1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sampai saat ini pengukuran beda tinggi yang paling teliti untuk mendapatkan tinggi orthometrik hanyalah menggunakan metode sipatdatar. Di Indonesia pengadaan jaring kontrol vertikal nasional (JKVN) dilaksanakan dengan metode sipatdatar. JKVN sebagai jaring kontrol vertikal pemetaan di Indonesia diklasifikasikan secara berjenjang dalam kelas dan orde pengukuran. Mulai dari jenjang jaring pengukuran yang paling tinggi orde L0 yang jarak spasi antara dua jalur pengukurannya sejauh 100-300 km dengan toleransi kesalahan sebesar 2mm √ sampai jaring pengukuran yang paling rendah pada orde L4 yang spasi antara dua jalur pengukurannya dibawah 10 km dengan toleransi kesalahan sebesar 18 mm √ . Pada kelas pengukuran LB sampai LAA dengan spasi antar titik-titik simpul lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan adanya perbedaan kondisi fisis antara dua titik pengukuran yang relatif cukup besar yang berpengaruh terhadap tinggi yang dihasilkan apabila tidak dilakukan koreksi. Sementara untuk kelas LC sampai LD, tidak perlu untuk melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan perbedaan kondisi fisis antara dua titik pengukuran relatif kecil dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketelitian tinggi yang dihasilkan. Meskipun secara teoritis metode pengukuran beda tinggi dengan menggunakan metode sipatdatar adalah terbukti memiliki ketelitian yang paling tinggi dibandingkan dengan metode yang lainnya, akan tetapi pada kondisi tertentu secara praktis seringkali ditemukan beberapa kelemahan dan keterbatasan. Daerah dengan kondisi tanah yang tidak stabil (rawa-rawa, lahan gambut, hutan), daerah dengan situasi jalan yang sangat ramai dan padat lalu lintasnya, serta tuntutan akan informasi mengenai tinggi yang cepat seringkali metode sipatdatar ini sulit untuk diterapkan.
41
Embed
BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Sampai saat ini pengukuran beda tinggi yang paling teliti untuk mendapatkan
tinggi orthometrik hanyalah menggunakan metode sipatdatar. Di Indonesia
pengadaan jaring kontrol vertikal nasional (JKVN) dilaksanakan dengan metode
sipatdatar. JKVN sebagai jaring kontrol vertikal pemetaan di Indonesia
diklasifikasikan secara berjenjang dalam kelas dan orde pengukuran. Mulai dari
jenjang jaring pengukuran yang paling tinggi orde L0 yang jarak spasi antara dua
jalur pengukurannya sejauh 100-300 km dengan toleransi kesalahan sebesar
2mm √ sampai jaring pengukuran yang paling rendah pada orde L4 yang
spasi antara dua jalur pengukurannya dibawah 10 km dengan toleransi kesalahan
sebesar 18 mm √ .
Pada kelas pengukuran LB sampai LAA dengan spasi antar titik-titik simpul
lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan adanya
perbedaan kondisi fisis antara dua titik pengukuran yang relatif cukup besar yang
berpengaruh terhadap tinggi yang dihasilkan apabila tidak dilakukan koreksi.
Sementara untuk kelas LC sampai LD, tidak perlu untuk melakukan pengukuran
gaya berat. Dikarenakan perbedaan kondisi fisis antara dua titik pengukuran relatif
kecil dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketelitian tinggi yang
dihasilkan.
Meskipun secara teoritis metode pengukuran beda tinggi dengan menggunakan
metode sipatdatar adalah terbukti memiliki ketelitian yang paling tinggi
dibandingkan dengan metode yang lainnya, akan tetapi pada kondisi tertentu secara
praktis seringkali ditemukan beberapa kelemahan dan keterbatasan. Daerah dengan
kondisi tanah yang tidak stabil (rawa-rawa, lahan gambut, hutan), daerah dengan
situasi jalan yang sangat ramai dan padat lalu lintasnya, serta tuntutan akan informasi
mengenai tinggi yang cepat seringkali metode sipatdatar ini sulit untuk diterapkan.
2
Seiring perkembangan teknologi yang begitu cepat, muncullah teknologi
penentuan posisi dengan menggunakan satelit GNSS (Global Navigation Satellite
System). Saat ini teknologi ini telah memiliki ketelitian posisi horisontal hingga
fraksi milimeter. Sementara untuk posisi vertikalnya adalah 2 sampai 3 kali lebih
rendah dari ketelitian horizontalnya (Abidin, 2007). Hal ini tentunya merupakan
peluang untuk mengatasi kelemahan yang terdapat pada metode Sipatdatar. Dimana
teknologi GNSS ini tidak terpengaruh pada kondisi topografi yang berat bagi
pengukuran sipatdatar. Selain itu perolehan datanya juga dapat dilakukan relatif lebih
cepat dibandingkan dengan metode sipatdatar.
Meskipun teknologi GNSS memiliki kelebihan yang dapat mengatasi
kelemahan dari metode sipatdatar, akan tetapi tinggi yang dihasilkan oleh perangkat
GNSS adalah tinggi geometrik yang bereferensi pada elipsoid. Sementara untuk
keperluan praktis, digunakan tinggi yang bereferensi pada geoid atau tinggi
orthometrik. Untuk mendapatkan tinggi orthometrik dari pengukuran dengan GNSS,
perlu dikonversi terlebih dahulu terhadap nilai undulasinya. Di Indonesia, studi geoid
teliti (berskala nasional) ketersediaan dan distribusi datanya masih terbatas (Lestariya
& Ramdani, 2006). Salah satu cara yang dapat digunakan untuk pemanfaatan tinggi
elipsoid yang memungkinkan tanpa melibatkan data undulasi geoid adalah dengan
berfokus pada beda tinggi pada pengamatan GNSS.
I.2. Rumusan Masalah
Melihat keterbatasan metode sipatdatar dalam pengukuran beda tinggi yang
cukup banyak memakan waktu, biaya, tenaga, dan juga seringkali terkendala dengan
kondisi topografi dari daerah yang diukur. Sementara itu di dunia industri
memerlukan perolehan data ukuran beda tinggi yang cepat, murah dan mampu
menjangkau pada daerah yang sulit diterapkan dengan metode sipatdatar.
Berkembangnya metode GNSS secara differensial yang dapat digunakan untuk
penentuan tinggi dengan teliti menarik untuk dikaji dalam penentuan jaring kontrol
vertikal. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk pemanfaatan tinggi elipsoid
yang memungkinkan tanpa melibatkan data undulasi geoid adalah dengan berfokus
3
pada beda tinggi pada pengamatan GNSS. Sehingga rumusan masalah yang diajukan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah tinggi yang dihasilkan dari data pengamatan menggunakan metode
GNSS berbeda secara signifikan terhadap tinggi hasil pengukuran metode
sipatdatar?
2. Apakah jaring kontrol vertikal yang diperoleh dari pengamatan dengan
menggunakan metode GNSS telah memenuhi standar nasional jaring
kontrol vertikal kelas pengukuran LD?
I.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. mengetahui apakah tinggi yang dihasilkan dari pengamatan menggunakan
metode GNSS berbeda secara signifikan terhadap tinggi yang dihasilkan
dari pengukuran metode sipatdatar,
2. mengetahui apakah tinggi yang diperoleh dari pengamatan menggunakan
metode GNSS telah memenuhi kelas pengukuran jaring yang paling
minimal, yaitu kelas pengukuran LD.
I.4. Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah dapat memberikan
pertimbangan bagi para praktisi di lapangan dalam menentukan metode mana yang
dapat diterapkan menurut kondisi daerah pengukuran dan spesifikasi pengukuran
dalam pengukuran jaring kontrol vertikal.
I.5. Batasan Masalah
Penelitian ini memfokuskan pada masalah:
1. Data yang akan dibandingkan adalah tinggi antara hasil pengamatan dengan
perangkat GNSS Geodetik dengan tinggi hasil pengolahan data pengukuran
Sipatdatar tanpa melibatkan data undulasi lokal maupun global.
4
2. Daerah penelitian berlokasi di Desa Beluk, Kecamatan Bayat, Kabupaten
Klaten. Dengan lingkup penelitian yang relatif sempit dengan cakupan seluas
94 ha (1,28 km x 0,74 km). Selain itu, daerah penelitian ini juga memiliki
topografi yang relatif datar.
3. Dengan areal yang sempit maka diasumsikan bahwa undulasi geoid antar titik
pengukuran adalah seragam atau memiliki selisih yang kecil dan tidak
berpengaruh signifikan dalam perhitungan. Asumsi ini diperkuat dengan
pendekatan data undulasi dari Geoid calculator UNAVCO.
I.6. Tinjauan Pustaka
Lestariya dan Ramdani (2006) melakukan penelitian mengenai pemanfaatan
tinggi dengan teknologi GNSS tanpa melibatkan data undulasi Geoid yang teliti.
Dengan strategi pemanfaatan beda tinggi dari data hasil pengamatan GNSS. Pada
penelitiannya, diambil dua sampel jaringan GNSS-TTG dengan rentang base line
yang berebeda, yaitu Jaringan GNSS-TTG dengan rentang yang mencapai ratusan
kilometer di 10 titik yang tersebar di Lampug, Banten, dan Jawa Barat, serta jaringan
GNSS-TTG yang bersifat lokal dengan rentang beberapa kilometer di 16 titik di
Prigi-Jawa Timur. Lama pengamatan untuk jaring bersifat lokal adalah antara 3-6
jam. Sementara untuk jaring regional yang lebih besar pengamatan berlangsung
minimal 24 jam.
Dengan pengolahan data GNSS menggunakan perangkat lunak scientific
Bernesse versi 4.2 dengan informasi orbit precise ephemeris dari IGS, didapatkan
standar deviasi 3-8 mm untuk jaringan regional dan 15-60 mm untuk jaringan lokal.
Dari hasil perbandingan antara beda tinggi metode GNSS dengan data tinggi
orthometrik yang diperoleh dari pengukuran sipatdatar teliti, didapatkan bahwa untuk
jaring regional (Lampung-Banten-Jawa Barat) deviasi mencapai 1,9 hingga 33 meter.
Deviasi ini masih terlalu besar apabila dibandingkan dengan salah penutup jarak
pada orde yang paling kasar sekalipun (misalnya untuk jarak maksimal 300 km, salah
penutup jaraknya adalah beberapa puluh cm).
5
Jamil (2011) melakukan penelitian mengenai perbandingan tinggi GNSS
dengan metode Statik dan Real Time Kinematik (RTK) terhadap hasil pengukuran
menggunakan Sipatdatar dengan lokasi penelitian di Jembatan Penang, Semenanjung
Malaysia, dan Tanjung Malim, Perak. Pengamatan GNSS secara statik dilakukan di
daerah Jembatan Penang dan Semenanjung Malaysia dengan Receiver GNSS
Geodetic selama 5 sampai 8 jam untuk tiap sesi. Dan Pengamatan secara real time
kinematik (RTK) dilakukan di Tanjung Malim, Perak.
Dalam penelitian tersebut, tinggi geometrik (h) dari pengamatan GNSS
dikonversi menjadi tinggi orthometrik (H) dengan rumus H = h – N. Dimana
undulasi geoid (N) diperoleh dari MyGeoid yang merupakan kombinasi usaha survei
gaya berat menggunakan pesawat/airborne (dilaksanakan di Sabah, Serawak pada
tahun 2002 dan dilanjutkan di Semenanjung Malaysia pada tahun 2003 dan 2004)
dengan survei teristris, survei perairan, dan satelit altimetri yang kemudian
dicocokkan dengan BenchMark (BM) lokal untuk menghasilkan model geoid.
Hasil perbandingan dari tinggi orthometrik GNSS metode statik dengan
tinggi orthometrik hasil pengukuran dengan Sipatdatar adalah memiliki selisih yang
kurang dari 1 cm pada tiga titik pengamatan untuk daerah Jembatan Penang. Dan
untuk daerah Semenanjung Malaysia memiliki selisih seesar 10 sampai 18,8 cm.
Sementara untuk perbandingan Metode Real Time Kinematik (RTK) memiliki selisih
dengan tinggi orthometrik Sipatdatar sebesar 5 mm sampai 16,2 cm.
Dalam penelitian ini lebih difokuskan pada penentuan jaring kontrol vertikal
pada kategori kelas pengukuran LD menurut Standar Nasional Indonesia Jaring
Kontrol Vertikal (SNI JKV) dengan menggunakan metode differensial GNSS.
Penelitian dilakukan pada cakupan areal yang sempit 94 ha (1,28 km x 0,74 km),
dengan jarak antar titik pengamatan yang dekat, serta dengan kondisi topografi yang
relatif datar. Berdasarkan kondisi pengukuran tersebut diasumsikan bahwa nilai
undulasi geoid di daerah penelitian tersebut adalah relatif seragam. Hal ini dikuatkan
dengan melakukan perhitungan nilai undulasi geoid menggunakan geoid calculator
dari UNAVCO. Atas dasar asumsi tersebut, maka tinggi yang diperoleh dari
6
pengamatan menggunakan metode GNSS tidak berbeda secara signifikan terhadap
tinggi yang diperoleh dari metode sipatdatar.
I.7. Landasan Teori
I.7.1. Sistem Tinggi
Di dalam ilmu geodesi, tinggi suatu titik di Bumi didefinisikan sebagai jarak
terhadap suatu bidang referensi. Bidang referensi yang dipakai adalah bidang
equipotensial gayaberat (bidang nivo) yang diasumsikan berhimpit dengan muka air
laut rata-rata (mean sea level) yang tidak terganggu. Bidang tersebut dinamakan
bidang Geoid. Tinggi diukur sepanjang garis arah gaya berat (unting-unting)
berpotongan tegak lurus dengan bidang nivo. Bentuk bidang nivo tergantung pada
nilai gaya berat. Karena adanya kenyataan bahwa nilai gaya berat berbeda di setiap
titik tergantung distribusi massa batuan yang menyebabkan bidang nivo tidak sejajar
satu sama lain (tidak saling sejajar tapi tidak berpotongan karena saling melingkupi)
seperti Gambar I.1. Hal ini menyebabkan jarak antara dua bidang nivo menjadi tidak
tetap, dan inilah yang membawa komplikasi dalam pendefinisian sistem tinggi.
Gambar I.1. Bidang-bidang equipotensial gaya berat (Wellenhof & Moritz, 2005)
Di dalam geodesi, pengukuran tinggi atau beda tinggi dilakukan dengan cara
sipatdatar (levelling). Pengukuran sipatdatar pada dasarnya adalah mengukur jarak
antara bidang equipotensial gaya berat, maka pada setiap ukuran tinggi dengan
7
Sipatdatar seharusnya diukur juga gayaberat di sepanjang lintasan pengukuran
Sipatdatar. Hal ini sesuai dengan rekomendasi dari International Association of
Geodesy (IAG, 1950).
Sistem tinggi yang mendasarkan pada bidang equipotensial gayaberat
(geopotensial) biasa disebut sebagai sistem tinggi fisis. Dalam sistem tinggi fisis,
tinggi diukur dari permukaan geoid melalui garis unting-unting (garis gaya berat)
sampai ke titik di permukaan Bumi. Sistem tinggi fisis banyak digunakan baik untuk
keperluan praktis maupun keperluan ilmiah karena mempunyai beberapa kelebihan.
Kelebihan-kelebihan tersebut antara lain bidang acuannya memiliki realita fisik,
yang dapat dihubungkan langsung dari pengukuran di permukaan Bumi.
I.7.1.1. Tinggi orthometris. Suatu titik di permukaan Bumi dimana jarak yang
diukur di sepanjang garis unting-unting (arah gaya berat) dari geoid sampai ke titik
tersebut di permukaan Bumi. Jadi bidang geoid adalah bidang referensi untuk sistem
ketinggian ini. Untuk mendapatkan tinggi orthometris yang tepat, maka bilangan
geopotensial dibagi dengan suatu harga menengah gaya berat sepanjang garis unting-
unting antara titik yang bersangkutan dan geoid. Adapun ilustrasinya adalah pada
Gambar I.2 berikut :
Gambar I.2. Tinggi orthometris (H) (Wellenhof & Moritz, 2005).
Pada Gambar I.2 diatas, 0 dan P‟ terletak pada bidang equipotensial yang sama,
sehingga selisih potensial antara bidang potensial yang melalui titik 0 atau P‟ dengan
bidang equipotensial yang melalui P dan 0‟ adalah sama.
∫ ∫
.……………………………………………….……(I.1)
8
gp adalah nilai gaya berat rata-rata sepanjang garis gaya berat PP‟ , sehingga
persamaan menjadi :
∫ ∫
……………………………………..…………..…..(I.2)
Secara umum tinggi orthometris di suatu titik dapat ditulis dalam bentuk
persamaan berikut ini :
∫
…………………………………………….……….(I.3)
atau,
.…………………………………………………….(I.4)
Dalam persamaan 1.2, notasi (gp) merupakan gaya berat di titik P, dH elemen
beda tinggi dan (gm) adalah gaya berat menengah di titik P. Nilai gaya berat
menengah yang dimaksud adalah nilai gaya berat rata-rata sepanjang garis unting-
unting (plumb-line).
I.7.1.2. Tinggi elipsoid. Bentuk fisik yang sebenarnya dari Bumi dapat didekati
dengan baik secara matematis dengan menggunakan model Bumi elipsoid.
Permukaan elipsoid yang rata memudahkan untuk dilakukan operasi perhitungan.
Hal inilah yang melandasi penggunaan elipsoid sebagai bidang referensi horisontal
bagi jaring geodetik.
Meskipun demikian, elipsoid kurang tepat apabila digunakan sebagai bidang
referensi vertikal atau ketinggian. Karena sistem referensi yang paling mendekati
kenyataan untuk bidang referensi ketinggian adalah dengan menggunakan geoid.
Terdapat perbedaan antara geoid dengan elipsoid yang disebut undulasi geoid (N).
Besarnya nilai undulasi tersebut tergantung pada elipsoid refernsi yang digunakan.
Pada elipsoid global, undulasinya adapat mencapai 100 m. Hubungan geometris
antara undulasi geoid (N) dengan tinggi elipsoid (h) serta tinggi ortometrik (H) yang
diperoleh dari pengukuran sipatdatar adalah sebagai berikut :
h = N + H …………………………………………….…………….(I.5)
9
Ilustrasi hubungan antara tinggi orthometrik yang bereferensi pada geoid
dengan tinggi geometrik yang bereferensi elipsoid adalah menurut Gambar I.3.
Gambar I.3. Hubungan antara elipsoid dengan geoid (Seeber, 2003)
1.7.2. Penentuan Tinggi dengan Metode Sipatdatar
Dalam ilmu geodesi, penentuan tinggi suatu titik ditentukan dengan melakukan
pengukuran beda tinggi dari titik yang telah diketahui tingginya. Adapun metode
yang lazim digunakan adalah metode sipatdatar. Alat sipatdatar ini adalah alat yang
paling teliti dalam melakukan pengukuran beda tinggi. Adapun konsep, metode, dan
pengolahan hasil pengukuran dari sipatdatar ini adalah sebagai berikut :
I.7.2.1. Konsep penentuan beda tinggi dengan sipatdatar. Istilah sipatdatar di
sini berati konsep menentukan tinggi antara dua titik atau lebih dengan garis bidik
mendatar atau horisontal yang diarahkan pada rambu-rambu yang berdiri tegak atau
vertikal. Sedang alat ukurnya dinamakan penyipat datar.
Gambar I.4. Prinsip penentuan beda tinggi dengan sipatdatar (Basuki, 2006)
a b
A
B
a b
h ab = a-b
10
Keterangan Gambar I.4 :
A dan B : Titik di atas permukaan Bumi yang akan diukur beda tingginya
a dan b : Bacaan rambu atau tinggi garis mendatar / garis bidik di titik A dan B
Ha dan Hb : Ketinggian titik A dan B di atas bidang referensi
Δhab : Beda tinggi antara titik A dan B
Beda tinggi antara titik A dan B dirumuskan sebagai berikut:
Δhab = a - b ............................................................................................(I.6)
Apabila (a-b) hasilnya positif (+), maka dari A ke B berarti kenaikan, atau B
lebih tinggi dari A. Sebaliknya, apabila (a-b) negatif (-), maka dari A ke B berarti
turun atau B lebih rendah dari A.
Pada satu kali kedudukan alat sipatdatar, jarak A dan B yang dapat dijangkau
adalah relatif pendek. Yaitu maksimum 200 m. Oleh sebab itu, bidang nivo yang
melalui titik A, titik B dan garis bidik alat sipatdatar dapat dianggap saling sejajar.
I.7.2.2. Metode pengukuran dengan sipatdatar. Dalam melakukan pengukuran
dengan alat sipatdatar, terdapat beberapa metode yang lazim digunakan berkenaan
dengan seberapa panjang jarak spasi antara titik-titik yang akan dilakukan
pengukuran. Dikarenakan keterbatasan alat sipatdatar yang tidak memungkinkan
untuk melakukan pengukuran beda tinggi antara dua titik yang relatif jauh. Adapun
metode yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Pengukuran beda tinggi antara dua titik. Jarak bidik optimum alat penyipat
datar berkisar antara 40 – 60 m. Sehingga apabila dua buah titik yang akan
diukur beda tingginya cukup dekat dan relatif datar, maka pengukuran dapat
dilakukan dengan beberapa kemungkinan seperti Gambar 1.5 di bawah.
Apabila alat didirikan di antara dua buah rambu, maka antara dua
buah rambu dinamakan slag yang terdiri dari bidikan ke rambu muka dan
rambu belakang. Selain garis bidik atau benang tengah (BT), pada
umumnya teropong dilengkapi dengan benang stadia yaitu benang atas (BA)
dan benang bawah (BB). Selain untuk pengukuran jarak optis, pembacaan
BA dan BB juga untuk kontrol pembacaan benang tengah (BT) dimana
11
seharusnya pembacaan BT = ½ (BA + BB). Apabila jarak antara dua buah
titik yang akan diukur beda tingginya relatif jauh, maka dilakukan
pengukuran berantai atau sipatdatar memanjang (differential levelling).
Gambar I.5. Pengukuran beda tinggi antara dua buah titik yang relatif dekat
(Basuki, 2006)
2. Pengukuran sipatdatar berantai. Jika jarak antar titik kontrol pemetaan
relatif jauh, pengukuran beda tinggi dengan penyipat datar tak dapat
dilakukan dengan satu kali berdiri alat. Oleh karena itu antara dua buah titik
kontrol yang berurutan dibuat beberapa slag dengan titik-titik bantu dan
pengukurannya dibuat secara berantai (differential levelling).
Seperti halnya pengukuran jarak dan sudut, pengukuran beda tinggi
juga tidak cukup dilakukan dengan sekali jalan. Tetapi dibuat pengukuran
pergi-pulang yang pelaksanaannya dapat dilakukan dalam satu hari
(dinamakan seksi), serta dimulai dan diakhiri pada titik tetap. Gabungan
beberapa seksi dinamakan trayek.
Gambar I.6. Pengukuran sipatdatar berantai (Basuki, 2006)
12
Keterangan Gambar I.6 :
A dan B : Titik tetap yang akan ditentukan beda tingginya
1,2,3,4, … : Titi-titik bantu pengukuran
m1,m2,m3,.. : Bacaan rambu belakang
b1,b2,b3,… : Bacaan rambu muka
Pada Gambar I.6, A dan B adalah titik yang akan ditentukan beda
tingginya. Karena jarak keduanya cukup jauh, maka dibuat beberapa slag.
Beda tingginya adalah kumulatif dari beda tinggi setiap slag, yaitu :
∆hA1 = b1 – m1
∆h12 = b2 – m2
∆h23 = b3 – m3
∆h3B = b4 – m4
-------------------------- +
∆hAB = ∑∆h = ∑a - ∑b ……...……….…………………..(I.7)
Dalam hal ini :
∑a : Jumlah pembacaan rambu belakang
∑b : Jumlah pembacaan rambu muka
∆h : Beda tinggi tiap slag
Karena data pembacaan cukup banyak, agar nantinya tidak menimbulkan
kesulitan perhitungan, data ditulis sistematis dalam buku ukur atau lembaran
formulir pengukuran. Selain dengan pengukuran pergi-pulang, pengukuran
sipatdatar berantai terkadang dilakukan dengan dua kali berdiri alat pada setiap
pengukuran beda tinggi tiap slag (double stand). Akan tetapi cara tersebut
tidaklah dianjurkan.
13
I.7.2.3. Kesalahan dalam pengukuran beda tinggi dengan sipatdatar. Dalam
pengukuran menggunakan sipatdatar (spirit levelling), walaupun sebelum
pengukuran peralatan telah dikoreksi dan syarat-syarat lain telah dipenuhi, namun
karena hal-hal lain yang tidak terduga sebelumnya, kesalahan-kesalahan yang lain
tetap dapat terjadi yang menurut sumbernya adalah sebagai berikut :
1. Kesalahan yang pertama adalah kesalahan karena garis bidik tidak sejajar
garis arah nivo. Akibat kesalahan ini, garis bidik akan menjadi miring. Pada
pengukuran satu slag pembacaan rambu belakang yang seharusnya terbaca
ao menjadi terbaca a1, demikian pula pembacaan rambu muka yang
seharusnya bo menjadi b1. Akibatnya, beda tinggi antara A dan B (∆hab)
yang seharusnya (a0-b0) menjadi (a1-b1). Pergeseran angka pembacaan
rambu belakang = (a1-a0) dan rambu muka = (b1-b0). Karena sudut
kemiringan garis bidik ke belakang dan ke muka sama besar, a1-a0 dengan
b1-b0 apabila jarak alat ukur ke rambu belakang sama dengan jarak alat
ukur ke rambu muka. Dengan kata lain, pengaruh garis bidik yang tidak
sejaajr dengan garis arah nivo akan hilang dengan cara membuat jarak alat
ukur ke rambu muka sama dengan jarak alat ukur ke rambu belakang.
Gambar I.7. Kesalahan garis bidik tidak sejajar garis arah nivo (Basuki, 2006)
2. Kesalahan titik nol rambu. Kesalahan ini bisa terjadi dari pabrik, namun bisa
pula terjadi karena alas rambu yang aus dimakan usia atau sebab yang lain.
Misal kedua rambu yang dipakai dalam pengukuran keduanya salah,
masing-masing sebesar δ1 bertanda negatif (misal karena aus) dan δ2
14
bertanda positif (misal karena pabrik). Sehingga pada pengukuran berantai,
dimana rambu akan dibuat berselang-seling dan kesalahan titik nol rambu
akan terjadi secara berselang-seling pada slag ganjil (slag pertama dan
seterusnya). Kesalahan titik nol rambu pengaruhnya akan hilang apabila
jumlah slag genap.
3. Kesalahan karena rambu tidak betul-betul vertikal. Kesalahan ini tidak dapat
dihilangkan. Untuk menghindari kesalahan ini, maka rambu harus betul-
betul vertikal dengan cara menggunakan nivo rambu atau unting-unting
yang digantungkan padanya.
4. Kesalahan karena penyinaran alat yang tidak merata. Sinar matahari yang
jatuh tidak merata pada alat ukur sipatdatar akan menyebabkan panas dan
pemuaian pada alat penyipat datar yang tidak merata pula, khususnya nivo
teropong. Sehingga pada saat gelembung seimbang, garis arah nivo tidak
mendatar dan garis bidik juga tidak datar. Untuk menghindari keadaan
semacam ini, sebaiknya alat ukur dipayungi agar tidak langsung terkena
sinar matahari.
5. Kesalahan karena kelengkungan permukaan Bumi. Bidang nivo adalah
bidang lengkung seperti halnya permukaan Bumi. Sedangkan garis bidik
sipatdatar adalah mendatar. Pada Gambar 1.8 tersebut, alat ukur berdiri di
titik A dan berdiri vertikal, demikian pula rambu di B. Garis CA dan EB
tegak lurus permukaan Bumi ke arah pusat Bumi P. Garis CD adalah bidang
nivo yang melalui C dan memotong rambu di D. Garis CE mendatar melalui
teropong memotong rambu di E. Jarak ED = ρ kesalahan karena
kelengkungan permukaan Bumi. Karena tinggi alat dan tinggi pembacaan
rambu sangat kecil bila dibandingkan dengan jari-jari Bumi rata-rata (6378
km), maka jarak CP dan DP dinamakan R = ½ (RA + RB). Dalam ∆ ECP
siku-siku di C, terdapat hubungan sebagai berikut :
EP2 = CP
2 + CE
2 …………………………………….…..(I.8)
atau
(ED + DP)2 = CP
2 + CE
2 ….………………………………(I.9)
atau
15
( ρ + R)2 = R
2 + s
2 ρ
2 + 2ρR + R
2 = R
2 + s
2 …………….(I.10)
Karena ρ2 kecil dan diabaikan, maka :
ρ =
...……...……………………………(I.11)
Gambar I.8. Kesalahan karena kelengkungan permukaan bumi dan refraksi
(Basuki, 2006)
Dari persamaan diatas terlihat bahwa pengaruh kelengkungan
permukaan Bumi sebanding dengan kuadrat jarak dua titik yang
bersangkutan. Karena jarak bidik optimum teropong penyipat datar kurang
dari 100 m, maka pengaruh kesalahan untuk pengukuran yang tidak teliti
sekalipun dapat diabaikan dan pengaruh kesalahan ini dapat dihilangkan
dengan membuat jarak rambu muka sama dengan rambu belakang.
6. Pengaruh refraksi sinar. Permukaan Bumi diselimuti dengan lapisan-lapisan
udara yang ketebalannya tidak sama karena suhu dan tekanan yang tidak
sama. Hal ini akan mengakibatkan sinar yang sampai pada teropong dari
obyek yang dibidik akan menjadi melengkung ke atas sehingga yang terbaca
menjadi terlalu besar. Oleh karenanya koreksi menjadi minus.
7. Kesalahan karena pengaruh undulasi. Pada tengah hari yang panas antara
pukul 11 sampai pukul 14 sering terjadi undulasi, yaitu udara di permukaan
Bumi yang bergerak naik karena panas (fatamorgana). Jika rambu ukur
didirikan di tempat yang demikian, maka apabila dibidik dengan teropong
16
akan kelihatan seolah-olah rambu tersebut bergerak bergelombang.
Sehingga sukar sekali untuk menentukan angka mana yang berimpit dengan
garis bidik atau benang silang. Sehingga apabila terjadi undulasi sebaiknya
pengukuran dihentikan.
8. Kesalahan karena kondisi tanah tidak stabil. Akibat kondisi tanah temmpat
berdiri alat atau rambu tidak stabil, maka setelah pembidikan ke rambu
belakang, pengamat pindah posisi untuk mengamat ke rambu muka
ketinggian alat atau statif akan mengalami perubahan sehingga beda tinggi
yang didaptkan akan mengalami kesalahan. Apabila kondisi semacam ini di
temapt berdiri rambu, maka pada saat rambu dibalik dari rambu muka
menjadi rambu belakang akan mengalami pula perubahan ketinggian.
I.7.2.4. Pengolahan data sipatdatar metode Bowditch. Hasil pengukuran
menggunakan sipatdatar adalah nilai beda tinggi dari titik-titik yang dilakukan
pengukuran. Data beda tinggi tersebut kemudian diolah lebih lanjut untuk
mendapatkan tinggi dari tiap titik yang diukur. Akan tetapi, karena dalam setiap
pengukuran selalu dihinggapi kesalahan tak terkecuali pada pengukuran beda tinggi
dengan alat sipatdatar yang dikenal sebagai alat yang paling teliti dalam pengukuran
beda tinggi maka dari itu dilakukan pengolahan lebih lanjut untuk mereduksi
kesalahan yang terjadi sehingga akan didapatkan nilai tinggi terkoreksi berikut
dengan ketelitian yang dihasilkan. Adapun metode pengolahan yang umum
digunakan dalam pengolahan data ukuran sipatdatar adalah sebagai berikut :
Perhitungan metode Bowditch pada sipatdatar prinsip utamanya adalah bahwa
semakin jauh jarak antar titik, maka kesalahan beda tingginya akan semakin besar.
Untuk mengkoreksi kesalahan beda tinggi antar titiknya (seksi), maka besar
koreksinya adalah sebesar jarak seksi dibanding dengan jarak total seluruh seksi
dalam pengukuran sipatdatar. Semakin jauh jarak antar titik, maka koreksinya
semakin besar. Adapun langkah pengolahan metode Bowditch adalah sebagai
berikut:
17
1. Pemeriksaan terhadap data pengukuran pergi dan pulang. Apabila
pengukuran beda tinggi pada satu slag/seksi diukur pergi-pulang dan
berbentuk tertutup (loop), akan didapat beda tinggi pergi (Δpg ) dan beda
tinggi pulang (Δpl ) yang pada umumnya besarnya tidak selalu sama. Selisih
dari padanya serta jarak antaranya akan menentukan apakah ukuran beda
tinggi tersebut diterima atau tidak. Angka atau besaran yang menyatakan
bahwa beda pengukuran pergi dan pulang suatu ukuran diterima atau tidak
disebut toleransi. Dalam standar nasioanl indonesia jaring kontrol vertikal
(SNI JKV), toleransi selisih beda tinggi pergi dan pulang untuk memenuhi
standar kelas pengukuran yang paling minimum yaitu kelas LD maka
toleransi yang digunakan adalah sebesar 18mm √ . Kemudian apabila data
pengukuran pergi dan pulang telah memenuhi toleransi, maka beda tinggi
definitifnya adalah rata-rata dari Δhpg dan Δhpl atau secara matematis: