1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menua atau menjadi tua merupakan suatu keadaan atau kondisi yang pasti terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua sendiri adalah proses yang terjadi sepanjang hidup tidak hanya di mulai dari suatu waktu tertentu, tetapi di mulai sejak pemulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses ilmiah dimana seseorang pasti akan melalui 3 tahap yang berbeda, yakni tahap anak-anak, dewasa, dan tua (Nugroho, 2016). Tiga tahap ini berbeda ketika kita amati baik secara biologis maupun psikologis. Terlebih untuk tahapan tua dimana lansia berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (Lansia) merupakan seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun atau lebih. Terdapat sekitar 400 juta jiwa lansia di Asia dan pertumbuhannya terbilang tinggi pada daerah yang sedang berkembang (KEMENKES RI, 2014). Salah satu Negara berkembang tersebut Indonesia dengan jumlah lansia mencapai 7,56% dari total seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2008, 2009 dan 2012. Jumlah persentase paling besar yakni perempuan 8,2% dan laki-laki sejumlah 6,9% (SUSENAS, 2012 dalam KEMENKES RI). Persentase ini akan terus bertambah seiring berjalannya waktu seperti yang dikutip dari World Health Organization (WHO) yang memperkirakan akan terjadi kenaikan jumlah lansia di dunia sebesar 7% pada tahun 2020 dan 23% pada tahun 2025 (Novitaningtyas, 2014). Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik RI pada tahun 2015 menyatakan bahwa proyeksi penduduk lansia pada tahun 2010-2035 akan
14
Embed
BAB I PENDAHULUAN - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/42374/2/BAB I.pdf · Peran penting dari tenaga kesehatan khususnya fisioterapi dalam mengatasi permasalahan diatas termasuk
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menua atau menjadi tua merupakan suatu keadaan atau kondisi yang pasti
terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua sendiri adalah proses yang
terjadi sepanjang hidup tidak hanya di mulai dari suatu waktu tertentu, tetapi di
mulai sejak pemulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses ilmiah dimana
seseorang pasti akan melalui 3 tahap yang berbeda, yakni tahap anak-anak,
dewasa, dan tua (Nugroho, 2016). Tiga tahap ini berbeda ketika kita amati baik
secara biologis maupun psikologis. Terlebih untuk tahapan tua dimana lansia
berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia (Lansia) merupakan seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun
atau lebih.
Terdapat sekitar 400 juta jiwa lansia di Asia dan pertumbuhannya
terbilang tinggi pada daerah yang sedang berkembang (KEMENKES RI, 2014).
Salah satu Negara berkembang tersebut Indonesia dengan jumlah lansia
mencapai 7,56% dari total seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2008, 2009
dan 2012. Jumlah persentase paling besar yakni perempuan 8,2% dan laki-laki
sejumlah 6,9% (SUSENAS, 2012 dalam KEMENKES RI). Persentase ini akan
terus bertambah seiring berjalannya waktu seperti yang dikutip dari World
Health Organization (WHO) yang memperkirakan akan terjadi kenaikan jumlah
lansia di dunia sebesar 7% pada tahun 2020 dan 23% pada tahun 2025
(Novitaningtyas, 2014). Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik RI pada tahun
2015 menyatakan bahwa proyeksi penduduk lansia pada tahun 2010-2035 akan
2
mencapai 10% dan pada saat itu pula Indonesia akan memasuki periode lansia
atau periode aging (Pusat Data dan Informasi KEMENKES RI, 2016).
Proses penuaan dapat menimbulkan beberapa masalah diantaranya
permasalahan fisik, mental maupun biologis (Nuhroho, 2000 dalam Rohmah.
dkk). Hal ini ditandai dengan angka morbidity (kesakitan) lansia pada tahun 2012
yakni sebesar 26,83% dengan jumlah perbandingan yakni dari setiap 100 orang
lansia terdapat 27 diantaranya yang mengalami sakit. Beberapa bentuk penyakit
tersebut menurut dr. Sutrisniwati, MSI yakni berupa penyakit yang disebabkan
karena proses degenerasi atau pun penyakit yang disebabkan oleh hal lain.
Diperkuat lagi oleh data menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
pada tahun 2013 yang mengatakan bahwa degeneratif termasuk dalam salah satu
masalah terbesar yang dialami lansia dan diproyeksikan terdapat sekitar 75%
total jumlah lansia yang mengalami penyakit degeneratif dengan kondisi lansia
tersebut akan mengalami hambatan dalam beraktifitas pada tahun 2050. Susenas
telah mengelompokkan beberapa keluhan yang dominan di derita oleh kaum
lanjut usia diantaranya, batuk (17,81%), pilek (11,75%) dan beberapa keluhan
lainnya (32,99%). Keluhan lainnya yang dimaksud disini adalah keluhan yang
berkaitan dengan penyakit kronik seperti asam urat, reumatik, hipotensi,
hipertensi dan diabetes tidak terkecuali penyakit akibat proses degeneratif.
Salah satu penyakit degeneratif yang sering dikeluhkan lansia yakni
permasalahan reumatik seperti Osteoartrhitis. Prof. DR. Dr. Handono Kalim
pada tahun 2014 menyatakan bahwa osteoartrhitis adalah penyakit sendi
degeneratif yang menyebabkan rasa nyeri dengan ditandai adanya kerusakan
kartilago atau tulang rawan sendi dan tulang subkondral. Sedangkan menurut
Felson (2009) juga mengatakan bahwa osteoartrhitis merupakan salah satu
3
penyakit degeneratif dimana terjadi suatu proses degradasi sendi yang kompleks
dimana terdiri atas proses perbaikan tulang, sinovium, kartilago, dan inflamasi
yang mengakibatkan kerusakan kartilago sendi. Sedangkan menurut Quintana
(2008) OA adalah penyakit degeneratif dimana terjadi pemecahan biokimia
articular atau hialin tulang rawan yang mengalami kerusakan yang terdapat di
sendi synovial seperti lutut. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa OA adalah
suatu penyakit yang sering muncul pada usia tua dimana terjadinya kerusakan
tulang rawan kerana kurangnya cairan pada sendi yang berakibat terjadinya
pengikisan kartilago antar sendi sehingga dampaknya dapat mengganggu
fungsional sendi itu sendiri.
Gangguan ini bersifat progresif namun lambat dimana sesekali terdapat
inflamasi dan asimetris serta terdapat pembentukan osteofit atau tulang baru pada
bagian pinggir sendi (Stanley, 2007) Osteoarthritis dialami sebanyak sepertiga
populasi usia 65 tahun dan merupakan kasus reumatik yang paling sering ditemui
di Indonesia. Berdasarkan WHO prevalensi terjadinya osteoarthritis mencapai
8,1% dari jumlah total penduduk di Indonesia.
Prevalensi OA yang terjadi di lutut dan panggul lebih banyak terjadi
dibandingkan OA pada sendi lainnya, dikarenakan sendi inilah yang paling
banyak menopang tubuh (Stanley, 2007). Pertiwi (2016) pula menyatakan bahwa
prevalensi OA lutut yang telah tampak secara radiologis sebesar 12,7% pada
wanita dan 15,5% pada pria dengan rentang usia 40-60 tahun.
Permasalahan yang ditemui pada kasus osteoarthritis biasanya
kelemahan otot, keterbatasan lingkup gerak sendi, nyeri dan gangguan
kemampuan fungsional (Pertiwi, 2016). Hal ini terjadi karena jaringan keras
namun bersifat licin yang berada di ujung tulang saling bertemu membentuk
4
sendi yakni kartilago yang seharusnya mengabsorbsi guncangan, tekanan dan
bergerak secara luwes mengalami pengikisan hingga pada akhirnya mengalami
permasalahan (NIAMS, 2002 dalam Pertiwi, 2016). Gejala lainnya adalah adanya
nyeri dan mengakibatkan seseorang takut untuk melakukan aktifitasnya sehingga
dapat menurunkan kualitas hidupnya atau Quality of life seseorang (Marlina,
2015).
Peran penting dari tenaga kesehatan khususnya fisioterapi dalam
mengatasi permasalahan diatas termasuk salah satu tindakan penting, dimana
fisioterapi merupakan tenaga kesehatan yang mempelajari pergerakan dan fungsi
tubuh manusia, sesuai dengan peran fisioterapi dalam Permenkes RI Nomor 80
tahun 2013 yang menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan yang melibatkan
individu atau kelompok untuk memelihara fungsi gerak tubuh, menjaga,
mengembangkan dan memeliharanya fungsinya menggunakan modalitas, teknik
manual terapi, latihan dan komunikasi.
Terapi non farmakologi sangat disarankan untuk kasus OA seperti
exercise (latihan) yang melibatkan lutut. Latihan lainnya juga sangat dianjurkan
yakni beruapa latihan di rumah, latihan Range of Motion, dan latihan penguatan
(Marliana, 2015). Dewi (2009) menyatakan latihan tersebut memiliki tujuan
yakni mengembalikan fungsi sendi, mencegah kerusakan sendi, meningkatkan
kekuatan otot pada area sendi, meminimalisir dampak kecacatan hingga mampu
mengoptimalkan kebugaran, dengan memantau keadaan pasien secara penuh.
Beberapa terapis juga melakukan pemberian perlakuan nondrug atau
nonsurgical, seperti pemberian kinesio taping yang dapat digunakan untuk
menurunkan rasa nyeri pada sendi dan otot dengan begitu fungsinya dapat
dioptimalkan kembali. Dampak kinesio taping telah banyak dibahas dalam
5
berbagai referensi dimana disebutkan bahwa kinesio taping memiliki manfaat
untuk masalah musculoskeletal dan nervomuscular system. Treatmen penggunaan
kinesio taping ditujukan pada kasus arthritis yang diakibatkan oleh proses
degeneratif bertujuan meminimalisir rasa nyeri dan mengoptimalkan fungsi dari
sendi sehingga kualitas hidup pasien dapat meningkat dan lebih baik (Boeskov,
2014; Lee, 2012). Mostafavifar pada tahun 2012 mengatakan elastic tapes yang
diaplikasikan pada otot memiliki manfaat yakni menginhibisi atau memfasilitasi
ketegangan dari tendon atau otot sehingga dapat menurunkan rasa nyeri,
meningkatkan kekuatan otot dan meningkatkan LGS pada sendi. Kinesio taping
juga diyakini oleh beberapa praktisi klinis dapat meminimalkan rasa nyeri serta
meningkatkan fungsi tubuh manusia (Kim, 2017).
Teknik manual juga diperuntutkan pada pasien OA seperti, terapi
Myofascial Release Technique (MRT) yang berfokus pada penekanan untuk
meregangkan dan memanjangkan kembali struktur myofascia dan otot dengan
tujuan melepaskan adhesion atau perlengketan, memulihkan cairan pelumas pada
fascia, mobilitas jaringa dan dungsi sendi serta mengurangi nyeri dengan konsep
gate control (Riggs, 2008). Maka dari itu perlu pemberian Myofascial Release
pad otot-otot pembantu gerak sendi agar dapat mengurangi dampak spasme
ataupun nyeri akibat dari minimnya pergerakan sendi.
Hasil dari study pendahuluan yang di lakukan di Dinas Kesehatan Kota
Malang menemukan bahwa di Puskesmas Kendal Kerep Kota Malang penederita
osteoartritis sebanyak 49 laki-laki dan 183 perempuan yang seluruhnya adalah
lansia diatas 50 tahun. Nyeri yang di timbulkan sering terasa sangat dalam pada
sekitar lutut dan biasanya berhenti saat fase istirahat. Dampak yang sering
muncul yaitu gangguan fungsional sehari- hari atau sering disebut activity daily
6
living (ADL) akibat kurang bebasnya bergerak. Hal ini akan berdampak pada
kemampuan sehari-hari seperti makan, minum, berpakaian, kebersihan diri dan
lainnya.
Merasa tertarik dengan permasalahan yang terdapat pada pasien risiko
OA terkait aktifitas fungsional pasien Osteoarthritis lutut, begitu pula terkait
intervensi yang diberikan maka dari itu peneliti bermaksud untuk melakukan
penelitian perbandingan antara intervensi pemberian kinesio taping dan
intervensi pemberian kinesio taping dengan penambahan myofascial release pada
pasien risiko Osteoarthritis yang dilakukan di Puskesmas Kendal Kerep Malang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh kinesio taping terhadap peningkatan aktifitas fungsional
pasien lansia dengan risiko osteoarthritis lutut ?
2. Bagaimana pengaruh kombinasi kinesio taping dan penambahan myofasial
release terhadap peningkatan aktifitas fungsional pasien lansia dengan risiko
osteoarthritis lutut ?
3. Bagaimana perbandingan pengaruh antara kinesio taping dan kombinasi
kinesio taping dengan penambahan myofascial release terhadap peningkatan
aktifitas fungsional pasien lansia dengan risiko osteoarthritis lutut ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk menguji secara empiris perbandingan penggunaan Kinesio
Taping dan Penggunaan Kinesio Taping dengan penambahan Myofascial
Release terhadap peningkatan aktifitas fungsional pasien lansia dengan risiko
Osteoarthritis lutut
7
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi aktifitas fungsional sebelum dan setelah penggunaan
kinesio taping terhadap peningkatan aktifitas fungsional pasien lansia
dengan risiko osteoarthritis lutut
b. Mengidentifikasi aktifitas fungsional sebelum dan setelah penggunaan
kinesio taping dan penambahan myofascial release terhadap peningkatan
aktifitas fungsional pasien lansia dengan risiko osteoarthritis lutut
c. Membandingkan pengaruh kinesio taping dan kombinasi kinesio taping
dengan penambahan myofascial release terhadap peningkatan aktifitas
fungsional pasien lansia dengan risiko osteoarthritis lutut
D. Manfaat Penelitian
1. Peneliti
Menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis khusunya dalam
penelitian Membandingkan efektivitas Penggunaan Kinesio Taping dan
Penggunaan Kinesio Taping dengan penambahan Myofascial release
terhadap peningkatan aktifitas fungsional pasien lansia dengan risiko
Osteoarthritis lutut
2. Lokasi Peneitian/ Institusi Pelayanan Fisioterapi
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan atau
pertimbangan dalam melakukan perlakuan yang benar dan tepat kepada
pasien lansia yang mengalami kasus risiko Osteoatrthritis lutut untuk
peningkatan kemampuan fungsional.
3. Institusi Penelitian
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber referensi
untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan, penelitian
8
ataupun pengabdian kepada masyarakat terkhusus pada pasien risiko
Osteoarthritis lutut.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan study literature dari berbagai sumber belum ditemukan
penelitian serupa yang memberikan intervensi berupa penggunaan kinesio
taping dan penambahan Myofascial release. Namun terdapat beberapa
penelitian yang berkaitan dengan osteoarthritis, pengguna taping, Myofascial
release penurunan nyeri, peningkatan LGS dan peningkatan fungsional,