1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah merupakan awal pelaksanaan konsep otonomi daerah, sebagai wujud proses desentralisasi dalam rangka pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Undang-undang tersebut kini telah direvisi menjadi Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004. Implikasi Undang-Undang tersebut ialah daerah memiliki porsi kewenangan yang sangat besar dibandingkan dengan era sebelumnya. Pasal 18 UU No.32 tahun 2004 menyatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut. Kewenangan pengelolaan wilayah laut diberikan kepada provinsi sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau perairan kepulauan dan sepertiganya untuk wilayah kewenangan laut kabupaten/kota. Berdasarkan kewenangan pengelolaan laut yang dapat diterima oleh daerah, maka penting bagi pemerintah daerah sebagai pelaksana utama otonomi untuk memahami, mengatur, dan menetapkan wilayah kewenangannya di wilayah laut. Kondisi ini berkaitan erat dengan hak mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di laut sehingga dapat dikelola secara maksimal (Arsana, 2005). Aspek tata batas wilayah laut yakni penetapan dan penegasan batas di wilayah laut menjadi suatu aktivitas yang bernilai strategis, hal ini diungkapkan oleh Sugito (2008) mengingat tingginya nilai suatu wilayah bagi pemerintah daerah, tidak hanya bagi daerah yang bersangkutan namun bagi daerah-daerah yang berbatasan pula. Untuk melaksanakan penegasan batas daerah ditetapkan peraturan berupa “Pedoman Penegasan Batas Daerah” melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (selanjutnya disebut Permendagri) Nomor 1 tahun 2006. Penetapan Permendagri ini didasarkan pula pada urgensi penentuan luas wilayah suatu daerah. Luas wilayah suatu daerah merupakan salah satu parameter dalam menentukan besar Dana Alokasi Umum yang diterima oleh tiap-tiap daerah sesuai dengan UU No.33 tahun 2004
21
Embed
BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64449/potongan/S1-2013... · penentuan batas di wilayah laut untuk daerah ... dalam penegasan batas
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah merupakan awal pelaksanaan konsep otonomi daerah, sebagai wujud proses
desentralisasi dalam rangka pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah. Undang-undang tersebut kini telah direvisi menjadi Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004. Implikasi Undang-Undang tersebut ialah daerah
memiliki porsi kewenangan yang sangat besar dibandingkan dengan era sebelumnya.
Pasal 18 UU No.32 tahun 2004 menyatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah
laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut.
Kewenangan pengelolaan wilayah laut diberikan kepada provinsi sejauh 12 mil laut
yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau perairan kepulauan dan
sepertiganya untuk wilayah kewenangan laut kabupaten/kota.
Berdasarkan kewenangan pengelolaan laut yang dapat diterima oleh daerah,
maka penting bagi pemerintah daerah sebagai pelaksana utama otonomi untuk
memahami, mengatur, dan menetapkan wilayah kewenangannya di wilayah laut.
Kondisi ini berkaitan erat dengan hak mengelola dan memanfaatkan sumberdaya
alam yang terdapat di laut sehingga dapat dikelola secara maksimal (Arsana, 2005).
Aspek tata batas wilayah laut yakni penetapan dan penegasan batas di wilayah laut
menjadi suatu aktivitas yang bernilai strategis, hal ini diungkapkan oleh Sugito
(2008) mengingat tingginya nilai suatu wilayah bagi pemerintah daerah, tidak hanya
bagi daerah yang bersangkutan namun bagi daerah-daerah yang berbatasan pula.
Untuk melaksanakan penegasan batas daerah ditetapkan peraturan berupa
“Pedoman Penegasan Batas Daerah” melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri
(selanjutnya disebut Permendagri) Nomor 1 tahun 2006. Penetapan Permendagri ini
didasarkan pula pada urgensi penentuan luas wilayah suatu daerah. Luas wilayah
suatu daerah merupakan salah satu parameter dalam menentukan besar Dana Alokasi
Umum yang diterima oleh tiap-tiap daerah sesuai dengan UU No.33 tahun 2004
2
tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Permendagri No.01 tahun 2006 berisi mengenai ketentuan dan acuan teknis dalam
pelaksanaan penegasan batas daerah baik di darat maupun di laut. Permendagri ini
telah digunakan sebagai acuan bagi pemerintah daerah selama enam tahun terakhir.
Permendagri No.01 tahun 2006 kini dicabut dan dibatalkan dengan telah
diundangkannya Permendagri baru yakni Permendagri No.76 tahun 2012 pada
tanggal 14 Desember tahun 2012. Pertimbangan adanya revisi peraturan ini
disebutkan bahwa Permendagri No.01 tahun 2006 tidak sesuai dengan perkembangan
keadaan dan kurang memadai dalam proses percepatan penyelesaian batas daerah.
Pergantian peraturan mengakibatkan ketentuan dan pedoman dalam penegasan batas
daerah, khususnya batas daerah di wilayah laut mengalami perubahan. Salah satu
ketentuan yang diubah yakni berkaitan dengan acuan penarikan garis batas
kewenangan pengelolaan laut daerah, sehingga perbedaan garis acuan tersebut
memungkinkan untuk menghasilkan konfigurasi garis batas yang berbeda.
Perbedaan penerapan garis acuan pada kedua Permendagri tersebut,
melatarbelakangi perlu adanya kajian penegasan batas kewenangan pengelolaan
wilayah laut daerah yang dilakukan secara kartometrik. Kartometrik, dalam bahasan
ini memiliki makna melakukan penegasan batas kewenangan pengelolaan wilayah
laut daerah di atas peta laut.
I.2. Rumusan Masalah
Perubahan mengenai pedoman penegasan batas daerah dengan pencabutan
Permendagri No.01 tahun 2006 dan pemberlakuan Permendagri No.76 tahun 2012
memberikan perubahan terhadap metode dan hasil penegasan batas kewenangan
pengelolaan wilayah laut daerah. Bertolak pada kondisi adanya perbedaan prinsip
mengenai penggunaan garis acuan yang digunakan dalam penarikan klaim batas
kewenangan pengelolaan daerah di wilayah laut, penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui pengaruh dari perubahan penerapan garis acuan terhadap hasil penegasan
batas kewenangan pengelolaan wilayah laut suatu daerah.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis memiliki fokus pertanyaan
penelitian yaitu, sebagai berikut:
3
1. Seberapa besar perbedaan luas area pertampalan klaim daerah di wilayah
laut yang dihasilkan atas dasar Permendagri No.01 tahun 2006 dan
Permendagri No.76 tahun 2012?
2. Seberapa besar perbedaan luas kewenangan pengelolaan daerah di wilayah
laut yang dihasilkan atas dasar Permendagri No.01 tahun 2006 dan
Permendagri No.76 tahun 2012?
3. Bagaimana perbedaan posisi garis batas daerah di wilayah laut yang
dihasilkan atas dasar Permendagri No.01 tahun 2006 dan Permendagri
No.76 tahun 2012?
I.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perbedaan penerapan garis acuan sesuai dengan ketentuan
Permendagri No.01 tahun 2006 dan Permendagri No.76 tahun 2012, maka tujuan
yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu, sebagai berikut :
1. Mengetahui besar perbedaan luas area pertampalan klaim daerah di wilayah
laut.
2. Mengetahui besar perbedaan luas kewenangan pengelolaan daerah di
wilayah laut.
3. Mengetahui perbedaan posisi garis batas daerah di wilayah laut.
I.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Sebagai salah satu tulisan yang dapat dijadikan referensi terkait penegasan
kewenangan pengelolaan laut daerah bagi pemerintah daerah maupun
instansi yang berwenang.
2. Memberikan alternatif penegasan batas daerah di wilayah laut pada segmen
batas yang saling berbatasan di lokasi penelitian.
4
I.5. Batasan Masalah
Pembatasan masalah dalam pelaksanaan penelitian ini meliputi :
1. Lokasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah segmen batas
provinsi saling berhadapan dan saling berdampingan. Lokasi penelitian
untuk daerah pantai yang berbatasan saling berhadapan dipilih pada segmen
batas Provinsi Jambi dengan Provinsi Kepulauan Riau, segmen batas
Provinsi Riau dengan Provinsi Kepulauan Riau, dan segmen batas Provinsi
Lampung dengan Provinsi Banten. Daerah provinsi berbatasan saling
berdampingan dipilih pada empat segmen yakni, segmen batas Provinsi
Jambi dengan Provinsi Riau dan Sumatera Selatan, serta segmen batas
antara Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan Provinsi Banten dan Jawa
Barat.
2. Penentuan garis batas dilakukan dengan prinsip sama jarak atau
equidistance line dan prinsip median line dengan menggunakan tools
Voronoi Diagram pada aplikasi Sistem Informasi Geografis.
I.6. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai kajian penentuan batas kewenangan wilayah laut daerah di
Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa
peneliti, diantaranya Adnyana (2007), Purnomo (2007) dan Prabandari (2013).
Ketiga penelitian tersebut merupakan skripsi yang membahas topik yang sama yakni
penelitian untuk menentukan dan mengetahui cakupan daerah yang menjadi suatu
kewenangan wilayah laut daerah tertentu secara kartometrik. Penelitian yang
dilakukan oleh Adnyana (2007) dan Purnomo (2007) dilakukan berdasarkan
Permendagri No.01 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah,
sedangkan penelitian Prabandari (2013) dilakukan berdasarkan Permendagri No.76
tahun 2012 dan Permendagri No.01 tahun 2006.
Penelitian yang dilakukan oleh Adnyana (2007) dengan judul “Delimitasi
Batas Maritim Antara Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat” mengkaji
cakupan kewenangan wilayah laut Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat
5
di Selat Lombok serta pengaruh penerapan garis dasar normal dan garis dasar lurus
terhadap penarikan batas wilayah laut. Penelitian Adynana (2007) dilakukan dengan
simulasi penarikan klaim di wilayah laut untuk masing-masing provinsi sejauh 12
mil laut berdasar penerapan garis dasar lurus dan normal, kemudian menentukan
pertampalan klaim dalam simulasi tersebut, sehingga pada pertampalan tersebut
dilakukan penentuan batas di wilayah laut dengan prinsip garis tengah (median line).
Penelitian Adnyana (2007), menyimpulkan bahwa untuk provinsi dengan bentuk
kepulauan, penggunaan jenis garis dasar lurus cenderung akan menambah luas klaim
wilayah laut, sehingga penerapan garis pangkal lurus pada Provinsi Bali maupun
Provinsi Nusa Tenggara Barat akan menguntungkan masing-masing provinsi tersebut
karena dapat melakukan klaim wilayah laut lebih luas.
Penelitian kedua yang dilakukan oleh Purnomo (2007) berjudul “Kajian
Penentuan Batas Maritim Daerah antara Kabupaten Cilacap dengan Kabupaten
Kebumen Berdasarkan Garis Dasar Normal dan Garis Dasar Lurus menggunakan
Metode Ekuidistan”. Aspek yang dikaji dalam penelitian oleh Purnomo (2007) sama
dengan penelitian oleh Adnyana (2007), begitu pula dengan teknis prosedural
penelitian yang dilakukan serta perangkat lunak yang digunakan yakni Caris Lots.
Perbedaan kedua penelitian tersebut adalah wilayah kajian yang diteliti. Penelitian
Purnomo (2007) ialah kabupaten yang saling berdampingan dan berhadapan dengan
laut lepas, sehingga untuk melakukan klaim di wilayah laut masing-masing
kabupaten dapat dilakukan sejauh 1/3 dari 12 mil yakni 4 mil laut. Delimitasi atau
penentuan batas di wilayah laut untuk daerah bertampalan antara kedua kabupaten
dilakukan dengan menggunakan prinsip sama jarak (equidistance). Hasil penelitian
Purnomo (2007) menyebutkan bahwa terdapat dua faktor yang berpengaruh dalam
penentuan batas wilayah laut daerah yaitu distribusi titik dasar dan penerapan jenis
garis dasar atau konfigurasi garis dasar yang digunakan. Penarikan batas maritim
antara Kabupaten Cilacap dengan Kabupaten Kebumen berdasarkan garis dasar lurus
lebih menguntungkan karena menghasilkan luasan yang lebih luas bila dibandingkan
dengan penarikan berdasarkan garis dasar normal.
Penelitian ketiga dilakukan oleh Prabandari (2013) berjudul “Delimitasi Batas
Maritim Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali”. Permasalahan yang dikaji dalam
penelitian ini ialah mengenai luas wilayah pertampalan klaim Provinsi Jawa Timur
6
dan Provinsi Bali di selat Bali, serta perbandingan hasil penarikan batas di wilayah
laut menggunakan prinsip median line berdasarkan penarikan garis pantai sesuai
Permendagri No.76 tahun 2012 dan Permendagri No.01 tahun 2006. Penerapan
prinsip median line dilakukan pada perbatasan daerah di wilayah laut saling
berhadapan dengan menggunakan perangkat lunak Auto Cad dan Arc GIS. Penelitian
Prabandari (2013) menyimpulkan bahwa penentuan batas wilayah laut antara
Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali dilakukan dengan prinsip median line
menghasilkan luas wilayah pertampalan apabila menggunakan garis kombinasi
seluas 2.145,735 km2
dan dengan penerapan acuan garis pantai seluas 2.104,142 km2.
Luas perairan pada wilayah pertampalan untuk Provinsi Jawa Timur berdasarkan
penerapan garis pantai adalah 1.113,143 km2 dan untuk Provinsi Bali adalah 990,999
km2; untuk penerapan kombinasi garis dasar, luas perairan Provinsi Jawa Timur
bertambah menjadi 1.145,260 km2 dan untuk Provinsi Bali luas perairannya
bertambah menjadi 1.000,483 km2.
Terdapat perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan
penelitian yang dilakukan oleh ketiga peneliti sebelumnya. Penelitian yang dilakukan
penulis ialah kajian penegasan batas daerah di wilayah laut berdasarkan penerapan
“Pedoman Penegasan Batas Daerah” sesuai dengan Permendagri No.1 tahun 2006
dan Permendagri No.76 tahun 2012. Daerah penelitian yang digunakan dalam kajian
bervariasi pada daerah berbatasan saling berhadapan dan daerah berbatasan saling
berdampingan. Perangkat yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan penerapan
prinsip penegasan batas di wilayah laut baik prinsip sama jarak (equidistance line)
maupun median line menggunakan tools Voronoi Diagram pada aplikasi Sistem
Informasi Geografis.
I.7. Landasan Teori
Dalam sub bab ini disajikan teori yang digunakan sebagai landasan dalam
penelitian kajian penegasan batas kewenangan pengelolaan wilayah laut daerah atas
dasar Permendagri No.01 tahun 2006 dan Permendagri No.76 tahun 2012, yang
meliputi tinjauan yuridis hukum nasional dalam penegasan batas daerah di wilayah
laut, aspek teknis dalam penentuan batas kewenangan pengelolaan wilayah laut
7
daerah, prinsip penegasan klaim kewenangan pengelolaan daerah di wilayah laut,
peta laut, penentuan garis batas dengan prinsip sama jarak menggunakan Voronoi
diagram, dan perhitungan luas secara numerik.
I.7.1. Tinjauan yuridis hukum nasional dalam penegasan batas daerah di
wilayah laut
Perjalanan bangsa Indonesia dalam menetapkan dasar hukum penegasan batas
daerah di wilayah laut tidak serta merta muncul dengan sendirinya. Awal sejarah
dalam penegasan batas daerah di wilayah laut dimulai sejak zaman kolonial Belanda.
Setelah Bangsa Indonesia merdeka selama 15 tahun mulai dari tahun 1945 hingga
tahun 1960, Indonesia mewarisi prinsip hukum laut sama dengan yang diterapkan
oleh Belanda yakni Ordonansi Hindia Belanda 1939. Ordonansi Hindia Belanda
1939 ini disebut Teritoriaie Zeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (Danurejo
dalam Sjawie, 2001). Sjawie (2001) menjelaskan bahwa, berdasarkan prinsip-prinsip
pada ordonansi ini setiap pulau di wilayah Indonesia hanya mempunyai wilayah laut
territorial sejauh 3 mil laut dari garis pantai, sehingga laut yang memisahkan pulau-
pulau merupakan laut bebas. Hal ini sangat bertolak belakang dengan jiwa, maksud
dan isi Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa Nusantara harus
dipandang sebagai satu kesatuan. Selain itu, hal tersebut juga dirasa merugikan bagi
Bangsa Indonesia sehingga pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Indonesia
mengeluarkan Deklarasi Djuanda yang menyatakan bahwa negara Republik
Indonesia merupakan Negara Kepulauan (Archipelagic State). Danusaputro dalam
Sjawie (2001), menjelaskan bahwa publikasi Deklarasi Djuanda ini tidak
mendapatkan perhatian khusus dari masyarakat Internasional, sebaliknya berbagai
reaksi dan protes keras datang dari luar negeri. Hal ini disebabkan karena melalui
Deklarasi ini, laut yang dahulunya merupakan bagian Laut Bebas berubah statusnya
menjadi Perairan Pedalaman.
Perjuangan Bangsa Indonesia dalam mempertahankan konsep Negara
Kepulauan dilakukan pada Konferensi Hukum Laut I tahun 1958 di Jenewa dan
Konferensi II tahun 1960. Sebelum pelaksanaan Konferensi II tahun1960, Indonesia
memberlakukan prinsip Negara Kepulauan dalam sebuah undang-undang yakni
Undang-Undang No.4/Prp./tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (Kusumaatmadja
8
dalam Sjawie, 2001). Pada hakekatnya undang-undang tersebut mengubah cara
penentuan garis pangkal normal menjadi garis pangkal lurus dan menentukan bahwa
lebar Laut Teritorial Indonesia adalah 12 mil laut (Sjawie, 2001). Adanya undang-
undang ini diharapkan lebih menegaskan konsep Negara Kepulauan yang akan
disidangkan pada Konferensi II tahun 1960.
Kusumaatmadja (1978) dalam Sjawie (2001) menjelaskan bahwa dalam kedua
Konferensi Hukum Laut I dan II tidak memberikan uraian yang mendalam mengenai
pengajuan Deklarasi Djuanda, bahkan mendapatkan protes dari wakil pemerintah
USA karena dianggap mengurangi kebebasan di laut. Kusumaatmadja dalam Sjawie
(2001) menjelaskan bahwa, protes negara maritim terhadap konsepsi Negara
Kepulauan tersebut telah diantisipasi pada Deklarasi Djuanda yakni dengan
memberikan garansi berupa hak lintas damai di wilayah perairan Indonesia bagi
kapal asing yang melintas. Pada akhirnya Konferensi III Hukum Laut tahun 1982,
pengajuan konsep Negara Kepulauan oleh Indonesia mendapatkan pengakuan dari
masyarakat Internasioal. Konsep tersebut diakui melalui ketentuan mengenai Negara
Kepulauan dan lebar laut territorial sejauh 12 mil laut yang dimuat dalam Pasal 46
sampai dengan Pasal 54 dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang dikenal
dengan United Nations Convention on the Law of the Sea atau disebut UNCLOS III tahun
1982 (Sjawie, 2001). Pemerintah Indonesia meratifikasi Hukum Laut III 1982 ini dengan
Undang-Undang No.17 tahun 1985. Kemudian, pada tanggal 8 Agustus 1996 UU No.
4/PRP/1960 dibatalkan dengan penerbitan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia yang isinya sangat umum, yaitu menyampaikan hal-hal yang berkaitan
dengan Hukum Laut III 1982 serta tidak mencantumkan daftar koordinat titik-titik
dasar pantai terluar dari pulau terluar wilayah Indonesia. Tindak lanjut dalam
menjalankan konsep Negara Kepulauan, pada tanggal 16 Juni 1998 dikeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1998 tentang Koordinat Geografis Titik Dasar
Kepulauan di Laut Nusantara.
Sejalan dengan adanya desentaralisasi sebagai wujud pembagian kewenangan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maka dikeluarkan Undang-
Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. UU No.22 tahun 1999
mengatur ketentuan mengenai batas laut provinsi sejauh 12 mil laut dari garis pantai
dan untuk kabupaten/kota sejauh sepertiga batas laut provinsi. Pada pelaksanaannya,
9
UU No.22 tahun 1999 ini tidak sesuai dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga perlu
diganti dengan undang-undang yang baru. UU No.22 tahun 1999 memunculkan
istilah yang menimbulkan salah penafsiran mengenai batas daerah di wilayah laut,
yakni dalam Undang-Undang ini menggunakan istilah “batas laut daerah”. Istilah
tersebut banyak ditafsirkan oleh pemerintah daerah sama dengan membagi wilayah
teritori bagi daerah seperti halnya wilayah administrasi di darat, padahal yang
dimaksud sesungguhnya ialah mengatur kewenangan pusat dan daerah di wilayah
laut (Arsana, 2005). Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi terbitnya Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti dari
UU No.22 tahun 1999, dengan mengganti istilah “batas laut daerah” menjadi
“kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut” (Arsana, 2005).
Berkaitan dengan penegasan batas daerah di wilayah laut, UU No.32 tahun
2004 menjelaskan dalam pasal 18 ayat 1 bahwa, setiap daerah provinsi dan
kabupaten/kota yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola
sumber daya di wilayah laut. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di
wilayah laut tersebut dalam hal kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan