1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Prinsip tersebut telah disepakati para pendiri bangsa menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat, antara lain menyatakan bahwa ‘’kemerdekaan kebangsaan Indonesia disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat ’’. 1 Kedaulatan rakyat selanjutnya diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar" 2 . Pada Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, "kedaulatan berada di tangan rakyat" dimaknai bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan 3 . Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilihan umum (Pemilu) secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil- 1 Lihat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2 Ibid 3 Penjelasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
101
Embed
BAB I PENDAHULUAN - · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan
kedaulatan rakyat. Prinsip tersebut telah disepakati para pendiri bangsa
menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Naskah Pembukaan
Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea
keempat, antara lain menyatakan bahwa ‘’kemerdekaan kebangsaan Indonesia
disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat’’.1
Kedaulatan rakyat selanjutnya diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa "kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar"2. Pada
Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, "kedaulatan berada di tangan rakyat" dimaknai bahwa rakyat memiliki
kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis
memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan
melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk
mengawasi jalannya pemerintahan3.
Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilihan umum
(Pemilu) secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-
1 Lihat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2 Ibid
3 Penjelasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
2
wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan
aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua
pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi
masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk
membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.
Pada Pasal 22E ayat (6) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dinyatakan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) diselenggarakan berlandaskan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Pemilihan umum dimaksud diselenggarakan dengan menjamin prinsip
keterwakilan, yang artinya setiap orang Warga Negara Indonesia terjamin
memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan
aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah4.
Dengan asas langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk
memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya,
tanpa perantara. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin
kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa
diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan,
pekerjaan, dan status sosial. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas
menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun.
Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya oleh
negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani. Dalam
memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui
oleh pihak mana pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan
tidak dapat diketahui oleh orang lain. Dalam penyelenggaraan pemilu ini,
(8) Pemerintahan terpilih di bawah RP Daftar akan menjadi kurang
bertanggung jawab karena lebih sulit untuk menjatuhkan sebuah partai
dari kekuasaan. Bahkan, partai yang tidak populer dapat bertahan
dalam koalisi pemerintahan setelah pemilu.
(9) Versi yang lebih rumit (RP Daftar Terbuka dan Daftar Bebas) mungkin
lebih sulit untuk dimengerti dan dilaksanakan.
b. Mixed Member Proportional (MMP)13
Sistem mixed member proportional (MM) ini diterapkan di Jerman,
Selandia Baru, Mexico, Bolivia, Italia, dan lain-lain. Karakteristiknya:
(1) Pemilih mendapatkan dua surat suara yang berbeda, atau satu surat
suara yang terdiri dari dua sistem pemilihan: satu untuk pilihan partai
(biasanya secara nasional), yang lain untuk kandidat di daerah
pemilihan mereka (distrik lokal).
(2) Dimungkinkan adanya rasio yang berbeda-beda dari kursi representasi
proporsional terhadap kursi daerah pemilihan – biasanya, antara 25 %
- 50 % kursi merupakan kursi representasi proporsional.
13
Ibid
19
(3) Bagian tiap-tiap partai dari keseluruhan jumlah kursi dalam badan
legislatif secara langsung ditentukan berdasarkan proporsi suara
pemilihan RP.
(4) Untuk menentukan anggota partai yang terpilih:
- Semua kandidat partai yang menang dari pemilihan distrik
dinyatakan terpilih. Sejumlah kandidat tambahan dari daftar partai
untuk pemilihan RP dinyatakan terpilih untuk membuat presentase
jumlah wakil sama dengan presentase suara pemilihan RP.
- Ketentuan khusus mungkin dibutuhkan, termasuk jumlah parlemen
yang fleksibel, untuk menangani situasi di mana kursi yang
dimenangkan sebuah partai dari distrik melebihi jumlah kursi yang
diperolehnya dari presentase suara RP.
Beberapa kelebihan yang signifikan dari MMP, mirip dengan sistem RP:
(1) Menghasilkan keuntungan proporsional dari sistem pemilihan RP
secara keseluruhan. Ada hubungan langsung antara suara yang
diperoleh dengan jumlah kursi yang dimenangkan, sementara juga
menjamin pemilih memperoleh representasi geografis yang
bertanggung jawab.
(2) Memungkinkan pemilih memiliki dua suara, sehingga suara dapat
dibagi antara partai/orang yang mewakili bagian yang berbeda dari
pandangan pemilih.
(3) Merupakan sistem yang inklusif, sehingga memungkinkan badan
legislatif untuk terdiri dari berbagai macam gerakan politik, termasuk
minoritas dalam masyarakat.
(4) Di bawah MMP, sedikit suara yang terbuang, sehingga jumlah pemilih
yang memilih lebih besar.
(5) Menghasilkan keragaman dalam nominasi kandidat untuk pemilihan,
membantu terpilihnya wakil dari kelompok minoritas dan menyediakan
perwakilan untuk partai-partai minoritas.
20
Beberapa kekurangan sistem MMP:
(1) MMP cenderung memenghasilkan koalisi atau pemerintahan yang
lemah, sulit untuk dijatuhkan dari kekuasaan.
(2) Di bawah MMP, suara untuk perwakilan lokal kurang penting
dibandingkan suara untuk partai politik dalam menentukan alokasi
kursi secara keseluruhan. MMP dapat menimbulkan dua kelas
perwakilan dalam parlemen, masing-masing dengan agenda yang
berbeda, walaupun berasal dari partai yang sama.
(3) Pemilih sulit memahami bagaimana kursi-kursi dialokasikan dalam
MMP, dan mungkin membutuhkan usaha pendidikan pemilih yang
substansial.
(4) MMP dapat memberi peluang bagi ‘strategic voting’ di mana pemilih
dianjurkan oleh partai politik yang didukungnya untuk memilih
kandidat dari partai lain, tapi bersimpati pada partai yang mereka
dukung, untuk memaksimalkan kursi partai mereka di bawah alokasi
RP.
(5) MMP lebih rumit untuk diterapkan oleh pemilih dan administrator
pemilu, dibandingkan dengan sistem RP Daftar. Namun hasil
proporsional yang diperolehnya sama kualitasnya.
3. Sistem Pemilu Mayoritas-Pluralitas (Distrik)
Sistem mayoritas-pluralitas atau sistem distrik merupakan sistem pemilihan
yang paling tua, didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan
geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi)
mempunyai satu wakil dalam parlemen.
Untuk keperluan pemilihan, negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan
jumlah wakil rakyat dalam parlemen ditentukan oleh sejumlah distrik. Calon
yang dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak menang, sedangkan
suara-suara yang diberikan kepada calon-calon lain dalm distrik itu dianggap
21
hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimana kecilpun selisih itu
kekalahannya. Misalnya, dalam distrik dengan jumlah suara 100.000, ada
dua calon yakni A dan B. Calon A memperoleh 60.000 dan B 40.000, maka
calon A memperoleh kemenangan, sedangkan jumlah suara 40.000 dari
calon B dianggap hilang.
Sistem pemilihan ini dipakai di Inggris, Kanada, Amerika Serikat dan India.
Dalam sistem distrik ini biasanya yang dijadikan dasar pembagian distrik
adalah jumlah penduduk14. Seperti di Amerika Serikat, luas atau besarnya
wilayah sama sekali tidak menentukan. Oleh karena itu, isu yang sering
menimbulkan pertentangan adalah penentuan distrik karena ada yang
diuntungkan berkenaan bertambahnya penduduk dan ada pula yang
dirugikan karena penduduknya berkurang.
Yang menjadi hukum dasar dalam sistem distrik adalah the winner takes all.
Artinya apabila dalam sebuah distrik ada dua calon atau lebih, seorang calon
memenangkan 50 persen suara ditambah satu (simple majority) maka dialah
yang akan memenangkan kursi didistrik tersebut. Jika tidak ada yang
memenangkan dengan simple majority katakanlah ada tiga atau empat calon,
maka harus diadakan pemilu atau run-off dari mereka yang dua terbesar
mengumpulkan suara.
Sistem distrik mempunyai beberapa aspek positif 15:
(1) Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih biasanya dikenal oleh
penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk lebih erat.
Dengan demikian, dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan
kepentingan distrik. Lagipula, kedudukannya terhadap partainya akan
lebih bebas karena dalam pemilihan semacam ini faktor kepribadian
seserang merupakan faktor yang penting.
14
Afan Gaffar, Politik Indonesia…, op.cit, hal. 265. 15
Miriam Budiarjo, Sistem Pemilu yang Bagaimana (Bagian 2) dalam Sistem-Sistem Pemilihan Umum: Suatu Himpunan Pemikiran, Fakultas Hukum UI, Jakarta,2000.
22
(2) Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena
kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini
akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan
yang ada dan mengadakan kerja sama. Di samping kecenderungan untuk
membentuk partai baru sedikit banyak dapat dibendung, sistem ini
mendorong ke arah penyederhanaan partai secara alamiah, tanpa
paksaan.
(3) Terbatasnya jumlah partai dan meningkatnya kerjasama antar partai-
partai mempermudah terbentuknya pemerintahan yang stabil dan
tercapainya stabilitas nasional.
(4) Sistem ini sederhana dan mudah untuk diselenggarakan.
Sistem ini mempunyai beberapa kelemahan :
(1) Sistem ini kurang menguntungkan bagi partai-partai kecil dan golongan
minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik
pemilihan. Amat sukar bagi partai kecil untuk menjadi pemenang tunggal
dalam suatu distrik.
Sebaliknya sistem distrik menguntungkan partai besar. Partai yang besar
dalam masyarakat akan menjadi lebih besar di parlemen dan partai yang
kecil dalam masyarakat akan menjadi lebih kecil dalam parlemen.
Penyebabnya adalah partai kecil sukar sekali untuk menang mutlak dalam
suatu distrik.
(2) Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam
suatu distrik, kehilangan semua suara yang telah mendukungnya.Hal ini
berarti ada sejumlah suara yang tidak dihitung sama sekali; dan kalau ada
banyak partai yang bersaing, maka jumlah suara yang hilang dapat
mencapai jumlah yang besar.Hal ini sering dianggap tidak adil oleh
golongan yang kalah.
23
(3) Bisa terjadi kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh dari
masyarakat dan jumlah kursi yang diperoleh dari masyarakat dan jumlah
kursi yang diperoleh dalam parlemen.
Sugiono menyatakan bahwa sistem distrik biasanya didasarkan pada
beberapa hipotesa yang pernah dibuat oleh Maurice Duverger dalam
bukunya Political Party (1954). Dari penelitiannya di Eropa, Duverger
berpendapat bahwa terdapat “Hukum sosiologi yang riil” bahwa apabila
sistem distrik dipakai dalm pemilu suatu negara maka akan timbul sistem dua
partai, karena partai-partai yang nomor tiga dan seterusnya yang tidak
pernah menang dalam pemilu akan berkoalisi dengan sesama partai kecil
atau bergabung dengan dua partai besar, agar suaranya yang sedikit di suatu
distrik pemilihan masih bisa dialihkan ke partai lain dengan imbalan politik
tertentu. Dengan demikian, suara para pemilihnya tidak terbuang percuma,
namun masih ada artinya sebagai bargaining chip. Akibatnya, partai politik
akan semakin berkurang jumlahnya.
Menurut Duverger keadaan tersebut akan menjamin stabilitas pemerintahan
(kabinet) karena partai-partai yang berkuasa di Parlemen dan Pemerintahan,
relative susah dijatuhkan oleh partai-partai kecil yang berkoalisi sesamanya
atau mengalihkan dukungan dari partai pemerintahan kepada partai besar
yang berada di luar pemerintahan.
Teori ini tampaknya hanya cocok untuk negara-negara Eropa barat yang
memang sudah tidak mempunyai masalah dengan identitas-identitas atau
integrasi mereka, sehingga “perdebatan mengenai nilai budaya” atau “konflik
antar kelompok budaya” sudah dapat dikatakan tidak ada lagi. Situasi tidak
sama terjadi dalam negara Indonesia karena masih terdapat perbedaan nilai
kelompok budaya yang masih sangat menonjol. Akibatnya, belum tentu
sistem ini menghasilkan stabilisasi sistem politik kita sebagaimana yang
24
dikemukakan pada teori Duverger. Sebaliknya, sistem distrik justru akan
mempertajam konflik politik16.
Sementara, menurut Cornelis Lay17 : Titik yang paling rawan dari sistem
pemilihan distrik adalah ia menyediakan ruang yang luas bagi, dan sekaligus
dengan mudah memacu radikalisme daerah. Bisa dipastikan, daerah-daerah
akan mematok “putra asli” sebagai syarat politik, sementara perilaku pemilih
pun akan banyak didikte oleh keterkaitan primordialisme sempit. Pengalaman
banyak bangsa memastikan eskploitasi berlebihan isu-isu primordial bisa
merosot sangat tajam menjadi kecenderungan etnonasionalisme-
provinsialisme atau daerahisme yang sangat menghancurkan.
Bagi Indonesia, persoalan di atas akan menjadi semakin pelik karena realitas
masyarakat Indonesia yang super-majemuk dengan derajat cross-cutting
affiliation yang sangat rendah, merupakan faktor-faktor yang bisa
mempercepat radikalisme daerah-daerah. Pemilahan masyarakat kita yang
sangat tegas-etnik yang bertumpang tindih dengan agama, lokasi (pulau atau
daerah), kultur, bahkan ciri-ciri fisik dan lain-lain- yang diikuti oleh
keterbatasan arena dan sarana (antara lain, karena kendala geografis) bagi
pembentukan jaringan afiliasi yang bersifat tumpang tindih, tentunya bukan
merupakan kondisi yang kondusif bagi pemberlakuan sistem distrik.
Apabila sistem distrik ini diberlakukan maka akan terjadi perubahan secara
luar biasa di daerah. Dinamika hubungan politik akan lebih diwarnai dan
dideterminasi oleh rute politik primordial, menyisihkan pertimbangan-
pertimbangan dan isu-isu lainnya.
Dalam konteks ini, daerah-daerah ini dengan pemilahan masyarakat yang
tegas berdasarkan garis etnik yang bertumpangtindih dengan agama, kultur
16
Sugiono, Bahaya Sistem Distrik Bagi Integrasi Bangsa dalam Sistem-sistem Pemilihan Umum : Suatu Himpunan Pemikiran, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000.
17 Cornelis Lay, Problem Sistem Pemilihan Distrik, dalam Sistem-sistem Pemilihan Umum :
Suatu Himpunan Pemikiran, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000.
25
dan seterusnya akan menjadi kawasan yang sangat ringkih terhadap
kemungkinan terjadinya benturan antar aneka segmen yang terpilih di atas.
Akibatnya, daerah-daerah dengan karakter diatas, arena pemilihan bukan
sebatas sebagai arena perebutan pengaruh diantara elit-elit politik yang
saling bersaing ke posisi di lembaga-lembaga perwakilan, tapi sebagai arena
konsolidasi dan reproduksi “perbedaan-perbedaan di antara masyarakat yang
memang sudah berbeda. Di ujungnya pada tingkat paling moderat,
pemberlakuan sistem pemilihan distrik akan semakin mempertegas dan
mengentalkan pemilahan masyarakat ke dalam sekat-sekat eksklusivisme
berdasarkan kesamaan stink, agama, asal daerah, kultur, ciri fisik, dan
seterusnya.
Sistem ini mempunyai varian antara lain First Past The Post (FPTP), Block
Vote (BV), Alternative Vote (AV) dan Two Round Sistem (TRS).
a. First Past The Post (FPTP)18
Sistem tipe ini secara menonjol diterapkan di Inggris dan daerah-daerah
bekas jajahannya. Sistem ini memiliki karakteristik:
(1) Sistem ini didasarkan pada ‘distrik-distrik wakil tunggal’ – satu wakil
dipilih dari setiap daerah pemilihan.
(2) Pemenang di setiap daerah pemilihan merupakan kandidat yang
mendapatkan suara terbanyak. Ini tidak selalu berarti kandidat yang
memperoleh suara mayoritas.
Beberapa kelebihan yang signifikan dari ‘First Past The Post’:
(1) FPTP dapat mengkonsolidasi dan membatasi jumlah partai, biasanya
menjadi dua partai yang memiliki jangkauan luas, sehingga para
pemilih memiliki pilihan yang jelas. Hal ini dapat membatasi
kemungkinan adanya partai-partai yang ekstrim.
(2) Memiliki kecenderungan untuk menghasilkan pemerintahan yang
kuat, dan berasal dari satu partai.
18
Andrew Reynold, First Past The Post, dalam Sistem Pemilu” op.cit., hal 82.
26
(3) Pemilihan dengan sistem FPTP cenderung membuat partai-partai
bertanggungjawab atas tindakan-tindakan mereka.
(4) Dapat mendorong adanya pihak oposisi untuk membuat pemerintah
bertanggungjawab.
(5) Seperti sistem lain yang berdasarkan pada daerah pemilihan, dapat
membuat hubungan yang erat antara pemilih dan wakilnya, juga
lebih menjamin akuntabilitas wakil rakyat terhadap pemilihnya.
(6) Memungkinkan kandidat independen untuk mengikuti pemilu.
(7) Menyeimbangkan fokus antara partai politik dan para kandidat
secara individual.
(8) Merupakan sistem yang sederhana untuk dimengerti dan digunakan
oleh para pemilih, serta mudah dalam pelaksanaannya.
Beberapa kekurangan sistem ‘First Past The Post’:
(1) Kursi-kursi yang dimenangkan sangat tidak proporsional dengan
keseluruhan suara yang diperoleh dalam pemilu. Partai dengan
jumlah suara mayoritas atau terbanyak, mungkin tidak mendapatkan
mayoritas, atau bagian terbesar dari jumlah kursi yang ada. Partai
dengan proporsi yang menonjol dari keseluruhan jumlah suara
mungkin tidak mendapatkan kursi sama sekali;
(2) Proses ‘pemenang memperoleh semua’ (the winner takes all)
mengakibatkan sebagian besar dari suara yang ada terbuang. Para
pemilih ini tidak terwakili dan partai-partai minoritas tidak
terikutsertakan dalam perwakilan yang ‘adil’;
(3) Sistem pluralitas berarti bahwa kandidat yang menang mungkin
hanya didukung oleh 30-40% pemilih, atau mungkin kurang dari itu;
(4) Sebagaimana lazimnya sistem distrik wakil tunggal, FPTP tidak
memberikan insentif untuk kandidat-kandidat dari partai-partai
minoritas;
(5) Menghalangi berkembangnya sistem multi partai yang pluralisits;
(6) Dapat menciptakan dominasi partai daerah dan mendorong adanya
partai-partai yang berhaluan etnis/kesukuan;
27
(7) Tidak sensitif atau teramat sensitif terhadap perubahan opini publik
(8) Dapat dipengaruhi manipulasi dari batas-batas daerah pemilihan.
b. Block Vote (BV)19
Secara prinsip sama dengan sistem FPTP, kecuali BV berwakil banyak.
Para pemilih diberi kesempatan untuk memilih sebanyak kursi yang akan
diisi dan biasanya mereka bebas memilih calon anggota legislative tanpa
mempertimbangkan afiliasi partainya. Dalam sistem BV, para pemilih
dapat menggunakan sebanyak mungkin atau sesedikit mungkin pilihan
yang mereka inginkan.
c. Alternative Vote (Preferential Voting atau AV)
Sistem ini diterapkan di Australia, dan di Nauru dalam bentuk yang telah
dimodifikasi. Sistem ini juga pernah diterapkan di Fiji, hanya sekali, pada
tahun 1999, dan juga di Papua Nugini dari tahun 1964 sampai 1975,
ketika masih berada di bawah administrasi Australia.
Karakteristik sistem ini adalah:
(1) Sistem Alternative Vote biasanya menggunakan distrik wakil tunggal
(dapat diterapkan untuk pemilu dengan distrik wakil majemuk,
misalnya untuk Senat Australia sampai tahun 1949, sistem ini
cenderung menghasilkan hasil yang lebih tidak berimbang
dibandingkan dengan sistem-sistem Block Vote).
(2) Pada sistem full preferential voting, para pemilih harus mengurutkan
semua kandidat sesuai urutan preferensi mereka (1,2,3,4, dan
seterusnya).
(3) Pada sistem optional preferential voting, para pemilih memiliki pilihan
untuk menandai hanya satu kandidat atau memilih mengurutkan
beberapa atau semua kandidat.
19
Ben Reilly dan Andrew Reynold, Block Vote dalam “Sistem Pemilu” op.cit
28
(4) Pada sistem ‘ticket voting’ pemilih memilih sebuah partai politik, dan
preferensi pemilih akan sama dengan urutan preferensi yang telah
ditentukan partai yang bersangkutan, yang diumumkan oleh semua
partai politik kepada pelaksana pemilu sebelum hari pemilihan.
(5) Pemenangnya adalah kandidat dengan perolehan 50% + 1 dari
suara sah yang ada di distrik yang bersangkutan. Apabila ketentuan
ini tidak tercapai dari preferensi pertama para pemilih, maka kandidat
dengan jumlah pilihan pertama yang terrendah akan disingkirkan,
dan pilihan kedua yang ditandai di kertas suara kandidat tersebut
dibagikan ke kandidat lainnya.
Proses eliminasi kandidat dengan jumlah suara terendah dan
membagikan kertas suaranya kepada kandidat lain yang tertinggal, di
mana kepada mereka pemilih telah menentukan pilihan berikutnya,
berlanjut sampai seorang kandidat memperoleh 50% + 1 total suara.
Beberapa kelebihan dari Alternative Vote:
(1) Sistem Alternative Vote memiliki kelebihan dalam mempererat
hubungan pemilih dengan para wakil mereka, seperti juga halnya
dalam sistem-sistem lain yang berdasar kepada distrik.
(2) Sistem Alternative Vote memungkinkan pemilih untuk mendapatkan
lebih dari satu kesempatan untuk menentukan siapa yang akan
menjadi wakil mereka, meskipun argumentasi ini menjadi kurang
kuat apabila varian ‘ticket voting’ diterapkan.
(3) Berkat adanya persyaratan dukungan mayoritas bagi seorang
kandidat untuk dapat terpilih, sistem ini memberikan legitimasi kuat
kepada para kandidat yang terpilih.
(4) Mendorong adanya kerjasama antar partai politik dan mengurangi
efek-efek ekstrimisme.
(5) Memungkinkan partai-partai kecil terfokus untuk berkoordinasi tanpa
harus beraliansi secara formal.
(6) Lebih murah untuk dilaksanakan dibandingkan dengan sistem
majority yang lain seperti sistem dua putaran.
29
Beberapa kekurangan sistem Alternative Vote:
(1) Hasilnya tidak proporsional, seringkali memberi peluang bagi
terbentuknya suatu pemerintahan yang dikuasai suatu partai dengan
proporsi suara yang lebih kecil dalam total jumlah suara.
(2) Sistem-sistem Alternative Vote ini seringkali memberikan
kemenangan kepada kandidat yang tidak memperoleh suara
preferensi teratas pertama dan justru kandidat yang memperoleh
suara preferensi teratas kedua dan ketiga sering menjadi pemenang.
(3) Membutuhkan tingkat melek-huruf dan numerasi yang tinggi diantara
populasi pemilih. Apabila tidak terpenuhi dapat menimbulkan
banyaknya suara yang tidak sah sehingga akhirnya legitimasi pemilu
dipertanyakan.
(4) Membutuhkan program pendidikan pemilih yang lebih rumit dan
intensif.
(5) Kertas suara untuk distrik pemilihan harus dikumpulkan di statu
lokasi untuk penghitungan suara dan penentuan hasil sesuai sistem
ini. Hal ini menimbulkan implikasi pada aspek keamanan,
transparansi dan logistik.
(6) Kerumitan penghitungan suara mungkin melebihi kapacitas pelatihan
dan penerapan administrator pemilu, dan tidak sepenuhnya dapat
dipahami partai dan para pengamat. Bahkan dalam situasi yang ideal
pun, akan membutuhkan waktu lama untuk menentukan pemenang.
Ini bukanlah sistem yang mudah dan sederhana.
(7) Membuka peluang bagi adanya kesepakatan-kesepakatan bawah
tangan dan praktek politik uang untuk menunjang upaya partai politik
untuk mempengaruhi preferensi pemilih.
(8) Dapat dipengaruhi oleh manipulasi batas-batas daerah pemilihan.
30
d. Two Round System (TRS)20
Bentuk terakhir sistem pluralitas mayoritas adalah two round system
(TRS) atau sistem dua putaran yang juga dikenal dengan sistem run-off
atau double ballot. Dalam sistem TRS ini, pemilihan dilakukan dalam dua
putaran. Jarak antara putaran pertama dan kedua satu atau dua minggu.
Putaran pertama dilaksanakan seperti model FPTP. Jika seorang calon
anggota legislatif mendapatkan suara mayoritas absolut, maka secara
langsung dipilih dan tidak diperlukan putaran kedua. Tetapi jika tidak ada
calon anggota legislatif yang mendapatkan suara mayoritas absolut, maka
putaran kedua dilaksanakan dan pemenang putaran ini dinyatakan
terpilih.
4. Batas Representasi (Thresholds)
Semua sistem pemilu mempunyai batas representasi perwakilan. Artinya,
tingkat dukungan minimal yang diperlukan sebuah partai untuk memperoleh
perwakilan, yang diterapkan secara legal (efektif).
Dalam beberapa hal, batas representasi ini merupakan produk sampingan
dari sistem milihan umum yang lain, seperti jumlah kursi yang harus diisi dan
jumlah partai atau caleg yang bertarung dalam milihan umum, dan dengan
demikian disebu t batas representasi yang “efektif”. Meskipun demikian, pada
banyak hal lagi, batas representasi ini dimasukkan ke dalam UU Pemilu, yang
kemudian memunculkan sistem RP, dan dengan demikian disebut “formal”.
Di Jerman, Selandia Baru, dan Rusia, misalnya, diberlakukan batas
representasi 5%21. Partai-partai politik yang tidak mencapai batas
representasi lima persen tidak berhak memperoleh bagian kursi dari RP
20
Ben Reilly dan Andrew Reynolds, Two Round System, dalam “Sistem Pemilu,” op.cit., hal.91 21
Sebagai pembanding, electoral threshold di Swedia 4%, Argentina dan Bolivia 3%, sedangkan Meksiko dan Norwegia masing-masing 2%. Lihat Lili Romli, “Mencari Format Sistem Kepartaian Masa Depan”, dalam Jurnal Politika, Vol. 2, 2006, hal. 32.
31
Daftar. Sebagai perbandingan, lihat dalam Jerman: Sistem Mixed Member
Proportional yang orisinal dan Rusia-Sistem Paralel yang terus berkembang.
Ketentuan ini berasal dari Jerman dengan maksud untuk membatasi
terpilihnya kelompok ekstrimis, dan dimaksudkan untuk menghentikan partai-
partai kecil sehingga mereka tidak mendapatkan perwakilan. Meskipun
demikian, baik di Jerman maupun di Selandia Baru ada jalan “pintu belakang”
bagi sebuah partai sehingga mereka dapat memperoleh kursi dari daftar
tersebut.
Di Selandia Baru sebuah partai harus memenangkan sedikitnya satu kursi
konstituen, dan di Jerman tiga kursi untuk dapat lepas dari persyaratan batas
representasi. Di Rusia pada tahun 1995 tidak ada jalan “pintu belakang” dan
hampir setengah dari suara partai berdasarkan daftar partai terbuang.
Partai-partai yang mendapatkan kurang dari persentase ini dikeluarkan dari
penghitungan. Dalam semua kasus diatas, adanya batas representasi formal
cenderung meningkatkan tingkat disproporsionalitas, karena suara yang
sebenarnya dapat dipakai dalam perwakilan menjadi terbuang.
Di Polandia pada tahun 1993, bahkan dengan batas representasi yang
relative kecil yaitu sebesar lima persen, lebih dari 34 % suara diberikan untuk
partai politik, yang ternyata tidak dapat melampaui batas representasi
tersebut. Tetapi pada kebanyakan kasus lain, batas representasi mempunyai
pengaruh yang kecil saja terhadap hasil secara keseluruhan. Maka dari itu,
beberapa ahli pemilu melihatnya tidak perlu dan seringkali menambah
rumitnya aturan pemilu, yang seharusnya dihindari.
Batas representasi yang tinggi dapat berfungsi untuk mendiskriminasikan
partai-partai kecil – dan ternyata dalam beberapa kasus memang inilah
maksud dari adanya batas representasi. Tetapi dalam banyak kasus
diskriminasi terhadap partai-partai kecil yang disengaja sebenarnya tidak
diinginkan, terutama dalam kasus-kasus di mana beberapa partai kecil
32
dengan dasar pendukung yang hamper sama “memecah” suara mereka
sendiri dan pada akhirnya terjatuh dibawah batas representasi. Padahal
seandainya mereka menyatukan suara mereka, mereka pasti dapat
memperoleh kursi di parlemen.
Untuk dapat mengatasi masalah ini, banyak negara yang menggunakan
sistem RP Daftar juga memperbolehkan partai-partai kecil membuat
kelompok bersama untuk pemilu, dan dengan demikian membentuk kartel
atau apparentement untuk dapat bertarung dalam pemilu. Ini berarti bahwa
partai tersebut tetap merupakan partai-partai tersendiri, dan dicantumkan
sendiri-sendiri dalam kertas suara, tetapi suara yang diperoleh dihitung
seolah-olah mereka bersama-sama menjadi satu kartel. Maksudnya,
meningkatkan kemungkinan bahwa suara mereka yang dijadikan satu secara
keseluruhan akan berada diatas batas representasi, dan dengan demikian
mereka mungkin dapat memperoleh perwakilan tambahan.
B. SISTEM PEMILU YANG DITERAPKAN DI INDONESIA
Pemilu merupakan mekanisme penting dalam sebuah negara, terutama yang
menggunakan jenis sistem politik demokrasi liberal. Pemilu yang
mendistribusikan perwakilan kepentingan elemen masyarakat berbeda ke dalam
bentuk representasi orang-orang partai di parlemen. Karena itu, pemilihan
sebuah sistem pemilu perlu disepakati bersama antara partai-partai politik yang
terdaftar (yang sudah duduk di parlemen) dengan pemerintah.
Indonesia telah menyelenggarakan 10 kali pemilu22. Khusus untuk pemilihan
anggota parlemen (baik pusat maupun daerah) digunakan jenis proporsional,
yang kadang berbeda dari satu pemilu ke pemilu lain. Perbedaan ini akibat
sejumlah faktor yang mempengaruhi seperti jumlah penduduk, jumlah partai
22
Indonesia yang merdeka tahun 1945 cukup sering menyelenggarakan pemilihan umum. Pemilu-pemilu yang pernah terjadi adalah 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004 dan 2009.
33
politik, trend kepentingan partai saat itu, dan juga jenis sistem politik yang tengah
berlangsung.
Masing-masing pemilu memiliki karakteristik, bergantung pada tipe sistem politik
yang berlangsung. Sistem Demokrasi Liberal menaungi pemilu 1955, 1999, dan
2004. Pemilu lainnya terjadi di masa sistem politik rezim otoritarian kontemporer
Orde Baru. Tipe sistem pemilu yang banyak dipakai di Indonesia adalah
Proporsional, dengan beberapa pengecualian.
1. Sistem Pemilu Orde Baru
Setelah mengalami pengunduran sebanyak dua kali, pemerintahan “Orde
Baru” akhirnya berhasil menyelenggarakan pemilu yang pertama dalam masa
pemerintahannya pada tahun 1971. Seharusnya berdasarkan Ketetapan
MPRS No. XI Tahun 1966 pemilu diselenggarakan pada tahun 1968.
Ketetapan ini diubah pada Sidang Umum MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto,
yang menggantikan Presiden Soekarno, dengan menetapkan bahwa pemilu
akan diselenggarakan pada tahun 1971.
Menjelang Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU
No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Dalam hubungannya dengan pembagian
kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan
Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun
1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan
(sistem proporsional). Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak
langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan
penggunaan sistem kombinasi. Sistem yang sama masih terus digunakan
dalam enam kali Pemilu, yaitu Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan
1997.
Sejak Pemilu 1977, pemerintahan “Orde Baru” mulai menunjukkan
penyelewengan demokrasi secara jelas. Jumlah peserta Pemilu dibatasi
34
menjadi dua partai dari satu golongan karya (Golkar). Kedua partai itu adalah
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI). Partai-partai yang ada dipaksa melakukan penggabungan (fusi) ke
dalam dua partai tersebut. Sementara mesin-mesin politik “Orde Baru”
tergabung dalam Golkar. Hal ini diakomodasi dalam UU No. 3 Tahun 1975
tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Keadaan ini berlangsung terus
dalam lima kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Dalam setiap Pemilu tersebut, Golkar selalu keluar sebagai pemegang suara
terbanyak dengan persentase di atas 50%23. Berdasarkan kajian dan
pengamatan para analis politik dinyatakan bahwa pemilu di Indonesia pada
masa Orde Baru lebih sebagai sebuah pemilu yang memenuhi prosedur
demokrasi, tidak secara substansif. Pemilu masa itu lebih sebagai sebuah
rutinitas bagi sebuah negara demokratis, sehingga terkesan ada rotasi
kekuasaan sebagai sebuah prasyarat demokrasi24.
Secara lebih rinci Pemilu pada masa Orde Baru dapat digambarkan sebagai
berikut25:
a. Pemilu 1971
Pemilu 1971 diadakan tanggal 3 Juli 1971. Pemilu ini dilakukan
berdasarkan UU No. UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No.
16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pemilu
ditujukan memilih 460 anggota DPR dimana 360 dilakukan melalui
pemilihan langsung oleh rakyat sementara 100 orang diangkat oleh
Presiden dari kalangan angkatan bersenjata dan pemerintahan.
23
Tahun 1971 Golkar memperoleh suara 59,04% (236 kursi); Pemilu 1977: 56,07% (232 kursi), Pemilu 1982: 64,38% (242 kursi), Pemilu 1987: 73,17% (299 kursi), Pemilu 1992: 68,1% (282 kursi), dan pemilu 1997: 74,51% (325 kursi).
24 Lihat Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 200, hal 251-254. 25 Lihat dalam www.kpu.go.id, Sejarah Pemilu di Indonesia, Jum'at, 19 Maret 2004
Pemilu diadakan di 26 provinsi Indonesia dengan Sistem Proporsional
Daftar:
(1) Rakyat pemilih mencoblos tanda gambar partai. Suara bagi setiap
partai dibagi menurut BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). Total pemilih
yang terdaftar adalah 58.179.245 orang dengan suara sah mencapai
54.699.509 atau 94% dari total suara.
(2) Dari total 460 orang anggota parlemen yang diangkat presiden, 75
orang berasal dari angkatan bersenjata sementara 25 dari golongan
fungsional seperti tani, nelayan, agama, dan sejenisnya. Dari ke-25
anggota golongan fungsional kemudian bergabung dengan Sekber
Golkar sehingga suara Golkar ”meroket” hingga ke angka 257 (dari
232 ditambah 25). Dari 460 orang anggota parlemen, jumlah anggota
berjenis kelamin laki-laki 426 dan perempuan 34 orang.
b. Pemilu 1982
Pemilu 1982 diadakan tanggal 4 Mei 1982. Tujuannya sama seperti
Pemilu 1977 di mana hendak memilih anggota DPR (parlemen). Hanya
saja, komposisinya sedikit berbeda. Sebanyak 364 anggota dipilih
langsung oleh rakyat, sementara 96 orang diangkat oleh presiden.
Voting dilakukan di 27 daerah pemilihan berdasarkan sistem Proporsional
dengan Daftar Partai (Party-List System). Partai yang beroleh kursi
berdasarkan pembagian total suara yang didapat di masing-masing
wilayah pemilihan dibagi ”electoral quotient” di masing-masing wilayah.
Jumlah tatal pemilih terdaftar adalah 82.132.263 orang dengan jumlah
suara sah mencapai 74.930.875 atau 91,23%.
Sama seperti Pemilu 1977, sejumlah anggota Golongan Fungsional pun
akhirnya bergabung dengan Golkar. Sehingga, total kursi yang diperoleh
Golkar menjadi 267 (dari 246 ditambah 21). Dari 360 anggota parlemen,
yang berjenis kelamin laki-laki sejumlah 422 dan perempuan 38 orang.
36
c. Pemilu 1987
Pemilu 1987 diadakan tanggal 23 April 1987. Tujuan pemilihan sama
dengan pemilu sebelumnya yaitu memilih anggota parlemen. Total kursi
yang tersedia adalah 500 kursi. Dari jumlah ini, 400 dipilih secara
langsung dan 100 diangkat oleh Presiden Suharto. Sistem Pemilu yang
digunakan sama seperti pemilu sebelumnya, yaitu Proporsional dengan
varian Party-List.
Total pemilih yang terdaftar adalah sekitar 94.000.000 dengan total suara
sah mencapai 85.869.816 atau 91,30%. Daftar hasil pemilu 1987 adalah
jumlah anggota parlemen yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443
sementara yang perempuan 57 orang. Sementara itu, jumlah anggota
parlemen berusia 21-30 tahun adalah 5 orang, 31-40 tahun 38 orang, 41-
50 tahun 173 orang, 51-60 tahun 213 orang, 61-70 tahun 70 orang, dan
71-80 tahun 1 orang.
d. Pemilu 1992
Pemilu 1992 diadakan tanggal 9 Juni 1992. Sistem Pemilu yang
digunakan sama seperti pemilu sebelumnya yaitu Proporsional dengan
varian Party-List. Tujuan Pemilu 1992 adalah memilih secara langsung
400 kursi DPR. Total pemilih yang terdaftar adalah 105.565.697 orang
dengan total suara sah adalah 97.789.534.
Untuk hasil Pemilu 1992, anggota DPR yang berasal dari Angkatan
Bersenjata dan kelompok Fungsional, yaitu sebanyak 100 orang diangkat
langsung oleh Presiden Suharto. Komposisi anggota DPR totalnya adalah
500 orang. Dari jumlah tersebut yang berjenis kelamin laki-laki adalah 439
orang sementara perempuan 61 orang. Di sisi lain, kisaran usia anggota
DPR ini adalah 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 45 orang; 41-50 tahun
144 orang; 51-65 tahun 287 orang; dan di atas 65 tahun 21 orang.
37
e. Pemilu 1997
Pemilu 1997 merupakan Pemilu terakhir di masa administrasi Presiden
Suharto. Pemilu ini diadakan tanggal 29 Mei 1997. Tujuan pemilu ini
adalah memilih 424 orang anggota DPR. Sistem pemilu yang digunakan
adalah Proporsional dengan varian Party-List. Pada tanggal 7 Maret 1997,
sebanyak 2.289 kandidat (caleg) telah disetujui untuk bertarung guna
memperoleh kursi parlemen. Hasil Pemilu 1997 dapat dilihat pada tabel
berikut :
Pemilu 1997 ini menuai sejumlah protes. Di Kabupaten Sampang,
Madura, puluhan kotak suara dibakar massa oleh sebab kecurangan
Pemilu dianggap sudah keterlaluan. Sementara itu, PDI mengalami
penurunan suara signifikan akibat intervensi pemerintah terhadap
kepemimpinan partai. Megawati Sukarnoputri ”dihabisi” secara politik
dengan cara pemerintah mendukung pimpinan tandingan Suryadi dan
Fatimah Ahmad.
Dari 500 anggota DPR, yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443 orang
sementara perempuan adalah 57 orang. Distribusi anggota DPR yang
berusia 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 51 orang; 41-50 tahun 134
orang; 51-65 orang 310 orang; dan di atas 65 tahun 2 orang.
2. Sistem Pemilu 1999
DPR periode 1999-2004 merupakan DPR pertama yang terpilih dalam masa
“reformasi”. Setelah jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang
kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie,
masyarakat terus mendesak agar Pemilu segera dilaksanakan. Desakan
untuk mempercepat Pemilu tersebut membuahkan hasil.
Pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie, Pemilu untuk
memilih anggota legislatif kemudian dilaksanakan. Pemilu ini dilaksanakan
dengan terlebih dulu mengubah UU tentang Partai Politik (Parpol), UU
38
Pemilu, dan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD
(UU Susduk), dengan tujuan mengganti sistem Pemilu ke arah yang lebih
demokratis. Hasilnya, terpilih anggota DPR baru.
Pemilu 1999 adalah pemilu pertama pasca kekuasaan presiden Suharto.
Pemilu ini diadakan di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Pemilu
ini terselenggara di bawah sistem politik Demokrasi Liberal26. Artinya, jumlah
partai peserta tidak lagi dibatasi seperti pemilu-pemilu lalu yang hanya terdiri
dari Golkar, PPP, dan PDI.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu, pemerintahan B.J. Habibie mengajukan
3 rancangan undang-undang selaku dasar hukum dilangsungkannya pemilu
1999, yaitu RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu, dan RUU
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Ketiga RUU ini
diolah oleh Tim 7 yang diketuai Prof. Ryaas Rasyid dari Institut Ilmu
Pemerintahan Jakarta. Pada awalnya Pemerintah yang diwakili menteri
dalam negeri dalam draft RUU nya menghendaki sistem distrik dengan
kombinasi sistem proporsional karena dianggap paling akuntabel dan dapat
dipertanggungjawabkan secara teoritis dan praktek. Namun di lain pihak
kekuatan di DPR menghendaki sistem yang tidak jauh berbeda dengan masa
Orde Baru, alasan utamanya adalah karena masyarakat belum terbiasa
dengan sistem distrik serta kondisi geopolitik Indonesia yang tersebar dalam
kepulauan.27 Pada akhirnya UU No. 3 Tahun 199 menyatakan bahwa sistem
Pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional berdasarkan stelsel
daftar28. Setelah disetujui DPR, barulah pemilu layak dijalankan.
Jumlah partai yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM adalah 141
partai, sementara yang lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 1999 adalah 48
26
Miriam Budiardjo, Pemilu 1999 dan Pelajaran untuk Pemilu 2004, (Makalah disampaikan pada Diskusi Meja Bundar Pemilu 1999 : Evaluasi dan Reformasinya yang diselenggarakan oleh Cetro (Center for Electoral Reform) pada tanggal 9 September 1999.)
27 Lihat pidato pengantar Menteri dalam Negeri RI pada penyerahan 3 RUU bidang Politik
tanggal 2 oktober 1998. 28
Pasal 1 angka 7 UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
39
partai. Pemilu 1999 diadakan tanggal 7 Juni 1999. Namun, tidak seperti
pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 1999 mengalami hambatan dalam proses
perhitungan suara. Ada sekitar 27 partai politik yang tidak menandatangani
berkas hasil pemilu 1999 yaitu : Partai Keadilan, PNU, PBI, PDI, Masyumi,
PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, Partai SUNI,
Oleh sebab adanya penolakan ini, KPU menyerahkan keputusan kepada
Presiden. Presiden menyerahkan kembali penyelesaian persoalan kepada
Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Rekomendasi Panwaslu adalah, hasil
Pemilu 1999 sudah sah. Lebih jauh, partai-partai yang menolak
menandatangani hasil tidaklah menyertakan point-points spesifik keberatan
mereka. Sebab itu, Presiden kemudian memutuskan bahwa Pemilu 1999
adalah sah, dan masyarakat mengetahui hasil tersebut tanggal 26 Juli 1999.
Problem selanjutnya adalah pembagian kursi. Sistem Pemilu yang digunakan
adalah Proporsional dengan varian Party-List. Masalah yang muncul adalah
pembagian kursi sisa. Partai-partai beraliran Islam yang melakukan stembus-
accord (penggabungan sisa suara) menurut hitungan PPI (Panitia Pemiliha
Indonesia) hanya beroleh 40 dari 120 kursi. Di sisi lain, 8 partai beraliran
Islam yang melakukan stembus-accord tersebut mengklaim beroleh 53 dari
120 kursi sisa.
Perbedaan pendapat ini lalu diserahkan PPI kepada KPU (Komisi Pemilu).
KPU, di depan seluruh partai politik peserta pemilu 1999 menyarankan
voting. Voting ini terdiri atas 2 opsi. Opsi Pertama, pembagian kursi sisa
dihitung dengan memperhatikan suara stembus-accord. Opsi Kedua,
pembagian tanpa stembus-accord. Hasilnya, 12 suara mendukung Opsi
Pertama, dan 43 suara mendukung Opsi Kedua. Lebih dari 8 partai
melakukan walk-out. Keputusannya, pembagian kursi dilakukan tanpa
stembus-accord.
40
Total jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi 9.700.658 atau
meliputi 9,17% dari suara yang sah. Hasil ini diperoleh dengan menerapkan
sistem pemilihan Proporsional dengan Varian Roget. Dalam sistem ini,
sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya
di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest
remainder (sisa kursi diberikan kepada partai-partai yang punya sisa suara
terbesar).
Perbedaan dengan Pemilu 1997 adalah, pada Pemilu 1999 penetapan calon
terpilih didasarkan pada rangking perolehan suara suatu partai di daerah
pemilihan. Jika sejak Pemilu 1971 calon nomor urut pertama dalam daftar
partai otomatis terpilih bila partai itu mendapat kursi, maka pada Pemilu 1999
calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terbanyak dari
daerah di mana seseorang dicalonkan. Contohnya, seorang Caleg A meski
berada di urutan terbawah daftar caleg, jika dari daerahnya partai
mendapatkan suara terbesar, maka dia-lah yang terpilih. Untuk penetapan
caleg terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II
(kabupaten/kota), Pemilu 1999 ini sama dengan metode yang digunakan
pada Pemilu 1971.
Dari total 500 anggota DPR yang dipilih, sebanyak 460 orang berjenis
kelamin laki-laki dan hanya 40 orang yang berjenis kelamin perempuan.
Sebab itu, persentase anggota DPR yang berjenis kelamin perempuan hanya
meliputi 8%.
3. Sistem Pemilu 2004
Secara garis besar sistem Pemilu Tahun 2004 mencampur-adukkan dua
mazhab besar (proportional dan plural majority). Sistem tersebut secara
teoritis membingungkan peserta Pemilu, baik kontestan maupun pemilih29.
29
Riswandha Imawan, Mencari Alternatif Kuldesak Pemilu 2004, Yogyakarta, 2004
41
Sistem yang digunakan dalam Pemilu 2004 dalam pemilihan anggota DPR,
DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten menggunakan proportional open list
system yang dalam prakteknya lebih sebagai Proporsional Representation
List Tertutup. Hal ini dapat dilihat dari cara memberi suara yang benar adalah
mencoblos tanda gambar dan nama orang dalam daftar yang disediakan.
Namun dalam aturan dapat disahkan pada tanda gambar saja, sehingga
makna proporsional open-list sistem yang mengedepankan rasionalitas
berbelok menjadi proportional closed-list system yang meminimalkan
rasionalitas pemilih seperti pada pemilu-pemilu sebelumnnya. Adapun sistem
pemilu yang dipakai untuk memilih anggota DPD adalah sistem First Past
The Post dan Two Round System untuk memilih Presiden dan Wapres.
Dari pandangan normative/legal, jabatan-jabatan publik menurut konstitusi
dan tata perundangan yang berlaku, dapat dianalisis sebagai berikut30:
(1) Jabatan politik eksekutif nasional (Presiden/Wakil Presiden)
Tata perundangan di Indonesia secara tegas menandai fungsi kepala
negara dan kepala pemerintahan. Sebagai kepala negara, maka seorang
Presiden adalah pemimpin bangsa ataupun semua teritori yang ada
dalam sebuah negara. Ini berarti bahwa ia harus merepresentasikan
mayoritas semua elemen dan wilayah sebuah negara. Untuk membuat
seorang kepala negara efektif melaksanakan fungsi ini, maka ia sebaiknya
dipilih dengan cara pemilihan yang menggunakan prinsip majoritarian.
Sedangkan sebagai kepala pemerintahan, maka seorang presiden
adalah pemimpin yang diukung sebagian besar pemilih. Dalam proses
pemilu, dukungan tersebut bisa didapat secara langsung dari pemilih
(pemilihan langsung) dan atau dukungan mobilisasi partai atau gabungan
partai (pemilihan langsung atau tidak langsung). Ada berbagai sistem
30
I Ketut Putra Erawan, Logika perubahan dan Keberlanjutan Sistem pemilihan Umum Bagi Indonesia 2009, Seminar Nasional Mencari Format Baru Pemilu dalam rangka Penyempurnaan Undang-undang Bidang Politik, LIPI, Jakarta, 10 Mei 2006
42
pemilihan yang dapat melahirkan seorang presiden yang bisa efektif
sebagai kepala pemerintahan. Biasanya adalah sistem plurality misalnya
FPTP, kalau tekanannya adalah Presidensiil yang didukung oleh
sebagaian besar pemilih. Bisa pula dengan sistem lainnya.
Tetapi gabungan dari posisi seorang kepala pemerintahan dan kepala
negara mensyaratkan pula gabungan dari dukungan dari mayoritas
semua elemen dan wilayah sebuah negara (majoritarian) dan sebagaian
besar pemilih dan atau dukungan partai atau gabungan partai (plurality).
Beberapa tawaran cocok untuk memenuhi criteria tersebut adalah Sistem
Plural Majority with Two Round System dan Alternative Vote System.
Yang dianut oleh Indonesia adalah sistem Plural Majority with Two Round
System.
(2) Jabatan politik legislatif nasional dan daerah (DPR, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten/Kota)
Tata perundangan di Indonesia secara kurang tegas menyebutkan
substansi lembaga legislative nasional maupun daerah. Paling tidak ada
tiga substansi yang bisa dilekatkan kepada legislator, yakni sebagai
perwakilan rakyat, sebagai perwakilan partai atau kekuatan politik,
ataupun sebagai perwakilan daerah. Sebagai wakil rakyat, maka legislator
harus merepresentasikan mayoritas semua elemen masyarakat. Untuk
membuat seorang legislator efektif melaksanakan fungsi ini, maka ia
sebaiknya dipilih dengan cara pemilihan yang menggunakan prinsip yang
menekankan proporsionalitas. Pilihan yang kuat adalah sistem
Proportional Reprecentation dengan List Terbuka.
Sedangkan sebagai wakil partai, maka seorang legislator adalah
pemimpin yang didukung partai mayoritas pemilu. Dalam proses pemilu,
dukungan tersebut bisa didapat secara langsung dari pemilih (pemilihan
langsung) dan atau dukungan mobilisasi partai atau gabungan partai
(pemilihan langsung ataupun tidak langsung). Ada berbagai sistem
43
pemilihan yang dapat melahirkan seorang legislator yang bisa efektif
adalah sistem plurality misalnya FPTP ataupun Proportional
Reprecentation dengan List Tertutup.
(3) Pergeseran logika Pemilu 2004
Dalam Pemilu 2004 telah terjadi kompleksitas politik ketika logika normatif
di atas coba diterapkan. Logika awal dari pemilihan Presiden Indonesia
2004 adalah upaya mencapai majoritarian karena presiden adalah kepala
negara dan juga kepala pemerintahan.
Sistem yang diharapkan menghasilkan pemimpin yang representatif bagi
pemilih, bangsa, dan territorial Indonesia adalah Plural Majority dengan
Two Round Sistem. Tetapi yang belum banyak diperhitungkan adalah
bobot yang bisa diberikan oleh wakil presiden. Bisa jadi seorang presiden
adalah terpilih karena popularitas pribadinya dan untuk dukungan
kekuatan politik, ia menggunakan wakilnya yang berasal dari salah satu
partai besar pemenang pemilu legislatif.
Persoalannya adalah apabila wakil presiden punya agenda yang kurang
kompatibel dengan presiden. Presiden bisa dibiarkan sendirian
menghadapi legislative, yang implikasinya adalah kebijakan tidak efektif.
Dari kacamata pemilih, konstituen memilih mereka sebagai pasangan
lebih seperti logika block vote ataupun alternative vote tanpa mereka
sadari. Sistem yang demikian ini cenderung positif untuk membantu
mengurangi konflik. Tetapi kelemahan yang paling dasar adalah
majoritarian yang didapat dari dukungan kekuatan politik akan bersifat
manufactured dan sangat tergantung konstelasi politik yang berkembang.
Sangat negatif efeknya kalau presiden mengambil kebijakan tidak populis
yang membuat ia ditinggalkan oleh pendukung popular pada saat yang
sama dukungan dari partai pemegang mayoritas legislatif tidak kredibel.
Apalagi presidennya tidak berani mengambil kebijakan decisive. Presiden
44
menjadi serba salah dan wakilnya merasa tidak perlu bertanggungjawab
karena ia harus menghitung feasibilitasnya di kemudian hari.
Hal yang sama kemungkinan besar juga terjadi dalam pemilihan kepala
daerah langsung (Gubernur/Wagub, Bupati/Wabup, atau Walikota/Wakil
Walikota). Sistem yang diharapkan menghasilkan pemimpin yang
representatif bagi pemilih, kekuatan politik, dan pada saat yang sama
daerah adalah juga dengan Plural Majority dengan Two Round Sistem.
Tetapi yang belum banyak diperhitungkan adalah bobot yang bisa
diberikan oleh wakil kepala daerah dan partai politik yang menjadi perahu
tumpangannya untuk memenangkan pilkada. Bisa jadi seorang kepala
daerah adalah terpilih karena popularitas pribadinya dan untuk dukungan
politik ia menggunakan wakilnya yang berasal dari salah satu partai besar
pemenang pemilu legislatif atau partai politik yang mendukungnya.
Pergeseran logika juga melanda pemilu legislatif, baik di level nasional
maupun di level daerah. Legislator diharapkan mampu merepresentasikan
berbagai elemen masyarakat baru kemudian representasi kekuatan
politik. Dengan kata lain mereka adalah wakil rakyat pertama, baru
kemudian wakil partai. Logika ini yang menyebabkan mereka dipilih
dengan cara proportional representation dengan list terbuka. Terbuka di
sini berarti rakyat/pemilih yang menentukan siapa dari calon yang
diajukan partai yang mereka dukung.
Tetapi dalam prakteknya, ada berbagai persyaratan yang membuat sistem
pemilihannya cenderung menggunakan logika proportional reprecentation
list tertutup. Persyaratan tersebut misalnya penentuan bilangan pembagi
pemilih (BPP) dibuat sangat tinggi, sehingga hanya segelintir kandidat
saja yang dapat memenuhi. Sisanya harus mengikuti nomor urut atau
ranking kandidat yang dibuat partai, belum lagi ada ketentuan yang
mengatakan memilih partai saja adalah sah tetapi memilih kandidat saja
tidaklah sah.
45
Apapun alasannya, implikasinya adalah pengakuan keberadaan partai
lebih penting dari kandidat. Akibatnya, retorika untuk membuat keterkaitan
pemilih dengan wakilnya menjadi lebih ilusi. Wakil harus menjadi delegasi
dari partai daripada “trustee” yang menggunakan kesadaran individual
untuk membawa aspirasi pemilihnya.
Persoalannya menjadi rumit ketika partai tidak responsif pada keinginan
pemilih. Wakil rakyat yang berada ditengahnya menjadi tidak relevan.
Mereka menjadi wakil partai atau kelompoknya sendiri.
DPD yang diharapkan untuk mewakili territorial, diharapkan mampu
mengerti kepentingan daerah dan mampu memperjuangkannya pada
level daerah. Sistem yang dipakai adalah Single Non Transferaable Vote.
Lain dengan berbagai jabatan politik, maka DPD bukan mengalami
pergeseran logika pada tahap implementasi. Tetapi DPD belum cukup
banyak dipikirkan dan dikaji. Ada yang menganggap mereka sebagai
kesalahan politik yang terlanjut melahirkan lembaga ini. Ada yang
menganggap fungsi yang diberikan separuh hati. Belum lagi dengan isu
bagaimana mereka bisa diakarkan, bagaimana mereka membangun
popularitas juga dengan berbagai sumber-sumber ekonomi politik. Hal lain
adalah apakah mereka bisa mempunyai kaki organisasi di daerah serta
hubungannya dengan kekuatan politik seperti partai.
C. SISTEM PEMILU BERDASARKAN UU NO. 10 TAHUN 2008
UU No. 10 Tahun 2008 mengatur tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan
DPRD. Sistem Pemilu yang digunakan adalah Daftar Proporsional Representasi
Terbuka untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Maknanya hampir sama
dengan sistem Pemilu tahun 2004 meski berbeda dalam penamaannya. Pada
sistem ini selain tanda gambar partai politik peserta pemilu, juga terdapat nama
calon anggota DPR dan DPRD. Rakyat pemilih melakukan pemilihan dengan
46
cara memberikan tanda pada salah satu gambar partai politik atau nama calon
atau dua-duanya yang dapat dianggap sah. Sehingga diharapkan rakyat pemilih
juga tahu dan sadar bahwa ia memilih siapa. Berbeda dengan sebelumnnya jika
pemilih tidak mencoblos tanda gambar partai politik maka dianggap tidak sah,
pada Pemilu 2009 jika pemilih hanya memberi tanda pada calon anggota
legislatif tetap dianggap sah31. Sementara sistem yang digunakan untuk memilih
anggota DPD adalah tetap First Past The Post.
Secara umum Pemilu 2009 yang menggunakan dasar UU No. 10 Tahun 2008
masih menggunakan sistem yang mirip dengan Pemilu 2004. Perbedaan hanya
pada digunakannya sistem daftar proporsional representasi terbuka secara
konsisten di mana suara didasarkan pada suara terbanyak berdasarkan
perolehan suara masing-masing calon anggota legislatif.
Jadi berdasarkan sistem ini, maka perolehan suara dikonversi dulu menjadi
perolehan kursi partai politik pada setiap daerah pemilihan, caranya dengan
membagi perolehan suara partai politik dengan bilangan pembagi pemilih yang
telah ditentukan sebelumnnya. Setelah ditentukan perolehan kursi masing-
masing partai politik baru kemudian dilakukan penentuan pemilik kursi dengan
cara diberikan kepada calon anggota legislatif dengan suara terbanyak. Sistem
ini mengakibatkan nomor urut masing-masing calon tidak berpengaruh dalam
penentuan calon terpilih asalkan calon tersebut dapat memperoleh suara
terbanyak.
Berdasarkan perkembangan dinamika politik Indonesia serta peningkatan
populasi, maka jumlah kursi untuk DPR RI adalah 560 kursi atau meningkat 10
kursi dari sebelumnya (550). Hal ini dalam upaya meningkatkan derajat
keterwakilan seluruh wilayah Indonesia yang sangat heterogen, tetapi tetap
dengan memperhatikan komposisi Jawa – Luar Jawa yang proporsional. Oleh
karena itu, alokasi kursi untuk tiap daerah pemilihan untuk memilih anggota DPR
RI adalah berkisar antara 3-10 kursi.
31
Lihat dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.
47
Di samping itu terdapat ketentuan ambang batas (threshold) yang dinaikkan
menjadi 2,5%. Artinya, partai-partai politik tatkala masuk ke perhitungan kursi
calon legislatif hanya dibatasi bagi yang berhasil mengumpulkan komposisi
suara di atas 2,5%.
Akibat diterapkannya ambang batas kursi di DPR (Parliamentary Threshold),
implikasinya sekitar 18,8% suara menguap begitu saja alias tidak diperhitungkan.
Suara itu merupakan gabungan perolehan suara 29 partai nasional yang
memperoleh suara di bawah 2,5%. Secara hitungan kasar, terdapat sekitar 30
juta suara yang tidak diperhitungkan dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009.
Hal itu menjadi konsekuensi aturan parliamentary threshold sebagai seleksi awal
penghitungan kursi DPR secara nasional. Suara rakyat yang jumlahnya cukup
signifikan harus terbuang sia-sia. Sebelum pemilu berlangsung, memang ada
upaya untuk mengajukan judicial review tentang aturan ini ke Mahkamah
Kontistusi (MK) karena dianggap melanggar hak politik warga negara. Tapi MK
dengan keputusannya yang bersifat final dan mengikat memutuskan aturan
parliamentary threshold kontitusional tidak bertentangan dengan UUD 1945.
48
BAB III
EVALUASI PEMILU 2009
A. PENYEMPURNAAN SISTEM MENUJU KONSOLIDASI DEMOKRASI
Sejak era reformasi, Indonesia telah melaksanakan pemilu secara periodik dan
tetap yaitu Pemilu tahun 1999, Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Prestasi
menyelenggarakan pemilu mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, bahkan
luar negeri dan mengantarkan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di
dunia selain Amerika Serikat dan India. Di tengah kekhwatiran bahwa
penyelenggaraan pemilu dapat menimbulkan konflik, ternyata bangsa Indonesia
justru berhasil menyelenggarakan pemilu dengan aman, tertib dan demokratis.
Padahal, banyak kalangan sejak tahun 2004 menilai bahwa Pemilu di Indonesia
merupakan Pemilu yang paling rumit di dunia- seperti ditulis sebuah majalah luar
negeri Far Ekonomic Review pada tahun 2004.
Menyimak perjalanan tiga kali penyelenggaraan pemilu, tampak upaya untuk
meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilu. Hal ini dapat dilihat dari dari
berbagai aspek penyelenggaran seperti ketentuan undang-undang yang menjadi
dasar pelaksanaan yang selalu disempurnakan sehingga terdapat perbedaan
mendasar pada setiap pemilu. Salah satunya yang selalu disempurnakan adalah
sistem pemilu yang digunakan.
Sistem pemilu merupakan satu kumpulan metode atau cara warga masyarakat
memilih para wakil mereka. Dalam sistem Pemilu ini sejumlah suara ditransfer
menjadi kursi dalam parlemen (DPR, DPD atau DPRD) sehingga dengan
demikian terpilih sejumlah wakil dari partai politik yang duduk dalam parlemen.
Jika pada tahun 1999, sistem pemilu yang digunakan adalah proporsional
tertutup, Pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional terbuka terbatas,
sementara pada tahun 2009 sudah mengarah sistem proporsional terbuka
49
penuh. Meskipun sesungguhnya, jika menilik semangat pembentuk undang-
undang, Pemilu 2009 semula masih akan menggunakan sistem proporsional
terbatas (kuota BPP 30%), namun kemudian dibatakan Mahkamah Konstitusi
(MK) sehingga menjadi terbuka penuh (suara terbanyak).32
Pemilu tahun 2009, merupakan Pemilu yang ketiga yang diselenggarakan sejak
era reformasi diharapkan dapat semakin meningkatkan kualitas demokrasi dan
bahkkan sudah meningkat menjadi sarana konsolidasi demokrasi.33 Beberapa
acuan parameter konsolidasi demokrasi, diantaranya disebutkan Juan Linz dan
Alfred Stepan bahwa demokrasi yang terkonsolidasi adalah kondisi di mana
demokrasi berlaku sebagai aturan main baik dalam segi perilaku, sikap, maupun
dalam segi tata aturan hukum (konstitusi).
Secara lebih operasional Linz dan Stepan mengujukan lima syarat yang saling
berkaitan bagi terciptanya konsolidasi demokrasi yaitu (1) masyarakat sipil yang
bebas dan aktif.(2) masyarakat politik yang bebas dan otonom. (3) tokoh-tokoh
politik utama yang tunduk pada aturan hukum. (4) birokrasi yang mendukung
pemerintahan yang demokratis. (5) masyarakat ekonomi yang dilembagakan.
Senada dengan parameter di atas Larry Diamond juga menegaskan bahwa
esensi konsolidasi demokrasi terbentuknya perilaku dan sikap baik di tingkat elit
maupun massa yang mencakup dan bertolak dari metode dan prinsip-prinsip
demokrasi. Dengan mengutip Linsz, Diamond mengatakan bahwa “para
elit/pemain politik harus menghormati demokrasi (hukum, posedur, dan isntitusi
yang ditetapkan) sebagai satu-satunya olly game in town, satu-satunya kerangka
kerja untuk mengatur kehidupan masyarakat dan memajukan kepentingan
mereka. Sementara pada tingkat massa harus ada konsensus normatif dan
perilaku pada tingkat yang luas baik dalam skala lintas kelas, etnis, kebangsaan
dan pemisah-pemisah lainya.”
32
Fery Mursidan Baldan dalam “Pemilu 2009 dan Konsolidasi Demokrasi”. P3DI DPR-RI, Jakarta 2008.
33 Lily Romly dalam “Pemilu 2009 dan Konsolidasi Demokrasi”, P3DI DPR-RI, Jakarta 2008.
50
Selanjutnya Diamond menekankan konsolidasi demokrasi mencakup tiga
agenda besar yaitu pertama, kinerja politik dan ekonomi rejim pemerintah
demokratis. Kedua, institusionalisasi politik (penguatan birokrasi, partai politik,
parlemen, pemilu dan penegakkan hukum). Dan ketiga, restrukturisasi hubungan
sipil dan militer yang menjamin adanya kontrol otoritas sipil atas militer di satu
pihak dan terbentuknya civil society yang otonom.
Menarik dicermati, bahwa parameter pertama dari Diamond adalah menujuk
pada adanya pemerintahan yang efektif sebagai hasil pemilu sebagai salah satu
para meter konsolidasi demokrasi.
Apabila merujuk pada berbagai parameter konsolidasi demokrasi tersebut,
nampaknya Pemilu 2009 dengan pilihan sistemnya yang sejak awal diharapkan
sebagai sarana mengakhiri masa transisi dan mencipatakan konsolidasi
demokrasi yang semakian kuat masih belum sepenuhnya tercapai. Meski kinerja
hasil pemilu masih harus dinilai hingga lima tahun ke depan, namun indikasi
awal- khususnya menyangkut terbentuknya sikap dan perilaku elit politik yang
tunduk ada mekanisme demokrastis dan terciptanya pemerintahan demokratis
yang efektif- masih belum terpenuhi sesuai harapan.
Dengan demikian harus diakui secara substantif, sistem dan hasil Pemilu 2009
belum memenuhi target yang sejak awal ditentukan pada saat legislasi Pemilu
disusun. Hal itu, tetap membuka ruang untuk kembali dikaji dan disempurnakan.
B. KELEMAHAN LEGISLASI DAN REGULASI PEMILU 2009
Menyimak evaluasi Pemilu 2009 yang dilakukan oleh Kemitraan, ada enam
parameter proses penyelenggaraan Pemilu yang demokratis (democratic
electoral process), yakni mencakup :
(1) Pengaturan semua tahapan Pemilu mengandung kepastian hukum (tidak
ada kekosongan hukum, tidak ada kontradiksi antarketentaun dalam Pasal
51
dalam suatau undang-undang, tidak multi tafsir, dan dapat dilaksanakan
sehingga dipahami dan dilaksanakan sama oleh seluruh pelaksana).
(2) Pengaturan semua tahapan Pemilu dirumuskan berdasarkan asas-asas
yang demokratis, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil,
transparan dan akuntabel.
(3) Pengaturan dan pelaksanaannya menjamin integritas proses dan hasil
Pemilu (electoral integrity);
(4) Semua sengketa Pemilu (pelanggaran ketentuan pidana Pemilu, peraturan
administratif Pemilu, dan kode etik Pemilu) diselesaikan oleh penegak
hukum secara adil dan cepat. Sedangkan perselisihan hasil Pemilu
(electoral contest) diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi secara terbuka,
adil, secara prosedural serta akurat.
(5) Pemilu diselenggarakan tidak hanya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, tetapi juga sesuai dengan tahapan, program dan jadwal
penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan perencanaan oprerasioanl yang
telah ditetapkan oleh penyelenggara.
(6) Penyelenggaran Pemilu yang profesional dan independen.
Dari keenam parameter tersebut, diantaranya yang penting juga adalah aspek
integritas proses dan hasil pemilu (electoral integrity). Proses penyelenggaraan
Pemilu dapat dikatakan memiliki integritas apabila semua tahapan Pemilu
diselenggarakan menurut peraturan perundang-undangan (undang-undang dan
Peraturan KPU) yang tidak saja mengandung kepastian hukum (tidak ada
kekosongan hukum, tidak ada kontradiksi antarketentaun dalam Pasal dalam
suatau undang-undang, tidak multi tafsir, dan dapat dilaksanakan), tetapi juga
dilaksanakan secara konsisten oleh intitusi yang berwenang. Integritas Pemilu
sangat penting diwujudkan karena akan menjamin perlakuan yang sama
terhadap pesrta dan calon, dan terhadap pemilih. Peserta Pemilu dan pemilih
52
akan dapat menerima legitimasi Pemilu apabila ketentuan yang mengatur
berlaku sama dan ditegakkan secara konsisten tanpa kecuali.
Seluruh bangun teknis Pemilu memang disandarkan pada legislasi dan regulasi
yang semestinya ketentuan yang baik, lengkap dan mudah dilaksanakan sebagai
dapat menjadi pegangan bagi penyelenggara dan menjamin integritas dan
kualitas Pemilu. Begitu pentingnya legislasi dan regulasi Pemilu karena akan
menjadi rujukan bagi semua pihak yang terkait Pemilu.
Dalam konteks Pemilu 2009, legislasi yang dijadikan dasar adalah Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, merupakan penyempurnaan dari
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang dianggap sudah tidak sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
Pemilu tahun 2009.
Proses penyusunan UU Nomor 10 Tahun 2008 berlangsung alot dan memakan
waktu yang cukup lama, sehingga dari semula ditargetkan selesai pada tahun
2007, mundur satu tahun dan baru disahkan tahun 2008. Dari segi proses ini
saja dapat dilihat betapa penyusunan undang-undang ini sarat dengan
kepentingan yang sulit dipertemukan. Maka dapat dipahami jika sebagian
ketentuan yang dalam undang-undang tersebut dicapai melalui kesepakatan
fraksi setelah melalui lobi yang alot dan tetap menimbulkan ketidakpuasan begitu
disahkan.
Akibatnya undang-undang ini banyak digugat dan diajukan ke Mahkamah
Konstitusi, dan sebagian diantaranya dikabulkan. Tak kurang dari sepuluh
gugatan diajukan diantaranya yang dikabulkan adalah penentuan calon terpilih
sehingga menjadi suara terbanyak, perlakuan bagi Parpol peserta Pemilu 2004
untuk mengikuti Pemilu dari semula yang hanya memperoleh kursi di DPR
menjadi seluruh peserta Pemilu 2004 dapat menjadi peserta Pemilu serta
53
ketentuan pengumuman hasil survei oleh lembaga yang melakukan survei
Pemilu.
Dalam pengamatan Ramlan Surbakti, terdapat setidaknya 40 materi yang
semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, namun kemudian
tidak lagi diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 sehingga
berpootensi menimbulkan kekosongan hukum dan menyulitkan pelaksanaan
Pemilu.
Berikut adalah beberapa identifikasi kelemahan pengaturan dalam Undang-
undang Nomor 10 Tahun 2008 yang antara lain meliputi:
(1) Ketentuan tentang sistem Pemilu yang menggunakan sistem proporsional
terbuka (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010, tidak
konsisten dengan ketentuan penetapan calon terpilih yang menetapkan
kuota 30 persen dari Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP). Hal ini dinilai
menimbulkan ketidakadilan sehingga digugat dan dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi.
(2) Ketentuan tentang pemutakhiran data pemilih, khususnya terkait jangka
waktu pengumuman Daftar Pemilih Sementara (DPS), masa perbaikan dan
penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) terlalu singkat sehingga dalam
praktek tidak mencukupi untuk perbaikan dan akurasi.
(3) Ketentuan tentang batas kursi dalam suatu Daerah Pemilihan (Dapil) DPR-
RI paling sedikit 3 dan maksimal 10 kursi, belum sepenuhnya dapat
mendorong keterwakilan karena dalam prakteknya dapat mencakup daerah
yang sangat luas (terdiri atas beberapa kabupaten) terutama di luar Jawa,
sehingga dapat terjadi satu propinsi hanya satu Dapil.
(4) Ketentuan tentang batas kursi dalam suatu Daerah Pemilihan (Dapil) untuk
DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tidak sepenuhnya dapat
diterapkan karena dalam praktek dapat terjadi karena jumlah penduduk
54
yang sangat besar sehingga satu Dapil dapat melebihi jumlah kursi
maksimal di atas 12 kursi.
(5) Ketentuan tentang penetapan jumlah kursi dalam satu Dapil DPRD Propinsi
yang menegaskan bahwa jumlah kursi setiap Dapil anggota DPRD Propinsi
ditetapkan sama dengan Pemilu sebelumnya (Pasal 24 ayat 2 UU Nomor
10 Tahun 2008). Ketentuan ini berpotensi bertentangan dengan ketentuan
dalam Pasal 25 ayat (3) yang menentukan dalam hal terjadi pembentukan
provinsi baru setelah Pemilu dilakukan penataan Dapil di Provinsi induk
sesuai dengan jumlah penduduk. Dengan demikian tidak mungkin Dapil
tetap, karena jika ada pemekaran pasti ada pengurangan jumlah penduduk
yang berdampak pada berubahnya Dapil.
(6) Ketentuan yang mengatur penetapan kursi daerah pemilihan bagi anggota
DPRD Propinsi agar disesuaikan dengan penetapan kursi daerah pemilihan
anggota DPR-RI karena jumlah dan nama kabupaten/kotanya sama, sering
terjadi kesulitan ketika dimplementasikan karena untuk beberapa daerah
jika disamakan daerah pemilihannya akan menabrak ketentuan batas
jumlah kursi dalam sutau daerah pemilihan yang telah ditentukan antara 3-
12 kursi (Pasal 314 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2010). Hal ini terjadi
karena untuk menetapkan alokasi kursi tiap daerah pemilihan anggota
DPRD propinsi didasarkan atas Bilangan Pembagi Penduduk dan BPP
penduduk tersebut diperoleh dari hasil bagi total jumlah total jumlah
penduduk di propinsi tersebut dengan jumlah kursi DPRD propinsi yang
sudah secara pasti ditentukan yaitu paling sedikit 35 kursi dan paling
banyak 100 kursi (Pasal 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010).
(7) Ketentuan syarat bagi calon anggota legislatif (caleg) khususnya mengenai
pemenuhan syarat calon tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih (Pasal 12 huruf g dan Pasal 51 ayat (1) huruf g Undang-
55
Undang Nomor 10 Tahun 2010) perlu menyesuaikan dengan semangat
putusan Mahkamah Konstitusi nomor 4/PUU-VII/2009. Pada intinya yang
dilihat dalam pemenuhan syarat calon memnuhi 5 tahun atau lebih adalah
ancaman pidana yang sudah pasti yang menjadi dasar pengenaan
dakwaan.
(8) Ketentuan pencalonan anggota legislatif khususnya mengenai syarat
keterwakilan perempuan minimal 30 persen yang diajukanoleh Parpol
peserta Pemilu Anggota DPR/DPRD dalam pelaksanaannya sulit dipenuhi.
Parpol sering beralsan sulit memnuhi karena keterbatasan dan
kekurangsiapan kader perempuan. Hal ini perlu diperjelas mengani sanksi
jika Parpol tidak memnuhi kuota caleg perempuan apakah sanksi
adminstratif atau sanksi lainya.
(9) Ketentuan pemberian suara yang hanya membolehkan pemilih yang
terdaftar dalam DPT yang dapat menggunakan hak pilihnya banyak
mengakibatkan hilangnya hak pilih warga masyarakat. Hal ini terjadi karena
pendaftaran pemilih tidak berjalan sebagaiman mestinya.
(10) Ketentuan tentang teknis pemberian suara, dengan memberikan tanda dan
kemudian didalam prakteknya diakui berbagai tanda yang dianggap sah
menyulitkan warga sehingga banyak suara yang tidak sah.
(11) Ketentuan tentang peserta Pemilu Tahun 2004 yang dapat mengikuti
Pemilu Pada Tahun 2009, yang ditentukan hanya Parpol yang memiliki
kursi di DPR dinilai diskrimintaif dan kemudian dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi.
(12) Ketentuan tentang perhitungan pengkategorian sisa suara dan sisa kursi
dalam suatu Dapil tidak jelas sehingga menimbulkan multi tafsir dan
sengketa di Mahkamah Agung maupun di Mahkamah Konstitusi.
(13) Ketentuan tentang pembatasan pengumuman hasil survei oleh lembaga
survei publik terkait persepsi masyarakat terhadap peserta Pemilu dianggap
56
membatasi dan tidak sejalan dengan nilai-nilai dalam konstitusi sehingga
digugat dan kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Kosntitusi.
(14) Ketentuan kampanye bagi parpol peserta Pemilu yang telah ditetapkan
sebagai peserta Pemilu yaitu 3 (tiga) hari setelah penetapan peserta Pemilu
tidak secara tegas mengartu bentuk-bentuk dan media apa saja yang
digunakan dalam kampanye dan apa sanksinya jika melanggar ketentuan
bentuk dan waktu kampanye. Hal ini terkait dengan ketentuan sanksi
kampanye hanya berlaku bagi kampanye terbuka (rapat umum).
(15) Ketentuan ambang batas 2,4 persen perolehan suara sah Parpol secara
nasional untuk menetapkan Parpol peserta Pemilu yang dapat diikutkan
dalam pehitungan kursi DPR perlu dipertegas apakah hanya berlaku bagi
suara sah DPR atauakah termasuk sura sah DPRD Propinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota. Perlu penegasan apakah ketentuan ambang batas ini
hanya berlaku bagi pembagian kursi DPR ataukah juga berlaku bagi
pembagian kursi DPRD Propinsi dan pembagian kursi DPRD
Kabupaten/Kota.
(16) Ketentuan penetapan/pembagian kursi perolehan kursi DPR, tidak
mengatur secara tegas penempatan kursi hasil perhitungan tahap III,
semestinya parpol yang memperoleh kursi tahap III baik berdasarkan
Bilangan Pembagi Pemilihan DPR yang baru pada tingkat propinsi maupun
peringkat sisa suara maka penempatan kursinya didasarkan atas sisa suara
suara terbanyak suatu parpol di daerah pemilihan yang masih tersedia sisa
kursi yang belum terbagi dan sisa suara parpol tersebut juga lebih banyak
dari sisa suara parpol lain di daerah pemilihan yang bersangkutan (Pasal
205 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 206 dan Pasal 208 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2010). Hal ini juga perlu memperhatikan hasil
putusan sengketa Pemilu yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi
dalam putusan Nomor 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009).
57
(17) Ketentuan parpol menjadi peserta Pemilu berikutnya apabila sudah
ditentukan prosentasenya berdasarkan perolehan kursi DPR, atau kursi
DPRD propinsi, atau kursi DPRD kabupaten/kota, semestinya tidak perlu
diatur bahwa parpol yang memperoleh kursi seberapapun tetap dapat
menjadi peserta Pemilu berikutnya. Hal ini akan bertentangan dengan
ketentuan mengenai prosesntase berdasarkan jumlah kursi yang diperoleh
parpol untuk menjadi peserta pada pemilu beriktunya (Pasal 316 hurf d,
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010).
(18) Ketentuan mengenai logistik Pemilu, khususnya surat suara cadangan yang
ditentukan sebanyak 2% dari jumlah pemilih tetap, dalam pelaksanaanya
menyulitkan karena surat suara yang datang dari percetakan tidak selalu
persis jumlahnya karena setiap dus seringkali jumlahnya tidak tepat karena
menggunakan mesin hitung elektronik, sehingga cadangan riil yang
diperoleh oleh KPU/KPU Propinsi/KPU Kabupaten/Kota tidak sesuai dan
selalu kurang dari hitungan yang ditetapkan (Pasal 145 ayat (2) dan Pasal
150 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010).
Selain berbagai kelemahan tersbut masih terdapat sejumlah ketentuan dalam
Pasal maupun ayat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 yang dalam
pelaksannaannya menyulitkan pelaksana pemilu di lapangan sehingga perlu
dikaji dan disempurnakan dalam rangka memperbaiki pelaksanaan
penyelenggaraan Pemilu tahun 2014 yang akan datang.
Setelah mengidentifikasi kelemahan legislasi, -dalam hal ini Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2010,- dalam penyelenggaraan Pemilu juga ditindaklanjuti
dengan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilu sebagai
penyelenggara Pemilu. Ketentuan ini merupakan regulasi lanjutan yang
diperintahkanh oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 untuk diatur lebih
lanjut atau sering disebut sebagai petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk
teknis (Juknis) bagi pelaksana Pemilu.
58
Selama ini terdapat cukup banyak regulasi yang dikeluarkan oleh KPU, terkait
penyelenggaraan Pemilu. Fakta-fakta empiris menunjukkan KPU sering kesulitan
ataupun terlambat dalam menyiapkan regulasi sehingga mengganggu
kelancaran penyelenggaraan Pemilu. Tercatat sejumlah tahapan Pemilu yang
sudah berjalan seperti tahapan kampanye Pemilu 2009 namun regulasinya
belum tuntas atau bahkan ada yang mengalami perubahan-perubahan saat
dilaksanakan.
Di antara regulasi yang mengandung kelemahan dan menimbulkan persoalan
adalah Peraturan KPU yang mengatur teknis penetapan perhitungan suara dan
perolehan kursi. Peraturan ini kemudian digugat ke Mahkamah Agung (MA)
karena dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010. MA
kemudian mengabulkan gugatan dan membatalkan peraturan KPU namun dalam
prakteknya tidak dapat dilaksanakan. Hal ini menyisakan permasalahan yang
masih menggantung dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
C. KELEMAHAN PENYELENGGARAAN
Penyelenggaraan Pemilu 2009 sampai saat ini masih menyisakan banyak
permasalahan dan menimbulkan kekecewaan masyarakat. Bahkan, baru terjadi
kali ini, efek penyelenggaraan Pemilu berujung pada diajukannya hak angket
DPR terkait pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara. Banyak kecaman
dan tudingan diarahkan kepada ketidakprofesionalan KPU karena sumberdaya
manusianya dianggap lemah.
Berikut berbagai kelemahan penyelenggaraan Pemilu yang terjadi:
(1) Banyak pemilih tidak dapat menggunakan haknya
Pemilu 2009 yang semula diharapakan lebih baik, dengan alasan sudah
ada contoh sebagai pembelajaran dari Pemilu 2004 ternyata justru
berbanding terbalik. Pemilu 2009 disebut-sebut sebagai Pemilu yang paling
59
buruk dilihat dari persiapan dan kesiapan lembaga penyelenggara. KPU
tampak sangat kedodoran sehingga berbagai tahapan menjadi terganggu
atau tertunda.
Salah satu kelemahan yang sampai saat ini masih menyisakan persoalan
adalah banyaknya pemilih yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
Tercatat kurang lebih 59 (dichek lagi) juta pemilih dari pemilih terdaftar yang
tidak menggunakan hak pilihnya karena kelalaian KPU. Penyelenggara
pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilu (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) dalam menyelenggarakan Pemilu tahun 2009, baik Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun Pemilu Presiden/ Wakil Presiden,
dua institusi ini mendapat sorotan dan kritik tajam dari berbagai pihak,
khususnya yang ditujukan kepada KPU. Kritik tajam tersebut disebabkan
oleh penyelenggaraan Pemilu tahun 2009 diwarnai oleh sejumlah persoalan
serius, terutama dalam proses penyelenggaraan tahap pemutakhiran data
pemilih timbul masalah seputar akurasi DP4, DPS dan Daftar Pemilih Tetap
(DPT).
Sejumlah pihak menilai, KPU dianggap tidak profesional, kinerjanya rendah,
tidak memiliki kemampuan mengantisipasi masalah, koordinasi diantara
jajarannya lemah, dan sebagainya. Mahkamah Konstitusi (MK) misalnya,
memberi penilaian bahwa KPU mudah dipengaruhi oleh berbagai tekanan
politik, termasuk oleh para peserta Pemilu, sehingga terkesan kurang
kompeten dan kurang profesional.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan bahwa
KPU telah terbukti melakukan penghilangan terhadap hak konstitusional
warga negara dalam Pemilu. Panitia Angket DPR RI juga menyimpulkan
bahwa KPU patut dinilai tidak mampu dalam melakukan pemutakhiran
daftar pemilih sehingga DPS dan DPT Pemilu Legislatif 2009 tidak akurat.
Berbagai kalangan dan pengamat di media massa juga turut memperkuat
60
bahwa KPU memiliki sejumlah kelemahan dalam melaksanakan fungsi dan
tugasnya.
Permasalahan DPT ini tidak dapat hanya dipandang sebagai persoalan
teknis administrasi, melainkan juga permasalahan penghilangan hak
konstitusi warga negara untuk memilih. Selanjutnya, DPR membentuk
Panitia Khusus Hak Angket Mengenai Pelanggaran Hak Konstitusional
Warga Negara Untuk Memilih.
Berdasarkan hasil penyelidikan dan pemeriksaan Panitia Angket DPR RI
Tentang Pelanggaran Hak Konstitusional Warga Negara Untuk Memilih,
pada tanggal 29 September 2009, menemukan fakta-fakta adanya berbagai
permasalahan yang dilakukan oleh KPU dalam penyelenggaraan Pemilu
tahun 2009, antara lain :
a) Pemutakhiran data pemilih yang dilakukan oleh KPU terlambat dan
proses itu dilakukan dengan cara tidak profesional sehingga
mengakibatkan banyak terjadi penggelembungan data pemilih serta
warga masyarakat yang tidak terdaftar dalam DPT Pemilu Legislatif
2009 (padahal sebelumnya terdaftar dalam Pemilu 2004 atau bahkan
terdaftar dalam DPS Pemilu Legislatif 2009). Selain itu, KPU
berulangkali melakukan pemutakhiran data yang jelas-jelas
bertentangan dengan undang-undang. KPU dinilai tidak mampu dalam
melakukan Pemutakhiran Daftar Pemilih yang kemudian menghasilkan
DPS serta DPT Pemilu Legislatif Tahun 2009 yang tidak akurat.
b) Jumlah pemilih berdasarkan Keputusan Nomor 383/SK/KPU/2008
tanggal 24 Oktober 2008, dalam DPT sebanyak 170.022.239.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan KPU Nomor: 427/SK/KPU/2008
tanggal 24 November 2008, DPT secara nasional berjumlah
171.068.667. Kemudian setelah kurangnya Perppu Nomor 1 Tahun
2009 jumlah pemilih dalam DPT menjadi 171.265.442 pemilih, terdiri
atas 169.789.595 pemilih dalam negeri dan 1.475.847 pemilih luar
61
negeri yang tertuang dalam Keputusan KPU Nomor
164/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 7 Maret 2009. Terkait dengan
ditetapkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2009, KPU mengeluarkan Surat
Edaran Nomor 607/KPU/III/2009 tanggal 27 Maret 2009 mengenai
pemeriksaan dan penelitian pasca Perppu Nomor 1 Tahun 2009. Jumlah
DPT Pemilu Legislatif 2009 tersebut dinilai terlalu tinggi sebesar 9 juta
dibandingkan data proyeksi BPS (dan sekitar 14 juta dibandingkan data
untuk Pilpres 2009), jika dibandingkan dengan data proyeksi jumlah
penduduk berumur 17 tahun ke atas ditambah dengan penduduk umur
10-16 tahun yang pernah kawin pada pertengahan tahun 2009 adalah
sejumlah 160,8 juta. Dengan demikian DPS dan DPT PemiluLegislatif
2009 dapat dinyatakan tidak valid. Padahal disisi lain, banyak terdapat
warga negara yang kehilangan hak konstitusionalnya untuk memilih
karena tidak terdaftar dalam DPT.
c) Kekisruhan dalam penyiapan data kependudukan yang menghasilkan
DP4, serta pemutakhiran data pemilih yang menhasilkan DPS dan DPT
Pemilu Legislatif 2009, tidak dapat diawasi secara optimal oleh pihak
pengawas pemilu baik Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu
kabupaten/ kota, Panwaslu kecamatan, maupun oleh Pengawas Pemilu
Lapangan (termasuk Pengawas Pemilu Luar Negeri) karena terbentuk
secara kelembagaan (terutama panwaslu provinsi dan Panwaslu
kabupaten/ kota serta Panwaslu kecamatan dan pengawas pemilu
lapangan). Oleh karena itu Panwaslu di setiap tingkatan pun tidak dapat
memberikan rekomendasi apapun terkait dengan kekisruhan daftar
pemilih. Hal yang sama terjadi di Pengawas Pemilu Luar Negeri
khususnya di Malaysia ang baru terbentuk 4 (empat) hari sebelum
pelaksanaan Pemilu Legislatif tanggal 9 April 2009. Namun demikian
diakui Bawaslu (pengawas Pemilu Pusat yang bersifat permanen)
bahwa telah terjadi pelanggaran hak warga negara untuk memilih.
Terhadap hal itu, Bawaslu telah mengeluarkan surat rekomendasi
kepada KPU untuk membentuk Dewan Kehormatan karena adanya
62
dugaan telah terjadi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh para
anggota KPU terkait dengan tahapan penyusunan Daaftar Pemilih.
Dalam perjalanannya, hingga saat ini tidak ada tindak lanjut atas
rekomendasi Bawaslu dimaksud. Oleh karena itu patut dinilai bahwa
KPU tidak serius menangani masalah DPT Pemilu Legislatif 2009.
d) DPT Pemilu Legislatif 2009 yang disusun oleh KPU tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 32 UU No. 10 Tahun 2008 karena tidak seluruhnya
memuat Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama, tanggal lahir, jenis
kelamin dan alamat. Bahkan justru memuat NIK double (dua kali), triple
(tiga kali), atau lebih dalam satu TPS. Selain itu terdapat data pemilih
dalam DPT Pemilu Legislatif 2009 yang berisikan warga negara yang
sudah meninggal, anggota TNI/Polri, serta pemilih di bawah umur.
Ketidakakuratan DPT Pemilu Legislatif Tahun 2009 berpotensi terjadinya
penggelembungan suara dibeberapa daerah, termasuk DPT luar negeri.
e) Bahwa terbukti secara meyakinkan, telah terjadi pelanggaran hak
konstitusional warga negara untuk memilih pada pemilu Legislatif
tanggal 9 April 2009 yang disebabkan oleh tidak diterapkannya sistem
penyiapan DP4, sistem pemutakhiran data pemilih, dan sistem
penyusunan DPS dan DPT sebagaiman mestinya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Pemerintah dan
KPU.
f) Dalam melaksanakan tugasnya menyusun DPT Pemilu Legislatif 2009
yang sesuai peraturan perundang-undangan, KPU patut dinilai tidak
mampu melakukan pemutakhiran data pemilih dengan baik dan akurat.
g) Diduga telah terjadi tindak pidana terkait dengan perubahan secara
sepihak isi dan komposisi DPT Pemilu Legislatif 2009 yang dilakukan
oleh pihak rekanan percetakan DPT (PT. Jasuindo Tiga Perkasa Tbk)
yang berdomisili di Sidoarjo, Jawa Timur.
63
(2) Pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih tidak akurat
Salah satu tahapan awal dalam penyelenggaraan Pemilu yang sangat
penting dalam kaitan seseorang dapat menggunakan hak pilihnya adalah
pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih. Permasalahan hilangnya hak
pilih warga negara yang semestinya berhak memilih adalah karena
lemahnya akurasi pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih. Akibatnya
jumlah pemilih yang tidak terdaftar sangat besar meskipun angka pastinya
sulit dipastikan.
Proses pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih yang dalam
pelaksanaanya menjadi tanggungjawab Panitia Pemungutan Suara (PPS)
dan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDT) sebelum ditetapkan oleh
KPU/KPU Propinsi/KPU Kabupaten/Kota. Kelemahan yang terjadi antara
lain disebabkan pendafatrannya menggunakan asas domisili de jure
(berdasarkan KTP dan Nomor Induk Kependudukan/NIK) sehingga orang
yang tinggal disuatu tempat tapi tidak memiliki KTP tidak terdaftar.
Pada saat yang sama validitas administrasi kependudukan yang berbasis
NIK belum optimal karena masih banyak penduduk ber-KTP ganda. Hal ini
memicu munculnya pemilih siluman yaitu seorang terdata lebih dari satu
kali, pemilih yang sudah pindah lama tetap tercatat, pemilih yang sudah
meninggal masih juga dicatat dan lain-lain, dalam jumlah yang cukup besar.
Semua itu masih ditambah dengan lemahnya SDM dan ketersediaan
perangkat pendukung (teknologi) di PPS dan PPDP serta mekanisme
pengawasan atas pelaksanaan tugas penyusunan dan pemutakhiran data
pemilih. Jika dicermati permasalahan data pemilih memang terjadi dalam
setiap Pemilu sejak tahun 2004, namun untuk tahun 2009 tergolong lebih
buruk sehingga perlu perubahan dan perbaikan secara total.
64
(3) Pemilih kesulitan menggunakan haknya
Selain masalah hilangnya hak pilih warga negara, Pemilu 2009 juga
tergolong menyulitkan pemilih. Padahal, salah satu indikator Pemilu yang
demokratis adalah memudahkan pemilih dalam menggunakan haknya.
Kesulitan tersebut terutama terjadi ketika pemilih akan menggunakan
haknya di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Hal ini disebabkan antara lain
oleh hal-hal sebagai berikut:
a) Untuk dapat menggunakan hak pilih, harus terdaftar dalam DPT,
padahal akurasi DPT sangat lemah.
b) Bentuk dan ukuran surat suara sangan besar (ukuran jumbo) sehingga
ketika membuka dan mencari calon atau partai yang akan dipilih
sangat sulit karena gambar partai dan nama calon kecil. Tingkat
kesulitan semakin bertambah di beberapa daerah karena selain
ukurannya sangat besar lembar surat suara lebih dari satu. Akibatnya
banyak terjadi suara yang tidak sah yang besaranya mencapai kurang
lebih 14,41% atau sekitar 16 juta suara.
c) Pemberian tanda dengan mencontreng atau tanda lain dengan
menggunakan balpoint, karena bentuk surat suara yang besar juga
dapat mengakibatkan tercoretnya bagian lain sehingga tidak sah.
d) Kolom yang disediakan untuk nama calon terlalu kecil sehingga sulit
dicari, apalagi bagi pemilih yang sudah tidak mahir membaca dan
sudah terhambat penglihatanya atau sudah tua.
e) Ketika melipat surat suara juga sering terjadi kesulitan (salah lipat)
untuk dimasukan kedalam kotak suara.
f) Waktu yang dibutuhkan untuk menggunakan hak pilih cukup lama
karena ada empat jenis surat suara dengan ukuran yang terlalu besar
dan lebar.
65
(4) Jumlah peserta Pemilu terlalu banyak
Pemilu tahun 2009 diikuti oleh 38 partai untuk tingkat nasional dan 6 partai
lokal di Aceh sehingga total peserta pemilu legislatif menjadi 44 partai.
Jumlah 38 partai untuk tingkat nasional dinilai terlalu banyak dan tidak
sejalan dengan sistem Pemilu yang digunakan yaitu sistem proporsional
dengan daftar calon terbuka yang mengharuskan suarat suara harus
memuat gambar partai peserta pemilu dan nama calon anggota (caleg).
Banyaknya peserta pemilu inilah yang mengakibatkan ukuran surat suara
menjadi terlalu besar dan menyulitkan. Kalangan ahli dan pakar sering
memperkirakan mestinya dengan sistem proporsioanl terbuka maka jumlah
peserta Pemilu yang ideal berkisar antara 10-16 partai.
(5) Verifikasi peserta Pemilu tidak valid
Jumlah peserta Pemilu ditentukan oleh sejauh mana kualitas dan validitas
proses verifikasi peserta Pemilu. Sesungguhnya dengan ketentuan
persyaratan menjadi peserta Pemilu yang ada sudah cukup berat. Apabila
verifikasi dilakukan dengan benar banyak kalangan yang memperkirakan
peserta Pemilu legislatif tidak lebih dari 10 parpol. Salah satu hal yang
menentukan dalam verifikasi, terutama verifikasi faktual adalah kejelasan
metode verifikasi dan kualitas petugas verifikasi serta jangka waktu yang
cukup. Selama ini, selain karena metode verifikasi yang kurang jelas, biaya,
petugas dan jangka waktu yang tersedia terbatas sehingga proses
verifikasi tidak berjalan optimal.
(6) Jumlah calon anggota legislatif terlalu banyak
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 memperbolehkan
setiap peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR/DPRD
Propinsi/DPRD Kabupaten/Kota sebanyak 120% dari jumlah kursi yang
tersedia pada setiap Dapil. Dengan ketentuan batas jumlah kursi pada
setiap Dapil berkisar antara 3-10 kursi untuk DPR RI dan 3-12 kursi untuk
66
DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota maka dalam satu surat suara akan
terpampang nama calon paling sedikit 152 calon dan paling banyak 532
calon dari 38 partai peserta Pemilu.
Dapat dibayangkan, bagaiamana pemilih dengan mudah mengenal dan
memilah dan pada akhirnya memilih salah seorang calon karena banyaknya
calon yang harus dicermati. Banyaknya jumlah calon ini juga yang
mempengaruhi besarnya ukuran surat suara yang lagi-lagi akan
menyulitkan para pemilih ketika memberikan suara.
(7) Kerumitan logistik
Pemilu tahun 2009 yang diikuti oleh 38 peserta pemilu juga menimbulkan
kerumitan logistik yang tinggi. Pertama, terkait dengan surat suara bagi
2500 Dapil DPR/DPD dan DPRD. Dengan demikian untuk surat suara
terdapat kurang lebih 2500 jenis dan masih ditambah dengan logistik untuk
daftar calon, dan berkas adminitrsasi perhitungan suara dan empat kotak
suara pada masing-masing TPS. Kerumitan juga terjadi terkait pengiriman
(distribusi) logistik karena cakupan wilayah Indonesia yang begitu luas dan
kondisi geografis yang beragam tingkat kesulitannya sehingga pada Pemilu
2009 terjadi berbagai kekacauan logistik.
Kekacauan itu diantaranya banyak logistik khususnya suarat suara yang
tertukar (salah kirim) bahkan beberapa diataranya tetap digunakan karena
tidak cukup waktu untuk mengganti. Kesulitan logistik ini juga yang
mengakibatkan penundaan Pemilu, untuk wilayah Papua sehingga Pemilu
tidak dapat dilaksanakan secara serentak.
(8) Administrasi perhitungan suara rumit
Ketentuan dan tata cara pengisian berita acara hasil perhitungan suara di
TPS dinilai banyak pihak memiliki tingkat kerumitan yang tinggi sehingga
menyulitkan dan melelahkan pelaksana Pemilu khususnya KPPS. Hal ini
67
terjadi karena variabel yang harus dimasukan dalam komponen berita acara
maupun sertifikat surat suara terlalu banyak.
Dalam pelaksanaannya banyak terjadi kekeliruan dan kesalahan pengisian
apalagi jumlah partai peserta Pemilu juga terlau banyak sehingga formulir
berita acara tebal. Kesulitan ini memicu berbagai kesalahan penulisan dan
memasukan variabel, sehingga akhirnya terjadi ketidakauratan pengisian
berita acara dan dapat mendorong terjadinya sengketa perselisihan hasil
Pemilu.
(9) Biaya mahal
Pemilu tahun 2009 membutuhkan anggaran yang sangat besar.
Sebagaimana diketahui pada tahap awal KPU menghitung kebutuhan
Pemilu legisltif sebesar kurang lebih Rp 40 triliun. Namun karena kondisi
keuangan negara yang terbatas, dan perlunya penghematan anggaran
untuk meneyelenggarakan Pemilu tanpa mengorbankan prinsip-prinsip
demokrasi, biaya tersebut dilakukan penghematan besar-besaran.
Mahalnya biaya Pemilu karena berbagai faktor seperti bentuk dan ukuran
suarat suara, jumlah peserta Pemilu, dan banyaknya formulir yang
dibutuhkan. Selain itu juga karena besarnya jumlah TPS dan petugas
pelaksana juga membutuhkan anggaran yang besar untuk honorarium
petugas. Jumlah biaya yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan Pemilu
akan semakin besar jika dihitung dengan pengeluaran yang dikeluarkan
oleh peserta dan para calon, meskipun untuk pos ini tidak berasal dari
anggaran negara.
(10) Kampanye belum mendidik
Pelaksanaan kampanye Pemilu tahun 2009 berbeda dengan Pemilu
sebelumnya. Peserta Pemilu sudah dapat melakukan kampanye setelah
tiga hari ditetapkan sebagai peserta Pemilu. Selain itu kampanye banyak
68
dilakukan oleh caleg sebagai akibat sistem penentuan calon terpilih
berdasarkan suara terbanyak.
Namun berbagai kalangan menilai muatan dan substansi materi kampanye
belum mengarah pada mencerdaskan pemilih karena masih
mengandalakan pengerahan massa yang serintg juga menelan korban. Dari
segi akuntabilitas dana kampanye juga masih lemah. Sistem administrasi
dan pelaporan dana kampanye masih lemah sehingga setiap Pemilu sering
muncul dugaan penggunaan dana yang tidak sah untuk kepentingan
kampanye, namun sulit dibuktikan.
(11) Potensi sengketa Pemilu tinggi
Pelaksanaan Pemilu yang baik dan memenuhi asas-asas Pemilu yaitu
Luber dan Jurdil menjadi idaman semua pihak. Jika hal itu tercapai maka
kredibilitas dan integritas Pemilu dapat ditegakkan. Namun sejauh ini,
termasuk Pemilu 2009 masih menimbulkan berbagai kelemahan yang
mengundang ketidakpuasan dan peserta Pemilu tidak sepenuhnya
menerima hasil Pemilu.
Hal ini tampak dari banyaknya sengketa hasil Pemilu tahun 2009 yang
masuk ke Mahkamah Konstitusi. Pokok materi sengketa juga meluas, tidak
semata-mata hasil perhitungan namun juga memasuki materi lain seperti
praktek politik uang (money politics) dan penetapan kursi caleg terpilih.
Pemilu 2009 juga tercatat sebagai Pemilu yang sengketa Pemilu
berkepanjangan bahkan untuk satu materi sengketa diajukan ke Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi terkait penentuan hasil perolehan kursi
dengan putusan yang berbeda.
(12) Tingkat partisipasi pemilih tidak optimal
Jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya (votting-turn-out) dalam
Pemilu legislatif 2009 mengalami penurunan dibanding Pemilu tahun 2004.
Pada Pemilu tahun 2004 partisipasi pemilih mencapai 87%, sedangkan
69
pada Pemilu 2009 turun menjadi 70%. Dengan demikian 30% warga negara
yang berhak memilih tidak menggunakan hak pilihnya dan jika mengacu
pada pemilih terdaftar yang jumlahnya mencapai kurang lebih 170 juta
maka berarti terdapat kurang lebih 57 juta pemilih yang tidak menggunakan
haknya.
D. KELEMAHAN DARI ASPEK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga
kekuasaan kehakiman tersebut memiliki 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu)
kewajiban konstitusional. Pasal 24C ayat (1) UUD menyebut secara eksplisit
mengenai empat kewenangan tersebut, yaitu: (1) menguji undang-undang
terhadap UUD; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD; (3) memutus pembubaran partai politik;
dan (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sedangkan 1 (satu) kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 24C ayat (2) UUD
yang berbunyi sebagai berikut: “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan
atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang dasar.”
Semenjak didirikan pada tanggal 13 Agustus 2003, MK telah menangani 3 (tiga)
kewenangan konstitusionalnya, yaitu; (1) menguji undang-undang terhadap
UUD; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara; dan (3) memutus
perselisihan hasil Pemilu.
MK sejak 2003 sampai dengan 2009 telah melaksanakan persidangan dari 404
perkara yang masuk dalam registrasi perkara. Di antara 404 perkara tersebut,
terdapat 247 perkara pengujian UU, 11 perkara sengketa kewenangan lembaga
Negara, 116 perkara PHPU legislatif dan Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden, dan 30 perkara lainnya terkait sengketa Pemilu Kepala Daerah.
70
Dalam konteks pengujian undang-undang terhadap UUD, undang-undang yang
telah diuji sejak 2003 hingga 31 Desember 2009 adalah sebanyak 108 UU. Jika
dilihat dari frekuensi undang-undang yang diuji maka data menunjukkan bahwa
UU Nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD
merupakan UU yang paling banyak diuji yakni sebanyak 22 kali. Untuk lebih
lengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
No. Registrasi Gugatan Pemilu Pokok Masalah
1. Nomor 15/PUU-VIII/2010 “Alokasi Dapil Kota Tangerang Selatan”
2. Nomor 132/PUU-VII/2009 “Definisi Keuangan Negara”
3. Nomor 131/PUU-VII/2009 “Ketidakpastian hukum norma-norma
UU Pemilu Legislatif”
4. Nomor 130/PUU-VII/2009 “Tata cara penetapan kursi DPRD
Provinsi”
5. Nomor 119/PUU-VII/2009 “Tenggang waktu pelaporan
pelanggaran Pemilu”
6. Nomor 114/PUU-VII/2009 “Pembatasan pengajuan permohonan
Pemilu 3 x 24 jam”
7. Nomor 113/PUU-VII/2009 “Pembagian kursi tahap kedua”
8. Nomor 112/PUU-VII/2009 “Pembagian kursi tahap kedua”
9. Nomor 111/PUU-VII/2009 “Pembagian kursi tahap kedua”
10. Nomor 110/PUU-VII/2009 “Pembagian kursi tahap kedua”
11. Nomor 107/PUU-VII/2009 “Suara rakyat yang tidak terwakili tidak
boleh terbuang”
12. Nomor 105/PUU-VII/2009 “Perolehan kursi partai politik”
13. Nomor 100/PUU-VII/2009 “Tenggang waktu pelaporan
71
pelanggaran pemilu”
14. Nomor 9/PUU-VII/2009 “Hasil survei pemilu”
15. Nomor 4/PUU-VI/2008 “Diskriminasi hak terpidana terhadap
hak dipilih dalam pemilu legislative”
16. Nomor 3/PUU-VII/2009 “Parliamentary Threshold”
17. Nomor 32/PUU-VI/2008 “Iklan kampanye dalam pemilu”
18. Nomor 22/PUU-VI/2008 “Keterwakilan caleg perempuan dan
syarat perolehan suara caleg terpilih”
19. Nomor 32/PUU-VI/2008 “Iklan kampanye dalam Pemilu”
20. Nomor 22/PUU-VI/2008 “Keterwakilan caleg perempuan dan
syarat perolehan suara caleg terpilih”
21. Nomor 12/PUU-VI/2008 “Persyaran mengikuti Pemilu tahun
2009”
22. Nomor 10/PUU-VI/2008 “Pemilihan Anggota DPD”
Terkait dengan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD yang dinyatakan dapat
diterima oleh Mahkamah Konstiusi dapat dipetakan sebagai berikut: