BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Studi ini bermaksud mengkaji tata kelola penggunaan dana desa, yang merupakan salah satu sumber pendapatan desa yang langsung berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Kapasitas pemerintah desa dalam pengelolaan dana desa secara langsung akan berimplikasi pada pemanfaatan dana desa tersebut untuk kemajuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa. Kajian ini penting untuk dilakukan karena berdasarkan berbagai regulasi yang ada, setiap desa di Indonesia mendapatkan alokasi anggaran dana desa dalam jumlah yang cukup besar. Regulasi tersebut adalah Undang-Undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa, Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014, PP No. 60 Tahun 2014 yang kemudian direvisi menjadi PP No. 22 Tahun 2015. Untuk tahun 2015 pelaksanaan teknisnya didasarkan pada Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No. 5 Tahun 2015, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.07/2015, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 113 Tahun 2014, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 114 Tahun 2014, dan Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi tentang Percepatan Penyaluran, Pengelolaan dan Penggunaan Dana Desa Tahun 2015. Sedangkan untuk tahun 2016 didasarkan pada Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No. 21 Tahun 2015 yang kemudian diubah menjadi
37
Embed
BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/128426/potongan/S2-2017... · (LPMD), karang taruna, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Studi ini bermaksud mengkaji tata kelola penggunaan dana desa, yang
merupakan salah satu sumber pendapatan desa yang langsung berasal dari
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Kapasitas pemerintah desa
dalam pengelolaan dana desa secara langsung akan berimplikasi pada
pemanfaatan dana desa tersebut untuk kemajuan pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat desa. Kajian ini penting untuk dilakukan karena berdasarkan berbagai
regulasi yang ada, setiap desa di Indonesia mendapatkan alokasi anggaran dana
desa dalam jumlah yang cukup besar. Regulasi tersebut adalah Undang-Undang
No.6 Tahun 2014 tentang Desa, Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014, PP No.
60 Tahun 2014 yang kemudian direvisi menjadi PP No. 22 Tahun 2015. Untuk
tahun 2015 pelaksanaan teknisnya didasarkan pada Peraturan Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No. 5 Tahun 2015, Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.07/2015, Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 113 Tahun 2014, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 114 Tahun 2014, dan
Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi tentang Percepatan
Penyaluran, Pengelolaan dan Penggunaan Dana Desa Tahun 2015. Sedangkan
untuk tahun 2016 didasarkan pada Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi No. 21 Tahun 2015 yang kemudian diubah menjadi
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No. 8
Tahun 2016, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 247/PMK.07/2015, yang
kemudian direfisi menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.07/2016,
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 113 Tahun 2014, dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 114 Tahun 2014. Meskipun demikian, pelaksanaan kebijakan
dana desa tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah
desa. Beberapa permasalahan yang terjadi antara lain terlambatnya perencanaan
dan pencairan dana desa, belum maksimalnya keterlibatan masyarakat, dan
penggunaan dana yang masih tidak sesuai dengan peruntukannya. Persoalan-
persoalan ini erat kaitannya dengan kapasitas pemerintah desa yang belum mampu
menciptakan tata kelola dana desa yang baik.
Desa (menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014) adalah wilayah yang
memiliki hak otonomi terkait penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan
wilayah dan pemberdayaan masyarakat. Salah satu fokus utama UU No. 6 Tahun
2014 adalah peningkatan pembangunan di wilayah desa. Oleh sebab itu, desa
diberi kepercayaan untuk menjalankan pemerintahan dan membangun daerahnya
dengan cara mengatur serta mengelola keuangannya sendiri berdasarakan
peraturan yang berlaku. Untuk melaksanakan hal tersebut desa memerlukan
sumber-sumber keuangannya sendiri yang dapat digunakan untuk membiayai
berbagai macam urusan rumah tangganya seperti pendapatan asli desa, bagi hasil
pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, bagian dari dana perimbangan
keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota, bantuan keuangan
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi dan
kabupaten/kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga serta
alokasi anggaran dari APBN ke kas desa.
Dana desa dinilai sebagai bentuk kepercayaan pemerintah pusat kepada
desa sebagai pemerintahan otonom yang mampu mengelola anggaranya sendiri.
Dalam tujuannya, dana desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan
pemberdayaan masyarakat desa. Hal ini dimaksudkan agar peningkatan
pelayanan publik di desa dapat terwujud sehingga berdampak pada peningkatan
kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa. Selain itu, dana desa
diharapkan mampu mengatasi kesenjangan pembangunan antar desa serta
memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan.
Pemerintah pusat menganggarkan Rp 20,766 triliun untuk dana desa pada
tahun 2015, yang disalurkan dalam tiga tahap penyaluran. Tahap pertama
penyaluran dilakukan pada bulan April sebesar 40%, tahap kedua pada bulan
Agustus sebesar 40% dan tahap ke tiga pada buan November sebesar 20%.
Dalam hal ini, pelaksanaan prioritas penggunaan Dana Desa tahun 2015 diatur
dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi No. 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana
Desa Tahun 2015. Permen tersebut menjelaskan bahwa prioritas penggunaan
dana desa adalah untuk pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.
Sedangakan untuk tahun 2016, pemerintah pusat menganggarkan sebesar Rp 46,
982 triliun. Penyaluran dilakukan pada bulan April sebesar 40%, bulan Agustus
sebesar 40% dan bulan Oktober sebesar 20% dimana pelaksanaan prioritas
penggunaan Dana Desa tahun 2015 diatur dalam Peraturan Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi No. 8 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Permendes PDTT No. 21 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas
Penggunaan Dana Desa Tahun 2016 yang menjelaskan bahwa prioritas
penggunaan dana desa adalah untuk pembangunan desa dan pemberdayaan
masyarakat desa.
Dalam pelaksanaannya, berbagai permasalahan pengelolaan dana desa
terjadi di lapangan. Keterlambatan penyusunan perencanaan baik dalam bentuk
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), Rencana Kerja
Pembangunan Desa (RKPDes), dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBDes) akan berdampak pada terlambatnya proses pencairan dana. Belum
maksimalnya keterlibatan masyarakat dalam penyusunan anggaran dan
pengawasan membuka celah pada penyalahgunaan dana desa. Oleh sebab itu,
dibutuhkan tata kelola dana desa yang baik. Untuk mewujudkan hal tersebut,
maka prinsip-prinsip good governance harus dapat dilakukan mulai tingkatan
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban penggunaan
dana desa.
Pemerintah desa harus dapat memastikan kebijakan dana desa berjalan
sebagai mana mestinya. Namun demikian, keberhasilan pelaksanaan kebijakan
dana desa akan sangat dipengaruhi oleh kapasitas pemerintah desa tersebut.
Secara umum, kapasitas dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk menjalankan
fungsi, menyelesaikan masalah, menetapkan, serta mencapai tujuan.1 Dengan
kata lain pemerintah desa harus memiliki kapasitas yang baik untuk melaksanakan
tugas dan fungsi yang dibebankan kepadanya. Selain itu, pemerintah desa harus
mampu menetapkan dan menjalankan berbagai kebijakan yang ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta menyelesaikan berbagai masalah
yang terkait dengan tugas pokoknya.
Kapasitas merupakan sebuah esensi dan basis otonomi (kemandirian)
desa.2 Dalam hal ini, kapasitas tidak hanya dipandang sebagai kemampuan
sumber daya manusia semata namun juga merupakan sesuatu yang sistemik dan
manajerial. Kapasitas pemerintah desa juga berkaitan dengan proses interaksi
yang terjadi antara pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD),
lembaga-lembaga masyarakat seperti Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa
(LPMD), karang taruna, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan lembaga
lainnya, beserta warga desa tersebut. Dengan demikian, kapasitas pemerintah
desa tidak dapat dilihat hanya dengan mengandalkan sisi pekerjaan rumah
pemerintah desa dalam menjalankan peraturan dan perintah dari supra desa,
namun juga bagaimana kemampuan pemerintah desa untuk menghadirkan ruang
partisipasi. Oleh sebab itu, kapasitas pemerintah desa dapat dibagi menjadi
kapasitas teknokratik dan kapasitas politik.
1 Sakiko Fukuda-Parr, Carlos Lopes, dan K. Malik, Overview: Institutional Innovation for
Capacity Development (New York: Earthscan-UNDP, 2002), dikutip dalam StéphaneWillems dan
Kevin Baumert, Institutional Capacity and Climate Actions (Paris: OECD, 2003), 5.
2 Sutoro Eko, dkk., Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa (Yogyakarta: IRE, 2005),
105.
Kapasitas teknokratik berupa kemampuan pemerintah dalam hal teknis
seperti pengelolaan perencanaan, anggaran, administrasi, dan lain sebagainya.
Sedangkan kapasitas politik berupa kemampuan pemerintah memberikan ruang
politik kepada masyarakat untuk aktif dan berpartisipasi dalam proses kebijakan.
Kapasitas teknokratik yang baik tanpa disertai dengan kapasitas politik nantinya
hanya akan membawa sistem pemerintahan yang otoriter dan tertutup karena tidak
adanya partisipasi dari masyarakat. Sedangkan kapasitas politik yang baik tanpa
disertai dengan kapasitas teknokratis nantinya akan berpengaruh pada tidak
berjalannya pembangunan daerah sesuai dengan aturan yang ada. Oleh karena itu,
baik kapasitas teknokratik maupun kapasitas politik dilihat sebagai sebuah
kesatuan yang mempengaruhi kemampuan pemerintah dalam menjalankan
pemerintahan dan mengembangkan daerah. Dengan demikian, semakin baik
kapasitas teknokratik dan kapasitas politik yang dimiliki pemerintah dalam
melakukan tata kelola desa maka semakin baik pula output yang dihasilkan dari
pelaksanaan kebijakan, begitu pula sebaliknya.
Kapasitas pemerintah khususnya pemerintah desa selama ini lebih
banyak diukur berdasarkan kemampuan menjalankan regulasi yang ada bukan
diukur dengan keberhasilan mewujudkan visi dan misi desa. Kondisi ini
berdampak pada terbatasnya ruang gerak pemerintah desa dalam mewujudkan
inovasi pemerintahan di tingkat lokal. Hal ini merupakan efek sentralisasi yang
cukup lama dianut dalam pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia.
Perubahan sistem sentralisasi menjadi desentralisasi yang diikuti pelaksanaan
otonomi di tingkat desa tidak serta merta merubah kapasitas dan kualitas
pemerintah desa dalam menjalankan pemerintahannya. Nyatanya, hingga
sekarang kondisi tersebut masih terjadi dibanyak desa di seluruh Indonesia
sehingga berpengaruh pada pelaksanaan tata kelola desa tidak terkecuali pada tata
kelola kebijakan dana desa.
Dalam kasus pengelolaan dana desa, dari total penyaluran dana desa
tahun 2015 sebesar Rp 20,766 triliun, Kabupaten Banyumas mendapatkan alokasi
dana sebesar Rp 89,291 miliar yang dibagikan kepada 301 desa yang ada, dimana
Desa Rawalo mendapatkan total dana sebesar Rp 298.160.825,00. Sedangkan
untuk tahun 2016 dana desa yang dianggarkan dari APBN sebesar Rp 46,98
triliun, dimana Kabupaten Banyumas mendapatkan Rp 200,450 miliar yang
kemudian dialokasi untuk Desa Rawalo sebesar Rp 671.057.490,00. Desa Rawalo
adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas,
Jawa Tengah. Wilayah desa yang dilewati oleh jalan raya nasional jalur selatan
Pulau Jawa dan biasa dilalui kendaraan dengan rute Bandung – Yogyakarta
menjadikan Desa Rawalo sebagai salah satu desa yang cukup maju baik dalam
aspek pembangunan maupun perekonomian. Posisinya yang berada di pusat kota
kecamatan menjadi nilai tambah tersendiri akan kemudahan akses informasi. Hal
ini dapat dilihat sebagai keuntungan bagi pemerintah Desa Rawalo untuk
menjalankan tugas dan fungsinya dengan lebih baik.
Jika melihat dari potensi yang dimiliki oleh Pemerintah Desa Rawalo
berupa infomasi maupun infrastruktur yang ada, seharusnya penggunaan dana
desa di Desa Rawalo dapat difungsikan sesuai dengan peraturan yang ada.
Namun pada pelaksanaannya, penggunaan dana desa di Desa Rawalo tidak
sepenuhnya sesuai dengan prioritas penggunaan yang telah diatur. Berbagai
permasalahan seperti kurangnya profesionalitas pemerintah dalam penyusunan
berbagai dokumen pemerintahan, rendahnya transparansi penetapan pihak ketiga
dalam pelaksanaan program pembangunan dengan dana desa, kurang
proposionalnya pembagian dana desa, rendahnya kerja sama pemerintah dengan
lembaga desa yang ada, serta kurangnya keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan dana desa mewarnai pengelolaan dana desa di Desa Rawalo. Apa
yang terjadi di Desa Rawalo ini menarik untuk diteliti, ketika berbagai kemudahan
informasi yang dimiliki pemerintah desa nyatanya tidak berkorelasi pada baiknya
proses tata kelola dana desa. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Desa
Rawalo saja, banyak desa lain yang juga memiliki persoalan yang sama. Oleh
sebab itu, apa yang terjadi di Desa Rawalo memberikan peluang untuk dilakukan
generalisasi di wilayah lainnya.
Untuk memahami pengelolaan dana desa di Desa Rawalo maka pintu
masuk utama yang harus dituju adalah melihat bagaimana kapasitas pemerintah
desa mengawal perencanaan pengelolaan dana desa yang dilakukan pada
tingkatan Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan Desa (Musrenbang).
Kemudian, bagaimana pelaksanaan kebijakan dana desa dilakukan di Desa
Rawalo, dimana adanya pengawasan dari masyarakat dan pihak-pihak terkait
lainnya menjadi pendorong kesuksesan pelaksanaan dana desa. Selanjutnya,
pertanggung jawaban Pemerintah Desa Rawalo terkait penggunaan dana desa
kepada pemerintah diatasnya menjadi penting untuk dilakukan sebagai gambaran
seberapa baik kebijakan dana desa dilakukan di desa tersebut. Permasalahan
pengelolaan dana desa yang terjadi di Desa Rawalo kemungkinan besar erat
kaitannya dengan kurangnya kapasitas pemerintah baik teknokratik maupun
politik dalam menjalankan tata kelola pemerintahan. Dengan demikian
selanjutnya penelitian ini berusaha untuk memahami bagaimana penggunaan dana
desa di Desa Rawalo yang dilihat sebagai dampak dari kapasitas pemerintah
menjalankan tata kelola yang ada.
1.2. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah, peneliti membangun pertanyaan
penelitian sebagai berikut: Mengapa kapasitas pemerintah Desa Rawalo buruk
dalam pengelolaan dana desa?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Memahami dinamika pelaksanaan tata kelola dana desa di Indonesia.
2. Mengetahui bagaimana kapasitas pemerintah desa berpengaruh terhadap
pelaksanaan kebijakan dana desa.
3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas pemerintah desa
dalam tata kelola dana desa.
1.4. Literatur Review
Literatur review ini dimaksudkan untuk memetakan posisi penelitian
yang dilakukan dengan menelusuri hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan
sasaran penelitian. Tulisan mengenai kapasitas pemerintah bukanlah sebuah hal
baru. Telah banyak penulis dan peneliti yang menjadikan kapasitas pemerintah
sebagai objek kajiannya. Berikut penelitian terdahulu yang dijadikan literatur
review dalam penelitian ini.
Novita Sari, dkk., menulis jurnal mengenai pengembangan kapasitas
kelembagaan pemerintah daerah pada Kantor Pelayanan dan Perijinan Terpadu
(KPPT) di Kabupaten Kediri.3 Tulisan ini membahas kapasitas kelembagaan di
KPPT dalam tiga level yaitu : 1) dimensi pengembangan kapasitas individu
berupa pemberian bimtek dan diklat, pemberian motivasi saat apel dan rapat, juga
pengadaan komitmen bersama antara kepala daerah, kepala KPPT, dan staf KPPT;
2) dimensi organisasi yang berupa pemberian jabatan dalam struktur organisasi
yang sesuai dengan kemampuan, adanya prosedur kerja yang sesuai dengan SOP,
pemberian sarana dan prasarana yang memadai; 3) dimensi sistem seperti
penyusunan regulasi dan kebijakan di tingkat daerah yang menjadi pedoman kerja
KPPT.
Sejalan dengan Novita Sari, dkk, Hanif Nurcholis membahas upaya
pengembangan kapasitas pemerintah daerah (pemda).4 Dalam tujuannya untuk
menciptakan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kapasitas tidak hanya
dibutuhkan oleh aparatur pemda namun juga oleh anggota DPRD. Hal ini dapat
dilakukan dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu pengembangan sumber daya