1 BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Masalah I.1.1. Hak Bagi Penyandang Difabilitas Sudah menjadi paradigma dalam masyarakat bahwa individu yang berkebutuhan khusus atau difabel dianggap tidak dapat beraktivitas dengan lancar dan seringkali dianggap sebagai beban bagi keluarganya. Difabel dengan segala kekurangan fisiknya akan selalu dianggap membebani individu lain, keluarga, dan masyarakat. Asumsinya, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri saja masih harus bergantung pada orang lain, bagaimana bisa berperan dalam masyarakat. Hak-hak mereka yang seharusnya setara dengan hak individu lain terbaikan, atau tak dapat mereka jangkau karena untuk mendapatkan hak tersebut mereka harus menggunakan fasilitas yang sama dengan individu non-difabel. Difabel adalah istilah yang ditujukan bagi orang-orang dengan kemampuan berbeda atau different ability. Difabilitas mencakup dalam kemampuan fisikal, audit (pendengaran), serta visual (Nussbaumer, 2012). Keterbatasan kemampuan fisikal membuat sebagian dari mereka memerlukan alat bantu seperti kursi roda, tongkat, atau pendukung lainnya. Difabilitas audit dapat didukung oleh alat bantu dengar atau visual yang mencolok. Serta difabilitas visual dapat didukung oleh alat yang mengandalkan kepekaan sentuhan dan suara. Perlu ditekankan bahwa difabel bukan berarti tidak memiliki kemampuan fisikal, audit, ataupun visual. Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2011 tentang pengesahan Convention on the Rights Person With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Difabilitas) menyebutkan bahwa Indonesia telah menandatangani konvensi internasional yang
18
Embed
BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Masalah I.1.1. Hak ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/102651/potongan/S2-2016... · UGM Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015 Dalam Pustral
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang Masalah
I.1.1. Hak Bagi Penyandang Difabilitas
Sudah menjadi paradigma dalam masyarakat bahwa individu yang
berkebutuhan khusus atau difabel dianggap tidak dapat beraktivitas
dengan lancar dan seringkali dianggap sebagai beban bagi keluarganya.
Difabel dengan segala kekurangan fisiknya akan selalu dianggap
membebani individu lain, keluarga, dan masyarakat. Asumsinya, untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri saja masih harus bergantung pada
orang lain, bagaimana bisa berperan dalam masyarakat. Hak-hak mereka
yang seharusnya setara dengan hak individu lain terbaikan, atau tak dapat
mereka jangkau karena untuk mendapatkan hak tersebut mereka harus
menggunakan fasilitas yang sama dengan individu non-difabel.
Difabel adalah istilah yang ditujukan bagi orang-orang dengan
kemampuan berbeda atau different ability. Difabilitas mencakup dalam
kemampuan fisikal, audit (pendengaran), serta visual (Nussbaumer,
2012). Keterbatasan kemampuan fisikal membuat sebagian dari mereka
memerlukan alat bantu seperti kursi roda, tongkat, atau pendukung
lainnya. Difabilitas audit dapat didukung oleh alat bantu dengar atau
visual yang mencolok. Serta difabilitas visual dapat didukung oleh alat
yang mengandalkan kepekaan sentuhan dan suara. Perlu ditekankan
bahwa difabel bukan berarti tidak memiliki kemampuan fisikal, audit,
ataupun visual.
Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2011
tentang pengesahan Convention on the Rights Person With Disabilities
(Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Difabilitas) menyebutkan
bahwa Indonesia telah menandatangani konvensi internasional yang
2
diadakan di New York, 2007, ini dalam rangka menunjukkan
kesungguhan negara Indonesia untuk menghormati, melindungi,
memenuhi, dan memajukan hak-hak penyandang difabilitas, yang pada
akhirnya diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para difabel.
Penyandang difabilitas memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan
atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang
lain, juga hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan sosial
dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat.
Terdapat Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
No.4 Tahun 2012 tentang perlindungan dan pemenuhan hak penyandang
difabilitas, atau lebih mudah disebut sebagai Perda Difabel, yang
merupakan peraturan yang ditujukan untuk mengatur upaya perlindungan
dan pemenuhan hak difabel. Perda ini mencakup hak-hak difabel dalam
berbagai bidang, yaitu di bidang pekerjaan, kesehatan, fasilitas sosial,
seni, budaya dan olahraga, pemberitaan, politik, hukum, serta
penanggulangan bencana, tempat tinggal, aksesibilitas, serta pendidikan.
UGM sebagai lembaga pendidikan sepatutnya mendukung peraturan
tersebut dengan setidaknya memfasilitasi pergerakan difabel dalam
kampus.
I.1.2. Kondisi Aksesibilitas Bagi Difabel di Indonesia
Aksesibilitas mempengaruhi setiap orang, sehingga idealnya semua
akses dapat aksesibel untuk semua, termasuk yang berkebutuhan khusus
seperti lansia dan difabel. Menurut Undang-Undang No.4 Tahun 1997
tentang penyandang cacat pasal 1 ayat 4 menyebutkan, “aksesibilitas
adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna
mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan”. Hal tersebut disebutkan lagi dalam pasal 10 ayat 2,
“penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan
lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat sepenuhnya hidup
bermasyarakat”.
3
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.30 tahun 2006 tentang
Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan
Lingkungan memberikan acuan dalam penyediaan fasilitas dan
aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan. Pedoman tenis ini
seperti disebutkan pada pasal 2, bertujuan untuk mewujudkan
kemandirian dan menciptakan lingkungan binaan yang ramah bagi semua
orang, termasuk lansia dan penyandang cacat.
Namun sayangnya dalam kondisi lingkungan yang ada sekarang
aksesibilitas masih kurang teraplikasi, terutama di kawasan yang tidak
terlalu maju. Tentunya dalam menghadapi kondisi lingkungan tersebut
menimbulkan frustasi tersendiri bagi para difabel. Bangunan-bangunan,
fasilitas-fasilitas, dan bahkan jalur untuk dapat berpindah tempat saja
tidak selalu mudah atau bahkan tidak memungkinkan bagi mereka untuk
menggunakannya tanpa bantuan orang lain. Salah satu cara yang sudah
difabel tempuh dan perjuangkan untuk menghadapi masalah tersebut
adalah dengan mendapatkan SIM D, yaitu surat izin untuk difabel agar
dapat mengemudikan kendaraan bermotor.
”Pentingnya penerbitan SIM kepada difabel salah satunya dipicu oleh
belum optimalnya pelayanan angkutan umum dan infrastruktur publik
dalam mengakomodir orang-orang yang mengalami keterbatasan
fisik,” kata Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral)
UGM Danang Parikesit saat berbicara dalam seminar Pemenuhan
Akses Transportasi bagi Kebutuhan yang Beragam di Yogyakarta,
Senin, 29 September 2014.
(Sumber: www.m.tempo.co artikel September 2014 diakses Desember
2015
Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh urban desainer untuk
mencegah kondisi yang semakin tidak kondusif tersebut adalah dengan
menyediakan akses yang memungkinkan difabel untuk menggunakannya
4
secara mandiri. Akses tersebut dalam hal ini berupa jalur pedestrian antar
kawasan dan antar bangunan.
I.1.3. Kondisi Mobilitas dan Aksesibilitas dalam Kawasan Kampus UGM
Dalam menciptakan kawasan yang ramah bagi semua, ada dua aspek
yang sangat berkaitan erat, yaitu mobilitas dan aksesibilitas. Masalah
mobilitas umumnya dapat diatasi dengan perencanaan sistem
transportasi massal, yang berkaitan erat dengan aksesibilitas, dimana
aksesibilitas memberikan peluang untuk semua kalangan dan golongan
agar dapat beraktivitas dengan aman, mandiri, tanpa menjadi objek belas
kasihan dan merasa dilecehkan (Kurniawan, 2007).
Kawasan kampus UGM dalam RTRW Kab. Sleman ditetapkan
sebagi zona pendidikan (Pusat Studi Transportasi dan
Logistik/PUSTRAL UGM, 2005). Di mana zona tersebut harus
memberikan atmosfer pendidikan yang aman (safety area), nyaman
(comfort area), dan kondusif (condusif area) bagi semua pihak selama
proses belajar mengajar, yang mana berlangsung di seluruh kawasan
kampus.
Permasalahan lokasi kampus UGM yang utama adalah
berkembangnya kampus yang awalnya berlokasi di wilayah pedesaan,
telah berkembang menjadi urban campus, dengan berbagai bentuk
konsekuensinya. Salah satunya adalah kawasan kampus dilintasi oleh
jalan-jalan umum dan terdapat fasilitas umum di dalamnya. Yang paling
mencolok adalah keberadaan Jalan Persatuan (Kaliurang) dan Rumah
Sakit Dr.Sardjito. Jalan Persatuan yang merupakan jalan kabupaten
memiliki volume lalu lintas yang cukup padat hampir sepanjang hari,
membelah kawasan kampus menjadi sisi barat dan sisi timur.
Terpisahnya kampus menjadi dua secara langsung dan tidak langsung
mengurangi kelancaran hubungan fungsional kegiatan-kegiatan antara
kedua bagian tersebut (RIPK 2005-2015).
5
Gambar 1. 1 Jalan Persatuan (Jl.Kaliurang) dan Jalan Kesehatan depan
RS Dr.Sardjito
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015
Aksesibilitas disebut di dalam Anggaran Rumah Tangga UGM tahun
2003 pasal 102 mengenai Rencana Induk Kampus (sumber:
www.renbang.ugm.ac.id, diakses pada April 2014). Pasal tersebut
berbunyi: “RIK berfungsi sebagai acuan bagi pelaksanaan tanggung
jawab Pimpinan Universitas untuk menjaga dan meningkatkan kualitas
lingkungan fisik yang efisien, fungsional, dan nyaman. Tujuannya adalah
melaksanakan misi dan mencapai tujuan universitas, yang antara lain
mencakup tata guna lahan, integrasi yang serasi antara bangunan dengan
ruang terbuka, peralatan dan jaringan pelayanan yang memadai, serta
sistem transportasi dan sarana pejalan kaki yang aman dan aksesibel.”
Gambar 1. 2 Jalur Pedestrian Kampus UGM
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015
Dalam kajian Rencana Stratejik Universitas Gadjah Mada (dalam
PUSTRAL, 2005), dikemukakan bahwa prinsip dasar yang terkait
dengan pengembangan fisik kampus sebagai “suatu sistem interaksi
sosial yang khas masyarakat akademis, mandiri, dan berwawasan
6
internasional dalam jiwa kebangsaan yang tinggi”. Hal ini kemudian
mengarah kepada visi dan arah pengembangan kampus dengan
mewujudkan kampus yang educopolis, yang implementasinya berupa
suatu lingkungan kondusif untuk proses pembelajaran dalam konteks
pengembangan kolaborasi multidisiplin dan tanggap terhadap isu ekologi
demi mencapai visi universitas (RTBL UGM). Di antaranya dengan
mengembangkan transportasi sepeda dan pejalan kaki dalam kampus,
sehingga peran jalur pedestrian sangat besar di dalamnya.
Aksesibilitas bagi difabel tentunya menjadi bagian dalam ART dan
Rencana Stratejik yang telah disebutkan sebelumnya, hanya tidak
dicantumkan secara eksplisit. Hal ini berpengaruh pada pembangunan
fisik, yaitu aksesibilitas bagi difabel masih kurang maksimal, belum
terencana secara spesifik dan merata di seluruh kawasan kampus.
Gambar 1. 3 Akses Kawasan UGM yang Kurang Ramah Difabel
(Ket: Guiding block pada foto bawah tengah saat ini sudah dikoreksi)
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015
Fasilitas tidak banyak membantu pergerakan pengguna tuna netra.
Guiding block bisa terputus di ujung jalur pedestrian, juga tidak menerus
di sepanjang akses dalam kampus. Untuk rekan tuna daksa yang
menggunakan kursi roda, jalur pedestrian akan susah digunakan karena
7
perbedaan level trotoar dengan jalan serta terputusnya trotoar di tiap
pintu masuk kendaraan.
Kondisi tidak tersebarnya mahasiswa difabel, terkait dengan syarat
penerimaan mahasiswa, sedikit banyak juga memiliki andil dalam hal
tersebut. Mungkin berfikirnya seperti ini, jika tidak ada mahasiswa yang