal. Culture
istilah dalam bahasa Inggrisnya, berasal dari kata colere yang berarti
mengelola tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture yaitu
segala daya dan usaha manusia mengubah alam. Lebih jauh
Koentjaraningrat (1974) mengemukakan bahwa ada pendirian lain
mengenai asal kata kebudayaan. Ia mengatakan bahwa, kata ‘kebudayaan’
adalah perkembangan majemuk budi daya, artinya daya dari budi,
kekuatan dari akal. Dapat diartikan bahwa suatu budaya atau suatu praktik
budaya bersumber dari akal manusia.
Merujuk pada Koentjaraningrat (1974), kebudayaan dapat
mengalami perubahan
kepercayaan lama
menjelaskan perkembangan di Toraja, di
upacara ini hanya boleh diselenggarakan oleh kalangan
(bangsawan), maka dewasa ini kalangan
ikut menyelenggarakan upacara adat
(Palebangan, 2007).
diperhamba. Di antara
parenge (pemimpin masyarakat).
warga yang harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada seluruh aggota
masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari struktur peran masyarakat Toraja.
7
Merujuk pada Koentjaraningrat (1974), kebudayaan dapat
perubahan-perubahan, termasuk dalam hal ini budaya atau
kepercayaan lama komunitas etnis Toraja yaitu aluk to dolo. Hal ini dapat
menjelaskan perkembangan di Toraja, dimana jika di masa lalu kedua
upacara ini hanya boleh diselenggarakan oleh kalangan
(bangsawan), maka dewasa ini kalangan kaunan (yang diperhamba) sudah
ikut menyelenggarakan upacara adat rambu tuka’ dan rambu solo
(Palebangan, 2007). Kaunan di dalam bahasa Toraja berarti kalangan yang
diperhamba. Di antara puang dan kaunan ada strata menengah yakni
(pemimpin masyarakat). Kaunan dianggap sebagai kalangan
warga yang harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada seluruh aggota
Hal ini dapat dilihat dari struktur peran masyarakat Toraja.
Gambar 1
Struktur Sosial Masyarakat
Bangsawan tertinggi
Bangsawan menengah
Masyarakat umum
Yang
Merujuk pada Koentjaraningrat (1974), kebudayaan dapat
perubahan, termasuk dalam hal ini budaya atau
Hal ini dapat
mana jika di masa lalu kedua
upacara ini hanya boleh diselenggarakan oleh kalangan puang
(yang diperhamba) sudah
rambu solo’
di dalam bahasa Toraja berarti kalangan yang
menengah yakni
dianggap sebagai kalangan
warga yang harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada seluruh aggota
Hal ini dapat dilihat dari struktur peran masyarakat Toraja.
Bangsawan menengah
Masyarakat umum
Yang diperhamba
8
Setelah Indonesia merdeka, khususnya sepanjang tahun 1960an
sejumlah besar generasi muda Toraja melakukan migrasi ke luar Toraja.
Diduga dorongan untuk pergi ke luar Toraja adalah dampak dari pekerjaan
zending, yakni penyebaran agama Kristen yang dilakukan oleh para
misionaris asal Belanda sejak tahun-tahun terakhir abad ke delapan belas
sampai dengan masa kemerdekaan Indonesia. Di tahun 1980-an, suatu
lapisan baru komunitas Toraja mulai terbentuk, yakni kalangan yang tidak
berdiam di Toraja tetapi bekerja di birokasi pemerintahan di luar Toraja.
Mereka ini menjadi kelas sendiri yang secara finansial lebih mampu
dibandingkan dengan orang Toraja yang berdiam di Toraja. Kalangan ini,
yang tidak terbatas sebagai kalangan puang, mulai mengubah kebiasaan
lama dalam hal membangun rumah adat. Jika tadinya rumah adat hanya
boleh dibangun oleh kalangan puang, maka rumah adat yang memerlukan
simbol-simbol spesifik berupa kepala kerbau itu telah dibangun pula oleh
kalangan kaunan. Sebenarnya menurut aluk to dolo kalangan kaunan tidak
boleh mendirikan tongkonan. Hal ini tentu menandai bahwa berikutnya
sebuah keluarga kaunan akan menyemayamkan sesepuh mereka di
tongkonan tersebut.
Perkembangan saat ini para tokoh yang berniat memperoleh
kedudukan politik memanfaatkan peluang penyelenggaraan praktik-praktik
budaya sebagai sarana memenangkan kompetisi pemilihan pimpinan
daerah atau masyarakat. Sehingga tidak jarang mereka menghibahkan
uang dalam jumlah besar atau hewan kurban dalam rangka pencitraan.
9
Bantuan atau hibah ini secara eksplisit merupakan ikatan moral bagi
penerima bantuan dan secara politis harus mendukung pemberi bantuan
untuk memenangkan kompetisi pemilihan kepemimpinan di daerah.
Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia (2004) disebutkan bahwa
manipulasi merupakan suatu bentuk kecurangan atau penyelewengan
dengan mempengaruhi orang lain tanpa orang yang dipengaruhi menyadari
hal tersebut. Suatu manipulasi dilakukan biasanya untuk memperoleh
keuntungan secara tidak wajar. Manipulasi budaya yang dimaksud dalam
disertasi ini adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh individu atau
kelompok yang mempunyai tujuan politik atau kekuatan ekonomi untuk
menghilangkan sebagian atau menambahkan sebagian nilai-nilai budaya
melalui ritus-ritus (pesta adat, upacara penguburan) sehingga berbeda dari
yang aslinya tanpa masyarakat menyadari bahwa telah terjadi
penyimpangan budaya.
Reformasi politik yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1998 telah
mengubah sistem perpolitikan khususnya penyelenggaraan pemerintahan
di daerah. Salah satu perubahan mendasar ialah mengenai otonomi daerah
yang pertama sekali dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun
1999 sampai dengan berbagai perubahan hingga pada Undang Undang
nomor 32 tahun 2004. Secara luas dan fleksibel, rangkaian undang-undang
itu memberi peluang untuk pemekaran daerah.
Kebijakan otonomi daerah memberi ruang bagi aktor-aktor politik
lokal daerah tampil menyuarakan langsung aspirasi politiknya. Sehingga
10
dalam konteks pemekaran daerah di Indonesia telah banyak daerah yang
melakukan pemekaran atau pembentukan daerah baru terpisah dari
kabupaten induknya. Menurut Huntington (2004: 11), bahwa tingkat
kesatuan politik yang dicapai oleh suatu masyarakat pada hakekatnya
mencerminkan lembaga politik dan kekuatan-kekuatan sosial yang
membentuknya. Kekuatan sosial yang dimaksudkan adalah keragaman
dalam masyarakat yaitu kelompok etnis, keagamaan, teritorial, ekonomi,
dan status.
Para aktor politik yang dimaksudkan di dalam tulisan ini ialah
warga Toraja, baik yang berdiam di Tana Toraja maupun mereka yang
berkarir di luar Tana Toraja tetapi berniat menjadi kepala daerah ataupun
anggota legislatif di Tana Toraja. Para aktor politik ini dapat dikategorikan
sebagai putra daerah. Menurut pengertian umum, terdapat dikotomi antara
putra asli daerah dan pendatang atau non putra asli daerah (putra daerah)2.
Putra daerah genealogis ini terbelah dalam dua kategori yaitu mereka yang
kebetulan di daerah yang bersangkutan dari (salah satu atau ke dua) orang
tua yang juga berasal dari daerah tersebut, dan mereka yang berasal dari
daerah yang bersangkutan. Kedua, putra daerah politik, yakni putra daerah
genealogis yang memiliki kaitan politik dengan daerah itu, misalnya
anggota DPD dari daerah tertentu atau anggota DPR Pusat yang oleh
partainya ditempatkan sebagai kandidat dari daerah yang memiliki kaitan
2Fatah (2005) mengklasifikasikan putra daerah dalam 3 (tiga) kategori yaitu Pertama, putra daerah
secara genelogis yaitu mereka yang sekadar memiliki kaitan darah dengan daerah itu tetapi tidak menetap dan berkiprah (secara politik dan/atau ekonomi) di situ.
11
genealogis dengannya. Ketiga, putra daerah ekonomi yaitu putra daerah
genealogis yang karena kapasitas ekonominya kemudian memiliki kaitan
dengan daerah asalnya melalui kegiatan investasi atau jaringan bisnis di
daerah asalnya (Fatah dalam Tempo interaktif, 18 April 2005).
Putra asli daerah yang dimaksud dalam penulisan ini adalah:
Pertama, orang yang lahir dan besar serta menetap di Toraja. Kedua, orang
yang lahir di Toraja, namun menetap di luar Toraja yang terikat dalam
suatu ikatan keluarga (nenek moyang) Toraja. Ketiga, orang yang lahir di
luar Toraja walaupun tidak memiliki ikatan keluarga (nenek moyang),
namun menetap dan mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Toraja.
Dinamika politik yang sedang tumbuh di berbagai daerah di
Indonesia, termasuk di Kabupaten Tana Toraja, tergambar oleh adanya
persaingan politik di antara para elit politik baik yang bermukim di Toraja
maupun elit-elit politik daerah yang bermukim di luar Toraja. Seperti yang
dikatakan Abdullah (2007: 77) bahwa kelompok yang hidup di luar
wilayah kebudayaan masing-masing merupakan orang-orang yang
kemudian mengembangkan suatu sistem nilai yang berbeda dengan sistem
nilai lama yang tampak dari orientasi nilai yang lebih terbuka (open
minded), mudah beradaptasi dan mengadopsi sistem nilai baru dan
kemudian memiliki gaya hidup yang berbeda dengan sebelumnya.
Kelompok elit politik yang tinggal dalam wilayah kebudayaannya
berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai budaya yang selama ini
dijadikan pijakan dalam bertindak, bersikap, dan berperilaku. Sementara
12
itu, para elit atau aktor politik di Kabupaten Tana Toraja, yang kebanyakan
adalah kalangan putra daerah, selalu berusaha meraih tujuan politik dengan
memanfaatkan situasi dan kondisi budaya masyarakat.
Pemekaran Kabupaten Toraja Utara terpisah dari Kabupaten Tana
Toraja pada tahun 2008 adalah hasil perjuangan elit-elit politik lokal
bersama dengan elit-elit politik Toraja di perantauan. Baik Kabupaten
Tana Toraja maupun Kabupaten Toraja Utara mempunyai komunitas yang
masih berpegang pada nilai-nilai budaya lokal. Sehingga menjadi menarik
untuk melihat bagaimana praktik aktor-aktor politik yang sengaja
melibatkan diri dalam praktik-praktik budaya. Para aktor politik tidak akan
terlibat dalam berbagai persiapan dan penyelenggaraan upacara-upacara
jika tidak bermanfaat untuk meraih tujuan politik yakni para aktor politik
tidak akan menggalang dukungan melalui partisipasi mereka pada upacara
rambu tuka’ dan rambu solo’.
Wacana pemekaran atau pemberian otonomi daerah menurut
berbagai pendapat telah mengerucut pada pro dan kontra. Pendapat yang
mendukung pemekaran daerah memberi argumentasi bahwa dampak dari
pemekaran daerah bersifat positif karena adanya pemberdayaan dan
penguatan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). DPRD
akan lebih efektif dalam menangkap aspirasi yang berkembang dalam
masyarakat, kemudian mengadopsinya dalam berbagai bentuk kebijakan
publik di daerah bersama-sama dengan Kepala Daerah. Pendapat yang
bersifat negatif adalah kemungkinan terjadinya konflik yang
13
berkepanjangan antara Kepala Daerah dengan DPRD. Hal ini dapat terjadi
apabila gaya kepemimpinan Kepala Daerah sangat berbeda dengan
Pimpinan DPRD, latar belakang kepentingan yang secara diametris antara
pimpinan DPRD dengan Kepala Daerah, dan latar belakang pengalaman
dalam berpolitik dan penyelenggaraan pemerintahan yang sangat berbeda
antara Kepala Daerah dengan DPRD (Syaukani et al, 2009: 198-201).
Dewasa ini telah semakin disadari bahwa dalam rangka pemekaran
daerah, situasi pasca pemekaran daerah sangat memerlukan kesiapan
sumber daya manusia dan kemampuan kelembagaan memadai. Hal-hal di
atas merupakan aspek-aspek substansial yang semakin menarik untuk
ditelusuri lebih mendalam, terutama bagaimana para aktor-aktor politik
terlibat dalam praktik-praktik budaya. Di sisi lain jika mayoritas warga
masih belum memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman berpolitik yang
memadai maka penting dipertanyakan apakah mengampanyekan issu
kebijakan publik khususnya mengenai pemekaran daerah masih akan
memberi manfaat kepada masyarakat luas.
1.2. Rumusan Masalah
Praktik-praktik budaya masyarakat Toraja tergolong unik dan
fenomenal. Upacara adat dalam rangka pemakaman jenazah sesepuh
keluarga yaitu rambu solo’ merupakan praktik budaya yang fenomenal dan
karenanya menjadi tujuan wisata. Namun dewasa ini praktik
penyelenggaraan rambu solo’ tidak sama lagi dengan di masa lalu. Di
14
masa lalu kaum kaunan, atau strata terendah menurut aluk to dolo tidak
boleh menyelenggarakan upacara pemakaman jenazah sesepuh dengan
upacara yang meriah.
Penyelenggaraan upacara rambu tuka’ dan rambu solo’ di masa
kini semakin semarak dan semakin besar biayanya, seiring dengan
semakin banyaknya warga masyarakat yang terlibat. Adapun bukti dari
besarnya biaya ialah persentase hewan kerbau di Kabupaten Tana Toraja
yang dikorbankan hampir 1/3 dari populasi. Namun demikian, menurut
para tokoh adat, penyelenggaraan upacara rambu tuka’ dan rambu solo’
akan tetap berlangsung dan akan semakin semarak.
Merujuk pada berbagai fakta, kondisi, dan beberapa hasil penelitian
sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat dikemukakan pertanyaan utama
bagaimana cara para aktor politik memanfaatkan budaya lokal (rambu
tuka’ dan rambu solo’) untuk mewujudkan tujuan politiknya? Sehubungan
dengan itu, untuk menjawab hal tersebut tersebut ditetapkan rumusan
masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana rambu tuka’ dan rambu solo’ yang semula memiliki
makna teologis baik dalam bentuk adat maupun dalam bentuk
struktur dan simbol masyarakat, kemudian bergeser menjadi makna
politis?
b. Bagaimana pemekaran wilayah dilakukan oleh elit politik lokal
dengan menggalang massa politik melalui media budaya lokal?
15
c. Bagaimana cara para elit politik lokal memanipulasi budaya lokal
dengan memanfaatkan instrumen budaya untuk meraih berbagai
posisi dalam masyarakat?
1.3. Tujuan
Untuk menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam
budaya lokal khususnya pesta adat dan upacara penguburan serta
bagaimana praktik budaya itu digunakan oleh elit politik lokal untuk
mencapai tujuan politiknya.
1.4. Ruang Lingkup
Mengingat pemahaman budaya dan politik begitu luas serta
meliputi berbagai aspek sosial dalam masyarakat, maka dalam penelitian
ini hanya dibatasi pada lingkup yang spesifik yaitu pesta adat (rambu
tuka’), upacara penguburan (rambu solo’) serta pemanfaatan simbol
budaya (rumah adat) yang sangat potensial dimanfaatkan oleh elit-elit
politik lokal untuk memobilisasi masyarakat dalam rangka mewujudkan
tujuan politiknya, perekonomian masyarakat, serta politik lokal
(pemekaran daerah dan pemilukada). Tongkonan dalam masyarakat Toraja
adalah rumah adat atau tempat bertemunya keluarga besar untuk
melaksanakan ritus-ritus adat secara bersama-sama baik ritus rambu tuka’
(pesta adat) maupun ritus rambu solo’ (upacara penguburan). Tongkonan
pada awalnya adalah rumah yang didirikan oleh sepasang suami istri untuk
ditempati, walaupun tidak dengan sendirinya setiap rumah yang dibangun
16
harus menjadi tongkonan (Kobong, 2008: 88). Adapun fokus pembahasan
dalam tulisan ini adalah budaya lokal, ekonomi, dan politik.
1.5. Tinjauan Pustaka
Banyak tulisan yang mengupas tentang budaya Toraja dan juga
pergeseran budaya yang terjadi di dalamnya. Berbagai tulisan tersebut
memiliki cara pandang dan pendapat yang berbeda, namun secara prinsip
memiliki kandungan budaya Toraja yang selaras dengan fakta yang ada
dilapangan. Dalam tulisan ini, penulis mengupas pada aspek pergeseran
makna tradisional pesta adat dan upacara penguburan yang semula
bermakna telogis telah bergeser menjadi makna politis oleh elit-elit yang
ingin mendapatkan kedudukan dalam masyarakat. Beberapa tulisan yang
mengupas tentang budaya Toraja dan pergeseran politik yang ada di
dalamnya antara lain adalah Theodorus Kobong (2009), Tino Saroengallo
(2008), Edwin De Jong (2013), dan L.T. Tangdilintin (1985).
Theodorus Kobong (2009), dalam disertasinya yang berjudul Injil
dan Tongkonan, Inkarnasi, Kontekstualisasi, Transformasi. Tulisan ini
menyoroti tentang asal muasal nenek moyang masyarakat Toraja beserta
kepercayaannya dan perubahan budaya dari kepercayaan lama (aluk to
dolo) menjadi Kristen oleh para Zending. Dalam arti bahwa bagaimana
iman Kristen dalam perjumpaannya dengan kebudayaan Toraja
Tradisional. Dalam tulisan Kobong lebih difokuskan pada aspek
17
teologisnya yaitu perubahan dari keyakinan lama (aluk to dolo) menjadi
Kristen beserta tantangan yang dihadapi oleh para zending.
Perbedaan dari tulisan ini terletak pada pemanfaatan tradisi pesta
adat dan upacara penguburan oleh elit-elit lokal atau orang kaya baru
untuk tujuan politiknya. Demikian halnya dalam tulisan Kobong belum
terungkap unsur politis dari makna tradisi pesta adat dan upacara
penguburan yang dilakukan oleh elit-elit atau oknum masyarakat secara
besar-besaran.
Pada sisi lain, tulisan yang menyoroti tentang pergeseran budaya
terkait dengan unsur politik dan ekonomi antara lain dikemukakan oleh
Edwin De Jong (2013) dengan judul tulisannya “Making a living between
crises and ceremonies in Toraja” menyoroti bahwa masyarakat Toraja
secara harfiah hidup dengan orang mati. Kehidupan masyarakat Toraja
telah terstruktur dengan rangkaian acara ritual terutama upacara
pemakaman menjadi hal yang penting. Saat Indonesia mengalami krisis
pada akhir tahun 1990-an, upacara pemakaman mewah dengan biaya yang
tinggi tetap berlangsung di Toraja pada setiap tahunnya. Tulisan ini
difokuskan pada tiga hal pokok yaitu budaya, ekonomi, dan juga politik.
Perbedaan dengan tulisan ini, Edwin De Jong tidak
mengungkapkan peran elit-elit masyarakat dari struktur sosial rendah
(yang diperhamba) yang menuntut hak untuk menjadi pemimpin
masyarakat (Parenge’) melalui pelaksanaan tradisi pesta adat dan upacara
penguburan. Dalam tulisan ini juga diuangkapkan politik yang
18
menyangkut pemekaran daerah dan pemilihan pemimpin masyarakat
termasuk pemilihan Kepala Daerah dan anggota Legislatif yang juga
memnafaatkan tradisi pesta adat dan upacara penguburan sebagai
instrumen politik.
Perdebatan teorisasi yang mendalam terjadi antara apa yang
ditemukan dalam penelitian Kobong dengan Edwin De Jong. Kobong pada
prinsipnya tetap teguh mengemukakan bahwa perubahahan kepercayaan
lama (aluk to dolo) menjadi kristen dikarenakan adanya
keyakinan/kepercayaan baru yang berdampak pada adanya larangan
terhadap adat-adat yang tidak sesuai dengan iman kristen. Kedatangan para
Zending memperkenalkan agama Kristen ke masyarakat Toraja menurut
Kobong menyebabkan adat dan budaya dalam kepercayaan lama menjadi
berubah. Artinya kepercayaan lama berubah menjadi adat yang dijalankan
hingga saat ini. Sedangkan Edwin De Jong beranggapan bahwa perubahan
kepercayaan atau adat yang terjadi itu banyak dipengaruhi oleh
kepentingan ekonomi dan politik. Sehingga ada dua hal yang berbeda
dalam pengaruh terhadap perubahan budaya tersebut. Apa yang
dikemukakan oleh Edwin De Jong tersebut sesungguhnya ada keselarasan
dengan temuan dari Tino Saroengallo (2008), yang secara prinsip
mengemukakan bahwa faktor politik dalam hal ini kekuasaan ternyata
berpengaruh terhadap perubahan budaya Toraja. Ketidak-berdayaan
masyarakat terutama masyarakat yang sadar akan dampak ekonomi yang
ditimbulkan oleh ritual pemakaman, lebih disebabkan oleh tekanan politik
19
lokal yang lebih dominan dilandasi oleh rasa gengsi atau kekhawatiran
kaum bangsawan akan kehilangan muka dari masyarakat umum.
Pada studinya yang berjudul Ayah dan anak beda warna “Anak
Toraja Kota menggugat, Tino Saroengallo (2008) mengemukakan bahwa
upacara pemakaman seorang bangsawan (Mr. Renda Saroengallo) yang
dianggapnya sebagai suatu pemborosan, hanya untuk mempertahankan
kelanggengan kekuasan dan martabat keluarga sebagai keluarga
bangsawan (tana’ bulaan). Artinya bahwa ada kepentingan politik dalam
pelaksanaan pemakaman. Oleh sebab itu, Tino Saroengallo menghimbau
kepada pemerintah dan tokoh adat untuk mengkaji kembali tradisi yang
sudah berlangsung secara turun temurun, tetapi sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman.
Perbedaan dengan tulisan ini terletak pada motif dari makna
pelaksanaan tradisi pesta adat dan upacara penguburan. Tino Saroengallo
hanya menyoroti pada aspek penguburan yang dianggapnya sebagai suatu
pemborosan hanya untuk mempertahankan kekuasaan bangsawan.
Sementara dalam tulisan ini peran aktor yang dilakukan oleh orang kaya
baru terutama oknum dari struktur sosial rendah pada dua acara penting
yaitu pesta adat dan upacara penguburan adalah untuk menaikkan status
sosialnya dan mewujudkan tujuan politiknya.
Jika Tino Saroengallo mengeluhkan kondisi upacara pemakaman
sebagi suatu pemborosan yang tidak bermakna dan sarat dengan
kepentingan kekuasaan, maka Bert Tallulembang melihatnya dari sisi
20
gengsi masyarakat. Bert Tallulembang mengatakan bahwa faktor
pendorong dalam menggerakkan orang untuk mengorbankan hewan dalam
jumlah besar dengan biaya tidak sedikit lebih kepada harga diri semu atau
gengsi. Bert Tallulembang dalam studinya dengan judul Reinterpretasi dan
Reaktualisasi Budaya Toraja dalam refleksi seabad Kekristenan masuk
Toraja menyoroti tentang masyarakat Toraja perantau yang hidup di
daerah lain merasa perlu membuktikan keberhasilan mereka di rantau. Bert
Tallulembang mengatakan bahwa orang Kristen yang seharusnya
memahami konsep keimanan tidak boleh melakukan upacara-upacara adat
yang tidak sejalan dengan iman Kristen. Kenyataannya upacara
pemakaman yang menganut ajaran kepercayaan lama (aluk to dolo) yang
bertentangan dengan iman Kristen justru orang Kristen yang banyak
melakukan hal tersebut.
Perbedaan dengan tulisan ini terletak pada peran elit yang
memanfaatkan tradisi pesta adat dan upacara penguburan, bukan hanya
dilakukan oleh orang Kristen tetapi orang non Kristen juga telah
melakukan dengan tujuan mewujudkan keinginannya. Dalam tulisan ini
juga diungkap bahwa tujuan yang lebih luas dari elit-elit lokal dalam
memanfaatkan tradisi pesta adat dan upacara penguburan adalah untuk
mensosialisasikan pemekaran daerah.
Pelaksanaan upacara penguburan yang dilaksanakan di rumah adat
(tongkonan) dengan berbagai ornamen asesorisnya menurut Tino
Saroengallo hanyalah cara bangsawan dalam memamerkan kebesarannya
21
dalam rangka melanggengkan kekuasaannya. Pendapat ini sejalan studi
dari Tangdilintin (1995) dalam tulisannya berjudul Tongkonan (Rumah
Adat) Arsitektur & Ragam Hias Toraja (1995) yang menyoroti tentang
fungsi rumah adat sebagai tempat pelaksanaan adat istiadat (pesta adat dan
upacara penguburan). Rumah adat tersebut selain berfungsi sebagai rumah
tinggal dan tempat pelaksanaan ritual kemasyarakatan, juga dijadikan
sebagai tempat untuk memberikan perintah dari penguasa kepada
masyarakat.
Perbedaan dengan tulisan ini terletak pada fungsi dari rumah adat
(tongkonan). Jika Tangdilintin menyoroti dari fungsi rumah adat sebagai
tempat menjalankan perintah selain sebagai tempat tinggal, maka dalam
tulisan ini fungsi dari rumah adat tidak hanya sebagai tempat menjalankan
perintah dan tempat tinggal tetapi telah dijadikan sebagai arena kampanye
politik terutama untuk mensosilaisikan diri untuk menjadi pemimpin dan
pemekaran daerah. Dalam tulisan ini juga mengurai tentang bagaimana
rumah adat yang telah dimanfaatkan sebagai tempat mengekspresikan
tujuan politik oleh elit-elit politik lokal baik dari masyarakat dengan status
sosialnya rendah maupun orang kaya baru.
Adapun dalam lingkup pemekaran daerah, juga terdapat beberapa
penulis yang telah melakukan penelitian, diantaranya adalah Mohamad
Hatta (2007), Syaukani, et al, (2009: 27), Zuhro, (2009: 163), dan lain-lain.
Meskipun kesukuan merupakan topik diskusi para pengamat pada
tahun 1950-an, namun menurut Nordholt dan Klinken (2009: 30)
22
wacananya yang paling dominan adalah difokuskan pada nation building.
Peran partai-partai politik dan pilar-pilar politik dalam masyarakat Jawa
yang disebut aliran. Menganalisis kecenderungan tersebut, Ichlasul Amal
(1992) menurut kedua penulis di atas mengingatkan bahwa pendekatan
tersebut justru mengaburkan pentingnya faktor-faktor etnik yang justru
membentuk kancah perpolitikan Indonesia.
Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai empat etnis besar dengan
karakteristik masyarakat yang berbeda yaitu etnis Makassar, etnis Bugis,
etnis Mandar, dan etnis Toraja. Secara umum karakteristik masyarakat
keempat etnis tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh agama dan strata
sosialnya. (Nordholt dan Klinken, 2009)
Elit politik lokal baik pemerintah, intelektual, maupun ulama,
masih memiliki pengaruh penting dalam membangun budaya politik
masyarakat di Sulawesi Selatan. Hal ini menggambarkan bahwa hubungan
patron-klien masih sangat kuat dalam masyarakat terutama dalam
hubungan kekerabatan dan kedaerahan dan masih mendominasi proses
pemilihan pimpinan daerah dan pimpinan dalam masyarakat (Zuhro, 2009:
163).
Dari penelusuran kepustakaan yang dilakukan, telah didapatkan
berbagai tulisan mengenai kebudayaan Toraja yang ditulis oleh para ahli
dengan memberikan argumen yang saling melengkapi. Berikut beberapa
tulisan para ahli yang ditelusuri antara lain:
23
Aspek pemekaran daerah di Indonesia telah ditulis oleh berbagai
pakar dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Pemekaran daerah atau
pemberian otonomi kepada daerah tidak lepas dari sistem politik dan
karakteristik masyarakat di daerah yang bersangkutan. Menurut para pakar
pilihan pemekaran atau otonomi luas merupakan pilihan yang strategis
dalam rangka memelihara nation state (negara bangsa) yang sudah lama
kita bangun, dan kita pelihara (Syaukani, et al, 2009: 27).
Makna dari nation state (negara bangsa) tersebut adalah
memberikan keleluasan kepada Pemerintah Daerah dalam mengelola
sendiri rumah tangganya dengan mengoptimalkan segala sumber daya
yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam
pelaksanaan otonomi tersebut tetap dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Pendapat yang sama dikemukakan beberapa
pakar lainnya seperti Mohamad Hatta (2007) yang menyoroti tentang
hubungan hukum antara sistem otonomi daerah dengan hukum pertahanan
Indonesia.
Euforia pemekaran atau pembentukan daerah baru banyak
dipengaruhi oleh adanya ekspektasi-eskpektasi dan keluhan-keluhan di
tingkat lokal, baik dalam masyarakat maupun pemerintah daerahnya
(Makagansa, 2008: 161). Ekspektasi bagi masyarakat lokal diantaranya
adalah terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat setempat dalam rangka
mengatasi masalah pengangguran. Ekspektasi pemekaran daerah lainnya
bagi masyarakat lokal di antaranya adalah dapat mengoptimalkan potensi
24
daerah yaitu sumber daya alam yang dimiliki untuk mensejahterakan
masyarakat dan menata sistem pemerintahan yang lebih mandiri.
Pemekaran di Sumba Barat ditampilkan secara menarik oleh Vel
(dalam Nordholt dan Klinken, 2009: 116) dengan judul ”Massa bersukaria
menyambut kabupaten baru di Sumba” sebagai berikut:
Ribuan orang berkumpul di dataran Laikaruda di bagian tengah Sumba pada 31 januari 2003 untuk merayakan kabupaten baru Sumba Tengah. Truk-truk dan bus-bus kecil sejak dini hari sudah berangkat ke desa-desa untuk menjemput para penggembira dan menyebarkan berita bahwa sebuah delegasi dari Jakarta akan datang untuk merayakan kabupaten baru itu. Akan ada pesta, dengan musik gong dan hidangan berdaging. Tamu-tamu terhormat dari Jakarta menerima hadiah-hadiah tradisional, misalnya kain Sumba asli. Pertunjukan tari-tarian tradisional menekankan komitmen, kebudayaan, dan tradisi yang kuat dari populasi lokal daerah itu, yang sebentar lagi akan menjadi kabupaten. Spanduk-spanduk di atas jalan memproklamasikan penciptaan Sumba Tengah sebagai tindakan demokrasi murni – Vox Populi Vox Dei: Suara rakyat adalah suara Tuhan – dan slogan itu secara lokal akan diinterpretasikan sebagai pertanda rahmat Tuhan (Kristen) bagi upaya kampanye tersebut.
Sesudah itu barulah massa tahu bahwa itu semua hanyalah satu langkah dalam sebuah proses panjang untuk menciptakan kabupaten baru. Mereka telah dikerahkan untuk meyakinkan DPR Pusat Jakarta, yang tengah berkunjung, bahwa Sumba Tengah terutama didasarkan pada aspirasi murni masyarakat.
Digambarkan bahwa ’pemekaran’ merupakan penciptaan sebuah
kabupaten baru keluar dari kabupaten lama (kadang-kadang disebut
redistricting) di Sumba Barat. Usulan-usulan yang diajukan bertujuan
memecah kabupaten Sumba Barat yang sekarang ini menjadi tiga: Sumba
Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Barat Daya.
25
Vel (dalam Nordholt dan Klinken, 2009: 117) mencatat bahwa di
seluruh Indonesia, retorika kampanye selalu menyebut-nyebut tiga alasan
utama untuk menciptakan kabupaten baru: bahwa hal itu akan
menguntungkan kemakmuran ekonomis, dan bahwa adalah kehendak
rakyat untuk memiliki kabupaten sendiri. Kabupaten baru akan memiliki
birokrasi sendiri, dengan anggaran yang akan dibelanjakan menurut
prioritas-prioritasnya sendiri, yang merupakan satu alasan bagus bagi para
kandidat birokrat baru untuk menciptakan kabupaten mereka sendiri.
Mendirikan birokrasi kabupaten baru menjanjikan sejumlah besar
pekerjaan bagi orang-orang lokal yang berpendidikan baik tetapi sekarang
menganggur. Pemekaran adalah proses yang panjang, yang melibatkan
usaha mengkampanyekan daerah, melobi institusi-institusi dan orang-
orang yang akan mengambil keputusan akhir di tingkat provinsi dan
Jakarta, dan prosedur-prosedur birokratis yang bertele-tele.
Kasus Sumba yang disajikan di sini merupakan satu contoh tentang
bagaimana hukum-hukum dan institusi-institusi baru yang diciptakan di
tingkat nasional dianggap sebagai kesempatan oleh para anggota elit
politik lokal, yang menyesuaikan hukum-hukum serta institusi-institusi
baru tadi dengan kultur politik lokal dan menggunakannya untuk
memperkuat posisi atau kepentingan-kepentingan mereka sendiri
(Nordholt dan Klinken, 2007).
Praktik budaya di Tana Toraja khususnya pesta adat dan upacara
penguburan bagi masyarakat Toraja adalah hal yang sangat mendasar
26
dalam kehidupan bermasyarakat. Ketentuan adat istiadat telah
dimanipulasi untuk gengsi keluarga atau mencari popularitas dan pada
akhirnya menginginkan posisi atau kedudukan di dalam masyarakat
(Palebangan, 2007). Konflik timbul karena adanya perbedaan kepentingan-
kepentingan (interest). Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan
kepentingan yang memanfaatkan budaya sebagai instrumen politik
(agama, suku, adat, etnik, ras).
Penelitian ini merupakan eksplorasi atas adanya manipulasi dalam
praktik budaya Toraja, yang kemudian berubah menjadi suatu transaksi-
transaksi politik. Rambu tuka’ (pesta adat) dan rambu solo’ (upacara
penguburan) digunakan penulis sebagai kegiatan dari proses-proses yang
dimanipulasi oleh elit sosial baru dengan tujuan yang baru. Pemekaran
daerah merupakan tujuan politik yang menjadi sasaran para elit politik.
Pemekaran daerah menjanjikan kekuasaan, jabatan-jabatan, dan
kesempatan kerja. Namun demikian, untuk mendapatkan persetujuan
pemerintah pusat, diperlukan dukungan politik dari akar rumput (grass
root), disamping kemampuan lobby politik. Masalah lobby politik tidak
dibahas pada penelitian ini.
Manfaat penelitian ini adalah dalam rangka penulisan disertasi
doktoral pada Universitas Gadjah Mada. Disertasi ini diharapkan dapat
menggugah peneliti lain di kemudian hari untuk mengadakan penelitian
lebih lanjut tentang budaya dalam perspektif politik ditinjau dari aspek
budaya lokal dan politik, meskipun berbeda tema dan pendekatannya.
27
1.6. Kerangka Teori
1.6.1. Teori Budaya
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, budaya (culture) diartikan
sebagai pikiran-pikiran, dan akal budi. Budaya berhubungan dengan cara
manusia hidup. Dalam hal ini manusia dikarunia akal sehat untuk berfikir
yang merupakan sumber gagasan, merasakan, mempercayainya sebagai
sebuah tuntutan hidup. Dalam bahasa latin budaya disebut colere yang
berarti mengerjakan atau mengelola tanah.
Sementara itu, Kroeber dan Kluochohn dalam Sutrisno dan
Putranto (2005: 8-9) lebih merinci definisi budaya dalam 6 pemahaman
pokok yaitu:
a. Defenisi deskriptif yang cenderung melihat budaya sebagai totalitas
komprehensif yang menyusun keseluruhan hidup sosial sekaligus
menunjukkan sejumlah ranah (bidang kajian) yang membentuk
budaya.
b. Definis historis yang cenderung melihat budaya sebagai warisan
yang dialih-turunkan dari generasi satu ke genarasi berikutnya.
c. Definisi normatifnya bisa mengambil 2 bentuk. Pertama, budaya
adalah aturan atau jalan hidup yang membentuk pola-pola perilaku
dan tindakan yang konkrit. Kedua, menekankan peran gugus nilai
tanpa mengacu pada perilaku.
28
d. Definisi psikologis yang cenderung memberi tekanan pada peran
budaya sebagai piranti pemecah masalah yang membuat orang bisa
berkomunikasi, belajar, atau memenuhi kebutuhan material maupun
emosionalnya.
e. Definisi struktural yang menunjukkan pada hubungan atau
keterkaitan antara aspek-aspek yang terpisah dari budaya sekaligus
menyoroti fakta bahwa budaya adalah abstraksi yang berbeda dari
perilaku konkrit.
f. Definisi genetis, melihat dari asal usul bagaimana budaya itu bisa
eksis atau tetap bertahan.
Sejalan dengan pemahaman tersebut, Koentjaraningrat dalam
Sudarsono dan Ruwiyanto3, (1999: 12) mengatakan bahwa budaya adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar. Budaya dapat memberi arah kepada masyarakat untuk berfikir dan
bertindak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang terpelihara secara
turun-temurun. Budaya juga dapat menuntun dan memberi ruang untuk
menunjukkan identitas diri manusia sebagai insan yang mempunyai ahlak
dan moral dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa budaya merupakan sesuatu yang
disepakati bersama dan mengandung nilai-nilai luhur sebagai gambaran
3Sudarsono dan Ruwiyanto (1999: 265) juga menyatakan bahwa budaya adalah semua bentuk,
proses, dan produk perilaku manusia yang dapat diterima oleh norma yang berlaku di suatu masyarakat atau bangsa, atau yang sejalan dengan nilai-nilai yang dianut atau sedang berkembang di suatu masyarakat atau bangsa.
29
hidup bermasyarakat, dan bangsa. Budaya dapat mengalami
perkembangan sesuai dengan perkembangan peradaban manusia yang
mampu menyaring hal-hal yang tidak sesuai kondisi masyarakat. Dapat
juga dikatakan bahwa budaya mencakup seluruh norma-norma yang
mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat dalam suatu komunitas
termasuk aturan-aturan yang tidak tertulis namun merupakan kesepahaman
masyarakat yang dipegang secara terus menerus. Norma-norma tersebut
antara lain keyakinan, aturan-aturan, hukum, kebiasaan-kebiasaan yang
secara turun-temurun dijadikan pijakan dalam bertindak, bersikap, dan
berperilaku.
Setiap kebudayaan berintikan pada nilai-nilai budaya dan nilai-nilai
budaya inilah yang mengintegrasikan berbagai unsur kebudayaan sehingga
operasional sebagai acuan atau pedoman bagi tindakan-tindakan manusia
dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Suparlan melihat
kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia yang secara
bersama dimiliki oleh para warga sebuah masyarakat atau dengan kata
lain, kebudayaan adalah sebuah pedoman menyeluruh bagi kehidupan
sebuah masyarakat (Suparlan, 2005).
Budaya masyarakat Toraja tidak terlepas dari pemahaman tentang
kepercayaan lama (aluk to dolo) yang dimanifestasikan dalam bentuk aluk
(agama) dan ada’ (adat). Menurut mitologi Toraja, aluk berasal dari alam
atas yaitu dari langit atau alam dewa-dewa yang dibawa turun ke bumi
yang disebut sebagai aluk sanda pitunna (aluk serba tujuh atau 7777777)
30
dan mencakup semua bidang kehidupan manusia (Kobong, et al, (1992:
19-21).
Aluk adalah tata tertib kebiasaan-kebiasaan, tradisi, dan ketentuan-
mendefinisikan aluk sebagai ajaran, upacara, dan larangan atau pemali
(Palebangan, 2007: 79). Ada berbagai macam aluk yang dikenal dalam
kehidupan masyarakat Toraja di antaranya adalah aluk mellolo tau yaitu
aluk yang menyangkut ketentuan-ketentuan adat dan hubungan antar
manusia yaitu kelahiran manusia sampai dewasa, aluk tedong yaitu aluk
yang meyangkut kerbau, aluk bua’ yaitu aluk yang berhubungan dengan
pesta sukacita, aluk rambu tuka’ yaitu aluk yang berhubungan dengan
pesta adat, dan aluk rambu solo’ yaitu aluk yang berhubungan kematian
atau upacara penguburan. Namun dalam penulisan ini hanya difokuskan
pada aluk rambu tuka’ dan aluk rambu solo’. Aluk4 dan adat adalah
padanan dalam arti bahwa adat adalah bentuk pelaksanaan dari aluk
(Kobong, 2008: 47).
Menurut Frans B. Palebangan (2007: 86), ada’ atau adat dapat
diartikan sebagai norma-norma tradisional yang diakui dan dipatuhi oleh
para anggota masyarakat secara turun-temurun di dalam suatu suku
4Aluk dalam tulisan ini adalah aturan-aturan yang telah disepakati bersama dan dijalankan secara
terus menerus oleh masyarakat Toraja dan menjadi tuntunan masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Aturan dalam hal ini adalah berupa ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh nenek moyang orang Toraja dan diwariskan ke generasi berikutnya, sehingga merupakan suatu tata tertib yang mengatur perilaku masyarakat dalam bertindak. Aluk sama dengan agama atau keyakinan yang mengatur segala tingkah laku masyarakat.
31
bangsa. Selanjutnya menurut Kobong, et al, (1992: 9) adat (ada’) adalah
suatu kebiasaan yang diturun-alihkan sejak dari nenek moyang kepada
anak cucunya turun-temurun, yang sudah berurat akar di kalangan
masyarakat yang bersangkutan.
Dalam tulisan ini adat istiadat dapat diartikan sebagai suatu tata
cara atau tradisi yang lazim dan mengikuti pola hidup suatu kelompok
masyarakat secara turun-temurun. Adat istiadat masyarakat Toraja
khususnya yang menyangkut pesta adat (rambutuka’) dan ritual
penguburan (rambusolo’) adalah tardisi yang diturunkan dari nenek
moyang mereka dan secara turun temurun dilaksanakan sesuai dengan tata
cara yang berlaku dalam adat tersebut. Adat adalah gagasan kebudayaan
yang menyangkut nilai-nilai kebudayaan, norma-norma, kebiasaan, atau
kelembagaan yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat.
Sejumlah pengamat budaya mengatakan bahwa budaya orang
Toraja hampir mirip dengan budaya orang Batak, sebuah etnis di Sumatera
Utara yang sebagian besar di antaranya beragama Kristen. Kemiripan itu
dihubungkan dengan pola arsitektur dan fisik rumah adat Batak dengan
rumah adat orang Toraja memiliki kemiripan di sana sini. Sejumlah
pengamat juga megatakan bahwa antara keduanya ada kemiripan antara
lain menyangkut ikatan nilai-nilai kekerabatan, hubungan kekeluargaan,
keterbukaan, dan lain-lain.
Budaya orang Batak menurut Warneck sebagaimana dikutip oleh
Simanjuntak (2009) bahwa ciri khas orang Batak yaitu selain pengasih,
32
tulus, murah hati, setia dan jujur; mereka juga sombong, pongah,
pencuriga atau cemburu, malas, acuh tak acuh, dan kikir; bersemangat
pejuang dan perang. Lebih lanjut Warneck mengatakan bahwa kultur
masyarakat Batak memiliki kebiasaan pertengkaran, perkelahian dan
peperangan. Sementara Simanjuntak (2009) mengatakan bahwa penyebab
timbulnya konflik adalah adanya sakit hati di antara sesama penduduk,
perbedaan pandangan dalam proses pelaksanaan adat dan arena perebutan
harta warisan.
1.6.2. Teori Politik
Menurut Harold D. Laswell dan A. Kaplan (1950) bahwa ilmu
politik mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan. Selanjutnya
dikatakan bahwa politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan, dan di
mana. Semnetara menurut Gabriel A. Almond dalam Budiarjo (1994)
politik adalah kegiatan yang berhubungan dengan kendali pembuatan
keputusan publik dalam masyarakat tertentu, di mana kendali ini disokong
lewat instrumen yang sifatnya otoritatif (berwenang secara sah) dan
koersif (bersifat memaksa). Selanjutnya Upe (2008) mengatakan bahwa
politik adalah seni dan ilmu (science and art) untuk meraih kekuasaan
secara konstitusional maupun non konstitusional.
Pengertian tentang politik lokal tidak berbeda dengan pengertian
politik nasional. Politik lokal dalam hal ini adalah semua kegiatan politik
yang berada dalam tataran lokal. Untuk memahami politik lokal, maka
perlu memahami politik secara umum. Pemahaman tentang politik telah
33
diperkenalkan oleh Aristoteles yang digunakan dalam penyebutan nation-
city (negara-kota) yaitu polis, yang mengatakan bahwa hakikat kehidupan
sosial sesungguhnya merupakan politik dan interaksi satu sama lain dari
dua atau lebih orang, sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Lebih
lanjut dikatakan bahwa manakala manusia mencoba untuk menentukan
posisinya dalam masyarakat, dan berusaha untuk meraih kesejahteraan
pribadinya melalui sumber yang tersedia, serta berupaya untuk
mempengaruhi orang lain agar menerima pandangannya, maka mereka
akan melihat dirinya sibuk dengan kegiatan politik (Rodee, et al, 2009: 2-
3). Dari pandangan tersebut dapat dipahami bahwa dalam kegiatan yang
bersifat politik selalu melibatkan orang, lembaga, dan status dalam
masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa
kegiatan berpolitik adalah cara-cara atau upaya-upaya yang dilakukan oleh
individu atau kelompok untuk mempengaruhi orang lain dalam
mewujudkan tujuannya.
Singgih dalam Abdillah (2002) mengatakan bahwa etnis banyak
memberikan sumbangan terhadap munculnya konsep negara bangsa
(nation-state) yang dalam wacana intereaksi sosial moderen menjadi
sebuah cara atau model pembacaan sosial yang dikotomis dan operasional.
Munculnya ego sukuisme atau etnisitisme memunculkan wacana
timbul berbagai pertikaian dalam masyarakat yang mengatasnamakan isme
kesukuan, etnisitas, kebangsaan, nasionalisme, patriotisme suatu bangsa
34
dengan menghancurkan nilai-nilai hakiki dan derajat kemanusiaan.
Selanjutnya Abdillah mengemukakan bahwa etnisitas adalah hasil dari
proses hubungan, bukan karena proses isolasi.
Kemudian Barker (2000) mengatakan bahwa etnisitas adalah
konsep kultural yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan,
simbol dan praktik kultural. Terbentuknya ’suku bangsa’ bersandar pada
kultural yang dimiliki secara bersama yang telah berkembang dalam
konteks historis, sosial dan politis tertentu yang mendorong rasa memiliki
sekurang-kurangnya didasarkan pada nenek moyang mitologis yang sama.
Vel dalam Nordholt dan Klinken (2009) mengatakan bahwa di
berbagai tempat di Indonesia, politik identitas lokal seringkali dimainkan
dengan menggunakan agama dan etnisitas. Hal senada dikatakan oleh
Purwanto (2011) bahwa etnis telah digunakan sebagai atribut politik yang
penting bagi banyak golongan masyarakat untuk mendesakkan
kepentingan mereka. Hal ini dapat diamati pada pemekaran Provinsi
Gorontalo dari Provinsi Sulawesi Utara, yang dominan disebabkan karena
perbedaan budaya (agama). Begitu juga rencana pembentukan Provinsi
Tapanuli di Sumatera Utara yang disebabkan oleh perbedaan budaya
(agama) antara penduduk yang berdomisili di Sumatera Utara bagian Utara
dan penduduk di Sumatra Utara bagian Selatan. Kondisi ini menyebabkan
munculnya konflik yang memakan korban jiwa yaitu meninggalnya Ketua
DPRD Provinsi Sumatera Utara (Simandjuntak, 2009).
35
Politik terkait erat dengan kekuasaan. Mengutip Harold Lasswell,
Miriam Budiardjo (1994: 84) merumuskan bahwa kekuasaan adalah:
Kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.5
Dalam perumusan ini pelaku kekuasaan bisa berupa seseorang,
sekelompok orang, atau sesuatu kolektivitas. Robbins (2003: 367-368)
mengatakan bahwa kekuasaan merujuk kepada kapasitas yang dimiliki
oleh seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi orang lain atau
kelompoknya. Orang dapat berkuasa karena berbagai hal seperti kekuasaan
paksaan (coercive power) yang berbasis pada ketakutan, kemudian
kekuasaan karena adanya imbalan sesuatu (reward power), kekuasaan
legitimasi (legimate power) karena kedudukannya dalam organisasi, dan
kekuasaan kepakaran (expert power) karena keahlian yang dimiliki oleh
seseorang. Lebih jauh Miriam Budiarjo (1994: 89) memaparkan beberapa
pengertian yang erat kaitannya dengan kekuasaan, yaitu authority (otoritas,
wewenang) dan legitimacy (legitimasi, keabsahan). Merujuk Harold D.
Lasswell dan Abraham Kaplan dalam Power and Society Miriam
Budiardjo (1994: 90) mengatakan bahwa wewenang itu adalah kekuasaan
formal (formal power). Meneruskan pembahasan mengenai wewenang,
dengan mengutip Max Weber, Miriam Budiardjo (1994: 90) mengatakan
ada tiga macam wewenang, yaitu tradisional, karismatik, dan rasional
5Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer, Demokrasi Pancasila,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 1994:84.
36
legal. Wewenang tradisional berdasarkan kepercayaan di antara anggota
masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi
adalah wajar dan patut dihormati.
Konsep legitimasi atau keabsahan menurut Miriam Budiardjo
(1994) penting dalam suatu sistem politik. Keabsahan adalah keyakinan
anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang,
kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati. Kewajaran itu,
lanjut Budiardjo berdasarkan persepsi bahwa pelaksanaan wewenang itu
sesuai dengan asas-asas dan prosedur yang sudah diterima secara luas
dalam masyarakat dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prosedur
yang sah. Dalam hubungan ini keabsahan menurut David Easton
sebagaimana dirumuskan kembali oleh Budiardjo (1994: 91) adalah:
Keyakinan dari pihak masyarakat bahwa sudah wajar bagi dia untuk menerima baik dan mentaati penguasa dan memenuhi tuntutan-tuntutan dari rezim itu (the conviction on the part of the member that it si right and proper for him to accept and obey the authorities and to abide by the requirements of the regime).6
Sedangkan dari sudut pandang penguasa, menurut Budiadirdjo
(1994: 91) yang merujuk pada A.M. Lipset:
Legitimasi mencakup kemampuan untuk membentuk dan mempertahankan kepercayaan bahwa lembaga-lembaga atau bentuk-bentuk politik yang ada adalah yang paling wajar untuk masyarakat (Legitimacy includes the capacity to produce and maintain a beliefs, that the existing political institutions or forms are the most appropriate for the society).7
6Ibid hal 91. 7Ibid hal 91.
37
Sistem pemerintahan yang dilaksanakan selama kepemerintahan
Orde Baru, tidak banyak memberi peluang bagi pemerintah daerah untuk
mengelola berbagai potensi wilayah yang dimiliki daerah. Memasuki era
reformasi di bawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid,
otonomi daerah dipercepat, sehingga sebagian besar kewenangan pusat
dilimpahkan ke daerah. Oleh sebab itu euforia pelaksanaan otonomi atau
pemekaran daerah baru yang diperjuangkan oleh elit-elit lokal bersama
masyarakat telah semakin kuat, khususnya bagaimana agar segera
memiliki hak-hak otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan di
daerah-daerah. Otonomi atau pemekaran daerah juga dipengaruhi oleh
berbagai faktor di antaranya adalah oleh perbedaan etnis, suku, agama,
serta wilayah yang terlalu luas untuk dikelola oleh satu pemerintah daerah.
Pemekaran Kabupaten Mentawai dari Kabupaten Padang Pariaman
misalnya, adalah hasil dari aktivitas-aktivitas elit lokal yang terlibat dalam
kontes atau persaingan untuk meraih kedudukan-kedudukan politis. Di
dalam prosesnya kontes ini diwarnai dengan gejolak politis yang intens di
dalam hal mana segala macam eksklusionisme didasarkan pada berbagai
sentimen etnis (Eindhoven, 2009). Konflik yang terjadi di berbagai negara
terutama pada pasca perang dingin memunculkan politik yang
dilatarbelakangi oleh sentimen keagamaan seperti yang terjadi di beberapa
negara Timur Tengah. Begitu juga dengan politik etnis seperti yang terjadi
di Yugoslavia, Cekoslowakia, Uni Soviet yang menyebabkan negara-
negara tersebut terpecah-pecah. Konflik antar etnis bukan hanya terjadi
38
pada negara-negara maju, negara-negara berkembang pun tak luput dari
konflik etnis ini seperti yang terjadi di Irak, India, Myanmar, termasuk
Indonesia. Kekerasan dalam interaksi etnis sangat jelas dalam kancah
konstelasi politik ketika menyangkut aspek-aspek kepemimpinan,
penguasaan wilayah dan teritorial, eksploitasi atas sumber-sumber lahan
produksi, dan egoisme akan kemandirian masing-masing identitas etnis
(Abdillah, 2002).
Konflik horizontal yang terjadi di Indonesia pada umumnya
mengatasnamakan isme kesukuan, keagamaan, kewilayahan, dan etnisitas
yang terbungkus secara politik. Seperti konflik etnis yang terjadi di
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat melibatkan antara etnis Dayak
dan etnis Madura. Sementara konflik yang didasarkan pada agama terjadi
di Poso dan Ambon melibatkan penganut agama Islam dan penganut
agama Kristen (Simandjuntak, 2009).
Perebutan wilayah kekuasaan terutama pada daerah otonom seperti
yang terjadi di Kabupaten Polewali Mamasa (Sulawesi Barat) yang
dimekarkan menjadi Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Polman (Polewali
Mandar). Sebagian besar penduduk desa Aralle, Tabulahan, dan Mambi
(ATM) menolak memasukkan wilayahnya ke Kabupaten Mamasa,
akibatnya terjadi konflik perbatasan dalam masyarakat.
Sistem multi partai dan pelaksanaan pemekaran daerah atau
pemberian otonomi kepada daerah di Indonesia memungkinkan timbulnya
perebutan kekuasaan dan kewilayaan yang memunculkan ego kedaerahan
39
dan kesukuan. Kondisi ini mempersubur pembedaan dikotomi tentang
”aku-kamu”, ”kami-kamu” yang didasarkan pada kesukuan atau etnisitas.
Dikotomi ”aku-kamu”, ”kami-kamu” juga masih sangat kental di Sulawesi
Selatan, dimana suku Makassar, suku Bugis, suku Mandar, dan suku
Toraja disamping etnis Tionghoa masih sering terjebak dalam konflik
dikotomi tersebut.
Adanya perbedaan pandangan politik yang didasarkan pada
perbedaan budaya dan etnis menyebabkan pengambilan keputusan politik
tidak jarang menimbulkan konflik antar suku atau etnis. Etnis Toraja yang
dominan beragama Kristen terjepit di antara etnis Makasar, etnis Bugis,
dan etnis Mandar yang beragama Islam. Perbedaan etnis dan agama ini
sering memunculkan benturan kepentingan terutama pada pemetaan
personalia di pemerintahan Provinsi. Selama proses rekrutmen
kepemimpinan yang didasarkan pada kepentingan etnis dan agama, maka
sulit bagi orang Toraja yang dominan beragama Kristen untuk menduduki
puncak kepemimpinan di Provinsi (Gubernur).
Salah satu alasan pelaksanaan timbulnya aspirasi pemekaran daerah
adalah adanya konflik yang bernuansa agama. Kondisi ini dapat dilihat
pada beberapa pemekaran di Indonesia yang menggunakan agama dan
etnis sebagai dasar pemekaran daerah di antaranya adalah pemekaran
Kabupaten Poso. Ada juga persoalan baru muncul dalam pemekaran
daerah seperti pada daerah-daerah yang penduduknya mayoritas Muslim,
sangat sulit menerima kepala daerah yang beragama Kristen atau
40
sebaliknya bagi daerah yang penduduknya mayoritas Kristen sangat sulit
menerima kepala daerah yang beragama Islam (Eindhoven, 2009).
Kondisi di atas berbeda pada pemekaran Kabupaten Toraja Utara
dari Kabupaten Tana Toraja. Kedua wilayah tidak memiliki perbedaan
signifkan dalam hal etnisitas dan agama. Baik para elit politik di Tana
Toraja dan para elit politik di Toraja Utara memiliki latar belakang etnis
dan agama yang sama, sebagaimana mayoritas penduduk di kedua
kabupaten. Oleh sebab itu penelitian ini merupakan upaya untuk
mendeskripsikan keterkaitan antara praktik budaya, pergeseran nilai-nilai
budaya, manipulasi politik dalam hubungannya dengan aspirasi pemekaran
daerah. Terdapat banyak bukti yang memperlihatkan bahwa penduduk di
kedua kabupaten relatif homogen dibandingkan dengan kabupaten-
kabupaten lainnya di Propinsi Selatan
1.6.3. Teori Perubahan Sosial
Apabila merujuk pada perubahan sosial yang terjadi di masyarakat
Toraja, ada beberapa teori yang mendekati sama yaitu teori perubahan
sosial sebagaimana di kemukakan oleh Selo Soemardjan (1974) perubahan
sosial adalah segala perubahan pada berbagai lembaga masyarakat dalam
suatu lingkungan masyarakat yang mempengaruhi sistim sosial, sikap, pola
perilaku antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.. Sedangkan Kings
Davis mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi
pada struktur dan fungsi masyarakat.
41
Selanjutnya menurut Palebangan bahwa Perubahan sosial terjadi
karena adanya ide tertentu, lingkungan alam, desakan kependudukan, atau
struktur sosial dan proses budaya (Palebangan, 2007: 135). Lebih lanjut
dikatakan Palebangan bahwa perubahan sosial di Toraja dan sering
dipolitisasi adalah hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan tertentu.
Penggunaan kata aluk yang dulunya adalah merupakan kepercayaan
(agama) telah digeser maknanya secara pelan-pelan menjadi adat.
Perubahan sosial dalam masyarakat terjadi sebagai akibat dari
adanya kepentingan-kepentingan indibvidu atau kelompok dengan
melakukan modifikasi berbagai modifikasi terhadap berbagai pola
kehidupan. Hal ini dilakukan untuk meraih berbagai kepentingan yang
diinginkan dalam kehidupannya. Menurut Susanto (1983) bahwa individu
dapat mengubah masyarakat sekelilingnya melalui hasil pendidikannya
sebagai manusia yang berfikir, dapat mengambil kesimpilan dan pelajaran
dari pengalamanya, mencetuskanya menjadi ide yang baru. Dengan
perubahan inilah, ia akan mengubah masyarakat sedikit demi sedikit dan
akhirnya terjadilah apa yang dikenal sebagai proses sosial yaitu proses
pembentukan masyarakat. Dengan demikian masyarakat selalu dalam
perubahan, penyesuaian dan pembentukan diri (dalam dunia sekitarnya)
sesuai dengan idenya. Hal senada dikemukakan oleh Geertz (1986 : 89)
tentang perubahan kelas pekerja yang terjadi di Mojokuto, bahwa
perubahan yang terjadi pada pekerja tanpa tanah mempunyai 3 segi yaitu
timbulnya steruktur pekerjaan baru yang semi moderen, yang
42
memungkinkan dan mendorong penduduk pindah dari tanah dan
memasuki pekerjaan di luar pertanian, kemudian pengecilan bentuk
kehidupan sosial desa tradisional dalam kampung-kampung dengan
hilangnya basis pertanian dari integrasi masyarakat, selanjutnya hilangnya
sebagian struktur politik desa dan juga sebagian berorientasi ke arah
kepemimpinan politik urban.
Politik tidak terlepas dari adanya perubahan sosial yang terjadi
dalam masyarakat. Perubahan sosial ini disebabkan adanya kemajuan yang
dialami oleh masyarakat baik dalam berpikir maupun dalam bertindak.
Perubahan itu biasanya menyangkut struktur dan fungsi-fungsi di dalam
masyarakat, pola tingkah laku, norma-norma, nilai-nilai, dan perubahan
unsur kebudayaan. Dengan demikian, nilai-nilai budaya khususnya dalam
pesta adat dan upacara penguburan sudah mulai terkikis oleh kepentingan
politik. Inilah yang disebut oleh Marx dalam Habermas sebagai abstraksi
nyata, sebab dalam kehidupan sehari-hari yang tergantung pada realitas
tuntutan akan pengakuan, maka manipulasi adat maupun manipulasi diri
dapat menghasilkan kekuasaan objektif.
1.6.4. Budaya dan Kebudayaan
Budaya dan kebudayaan merupakan satu kesatuan, walaupun
terdapat perbedaan. Budaya (culture) dalam tulisan ini merupakan cara
hidup atau cara masyarakat berperilaku yang berkembang serta milik
bersama yang diwariskan dari generasi ke generasi oleh sebuah komunitas
43
masyarakat. Budaya juga dapat berarti nilai-nilai atau norma-norma yang
berlaku dalam suatu komunitas masyarakat.
Kebudayaan dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai
hasil kegiatan atau penciptaan batin (akal budi) manusia (seperti
kepercayaan, kesenian, adat istiadat). Atau keseluruhan pengetahuan
manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk memahami
lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Bila budaya
berupa norma-norma, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam suatu
komunitas masyarakat, maka kebudayaan berupa hasil atau produk
kegiatan manusia. Bila disimak dari segi tata bahasa, maka pengertian
kebudayaan merupakan turunan dari pengertian budaya yang merujuk pada
pola pikir manusia berupa gagasan, tindakan, dan karya manusia.
Ihromi (1984: 21-22) merumuskan kebudayaan sebagai
seperangkat kepercayaan, nilai-nilai, dan cara berlaku (kebiasaan) yang
dipelajari dan pada umumnya dimiliki bersama oleh warga dari suatu
masyarakat (sekelompok orang) yang tinggal di suatu wilayah dan
memakai suatu bahasa umum yang biasanya tidak dimengerti oleh
penduduk tetangganya. Huntington (dalam Zuhro, et al, 2009: 32)
mengatakan bahwa kebudayaan berarti nilai-nilai, sikap, kepercayaan,
orientasi dan praduga mendasar yang lazim di antara orang-orang dalam
suatu masyarakat. Selanjutnya Geertz (1995: 3) mengemukakan bahwa
kebudayaan adalah suatu pola makna-makna yang diteruskan secara
historis yang terwujud dalam simbol-simbol, suatu sistem konsep yang
44
diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis yang dengannya
manusia berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan
pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap
kehidupan. Menurut Malinowski (dalam Susanto 1983: 122) kebudayaan
terbentuk karena manusia dihadapkan pada persoalan yang membutuhkan
pemecahan dan penyelesaian terutama yang menyangkut kebutuhan untuk
mempertahankan kehidupannya. Oleh sebab itu, manusia saling
berintereaksi dalam kelompok untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dan
mengelola lingkungannya.
Dengan demikian kebudayaan dapat dikatakan bahwa seluruh
aspek kehidupan manusia meliputi aturan dan norma-norma serta simbol
yang menjadi tuntunan bagi masyarakat setempat dalam bertindak dan
berperilaku dalam kehidupannya sehari-hari. Dapat juga dikatakan bahwa
kebudayaan adalah cara pandang masyarakat tentang struktur kehidupan
yang di dalamnya mengandung makna, norma, sikap, dan perilaku
masyarakat dalam suatu wilayah tertentu dan merupakan acuan dari
seluruh aspek kehidupan masyarakat yang diwariskan ke generasi
berikutnya secara turun-temurun.
Kebudayaan merupakan sesuatu yang diyakini sebagai alat perekat
dalam menata kehidupan bersama dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
kebersamaan dan sebagai penuntun dalam bertindak, bersikap, serta
berperilaku dalam kesehariannya. Masyarakat Toraja memaknai
kebudayaan sebagai sesuatu yang berkaitan erat dengan aturan-aturan
45
serba tujuh (aluk sanda pitunna). Kobong (2008: 66) mengatakan bahwa
kebudayaan di satu pihak adalah pencapaian manusia melalui kegiatannya
berdasarkan ketaatannya pada aturan serba tujuh (aluk sanda pintunna), di
pihak lain kebudayaan itu sendiri merupakan refleksi tentang pandangan
hidup (adat), sedangkan adat itu merupakan sisi lain agama (keyakinan).
Adat istiadat ini menjadi budaya yang secara turun-temurun dilaksanakan
masyarakat dari dulu hingga saat ini.
Dari berbagai penjelasan tentang budaya dan kebudayaan ini, maka
dapat dikatakan bahwa gagasan dari akal manusia adalah sumber budaya
dan apapun yang timbul dari pikiran manusia masuk dalam lingkup
kebudayaan. Jadi budaya dan kebudayaan telah terbentuk sejak manusia
hidup dan berkelompok kemudian berfikir, bertindak, berkarya, serta
berintereaksi dengan lingkungannya. Dalam kebudayaan itu sendiri ada
nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dan itulah yang menjadikan
manusia berperilaku sesuai budayanya.
Kaplan dan Manner terjemahan Landung Simatupang (1999)
menjelaskan budaya dari sudut pandang antopologi yaitu suatu bidang
ilmu yang mempelajari budaya suatu masyarakat pada etnik tertentu
termasuk gejala-gejala yang meliputi kekerabatan dan organisasi sosial,
politik, teknologi, ekonomi, agama, bahasa, kesenian, dan mitologi. Dari
kondisi tersebut oleh antropolog menyebutkan bahwa budaya dapat
dipelajari dari mekanisme, struktur, dan sarana kolektif luar diri manusia.
Dengan demikian, kita dapat memahami alasan perbedaan keyakinan,
46
nilai, perilaku, dan bentuk sosial antara kelompok satu dengan kelompok
lain.
1.6.5. Dimensi-dimensi Kebudayaan
Kebudayaan tidak bisa dipisahkan dari pola atau tatanan kehidupan
masyarakat yang terbentuk dari nilai-nilai atau kesepahaman yang
memaknai arti kehidupan yang dirasakan bersama oleh masyarakat dalam
suatu wilayah. Kebudayaan ini terbentuk dari suatu pola pikir masing-
masing individu dan kebiasaan-kebiasaan serta norma-norma kesepakatan
sehingga menjadi tradisi umum yang diwariskan secara turun-temurun ke
generasi berikutnya. Koentjaraningrat (1984: 5) menyatakan bahwa wujud
dari kebudayaan terdiri atas (1) ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan-peraturan; (2) suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat; (3) benda-benda hasil karya manusia.
Apabila mencermati dari pendapat Koentjaraningrat tersebut,
tampak bahwa budaya dan perubahan dapat terjadi karena proses adaptasi,
dalam hal ini David Kaplan dan Albert A Manner (1999) mengemukakan
teorinya bahwa adaptasi merupakan suatu proses yang menghubungkan
antara sistem budaya dengan lingkungan yang saling berinteraksi sehingga
budaya dapat beradaptasi dengan lingkungan. Istilah adaptasi yang
dikemukakan oleh Kaplan dan Manner digunakan untuk mendeskripsikan
suatu proses yang terjadi dari waktu ke waktu. Pertanyaan mendasar yang
dikemukakan oleh Kaplan adalah bagaiamana bekerjanya sistim budaya
47
yang berbeda-beda dan bagaimana sistim budaya yang berbeda-beda itu
menjadi seperti kondisi masa kini. Cara bekerja sistim budaya yang
dikemukakan oleh Kaplan dan Manner itu, oleh Kuntjaraningrat diperjelas
dalam dimensi-dimensi kebudayaan.
1.6.5.1. Kebudayaan Sebagai Suatu Gagasan
Wujud ideal dari dimensi kebudayaan ini yaitu kumpulan dari ide-
ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma yang sifatnya abstrak.
Karena masih bersifat abstrak, maka wujud dari dimensi kebudayaan ini
tersimpan dalam pikiran manusia (masih dalam kepala). Bila masyarakat
ingin menyatakan atau mewujudkan gagasan ini, maka mereka
melakukannya dalam bentuk tulisan atau karangan dan buku-buku sebagai
hasil karya masyarakat setempat. Wujud ideal dari kebudayaan inilah yang
oleh Kuntjaraningrat disebut sebagai adat tata kelakuan atau adat dalam
arti khusus atau adat istiadat dalam arti jamak yang berfungsi sebagai tata
kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada
kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat (Kuntjaraningrat,
1984: 5-6).
Kebudayaan Toraja dapat dipahami dari 2 versi cerita yang ditulis
oleh para pakar kebudayaan di Toraja. Versi pertama menjelaskan bahwa
saat perpisahaan antara langit dan bumi lahirlah tiga dewa yaitu dewa
Gaun Tikembong, dewa Pong Banggairante, dan dewa Pong Tulakpadang.
Dewa Gaun Tikembong menempati cakrawala dan dewa Pong
48
Banggairante menempati bumi serta dewa Pong Tulakpadang menjadi
penyangga dunia yang dihuni oleh manusia yang turun dari langit, yang
disebut Tomanurun. (Kobong 2008: 7). Selanjutnya dikatakan bahwa
Puang Matua (Tuhan) menempati pusat atau puncak langit yang
menciptakan ritus-ritus dan manusia pertama bersama nenek moyangnya
tanaman-tanaman, bintang-bintang, dan benda-benda mati. Manusia yang
turun dari langit itulah diyakini masyarakat Toraja sebagai nenek moyang
mereka.
Versi ke dua adalah yang ditulis oleh H. Van der Veen dalam
Kobong (2008: 8-9) bahwa pada mulanya adalah langit dan bumi. Langit
dan bumi menikah lahirlah 4 orang yaitu Puang di Lalundun, Labiu’-biu’,
Indo’ Ongon-Ongon, dan Simbolong Padang. Pong di Lalundun
menempati cakrawala dan terlahirlah Puang Matua (Tuhan) yang
mengawasi aluk. Sementara Indo’ Ongon-Ongon turun ke dunia dan
menempati dunia sebagai tempat berkembangnya manusia lalu dibuatlah
peraturan-peraturan adat yang disebut 7777777 (tujuh juta, tujuh ratus
tujuh puluh tuju ribu, tujuh ratus tujuh puluh tujuh).
Ke dua versi cerita ini walaupun berbeda nama, namun ke duanya
menyatakan bahwa nenek moyang orang Toraja berasal dari langit yang
turun ke dunia menggunakan tangga (eran dilangi’) dengan membawa
serta aturan-aturan adat yang disebut dengan aluk. Aluk inilah yang
menjadi kebudayaan masyarakat Toraja yang dijalankan dalam bentuk
ritus-ritus hingga saat ini.
49
1.6.5.2. Kebudayaan Sebagai Suatu Aktivitas
Wujud dari dimensi kebudayaan ini adalah suatu tindakan dari pola
pikir orang dalam suatu rumpun masyarakat. Kuntjaraningrat (1984: 6)
mengatakan bahwa sistim sosial terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-
manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang
lain, yang dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan tahun ke tahun, selalu
mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata-kelakuan. Dimensi
ini bersifat konkrit yaitu terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dapat
diamati, dan dapat didokumentasikan.
Masyarakat Toraja memaknai adat sebagai padanan dari aluk. Aluk
itu adalah tata tertib kebiasaan-kebiasaan, tradisi, ketentuan-ketentuan adat
berdasarkan ketentuan-ketentuan dari langit atau adat serba tujuh (Kobong
2008: 48). Pelaksanaan ritus adat bagi masyarakat Toraja adalah salah satu
bentuk interaksi sosial, bukan hanya antar keluarga tapi juga masyarakat