1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem Jaminan Sosial Nasional (national social security system) adalah sistem penyelenggaraan program negara dan pemerintah untuk memberikan perlindungan sosial, agar setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia. Jaminan sosial diperlukan apabila terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan seseorang, baik karena memasuki usia lanjut atau pensiun, maupun karena gangguan kesehatan, cacat, kehilangan pekerjaan dan lain sebagainya. Sistem Jaminan Sosial Nasional disusun dengan mengacu pada penyelenggaraan jaminan sosial yang berlaku universal dan telah diselenggarakan oleh negara-negara maju dan berkembang sejak lama. Penyelenggaraan jaminan sosial di berbagai negara memang tidak seragam, ada yang berlaku secara nasional untuk seluruh penduduk dan ada yang hanya mencakup penduduk tertentu untuk program tertentu. Secara universal, pengertian jaminan sosial dapat dijabarkan seperti beberapa definisi yang dikutip berikut ini. Menurut Guy Standing (2000) Social security,is a system for providing income security to deal with the contingency risks of life – “sickness, maternity, employment injury, unemployment, invalidity, old age and death; the provision of medical care, and the provision of subsidies for families with children”. ILO Convention 102 Social security is the protection which society provides for its members through a series of public measures: to offset the absence or substantial reduction of income from work resulting from various contingencies (notably sickness, maternity, employment injury, unemployment, invalidity, old age and death of the breadwinner)
123
Embed
BAB I PENDAHULUAN - BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (national social security system) adalah sistem
penyelenggaraan program negara dan pemerintah untuk memberikan perlindungan sosial,
agar setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, menuju
terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia. Jaminan sosial
diperlukan apabila terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki yang dapat mengakibatkan
hilangnya atau berkurangnya pendapatan seseorang, baik karena memasuki usia lanjut
atau pensiun, maupun karena gangguan kesehatan, cacat, kehilangan pekerjaan dan lain
sebagainya.
Sistem Jaminan Sosial Nasional disusun dengan mengacu pada penyelenggaraan
jaminan sosial yang berlaku universal dan telah diselenggarakan oleh negara-negara
maju dan berkembang sejak lama. Penyelenggaraan jaminan sosial di berbagai negara
memang tidak seragam, ada yang berlaku secara nasional untuk seluruh penduduk dan
ada yang hanya mencakup penduduk tertentu untuk program tertentu. Secara universal,
pengertian jaminan sosial dapat dijabarkan seperti beberapa definisi yang dikutip berikut
ini.
Menurut Guy Standing (2000)
Social security,is a system for providing income security to deal with the
contingency risks of life – “sickness, maternity, employment injury,
unemployment, invalidity, old age and death; the provision of medical care, and
the provision of subsidies for families with children”.
ILO Convention 102
Social security is the protection which society provides for its members through
a series of public measures:
to offset the absence or substantial reduction of income from work
resulting from various contingencies (notably sickness, maternity,
employment injury, unemployment, invalidity, old age and death of the
breadwinner)
2
to provide people with health care; and
to provide benefits for families with children."
Tanpa merinci jenis program jaminan sosial lainnya, UUD 1945 telah mengamanatkan
kepada Negara untuk mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Pasal 28 H
ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa jaminan sosial adalah hak setiap warga negara.
Lebih lanjut, perlunya segera dikembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
ditegaskan pada Pasal 34 ayat 2 Perubahan UUD 45 tahun 2002 yang menyatakan
bahwa ―Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan‖. Tanpa rincian program jaminan sosial yang akan dikembangkan, dapat
dipahami bahwa amanat tersebut menghendaki terselenggaranya berbagai program
jaminan sosial secara komprehensif/menyeluruh seperti yang telah diselenggarakan
negara lain, meskipun hal itu dilakukan secara bertahap.
Secara universal, Jaminan Sosial dijamin oleh Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tahun 1948 tentang Hak Asasi Manusia. Indonesia meratifikasi deklarasi tersebut yang di
dalamnya dinyatakan bahwa ― .... setiap orang, sebagai anggota masyarakat, mempunyai
hak atas jaminan sosial ..... dalam hal menganggur, sakit, cacat, tidak mampu bekerja,
menjanda, hari tua .....‖. Konvensi ILO No. 102 tahun 1952 menganjurkan agar semua
negara di dunia memberi perlindungan dasar kepada setiap warga negaranya dalam
rangka memenuhi Deklarasi PBB tentang Hak Jaminan Sosial.
Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa, selain dapat memberikan
perlindungan sosial bagi masyarakat, jaminan sosial juga menjadi penggerak
pembangunan ekonomi. Akhir-akhir ini bermunculan kenyataan baru yang membuktikan
bahwa jaminan sosial makin diperlukan mengingat bahwa kondisi perekonomian global
maupun nasional sedang mengalami berbagai krisis yang mengancam kesejahteraan
rakyat. Krisis telah mengakibatkan masyarakat kehilangan pekerjaan, berkurangnya
pendapatan, dan kehilangan kesejahteraan yang menjadi haknya. Disamping itu,
pendapatan masyarakat akan berkurang karena menderita penyakit atau memasuki usia
lanjut. Jaminan sosial dapat diandalkan sebagai upaya penyelamat dari berbagai risiko
tersebut.
Jaminan sosial dapat diwujudkan melalui mekanisme asuransi sosial dan tabungan sosial.
Adanya perlindungan terhadap risiko sosial ekonomi melalui asuransi sosial dapat
mengurangi beban negara (APBN) dalam penyediaan dana bantuan sosial yang memang
sangat terbatas. Melalui prinsip kegotong-royongan, meanisme asuransi sosial
3
merupakan sebuah instrumen negara yang kuat dan digunakan di hampir seluruh negara
maju dalam menanggulangi risiko sosial ekonomi yang setiap saat dapat terjadi pada
setiap warga negaranya.
Dari aspek ekonomi makro, jaminan sosial nasional adalah suatu instrumen yang efektif
untuk memobilisasi dana masyarakat dalam jumlah besar, yang sangat bermanfaat untuk
membiayai program pembangunan dan kesejahteraan bagi masyarakat itu sendiri. Selain
memberikan perlindungan melalui mekanisme asuransi sosial, dana jaminan sosial yang
terkumpul dapat menjadi sumber dana investasi yang memiliki daya ungkit besar bagi
pertumbuhan perekonomian nasional. Dilihat dari aspek dana, program ini merupakan
suatu gerakan tabungan nasional yang berlandaskan prinsip solidaritas sosial dan
kegotong-royongan.
Banyak negara memulai penyelenggaraan jaminan sosial setelah mengalami krisis
ekonomi yang berat dimana kebutuhan kegotong-royongan sangat terasa.
Amerika Serikat mengembangkan jaminan sosial pada masa pemerintahan Presiden
Roosevelt (1935) setelah negara tersebut mengalami depresi ekonomi yang sangat hebat
di tahun 1932. Jerman memperkenalkan asuransi sosial semasa pemerintah Otto Van
Bismarck (1883) dimana perlindungan tenaga kerja sangat dibutuhkan. Kedua negara
maju tersebut kini memperoleh manfaat besar dari penyelenggaraan jaminan sosial yang
dikembangkan pada waktu kedua negara tersebut sedang menghadapi resesi ekonomi.
Manfaat besar dari dana yang terhimpun juga dinikmati negara berkembang yang telah
menyelenggarakan jaminan sosial secara konsisten dan mencakup seluruh pekerja sektor
formal. Malaysia telah berhasil memupuk Tabungan Nasional atau Dana Jaminan Sosial
senilai US$ 90 Miliar melalui program jaminan hari tua pegawai (Employee Provident
Fund, EPF). Kekuatan dana asuransi sosial inilah, antara lain, yang menyelamatkan
Malaysia dari krisis mata uang pada tahun 1998 yang lalu.
B. Pilar Perlindungan Sosial
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk terdapat tiga-pilar pendekatan
yang saling melengkapi namun berbeda pola penyelenggaraannya, yaitu :
Pilar Pertama menggunakan meknisme bantuan sosial (social assistance) kepada
penduduk yang kurang mampu, baik dalam bentuk bantuan uang tunai maupun
pelayanan tertentu, untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak. Pembiayaan bantuan
sosial dapat bersumber dari Anggaran Negara dan atau dari Masyarakat. Mekanisme
4
bantuan sosial biasanya diberikan kepada Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) yaitu masyarakat yang benar-benar membutuhkan, umpamanya penduduk
miskin, sakit, lanjut usia, atau ketika terpaksa menganggur.
Di Indonesia, bantuan sosial oleh Pemerintah kini lebih ditekankan pada pemberdayaan
dalam bentuk bimbingan, rehabilitasi dan pemberdayaan yang bermuara pada
kemandirian PMKS. Diharapkan setelah mandiri mereka mampu membayar iuran untuk
masuk mekanisme asuransi.
Kearifan lokal dalam masyarakat juga telah lama dikenal yaitu upaya-upaya kelompok
masyarakat, baik secara mandiri, swadaya, maupun gotong royong, untuk memenuhi
kesejahteraan anggotanya melalui berbagai upaya bantuan sosial, usaha bersama,
arisan, dan sebagainya. Kearifan lokal akan tetap tumbuh sebagai upaya tambahan
sistem jaminan sosial karena kearifan lokal tidak mampu menjadi sistem yang kuat,
mencakup rakyat banyak, dan tidak terjamin kesinambungannya.
Pemerintah mendorong tumbuhnya swadaya masyarakat guna memenuhi
kesejahteraannya dengan menumbuhkan iklim yang baik dan berkembang, antara lain
dengan memberi insentif untuk dapat diintegrasikan dalam sistem jaminan sosial nasional.
Pilar Kedua menggunakan mekanisme asuransi sosial atau tabungan sosial yang bersifat
wajib atau compulsory insurance, yang dibiayai dari kontribusi atau iuran yang dibayarkan
oleh peserta. Dengan kewajiban menjadi peserta, sistem ini dapat terselenggara secara
luas bagi seluruh rakyat dan terjamin kesinambungannya dan profesionalisme
penyelenggaraannya.
Dalam hal peserta adalah tenaga kerja di sektor formal, iuran dibayarkan oleh setiap
tenaga kerja atau pemberi kerja atau secara bersama-sama sebesar prosentase tertentu
dari upah.
Mekanisme asuransi sosial merupakan tulang punggung pendanaan jaminan sosial di
hampir semua negara. Mekanisme ini merupakan upaya negara untuk memenuhi
kebutuhan dasar minimal penduduk dengan mengikut-sertakan mereka secara aktif
melalui pembayaran iuran. Besar iuran dikaitkan dengan tingkat pendapatan atau upah
masyarakat (biasanya prosentase tertentu yang tidak memberatkan peserta) untuk
menjamin bahwa semua peserta mampu mengiur.
Kepesertaan wajib merupakan solusi dari ketidak-mampuan penduduk melihat risiko masa
depan dan ketidak-disiplinan penduduk menabung untuk masa depan. Dengan demikian
5
sistem jaminan sosial juga mendidik masyarakat untuk merencanakan masa depan.
Karena sifat kepesertaan yang wajib, pengelolaan dana jaminan sosial dilakukan sebesar-
besarnya untuk meningkatkan perlindungan sosial ekonomi bagi peserta. Karena sifatnya
yang wajib, maka jaminan sosial ini harus diatur oleh UU tersendiri.
Di berbagai negara yang telah menerapkan sistem jaminan sosial dengan baik, perluasan
cakupan peserta dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan ekonomi
masyarakat dan pemerintah serta kesiapan penyelenggaraannya. Tahapan biasanya
dimulai dari tenaga kerja di sektor formal (tenaga kerja yang mengikatkan diri dalam
hubungan kerja), selanjutnya diperluas kepada tenaga kerja di sektor informal, untuk
kemudian mencapai tahapan cakupan seluruh penduduk. Upaya penyelenggaraan
jaminan sosial sekaligus kepada seluruh penduduk akan berakhir pada kegagalan karena
kemampuan pendanaan dan manajemen memerlukan akumulasi kemampuan dan
pengalaman. Kelompok penduduk yang selama ini hanya menerima bantuan sosial,
umumnya penduduk miskin, dapat menjadi peserta program jaminan sosial, dimana
sebagian atau seluruh iuran bagi dirinya dibayarkan oleh pemerintah. Secara bertahap
bantuan ini dikurangi untuk menurunkan ketergantungan kepada bantuan pemerintah.
Untuk itu pemerintah perlu memperhatikan perluasan kesempatan kerja dalam rangka
mengurangi bantuan pemerintah membiayai iuran bagi penduduk yang tidak mampu.
Pilar Ketiga menggunakan mekanisme asuransi sukarela (voluntary insurance) atau
mekanisme tabungan sukarela yang iurannya atau preminya dibayar oleh peserta (atau
bersama pemberi kerja) sesuai dengan tingkat risikonya dan keinginannya. Pilar ketiga ini
adalah jenis asuransi yang sifatnya komersial, dan sebagai tambahan setelah yang
bersangkutan menjadi peserta asuransi sosial. Penyelenggaraan asuransi sukarela
dikelola secara komersial dan diatur dengan UU Asuransi.
Pendapatan & cakupan jaminan sosial dengan pertumbuhan ekonomi membaik dapat
dilihat dalam grafik berikut ini :
6
Kebutuhan Perlindungan
Ekonomi dan Sosial
* Data Statistik Indonesia 2002 (BPS) : - Jumlah Penduduk Indonesia 212.003.000 orang - Angkatan Kerja ; 100.779.270 orang Pekerja 91.647.166 orang Pencari Kerja 9.132.104 orang - Jumlah penduduk miskin ...………….. orang
Bantuan Sosial (Tax System) * Need Test * APBN (yang tersedia)
Personal Investment (Saham, Deposito dll.)
Asuransi Sosial
Employee Benefits Plan Asuransi Jiwa Kelompok -
* Pension Plan -
Supplements Scheme
Asuransi Jiwa - Private Pension -
Plan (DPLK)
7
C. Penyelenggaraan Jaminan Sosial Di Indonesia
Di Indonesia sebenarnya telah ada beberapa program jaminan sosial yang
diselenggarakan dengan mekanisme asuransi sosial dan tabungan sosial, sesuai dengan
definisi yang tersebut terdahulu, namun kepesertaan program tersebut baru mencakup
sebagian dari masyarakat yang bekerja di sektor formal. Sebagian besar lainnya,
terutama yang bekerja di sektor informal, belum memperoleh perlindungan sosial. Selain
itu, program-program tersebut belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan yang
adil pada peserta dan manfaat yang diberikan kepada peserta masih belum memadai
untuk menjamin kesejahteraan mereka.
Pemerintah Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa program jaminan sosial yang ada
mempunyai keterbatasan. Berdasarkan kesadaran akan keterbatasan tersebut dan
adanya mandat Ketetapan MPR RI nomor X/MPR/2001 kepada Presiden RI untuk
mengembangkan SJSN dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh
dan terpadu, Presiden mengambil inisiatif menyusun SJSN. SJSN disusun berlandaskan
prinsip-prinsip yang mampu memenuhi keadilan, keberpihakan pada masyarakat banyak
(equity egaliter), transparansi, akuntabilitas, kehati-hatian (prudentiality) dan layak. Prinsip
equity egaliter merupakan suatu bentuk keadilan sosial yang dicita-citakan dimana setiap
penduduk harus dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya (yang layak) tanpa
memperhatikan kemampuan ekonominya. Dalam bidang kesehatan, prinsip ini diwujudkan
dengan menjamin agar semua penduduk yang sakit mendapatkan pengobatan atau
pembedahan yang dibutuhkan meskipun ia miskin. SJSN ini terutama akan didasarkan
pada mekanisme asuransi sosial dan karenanya anggaran belanja negara yang
dialokasikan untuk kesejahteraan pada akhirnya akan semakin berkurang. Bagi penduduk
yang tidak mampu, sebagian atau seluruh iuran akan dibayarkan oleh pemerintah, sesuai
dengan tingkat ketidak-mampuan penduduk. Presiden, dalam Pidato di hadapan Sidang
Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 2002, telah
menyampaikan bahwa konsep SJSN tersebut sedang disusun oleh Tim SJSN yang
dibentuk oleh Pemerintah RI dengan Keppres No. 20 tahun 2002.
Astek, Jamsostek telah menyelenggarakan jaminan sosial sejak tahun 1978 – 1993,
mencakup sebagian tenaga kerja sektor formal dan hanya menyelenggarakan Jaminan
Kecelakaan Kerja. Sebagian besar tenaga kerja lainnya yang bekerja di sektor informal
(tenaga kerja di luar hubungan kerja, seperti nelayan, petani dan pedagang sayur, kios,
pedagang sate, baso, gado-gado, warteg, dll) belum memperoleh perlindungan sosial
8
formal sampai saat ini karena memang undang-undangnya belum menyediakan peluang
untuk itu.
Undang-Undang yang secara khusus mengatur jaminan sosial dan mencakup program
yang lebih lengkap adalah UU Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek) yang diselenggarakan oleh PT Jamsostek. Sampai saat ini penyelenggaraan
Jamsostek baru mencakup sekitar 12 juta peserta aktif dari sekitar 31 juta tenaga kerja di
sektor formal (Standing, 2000.). Selain PT Jamsostek, beberapa Badan Penyelenggara
telah melaksanakan program jaminan sosial secara parsial sesuai dengan misi khususnya
berupa program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri yang dikelola oleh PT
ASKES Indonesia, Jaminan Hari Tua dan Pensiun Pegawai Negeri dikelola PT TASPEN
dan jaminan sosial bagi TNI-Polri yang dikelola oleh PT ASABRI.
Pegawai Negeri, pensiunan pegawai negeri, pensiunan TNI-Polri, Veteran, dan anggota
keluarga mereka menerima jaminan kesehatan yang dikelola PT Askes berdasarkan PP
No. 69/91. Selain itu pegawai negeri yang memasuki masa pensiun mendapatkan jaminan
pensiun yang dikelola oleh program Tabungan Pensiun (TASPEN) berdasarkan PP No.
26 tahun 1981. Anggota TNI-Polri dan PNS Departemen Pertahanan mendapat jaminan
hari tua, cacat, dan pensiun melalui program ASABRI berdasarkan PP No. 67 tahun 1991.
Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota Polri dan PNS Dephan memperoleh jaminan
pensiun melalui anggaran negara (pay as you go).1 Dengan demikian, sebagain besar
program pensiun pegawai negeri, TNI, dan Polri tidak didanai dari tabungan pegawai
sehingga sangat bergantung pada anggaran belanja negara. Kontribusi pemerintah, dari
APBN, untuk dana pensiun pegawai negeri, tentara, dan anggota polisi--yang merupakan
suatu bentuk tunjangan pegawai atau employment benefits-- akan terus membengkak dan
memberatkan APBN, jika tidak ditunjang dengan peningkatan iuran dari pegawai. Selain
itu, tidaklah adil jika dana APBN yang berasal dari pajak akan tersedot dalam jumlah
besar bagi pendanaan pensiun pegawai negeri, tentara dan anggota polisi saja.
Penyelenggaraan dana pensiun yang adil dan memadai yang didanai bersama (bipartit)
antara pekerja sendiri dan pemberi kerja, terlepas dari status pegawai negeri atau swasta
atau usaha sendiri (self-employed) merupakan sebuah sistem yang lebih berkeadilan dan
lebih terjamin kesinambungannya.
1 Sebenarnya dana Pensiun yang dikelola PT Taspen terdiri atas 14% dana dari iuran PNS dan 86% dari
APBN.
9
Cakupan beberapa skema jaminan sosial yang ada (Askes, Taspen, Asabri, Jamsostek)
baru diperuntukan bagi 7,8 juta tenaga kerja formal dari 100,8 juta angkatan kerja (BPS,
2003). Baru 12 juta tenaga kerja formal kini aktif sebagai peserta PT Jamsostek.
Di negara-negara tetangga kepesertaan tenaga kerja yang memperoleh jaminan sosial
sudah mencakup seluruh tenaga kerja formal. Khusus dalam program asuransi kesehatan
sosial dengan pembiayaan dari publik, Indonesia jauh tertinggal karena baru menjamini 9
(sembilan) persen dari jumlah penduduknya, sebagaimana terlihat dalam gambar 1
berikut.
Gambar 1 :
Persentase Penduduk Yang Memiliki Asuransi Sosial Kesehatan / Pembiayaan
Publik di Beberapa Negara
Sedangkan dalam program jaminan hari tua/pensiun, jaminan sosial di Indonesia baru
mencapai maksimal 20 persen dari total pekerja sektor formal sebagaimana
digambarkan pada gambar 2 berikut.
Lu
kse
mb
erg
Kan
ad
a
Isla
nd
ia
Den
ma
rk
No
rweg
ia
Au
stra
lia
Jep
an
g
Itali
Fin
lan
dia
Sel
an
dia
Baru
Inggri
s
Po
rtu
ga
l
Yu
na
ni
Cek
o
Kore
a
Mu
an
gta
i
Sp
an
yol
Per
an
cis
Au
stri
a
Bel
gia
Jer
man
Tu
rki
Bel
an
da
Fil
ipin
a
Am
erik
a
Ind
on
esia
% p
dd
k d
g A
SK
100
80
60
40
20
0
10
Gambar 2: Persentase Pekerja Sektor Formal (> 1 orang pekerja)
Yang Memiliki Jaminan Hari Tua/Pensiun di Beberapa Negara
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa rendahnya cakupan kepesertaan
program jaminan sosial sekarang ini terjadi karena program tersebut belum
sepenuhnya mampu memberikan perlindungan yang adil pada para peserta dan
manfaat yang diberikan kepada peserta belum memadai untuk menjamin
kesejahteraannya (Thabrany dkk, 2000).
Selain itu program jaminan sosial di Indonesia belum mampu meningkatkan
pertumbuhan dan menggerakan ekonomi makro karena porsi dana Jaminan Sosial
terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia masih sangat kecil (Purwoko, 2001).i
Sebagai contoh untuk Program Jaminan Kesehatan, berdasarkan data yang dikutip
dari Profile of Asian Country, 1997, memperlihatkan belanja kesehatan per kapita
Indonesia jauh tertinggal dan baru mencapai US$ 19,1 dan yang tertinggi adalah
Singapore dengan US$ 667,0 akibat belum meluasnya cakupan jaminan kesehatan di
Indonesia. Perbandingan belanja kesehatan di beberapa negara Asia dapat dilihat
pada tabel berikut.
Per
an
cis
Lu
kse
mb
erg
Kan
ad
a
Isla
nd
ia
Den
ma
rk
No
rweg
ia
Au
stra
lia
Jep
an
g
Itali
Fin
lan
dia
Sel
an
dia
Baru
Inggri
s
Po
rtu
ga
l
Yu
na
ni
Cek
o
Kore
a
Mu
an
gta
i
Sp
an
yol
Au
stri
a
Bel
gia
Jer
man
Tu
rki
Bel
an
da
Fil
ipin
a
Am
erik
a
Ind
on
esia
% p
dd
k d
g A
SK
100
80
60
40
20
0
11
Tabel 1:
Jaminan Kesehatan Berdasarkan Profile Of Asian Country
Dari berbagai permasalahan yang berkembang saat ini, kendala utama
pengembangan program jaminan sosial di Indonesia dapat di identifikasi sebagai
berikut :
1. Belum adanya konsep dan undang-undang tentang SJSN yang komprehensif,
terpadu, dan memberikan manfaat yang layak yang mampu menjangkau seluruh
penduduk.
2. Pelayanan dari lembaga jaminan sosial yang ada dirasakan perlu ditingkatkan,
baik dari segi besaran manfaat yang diterima maupun dari segi mekanisme
perolehan manfaat.
3. Pengelolaan administrasi dan pelayanan kurang efisien dan kurang baik yang
menyebabkan sering terjadinya keluhan peserta dan rendahnya tingkat kepuasan
peserta.
4. Selama ini program jaminan sosial tidak didukung oleh perangkat penegak hukum
yang konsisten, adil dan tegas, sehingga belum semua tenaga kerja memperoleh
perlindungan yang optimal.
5. Adanya intervensi pejabat pemerintah terhadap penggunaan dana program
jaminan sosial yang ada saat ini berdampak pada kurang optimalnya manfaat
program dan menimbulkan keresahan dan rasa tidak puas di kalangan para
peserta.
Source: Health Care Industry, Price Waterhouse, 1999 (termasuk JPS)
NEGARA PDB (US$
Milyar)
PDB Per
Kapita (US$)
TOTAL HE
(US$ Milyar)
HE Per
Kapita (US$)
HE / PDB (%)
CAKUPAN OPERASIONAL
(%)
INDONESIA 214 1.060 4.093 bil
HONGKONG 173 26.610 6,78 bil (HK) 161,3 4 % -
MALAYSIA 97,9 4.517 2,061 bil 97,3 2,4 % 18,2 %
96,3 31.035 3,3 bil (SIN) 667,0 3,6 % 35 %
TAIWAN 283,4 13.148 13,6 bil 623,8 4,8 % 96 %
THAILAND 154 2.540 66 bil 108,5 4,3 % 56 %
HONGKONG 173 bil 26.610 6,78 bil (HK) 161,3
MALAYSIA 97,9 bil 4.517 2,061 bil 97,3
SINGAPORE 96,3 bil 31.035 3,3 bil (SIN) 667,0 35 %
TAIWAN 283,4 bil 13.148 13,6 bil 623,8 96 %
THAILAND 154 bil 2.540 66 bil 108,5 56 %
19,1 1,7 % 15 % 19,1 15 %
12
6. Seluruh badan penyelenggara jaminan sosial yang ada merupakan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) berbentuk Persero yang harus mencari keuntungan dan
menyetorkan deviden ke Pemerintah dan bukan memaksimalkan manfaat
sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.
7. Beberapa prinsip universal asuransi sosial, belum diterapkan secara konsisten.
D. Pendekatan Yang Akan Dilaksanakan
Sistem Jaminan Sosial Nasional akan dibangun terutama dengan mekanisme
asuransi sosial dan tabungan sosial, sehingga tidak akan membebani anggaran
pendapatan dan belanja negara. Namun sesuai amanat UUD 1945 Pasal 34 ayat (1),
bagi penduduk yang tidak mampu harus mendapatkan bantuan sosial, maka sebagian
atau seluruh iuran bagi penduduk tidak mampu akan ditanggung oleh pemerintah sesuai
dengan kemampuan keuangan negara. Bantuan sosial bagi penduduk Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), seperti korban bencana alam, kerusuhan sosial
dan bencana lainnya menjadi tanggung jawab penuh pemerintah yang
penyelenggaraannya dilaksanakan bersama pemerintah dan masyarakat, namun tidak
dikelola oleh SJSN.
E. Visi, Misi Dan Tujuan
Berlandaskan amanat UUD 1945 hasil amandemen Pasal 28 H ayat (3), Pasal 34
ayat (2) dan amanat Sidang Tahunan MPR Nomor X/MPR-RI Tahun 2001 serta kondisi
program jaminan sosial saat ini maka disusunlah visi, misi dan tujuan penyelenggaraan
SJSN sebagai berikut:
Visi SJSN
“Mewujudkan suatu sistem Jaminan Sosial Nasional yang dapat memenuhi hak
asasi yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia‖.
Misi SJSN
a. Meningkatkan kepesertaan sehingga pada suatu ketika SJSN mampu
memberikan perlindungan kepada seluruh penduduk.
b. Meningkatkan kualitas pelayanan sehingga seluruh penduduk merasa perlu
menjadi peserta SJSN
c. Meningkatkan perlindungan sehingga manfaat yang diterima peserta dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidup minimal yang layak.
13
Tujuan SJSN
SJSN bertujuan untuk melaksanakan amanat Pasal 28 H ayat (3) dan pasal 34 ayat
(2) Amandemen UUD 1945, yang dituangkan dalam UU SJSN yang mengatur
substansi berupa cakupan kepesertaan, besarnya iuran dan manfaat, mekanisme
penyelenggaraan jaminan sosial, dan kelembagaan sistem jaminan sosial yang
berlaku nasional guna terwujudnya perlindungan yang adil dan manfaat yang optimal
bagi para peserta. Undang-undang SJSN yang akan dilahirkan tersebut hendaknya
merupakan undang-undang tentang SJSN yang dapat meningkatkan efisiensi
program, meningkatkan kemampuan program untuk saling menopang, memudahkan
mekanisme pengumpulan iuran dan pembayaran manfaat, memperbaiki administrasi
dan manajemen pengelolaan, menetapkan struktur dan fungsi serta pengelolaan
organisasi atau kelembagaan SJSN secara lebih adil, terutama pada saat-saat
menurunnya tingkat kesejahteraan.
F. Dasar Hukum Penyusunan SJSN
Penyusunan UU SJSN didasarkan pada ketentuan UUD 1945 Pasal 28 H ayat (3)
yang mengamanatkan ―Jaminan Sosial adalah hak setiap warga negara‖ dan Pasal 34
ayat (2) yang menyatakan : ―Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu‖ serta ayat
(4) nya menyatakan ―ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang‖. Penyusunan SJSN adalah sesuai dengan Ketetapan MPR-RI No
X/MPR-RI Tahun 2001 dalam Sidang Tahunan MPR RI tahun 2001, yang menugaskan
Presiden untuk membentuk SJSN guna memberikan perlindungan sosial yang
menyeluruh dan terpadu. Secara hukum, undang-undang SJSN akan mengatur lembaga
jaminan sosial nasional yang akan dibentuk dan penyelenggaraan program jaminan sosial
bagi seluruh penduduk.
Dalam rangka penyusunan konsep SJSN telah dibentuk Tim SJSN dengan Keppres
No. 20 tahun 2002, dan kemudian diperbaharui dengan Keppres Nomor 101 Tahun
2003. Keanggotaan Tim SJSN meliputi pejabat dari berbagai instansi terkait,
kalangan akademisi, tenaga ahli dan lembaga swadaya masyarakat yang bertugas
menyiapkan RUU SJSN. Untuk menampung aspirasi berbagai pihak terkait (stake
holders) telah dilaksanakan berbagai loka karya, seminar dan sosialisasi konsep yang
melibatkan pihak-pihak terkait baik di Jakarta maupun di berbagai daerah. Untuk
mendukung kegiatan kesekretariatan, Ketua Tim SJSN telah membentuk Sekretariat
14
Tim SJSN yang berfungsi membantu kelancaran kegiatan kesekretariatan. Legalitas
dan landasan filosofi SJSN ini diperlihatkan berikut.
Gambar 3: Landasan Legalitas dan Landasan Filosofi SJSN
Selain itu, Tim SJSN :
1. Mendapat bantuan tenaga ahli dari Masyarakat Uni Eropa (EU), Bank Pembangunan
Asia (ADB), dan Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) serta Australia;
2. Tim telah melakukan studi banding ke Australia, Filipina, Thailand, Korea Selatan,
Perancis, dan Jerman serta mengikuti seminar tentang Social Security di Cina;
3. Tim telah menyelesaikan konsep SJSN yang meliputi substansi, kelembagaan,
mekanisme dan program yang dituangkan dalam Naskah Akademik SJSN ini.
Penyusunan konsep tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai
pandangan dan masukan dari penyelenggara jaminan sosial, serikat pekerja, asosiasi
pengusaha, asosiasi profesi, akademisi, instansi pemerintah terkait, serta lembaga
swadaya masyarakat. Sudah barang tentu tidak setiap masukan yang diterima Tim
dapat diakomodir ke dalam naskah RUU karena masing-masing pihak umumnya
Naskah Akademik SJSN
dan RUU SJSN (Substansi, Mekanisme dan
Kelembagaan)
Kepseswapres No. 7/ 2001, 21 Maret 2001
(Pembentukan Kelompok Kerja SJSN)
TAP MPR No. X/2001 (Menugaskan Presiden membentuk SJSN)
UUD 1945 Ps 28H (3) Jaminan sosial adalah hak setiap warga
negara.
Ps 34 (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu.
Konvensi ILO 102 (1952)
Hak jaminan sosial: Menganggur,
sakit, cacat, janda, hari tua. Ratifikasi
Keppres No.20/2002 & 101/2003 (Presiden membentuk Tim SJSN)
Deklarasi HAM PBB (10 Des 1948)
Pasal 25 ayat 1 (Hak Kesehatan dan Kesejahteraan,
Jaminan Kesehatan, Cacat, Janda, Menganggur/PHK, Hari
Tua)
15
memberikan masukan yang menyangkut kepentingannya. Tim menyusun konsep
seperti yang tertuang dalam naskah akademik ini dan naskah RUU SJSN dengan
meletakan keseimbangan dari berbagai kepentingan tersebut, serta tetap mengacu
kepada prinsip jaminan sosial yang bersifat universal.
16
BAB II
JAMINAN SOSIAL DI BERBAGAI NEGARA
Penyelenggaraan Jaminan Sosial merupakan suatu mekanisme universal di dalam
memelihara dan meningkatkan kesejahteraan rakyat suatu negara. Meskipun prinsip-
prinsip universalitasnya sama, yaitu pada umumnya berbasis pada mekanisme asuransi
sosial dan tabungan sosial, namun dalam penyelenggaraanya terdapat variasi yang luas.
Variasi program, tingkat manfaat, dan tingkat iuran serta badan penyelenggara di
berbagai negara tidak dapat dihindari karena beragamnya tingkat sosial ekonomi dan
budaya penduduk di negara tersebut.
Badan penyelenggara yang bervariasi dari yang langsung dikelola oleh pemerintah
sampai yang liberal yang diserahkan kepada swasta. Variasi tersebut tidak lepas dari
sejarah berkembangnya sebuah sistem jaminan sosial di negara tersebut. Masing-
masing sistem memiliki kelebihan dan kelemahan, oleh karenanya berbagai contoh
tersebut perlu disajikan disini sebagai rujukan bagi penyusunan SJSN.
Dalam bab ini disajikan secara garis besar badan penyelenggara jaminan sosial di 8
(delapan) negara tetangga dan negara maju sebagai perbandingan dalam menyusun
sebuah SJSN.
A. Konsep Badan Penyelenggara
Bervariasinya badan penyelenggara jaminan sosial di beberapa negara baik yang
dikelola langsung oleh pemerintah sampai yang liberal yang diserahkan kepada swasta,
dapat dilihat pada tiga alternatif konsep jaminan kesehatan di bawah ini. Konsep jaminan
kesehatan disajikan karena menyangkut kerja sama dengan fasilitas kesehatan (health
care provider) yang lebih kompleks. Sedangkan untuk program jaminan sosial lain yang
kurang kompleks dapat digunakan model badan penyelenggara yang sama dengan lebih
mudah dengan membuang komponen fasilitas kesehatan. Ketiga alternatif badan
penyelenggara adalah sebagai berikut:
17
1. Konsep alternatif pertama :
Gambar 4:
Alternatif 1 - Badan Penyelenggara
2. Konsep alternatif ke dua
Gambar 5:
Alternatif 2 - Badan Penyelenggara
Keterangan : Masing-masing Badan Penyelenggara JPK membayar langsung ke
Fasilitas Kesehatan
Administrasi Sentral
Verifikasi Proses Klaim
PESERTA
Fasilitas Kesehatan
Badan Penyelenggara (Masyarakat/Swasta)
Konfederasi Badan Penyelenggara,
Pemerintah, Wakil Fasilitas Kesehatan
Peserta
Fasilitas Kesehatan
6 5 4 3 2 1 Badan Penyelenggara
Kelompok Informal
Kelompok Formal
18
3. Konsep alternatif ke tiga
Gambar 6:
Altenatif 3 - Badan Penyelenggara
B. Sistem Jaminan Sosial Di Delapan Negara
Di bawah ini disajikan beberapa model sistem jaminan sosial di delapan negara
terpilih. Model-model di negara tersebut di bawah ini adalah wakil dari model-model yang
sama yang diselenggarakan di banyak negara lain. Penyajian model di delapan negara
merupakan ringkasan bagi pilihan model yang dapat diambil untuk menyusun RUU SJSN
di Indonesia.
Malaysia
Sebagai negara persemakmuran, sistem jaminan sosial di Malaysia berkembang
lebih awal dan lebih pesat dibandingkan dengan perkembangan sistem jaminan
sosial di negara lain di Asia Tenggara. Pada tahun 1951 Malaysia sudah memulai
program tabungan wajib pegawai untuk menjamin hari tua (employee provident
fund, EPF) melalui Ordonansi EPF. Seluruh pegawai swasta dan pegawai negeri
yang tidak berhak atas pensiun wajib mengikuti program EPF. Ordonansi EPF
kemudian diperbaharui menjadi UU EPF pada tahun 1991. Pegawai pemerintah
Pembayaran Iuran
PEMBERI KERJA
Fasilitas Kesehatan
PESERTA
Proses Klaim/Pembayaran
BADAN PENYELENGGARA JS
19
mendapatkan pensiun yang merupakan tunjangan karyawan pemerintah. Selain
itu, Malaysia juga memiliki sistem jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat
yang dikelola oleh Social Security Organization (SOCSO). Oleh karena
pemerintah federal Malaysia bertanggung jawab atas pembiayaan dan
penyediaan langsung pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk yang relatif
gratis, maka pelayanan kesehatan tidak masuk dalam program yang dicakup
sistem jaminan sosial di Malaysia. Dengan sistem pendanaan kesehatan oleh
negara, tidak ada risiko biaya kesehatan yang berarti bagi semua penduduk
Malaysia yang sakit ringan maupun berat.
Sektor informal merupakan sektor yang lebih sulit dimobilisasi. Namun demikian,
dalam sistem jaminan sosial di Malaysia, sektor informal dapat menjadi peserta
EPF atau SOCSO secara sukarela. Termasuk sektor informal adalah mereka
yang bekerja secara mandiri dan pembantu rumah tangga. Karyawan asing dan
pegawai pemerintah yang sudah punya hak pensiun juga dapat ikut program EPF
secara sukarela.
Di dalam penyelenggaraannya, masing-masing program dan kelompok penduduk
yang dilayani mempunyai satu badan penyelenggara. Program EPF dikelola oleh
Central Provident Fund (CPF), sebuah badan hukum di bawah naungan
Kementrian Keuangan. Lembaga ini merupakan lembaga tripartit yang terdiri atas
wakil pekerja, pemberi kerja, pemerintah, dan profesional. Untuk tugas-tugas
khusus, seperti investasi, lembaga ini membentuk Panel Investasi.
Penyelenggaraan pensiun bagi pegawai pemerintah dikelola langsung oleh
kementrian keuangan karena program tersebut merupakan program tunjangan
pegawai (employment benefit) dimana pegawai tidak berkontribusi. Program
jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat dikelola oleh SOCSO yang dalam
bahasa Malaysia disebut Pertubuhan Keselamatan Sosial (PERKESO).
Manfaat (benefits) yang menjadi hak peserta terdiri atas: (1) Peserta dapat
menarik jaminan hari tua berupa dana yang dapat diambil seluruhnya (lump-sum)
untuk modal usaha, menarik sebagian lump-sum dan sebagian dalam bentuk
anuitas (sebagai pensiun bulanan), dan menarik hasil pengembangannya saja
tiap tahun sementara pokok tabungan tetap dikelola CPF. (2) Peserta dapat
menarik tabungannya ketika mengalami cacat tetap, meninggal dunia (oleh ahli
warisnya), atau meninggalkan Malaysia untuk selamanya. (3) Peserta juga dapat
menarik dananya untuk membeli rumah, ketika mencapai usia 50 tahun, atau
20
memerlukan biaya perawatan di luar fasilitas publik yang ditanggung pemerintah.
(4) Ahli waris peserta berhak mendapatkan uang duka sebesar RM 1.000-30.000,
tergantung tingkat penghasilan, apabila seorang peserta meninggal dunia.
Tingkat iuran untuk program EPF, dalam prosentase upah, bertambah dari tahun
ke tahun seperti disajikan dalam tabel berikut. Jumlah iuran tersebut ditingkatkan
secara bertahap untuk menyesuaikan dengan tingkat upah dan tingkat
kemampuan penduduk menabung. Dalam program EPF di Malaysia, sekali
seseorang mengikuti program tersebut, maka ia harus terus menjadi peserta
sampai ia memasuki usia pensiun yang kini masih 55 tahun (Kertonegoro, 1998).
Tabel 2:
Perkembangan Tingkat Iuran Dana Provident Fund di Malaysia
Tahun Iuran Tenaga
Kerja Iuran Pemberi
Kerja Total
1952 – Juni 1975 5 % 5% 10%
Juli 75 – Nop 80 6% 7% 13%
Des 80 – Des 92 9% 11% 20%
Jan 93 – Des 95 10% 12% 22%
Jan 96 - 11% 12% 23%
Sumber: CPF, Malaysia, 1998
Filipina
Filipina memulai pengembangan program Jaminan Sosial (JS) sejak tahun 1948
akan tetapi UU Jaminan Sosialnya (Republic Act 1161) baru disahkan pada tahun
1954. Dibutuhkan enam tahun sejak ide awal pengembangan jaminan sosial
dicetuskan oleh Presiden Manuel A. Roxas di tahun 1948. Namun demikian, UU
tersebut ditolak oleh kalangan bisnis Filipina sehingga dilakukan amendemen UU
tersebut dan diundangkan kembali pada tahun 1957. Barulah UU JS tersebut mulai
diterapkan untuk pegawai swasta. Pada tahun 1980 beberapa kelompok pekerja
sektor informal atau pekerja mandiri mulai diwajibkan mengikuti program JS.
Kemudian pada tahun 1992 semua pekerja informal yang menerima penghasilan
lebih dari P1.000 (sekitar Rp 200.000) wajib ikut. Selanjutnya di tahun 1993
pembantu rumah tangga yang menerima upah lebih dari P1.000 sebulan kemudian
21
juga diwajibkan untuk mengikuti program JS. Program JS tersebut dikenal dengan
Social Security System (SSS). Pada saat ini, SSS mempunyai anggota sebanyak
23,5 juta tenaga kerja atau sekitar 50% dari angkatan kerja, termasuk diantaranya 4
juta tenaga kerja di sektor informal (Purwanto dan Wibisana, 2002). Khusu pegawai
negeri, pemerintah Filipina menyelenggarakan program tersendiri yang disebut
sebagai Government Service Insurance System (GSIS) yang dimulai lebih awal
yaitu di tahun 1936 dan kini memiliki anggota sebanyak 1,4 juta pegawai negeri.
Angkatan Bersenjata dan Polisi memiliki sistem jaminan sosial tersendiri yang
dibiayai dari anggaran pemerintah. Kedua program jaminan sosial pegawai
pemerintah, termasuk tentara, lebih tepat dikatakan sebagai program tunjangan
pegawai (employment benefit) dibandingkan sebagai program jaminan sosial
menurut defisini universal. Pada awalnya program jaminan sosial tersebut
menyelenggarakan program jaminan hari tua (old-age) kematian, cacat, maternitas,
kecelakaan kerja dan kesehatan. GSIS memberikan berbagai pelayanan ekstra,
selain pelayanan tersebut, seperti program pemberdayaan ekonomi dan asuransi
umum (Purwanto & Wibisana, 2002). Namun demikian, di tahun 1995 Pemerintah
Filipina mengeluarkan Undang-Undang Asuransi Kesehatan National (RA7875)
yang memisahkan program asuransi kesehatan dari kedua lembaga (SSS dan
GSIS) menjadi satu dibawah pengelolaan the Philippine Health Insurance
Corporation (PhilHealth), suatu badan publik yang bersifat nirlaba (SSS, 2001).
PhilHealth bukanlah suatu badan usaha yang di Indonesia kita kenal sebagai
BUMN.
Manfaat yang diberikan kepada peserta SSS dan GSIS adalah (1) uang tunai
selama peserta menderita sakit dan tidak bisa bekerja paling sedikit 4 (empat) hari,
baik dirawat di rumah sakit dan di rumah sendiri. (2) Untuk peserta wanita yang
hamil, keguguran, atau melahirkan diberikan uang tunai sebesar antara P24.000-
P31.200 (antara Rp 4,4 juta- Rp 6,2 juta). Manfaat lain (3) yang menjadi hak
peserta adalah uang tunai yang dibayarkan secara lump-sum atau bulanan bagi
peserta yang menderita cacat tetap, baik parsial maupun total yang bukan
disebabkan oleh kecelakaan kerja. Manfaat selanjutnya (4) adalah jaminan hari tua
(baik lump-sum maupun pensiun bulanan) ketika memasuki masa pensiun (60
tahun). Peserta juga berhak mendapatkan jaminan kematian (5) berupa uang tunai
atau bulanan yang dibayarkan kepada ahli waris peserta yang meninggal dunia.
Dan yang terakhir (6) adalah jaminan kecelakaan kerja yang dibayarkan apabila
terjadi kecelakaan kerja. Manfaat jaminan kecelakaan kerja ini dapat diterima
bersamaan dengan manfaat program yang lain. Untuk setiap manfaat yang berhak
22
diterima, peserta harus memenuhi persyaratan kepesertaan tertentu (qualifying
conditions). Selain manfaat definitif, peserta juga dapat diberikan fasilitas kredit
(loan) untuk menutupi kebutuhan uang tunai yang mendesak dengan bunga 6%
setahun untuk pinjaman di bawah P15.000 dan 8% setahun untuk pinjaman lebih
dari P15.000.
Iuran jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah 8,4% sebulan (tidak termasuk
iuran untuk asuransi kesehatan dan kecelakaan kerja) yang dibayar bersama
antara majikan (5,04%) dan pegawai (3,36%). Batas maksimum upah untuk
perhitungan iuran adalah P12.000 (Rp 2,4 juta) sebulan. Iuran untuk jaminan
kecelakaan kerja adalah 1% dengan maksium iuran sebesar P1.000 per karyawan
yang hanya dibayar oleh pemberi kerja. Sedangkan besarnya iuran untuk tenaga
kerja informal diperhitungkan berdasarkan besarnya pendapatan yang dinyatakan
oleh calon peserta pada waktu pendaftaran dengan batas minimum sebesar
P1.000. Untuk pekerja Filipina di luar negeri, yang dikelompokan sebagai pekerja
membayar sendiri—tidak melalui pemberi kerja, batas minimum penghasilan adalah
P3.000 sebulan. Untuk memudahkan perhitungan iuran, SSS mengembangkan 24
kelompok upah dan besarnya iuran untuk masing-masing kelompok upah. Iuran
untuk asuransi kesehatan adalah 2,5% upah sebulan untuk menjamin biaya rawat
inap saja (rawat jalan tidak dijamin). Dengan demikian total iuran menjadi 10,9%
(tanpa kecelakaan kerja) dan 11,9% (dengan kecelakaan kerja). Sedangkan pada
GSIS, tingkat iuran lebih tinggi yaitu 12% dari pemberi kerja (pemerintah) dan 9%
dari pekerja (Purwanto & Wibisana, 2002).
Phil-Health merupakan program Asuransi Kesehatan Nasional yang kini memiliki
keanggotaan lebih dari 39 juta jiwa (lebih dari 50% penduduk Filipina). Anggota
Phil-Health terdiri atas 55% pegawai swasta, 24% pegawai pemerintah, 9%
penduduk tidak mampu, 11% peserta sukarela (informal), dan 2% adalah peserta
khusus yang tidak membayar iuran. Manfaat yang menjadi hak peserta adalah
jaminan rawat inap di rumah sakit pemerintah maupun swasta dengan standar
pembayaran yang sama. Pembayaran ke rumah sakit didasarkan pada sistem
biaya jasa per pelayanan (fee for service) mengingat cara inilah yang kini diterima
oleh rumah sakit. Pelayanan rawat jalan sementara ini belum dijamin, karena
diasumsikan penduduk mampu membayar sendiri biaya rawat jalan yang tidak
menjadi beban berat rumah tangga. Besarnya iuran adalah maksimum 3% dari gaji
yang diperhitungkan maksimum P10.000 (sekitar Rp 2 juta). Namun demikian, iuran
yang kini dikumpulkan adalah sebesar 2,5% yang ditanggung bersama antara
23
pemberi kerja dan tenaga kerja, bagi sektor formal. Sedangkan bagi sektor
informal, iuran ditanggung sepenuhnya oleh peserta dan bagi penduduk miskin,
iuran ditanggung pemerintah pusat dan daerah (Purwanto & Wibisana, 2002). Pada
tahun 2003, PhilHealth menerima banyak sekali permintaan dari pemberi kerja
untuk memperluas jaminan dengan mencakup jaminan rawat jalan. Para pemberi
kerja akan menambahkan iuran guna memperluas jaminan tersebut (Dueckue,
2003). Iuran jaminan sosial di Filipina cukup beragam sebagaimana ditampilkan
dalam tabel berikut.
Tabel 3:
Kompilasi Iuran Sistem Jaminan Sosial di Filipina
Program Iuran Tenaga
Kerja Iuran Pemberi
Kerja Total
Jaminan sosial, SSS 5,04% 3,36% 8,4%
Kecelakaan kerja - 1% 1,0%
Jaminan sosial, GSIS 9% 12% 21,0%
Kesehatan, PhilHealth 1,25% 1,25% 2,5%
Total
Swasta 6,29% 5,61% 11,9%
Pemerintah 10,25% 12% 22,25%
Sumber: GSIS Filipina, 2002.
Thailand (Muangtai)
Program Jaminan Sosial di Thailand terdiri atas program jaminan bagi pegawai
pemerintah, pegawai swasta, dan program kesehatan. Program yang diatur oleh
UU Jaminan Sosial di Thailand dimulai pada tahun 1990 Pemerintah Thailand
mengeluarkan UU Jaminan Sosial, namun demikian implementasinya baru dimulai
enam bulan kemudian, yaitu pada bulan Maret 1991. Dana yang terkumpul dikelola
oleh suatu badan tripartit, Dewan Jaminan Sosial, yang terdiri dari 15 orang yang
mewakili pemerintah, pemberi kerja, dan pekerja masing-masing 5 (lima) orang.
Kantor Jaminan Sosial (Social Security Office, SSO) berada di bawah Departemen
Tenaga Kerja dan Kesejahteraan. Mula-mula program tersebut wajib bagi pemberi
24
kerja dengan 20 karyawan atau lebih, yang kemudian secara bertahap diwajibkan
kepada pemberi kerja yang lebih kecil. Sejak 31 Mei 2002, seluruh tenaga kerja
dengan satu atau lebih karyawan wajib menjadi peserta. Kini jumlah peserta SSO
adalah 6,59 juta tenaga kerja di Thailand, seluruh tenaga kerja formal telah menjadi
peserta. Pegawai pemerintah mendapat jaminan yang dibiayai oleh anggaran
belanja negara tanpa ada iuran sama sekali dari pekerja. Jaminan yang ditanggung
meliputi jaminan kesehatan, pensiun dan dana lump-sum pada waktu memasuki
masa pensiun. Untuk pekerja sektor informal dan kelompok penduduk lain yang
belum termasuk peserta SSO atau CSMBS, Pemerintah Thailand mengembangkan
program National Health Security yang dikenal dengan kebijakan ‘30 Baht‘. Dalam
program ini, seluruh penduduk sektor informal dan anggota keluarga tenaga kerja
swasta diwajibkan mendaftar ke salah satu rumah sakit dimana mereka akan
berobat jika mereka sakit. Atas dasar penduduk yang terdaftar itu, pemerintah
kemudian membayar rumah sakit secara kapitasi sebesar 1.204 Baht per kepala
per tahun. Penduduk yang terdaftar akan membayar sebesar 30 Baht (kira-kira Rp
6.000) sekali berobat atau sekali perawatan di rumah sakit. Biaya yang dibayar itu
sudah termasuk segala pemeriksaan, obat, pembedahan, dan perawatan intensif
jika diperlukan.
Manfaat program jaminan sosial pekerja swasta dan pekerja informal meliputi
jaminan kesehatan, bantuan biaya persalinan, jaminan uang selama menderita
cacad, santunan kematian, dana untuk anak-anak, kecelakaan kerja, dan jaminan
hari tua. Jaminan kesehatan hanya diberikan kepada tenaga kerjanya, sedangkan
anggota keluarga tenaga kerja dijamin melalui program ‘30 Baht‘. Manfaat program
jaminan sosial pegawai swastapun dimulai dengan menjamin pelayanan kesehatan,
baru secara bertahap pelayanan lain seperti jaminan uang waktu cacad dan
jaminan hari tua diberikan kemudian. Sementara pegawai pemerintah memang
menikmati manfaat yang lebih baik, karena mereka sudah mendapat jaminan hari
tua terlebih dahulu dan jaminan kesehatan komprehensif. Untuk jaminan
kesehatan, dikenal dengan program CSMBS, yang dijamin bukan saja pegawai,
pasangan dan anaknya, orang tua pegawaipun dijamin. Jaminan yang diberikan
komprehensif sehingga peserta tidak perlu lagi membayar apabila mereka
memanfaatkan pelayanan pada fasilitas kesehatan yang sudah ditentukan. Tentu
saja, jika mereka mencari pelayanan dari fasilitas kesehatan dan di kelas perawatan
di luar ketentuan, masyarakat harus membayar sendiri.
Besarnya iuran untuk prgram jaminan sosial pegawai swasta ditanggung bersama
antara pekerja, pemberi kerja dan pemerintah. Disinilah keunikan sistem jaminan
25
sosial Thailand, karena pemerintahpun ikut membayar iuran bagi pekerja swasta
dan sektor informal. Besarnya iuran dipisahkan untuk masing-masing program yang
total berjumlah 18,5% yang terdiri atas iuran pekerja dan pemberi kerja masing-
masing sebesar 7,5% dan iuran pemerintah sebesar 3,5%. Selain itu, pemberi kerja
masih memiliki kewajiban untuk membayar iuran jaminan kecelakaan kerja yang
besarnya bervariasi dari 0,2% - 1%; tergantung dari tingkat risiko masing-masing
usaha (SSO, 2003). Besarnya upah yang diperhitungkan untuk jaminan sosial ini
ditetapkan sampai jumlah maksimum Pegawai pemerintah dan pegawai sektor
informal tidak membayar iuran, seluruh biaya ditanggung anggaran belanja
pemerintah. Yang menarik dari pembayaran iuran jaminan sosial di Thailand adalah
bahwa besarnya iuran untuk kesehatan dan persalinan diturunkan dari tadinya
4,5% (masing-masing 1,5%) menjadi 3% (masing-masing pihak mengiur 1%)
karena telah terjadi akumulasi dana yang besar karena penyelenggaraan yang
bersifat nirlaba dan setiap dana yang tidak digunakan diakumulasi. Gambaran
lengkap iuran terlihat pada tabel berikut.
Tabel 4 :
Iuran Jaminan Sosial Pegawai Swasta di Thailand (dalam % upah), 2003
Bentuk Jaminan Iuran Pekerja Iuran Pemberi
Kerja Iuran
Pemerintah
Kesehatan dan persalinan
1% 1% 1%
Cacad/invalid dan kematian
1,5% 1,5% 1,5%
Santunan anak 2% 2% 1%
Hari tua (sejak 2003)
3% 3% -
Total 7,5% 7,5% 3,5%
Total Iuran 18,5%
Sumber : SSO, Thailand, 2003
Korea Selatan
Seperti yang dilakukan Jepang, Jerman, dan banyak negara lain di dunia, Korea
Selatan memulai jaminan sosialnya dengan mengembangkan asuransi kesehatan
wajib di tahun 1976 setelah selama 13 tahun gagal mengembangkan asuransi
26
kesehatan sukarela. Asuransi kesehatan wajib dimulai dari pemberi kerja yang
memiliki jumlah pekerja banyak terus diturunkan. Pada tahun 1989 seluruh
penduduk sudah memiliki asuransi kesehatan yang diselenggarakan oleh lebih
dari 300 lembaga nirlaba. Kini seluruh badan penyelenggara dijadikan satu badan
penyelenggara yaitu National Health Insurance Corporation (NHIC) suatu
lembaga semi-pemerintah yang independen dengan cakupan praktis seluruh
penduduk (Park, 2002). Sedangkan jaminan pensiun atau hari tua baru
dilaksanakan 1988 dengan wewajibkan pemberi kerja dengan 10 karyawan atau
lebih mengiur untuk jaminan pensiun. Baru pada tahun 2003 ini, seluruh pemberi
kerja dengan satu atau lebih pegawai diwajibkan ikut program pensiun yang
dikelola oleh National Pension Corporation (NPC). Kedua lembaga NHIC dan
NPC berada di bawah pengawasan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan
dan bukan badan usaha yang di Indonesia kita kenal sebagai BUMN. Berbeda
dengan NHIC yang mengelola seluruh penduduk, kecuali militer aktif dan
penduduk miskin yang hanya berjumlah 3% dari seluruh penduduk, NPC hanya
mengelola pensiun bagi pegawai swasta dan sektor informal. Pensiun untuk
pegawai pemerintah, tentara, guru sekolah, pekerja tambang, dan petani dikelola
terpisah dari NPC (Ha-Young and Hun-Sang, 2003).
Manfaat yang diberikan oleh NHIC adalah jaminan kesehatan komprehensif
mencakup pelayanan kesehatan, medical check up, penggantian uang tunai pada
kondisi tertentu seperti dalam keadaan darurat, santunan penguburan, dan
penggantian biaya protese. Setiap peserta harus membayar co-payment yang
besarnya bervariasi antara jenis pelayanan, fasilitas kesehatan, dan kelompok
peserta. Rata-rata besarnya co-payment bisa mencapai 40-50% dari biaya
berobat, kecuali penduduk tertentu (tua, tidak mampu, atau di daerah terpencil).
Pelayanan kesehatan diberikan melalui fasilitas kesehatan pemerintah maupun
swasta (lebih dari 90%) dengan sistem klaim. Klaim harus diperiksa oleh suatu
lembaga independen lain, HIRA Health Insurance Review Agency, sebelum NHIC
membayar fasilitas kesehatan. Manfaat program pensiun bervariasi sesuai
dengan lamanya mengiur yang diatur dengan formula tertentu (defined benefits)
dengan maksimum pensiun sebesar 60% dari upah terkahir untuk yang sudah
mengiur selama 40 tahun. Selain pensiun karena mancapai usia pensiun, NPC
juga membayarkan pensiun cacad, pensiun ahli waris, dan pembayaran lump-
sum bagi peserta yang belum memilki masa kualifikasi pensiun (10 tahun).
27
Iuran untuk program kesehatan bagi tenaga kerja di sektor formal ditetapkan
sebesar 3,63% yang ditanggung bersama antara pekerja dan pemberi kerja.
Sedangkan untuk sektor informal, UU mengatur tingkat-tingkat penghasilan untuk
masing-masing kelompok dan besarnya iuran ditetapkan tersendiri untuk tiap-tiap
kelompok penghasilan. Sedangkan iuran untuk program pensiun kini sebesar 9%
dari upah yang dibayar bersama-sama antara pemberi kerja dan pekerja masing-
masing sebesar 4,5%. Pada tahap awal iuran besarnya hanya 3%, kemudian
secara bertahap ditingkatkan sehingga kini mencapai 9%. Selain pekerja, NPC
juga melayani penduduk yang secara sukarela, secara perorangan atau pekerja
sektor informal, mendaftar diri dengan iuran saat ini sebesar 7%, akan tetapi juga
akan ditingkatkan sehingga tahun 2005 akan mengiur sebesar 9%.
Perancis
Jaminan sosial di Perancis telah diselenggarakan lebih dari satu abad dengan
diawali dengan jaminan kesehatan. Jaminan sosial pertama dilaksanakan pada
tahun 1898 tatkala Perancis masih didominasi oleh ekonomi pertanian. Pada saat
ini sistem jaminan sosial di Perancis masih diselenggarakan oleh berbagai badan
penyelenggara yang berbagai kelompok peserta seperti pegawai negeri, pekerja
swasta, petani, pekerja sektor informal dan tentara. Program jaminan sosial
mencakup program jaminan kesehatan (CNAM), jaminan pensiun atau hari tua
(CNAV), jaminan pembiyaaan keluarga (CNAF), dan jaminan perlindungan PHK
(ARE). Program tersebut merupakan program jaminan dasar. Pengumpulan iuran
dilakukan secara terpadu dan terpusat oleh semacam Badan Administrasi yang
disebut ACOSS. Selain program jaminan dasar, masih ada program jaminan
tambahan yang juga bersifat wajib untuk berbagai sektor.
Berbeda dengan program jaminan sosial di banyak negara lain, di Perancis
pembiyaan jaminan sosial lebih banyak bersumber dari pemberi kerja. Untuk
program kesehatan, kecelakaan, dan cacad; pekerja hanya mengiur sebesar 2,45%
dari upah sedangkan pemberi kerja mengiur sebesar 18,2%. Sementara untuk
program pensiun, pekerja mengiur 6,55% sedangkan pemberi kerja mengiur
sebesar 8,2%. Secara keseluruhan, pekerja mengiur sebesar 9% dan pemberi kerja
mengiur sebesar 26,4% sehingga seluruh iuran menjadi 35,4% dari upah sebulan.
28
Jerman
Jerman dikenal sebagai pelopor dalam bidang asuransi sosial yang merupakan
tulang punggung dari sebuah jaminan sosial modern. Asuransi sosial pertama yang
diselenggarakan di Jerman pada tahun 1883 menanggung penghasilan yang hilang
apabila seorang pekerja menderita sakit. Sehingga dengan demikian, asuransi
sosial kesehatan menjadi pintu gerbang penyelenggaraan jaminan sosial. Undang-
undang mengatur tata cara penyelenggaraan asuransi kesehatan sedangkan
penyelenggaraan asuransi kesehatan diserahkan kepada masyarakat, yang
awalnya terkait dengan tempat kerja. Jumlah badan penyelenggara yang disebut
sickness funds tidak dibatasi sehingga pada awalnya mencapai ribuan, yang
semuanya bersifat nirlaba. Namun demikian, karena rumitnya masalah asuransi
kesehatan dan perlunya angka besar untuk menjamin kecukupan dana, maka
terjadi merjer atau perpindahan peserta karena badan penyelenggara bangkrut.
Kini jumlahnya tinggal 355 saja.
Sistem yang digunakan Jerman adalah dengan mewajibkan penduduk yang
memiliki upah di bawah 45.900 Euro per tahun untuk mengikuti program asuransi
sosial wajib. Sedangkan mereka yang berpenghasilan diatas itu, boleh membeli
asuransi kesehatan dari perusahaan swasta, akan tetapi sekali pilihan itu diambil,
ia harus seterusnya membeli asuransi kesehatan swasta. Akibatnya, banyak orang
yang berpenghasilan diatas batas tersebutpun, memiliki ikut asuransi sosial. Pada
saat ini 99,8% penduduk memiliki asuransi kesehatan dan hanya 8,9% yang
mengambil asuransi kesehatan swasta. Sebagian kecil penduduk (seperti militer
dan penduduk sangat miskin) mendapat jaminan kesehatan melalui program
khusus.
Jaminan kesehatan yang ditanggung sangat besar mencakup pengobatan dan
perawatan, perawatan jangka panjang, biaya transpor, obat-obatan bahkan
transplantasi. Peserta bebas berobat ke dokter yang disukai atau dipercaya namun
demikian pembayaran diatur melalu suatu mekanisme pembayaran kelompok ke
asosiasi dokter. Asosiasi dokterlah yang mengatur pembayaran ke masing-masing
anggota dokternya. Sedangkan untuk pembayaran rumah sakit dilakukan dengan
anggaran global dan mulai dilaksanakan sistem pembayaran per diagnosis (DRG).
Besarnya iuran untuk asuransi kesehatan kini dirasakan sangat tinggi karena
mencapai 14,5% dari upah yang dibayar bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.
29
Pegawai negeri lebih banyak yang membeli asuransi kesehatan swasta karena
mendapat subsidi dari pemerintah sebesar 80% dari iuran (Grebe A, 2003).
Australia
Sistem jaminan sosial di Australia dimulai dengan sistem negara kesejahteraan
dimana negara menanggung segala beban sosial seperti bantuan sosial bagi lansia
(semacam uang pensiun). Sejak didirikannya Australia tahun 1901, Australia
menjalankan sistem jaminan sosialnya melalui program bantuan sosial (pilar
pertama dalam sistem Australia). Sampai dengan awal tahun 70-an, penduduk
yang memasuki usia pensiun dan memiliki penghasilan dan aset di bawah jumlah
tertentu mendapat uang pensiun otomatis dari pemerintah. Karena sifatnya bantuan
sosial, maka tidak semua penduduk berhak mendapatkan dana pemerintah yang
dikumpulkan dari pajak umum (general tax revenue). Oleh karenanya pemerintah
mengembangkan instrumen seleksi, means test untuk menentukan siapa-siapa
yang berhak mendapatkan bantuan sosial hari tua. Sedangkan jaminan kesehatan
sudah menjadi hak setiap penduduk yang pendanaanya dibiayai dari dana pajak.
Baru pada tahun 1973 dirasakan perlunya mengembangkan asuransi kesehatan
wajib dan pada tahun 1983 dirasakan perlunya asuransi hari tua wajib. Praktek
jaminan sosial dengan sistem asuransi wajib atau asuransi sosial baru diterapkan
sepenuhnya sejak tahun 1992 yang pada waktu itu, sekitar 40% pekerja memiliki
asuransi hari tua. Pada tahun 2001, dengan program asuransi sosial, maka sudah
97% pekerja tetap telah menjadi peserta. Pada tahun 2001, 65% penduduk lansia
menerima pensiun (Aged Pension) dari sistem asuransi wajib yang dikenal dengan
superannuation.
Pengelolaan jaminan sosial wajib berada di bawah Menteri Keuangan dan
Administrasi, kecuali untuk angkatan bersenjata yang berada di bawah koordinasi
Departemen Urusan Veteran. Penyelenggaraan sehari-hari jaminan sosial
tambahan (non kesehatan) dikelola oleh lembaga swasta pengelola dana yang
berada di bawah pengawasan Departemen Keuangan. Sedangkan untuk asuransi
kesehatan program jaminan sosial kesehatan (Medicare) dikelola oleh Health
Insurance Commissioner (HIC), suatu lembaga Negara yang bersifat independen
akan tetapi di bawah pengawasan Departemen Kesehatan dan Pelayanan Orang
Tua. Program asuransi kesehatan tidak membedakan kelompok pekerjaan karena
semua pegawai swasta atau pemerintah menjadi peserta Medicare yang dikelola
HIC. Pegawai swasta yang ingin mendapatkan pelayanan lebih baik dapat membeli
30
asuransi tambahan pada asuransi kesehatan swasta dibawah koordinasi Medibank
Private Insurance (MPI).
Besarnya iuran untuk proteksi pilar pertama yang berbentuk bantuan sosial tidak
diperhitungkan terpisah karena dibiayai oleh pajak umum. Sedangkan besarnya
iruan untuk asuransi hari tua wajib adalah sebesar 9% dari upah (sebelum tahun
2003, besarnya 8% dari upah) sedangkan untuk HIC besarnya iuran adalah 2,5%
dari upah. Namun perlu disadari bahwa iuran untuk Medicare tersebut sebenarnya
merupakan tambahan dari biaya kesehatan yang dibiayai dari anggaran pemerintah
federal dan negara bagian.
Amerika Serikat
Jaminan sosial di Amerika pertama kali diundangkan pada tanggal 14 Agustus
1935 yang pada awalnya dikenal dengan nama OASDI program (Old-Age,
Survivors, and Disability Insurance). Undang-undang jaminan sosial tersebut
disetujui setelah terjadinya depresi ekonomi di Amerika di awal tahun 1930an.
Awalnya, UU Jaminan Sosial Amerika tidak mencakup asuransi sosial kesehatan
(Medicare). Program Medicare dalam sistem jaminan sosial di Amerika baru masuk
30 tahun kemudian, yaitu di tahun 1965 sehingga nama lain kini dikenal dengan
OASDHI (H diantara D dan I sebagai singkatan dari Health). Program OASDI,
tanpa kesehatan, pada hakikatnya mirip dengan program pensiun kita dimana
peserta memperoleh manfaat uang tunai ketika mencapai usia pensiun, ahli waris
peserta yang memenuhi syarat menerima manfaat jika peserta meninggal, dan
apabila peserta menderita cacat. Menjelang UU Jaminan Sosial di Amerika
diberlakukan, usulan untuk membuat program ini sukarela juga sudah diajukan
dengan alasan pelanggaran atas hak kebebasan. Namun demikian, pilihan
tersebut tidak diadopsi dalam UU karena bukti-bukti menunjukkan bahwa program
sukarela tidak efektif. Sebenarnya Amerika termasuk terbelakang dalam
mengembangkan jaminan sosialnya dibandingkan dengan Jerman dan Inggris
(Rejda, 1988). Pada prinsipnya, sistem Jaminan Sosial di Amerika diselenggarakan
dengan satu undang-undang dan diselenggarakan olah satu badan pemerintah
(Social Security Administration). Dengan demikian, program Jaminan Sosial
Amerika bersifat monopolistik dan mencakup jaminan hari tua dan jaminan
kesehatan. Hanya saja, jaminan kesehatannya (Medicare) terbatas untuk penduduk
berusia 65 tahun keatas atau yang menderita cacat tetap atau penderita sakit ginjal
yang mematikan. Seluruh penduduk, apakah ia pegawai swasta maupun pegawai
31
pemerintah harus masuk program jaminan sosial sehingga perpindahan pekerja
dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain atau dari satu negara bagian ke negara
bagian lain tidak menjadi masalah. Untuk itu, setiap penduduk harus memiliki
nomor jaminan sosial (9 digit) yang berlaku untuk segala macam urusan seperti
sebagai nomor pajak, kartu SIM, bersekolah, menjadi nasabah bank, dan berbagai
urusan kehidupan lainnya.
Manfaat yang diberikan berupa jaminan pensiun yang dibayarkan menurut sistem
pay as you go dimana iuran dibayarkan oleh tenaga kerja yang aktif bekerja dan
pemberi kerja, sedangkan manfaat bagi pensiunan dibayarkan dari iuran tenaga
kerja pada tahun yang sama. Artinya, pensiun bagi penduduk Amerika dibayar oleh
tenaga kerja yang masih aktif, bukan dari tabungan pensiunan pada masa lalu.
Begitu juga untuk jaminan cacad, pensiun ahli waris, dan Medicare. Jaminan
pensiun diberikan berkaitan dengan tingkat penghasilan penduduk terakhir dan
lamanya seorang penduduk mengiur. Besarnya pensiun yang menjadi hak setiap
penduduk dapat dilihat dari Web yang setiap orang dapat menghitung atau melihat
haknya setiap saat. Program Medicare hanya diberikan kepada seluruh penduduk
yang mencapai usia 66 tahun atau lebih atau penduduk yang lebih muda akan
tetapi menderita cacad tetap atau menderita penyakit ginjal yang memerlukan
hemodialisa atau transplantasi. Jaminan kesehatan yang diberikan kepada
pensiunan terbatas pada jaminan rawat inap di rumah sakit dan jaminan perawatan
jangka panjang. Program ini disebut Medicare Part A yang menjadi hak semua
lansia. Sedangkan untuk jaminan rawat jalan, penduduk lansia harus membeli
asuransi kesehatan swasta dengan 75% premi disubsidi Medicare. Program rawat
jalan ini bersifat sukarela dengan insentif premi dari Medicare. Untuk mendapatkan
hak jaminan sosial, setiap orang harus memenuhi kualifikasi masa iuran dan
besarnya iuran yang dikonversi dalam sistem poin. Program Kecelakaan kerja
dikelola tersendiri oleh masing-masing negara bagian dengan peraturan negara
bagian.
Iuran untuk program jaminan sosial dikumpulkan bersamaan dengan pembayaran
pajak secara umum dan karenanya disebut social security tax. Hanya saja dana
dana jaminan sosial tidak masuk ke kas negara akan tetapi masuk kedalam tiga
jenis Dana (trust fund) yaitu Dana Jaminan Hari Tua dan Ahli Waris (old-age and
Survivors Insurance, OASI), Dana Asuransi Disabilitas (SSDI), dan Dana Medicare.
Besarnya iuran tenaga kerja adalah 7,65% dan pemberi kerja juga mengiur sebesar
7,65% untuk program OASI dan masing-masing 0,9% untuk program SSDI, serta
32
masing-masing 1,45% untuk program Medicare. Total iuran pekerja menjadi 15,3%
dari upah dengan maksimum upah sebesar US$ 62.500 setahun yang setiap tahun
dinaikan sesuai dengan indeks yang telah disusun oleh badan penyelenggara
(SSA) yang berada di bawah Departemen Pelayanan Sosial (Butler, 1999).
33
BAB III
SUBSTANSI SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL
A. Pengertian
Jaminan Sosial Nasional (JSN) adalah salah satu bentuk program perlindungan
sosial yang diselenggarakan negara guna menjamin warga negaranya memenuhi
kebutuhan dasar hidup yang minimal layak. Program Jaminan Sosial
diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi sosial bantuan sosial,
dan atau tabungan wajib yang bertujuan untuk menyediakan jaminan sosial bagi
seluruh penduduk, guna memenuhi kebutuhan dasar yang layak. Program ini adalah
milik bersama antara pemberi kerja (baik swasta maupun pemerintah) dan pekerja
(baik di sektor formal maupun di sektor informal). Sudah barang tentu tidak semua
penduduk mempunyai penghasilan rutin tetap yang memungkinkannya mengiur. Di
pihak lain, sebagai bangsa yang berbudaya, seluruh warga negara tidak boleh
membiarkan salah seorang diantaranya tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya. Bagi masyarakat yang kurang mampu Pemerintah wajib membayar
sebagian atau seluruh iuran, yang dimulai dari suatu program tertentu misalnya
jaminan kesehatan. Pemberian bantuan sosial berupa iuran kepada masyarakat
yang tidak mampu harus memperhatikan kemampuan keuangan pemerintah, urgensi
jaminan, besarnya kelompok penduduk yang memerlukan bantuan, dan risiko
ekonomis bagi penduduk jika jaminan tidak diberikan. Program bantuan sosial dalam
sebuah sistem jaminan sosial bersifat rutin dan berkesinambungan. Di negara maju,
bantuan sosial yang dipadukan dalam sebuah sistem jaminan sosial dapat
diwujudkan untuk program jaminan kesehatan, penduduk lansia, program keluarga
dan persalinan.
Bantuan sosial yang diberikan pada keadaan khusus yang sifatnya sementara
seperti masyarakat yang dilanda bencana alam, kerusuhan sosial, bencana lainnya,
serta masyarakat penyandang masalah kesejahteraan sosial diberikan secara
terpisah dari SJSN. Bantuan sosial untuk kondisi khusus seperti itu diatur dengan UU
tersendiri dan selama ini sudah diselenggarakan oleh pemerintah yang dikoordinasi
oleh instansi terkait dan oleh masyarakat secara sukarela. Meskipun secara umum
bantuan sosial seperti itu merupakan suatu bentuk perlindungan sosial atau jaminan
sosial dalam arti luas. Lazimnya suatu sistem jaminan sosial (social security)
34
diselenggarakan berdasarkan kontribusi peserta, dan tidak mengatur program
bantuan sosial lainnya.
B. Prinsip-Prinsip Dasar
Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan disusun adalah suatu sistem yang
dibangun berdasarkan prinsip dibawah ini.
1. Kegotong-royongan. Prinsip kegotong-royongan atau solidaritas sosial ini
diwujudkan dengan mekanisme asuransi sosial dimana semua peserta mengiur
sebesar prosentase tertentu dari upah atau penghasilannya. Dengan demikian
terjadi suatu sistem subsidi silang. Peserta yang mampu membantu yang kurang
mampu, peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi, peserta
yang sehat membantu yang sakit, dan yang muda membantu yang tua. Tidak
semua program jaminan sosial diwujudkan dengan mekanisme gotong royong
seperti itu. Program jaminan hari tua, provident fund, biasanya dibangun dengan
sistem tabungan wajib yang kurang menggambarkan kegotong-royongan seperti
di atas. Namun secara umum, SJSN akan dibangun berdasarkan prinsip
kegotong-royongan ini.
2. The law of the large numbers (hukum bilangan besar). Prinsip ini merupakan
suatu syarat terselenggaranya sebuah mekanisme asuransi yang efisien. Pada
intinya prinsip ini merupakan hukum alam dimana semakin besar jumlah peserta,
semakin kecil biaya pengelolaan per peserta yang harus dikeluarkan untuk
seluruh peserta. Dengan demikian, sistem akan berjalan dengan sinambung dan
mampu memelihara tingkat solvabilitas yang stabil. Selain itu, pemupukan dana
dalam satu ―lumbung‖ milik bersama tidak hanya memenuhi prinsip asuransi,
akan tetapi juga menjadi upaya pemersatu atau menjadi perekat bangsa sehingga
sebuah sistem nasional yang sama bagi seluruh rakyat akan memperkuat
nasionalisme Indonesia.
3. Kepesertaan bersifat wajib (compulsory). Prinsip ini perlu ditegakkan untuk
menjamin seluruh penduduk terlindungi dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya.
Terpenuhinya hukum bilangan besar karena hanya dengan mewajibkan seluruh
penduduk mengiur dan menyatukan risiko individual menjadi risiko bersama.
Dalam prakteknya, mewajibkan penduduk sektor informal untuk mengiur memiliki
banyak kendala dalam pengumpulan iuran secara reguler dan dalam penentuan
tingkat iuran karena penghasilan penduduk di sektor informal tidak selalu tetap
35
seperti penghasilan penduduk di sektor formal. Pengalaman negara-negara lain
yang telah memiliki sistem jaminan sosial yang mencakup seluruh penduduk
menunjukkan bahwa dari segi manajemen, kewajiban menjadi peserta dimulai
dengan penduduk di sektor formal, baru secara bertahap dilanjutkan kepada
penduduk di sektor informal. Selain itu, kecendrungan masyarakat modern secara
otomatis meningkatkan jumlah penduduk di sektor formal sejalan dengan
terjadinya urbanisasi dan kebutuhan persaingan di pasar global.
4. Manfaat yang layak. Jaminan sosial ditujukan untuk menjamin setiap warga
negara memenuhi kebutuhan dasar yang layak yang dapat memungkinkan rakyat
berproduksi. Apabila manfaat (benefits) jaminan sosial diberikan terlalu kecil,
maka rakyat tidak akan merasakan manfaat mengikuti program jaminan sosial
dan karenanya sulit mengharapkan tingkat kepatuhan kepesertaan yang tinggi.
Manfaat yang diberikan terlalu besar atau jauh lebih tinggi dari kebutuhan dasar
akan membutuhkan iuran yang lebih besar, sementara sebagian besar penduduk
tidak memiliki kemampuan untuk mengiur yang mengambil porsi sebagian besar
upah atau penghasilannya. Oleh karenanya, manfaat yang diberikan oleh SJSN
harus memenuhi kebutuhan hidup yang layak yang secara bertahap ditingkatkan
sesuai dengan peningkatan standar hidup dan peningkatan upah atau
penghasilan penduduk. Sedangkan bagi penduduk yang mampu dapat menjadi
peserta asuransi komersiil.
5. Iuran ditetapkan secara proporsional dengan penghasilan. Kepesertaan yang
bersifat wajib harus didukung dengan penetapan iuran yang proporsional
terhadap upah atau penghasilan. Dengan iuran yang proporsional tersebut, maka
seluruh pekerja akan mampu mengiur, karena beban iuran relatif sama bagi
seluruh lapisan pekerja. Penetapan iuran yang proporsional terhadap penghasilan
tidak mudah dilaksakan bagi penduduk di sektor informal yang tidak memiliki
penghasilan yang tetap jumlahnya atau relatif sama untuk sekelompok pekerja
dengan pengalaman dan pendidikan yang sama. Bagi sektor informal iuran dapat
juga ditetapkan sejumlah tertentu seperti di Filipina. Oleh karenanya penetapan
iuran bagi sektor informal memerlukan studi yang memberikan informasi tentang
rata-rata penghasilan bagi berbagai kelompok usaha informal.
6. Pembiayaan bersama antara pekerja dan pemberi kerja. Pada dasarnya
jaminan sosial akan memberikan manfaat bagi para pekerja sehingga mereka
dapat bekerja dengan tentram tanpa harus memikirkan risiko masa depan.
36
Dengan demikian produktivitasnya akan meningkat. Peningkatan produktivitas
pada akhirnya akan menguntungkan pemberi kerja karena hasil produksi yang
meningkat juga dapat memberikan keuntungan pengusaha yang lebih tinggi. Dari
sisi pekerja, keikutsertaan mengiur, sebagai bagian tanggung jawab terhadap diri
dan keluarganya. Kecuali jaminan yang yang seharusnya menjadi tanggung
jawab pekerja yaitu jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Oleh
karenanya sangatlah wajar jika pembiayaan SJSN ditanggung bersama antara
pemberi kerja dan pekerja. Prinsip ini juga diselenggarakan oleh sistem jaminan
sosial di negara-negara lain. Pemerintah juga merupakan pemberi kerja bagi
pegawai negeri. Pekerja di sektor informal, yang bekerja mandiri, dengan
sendirinya berfungsi ganda sebagai pekerja sekaligus pemberi kerja bagi dirinya.
Oleh karenanya pekerja sektor informal harus menanggung jumlah iuran yang
relatif lebih besar dibandingkan dengan pekerja di sektor formal. Dalam banyak
negara, dimana sektor informal telah membayar pajak dengan teratur, pemerintah
dapat memberikan subsidi iuran bagi pekerja di sektor informal.
7. Penyelenggaraan SJSN bersifat nirlaba (not for profit/solidaritas sosial). Hakikat
penyelenggaraan jaminan sosial adalah kegotong royongan dari dan oleh peserta.
Pada sistem yang telah matang dimana seluruh penduduk sudah menjadi
peserta, maka sistem ini akan menjadi suatu sistem gotong-royong nasional. Oleh
karenanya, sebenarnya SJSN dimiliki oleh seluruh peserta bukan oleh
sekelompok orang. Dengan demikian, segala usaha yang dikembangkan dalam
rangka meningkatkan nilai dana yang terkumpul harus dikembalikan kepada
peserta dalam bentuk peningkatan nilai manfaat atau penurunan jumlah iuran di
kemudian hari. Sisa hasil usaha di akhir tahun buku tidak dibagikan sebagai
dividen dan tidak perlu dikenakan pajak penghasilan. Semua sisa hasil usaha
akan menjadi hak seluruh peserta yang notabene adalah seluruh rakyat. Inilah
hakikat dari prinsip nirlaba dimana seluruh dana dan hasil pengembangan dana
dikembalikan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.
8. Pengelolaan jaminan sosial menggunakan prinsip Dana Amanat (Trust
Fund). Dalam prinsip ini, iuran yang terkumpul bukanlah penerimaan badan
penyelenggara sebagai hasil jual beli dan karenanya bukan merupakan kekayaan
badan penyelenggara. Iuran yang terkumpul, dan hasil pengembangannya, tetap
merupakan titipan para peserta kepada badan penyelenggara yang
peruntukkanya telah ditetapkan. Badan penyelenggara diberikan amanat atau
kepercayaan untuk mengelola dana untuk sebesar-besarnya manfaat kepada
37
seluruh peserta. Dengan demikian, badan penyelenggara harus bisa dipercaya.
Badan Penyelenggara memperoleh upah atas jasanya dalam pengelolaan dana
amanat ini. Untuk memelihara tingkat ‗dipercaya‘ tersebut, penyelenggaraan
jaminan sosial harus dikendalikan oleh suatu dewan yang terdiri atas wakil-wakil
pihak yang mengiur. Dewan ini disebut lembaga tripartit yang terdiri atas wakil-
wakil pekerja, pemberi kerja, dan pemerintah jumlahnya dapat antara 15 – 21
orang. Dalam sistem SJSN, yang dipilih masing-masing 5 (lima) – 7 (tujuh) orang
dari kelompok pekerja, pemberi kerja, dan pemerintah.
9. Pengelolaan dana dilaksanakan dengan prinsip solvabilitas, likuiditas,
keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas:
9.1. Prinsip solvabilitas adalah prinsip dimana dana harus selalu mencukupi
untuk membiayai manfaat bagi seluruh peserta dalam jangka panjang.
Pengelola harus selalu menjaga agar setiap saat dana, baik yang berupa
uang tunai, dana di rekening, dana yang tersimpan dalam bentuk deposito,
obligasi, dan dalam bentuk investasi lain harus selalu cukup untuk
membiayai segala kewajiban SJSN kepada seluruh pesertanya.
9.2. Prinsip likuiditas adalah prinsip dimana dana harus selalu tersedia untuk
membiayai seluruh manfaat seperti jaminan kesehatan dan jaminan
kecelakaan kerja. Sumber dana untuk membiayai manfaat jangka pendek
adalah dana tunai, bank dan deposito yang jatuh tempo segera.
9.3. Prinsip keterbukaan merupakan suatu keharusan dalam jaminan sosial
karena dana yang dikelola merupakan dana milik peserta. Oleh karenanya
manajemen harus sangat terbuka yang ditunjukan dengan penyampaian
akun perorangan yang menunjukkan jumlah iuran yang diterima dan
akumulasinya kepada seluruh peserta dan laporan keuangan berkala yang
harus dipublikasi secara terbuka dan diketahui oleh setiap peserta yang
ingin mengetahuinya, serta perubahan kebijakan minimal satu kali setahun.
9.4. Prinsip kehati-hatian (prudensial) adalah suatu bentuk tanggung jawab
pengelola dalam mengelola dana peserta. Penempatan dana dalam
investasi harus benar-benar diperhitungkan agar terhindar dari risiko
kehilangan dana akibat berbagai spekulasi atau tingkat risiko investasi yang
besar. Investasi spekulasi dalam mata uang asing misalnya mempunyai
risiko tinggi dan karenanya tidak dibenarkan. Begitu juga penempatan dana
dalam jumlah besar di suatu bank akan mempunyai risiko besar apabila
ternyata bank tersebut mengalami kebangkrutan.
38
9.5. Prinsip akuntabilitas merupakan prinsip dimana pengelola harus
bertanggung jawab penuh atas segala tindakannya. Oleh karenanya segala
tindakan yang bertujuan untuk kepentingan dirinya harus dilarang.
Penempatan investasi pada suatu bank dimana pengelola memiliki saham
jelas merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab kepada peserta
dan karenanya harus dilarang.
9.6. Prinsip efisiensi diwujudkan dengan membatasi dana yang boleh digunakan
untuk biaya operasional. Untuk program jangka pendek, pengelola tidak
boleh menghabiskan lebih dari 5% (lima persen) iuran yang diterima dalam
satu tahun buku. Untuk program jangka panjang, iuran sama sekali tidak
boleh digunakan untuk membiayai opersasional SJSN. Operasional program
jangka panjang harus dibiayai dan dicukupi dari sebagian kecil (misalnya
5%) hasil pengembangan dana.
9.7. Prinsip efektivitas diwujudkan dengan memberikan jaminan yang benar-
benar efektif. Sebagai contoh dalam jaminan kesehatan, pengobatan yang
belum dibuktikan kebenarannya secara ilmiah tidak boleh dijamin oleh
SJSN.
10. Portabilitas. Artinya manfaat jaminan sosial dapat dibawa kemana saja dan
selalu tersedia dimanapun di seluruh tanah air. Manfaat yang diperoleh peserta
tidak boleh putus atau hilang karena peserta pindah tempat kerja atau pindah
tempat tinggal. Tentu saja, apabila peserta pindah tempat tinggal tetap ke luar
negeri maka jaminan atau manfaat jaminan sosial harus terputus, karena peserta
tidak lagi menjadi penduduk Indonesia sebagai suatu syarat kewajiban dan hak
jaminan sosial.
11. Tanggung jawab terakhir tetap pada Pemerintah. Pada hakikatnya program
jaminan sosial adalah amanat UUD45 yang harus diselenggarakan oleh Negara
yang diberi mandat kepada Pemerintah. Oleh karenanya Pemerintah harus
bertanggung-jawab atas keamanan keuangan bila terjadi force majeur, seperti
terjadinya krisis ekonomi dan perubahan nilai tukar yang tinggi yang terjadi secara
tiba-tiba. Akan tetapi apabila kesulitan dana terjadi karena kesalahan manajemen
maka pengelola harus bertanggung-jawab atas kesalahan tersebut. Pemerintah
wajib memantau secara terus menerus, secara langsung atau melalui pengaturan
dan pengawasan yang ketat, agar tidak terjadi kesulitan pembiayaan yang parah.
39
C. Manfaat
1. Manfaat adalah hak peserta yang dijamin UU-SJSN sesuai dengan jenis
program. Manfaat program yang dianjurkan dalam SJSN adalah jaminan
kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, pensiun, dan jaminan
kematian serta jaminan pemutusan hubungan kerja. Tiap-tiap program jaminan
memberikan manfaat yang ditetapkan oleh peraturan perundangan SJSN.
2. Jenis manfaat adalah manfaat program SJSN yang diberikan dalam bentuk
jaminan dana tunai maupun berkala, dan pelayanan (kesehatan/ kedokteran).
3. Penerima manfaat terbagi dalam dua jenis penerima, sesuai dengan ketentuan
masing-masing program yaitu:
a. Peserta.
Manfaat yang diterimakan langsung kepada peserta adalah Jaminan Hari Tua,
Jaminan Pensiun dan Jaminan Kecelakaan Kerja.
b. Peserta dan seluruh anggota keluarganya.
Manfaat Jaminan Kesehatan diberikan kepada peserta dan seluruh anggota
keluarganya, namun jaminan kesehatan tidak diberikan dalam bentuk uang
atau penggantian uang tetapi dalam bentuk pelayanan yang diterima di
fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat kualitas tinggi yang dikontrak BPJS.
Sedangkan Jaminan Hari Tua, Pensiun, dan jaminan kematian diberikan
kepada ahli waris yang berhak apabila peserta meninggal dunia.
D. Iuran dan Dana SJSN
1. Iuran SJSN adalah sejumlah dana yang ditetapkan secara proporsional
terhadap gaji atau penghasilan peserta yang dibayarkan secara teratur oleh
peserta (dan pemberi kerja bagi peserta di sektor formal) untuk memenuhi
pembiayaan manfaat bagi peserta atau anggota keluarganya, sesuai dengan
jenis program. Untuk sektor informal, iuran dapat ditentukan dalam jumlah
tertentu.
2. Dana SJSN adalah himpunan iuran JSN beserta hasil pengembangannya yang
diamanatkan oleh peserta untuk disimpan, dikelola, dan dibayarkan sebagai
manfaat bagi peserta apabila syarat timbulnya hak peserta sudah terpenuhi.
Syarat timbulnya hak peserta adalah kejadian yang menyebabkan terjadinya
penurunan atau penghentian pendapatan atau kejadian sakit atau kecelakaan.
3. Sifat himpunan dana yaitu dana yang terkumpul dan hasil pengembangannya
merupakan Dana Amanat (trust fund) yang berarti bahwa dana tersebut tidak
dapat digunakan oleh pengelola sesuai peruntukan yang telah ditetapkan,
40
kecuali disetujui oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (board of trustees)
sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan SJSN.
E. Jenis dan Manfaat Program
Berdasarkan identifikasi kebutuhan dasar rakyat, SJSN akan mengembangkan dan
memperluas jaminan melalui 6 (enam) program, sebagai berikut:
1. Jaminan Kesehatan (JK)
Program Jaminan Kesehatan adalah program yang memberikan manfaat berupa
pelayanan kesehatan yang komprehensif, sesuai dengan kebutuhan medik yang
diperlukan untuk memelihara, memulihkan dan meningkatkan kesehatan peserta
dan anggota keluarganya.
2. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
Program Jaminan Kecelakaan Kerja merupakan manfaat pelayanan pemulihan
kesehatan yang terjadi akibat dari suatu kecelakaan yang berhubungan dengan
pekerjaan seseorang. Selain itu, program ini juga memberikan manfaat dalam
bentuk santunan uang baik lump-sum ataupun secara berkala bagi peserta yang
mengalami cacat atau meninggal dunia yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja.
3. Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (JPHK)
Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja merupakan dana tunai yang
dibayarkan oleh badan penyelenggara kepada tenaga kerja yang minimal bekerja
telah 6 bulan, sesuai dengan perhitungan masa kerjanya. Pembayaran dilakukan
sekaligus atau dibagi selama maksimal 6 bulan untuk menjamin kebutuhan hidup
minimal sehari-hari setelah putus hubungan kerja. Dana ini beraasal dari iuran
peserta dan pemberi kerja yang dipungut selama peserta masih bekerja. Namun
program JPHK ini tidak dimasukkan kedalam RUU SJSN ini karena telah diatur
dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
4. Jaminan Hari Tua (JHT)
Program Jaminan Hari Tua merupakan program yang membayarkan uang tunai
secara sekaligus sebelum seorang peserta memasuki masa pensiun. Pemberian
uang tunai lump-sum ini dimaksudkan untuk membekali peserta dengan uang
tunai dalam memasuki usia pensiun yang dapat digunakan untuk membeli rumah
atau modal untuk berusaha. Apabila peserta meninggal dunia sebelum memasuki
masa pensiun, maka manfaat program dibayarkan kepada janda/duda, anak atau
ahli waris peserta yang sah.
41
5. Jaminan Pensiun (JP)
Program Pensiun merupakan program yang membayaran uang secara berkala
untuk jangka waktu tertentu atau sampai peserta meninggal dunia sebagai
substitusi dari penurunan/hilangnya penghasilan setelah peserta memasuki usia
pensiun atau menderita cacat total tetap yang menyebabkan ia tidak mampu lagi
bekerja. Apabila peserta meninggal dunia sebelum ia memasuki usia pensiun,
maka manfaat dibayarkan kepada ahli warisnya.
6. Jaminan Kematian (JKm).
Program Jaminan Kematian membayarkan sejumlah uang tunai kepada ahli waris
yang sah setelah peserta meninggal dunia secara alamiah atau kecelakaan yang
tidak berhubungan dengan pekerjaan. Manfaat jaminan kematian ini diharapkan
dapat meringankan beban ahli waris peserta yang ditinggalkan yang dapat
digunakan untuk membiayai penguburan atau keperluan lain yang terkait dengan
kematian peserta.
42
BAB IV
KELEMBAGAAN SISTEM JAMINAN SOSIAL
Kelembagaan JSN merupakan salah satu unsur dalam suatu SJSN yang
berfungsi menyelenggarakan terwujudnya tujuan jaminan sosial yang telah dirumuskan
dalam SJSN sesuai dengan prinsip-prinsip jaminan sosial yang melandasinya seperti
telah diurakan pada Bab III. Dalam beroperasinya lembaga tersebut perlu diperlukan
aspek legal sehingga lembaga tersebut memerlukan suatu bentuk badan hokum.
Pembahasan kelembagaan selanjutnya dikelompokkan dalam (1) tinjauan kelembagaan
jaminan sosial di iselenggarakan berbagai Negara, (2) alternative kelembagaan jaminan
sosial untuk Indonesia, dan bentuk badan hokum penyelenggara.
A. Tinjauan Kelembagaan Jaminan Sosial di berbagai Negara.
Dalam Bab II, telah disajikan bahwa kelembagaan jaminan sosial di berbagai
negara yang lebih maju dari Indonesia bervariasi dari banyak lembaga/ badan
penyelenggara sampai badan penyelenggara tunggal di tingkat nasional. Jumlah badan
penyelenggara akan sangat mempengaruhi efektifitas dan efisiensi penyelenggaraaan
program jaminan sosial. Tidak ada suatu hukum khusus yang mengharuskan jumlah dan
bentuk badan penyelenggara. Selain itu, keputusan mengenai jumlah badan
penyelenggara pada umumnya merupakan keputusan politik yang harus diambil oleh
pemerintah suatu negara. Namun demikian, baik dari sistem jaminan sosial di berbagai
negara dan literatur pembiayaan publik tampak kecendrungan penyelenggaraan jaminan
sosial dimulai dengan jumlah BP yang banyak, baik menurut kelompok penduduk
maupun dari sektoral mengarah kepada semakin kecil jumlahnya, bahkan ada Negara
yang jamian sosialnya hanya dikelola oleh satu badan. Disamping itu, tampak adanya
suatu pola yang sama yaitu penyelenggaraan jaminan sosial dikelola secara nirlaba, baik
yang dikelola langsung oleh organisasi pemerintah atau dikelola oleh badan semi (kuasi)
pemerintah yang tidak dipengaruhi birokrasi pemerintahan dalam pengambilan keputusan
penting dan di dalam pengelolaan dana.
Badan penyelenggara Jaminan Sosial dapat bervariasi baik dari program, maupun
dari fokus kepada populasi yang dilayani. Fokus populasi yang dilayani dapat
dikelompokkan dalam jaminan sosial pegawai pemerintah,bahkan terpisah antara
pegawai pemerintah sipil dan militer (polisi), dan pegawai swasta. Ada juga
penyelenggaraan berdasarkan program seperti Asuransi Kesehatan Nasional yang
melayani berbagai kelompok penduduk. Ada juga pembagian menurut kelompok
43
penduduk dan kelompok program. Demikian juga dengan tanggung jawab
penyelenggaraan, ada yang melekat pada kementerian keuangan, kementrian tenaga
kerja, kementrian kesejahteraan, kementrian kesehatan dan sebagainya dan ada juga
yang berdiri sendiri dengan tanggung jawab langsung kepada Presiden.
Secara umum sebuah badan penyelenggara mempunyai tugas pokok dan fungsi
sebagai berikut:
1. Mengelola kepesertaan yang meliputi pendaftaran,pemberian nama identitas JS,
mutasi, penghentian (penghapusan) misalnya karena meninggal dunia atu pindah
permanen ke negara lain,
2. Melakukan pembayaran manfaat kepada peserta dan atau pembayaran kepada
pihak ketiga yang memberikan pelayanan kepada peserta,
3. Menghimpun iuran dari para pemberi kerja dan atau peserta,
4. Mengelola dana yang dititipkan oleh peserta guna memberikan manfaat sebesar-
besarnya kepada peserta (benefit maximizer),
5. Membuat laporan kegiatan dan keuangan secara transparan kepada seluruh
peserta dan pemerintah,
6. Melakukan penelitian dan pengembangan program-program jaminan sosial sesuai
dengan perubahan kebutuhan dasar peserta dan perubahan lingkungan sosial
ekonomi suatu negara,
7. Melakukan hal-hal lain yang dipandang perlu untuk meningkatkan kesejahteraan
peserta pada khususnya dan rakyat pada umumnya.
B. Alternatif Kelembagaan Jaminan Sosial Untuk Indonesia
Dari berbagai bahasan penyelenggaraan dan prinsip-prinsip dasar
penyelenggaraan jaminan social di berbagai Negara, disajikan disini berbagai alternatif
badan penyelenggara jaminan social untuk Indonesia. Hal ini sangat penting disampaikan
mengingat saat ini Indonesia sudah memiliki empat badan penyelenggara jaminan sosial.
Perubahan mendasar dan radikal dapat menimbulkan guncangan, namun demikian tanpa
perubahan badan penyelenggara sistem jaminan sosial nasional tidak akan menjadi kuat.
Oleh karenanya, berbagai alternatif badan penyelenggara yang disampaikan berikut ini
disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan dan risiko masing-masing
pilihan/alternatif. Untuk setiap alternatif diperlukan masa transisi tertentu sehingga
perubahan penyelenggaraan dari yang sedang berjalan menuju pola baru setelah adanya
perubahan undang-undang tidak menimbulkan guncangan besar. Yang pasti, perubahan
44
harus selalu dijalankan guna memperbaiki manajemen maupun besarnya manfaat
program yang disediakan melalui sistem jaminan sosial.
Sebuah sistem jaminan sosial pada hakikatnya merupakan pelaksana program
pemerintah dalam memelihara dan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan.
Suatu badan penyelenggara dapat mengelola suatu sistem jaminan sosial bagi
sekelompok penduduk tertentu atau sebuah program tertentu. Oleh karena itu, sebuah
badan penyelenggara dapat berada di bawah koordinasi langsung sebuah kementrian,
misalnya Kementrian Tenaga Kerja atau Kementrian Keuangan apabila badan
penyelenggara mengurus kelompok penduduk. Sebuah badan penyelenggara juga dapat
berada di bawah koordinasi Kementrian Kesehatan apabila program yang dikelola adalah
program jaminan/asuransi kesehatan yang mencakup berbagai segmen populasi.
Dengan demikian koordinasi badan penyelenggara ini akan sangat tergantung dari
rancangan sebuah sistem jaminan sosial. Untuk Indonesia, alternatif koordinasi badan
penyelenggara dapat dilakukan melalui pilihan di bawah ini:
1. Langsung berada di bawah koordinasi Presiden/Kepala Negara
Salah satu pilihan adalah sebuah Badan Penyelenggara yang langsung
bertanggung-jawab kepada Presiden, tanpa melalui seorang Menteri. Sebuah
badan penyelenggara yang otonom yang tidak berada di bawah koordinasi suatu
kementrian atau departemen akan lebih cocok untuk program jaminan sosial yang
lintas sektoral. Bentuk badan seperti ini, sebagai suatu badan setingkat
Departemen atau Lembaga Non Departemen, cocok untuk rancangan sebuah
sistem jaminan sosial yang mengelola berbagai program untuk berbagai
kelompok penduduk. Bentuk ini juga sangat efisien dan efektif karena akan selalu
menjadi fokus perhatian seluruh pihak terkait (stakeholders). Hanya saja, jika
badan penyelenggara berada langsung di bawah Presiden, keputusan yang
diambil dapat dipengaruhi oleh figur Presiden yang mungkin mewakili partai yang
berkuasa. Dengan demikian, independensi dan otonomi badan ini sering
diragukan. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa badan yang terlalu dekat
dengan kekuasaan sering digunakan sebagai alat penguasa untuk
mempertahankan kekuasaan.
45
2. Berada di bawah koordinasi sebuah kementrian
Badan penyelenggara yang berada di bawah suatu Depatemen tepat mengatur
kelompok penduduk atau program yang menjadi tugas utama suatu departemen.
Namun demikian, apabila program jaminan sosial menyangkut berbagai sektor
dan berbagai kelompok penduduk, maka koordinasi oleh suatu departemen dapat
menimbulkan gesekan politik yang keras karena banyak Departemen yang
merasa berwenang mengatur dan karenanya akan menjadi ―rebutan‖ mengingat
dana yang akan dikelola dapat jadi sangat besar. Departemen Keuangan dapat
melihat badan ini sebagai suatu Lembaga Keuangan dan karenanya dapat
menuntut agar badan tersebut berada di bawah Departemen Keuangan. Hal ini
mengandung risiko bahwa badan tersebut akan dilihat sebagai suatu sumber
keuangan umum negara seperti halnya BUMN di masa lalu. Padahal tujuan
utama jaminan sosial bukanlah akumulasi dana sebagai usaha revenue center
bagi pemerintah, akan tetapi upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan
bagi penduduk yang pengelolaannya harus memperhatikan aspek ekonomi dan
keuangan. Sebaliknya Departemen Kesehatan, Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigarasi, atau Departemen Sosial dapat melihat badan ini lebih tepat di
bawah koordinasinya karena mengurusi jaminan sosial atau jaminan tenaga kerja.
Padahal badan ini juga tidak hanya mengurus masalah sosial atau kesejahteraan
sosial atau tenaga kerja semata, akan tetapi badan ini juga akan mengurus
pengumpulan dana dan investasi yang pruden dimana kemampuan itu tidak
dimiliki oleh pejabat di Departemen non keuangan. Dimanapun letak badan
tersebut, pengaruh birokrasi dan kekuasaan dapat menjadikan pengelolaan
badan ini menyimpang dari tujuan semula yaitu memberikan jaminan sosial yang
mampu meningkatkan produktivitas penduduk.
3. Independen, bertanggung jawab langsung kepada DPR
Suatu badan di bawah koordinasi DPR memang memberikan jaminan tidak ada
campur tangan pemerintah. Pada kondisi banyak fraksi seperti yang kini terjadi,
pembentukan sebuah Badan Penyelenggara di bawah DPR mempunyai potensi
sebagai ajang rebutan partai, khususnya yang berkuasa. Lembaga seperti ini
tidak masuk dalam konstitusi atau sistem pemerintahan Indonesia, sehingga
bentuk ini tampaknya sulit bisa dilaksanakan.
46
F. Bentuk Badan Hukum Badan Penyelenggar
1. Badan Trust Fund (Dana Amanat) yang Independen
Suatu bentuk badan tripartit yang independen terhadap birokrasi pemerintahan
yang disebut Wali Amanat (Board of Trustee) dan diawasi oleh wakil-wakil pihak
yang berkepentingan (stakeholders) merupakan pilihan yang paling banyak dianut
di dunia. Bentuk Dana Amanat adalah bentuk badan hukum yang umum
digunakan di negara-negara maju dengan berbagai nama. Badan ini dapat
disebut sebagai suatu Badan Penyelenggara Publik yang bukan BUMN, bukan
perusahaan swasta, dan bukan lembaga pemerintah. Bentuk Dana Amanat pada
prinsipnya adalah suatu badan Quasi Pemerintah yang tidak dimiliki oleh
sekelompok orang akan tetapi dimiliki oleh seluruh pesertanya, yang peruntukan
dananya telah ditetapkan. Oleh karena Dana Amanat dimiliki seluruh pesertanya,
maka apabila terdapat sisa hasil usaha maka sisa hasil usaha tersebut menjadi
milik seluruh peserta. Jadi tidak ada pembagian dividen untuk sekolompok orang
maupun untuk pemerintah seperti yang terjadi dalam bentuk BUMN. Dana sisa
hasil usaha dapat diberikan sebagai pengurangan iuran tahun berikutnya,
disimpan sebagai dana cadangan umum untuk seluruh peserta, atau untuk
perbaikan pelayanan. Dana Amanat merupakan milik seluruh rakyat—apabila
cakupan jaminan sosial sudah universal, maka sisa hasil usaha juga tidak perlu
dikenakan pajak penghasilan badan karena setiap dana yang diperoleh sudah
menjadi hak seluruh rakyat seperti halnya dan yang dikumpulkan dari pajak.
Bedanya, dalam Dana Amanat pemerintah tidak ikut campur mengelola dana
tersebut. Pengelolaan Dana Amanat diatur oleh undang-undang dan pengelola
yang terdiri dari Board of Trustees (Wali Amanat) dan Executive Boards (Dewan
Eksekutif yang terdiri atas Direksi beserta kelengkapannya) secara independen
atau otonom tanpa campur tangan pemerintah atau partai. Wali Amanat/Dewan
Jaminan Sosial Nasional adalah lembaga penentu kebijakan dan sekaligus
pengawas keuangan maupun penyelenggaraan lainnya yang dilaksanakan oleh
eksekutif. Wali Amanat terdiri dari wakil-wakil berbagai peserta seperti wakil
tenaga kerja, wakil perusahaan, wakil pemerintah, dan unsur lain yang dinilai
perlu dan memiliki kemampuan menjalankan fungsi Wali Amanat. Bentuk Dana
Pensiun Pemberi Kerja dan Universitas Otonom atau Badan Hukum Pendidikan
adalah badan hukum yang mendekati bentuk Dana Amanat.
47
2. Badan Usaha Milik Negara/Daerah
Selama ini jaminan sosial dikelola oleh badan hukum BUMN seperti PT (Persero)
Askes, Jamsostek, dan Taspen. Dalam undang-undang asuransi memang diatur
bahwa asuransi sosial harus dikelola oleh BUMN. Dari segi tanggung jawab
pemerintah, memang bentuk BUMN lebih menjamin solvabilitas jika sewaktu-
waktu terjadi masalah keuangan yang berat. Namun demikian, bentuk BUMN
yang pada hakikatnya lembaga pencari laba (untuk kas negara) tidak sesuai
dengan nafas jaminan sosial yang perlu memaksimalkan manfaat atau jaminan.
Bentuk badan usaha ini pula yang menimbulkan tuntutan agar pengelolaan
jaminan sosial atau asuransi sosial tidak dimonopoli. Padahal, jika bentuk
penyelenggara kembali kepada sifat alamiahnya yang wajib kontribusi, maka
bentuk BUMN tidak cocok. Jaminan sosial bukanlah urusan usaha bisnis karena
jaminan sosial justeru terbentuk sebagai jawaban atas kegagalan usaha bisnis
mewujudkan keadilan sosial, dan memberikan kepastian perlindungan yang
berkelanjutan. Karena di Indonesia banyak pihak belum memahami dan belum
percaya dengan bentuk khusus Dana Amanat. Jalan keluar yang mungkin bisa
ditempuh adalah banyak BUMN khusus yang nirlaba dan aturan mainnya di atur
sendiri. Dalam SJSN tidak diatur oleh UU BUMN. Namun itupun masih bisa
menimbulkan kebingungan.
3. Badan Usaha Milik Swasta (free choice)
Kini banyak tuntutan pihak swasta untuk ikut serta terjun mengelola jaminan
sosial. Apabila hal ini disetujui, maka ini merupakan alternatif liberal yang dapat
dipertimbangkan untuk pengelola jaminan sosial. Negara-negara Amerika Latin
sudah mencoba bentuk ini dalam skala yang amat terbatas. Namun demikian
evaluasi uji coba model Amerika Latin menunjukkan terjadinya seleksi bias yang
tidak lagi mencerminkan asas keadilan sosial yang didambakan. Negara maju lain
di dunia, termasuk juga negara paling liberal, Amerika Serikat, masih mengelola
jaminan sosial oleh suatu badan pemerintah yang independen. Jaminan sosial
yang tidak dikelola oleh badan swasta justru merupakan jawaban atas kegagalan
pihak swasta mewujudkan keadilan sosial. Jadi usulan ini adalah kontradiktif
dengan esensi diselenggarakannya jaminan sosial. Bentuk ini hendaknya sama
sekali tidak diambil pada saat ini.
48
D. Jumlah Badan Penyelenggara dan Undang-Undang Jaminan sosial
Jumlah badan penyelenggara jaminan sosial dikaitkan dengan undang-undang
jaminan soial dapat dipertimbangkan menurut beberapa alternatif berikut ini.
1. Satu Badan Penyelenggara Nasional dengan Satu UU JS Nasional
Pilihan yang paling ideal adalah dengan satu badan penyelenggara yang
mengelola seluruh program (Social Security Administration) di Pusat yang
memiliki kantor cabang di daerah-daerah. Badan di pusat ini memiliki
tigadirektorat, yaitu direktorat jangka panjang, direktorat jangka pendek dan
direkotrat administrasi. Direktorat Jaminan Jangka Panjang mengatur jaminan
pensiun, jaminan hari tua dan jaminan kematian, yaitu jaminan yang manfaatnya
diterima pada saat menjelang memasuki hari tua atau pensiun, atau meninggal
dunia yang memberikan jaminan berbentuk uang tunai. Direktorat Jaminan jangka
pendek yaitu direktorat yang mengatur jaminan pelayanan seperti jaminan
kesehatan. Sementara jaminan kecelakaan kerja dapat dikategorikan sebagai
jaminan jangka pendek. Direktorat administrasi diperlukan karena kompleksnya
administrasi dan dinamisnya peserta yang dapat pindah-pindah kerja, baik
pegawai negeri ke pegawai swasta atau sebaliknya maupun pindah tempat
tinggal, maka dibutuhkan satu Direktorat Khusus yang menangani administrasi
peserta, termasuk mengelola dana yang terkumpul maupun yang belum
digunakan. Eksekutif Badan Penyelenggara dipimpin oleh Dewan Direksi, yang
mencakup Direktur yang memimpin sebuah Direktorat.
Badan ini memang ideal, namun membutuhkan waktu yang cukup untuk
menggabungkan seluruh badan penyelenggara yang kini mengelola populasi atau
sektor yang berbeda (pegawai negeri dan pegawai swasta), baik dari segi teknis
maupun dana. Disamping itu kemungkinan akan ada resistensi dari mereka yang
kini mengelola, meskipun hal itu sebenarnya tidak perlu, sebab badan
penyelenggara yang ada sekarang ini merupakan Badan Usaha Milik Negara.
Dengan demikian Pemerintah dapat menentukan apakah badan penyelenggara
yang ada akan digabungkan atau tidak. Namun, jika akan digabungkan menjadi
satu badan penyelenggara, proses transisinya harus dilakukan secara bijaksana
tanpa ada rasionalisasi tenaga dan tidak merugikan peserta. Ketentuan undang-
undnag yang baru bagi peserta baru, terutama jaminan jangka panjang. Patut
juga dipertimbangkan bahwa masing-masing badan penyelenggara telah memiliki
49
peraturan tersendiri. Struktur satu badan penyelenggara Nasional dengan satu
UU JS Nasional digambarkan pada gambar 7 berikut.
Gambar 7:
Satu Badan Penyelenggara dengan Satu UU SJSN
2 Beberapa Badan Penyelenggara dengan Satu UU JS Nasional
Alternatif kedua yang lebih baik penerimaannya adalah badan penyelenggara
yang ada tetap beroperasi tetapi dengan satu UU JSN, artinya badan
penyelenggara yang ada menyesuaikan dengan UU-SJSN tersebut. Paling tidak,
alternatif ini bisa dilaksanakan dalam waktu dekat. Dengan satu UU JSN, lebih
dapat dijamin konsistensi dan uniformitas JSN bagi pegawai negeri, pegawai
swasta, dan pekerja sektor informal. Model ini merupakan model ‗virtual tunggal‘
sebagai suatu sistem nasional.
Untuk menjamin bahwa seluruh badan penyelenggara yang ada melaksanakan
program jaminan sosial secara konsisten, maka perlu dibentuk sebuah Dewan
Jaminan Sosial Nasional yang akan mengawasi dan membuat kebijakan umum
program jaminan sosial. Alternatif kedua ini merupakan kombinasi
penyelenggaraan jaminan sosial menurut sektor dan menurut program. PT
Jamsostek akan tetap melayani pekerja sektor swasta ditambah sektor informal
yang bisa mulai mengikuti program jaminan sosial secara sukarela. Namun
demikian, program JPK Jamsostek dapat digabungkan dengan program Askes
pegawai negeri yang dikelola oleh PT Askes. Dengan demikian, PT Askes akan
berkonsentrasi mengelola jaminan kesehatan secara universal, baik untuk
Presiden
Direktorat
JJPd
Direktorat
JJPj
Direksi
Dewan JSN
Direktorat
Adm
50
pegawai swasta, pegawai negeri, sektor informal, dan penduduk miskin. Hal ini
telah dilaksanakan di negara lain seperti Taiwan, Filipina, dan Korea di akhir
tahun 90-an yang lalu. Sementara itu, PT Taspen dan PT ASABRI akan tetap
mengelola jaminan bersifat jangka panjang untuk kedua sektor pegawai negeri
dan tentara.
Akan tetapi, karena badan-badan yang ada sekarang merupakan BUMN yang
bertujuan mencari laba dan tidak konsisten dengan prinsip-prinsip universal, maka
seluruh badan penyelenggara tersebut harus diubah menjadi suatu badan hukum
nirlaba, yang merupakan badan hukum jaminan sosial atau semacam trust fund.
Mengingat saat ini belum ada undang-undnag tentang dana amanat, maka antara
lain dapat dipertimbangkan bentuk persero yang berciri khusus jaminan sosial
yaitu pengelolaannya not for propfit, yang memperoleh fasilitas perpajakan dan
dibebaskan dari kewajiban pembayaran deviden.
Secara organogram, susunan badan penyelenggara yang akan diatur dengan UU
JSN nantinya sebagaimana tercantum pada gambar 8 berikut:
Gambar 8:
Beberapa Badan Penyelenggara dengan Satu UU SJSN
3. Beberapa Badan Penyelenggara dengan Beberapa UU JS
Praktek penyelenggaraan jaminan sosial dengan satu UU untuk masing-masing
sektor dan tiap sektor memiliki satu badan penyelenggara sendiri. Alternatif ini
kurang menggambarkan sifat nasionalnya dan kurang optimum di dalam
mewujudkan solidaritas dan keadilan sosial. Potensi bervariasi manfaat dan cara
penyelenggaraan, sehingga dapat menimbulkan kecemburuan sosial, bisa sangat
* Seluruh BP diatur oleh satu UUJSN
BP* J Pensiun
TNI-P
DJSN
BP* J Pensiun
PNS
BP* Jamsostek
& informal BP* JK
Presiden
51
besar dalam model ini. Selain ini, kemungkinan kebangkrutan satu model,
misalnya sektor informal, karena sulitnya mengumpulan iuran dari kelompok
tersebut sangat besar. Apabila hal itu terjadi, maka citra jaminan sosial nasional
akan rusak secara keseluruhan.
Dalam model ini, perlu dibuat satu UU dan satu badan penyelenggara untuk
pegawai negeri, untuk pekerja swasta, untuk petani, untuk sektor informal, dan
sebagainya. Tiap badan penyelenggara dapat mengelola berbagai program,
misalnya badan jaminan sosial pegawai negeri akan mengelola dana pensiun,
jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian sekaligus.
Penanggung jawab badan-badan tersebut diletakkan kepada menteri-menteri
terkait. Organogramnya sebagaimana tercantum pada gambar 9 berikut.
Gambar 9 :
Beberapa Badan Penyelenggara dengan Beberapa UUJS
4. Membentuk Badan Baru JSN selain yang ada sekarang (ini yang
ditawarkan oleh PT.TASPEN, perlu diulas lebih panjang)
Bentuk lain yang dapat diusulkan adalah membentuk badan baru yang bersifat
nasional yang mengelola jaminan sosial dasar untuk seluruh program, tanpa
mengganggu badan yang ada. Badan-badan yang ada dikonversi menjadi badan
penyelenggara jaminan sosial tambahan. Kelemahan badan baru ini adalah
mahalnya biaya pembentukan badan baru dan tidak optimalnya penyelenggaraan
jaminan sosial, karena tiap sektor atau tiap pegawai akan memiliki dua jaminan
sosial sekaligus yang juga bersifat wajib. Hal ini sangat tidak lazim. Penambahan
lembaga baru artinya akan menambah besaran iuran, baik bagi peserta maupun
Presiden
BP JK
BP Jamsostek
& informal
BP J Pensiun
PNS
UU JK UU PTNI
BP J Pensiun
TNI-P
UU JSTI
Menteri
Pertahanan
Menteri
Keuangan
Menteri Tenaga
Kerja & Trans
Menteri
Kesehatan
UU PPNS
52
pember kerja. Disamping itu, manfaat jaminan sosial yang ada saat ini masih
belum memadai sebagai manfaat dasar. Karenanya menjadikan sekunder tidak
rasional, kecuali untuk mempertahankan eksistensi yang ada. Penyelenggaraan
yang lazim dilakukan adalah satu sistem yang bersifat wajib dan kemudian setiap
sektor atau orang dapat memiliki jaminan sosial tambahan (suplemen) yang
bersifat sukarela. Pada penyelenggaraan yang sifatnya sukarela ini, prinsip
keadilan sosial (equity) kurang penting dan karenanya dapat diselenggarakan
oleh sektor swasta.
Kombinasi berbagai bentuk diatas masih dimungkinkan. Masing-masing bentuk
badan dan jumlah badan penyelenggara mempunyai kekuatan dan kelemahan.
Rangkuman Kelebihan Dan Kekurangan Dari Masing-Masing Alternatif
BPJS
Alternatif Kelebihan Kekurangan
(1) Satu Badan Penyeleng-gara Publik Terpadu di Pusat yang menangani semua program. Badan ini berada di bawah Presiden.
Efisiensi di dalam pengelolaan dana sangat tinggi, biaya administrasi kecil
Keseragaman kebijakan secara Nasional memudahkan sosialisasi dan pemahaman mudah dilakukan dan murah
Terselenggaranya equity (adil dan merata)/subsidi silang luas antar wilayah dan golongan ekonomi untuk program kesehatan
Menjadi perhatian semua orang dan karenanya lebih terjaga karena semua pihak berkepentingan. Sustainabilitas menjadi tinggi
Pada tahap awal bentuk ini merupakan bentuk terbaik. Kemudian hari mungkin dapat didesentralisasi
Akumulasi dana (very large pool) jangka panjang yang
Kontrol pada sebagian kecil orang di pusat yang mudah terjadi manipulasi oleh kekuasaan
Kurang fleksibel dalam merespons keinginan berbagai kelompok peserta atau daerah, kurang akomodatif
Diseconomy of scale, karena organisasi terlalu besar dan akan menjadi terlalu birokratis
Sekali kolaps merugikan semua penduduk, namun kemungkinan ini kecil
Kolusi dalam penempatan dana mudah terjadi
Span of control terlalu besar sehingga bisa menimbulkan kesuli-tan kendali
Wakil stakeholder (pihak berke-pentingan) – dalam pengendalian tidak banyak
53
Alternatif Kelebihan Kekurangan
besar memiliki daya ungkit ekonomi tinggi
Terhindarnya kepesertaan ganda dan memudahkan penanganan penduduk yang pindah (portabilitas). Diperlukan nomor jaminan sosial (social security number)
(2) Beberapa Badan Pe-nyelenggara Jaminan Sosial Nasional dalam satu UU
Masih terjaga keseraga-man mekanisme dan penyelenggaraan
Secara teknis tidak banyak gejolak dari badan penyelenggara atau pihak lain yang terkait
Mempunyai pool yang tetap besar apabila jumlah badan penyelenggara tetap seperti sekarang
Dapat tercipta ‗virtual competition‘ apabila tetap berada di bawah satu DJSN
Mengakomodir kepentingan kelompok yang khsusus, seperti TNI-Polri
Tingkat kepuasan peserta akan lebih baik dibandingkan pilihan pertama
Kurang menggambarkan ke-nasionalan jaminan sosial
Efisiensi penyelenggaraan lebih rendah dari pilihan pertama
Kemungkinan terjadi variasi pelayanan antara BP yang menimbulkan ketidak-puasan
Membutuhkan pekerjaan tambahan untuk peserta yang pindah kerja/sektor
Lebih mudah dipengaruhi pejabat di sektor yang mengawasi/merasa perlu mengawasi
Kepesertaan ganda mungkin terjadi. Akan tidak menguntungkan untuk program kesehatan
Dapat menimbulkan kecemburuan pada sektor swasta dan informal yang merasa tidak mendapat kontribusi pemerintah
(3) Beberapa Badan de-ngan Beberapa UU
Mengakomodir kepenti-ngan sektoral / kelompok yang lebih luas, sehingga kepuasan peserta lebih baik
Kegagalan di satu sektor dapat diisolasi sehingga tidak merugikan sektor lain
Tingkat kompetisi semakin tinggi yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan
Jumlah perwakilan dari masing-masing sektor dapat lebih banyak
Dapat terjadi ketidak-harmonisan antara satu UU dengan UU lainnya
Efisiensi lebih rendah, karena duplikasi penyelenggara
Pengaruh birokrat dari kementrian yang terkait dapat sangat kuat
Untuk program kesehatan, solidaritas sosial semakin terbatas dan menimbulkan konflik pada penyelenggaraan untuk satu keluarga yang bekerja pada sektor berbeda
Akan timbul badan penyelenggara kuat dan lemah (sektor infor-mal/petani) yang tingkat peng-hasilannya lebih kecil
54
Alternatif Kelebihan Kekurangan
Kepuasan peserta/respons terhadap kebutuhan peserta sektor tertentu dapat lebih terakomodir
Pengelolaan dana yang terkumpul lebih tersebar
Jika dibutuhkan kebijakan penggunaan dana jaminan sosial yang besar, lebih sulit mengorganisirnya
(4) Pembentukan satu ba-dan JS Dasar untuk seluruh penduduk, yang ada menjadi pro-gram tambahan
Memberi kesan adanya program Nasional
Tidak mengganggu badan penyelenggara yang ada sekarang, tidak ada resistensi
Sangat tidak efisien dan menimbulkan duplikasi program yang sama-sama wajib
Memerlukan investasi pemerintah yang besar, sementara yang ada belum optimal
Lebih memperlihatkan resistensi BP yang ada, yang sebenarnya tidak perlu
Akan menambah beban iuran yang lebih tinggi pada saat keadaan ekonomi sulit
Manfaat yang diberikan oleh BP JSD akan sangat kecil, tidak memadai atau hanya basa-basi
E. DASAR PILIHAN KELEMBAGAAN SJSN
Dari berbagai alternatif kelembagaan tersebut, apapun pilihan haruslah mendasari
niat awal dibentuknya SJSN, yaitu memberikan kepastian jaminan perlindungan yang
mampu memenuhi kebutuhan hidup layak bagi setiap penduduk, secara
berkelanjutan sehingga dapat terwujud kesejahteraan sosial bagi seluruh
masyarakat Indonesia secara berkeadilan, dengan bertumpu kepada prinsip-prinsip
dasar penyelenggaraan jaminan sosial yaitu penyertaannya bersifat wajib bagi
seluruh rakyat, kegotong-royongan, memberikan perlindungan yang adil pada para
peserta, peserta membayar iuran, law of the large numbers atau hukum bilangan
besar, transparan dan dapat dipercaya. Penyelenggaraannya bersifat nirlaba (not –
profit) dan bila ada peningkatan asset akan digunakan untuk menambah manfaat
bagi peserta. Kelembagaan ini haruslah dibentuk sebagai suatu sistem yang integral,
terkoordinasi dan dapat menghindari terjadinya tumpang tindih sebagaimana yang
terjadi pada program jaminan sosial yang ada saat ini dalam masyarakat. Oleh
karenanya kelembagaan yang akan dibangun adalah kelembagaan yang independen,
55
menerapkan good governance dan dapat dipercaya untuk mewakili kepentingan para
stakeholder yaitu peserta, pemberi kerja dan pemerintah. Kelembagaan dimaksud
haruslah merupakan lembaga yang mengandung sifat dasar sebagai perwalian
amanah. 2Dalam pelaksanaanya, lembaga tersebut senantiasa harus berpedoman
pada undang-undang dan ketentuan peraturan untuk itu.
Pada dasarnya keberadaan dan kelanggengan lembaga jaminan sosial nasional ini
adalah tanggung jawab Pemerintah sebagaimana yang diamanatkan oleh Tap MPR-
RI Nomor X Tahun 2001. Artinya Pemerintah berfungsi sebagai pemberi kontribusi
dalam pengadaan modal awal, ikut menjamin bila sewaktu-waktu lembaga tidak bisa
memenuhi kewajibannya (default) dan bertanggung jawab dalam pengelolaan modal,
mengawasi managemen dan administrasi serta pengembangan SDM yang sehat.
Pemerintah harus terus menerus terlibat dalam pembinaan, pengawasan,
pertumbuhan dan kesehatan serta keberlangsungan lembaga dimaksud. Peserta dan
pemberi kerja juga turut bertanggung jawab dalam pemupukan modal melalui
iuran/premi yang dibayarkan dan mengawasi pemenuhan manfaat dan pelayanan
jaminan sosial serta pengelolaan dana. Kelanggengan lembaga SJSN ditentukan
oleh besaran jumlah peserta (the law of the large numbers) dan prinsip kegotong-
royongan. Oleh karena itu pekerja dan pemberi kerja turut bertanggung jawab dalam
sosialisasi jaminan sosial nasional dimaksud.
PILIHAN YANG DIUSULKAN
Dengan pertimbangan yang sangat berhati-hati dan mendalam, Tim SJSN telah
berupaya mencari bentuk susunan organisasi yang mampu mengakomodir kebutuhan
sebagaimana diuraiakan di atas. Dalam proses perkembangan susunan
kelembagaan SJSN yang diinginkan, telah mengalami beberapa kali perubahan
karena tarik-menarik kepentingan kelayakan implementasi UU SJSN dalam waktu
dekat. Perubahan susunan konsep dari awal diformulasikan sampai terakhir
dikonsultasikan kepada Presiden pada Sidang Kabinet tanggal 24 Desember 2003
terlihat pada pentahapan konsep berikut.
2 Artinya, Wali Amanah adalah suatu konsep falsafah kepercayaan yang membuat suatu lembaga
berfungsi sesuai dengan maksud pemberi kepercayaan tersebut. Kepercayaan yang dibicarakan dalam naskah akademik ini adalah kepercayaan yang diberikan oleh stakeholder kepada suatu lembaga untuk mengelola iuran asuransi sosial, dana terhimpun secara profesional, efektif, efisien, transparan dan akuntabilitas publik serta kehati-hatian. (CATATAN KALAU DIPERLUKAN)
56
1. Konsep versi pertama : LJSN SEBAGAI DANA AMANAT
LJSN merupakan Dana Amanat Tunggal yang didukung oleh Dewan Pengawas.
Lembaga ini berada di bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada
Presiden. Dalam pelaksanaan tehnis operasionalnya, LJSN membentuk beberapa
organ divisi dan unit pendukung sebagaimana tergambar pada gambar berikut.
57
Gambar 10 :
Konsep Versi Pertama : Lembaga Jaminan Sosial Nasional Sebagai Dana Amanat
Direktur 6
Urusan Litbang & Humas
KETUA LEMBAGA JAMINAN SOSIAL NASIONAL
Dir. 6 Dir. 5 Dir. 4 Dir. 3 Dir. 2 Dir. 1
PRESIDEN
Staf Ahli
1. Aktuaria
2. Hukum
3. Keuangan
Board of Investment
1. Wakil Pemerintah
2. Wakil Pemberi Kerja
3. Wakil Pekerja
4. Tenaga Ahli Investasi
DEWAN PENGAWAS
1. Menko Perekonomian
2. Menko Keuangan
3. Mendagri & Otda
4. Menakertrans
5. Menkes
6. Mensos
7. Tenaga Ahli Jamsos
DEWAN PENASEHAT
1. Wakil Pemerintah
2. Wakil Pemberi Kerja
3. Wakil Pekerja
Direktur 1
Urusan Program Pensiun
Direktur 4
Urusan Akuntansi &
Keuangan
Direktur 2
Urusan Program
Simpanan Hari Tua dan
Santunan Kematian
Direktur 3
Urusan Program
Pemeliharaan Kesehatan &
Jaminan Kecelakaan Kerja
Satuan Kerja
Audit Intern
(SKAI)
Direktur 5
Urusan Administrasi
1. Teknologi Informatika
2. Kepegawaian
3. Umum
58
Keterangan :
Dewan Amanat terdiri dari :
a. Ketua LJSN, berfungsi mengkoordinasikan semua kegiatan operasional
program dan unsur-unsur penunjang lainnya, baik menyangkut masalah
akutansi, keuangan dan administrasi. Ketua dibantu direktur masing-
masing program dan unsur-unsur penunjang;
b. Dewan Penasehat berfungsi memberi nasehat/arahan pelaksanaan
program jaminan sosial nasional. Dewan Penasehat terdiri dari wakil
pemerintah, wakil pemberi kerja dan wakil pekerja;
c. Board of Investment berfungsi mengelola dana milik seluruh peserta.
Keanggotaan terdiri dari wakil pemerintah, wakil, pemberi kerja dan wakil
pekerja yang harus memiliki keahlian dalam investasi, keterbukaan dan
akuntabilitas;
d. Satuan Kerja Audit Intern SKAI) berfungsi dalam segala bentuk
pengawasan terhadap terselenggaranya administrasi keuangan intern.
e. Dalam perkembangan perjalanan SJSN dari waktu ke waktu, diperlukan
bantuan dari para ahli di bidang aktuaria, hukum dan keuangan.
Keterlibatan mereka bersifat ad-hock (bila diperlukan);
f. Untuk menjamin bahwa LJSN sesuai dengan amanah stakeholder dan UU
SJSN, lembaga ini harus di awasi oleh suatu badan pengawas yang
mewakili stakholder. Dari unsur pemerintah akan diwakili oleh Menko Kesra
dan menteri terkait lainnya. Sedangkan pekerja dan pemberi kerja dapat
mengusulkan wakilnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalalm UU
SJSN.
g. Ketua beserta seluruh jajaran Dewan Amanat berfungsi sebagai
penyususn kebijakan dengan memperhatikan saran-saran dari Dewan
Penasehat dan Dewan Pengawas.
2. Konsep versi kedua : LJSN sebagai Dewan Pengendalian
LJSN sebagai badan wali amanah yang berfungsi hanya sebagai badan yang
bertanggung jawab dalam perumusan kebijakan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan UU SJSN. Guna menghimpun aspirasi daerah, LJSN memiliki
perwakilan wilayah dengan jumlah sesuai kebutuhan. Struktur dan organnya
ditampilkan dalam dua alternatif pada gambar 11.
59
Gambar 11 :
Konsep Versi Kedua : Lembaga Jaminan Sosial Nasional Sebagai Dewan Pengendalian
(Alternatif 1)
Direktur 6
tur 6
Urusan Litbang & Humas
san Litbang & Humas
Litbang & Humas
ang & Humas
& Humas
Humas
mas
Pemantauan dan Pengawasan Manajemen
SJSN Dewan Wali
Amanah “Y”
Komite Investasi
Komite Investasi
Dewan Wali
Amanah “X”
Pemantauan dan Pengawasan Operasional SJSN
JAN
GK
A P
AN
JAN
G
JAN
GK
A P
AN
JAN
G
JAN
GK
A P
EN
DE
K
MANAGEMEN
T
TR
US
TE
ES
HIP
Internal Audit
Penyelenggara Daerah
LJSN Wilayah
Penyelenggara Daerah
Badan Pengelola
Direktur Utama
Internal Audit
Badan Pengelola
Direktur Utama
DIR
D
DIR
C
DIR
B
DIR
A
DIR
D
DIR
C
DIR
B
DIR
A
Komite Investasi Komite Audit
Sekretariat LJSN
LJSN a. Ketua/Wakil Ketua
b. Unsur Pemerintah
c. Unsur Tenaga Kerja
d. Unsur Pemberi Kerja
e. Pakar
f. Perwakilan Badan Pengelola
Dewan Pengawas
PRESIDEN RI
60
Keterangan:
a. LJSN berada di bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada
Presiden. Presiden dibantu oleh Dewan Pengawas (terdiri dari Menko dan
Menteri terkait) LJSN berada di bawah dan bertanggung jawab secara
langsung kepada Presiden
b. LJSN sebagai wali amanah berfungsi sebagai badan yang bertanggung jawab
dalam perumusan kebijakan dan pengawasan terhadap peleksanaan UU
SJSN. Guna menghimpun aspirasi daerah, LJSN memiliki perwakilan dengan
jumlah sesuai dengan kebutuhan.;
c. Sebagai pengelola dan sekaligus penyelenggara, dilaksanakan oleh badan
yang independen yang disebut badan penyelenggara yang bersifat wali
amanah dan operasionalisasi program dilaksanakan oleh eksekutif. Badan ini
tunduk kepada UU SJSN dan kebijakan-kebijakan yang dilahirkan oleh LJSN.
d. Untuk memenuhi prisip the law of the large number, kegotong-royongan,
distribusi pendapatan, badan pelnyelenggara dilaksanakan secara nasional;
e. Didaerah dapat dibentuk unit-unit penyelenggaran daerah;
61
Gambar 12 :
Konsep Versi Kedua : Lembaga Jaminan Sosial Nasional Sebagai Dewan Pengendalian
(Alternatif 2)
PRESIDEN
Dewan Pengawas
LJSN a. Ketua/Wakil Ketua
b. Unsur Pemerintah
c. Unsur Tenaga Kerja
d. Unsur Pemberi Kerja
e. Pakar
f. Perwakilan Badan Pengelola
Sekretariat LJSN
Komite Audit Komite Investasi
DIR
A
DIR
B
DIR
C
DIR
D
DIR
A
DIR
B
DIR
C
DIR
D
Badan Pengelola
Direktur Utama
Internal Audit
Badan Pengelola
Direktur Utama
Penyelenggara Daerah Penyelenggara Daerah
TR
US
TE
ES
HIP
MANAGEMEN
T
JAN
GK
A P
EN
DE
K
JAN
GK
A P
AN
JAN
G
Dewan Wali
Amanah “X”
Komite Investasi Komite Investasi
Dewan Wali
Amanah “Y”
Pemantauan dan Pengawasan Manajemen
SJSN Pusat
Daerah
Exte
rnal
Au
dit
62
Keterangan :
a. LJSN berada di bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada
Presiden. Lembaga ini terdiri dari Pengurus berfungsi sebagai wali
amanah yang mewakili peserta, wakil-wakil badan penyelenggara, pakar
di bantu oleh Komite Investasi, Komite Audit dan Sekretariat LJSN.
b. LJSN sekaligus berfungsi sebagai badan penyelenggara;
c. LJSN membentuk badan eksekutif dengan struktur organisasi sesuai
kebutuhan;
d. Komite Investasi merupakan satuan kerja yang melaksanakan segala
bentuk pengelolaan dana milik seluruh peserta. Keanggotaannya
sebanyak-banyaknya lima orang termasuk ketua dan wakil ketua, terdiri
dari tiga orang pejabat LJSN, satu orang pakar investasi dan satu orang
pakar aktuaris;
e. Komite Audit merupakan satuan kerja audit intern yang melaksanakan
segala bentuk pengawasan terhadap terselenggaranya adminstrasi
keuangan internal dan eksternal.
f. Di daerah LJSN memiliki unit penyelenggaran daerah.
3. Konsep versi ketiga : LJSN sebagai Dewan Jaminan Sosial Nasional.
LJSN terdiri dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Badan Administrasi
Jaminan Sosial Nasional (BAJSN), Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan
Nasional, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang susunan
organisasinya adalah sebagai berikut.
63
Gambar 13 :
Konsep Versi Ketiga : Lembaga Jaminan Sosial Nasional Sebagai Dewan Jaminan Sosial Nasional
PRESIDEN
Sekretariat DDJSN
DEWAN DANA JAMINAN SOSIAL NASIONAL
DIR A
Unit Pengelola di daerah Cabang-Cabang
Unit Pengelola di daerah Cabang-cabang
DIR B
DIR C
DIR D
DIR A
DIR B
DIR C
DIR D
P P K P P K P P K P P K
DAERAH
PUSAT
Direktur Utama Jaminan Kesehatan Nasional
Direktur Utama Jaminan Hari Tua Nasional
PUSAT
PUSAT
TR
US
HT
ES
HIP
MANAJEMEN PESERTA INVESTASI
BADAN ADMINISTRASI JAMINAN SOSIAL
DEPUTI I
Kepesertaan
DEPUTI II
Keuangan & Investasi
DEPUTI III Audit Internal
BADAN PENYELENGGARA
Kepala Badan AJSN
Sekretaris Utama
LJSN
LJS
N
LJS
N
BAJS Regional
Dewan Penasehat
64
Keterangan :
a. LJSN merupakan sebuah badan hukum jaminan sosial Indonesia yang
dalam mengambil kebijakan, penyelenggaraan, pengelolaan keuangan,
pengelolaan ketenagaan, dan menjalankan operasinya bersifat otonom;
b. LJSN terdiri dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Badan
Adminsitrasi Jaminan Sosial Nasional (BAJSN), Badan Penyelenggaran
Jaminan Kesehatan Nsional (BPJKN), dan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial
c. DJSN merupakan badan pengambil keputusan tertinggi dalam SJSN yang
dibentuk khusus oleh UU SJSN. Anggota DJSN dipilih berdasarkan kriteria
yang ditetapkan Presiden. Anggota DDJSN merupakan jabatan
kehormatan dan tidak memperoleh gaji tetap bulanan, tetapi anggota
DJSN berhak menerima honorarium pada setiap masa sidang.
d. BAJSN adalah badan yang melaksanakan fungsi administrasi kepesertaan
dan pengelolaan dana SJSN berdasrkan kewenangan yang dilimpahkan
oleh DJSN. BAJSN dibentuk oleh Presiden dalam rangka mengemban
amanat UUSJSN. Pengurus BAJSN ditetapkan oleh Presiden berdasrkan
usulan DJSN dan di pimpin oleh seorang kepala badan, dibantu sekretaris
utama dan tiga orang deputi.
4. Konsep Versi empat : Badan Jaminan Sosial Nasional (Tunggal).
Berdasarkan bahasan alternatif badan penyelenggara, kelebihan dan
kekurangan dari masing-masing alternatif sebagaimana di uraikan dalam
beberapa versi di atas, dikembangkan lagi LJSN dengan nama ―Badan
Jaminan Sosial Nasional‖ seperti bagan berikut.
65
Gambar 14 :
Susunan Organisasi Badan Jaminan Sosial Nasional
Keterangan :
a. BJSN merupakan badan khusus yang dibentuk oleh UU SJSN. Bentuk
badan khusus ini bukan BUMN dan bukan suatu organ pemerintah,
namun dinilai sebagai bentuk yang paling pas untuk menjalankan tugas
pengelolaan dana publik secara luwes, memungkinkan pengembangan
dana secara optimal, dan di awasi oleh peserta, tidak dipengaruhi oleh
birokrasi pemerintah, sehingga dapat lebih responsif menjawab tuntutan
peserta. Dalam mengambil kebijakan, penyelenggaraan, pengelolaan
keuangan, pengelolaan ketenagaan, dan menjalankan operasinya
bersifat independen;
b. BJSN terdiri dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Dewan
Direksi;
c. DJSN merupakan organ tertinggi dalam BJSN yang mempunyai
kewenangan pengambilan keputusan tertinggi dalam SJSN, oleh
karenanya DJSN harus mempertanggung-jawabkan penyelenggaraan
SJSN kepada Presiden;
B J S
N
Cabang
Cabang
Cabang
BJSN
B J S
N Direktorat Jangka Panjang
JSN
Direktorat Administrasi
JSN
Direktur
Utama BJSN
PRESIDEN
Direktorat Jangka Pendek
JSN
Registrasi & investasi
Penentu
Kebijakan
Pusat
Daerah
66
d. Dewan Direksi adalah organ BJSN yang bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan sehari-hari SJSN secara penuh. Dewan Direksi di
pimpin oleh Direktur yang terdiri atas 4 (empat) orang direktur yaitu
Direktur Utamadan tiga direktur yang memi yang meminpin program
atau kegiatan penunjang program seperti sistem informasi, akuntansi,
dlsnya.
e. Direktorat terdiri dari Direktorat Administrasi JSN, Direktorat Jangka
Pendek dan Jangka Panjang.
f. Penyelenggaraan JSN di daerah, mengikuti pentahapan cakupan
wilayah dan jenis program JSN, tergantung kepada kesiapan semua
stakeholder yang terkait.
5. Konsep Versi Ke-lima :
Konsep kelembagaan SJSN berubah lagi setelah dilaksanakan ekspose di depan
Presiden dan pada Rapat Kabinet Terbatas tanggal 24 Desember 2003 . Bentuk
tunggal yang ideal tetap menjadi harapan, akan tetapi dalam UU disiapkan
bentuk transisi, sehingga gambaran Badan Penyelenggara menjadi tiga
komponen besar, sebagaimana tampak dalam gambar berikut.
67
Gambar 15 :
Susunan Organisasi Sistem Jaminan Sosial Nasional
Keterangan :
a. Pada susunan kelembagaan sebelah kiri di atas memperlihatkan ada empat
badan penyelenggara (BP) jaminan sosial yang beroperasi selama ini dengan
memanfaatkan mekanisme asuransi sosial dan tabungan sosial dalam
menyelenggarakan fungsi sosialnya yaitu PT Jamsostek, PT Askes, PT
Taspen dan Asabri;
b. Pada susunan kelembagaan di bagian tengah, ke-empat BP ada di bawah
payung DSJN. DJSN merupakan organ tertinggi dalam kelembagaan SJSN
berada di bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden.
c. Susunan kelembagaan di sebelah kanan merupakan suatu kelembagaan
SJSN (dilebur menjadi satu) yang berfungsi menangani program jangka
pendek (JK dan JKK) dan jangka panjang (JHT, JP dan JKM) DJSN diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden
d. Pada tahap awal (susunan kelembagaan paling kiri) BP PT Jamsostek, PT
Askes, PT Taspen dan PT. Asabri masing-masing berjalan sebagimana biasa,
dan secara bertahap dalam kurun waktu 10 -15 tahun menyesuaikan diri
dengan UU SJSN ini untuk melebur menjadi satu.
10-15 tahun
PRESIDEN
Cab
PT.
J A M S O S T E K
Cab
PT.
A S A B R
I
Cab
PT.
T A S P E
N
Cab
PT.
A S K E
S
* Setiap Badan Penyelenggara merupakan Badan Hukum sendiri
Administrasi
JSN
Kerja sama
Dengan Ditjen
Minduk
Depdagri
Dewan JSN
Program
Jangka
Pendek
JK
JKK
A S K E
S
Cab
T A S P E
N
Cab
A S A B R
I
Cab
J A M S O S T E K
Cab
I N F O R M A
L
Program
Jangka
Panjang
JPHK
JHT
JP
JKM
Satu Badan
• Large number Portabilitas
• Efisiensi Keadilan sosial
• Teknologi
Dewan JSN
68
6. Konsep Versi ke enam : BUMN Khusus sebagai BPJS
Setelah melalui pembahasan yang komprehensif dan mendalam tentang badan
penyelenggara dengan berbagai alternatif sebagaimana tersebut di atas, Tim
sepakat untuk mengambil pilihan membentuk suatu lembaga yang bernama ―Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial‖ disingkat BPJS. Bentuk badan khusus yang bukan
BUMN dan bukan pula suatu organ Pemerintah, namun dinilai sebagai bentuk yang
paling pas untuk menjalankan tugas pengelolaan dana publik secara luwes,
memungkinkan pengembangan dana secara optimal, di awasi oleh peserta, dan tidak
dipengaruhi oleh birokrasi pemerintahan, sehingga dapat lebih responsif menjawab
tuntutan peserta..
BPJS merupakan sebuah badan jaminan sosial Indonesia yang dalam mengambil
kebijakan, penyelenggaraan, pengelolaan keuangan, pengelolaan ketenagaan, dan
menjalankan operasinya bersifat independen. Badan ini terdiri dari Dewan Jaminan
Sosial Nasional (DJSN) dan BPJS. Oleh karena belum adanya badan hukum wali
amanah sebagaimana dibahas sebelumnya, maka bentuk badan hukum yang ada
digunakan dengan menambahkan ciri khusus prinsip dasar jaminan sosial yaitu
nirlaba, tidak dikenai pajak dan dibebaskan dari kewajiban pembayaran deviden.
Bentuk badan hukum ini didasari Persero Khusus yang merupakan hasil kompromi
yang dapat diterima oleh banyak pihak.
Susunan organisasi BPJS dapat dilihat pada gambar berikut.
69
Gambar 16:
Badan Jaminan Sosial Indonesia
Keterangan :
1. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)
a. DJSN sebagai organ SJSN yang berfungsi membantu Presiden di dalam
menetapkan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN. DJSN
terdiri atas sebanyak-banyaknya 15 orang yang mewakili unsur pekerja, pemberi
kerja dan pemerintah. Organ DJSN dipimpin oleh seorang menteri;
b. Keanggotaan DJSN
- Secara bertahap menyesuaikan diri dengan UU SJSN
- Presiden menetapkan kebijakan umum dan sinkronisasi
- DJSN adalah Pembantu Presiden dalam menetapkan
kebijakan umum dan sinkronisasi
RUPS
DK
RUPS
DK
RUPS
DK
RUPS
DK
BP
JS
RUPS
DK
Direksi JS
I N F O R M A
L
Cab
Direksi JS
J A M S O S T E
K
Cab
Direksi JS
A S A B R
I
Cab
Direksi JS
T A S P E
N
Cab
Direksi JS
A S K E
S
PRESIDEN
DJSN
70
1) Anggota DJSN ditetapkan oleh Presiden. Calon anggota DJSN harus
memenuhi kriteria :
a) pemahaman tentang penyelenggaraan jaminan sosial;
b) memiliki mandat dari organisasi yang diwakilinya;
c) bersih diri dari perbuatan tercela dan melawan hukum;
d) memiliki kemampuan dan integritas yang tinggi;
e) serta sehat jasmani dan rohani
Dengan kriteria tersebut, diharapkan anggota DJSN dapat benar-benar
mengambil keputusan yang terbaik bagi seluruh peserta, mampu
mengawasi dan mengendalikan penyelenggaraan SJSN sesuai dengan
cita-cita yang diamanatkan UUD ‗45.
2) Untuk menjamin keterwakilan pihak pekerja dan pemberi kerja, calon
anggota DJSN dari wakil peserta dan pemberi kerja haruslah diusulkan
oleh paling sedikit tiga organisasi terkait
3) Anggota DJSN wakil pemerintah adalah orang yang ditunjuk Presiden dan
mewakili Departemen: Kesehatan, Tenaga Kerja, Keuangan, Sosial,
Industri dan Perdagangan, atau Pertanian ;
4) Anggota DJSN merupakan jabatan kehormatan dan bukan pegawai BPJS,
oleh karenanya anggota DJSN hanya menjalankan masa bakti untuk
maksimum dua periode. Sebagai pejabat kehormatan anggota DJSN tidak
memperoleh gaji tetap bulanan, tetapi anggota DJSN berhak menerima
honorarium dan uang sidang untuk setiap sidang-sidang yang dihadirinya.
5) Keanggotaan DJSN berakhir karena :
a) Meninggal dunia;
b) Mengundurkan diri;
c) Diberhentikan;
d) Berakhirnya masa tugas.
c. Tugas dan Fungsi DJSN
DJSN membantu Presiden didalam menetapkan kebijakan umum dan sinkronisasi
penyelenggaraan SJSN. Di dalam menyelenggarakan tugas dan fungsinya, DJSN
perlu dilengkapi dengan Komite Ahli yang terdiri atas para pakar di bidang
aktuaria, investasi, jaminan sosial, ekonomi, hukum, kesehatan, dan asuransi.
Komite ahli ini akan memberikan kajian obyektif kepada DJSN sebagai landasan
71
pembuatan kebijakan umum yang didukung oleh fakta-fakta yang obyektif. Komite
Ahli diangkat oleh DJSN melalui suatu proses seleksi keahlian, baik secara
permanen maupun secara ad hoc sesuai dengan kebutuhan kajian. Jumlah
anggota Komite Ahli disesuaikan dengan kebutuhan.
d. Masa kerja
Masa kerja anggota DJSN perlu diatur agar tidak sama dengan masa kerja
Direksi agar tidak terjadi kolusi antara DJSN dengan Direksi. Untuk itu, masa
kerja anggota DJSN perlu ditetapkan selama tiga tahun dan dapat diangkat
kembali untuk yang kedua kalinya. Agar pengawasan dan kebijakan yang
dilakukan DJSN berjalan efektif, susunan anggota DJSN setiap tahun harus
berubah. Untuk pertama kalinya, sepertiga dari anggota DJSN diangkat untuk
masa kerja satu tahun, sepertiga lagi untuk masa kerja dua tahun, dan sepertiga
sisanya untuk masa kerja tiga tahun. Seterusnya anggota DJSN diangkat untuk
masa tiga tahun akan tetapi setiap tahun sepertiga anggota DJSN diganti.
Dengan demikian akan terjadi kesinambungan kebijakan dan proses
pembelajaran bagi anggota DJSN yang baru.
2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
BPJS berbentuk persero khusus mengikuti semua ketentuan PT (persero), kecuali
a. Bersifat nirlaba;
b. Perlakuan khusus dalam perpajakan;
c. Deviden digunakan untuk meningkatkan manfaat bagi peserta.
Adapun beberapa karakteristik dari BPJS adalah:
a. BPJS tunduk kepada ketentuan pengawasan yang dilakukan oleh
lembaga pengawasan sektor jasa keuangan;
b. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) memegang kekuasaan tertinggi
dalam BPJS dan memegang segala kewenangan yang tidak diserahkan
kepada Direksi atau Komisasris;
c. Menteri Koordinator Kesra bertindak selaku RUPS karena seluruh saham
BPJS dimiliki oleh Negara. Dalam prakteknya RUPS diserahkan kepada
DJSN,
d. RUPS mengambil seluruh hasil pengelolaan Dana Amanat untuk
pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan
Peserta. Tidak ada deviden kepada pemerintah selaku pemilik BPJS.
72
e. Kepengurusan BPJS dilakukan oleh Direksi. Direksi beranggotakan
sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima)
orang. Anggota Direksi diangkat dan di berhentikan oleh RUPS.
Pengangkatan anggota direksi dilakukan melalui mekanisme uji kelayakan
dan kepatutan dengan kriteria persyaratan :
1) Warga Negara Indonesia;
2) Sehat fisik dan mental;
3) Memahami berbagai aspek penyelenggaraan Jaminan sosial;