1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan Industrial antara pekerja/buruh dan pengusaha tidak selamanya terjalin dengan harmonis dan dinamis, tidak tertutup kemungkinan setiap saat hubungan itu akan diwarnai perselisihan. 1 Perselisihan perburuhan juga terjadi sebagai akibat wanprestasi yang dilakukan pihak buruh atau oleh pihak pengusaha. Keinginan dari salah satu pihak (umumnya pekerja) tidak selalu dapat dipenuhi oleh pihak lainnya (pengusaha), demikian pula keinginan pengusaha selalu dilanggar atau tidak selalu dipenuhi oleh pihak buruh atau pekerja. Kecenderungan terjadinya wanprestasi oleh salah satu pihak merupakan suatu hal biasa terjadi.Ditambah lagi kondisi dalam masyarakat, kehidupan sehari-hari juga berpengaruh terhadap kelanggengan hubungan kerja. 2 Dalam suatu perselisihan, bisa terjadi antara 2 (dua) pihak buruh dan pengusaha, atau para pihaknya terdiri dari setidaknya lebih dari 2 (dua) atau lebih pihak, yang saling berbeda pendapat mengenai pelaksanaan atau perlakuan hubungan kerja. Perbedaan ini mengakibatkan terjadinya perselisihan hubungan industrial antara buruh/pekerja dengan pihak pengusaha. 3 Hubungan industrial (industrial relations) tidak hanya sekedar menajemen organisasi perusahaan yang dijalankan oleh seorang manager, yang menempatkan pekerja sebagai pihak yang selalu dapat diatur. Namun hubungan industrial meliputi fenomena baik di dalam maupun 1 Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, h. 10. 2 Aloysius Uwiyono, et.al, Asas – Asas Hukum Perburuhan, Ed. 1, Cet. 3, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, h. 127. 3 Ibid., h. 128.
14
Embed
BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11568/1/T1_312009063_BAB I.pdf · bangsawan yang bekerja di kantor dan juga orang-orang Belanda dan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hubungan Industrial antara pekerja/buruh dan pengusaha tidak selamanya terjalin dengan
harmonis dan dinamis, tidak tertutup kemungkinan setiap saat hubungan itu akan diwarnai
perselisihan.1Perselisihan perburuhan juga terjadi sebagai akibat wanprestasi yang dilakukan
pihak buruh atau oleh pihak pengusaha. Keinginan dari salah satu pihak (umumnya pekerja)
tidak selalu dapat dipenuhi oleh pihak lainnya (pengusaha), demikian pula keinginan pengusaha
selalu dilanggar atau tidak selalu dipenuhi oleh pihak buruh atau pekerja. Kecenderungan
terjadinya wanprestasi oleh salah satu pihak merupakan suatu hal biasa terjadi.Ditambah lagi
kondisi dalam masyarakat, kehidupan sehari-hari juga berpengaruh terhadap kelanggengan
hubungan kerja.2
Dalam suatu perselisihan, bisa terjadi antara 2 (dua) pihak buruh dan
pengusaha, atau para pihaknya terdiri dari setidaknya lebih dari 2 (dua) atau lebih pihak, yang
saling berbeda pendapat mengenai pelaksanaan atau perlakuan hubungan kerja. Perbedaan ini
mengakibatkan terjadinya perselisihan hubungan industrial antara buruh/pekerja dengan pihak
pengusaha.3
Hubungan industrial (industrial relations) tidak hanya sekedar menajemen organisasi
perusahaan yang dijalankan oleh seorang manager, yang menempatkan pekerja sebagai pihak
yang selalu dapat diatur. Namun hubungan industrial meliputi fenomena baik di dalam maupun
1Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia, Penerbit
PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, h. 10. 2 Aloysius Uwiyono, et.al, Asas – Asas Hukum Perburuhan, Ed. 1, Cet. 3, Penerbit PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2014, h. 127. 3Ibid., h. 128.
2
di luar tempat kerja yang berkaitan dengan penempatan dan pengaturan hubungan kerja.4 Di
Indonesia hubungan industrial (industrial relation) merupakan hubungan yang terbentuk antara
para pelaku dalam produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh, yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 (Pasal 1 angka 16 UU
No. 13 Tahun 2003).5 Dalam proses produksi di perusahaan pihak-pihak yang terlibat secara
langsung adalah pekerja/buruh dan pengusaha, sedangkan pemerintah termasuk sebagai para
pihak dalam hubungan industrial karena berkepentingan untuk terwujudnya hubungan kerja yang
harmonis sebagai syarat keberhasilan suatu usaha, sehingga produktivitas dapat meningkat yang
pada akhirnya akan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan dapat meningkatkan
kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.6
Sarana yang dibutuhkan untuk terciptanya hubungan industrial yang ideal di Indonesia,
yaitu: serikat pekerja/serikat buruh, organisasi pengusaha, lembaga kerja sama bipartit, lembaga
kerjasama tripartit, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, peraturan perundang-
undanganketenagakerjaan dan lembaga penyelesaian hubungan industrial.7
Istilah pekerja/buruh mucul sebagai pengganti istilah buruh. Pada zaman feodal atau
zaman penjajahan Belanda dahulu yang dimaksudkan dengan buruh adalah orang-orang pekerja
kasar seperti kuli, mandor, tukang, dan lain-lain. Orang-orang ini oleh pemerintah Belanda
dahulu disebut dengan blue collar (berkerah biru), sedangkan orang-orang yang mengerjakan
pekerjaan “halus” seperti pegawai administrasi yang bisa duduk di meja disebut dengan white
collar (berkerah putih). Biasanya orang-orang yang termasuk golongan ini adalah para
4Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Pengadilan & di luar Pengadilan, Ed.
3, Penerbit PT Raja Grafindo, Jakarta, 2007, h 16. 5Ibid., h 17.
6Ibid.
7 Aloysius Uwiyono, et.al, Op. Cit., h. 66.
3
bangsawan yang bekerja di kantor dan juga orang-orang Belanda dan Timur Asing lainnya.8
Namun kemudian, dengan diundangkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
istilah pekerja digandengkan dengan istilah buruh sehingga menjadi istilah pekerja/buruh.9
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentangKetenagakerjaan dalam Pasal 1
angka 3 memberikan pengertian pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian ini agak umum, tetapi maknanya
lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja, baik perseorangan,
persekutuan, badan hukum maupun badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk apa pun. Penegasan imbalan dalam bentuk apapun ini perlu karena upah selama ini
diberikan dengan uang, padahal ada pula buruh/pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk
barang.10
Dalam hal-hal tertentu yang tercakup dalam pengertian pekerja/buruh diperluas.
Misalnya dalam hal kecelakaan kerja, dalam UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja Pasal 8 ayat (2), ditentukan bahwa:
“termasuk tenaga kerja dalam jaminan kecelakaan kerja ialah:11
a. Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan, baik yang menerima upah maupun
tidak;
b. Mereka yang memborong pekerjaan, kecuali yang memborong adalah perusahaan;
c. Narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang memperkerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain. Istilah yang dipergunakan dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya adalah
8Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Ed. Revisi, Cet. 3,
Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, h. 17-18. 9Ibid., h 19.
10 R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Cet. I, Penerbit CV Pustaka Setia, Bandung, 2013, h. 73.
11 Zaeni Asyhadie, Loc. Cit.
4
majikan yaitu orang atau badan yang memperkerjakan buruh.12
Menurut Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
pengusaha adalah:
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan perusahaan
milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan milknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan
di wilayah Indonesia.
Maksud dari defenisi tersebut adalah:13
Orang perseorangan adalah orang pribadi yang menjalankan atau mengawasi
operasional perusahaan;
Persekutuan adalah suatu bentuk usaha yang tidak berbadan hukum seperti CV,
Firma, Maatschap, dan lain-lain. Baik yang bertujuan untuk mencari keuntungan
untuk mencari keuntungan maupun tidak;
Badan Hukum (recht persoon) adalah suatu badan yang oleh hukum dianggap
sebagai orang, dapat mempunyai harta kekayaan secara terpisah, mempunyai hak
dan kewajiban hukum dan berhubungan hukum dengan pihak lain. Contoh badan
12
Lihat UU No. 21 Tahun 1954 jo UU No. 22 Tahun 1957. 13
Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Cet II, Penerbit PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2007,
h 25.
5
hukum adalah Perseroan Terbatas (PT), Yayasan (Stichting), Koperasi, Pemerintah
Daerah, Negara, dan lain-lain.
Sebagai pemberi kerja pengusaha adalah seorang majikan dalam hubungannya dengan
pekerja/buruh. Pada sisi yang lain pengusaha yang menjalankan perusahaan bukan miliknya
adalah seorang pekerja/buruh dalam hubungannya dengan pemilik perusahaan atau pemegang
saham karena bekerja dengan menerima upah atau imbalam dalam bentuk lain.14
Perlu pula dibedakan antara pengusaha dan perusahaan karena ada pengusaha yang
sekaligus pemilik perusahaan dan ada yang tidak. Menurut UU No. 13 Tahun 2003 perusahaan
adalah:15
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Kuasa adalah kemampuan atau kesanggupan seseorang untuk melakukan sesuatu,
wewenang atas sesuatu, dan wewenang untuk menentukan/memerintah/menduduki atau
mengurus.16
Sedangkan Surat kuasa adalah surat yang berisi tentang pemberian kuasa kepada
seseorang untuk mengurus sesuatu.17
Lebih lanjut, yang dapat betindak sebagi kuasa/wakil dalam
perkara perdata padaumumny adalah advokat sesuai Pasal 32 UU 18/2003; Jaksa dengan kuasa
14
Maimun, Op. Cit., h 26. 15
Maimun, Op. Cit., h 26. 16
Sudarsono, Kamus Hukum, Cet 5, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta, 2007, h 232. 17
KBBI edisi ketiga keluaran Balai Pustaka.
6
khusus sebagai kuasa/wakil negara/pemerintah sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) UU 16/2004; biro
hukum pemerintah/TNI/Kejaksaan RI; Direksi/pengurus atau karyawan yang ditunjuk dari suatu
badan hukum;mereka yang mendapat kuasa insidentiil yang ditetapkan oleh ketua pengadilan
(misalnya, LBH, hubungan keluarga, biro hukum TNI/Polri) untuk perkara-perkara yang
menyangkut anggota/keluarga TNI/Polri; dan kuasa insidentil dengan alasan hubungan keluarga
sedarah atau semenda dapat diterima sampai dengan derajat ketiga yang dibuktikan dengan surat
keterangan kepala desa/lurah.18
Ketentuan atau prinsip pokok pemberian kuasa, merujuk kepada BAB KEENAM
BELAS, BUKU KETIGA KUH Perdata tentang Pemberian Kuasa. Menurut 1792 KUH Perdata,
pemberian kuasa (lastgeving, mandate) adalah:19
Persetujuan (overeekomst, agreement) antara pemberi kuasa (lastgever, mandator or
principal), dengan penerima kuasa (lasthebber, mandatory);
Dengan pemberian kuasa itu, penerima kuasa sah bertindak untuk dan atas nama (for
and on behalf) pemberi kuasa melakukan perbuatan hukum yang ditentukan dalam
surat kuasa,
Dalam bertindak melakukan perbuatan hukum, penerima kuasa tidak atau bukan atas
namanya sendiri, tetapi atas nama pemberi kuasa.
Apa yang dikemukan di atas, tidak mengurangi kemungkinan seorang kuasa atau agen
(agent), bertindak atas namanya sendiri untuk kepentingan atau perhitungan orang lain. Namun
umumnya, kuasa bukan bertindak atas namanya sendiri dalam melakukan perbuatan hukum,
18
Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Op. Cit., h. 84. 19
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Ed. I, Cet I, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009
(selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap I), h. 404.
7
tetapi untuk dan atas nama pemberi kuasa atau principal.20
Berakhirnya kuasa terjadi karena
pemberi kuasa menarik kembali kuasa, salah satu pihak meninggal dunia, atau penerima kuasa
melepas kuasa yang diterimanya.21
Kewajiban kuasa menurut Pasal 1800 KUH Perdata, antara lain:
1) Melaksanakan perbuatan hukum yang dikuasakan kepadanya;
2) Menyelesaikan semua urusan atau perbuatan hukum yang yang dilimpahkan
kepadanya sebelum jangka waktu perjanjian kuasa berakhir;
3) Kuasa wajib memberi laporan kepada pemberi kuasa tentang tindakan apa saja yang
dilakukannya, serta memberi perhitungan kepada pemberi kuasa tentang segala apa
yang diterimanya (Pasal 1802 KUH Perdata);
4) Bertanggung jawab atas tindakan yang dibuat orang yang ditunjuknya, padahal
kepadanya tidak diberi hak substitusi, atau kepadanya diberi hak substitusi tanpa
menyebut namanya, dan ternyata orang yang ditunjuknya tidak cakap dan tidak
mampu (Pasal 1803 KUH Perdata);
5) Kuasa wajib menanggung segala kerugian dan bunga yang timbul atas keingkaran
atau kelalaian kuasa melaksanakan apa yang dikuasakan kepadanya.
Adapun kewajiban pemberi kuasa, yang terpenting di antaranya:22
1) Pemberi kuasa wajib memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh kuasa dengan
pihak ketiga, sepanjang perikatan itu masih dalam batas-batas kekuasaan yang
diberikan kepada kuasa (Pasal 1807 KUH Perdata);
20Ibid.
21 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, ed., Panduan Bantuan Hukum di Indonesia,
Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 2009, h 44-45. 22
M. Yahya Harahap I, Op. Cit., h. 405.
8
2) Pemberi kuasa wajib membayar ganti rugi kepada kuasa tentang kerugian yang
diderita sewaktu menjalankan kuasa, dengan syarat asal kuasa tidak bertindak kurang
hati-hati (carelessly) (Pasal 1809 KUH Perdata).
Jadi menurut prinsip hukum perjanjian, pemberi kuasa bertanggung jawab penuh atas
segala perbuatan hukum yang dilakukan kuasa dengan syarat perbuatan yang dilakukannya tidak
melampaui wewenang yang diberikan pemberi kuasa sesuai dengan hal-hal yang dirinci atau
ditentukan dalam surat kuasa, sebagaimana hal itu ditegaskan dalam putusan MA No.
311K/Sip/1973. Pemberian ganti rugi itu kepada kuasa adalah sebesar yang telah
dikeluarkannya, terhitung sejak tanggal pemberian kuasa.23
Penunjukan kuasa dalam surat gugatan diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR (Pasal 147