1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah jurnalisme kloning 1 belakangan menjadi akrab didengar dalam praktik kerja jurnalis. Kloning secara awam disebut pula dengan proses menghasilkan sesuatu hal baru yang berasal dari hal-hal lain yang identik atau bisa pula disederhanakan menjadi bentuk reproduksi karya baru tanpa meninggalkan keidentikan sumber sebelumnya. Dalam ranah jurnalistik, istilah kloning membaur membentuk makna baru terutama dalam kaitannya dengan aktivitas jurnalis dalam menghasilkan karya jurnalistik dan akhirnya akrab disebut dengan jurnalisme kloning. Jurnalisme kloning sendiri dapat dipahami secara sederhana sebagai aktivitas tukar menukar sumber berita yang dilakukan jurnalis dalam menghasilkan karya jurnalistik. Sumber berita yang dimaksud bisa dalam bentuk rekaman wawancara, catatan wawancara wartawan maupun bentuk berita jadi yang dikirimkan antar jurnalis. Jurnalisme kloning 2 menjadi semakin populer di kalangan jurnalis 1 Eviera Paramita dalam penelitiannya yang berjudul Pemahaman Wartawan Terhadap Etika Profesi (2013:6) menyebutkan, jurnalisme kloning merupakan salah satu dari tiga pelanggaran profesi yang dilakukan wartawan. Kloning dilakukan dengan cara membagikan atau meminta berita kepada rekan wartawan lainnya untuk kemudian dimodifikasi. 2 Sirikit Syah dalam bukunya yang berjudul Rambu-Rambu Jurnalistik (2011:29) menyebutkan, praktik kloning dilakukan di pos-pos wartawan berkumpul dengan saling bertukar sumber berita.
54
Embed
BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81140/potongan/S2-2015... · kode etik pada Aliansi Jurnalis Independen (AJI) maupun Dewan Pers yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah jurnalisme kloning1 belakangan menjadi akrab didengar
dalam praktik kerja jurnalis. Kloning secara awam disebut pula dengan
proses menghasilkan sesuatu hal baru yang berasal dari hal-hal lain yang
identik atau bisa pula disederhanakan menjadi bentuk reproduksi karya
baru tanpa meninggalkan keidentikan sumber sebelumnya. Dalam ranah
jurnalistik, istilah kloning membaur membentuk makna baru terutama
dalam kaitannya dengan aktivitas jurnalis dalam menghasilkan karya
jurnalistik dan akhirnya akrab disebut dengan jurnalisme kloning.
Jurnalisme kloning sendiri dapat dipahami secara sederhana sebagai
aktivitas tukar menukar sumber berita yang dilakukan jurnalis dalam
menghasilkan karya jurnalistik. Sumber berita yang dimaksud bisa dalam
bentuk rekaman wawancara, catatan wawancara wartawan maupun bentuk
berita jadi yang dikirimkan antar jurnalis.
Jurnalisme kloning2 menjadi semakin populer di kalangan jurnalis
1 Eviera Paramita dalam penelitiannya yang berjudul Pemahaman Wartawan Terhadap Etika
Profesi (2013:6) menyebutkan, jurnalisme kloning merupakan salah satu dari tiga pelanggaran
profesi yang dilakukan wartawan. Kloning dilakukan dengan cara membagikan atau meminta
berita kepada rekan wartawan lainnya untuk kemudian dimodifikasi. 2 Sirikit Syah dalam bukunya yang berjudul Rambu-Rambu Jurnalistik (2011:29) menyebutkan,
praktik kloning dilakukan di pos-pos wartawan berkumpul dengan saling bertukar sumber berita.
2
terutama terkait dengan keuntungan pribadi yang didapatkan. Bagaimana
tidak, seorang jurnalis bisa dengan mudahnya mendapatkan sumber berita
atau bahan berita jadi untuk didaur ulang menjadi karyanya, tanpa harus
hadir di lapangan. Kondisi ini menjadi semacam budaya yang dianggap
biasa di kalangan wartawan terutama bagi mereka yang memiliki satu
kesamaan bidang tugas.
Menjamurnya praktik jurnalisme kloning di kalangan jurnalis ini
sangat berdekatan dengan aktivitas plagiarisme3. Plagiarisme atau
penjiplakan suatu karya sendiri telah menjadi fenomena yang cukup akrab
khususnya di lingkungan akademik. Namun belakangan, plagiarisme
seolah menjadi semacam virus yang mulai menjalar ke berbagai lini
profesi termasuk di kalangan jurnalis.
Profesi jurnalis menjadi rentan terhadap perilaku plagiat mengingat
output yang dihasilkan adalah sebuah karya jurnalistik dalam bentuk teks
yang bisa dijiplak atau ditiru oleh orang lain. Penjiplakan karya yang
dilakukan para jurnalis tersebut seringkali dilakukan oleh sesama jurnalis.
Salah satunya adalah dengan mengambil atau menjiplak informasi untuk
dijadikan karya jurnalistik yang disebarluaskan di media massa.
Aktivitas plagiat di kalangan jurnalis ini sangat disayangkan
mengingat hal tersebut bertentangan dengan kode etik jurnalistik. Sesuai
dengan pasal Kode Etik Jurnalistik PWI (pasal 12) disebutkan Wartawan
Indonesia tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip karya
3 Plagiarisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai penjiplakan yang
melanggar hak cipta.
3
jurnalistik tanpa menyebut sumbernya. Hal ini senada pula dengan pasal
kode etik pada Aliansi Jurnalis Independen (AJI) maupun Dewan Pers
yang menegaskan bahwa tindakan plagiasi jurnalistik adalah tidak
dibenarkan. Selain bertentangan dengan etika, penjiplakan karya
jurnalistik juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang
nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Praktik plagiasi tersebut kini bahkan semakin mudah dilakukan
dengan berbagai kemajuan teknologi dan perangkat informasi. Teknologi
salah satunya telah merubah pola kerja jurnalis dalam mengumpulkan
informasi menjadi berita atau karya jurnalistik. Yakni dari yang semula
sangat bergantung pada proses tatap muka dengan sumber berita kini
dipermudah pula dalam bentuk komunikasi jarak jauh baik dengan
pemanfaatan telepon, email dan lainnya. Teknologi juga mempermudah
sistem kerja redaksi karena reporter atau wartawan di lapangan tidak
melulu harus mengirimkan karyanya secara langsung di kantor tetapi bisa
dilakukan hanya dengan mengirimkan melalui email atau milis perusahaan
media yang bersangkutan.
Tentu saja, kemudahan tersebut memberikan dampak positif dalam
menunjang kinerja jurnalis. Namun, di satu sisi, seringkali kemudahan
akses dan pertukaran informasi justru membuat wartawan malas untuk
mengumpulkan informasi langsung dari sumbernya. Bahkan, wartawan
tanpa segan cukup melakukan copy paste press release atau karya dari
jurnalis lain. Berita hasil copy paste tersebut tinggal dipercantik dengan
4
menambahkan kode pada tulisan yang seolah mengatasnamakan karyanya.
Kedatangan jurnalis di lapangan untuk mencari sumber berita langsung
menjadi diabaikan. Disinilah terdapat semacam celah yang menunjang
terbentuknya budaya jurnalisme kloning.
Proses kerja jurnalis di lapangan dalam mengumpulkan informasi
menjadi berita, ternyata juga ikut mempengaruhi berkembangnya perilaku
plagiat khususnya jurnalisme kloning. Jurnalis bekerja dengan memiliki
pos-pos bidang tertentu sesuai dengan rubrik yang menjadi tanggung
jawabnya4. Misalnya wartawan menjadi dikelompokkan dalam bidang
ekonomi, politik, pemerintahan, pendidikan, seni budaya dan lainnya.
Pengelompokan inilah yang menyatukan jurnalis dalam bidang yang sama
saat mencari sumber berita.
Kesamaan bidang yang diampu tersebut pada akhirnya berkaitan
pula dengan sumber berita yang sama atau berbagai kegiatan yang sama
yang dicari jurnalis untuk menghasilkan berita. Karena sama, jurnalis tidak
jarang saling membantu dan bertukar informasi. Dari sekedar pertukaran
agenda biasa, pertukaran statement narasumber yang diwawancarai hingga
bahkan pertukaran karya jurnalistik antar wartawan dari media yang
berbeda.
Namun yang lebih disayangkan lagi, seringkali wartawan dengan
begitu saja mengambil karya jurnalistik wartawan lain yang biasanya telah
ditayangkan di media online, untuk dijiplak dan dibuat berita di media
4 Sirikit Syah. 2011. Rambu-Rambu Jurnalistik. hal 29.
5
cetak. Pengalaman dijiplak karyanya oleh jurnalis lain ini tentu saja
banyak dialami oleh wartawan media online.
Dengan karakteristik media yang real time, jurnalis media online
dituntut untuk dengan cepat menyiarkan hasil liputan di lapangan untuk
ditayangkan dalam website berita online. Kecepatan penyampaian
informasi inilah yang seringkali banyak dimanfaatkan wartawan baik cetak
maupun elektronik untuk mendapatkan data dengan mudah dan mengutak-
atik karya jurnalis online menjadi berita miliknya. Tidak jarang,
wawancara eksklusif sekalipun dapat dengan mudah dijiplak.
Fenomena jurnalisme kloning di kalangan wartawan tersebut
banyak ditemui di berbagai wilayah termasuk di Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY). Hal ini menjadi menarik mengingat dinamika media
massa di DIY tergolong tinggi. Data dari Dewan Pers dan Serikat
Penerbitan Pers (SPS) tahun 2010 terdapat 5 surat kabar, 3 surat kabar
mingguan, 8 surat kabar bulanan, 20 stasiun radio serta 4 stasiun televise.
Aktivitas jurnalis di DIY tergolong tinggi mengingat setidaknya terdapat
enam surat kabar harian lokal yang terbit di wilayah ini5. Belum lagi
ditambah surat kabar nasional yang membuka biro di DIY seperti Kompas,
Tempo, Seputar Indonesia, Media Indonesia dan beberapa Koran daerah
lain seperti Wawasan dan Suara Merdeka. Termasuk pula media massa
online yang jumlahnya semakin hari semakin bertambah.
Tingginya aktivitas jurnalis di DIY menjadi satu alasan menarik
Selain pendekatan dari sisi etika dan profesionalitas seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, menjamurnya jurnalisme kloning juga
terjadi karena faktor lain seperti faktor teknis dan faktor eksternal jurnalis.
Disini penulis mencoba menggolongkan beberapa indikator yang menjadi
penyebab perilaku kloning di kalangan jurnalis. Indikator ini didapatkan
selain dari observasi awal di lapangan juga digunakan sebagai komponen
untuk menggolongkan penyebab perilaku kloning di kalangan jurnalis,
diantaranya:
1. Kemajuan dan kemudahan akses teknologi informasi
Tidak dapat dipungkiri, kemajuan dan kemudahan akses
teknologi informasi memberikan implikasi positif bagi semua
kalangan termasuk profesi jurnalis. Namun dengan kemudahan
akses ini juga membawa dampak negatif yakni menjamurnya
perilaku plagiat. Dengan teknologi yang canggih, tukar
menukar sumber berita bisa dilakukan dengan sangat mudah
yakni melalui fasilitas email, ponsel pintar dan lainnya. Jurnalis
juga dapat dengan mudah mengutip berbagai informasi di
media internet untuk dijadikan bahan berita meskipun tanpa
menyebutkan sumber.
2. Faktor internal individu
Faktor internal individu erat kaitannya dengan mentalitas dan
profesionalitas pribadi jurnalis. Jurnalis yang malas akan
38
cenderung menjadikan kloning sebagai cara mudah untuk
mendapatkan sumber berita.
3. Minimnya kontrol perusahaan media
Kontrol perusahaan media terhadap hasil karya jurnalis selama
ini masih sangat minim. Di tingkat redaktur misalnya, selaku
penyaring pertama karya jurnalistik wartawan, cenderung tidak
memperhatikan proses dan pola wartawan dalam menghasilkan
berita. Bahkan yang terjadi selama ini, sekalipun praktik
kloning telah jelas dilakukan oleh wartawan yang
bersangkutan, namun tidak ada sanksi apapun yang diberikan
oleh perusahaan.
4. Minimnya kontrol organisasi profesi
Meski tidak semua wartawan ikut serta menjadi anggota
organisasi profesi, namun ternyata kontrol yang diberikan turut
memberikan pengaruh terhadap perilaku wartawan. Dalam
kasus suap misalnya, untuk organisasi tertentu menetapkan
kontrol dan saknsi yang sangat ketat untuk menghukum
pelakunya. Hal ini berbanding terbalik dengan kontrol terhadap
perilaku kloning wartawan yang seolah mengalami pembiaran.
5. Tidak tegasya penegakan etika
Tinggi rendahnya komitmen jurnalis terhadap etika profesi
akan mempengaruhi keputusannya untuk melakukan kloning
berita atau tidak. Namun seringkali komitmen yang telah
39
terbangun tersebut tidak diikuti dengan tegasnya penegakan
etika profesi jurnalis. Seperti diketahui, perilaku plagiat
merupakan salah satu hal yang diatur dalam kode etik
jurnalistik, namun penegakan terhadap aturan tersebut
khususnya pemberian sanksi tegas secara hukum maupun etik
justru minim atau hampir tidak ada.
6. Tingginya tuntutan kerja perusahaan media
Persaingan industri media massa yang semakin ketat
menjadikan tuntutan kerja dari perusahaan media terhadap
jurnalis menjadi semakin tinggi. Disini jurnalis diberikan beban
kerja yang semakin berat untuk memenuhi pasar diantaranya
dengan target kuota berita yang semakin banyak, deadline yang
ketat, serta tuntutan untuk memiliki kemampuan multitalenta.
Perusahaan media seringkali juga menuntut jurnalis untuk tidak
hanya menghasilkan satu karya jurnalistik media cetak namun
juga harus mampu menulis cepat di media online bahkan
melakukan reportase siaran radio. Beban kerja yang tinggi
inilah yang sering dijadikan alasan jurnalis melakukan kloning
karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki.
7. Faktor solidaritas profesi
Solidaritas terhadap sesama rekan kerja di lapangan juga sering
menjadi faktor penyebab menjamurnya perilaku kloning. Hal
ini banyak dialami oleh jurnalis muda yang harus
40
menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru. Biasanya
dalam satu komunitas wartawan, pola-pola kloning telah
terbentuk sebelumnya dan jurnalis baru seringkali mau tidak
mau harus mengikuti pola yang telah ada untuk menyesuaikan
diri dan bentuk solidaritas sesama jurnalis. Pada akhirnya,
kloning menjadi terus menerus terjadi antar generasi karena
dianggap sebagai kebutuhan satu sama lain.
Praktik jurnalisme kloning di Indonesia salah satunya terjadi
karena faktor kemajuan teknologi yang mempengaruhi proses kerja
jurnalis dalam pencarian sumber berita hingga menjadi karya jurnalistik.
“It also coincides with an apparent recognition that the burgeoning growth of
the new technologies has made plagiarism easier and easier to commit, and
therefore, even if beyond accurate measurement, to be on the rise,” (Michael,
2009:3).
Kemudahan dan kepraktisan teknologi membawa implikasi nyata
dalam proses kerja jurnalis baik dari segi etika maupun hukum. Salah satu
hal yang berpengaruh adalah kecenderungan praktik plagiarisme seperti
yang diungkapkan Pavlik (2001:14): “They also plagiarism increasingly
simply then tempting and raise a serious threat to good old shoe leather
reporting.”
Menurutrnya, Plagiarisme merupakan salah satu permasalahan
yang menjadi dilemma akibat keberadaan new media dalam ruang lingkup
jurnalistik. Plagiarisme juga semakin mudah terjadi bukan hanya karena
kemudahan jurnalis mencari data melalui sumber-sumber yang tersaji
lebih luas dalam dunia online. Keberadaan hyperlink (pertautan) dari satu
41
media ke media lainnya membuat data original menjadi kabur dan sulit
ditelusur.
Penjiplakan karya jurnalistik sendiri sebenarnya tidak hanya
dilakukan di ranah media konvensional semata tetapi justru kini lebih
akrab dilakukan di ruang lingkup media baru yakni media online.
Persoalan plagiarisme pun menjadi hal yang disinggung menyangkut
kehadiran media baru ini. Christel, G.C van de Burgt, Klaus Schonbach,
Richard, JW van der Wurff dalam karya mereka Journalism Ethics in
Perspective: Desirability and Feasibility of a Separate Code of Conduct
for Online Journalism mengidentifikasi sejumlah persoalan etis dan
hukum yang memunculkan dilema dalam praktik jurnalisme online.
Penelitian tersebut menyatakan bahwa jurnalisme online akan
menghadirkan dilemma berkaitan dengan tekanan komersial dari
perusahaan, keberadaan hyperlink, keakuratan dan kedekatan berita,
plagiarisme, privasi dan masalah identitas.
Ketika berbicara mengenai plagiarisme, persoalan di ranah hukum
yang tidak bisa diabaikan begitu saja adalah berkaitan dengan hak cipta
(copyright). Hak cipta merupakan intellectual property right dimana
keberadaannya adalah untuk mencegah dilakukannya pencurian hak-hak
kekayaan intelektual yang dimiliki oleh individu maupun perusahaan.
Dalam wilayah media, adanya hak cipta ini dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya copy paste hasil pekerjaan satu orang dengan orang lain tanpa
permisi.
42
“The law of copyright protect two kinds of labour or investment: the labour of
the author in his own material, such as articles, programmes, scripts or songs
and the investment of those who provide the technology necessary to publish the
material, such as newspapers, broadcast, films, or records (Crone, 2002:43).”
Pemberitaan yang dihasilkan jurnalis dan telah dimuat dalam
sebuah media dilindungi oleh hak kekayaan intelektual sebagai hasil karya
cipta dan hasil kreasi seseorang yang masuk dalam kategori intellectual
property right. Apabila seorang jurnalis melakukan plagiarisme terhadap
hasil pemberitaan yang dilakukan jurnalis lain, maka bisa jurnalis tersebut
melakukan pencurian hak cipta. Pada dasarnya tidak ada copyright yang
berlaku untuk sebuah ide atau pemberitaan. Namun hukum hak cipta
memberikan perlindungan dalam pemberitaan dan persebaran informasi
dalam beberapa hal (Crone, 2002:43): “However a newspaper or
programme cannot use verbatim another newspaper‟s report or broadcast
another programme‟s footage of an event.”
Hal tersebut menegaskan , apapun yang telah dipublikasikan dalam
media termasuk media baru, baik itu berita maupun informasi, tidak bisa
sembarangan disalin dan dipindahkan begitu saja tanpa memperhitungkan
hak cipta atau memberikan tautan yang menjadi rujukan (referensi).
1.6.2 Kloning dan Fenomena Jurnalisme Kerumunan
Fenomena jurnalisme kloning yang terjadi di Indonesia ternyata
memiliki pola-pola yang hampir sama dengan apa yang disebut jurnalisme
kerumunan atau pack journalism. Jurnalisme kerumunan atau pack
journalism merupakan kecenderungan perilaku jurnalis untuk berbondong-
43
bondong mengerubuti satu sumber berita yang sama. Jurnalisme
kerumunan ini erat kaitannya dengan jurnalisme kloning karena pola-pola
yang terjadi sangat mirip dengan perilaku kloning.
“Everyone in journalism steals from everyone else. Opinion writers are „pack
rats‟ who steal ideas, facts, opinions in an effort to add insight to an issue.
Newspaper plagiarism noted the irony that editors who object to copying
material remorselessly steal story ideas and concepts for regular features from
other newspapers,‟‟ (Paul Lewis, 2013:742).
Jonathan Matusitz dan Gerald-Mark Breen dalam penelitiannya
Unethical Consequences of Pack Journalism (2007) memberikan beberapa
definisi mengenai pack journalism: “Pack journalism, a widespread
media practice where large groups of reporters collaborate to cover the
same story, should be abolished, or at least lessened in frequency”
Secara garis besar disebutkan, pack journalism merupakan praktik
media secara luas dimana kelompok-kelompok besar wartawan bekerja
bersama untuk mendapatkan atau memberitakan informasi yang sama.
Matusitz juga mengutip beberapa definisi lain dari pack journalism,
diantaranya:
“Pack journalism is a phenomenon by which large groups of reporters from
different media outlets collaborate to cover the same story. They cite or draw
from the same sources, simultaneously, with the same purpose and employing the same methods. They move in a swarm where they observe carefully what the
others are doing. Oftentimes, they flock from hotspot to hotspot, clump together
in a hotel overlooking the streets, and crowd outside courthouses, city halls, or
at the scene of an accident or catastrophe. Their main goal is to obtain
comments from the important sources” (Matusitz, 2002).
Istilah Pack Journalism sendiri diyakini telah muncul dalam masa
yang cukup lama. Penelitian Matusitz menyebutkan, istilah tersebut
dicetuskan oleh Timothy Crouse pada tahun 1973 yang dikenal juga
44
dengan sebutan herd journalism, fuselage journalism, atau communitarian
journalism.
Jurnalisme kerumunan masih terus terjadi karena saat ini semakin
sedikit jurnalis yang percaya akan kemampuan idenya sendiri dalam
mencari sumber berita dan mendapatkan isu yang eksklusif. Jurnalis
cenderung malas menentukan arah liputan atau mencari narasumber
sendiri. Pack journalism menunjukkan adanya kecenderungan sifat malas
wartawan dalam mengumpulkan informasi menjadi berita.
“The role of journalists is to gather and publish original information, not falsify
information due to a deliberate lack of effort and motivation. Yet, particularly
rampant in the political setting, pack journalism has become mindless and
unscrupulous copycat behavior that stems from journalistic laziness. As such,
prominent news organizations highlight similar, if not identical, stories, using
the same sources, each one churning out the same words, asking the same
questions, and ending up with the same article” (Matusitz, 2002).
Seringkali kecenderungan perilaku wartawan dalam pack
journalism adalah hanya menyodorkan alat perekam atau kamera kepada
narasumber dan diam mengikuti pertanyaan yang dilontarkan jurnalis lain.
Bahkan beberapa jurnalis yang bersangkutan sering tidak mengetahui apa
yang dibicarakan narasumbernya.
Sementara, kebiasaan berkerumun ini menjadikan sumber berita
dan angle atau sudut pandang peliputan cenderung sama satu sama lain.
Hal inilah yang menjadikan celah bagi praktik jurnalisme kloning.
Kesamaan bahan berita yang dicari menjadikan wartawan yang malas
hanya mengandalkan wartawan lain dalam mendapatkan sumber berita.
Alhasil, dengan alasan terlambat atau ada tugas lain, jurnalis yang malas
45
terbiasa dengan mudahnya mendapatkan kloning berita. Aktivitas yang
sering dilakukan tersebut pada akhirnya menjadikan jurnalis lain
menganggapnya sebagai perilaku yang biasa dan tidak melannggar etika.
Pack journalism menumpulkan kreativitas wartawan dalam
menghasilkan karya jurnalistik. Kualitas informasi yang dihasilkan juga
menurun karena tidak ada keberagaman. Publik pun semakin sedikit
mendapatkan pilihan berita yang berimbang. Selain berimbas pada
perilaku kloning berita, pack journalism juga mengarah pada bentuk
jurnalisme katanya. Dimana jurnalis seringkali malas melakukan
konfirmasi langsung kepada narasumber dan lebih mengandalkan apa yang
dikatakan oleh jurnalis lain dalam merangkai karya jurnalistiknya.
Seringkali jurnalisme katanya ini mennjadikan informasi yang diterbitkan
di masyarakat menjadi tidak akurat.
1.6.3 News Aggregator dan Jurnalisme Kloning
News Aggregator secara sederhana bisa dipahami sebagai
kumpulan berita dari berbagai macam sumber yang disajikan dalam bentuk
link melalui suatu website atau situs tertentu. News Aggregator sengaja
dibahas karena keterkaitannya dengan jurnalisme kloning. Yakni apakah
praktik agregat berita tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak cipta
karya jurnalistik yang sangat dekat dengan plagiarisme. Untuk
memahaminya secara lebih jauh, ada baiknya kita menganalisa beberapa
definisi mengenai news aggregator, salah satunya dari penelitian yang
46
telah dilakukan Kimberly Isbell: “At its most basic, a news aggregator is a
website that takes information from multiple sources and displays it in a
single place (Isbell, 2010:2).
Dari definisi yang diberikan tersebut, bisa dijelaskan secara
sederhana bahwa news aggregator merupakan sebuah website yang
memberikan informasi dari berbagai macam sumber dan disajikan dalam
satu tempat. Sesuai dengan apa yang tersaji selama ini, seringkali news
aggregator bukan merupakan pemilik asli informasi atau berita tertentu
melainkan hanya mengumpulkan berbagai sumber.
News Aggregator menurut Kimberly tercakup dalam beberapa
bentuk. Ia mengklasifikasikannya dalam empat jenis diantaranya Feed
Aggregators, Specialty Aggregators, User-Curated Aggregators, dan Blog
Aggregators.
“Feed Aggregators is the closest to the traditional conception of a news
aggregator, namely, a website that contains material from a number of websites
organized into various „feed‟ typically arranged by source, topic or story. Feed
Aggregators often draw their material from a particular type of source, such as
news websites or blogs, although some feed aggregators will contain content
from more than type of source” (Isbell, 2010:2).
Feed Aggregators memiliki konsep yang sangat dekat dengan
news aggregators. Yakni, sebuah website yang berisi materi dari sebuah
situs yang disusun dalam berbagai „feed‟ yang biasanya diatur oleh
sumber, topic atau cerita. Feed aggregators seringkali mengambil materi
dari sumber tertentu seperti situs-situs berita atau blog.
Specialty aggregators is a website that collects information from a number of
sources on particular topic or location. User-Curated Aggregators is a website that features user-submitted links and portions of text taken from a variety of
website. Often the links on a user-curated aggregators will be culled from a
47
wider variety of sources than most news aggregators, and will often include
links to blog posts and multimedia content. Blog aggregators are websites that
use third-party content to create a blog about a given topic (Isbell, 2010:3).
Jenis kedua yakni specialty aggregators merupakan sebuah
website yang mengumpulkan informasi dari sejumlah sumber, dan
menitikberatkan pada satu topik atau lokasi tertentu. Selanjutnya, user-
curated aggregators merupakan sebuah website yang memiliki fitur user-
submitted link dan bagian-bagian teks yang diambil dari berbagai situs
web, seringkali link pada user-link aggregators diambil dari berbagai
sumber yang lebih luas daripada kebanyakan aggregate berita dan sering
menyertakan link ke posting blog dan konten berita. Sementara jenis
terakhir yakni blog aggregators adalah situs web yang menggunakan
konten pihak ketiga untuk membuat sebuah blog tentang topik tertentu.
Dalam praktiknya, news aggregator seringkali menuai kontroversi
terutama terkait dengan legalitas penyajian informasi dan keaslian
kepemilikan isi berita yang disajikan. Di Indonesia ketentuan mengenai
hal tersebut tercantum dalam peraturan Dewan Pers nomor 1 tahun 2012
mengenai pedoman pemberitaan media siber. Media siber sendiri
didefinisikan sebagai segala bentuk media yang menggunakan wahana
internet dan melaksanakan kegiatan jurnalistik. Pada butir keempat poin d
pedoman tersebut disebutkan bahwa, bila suatu berita media siber tertentu
disebarluaskan media siber lain, maka:
1. Tanggung jawab media siber pembuat berita terbatas pada berita yang
dipublikasikan di media siber tersebut atau media siber yang berada di
48
bawah otoritas teknisnya.
2. Koreksi berita yang dilakukan oleh sebuah media siber juga harus
dilakukan oleh media siber lain yang mengutip berita dari media siber
yang dikoreksi itu
3. Media yang menyebarluaskan berita dari sebuah media siber dan tidak
melakukan koreksi atas berita sesuai yang dilakukan oleh media siber
pemilik dan atau pembuat berita tersebut, bertanggung jawab penuh
atas semua akibat hukum dari berita yang tidak dikoreksinya itu
1.7 Metodologi Penelitian
1.7.1 Studi Kasus Sebagai Metode Penelitian
Studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai
berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi
(komunitas), suatu program atau suatu situasi sosial. Peneliti studi kasus
berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang diteliti
(Mulyana, 2004:201).
Pendekatan studi kasus menyediakan peluang untuk menerapkan
prinsip umum terhadap situasi-situasi spesifik atau contoh-contoh yang
disebut kasus-kasus (Mulyana, 2004:202).
Studi kasus sengaja dipilih sebagai metode dalam penelitian ini
karena penulis menilai permasalahan mengenai praktik jurnalisme kloning
di kalangan jurnalis merupakan persoalan yang spesifik dan unik serta
belum banyak diteliti. Wilayah DIY dipilih karena merupakan salah satu
49
wilayah dengan perkembangan media massa yang cukup pesat. Yakni dari
semula hanya memiliki tiga media massa lokal seperti Kedaulatan Rakyat,
Bernas dan Merapi, kini diikuti dengan kemunculan media lokal baru
yakni Radar Jogja, Harian Jogja dan Tribun Jogja. Setidaknya terdapat 11
media massa lokal DIY yang terdaftar di dewan pers baik berupa media
massa harian maupun mingguan dan bulanan9. Ini belum termasuk media
nasional yang juga membuka biro di DIY dan media lain seperti online,
radio dan televisi. Beragamnya media massa yang terbit di DIY tersebut
menjadikan aktivitas jurnalisme di DIY cukup tinggi. Sehingga penulis
tertarik untuk melakukan studi kasus jurnalisme kloning di kalangan
jurnalis DIY. Selain itu, pengalaman pribadi penulis sebagai jurnalis
media massa lokal di DIY menjadikan penulis bisa melihat langsung
fenomena praktik jurnalisme kloning di kalangan jurnalis. Melalui studi
kasus ini diharapkan akan diperoleh kedalaman penjelasan atas kasus yang
diteliti.
1.7.2 Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah para jurnalis khususnya di
wilayah DIY. Populasi yang digunakan adalah jurnalis dari berbagai media
massa di DIY baik lokal maupun nasional yang memiliki biro/jurnalis
9 Berdasarkan data dari Dewan Pers terdapat 11 perusahaan media di Yogyakarta yang telah
terdaftar di dewan pers yakni Suara Aisyiyah, Koran Merapi Pembaruan, Bernas Jogja, Tribun
Jogja, Suara Muhammadiyah, Kabare, Djaka Lodang, Basis, Radar Jogja, Kedaulatan Rakyat dan