Top Banner
1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG Kemiskinan merupakan salah satu persoalan sosial yang hingga saat ini masih sulit ditanggulangi dan diselesaikan. Indonesia masih dikatakan sebagai Negara miskin, karena di dalamnya masih banyak yang berteriak karena kelaparan dan hidup yang tidak layak. Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan Provinsi ketiga di Indonesia yang masih ada dalam kategori Provinsi miskin, yaitu tercatat dengan presentase 22,58%. 1 Kemiskinan yang terjadi di NTT tidak saja berada di satu titik wilayah NTT, tetapi mencakup beberapa wilayah atau Kabupaten yang tergolong daerah penduduk miskin. Salah satu Kabupaten miskin di NTT adalah Kabupaten Kupang yang terletak di bagian Timur Kota Kupang. Angka kemiskinan di Kabupaten Kupang dapat dikatakan cukup tinggi, yang mana mencapai 20,06% dengan indeks keparahan kemiskinan 3,28% dan 0,78%. 2 Masih banyak masyarakat Kabupaten Kupang yang ketinggalan dalam pendidikan dan rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM), dikarenakan tingkat kemiskinan yang cukup tinggi dihadapi. Hampir di setiap sudut Kabupaten Kupang dapat ditemukan penduduk miskin. Salah satu contohnya, dapat dilihat dalam kehidupan di Desa Tuapukan. Meskipun Desa Tuapukan bukanlah sebuah desa yang berada di pinggiran Kabupaten Kupang, akan tetapi desa Tuapukan masih dapat dikategorikan sebagai desa yang ketinggalan dalam pendidikan dan rendahnya SDM karena persoalan kemiskinan. Desa Tuapukan adalah desa Kristen, karena kurang lebih 85% masyarakat desa Tuapukan adalah warga gereja GMIT Zaitun 1 http://ideas-aceh.org/10-provinsi-termiskin-di-indonesia/ diakses pada 10 Mei 2016. 2 http://www.zonalinenews.com/2016/03/kemiskinan-di-kabupaten-kupang-cukup-tinggi/ diakses pada 10 Mei 2016.
12

BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG · PENDAHULUAN . I. LATAR BELAKANG Kemiskinan merupakan salah satu persoalan sosial yang hingga saat ini masih sulit ditanggulangi dan diselesaikan.

Nov 14, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG · PENDAHULUAN . I. LATAR BELAKANG Kemiskinan merupakan salah satu persoalan sosial yang hingga saat ini masih sulit ditanggulangi dan diselesaikan.

1

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Kemiskinan merupakan salah satu persoalan sosial yang hingga saat ini masih sulit

ditanggulangi dan diselesaikan. Indonesia masih dikatakan sebagai Negara miskin, karena

di dalamnya masih banyak yang berteriak karena kelaparan dan hidup yang tidak layak.

Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan Provinsi ketiga di Indonesia yang masih ada

dalam kategori Provinsi miskin, yaitu tercatat dengan presentase 22,58%.1 Kemiskinan

yang terjadi di NTT tidak saja berada di satu titik wilayah NTT, tetapi mencakup beberapa

wilayah atau Kabupaten yang tergolong daerah penduduk miskin.

Salah satu Kabupaten miskin di NTT adalah Kabupaten Kupang yang terletak di

bagian Timur Kota Kupang. Angka kemiskinan di Kabupaten Kupang dapat dikatakan

cukup tinggi, yang mana mencapai 20,06% dengan indeks keparahan kemiskinan 3,28%

dan 0,78%.2 Masih banyak masyarakat Kabupaten Kupang yang ketinggalan dalam

pendidikan dan rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM), dikarenakan tingkat kemiskinan

yang cukup tinggi dihadapi.

Hampir di setiap sudut Kabupaten Kupang dapat ditemukan penduduk miskin.

Salah satu contohnya, dapat dilihat dalam kehidupan di Desa Tuapukan. Meskipun Desa

Tuapukan bukanlah sebuah desa yang berada di pinggiran Kabupaten Kupang, akan tetapi

desa Tuapukan masih dapat dikategorikan sebagai desa yang ketinggalan dalam pendidikan

dan rendahnya SDM karena persoalan kemiskinan. Desa Tuapukan adalah desa Kristen,

karena kurang lebih 85% masyarakat desa Tuapukan adalah warga gereja GMIT Zaitun

1 http://ideas-aceh.org/10-provinsi-termiskin-di-indonesia/ diakses pada 10 Mei 2016.

2 http://www.zonalinenews.com/2016/03/kemiskinan-di-kabupaten-kupang-cukup-tinggi/ diakses pada 10 Mei 2016.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG · PENDAHULUAN . I. LATAR BELAKANG Kemiskinan merupakan salah satu persoalan sosial yang hingga saat ini masih sulit ditanggulangi dan diselesaikan.

2

Tuapukan, dan masyarakat lainnya bergereja di gereja Kristen Katolik dan juga gereja

Fajar Anugerah (salah satu gereja dari dedominasi GBI) yang juga terletak di desa

Tuapukan. Dengan demikian, data kemiskinan terkait penduduk desa Tuapukan juga dapat

diperoleh dari kehidupan warga gereja GMIT Zaitun. Sebagaimana tercatat berdasarkan

hasil sensus yang dilakukan oleh Majelis Jemaat pada tahun 2014, yaitu warga GMIT

Jemaat Zaitun berjumlah sebanyak 357 KK (Kepala Keluarga) yang terdiri dari 1.376 jiwa

yakni 689 orang laki-laki dan 687 orang perempuan. Secara umum pekerjaan warga gereja

setempat, adalah 85% Penyadap Lontar dan Petani,3 10% PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan

Honor, 5% TNI dan Polri.4

Berdasarkan data jumlah warga gereja dan pendidikan serta pekerjaan warga

gereja, maka dapat diperhatikan bahwa pekerjaan pokok yang dilakukan oleh warga gereja

setempat adalah penyedap lontar dan bertani. Hal tersebut dapat diasumsikan, bahwa

GMIT Jemaat Zaitun berada di antara mereka yang belum mengalami perubahan sosial

terkait persoalan ekonomi. Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa desa Tuapukan

merupakan desa Kristen, maka meskipun di tengah kemiskinan atau persoalan sosial

lainnya, warga gereja yang juga adalah masyarakat setempat masih dapat berpartisipasi

dalam ikut serta membangun gedung ibadah yang megah.

Fenomena kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Kupang khususnya desa

Tuapukan, merupakan suatu permasalahan sosial yang kompleks. Di mana tanpa disadari

ada dua hal yang telah berjalan bersama-sama, memiliki keterkaitan satu dengan yang

lainnya, dan memiliki pengaruh yang kuat. Hal tersebut terlihat dalam kehidupan

religiositas yang tinggi dihidupi oleh warga gereja GMIT Jemaat Zaitun, yang mana

3 Musim panas Jemaat menyadap nira dan musim hujan mereka bekerja di kebun. Menyadap Nira

merupakan pekerjaan pokok masyarakat setempat, sehingga Desa Tuapukan terkenal sebagai Desa pabrik gula lempeng (sejenis gula jawa atau gula merah) dan juga sebagai Desa Pohon Tuak (Lontar). Sedangkan di musim hujan masyarakat Desa Tuapukan sering menanam jagung, singkong dan beberapa jenis sayur-sayuran.

4 Data diambil dari LPJ 2014 dalam Persidangan Majelis Jemat Zaitun Tuapukan yang diadakan pada bulan Januari 2015.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG · PENDAHULUAN . I. LATAR BELAKANG Kemiskinan merupakan salah satu persoalan sosial yang hingga saat ini masih sulit ditanggulangi dan diselesaikan.

3

mampu menghadirkan sikap dalam membangun gedung ibadah yang megah di tengah

persoalan sosial seperti kemiskinan. Artinya, bahwa warga gereja berada di tengah

persoalan kemiskinan, tetapi hal tersebut tidak menjadi penghalang utama bagi mereka

untuk membangun gedung ibadah yang dianggap sebagai rumah Tuhan, dan menjadi

tempat persekutuan antara mereka dengan Tuhan.

Aloysius Pieris melihat kereligiusan dan kemiskinan sebagai matriks teologi di

kehidupan orang Asia.5 Dalam hal ini, Pieris menyampaikan bahwa kemiskinan dan

kereligiusan merupakan ciri khas yang dimiliki dan dihidupi di Asia. Dua hal tersebut

memiliki keterkaitan satu sama lainnya hingga memberi pengaruh yang kuat bagi

kehidupan orang Asia. Namun, sifat khas yang membedakan Asia dengan negara-negara

miskin lainnya, ialah kereligiusan yang beragam.6 Dengan kata lain, dapat diketahui

bahwa orang Asia tidak dapat meningkatkan nilai kereligiusan mereka apabila tidak ada

keprihatinan terhadap kaum miskin di Asia, dan begitu juga kemiskinan di Asia tidak dapat

ditanggulangi apabila tidak mempertimbangkan aspek kereligiusannya. Bagi Pieris, hal

tersebut merupakan tantangan bagi gereja Asia dalam menemukan suatu titik tersembunyi

yang mempertautkan kemiskinan dan kereligiusan.7

Oleh karena itu, Pieris kembali mempertanyakan, apakah bagi orang Asia

kemiskinan secara otomatis dipahami sebagai penderitaan semata-mata? Ataukah ada nilai

lain kemiskinan, yang potensial mendukung upaya memperoleh keselamatan, sehingga

kemiskinan dapat juga disebut suatu kebajikan?8 Merespon pertanyaan di atas, maka

menurut hemat penulis pertanyaan terkait kemiskinan sebagai penderitaan atau suatu

kebajikan perlu disampaikan kepada warga gereja GMIT Zaitun. Artinya, bahwa dengan

melihat gambaran singkat dari matriks teologi Asia yang diuraikan oleh Pieris, maka ada

5 Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1 “Allah Penyelamat” (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 230. 6 Dister, Teologi Sistematika 1, 231. 7 Dister, Teologi Sistematika 1, 232.

8 Dister, Teologi Sistematika 1, 232.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG · PENDAHULUAN . I. LATAR BELAKANG Kemiskinan merupakan salah satu persoalan sosial yang hingga saat ini masih sulit ditanggulangi dan diselesaikan.

4

kemungkinan hal tersebut juga secara tidak sadar dihidupi oleh warga gereja (dalam hal ini

masyarakat desa Tuapukan). Dari tahun ke tahun kemiskinan tidak begitu direspon dengan

baik, sedangkan peningkatan nilai religius semakin dipertahankan di tengah konteks

kemiskinan. Hal ini menujukkan, bahwa kemungkinan ada nilai lain kemiskinan dan

kereligiusan yang dihidupi oleh warga gereja. Di mana, kemungkinan tersebut memiliki

pengaruh yang kuat di dalam sikap pembangunan gedung ibadah (baca:rumah Tuhan)

dibandingkan memperhatikan persoalan kemiskinan.

Gereja yang mengabarkan Injil di tengah Kekristenan, maka dengan sendirinya gereja

juga diberikan peluang yang besar untuk mengekspresikan segala metode pengajaran

berdasarkan doktrin gereja yang dihidupi. Di samping itu, gereja tidak saja diberikan ruang

untuk mengabarkan Injil sebagai warta keselamatan. Akan tetapi, gereja juga diberikan

kesempatan dengan mudah membangun gedung ibadah. Adanya peluang besar bagi gereja

(GMIT) untuk membangun gedung ibadah, sehingga tidaklah mengherankan bila GMIT

pada umumnya memiliki gedung ibadah yang besar dan megah.

GMIT pada umumnya selalu berupaya untuk membangun gedung ibadah yang

besar dan megah meskipun mereka berada di tengah konteks kemiskinan. Hal tersebut

terjadi, karena ada kemungkinan salah satu tolok ukur yang dipakai sebagai nilai

keberhasilan suatu gereja, yaitu ketika gereja tersebut dapat memiliki warga gereja yang

banyak, dan berhasil menggerakkan warga gerejanya untuk bekerja sama dalam

membangun gedung ibadah yang bagus. Selain dari itu, secara umum pembangunan

gedung ibadah terjadi karena seringkali warga gereja merasa bahwa gedung ibadah yang

lama tidaklah layak dipakai dan tidak mencukupi kapasitas jemaat yang ada, sehingga

dengan kondisi ekonomi gereja yang mampu atau tidak, pembangunan gedung ibadah akan

tetap diupayakan. Padahal, berbicara mengenai kapasitas warga gereja, maka salah satu

solusi yang dapat dilakukan adalah menambahkan jadwal kebaktian di hari minggu,

Page 5: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG · PENDAHULUAN . I. LATAR BELAKANG Kemiskinan merupakan salah satu persoalan sosial yang hingga saat ini masih sulit ditanggulangi dan diselesaikan.

5

sehingga biaya yang dipakai untuk pembangunan dapat digunakan dalam penanggulangan

persoalan kemiskinan. Fenomena pembangunan gedung ibadah di GMIT, terkesan seperti

perlombaan. Hal tersebut dikatakan suatu perlombaan, karena gereja-gereja selalu berpikir,

mengutamakan, dan berupaya untuk membangun gedung ibadah yang besar dan megah.

Sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan bergereja di GMIT pada umumnya, maka hal

tersebut juga dilakukan oleh GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan. GMIT Jemaat Zaitun

merupakan salah satu gereja yang berada di tengah konteks kemiskinan, dan GMIT Jemaat

Zaitun juga merupakan salah satu gereja yang juga berupaya dalam membangun gedung

ibadah.

Jalinan kemiskinan dan kereligiusan terjadi di desa Tuapukan. Nilai kereligiusan

yang tinggi memampukan warga gereja untuk tetap berpartisipasi dalam membangun

gedung ibadah. Kemiskinan yang terjadi di desa Tuapukan tidak menjadi penghalang bagi

gereja dalam membangun gedung ibadah. Di mana gereja bersama warga gerejanya saat ini

mampu dan telah berhasil membangun gedung ibadah yang megah dengan biaya yang

cukup besar. Kurang lebih biaya yang tercatat dalam proses pembangunan gedung ibadah

GMIT Jemaat Zaitun saat ini, telah mencapai 85% dalam penyelesaian pembangunan

dengan menghabiskan biaya sebesar Rp. 1.470.000.000,- 9

melebihi dari budget awal, yaitu

Rp. 845.485.000,-10

sedangkan pembangunan ini belum benar-benar selesai. Biaya yang

tercatat merupakan tolok ukur kemewahan sebuah Gedung ibadah.

9 Data pengeluaran Pembangunan Gedung ibadah GMIT Jemaat Zaitun diperoleh berdasarkan

pembukuan yang dibuat oleh Panitia pembangunan, yaitu Laporan Pertanggungjawaban Program Kerja Panitia Pembangunan Jemaat Zaitun Tuapukan Tahun Pelayanan 2014. Nominal Pengeluaran yang tercatat belum termasuk pembayaran ongkos tukang, dan lainnya. Pengeluaran sebesar Rp. 1.470.000.000,- merupakan pengeluaran pembangunan gedung ibadah yang meliputi, tahap pertama/pekerjaan galian dan fondasi (Rp.187.818.500,-), tahap kedua/pekerjaan sloof bawah, sloof atas dan atap (Rp.384.299.625,), tahap ketiga/pekerjaan tembok, konsistori, pembongkaran bangunan lama dan timbunan (Rp. 196.344.500,-), tahap keempat/pekerjaan lantai tempat majelis Jemaat, kusen pintu dan jendela, instalasi listrik, plesterean, balkon dan interior (Rp. 150.000.000,-), tahap kelima/pekerjaan plafon, lantai, cat dan kaca bagian atap depan (Rp. 300.000.000,-), dan tahap keenam/pekerjaan teras depan, menara dan lonceng gereja (150.000.000,-).

10 Data diambil dari Proposal Kegiatan Pembangunan Gedung ibadah Jemaat Zaitun Tuapukan pada tahun 2009.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG · PENDAHULUAN . I. LATAR BELAKANG Kemiskinan merupakan salah satu persoalan sosial yang hingga saat ini masih sulit ditanggulangi dan diselesaikan.

6

Salah satu alasan warga gereja antusias dalam berpartisipasi membangun gedung

ibadah meskipun di tengah kekurangn ekonomi, karena warga gereja melihat gedung

ibadah sebagai rumah Tuhan yang perlu dibangun dengan megah dan diperhatikan dengan

baik.11

Warga gereja memahami gedung ibadah sebagai suatu tempat yang sakral, di mana

gereja tersebut menjadi ruang bagi mereka untuk bersekutu dengan Tuhan.12

Konsep

rumah Tuhan dan tempat persekutuan ini membuat warga gereja menghadirkan suatu sikap

kerja sama yang baik, sehingga dengan segala upaya hingga saat ini warga gereja telah

berhasil membangun GMIT Jemaat Zaitun menjadi gereja yang megah. Melihat fenomena

demikian, maka yang menjadi pertanyaan, ialah apakah kehadiran gereja hanya untuk

memperlihatkan simbol-simbol ataukah untuk mengembangkan ekonomi dan pendidikan

warga gereja dan untuk membantu mengatasi persoalan sosial?

Pada prinsipnya, keberhasilan warga gereja dalam membangun gedung ibadah yang

megah saat ini, bukanlah suatu sikap dan tindakan yang salah. Justru jika diperhatikan,

maka gereja dan warga gerejanya perlu menerima sebuah apresiasi. Sebab dalam

keterbatasan ekonomi yang dihadapi warga gereja, tidak menutup kemungkinan bagi

gereja dan warga gereja untuk mewujudkan impian mereka dalam memiliki gedung ibadah

(baca: rumah Tuhan) yang nyaman dan bagus. Akan tetapi, fenomena tersebut juga perlu

kembali diperhatikan dengan baik oleh gereja atas keberadaannya di tengah konteks warga

gereja yang mengalami persoalan sosial (baca:kemiskinan). Josef Widyatmadja dalam

tulisannya tentang Yesus & Wong Cilik mengatakan bahwa, gereja-gereja di kota besar

berlomba-lomba membangun gedung ibadah yang megah sambil mengabaikan keadaan

makin meluasnya kemiskinan dan ketidakadilan.13

Gereja sering berpikir bahwa dengan

membangun banyak gedung ibadah, mereka telah membangun kerajaan Allah di bumi

11 Pernyataan tersebut penulis dapatkan melalui wawancara penelitian penulisan Skripsi yang

dilakukan oleh penulis pada tahun 2015. 12 Wawancara Penulisan Skripsi, 2015.

13 Josef P. Widyatmadja, Yesus & Wong Cilik (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 37.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG · PENDAHULUAN . I. LATAR BELAKANG Kemiskinan merupakan salah satu persoalan sosial yang hingga saat ini masih sulit ditanggulangi dan diselesaikan.

7

untuk menyambut kedatangan Yesus.14

Menurut hemat penulis, apa yang dituliskan oleh

Widyatmadja, merupakan suatu realitas yang juga dialami oleh GMIT pada umumnya dan

juga GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan. Dalam kehidupan bergereja maka warga gereja

memahami, bahwa dengan membangun gedung ibadah berarti membangun kerajaan Allah.

Selain tulisan Widyatmadja, penulis juga tertarik dengan cara berpikir seorang teolog

pembebasan, yaitu Gustavo Gutierrez. Di mana dalam upaya menyuarakan pembebasan di

tengah kemiskinan yang terjadi di Amerika Latin, Gutierrez secara kritis menyampaikan,

bahwa gereja seharusnya dapat mewujudkan diri dalam memproklamasikan karya

pembebasan Kristus di tengah-tengah sejarah kemiskinan dan penindasan, atau menjadi

perutusan pembebasan terhadap kemiskinan.15

Dengan kata lain, Guterrez ingin

menyampaikan bahwa di tengah kemiskinan atau persoalan sosial, maka sebenarnya gereja

memiliki peran penting dalam memberikan perubahan sosial atau memberikan pembebasan

bagi mereka yang masih membiarkan diri terbelenggu dalam kemiskinan.

Fokus dari penelitian terhadap pembangunan gedung ibadah yang megah oleh jemaat,

tidak bermaksud merombak gedung ibadah yang sudah ada. Akan tetapi, yang ingin

diperhatikan ialah bagaimana gedung ibadah yang megah dibangun dapat digunakan untuk

memerangi kemiskinan sebagaimana realitas yang dihidupi oleh masyarakat (dalam hal ini

juga warga gereja) desa Tuapukan.

Gereja tidak saja sibuk dengan diri sendiri dan berupaya untuk meningkatkan

kesadaran warga gereja akan partisipasi pembangunan gedung ibadah saja. Melainkan,

perlu adanya upaya gereja dalam meningkatkan kesadaran warga gereja untuk berjuang

meniadakan kemiskinan dalam kehidupan mereka, sehingga gereja yang adalah rumah

Tuhan tidaklah hanya menjadi sebuah ruang alienasi sosial warga gereja dari realitas yang

ada. Sebagaimana istilah yang digunakan oleh Karl Marx dalam melihat agama sebagai

14 Widyatmadja, Yesus & Wong Cilik,37. 15 Martin Chen, Teologi Gustavo Gutierrez (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 21.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG · PENDAHULUAN . I. LATAR BELAKANG Kemiskinan merupakan salah satu persoalan sosial yang hingga saat ini masih sulit ditanggulangi dan diselesaikan.

8

ruang alienasi, maka ada kemungkinan bahwa gereja bisa menjadi sebuah ruang alienasi

sosial bagi warga gereja dari realitas yang sebenarnya mereka alami. Gereja dijadikan

sebagai opium bagi warga gereja. Marx menggunakan istilah opium, karena menurut

sepengatahuan Marx, opium adalah suatu zat narkotik dan halusinigenik, yang mana dapat

menghilangkan rasa sakit dan sekaligus menciptakan fantasi.16

Meminjam dan melihat

istilah yang digunakan oleh Marx, maka menurut hemat penulis ada kemungkinan warga

gereja zaitun melihat gedung ibadah sebagai opium, yang mana adanya sikap antusias

dalam membangun gedung ibadah di tengah kemiskinan. Di mana dengan adanya gedung

ibadah yang megah, dapat mengalihkan warga gereja dari realitas yang menyatakan bahwa

mereka ada dalam persoalan kemiskinan.

Dengan demikian, sebagaimana yang dikatakan Marx tentang alienasi, dan sikap yang

dilakukan oleh warga gereja, maka gereja perlu untuk mewujudkan sebuah teologi

pembebasan. Gereja hadir di tengah dunia ini bukan memberikan ruang bagi jemaatnya

untuk mengasingkan diri. Melainkan gereja hadir untuk menolong jemaatnya, bahkan

memberikan ruang bagi mereka untuk membebaskan diri dari setiap pergumulan dan

persoalan yang dihadapi.

Penulis melihat, bahwa fenomena yang terjadi di GMIT Jemaat Zaitun dapat

memberikan suatu penjabaran permasalahan yang meluas. Dengan begitu, yang menjadi

batasan masalah, ialah penulis akan melihat tentang konsep rumah Tuhan yang dipahami dan

dihidupi oleh warga gereja dalam bergereja, dan pemahaman warga gereja akan fungsi

gedung ibadah yang dibangun dengan megah meskipun di tengah persoalan kemiskinan.

Penulis berharap penelitian ini dapat menjawab pertanyaan penulis yang juga disampaikan

sebagai judul tesis, yaitu Alienasi atau Pembebasan? “Studi mengenai Perspektif GMIT

Jemaat Zaitun Tuapukan terhadap Pembangunan Gedung Ibadah”

16 Karl Marx, Agama sebagai Alienasi dalam Seven Theories of Religion (Yogyakarta: Qalam, 2001).

237.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG · PENDAHULUAN . I. LATAR BELAKANG Kemiskinan merupakan salah satu persoalan sosial yang hingga saat ini masih sulit ditanggulangi dan diselesaikan.

9

Pertanyaan penelitian penulis, yaitu bagaimana pandangan warga GMIT jemaat Zaitun

Tuapukan mengenai gedung ibadah yang telah dibangun? Apakah gedung ibadah yang

dibangun menjadi sebuah tempat mengasingkan diri dari kemiskinan atau menjadi ruang

pembebasan bagi mereka untuk mencari jalan keluar dari kemiskinan? Pertanyaan tersebut

tentu juga membantu gereja dan juga warga gereja untuk kembali berefleksi dengan

mempertanyakan kembali fungsi rumah Tuhan (baca:gedung ibadah) bagi mereka dan

sekitar, sehingga tidak ada kekeliruan dalam memahami konsep rumah Tuhan dalam

mewujudkan kerajaan Allah bagi dunia.

Tujuan penulis dalam memperhatikan fenomena di GMIT Zaitun Tuapukan, yaitu

mendeskripsikan pemahaman warga gereja tentang pemanfaatan gedung ibadah sebagai

media untuk penyelesaian persoalan kemiskinan. Penulis juga bertujuan mengidentifikasi

model-model tindakan yang sudah, sedang, dan akan dilakukan gereja dan warga gereja

untuk mengatasi kemiskinan yang justru lahir dari pemanfaatan yang benar tentang gedung

ibadah. Dengan mendeskripsikan keberadaan gedung ibadah melalui dua hal yakni

alienasi dan pembebasan, maka dengan begitu akan memperlihatkan secara jelas mengenai

kehidupan bergereja di GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan, yaitu apakah warga gereja hanya

menjadikan gedung ibadah sebagai ruang alienasi sosial atau sebagai ruang pembebasan

dari kemiskinan.

Oleh karena itu, dengan kegelisahan yang masih mengusik dalam benak penulis terkait

pembangunan gedung ibadah di tengah kemiskinan, maka penulis berharap melalui

penelitian ini dapat memberikan manfaat baik, yaitu dapat mengarahkan warga gereja

untuk mengetahui fungsi gedung ibadah, dan membantu menemukan solusi yang baik

secara kontekstual bagi gereja dan juga warga gerejanya, sehingga gereja yang adalah

utusan Allah mampu mewujudkan kerajaan Allah melalui realisasi perubahan sosial bagi

dunia khususnya Desa Tuapukan.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG · PENDAHULUAN . I. LATAR BELAKANG Kemiskinan merupakan salah satu persoalan sosial yang hingga saat ini masih sulit ditanggulangi dan diselesaikan.

10

II. METODE PENELITIAN

Untuk itu, agar penulis dapat menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-

pertanyaan penelitian, dan memenuhi suatu karya ilmiah yang valid, maka penulis akan

melakukan penelitian lapangan. Penulis akan menggunakan pendekatan Kualitatif dengan

cara melakukan wawancara terbuka dan observasi (pengamatan). Wawancara terbuka

merupakan tipe wawancara yang berjalan secara santai dan tidak menggunakan bahasa

ataupun pertanyaan-pertanyaan yang kaku.17

Dalam melakukan wawancara terbuka, para

informan tidak dijadikan sebagai objek penelitian melainkan sebagai subjek.18

Alasan penulis memilih pendekatan kualitatif, karena dengan pendekatan ini tidak

membatasi informan dalam menyampaikan pemahaman mereka tentang gereja dan realitas.

Sehingga dalam proses penelitian, maka peneliti dan informan tidak merasa canggung

dalam berbincang. Selain menggunakan wawacanra terbuka untuk memperoleh data,

penulis juga akan melakukan pengamatan atau observasi pada tempat penelitian. Untuk itu,

yang menjadi informan dalam penelitian adalah warga gereja GMIT Zaitun, yakni yang

melingkup beberapa kategorial yang ada dalam struktural gereja. Alasan pemilihan

informan berdasarkan kategorial, agar data yang diperoleh juga berdasarkan suara yang

seimbang. Sehingga akan semakin memperjelas dan memperkaya data yang dibutuhkan

oleh peneliti terkait pertanyaan penelitian yang dimaksud. Selain itu, juga membantu

penulis untuk semakin lebih tajam melakukan analisis dari data yang diperoleh.

Penulis memilih Desa Tuapukan khususnya GMIT Jemaat Zaitun sebagai tempat

penelitian, dikarenakan adanya kegelisahan yang mengusik pikiran penulis. Menurut hemat

penulis, ada banyak tugas yang perlu dilakukan oleh gereja dalam merespon kemiskinan

dan juga memberikan kesadaran kepada warga gereja untuk melihat keberadaan mereka di

tengah kemiskinan. Artinya, bahwa penulis melihat warga gereja memiliki potensi untuk

17 John Mansford, Meneliti Jemaat (Jakarta: PT. Grasindo, 1997), 96. 18 Mansford, Meneliti Jemaat, 96.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG · PENDAHULUAN . I. LATAR BELAKANG Kemiskinan merupakan salah satu persoalan sosial yang hingga saat ini masih sulit ditanggulangi dan diselesaikan.

11

memandirikan diri dan terlepas dari persoalan sosial seperti kemiskinan. Namun, warga

gereja lebih nyaman untuk mempersoalkan persoalan pembangunan gereja yang bagi

mereka adalah rumah Tuhan. Di samping itu, hal-hal yang selalu menjadi pandangan

utama warga gereja ialah semua yang berbau gerejawi. Hal tersebutlah yang menjadi

alasan penulis melakukan penelitian di Desa Tuapukan khususnya GMIT Jemaat Zaitun,

karena yang ingin digali oleh penulis, yaitu sejauh mana yang dipahami dan dihidupi oleh

warga gereja tentang rumah Tuhan.

III. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab 1: Pendahuluan

Pada bagian ini akan berisikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

dan alasan penelitian, dan metode penelitian

Bab 2: Gereja dalam Konteks Kemiskinan, Alienasi, dan Pembebasan

Pada bagian ini penulis akan menguraikan konsep teori yang berkaitan dengan konsep

alienasi dan pembebasan berdasarkan teori Karl Marx dan Gustavo Guiterrez, dan juga

penulis akan memperlihatkan hal-hal terkait kemiskinan serta konsep pembangunan

gedung ibadah.

Bab 3: Pembangunan Gedung Ibadah di Tengah Konteks Kemiskinan

Pada bagian ini, penulis akan menganalisis data-data berdasarkan hasil yang diperoleh dari

lapangan. Setelah itu, penulis juga aka melihat data penelitian dengan konsep teori yang

telah dipahami sehingga dapat menemukan titik terang terkait konsep alienasi dan

pembebasan yang terjadi di GMIT Jemaat Zaitun.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG · PENDAHULUAN . I. LATAR BELAKANG Kemiskinan merupakan salah satu persoalan sosial yang hingga saat ini masih sulit ditanggulangi dan diselesaikan.

12

Bab 4: Gedung Ibadah sebagai Pusat Kehidupan Bergereja di GMIT Zaitun

Tuapukan

Pada bagian ini akan berisikan tentang analisis yang dilakukan oleh penulis secara kritis

atas data penelitian yang diperoleh dan teori yang diuraikan, sehingga dengan

mengevaluasi konsep teori yang telah disajikan dan data penelitan, maka akan kembali

mempertajam serta menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian.

Bab 5: Kesimpulan

Pada bagian terakhir, penulis akan menyimpulkan secara menyeluruh dari penulisan ini,

dan juga penulis akan menyajikan beberapa saran yang dapat membantu warga GMIT

Jemaat Zaitun dalam menemukan fungsi gedung ibadah dan solusi untuk menyelesaikan

persoalan kemiskinan.