1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Era globalisasi menuntut banyak perhatian serta tenaga untuk berproduksi, sehingga anak-anak yang sibuk bekerja dan mempunyai orang tua lanjut usia tidak punya waktu cukup untuk mengurusi orang tuanya. Sehingga menitipkan orang tua mereka di Panti Jompo yang dianggap bisa memenuhi kebutuhan orang tuanya. Lansia yang tinggal di Panti Jompo mempunyai lingkungan yang berbeda dengan lansia yang tinggal di rumah sendiri atau tinggal dengan keluarga. Sikap masyarakat atau lingkungan terhadap lansia banyak mempengaruhi harga diri mereka. (http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/lansia/ ) akses tgl 15 Januari 2010 Secara garis besar orang dianggap lanjut usia atau lansia setelah berusia sekitar 60 atau 65 tahun. Usia memang ditandai oleh suatu proses yang sangat nampak dan bisa dilihat dengan jelas sekali. Secara fisik adalah yang paling kelihatan, akan ada perubahan-perubahan yang menandakan menuanya seseorang. Di Panti Jompo Wredha Hanna pengurus menerima lanjut usia dengan usia 55 tahun keatas, dengan syarat kondisi fisik yang baik, tidak dalam kondisi sakit berat (Jantung dll). Namun pada kenyataannya, banyak lansia yang tinggal di Panti Jompo
26
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGthesis.umy.ac.id/datapublik/t11474.pdf · menumbuhkan keyakinan bahwa dirinya berharga bagi orang lain. ... tanpa dengan cara paksaan baik itu fisik,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Era globalisasi menuntut banyak perhatian serta tenaga untuk
berproduksi, sehingga anak-anak yang sibuk bekerja dan mempunyai
orang tua lanjut usia tidak punya waktu cukup untuk mengurusi orang
tuanya. Sehingga menitipkan orang tua mereka di Panti Jompo yang
dianggap bisa memenuhi kebutuhan orang tuanya. Lansia yang tinggal di
Panti Jompo mempunyai lingkungan yang berbeda dengan lansia yang
tinggal di rumah sendiri atau tinggal dengan keluarga. Sikap masyarakat
atau lingkungan terhadap lansia banyak mempengaruhi harga diri mereka.
(http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/lansia/) akses tgl 15 Januari
2010
Secara garis besar orang dianggap lanjut usia atau lansia setelah
berusia sekitar 60 atau 65 tahun. Usia memang ditandai oleh suatu proses
yang sangat nampak dan bisa dilihat dengan jelas sekali. Secara fisik
adalah yang paling kelihatan, akan ada perubahan-perubahan yang
menandakan menuanya seseorang. Di Panti Jompo Wredha Hanna
pengurus menerima lanjut usia dengan usia 55 tahun keatas, dengan syarat
kondisi fisik yang baik, tidak dalam kondisi sakit berat (Jantung dll).
Namun pada kenyataannya, banyak lansia yang tinggal di Panti Jompo
2
memiliki penyakit seperti jantung, diabetes, asam urat dll. Usia termuda
adalah 55 tahun dan usia tertua 105 tahun. (Wawancara dengan Pak Budi,
Bagian Administrasi tanggal 19 Juli 2010). Keseluruhan lanjut usia
tersebut memiliki latar belakang masing-masing ketika masuk ke Panti
Jompo Wredha Hanna.
Di Indonesia, pemerintah dan lembaga-lembaga pengelola lansia,
memberi patokan bahwa mereka yang disebut lansia adalah yang telah
mencapai usia 60 tahun yang dinyatakan dengan pemberian KTP seumur
hidup. Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih baik secara fisik masih
berkemampuan (potensial) maupun karena permasalahannya dan tidak
mampu berperan secara kontributif dalam pembangunan. (Depsos RI
tahun 1997 dan UU RI No. 13 Tahun 1998). Namun di negara maju diberi
patokan yang lebih spesifik: 65 - 75 tahun disebut old, 76 - 90 tahun
disebut old -- old dan 90 tahun ke atas disebut very old.
Secara psikologis lanjut usia adalah fase usia yang memiliki
kebutuhan dan karakteristik tersendiri yang unik berbeda dengan fase-fase
perkembangan sebelumnya. Secara umum adalah seperti itu, secara
indvidual pun mereka memiliki keunikan artinya sekalipun mereka sama-
sama lansia tapi mereka pasti memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh
karena itu seorang perawat lansia selain harus paham mengenai
karakterisitik serta tugas perkembangan dan kebutuhan lansia secara
umum juga perlu melakukan kajian secara individual dari lansianya.
3
Pada pengertiannya, Panti Jompo merupakan tempat berkumpulnya
orang-orang lanjut usia yang secara sukarela ataupun diserahkan oleh
pihak keluarga untuk diurus segala keperluannya, tempat seperti ini ada
yang dikelola oleh pemerintah maupun pihak swasta. Hal ini merupakan
kewajiban negara untuk menjaga dan memelihara satiap warga negaranya.
Sebagaimana tercantum dalam UU No. 12 Tahun. 1996 (Direktorat
Jenderal, Departemen Hukum dan HAM).
(www.cybertokoh.com/bacaan/wanita/PantiJompo) akses tanggal 15
Januari 2010
Pemerintah telah membentuk suatu wadah untuk mengatasi
masalah yang terjadi pada lansia yaitu Panti Wredha atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Panti Jompo. Pada awalnya Panti Jompo
diperuntukan bagi lansia yang terlantar atau dalam keadaan ekonomi
keluarga yang serba kekurangan namun seiring dengan meningkatnya
kebutuhan akan perawatan bagi lansia maka kini berkembang Panti-Panti
berbasis swasta yang umumnya untuk lansia dengan keadaan ekonomi
berkecukupan.
Salah satu Panti Jompo yang ada di Yogyakarta adalah Panti
Wredha Hanna. Lokasinya cukup mudah dijangkau dan tidak sulit dicari.
Biaya tinggal dan perawatan di Panti Jompo Werda Hanna terbilang cukup
murah dibanding dengan Panti Jompo lain yang ada di Yogyakarta seperti
Panti Jompo Abiyoso dan Panti Jompo Budi Dharma Yogyakarta yang
terbilang cukup mewah. Di Wredha Hanna harga per kamar berkisar antara
4
400 ribu sampai 1 juta rupiah. Jumlah penghuni Panti Jompo Werda
Hanna sebanyak 38 orang dan mereka di rawat oleh 9 orang perawat yang
bertugas secara bergantian (shift). Di Panti Jompo Wredha Hanna ada hal
yang membuatnya berbeda diantara Panti Jompo lainnya yaitu seluruh
penghuninya berjenis kelamin perempuan, tidak campur seperti Panti
Jompo lainnya. Seperti yang diungkapkan oleh pimpinan Panti:
Pada mulanya Panti wreda didirikan, sama seperti Panti Jompo yang lain, yaitu penghuni lansianya pria dan wanita, namun seiring berjalannya waktu seringnya malah ada kesalahpahaman dan merasa adanya ketidakcocokan oleh karena itu pengurus yayasan membuat kebijakan agar Panti Wredha Hanna dibuat khusus lansia wanita saja. (Wawancara dengan Pimpinan Panti tanggal 28 April 2010)
Karena keberadaan lansia di Panti Jompo dengan berbagai karakter
serta memiliki berbagai ragam problematika maka dipandang perlu untuk
memberikan suatu penanganan khusus sesuai kelebihan serta kekurangan
yang mereka miliki. Di Panti Wreda Hanna selain mendapatkan pelayanan
berupa pemenuhan kebutuhan dasar juga memberikan fungsi positif
lainnya, yaitu program-program pelayanan sosial yang bisa memberikan
kesibukan kepada mereka sebagai pengisi waktu luang. Diantaranya
penyaluran bakat dan hobby, terapi kelompok, senam dan banyak kegiatan
lainnya. Namun, dari sekian banyak kegiatan positif yang diberikan pihak
Panti, dapat dipastikan bahwa tidak semua lansia ikut dalam kegiatan
tersebut.
5
Banyak perubahan yang terjadi pada diri, kebiasaan dan perilaku
lansia. Contoh yang paling kecil adalah lansia yang sulit diatur ketika
makan, sulit tidur, suka teriak-teriak. Ada pula Perubahan selanjutnya
adalah dalam hal minat dan ketertarikan terhadap sesuatu. Hurlock dalam
bukunya Psikologi Perkembangan menjelaskan bahwa hal ini penting
untuk diketahui, karena bagaimanapun juga penyesuaian pada usia lanjut
sangat dipengaruhi oleh perubahan minat dan keinginan yang dilakukan
secara sukarela atau terpaksa. Minat tertentu dianggap sebagai keinginan
orang lanjut usia seperti minat pada diri sendiri, minat berekreasi,
keinginan sosial dan minat untuk mati. (Hurlock 2004:393). Menurut
pengakuan yang pernah diungkapkan oleh salah satu lansia yaitu Mbah
Sah kepada penulis ketika wawancara beliau mengatakan:
Kulo niki sampun sepuh mbak, mboten wonten keluarga sing njenguk kulo, bojo kulo sampun mati, kulo mboten gadhah lare, nek kulo mikir, yo nggo opo kulo niki urip, sajake arep nyusul mati bojo kulo wae.
Saya ini sudah tua mbak, nggak ada keluarga yang menjenguk saya lagi, suami saya sudah meninggal, saya nggak punya anak, kalau saya pikir, ya buat apa saya ini hidup, saya ingin menyusul suami saya mati saja. (wawancara dengan Mbah Sah, salah satu penghuni Panti Wredha Yogyakarta, tgl 12 Maret 2009).
Pengakuan beliau menunjukkan bahwa beliau berkeinginan untuk
mengakhiri hidup saja, karena merasa tidak memiliki keluarga lagi dan
beliau terkesan tidak memiliki gairah hidup lagi. Hurlock (2004:402)
menambahkan bahwa semakin lanjut usia seseorang, biasanya mereka
menjadi semakin kurang tertarik terhadap kehidupan dan lebih
mementingkan tentang kematian itu sendiri serta kematian dirinya. Hal
6
tersebut juga diperkuat oleh Pimpinan Panti seperti wawancara dibawah
ini:
Ada oma yang mempunyai latar belakang masa lalu tidak menyenangkan sehingga hampir setiap hari ngomongnya cuma pengen mati aja, selain itu ada juga oma yang dipojokan (sambil menunjuk ke arah kamar salah satu lansia) sering teriak-teriak sambil memaki-maki anaknya padahal anaknya tidak ada disitu, ada juga oma yang kalo tidak diawasi selalu keluar Panti ingin kabur, saya tekankan agar mbak-mbak perawat harus mengawasi oma-oma yang memiliki sikap dan kebiasaan seperti ini, karena hal seperti ini bisa menyebabkan sikap-sikap yang merugikan contohnya bunuh diri dan kabur (Wawancara dengan Ibu Kristin tanggal 28 April 2010)
Sisi emosi lansia seringkali mereka memiliki perasaan tidak
berguna, tidak mampu mengerjakan sesuatu, perasaan tidak berharga,
tidak bermanfaat, tidak dihargai, perasaan terasing, kesepian, tidak
diperhatikan baik itu oleh keluarga maupun lingkungan lansia berada dll.
Ada banyak lansia di Panti Jompo Wredha Hanna yang mengalami hal
tersebut. Ketika peneliti mencoba berbicara kepada beberapa lansia dan
menanyakan, hasilnya hampir semua sama yaitu merasa tidak berguna
lagi, merasa sendiri dihari tuanya, dan merasa tidak disayangi oleh
keluarganya. Perasaan tersebut timbul karena merasa rendah diri yang
datang seiring dengan perubahan fisik dan usia. Sehingga hal tersebut
mendorong lansia menjadi merasa tidak enak dan rendah mutunya yang
berujung pada kehilangan motivasi untuk hidup maupun untuk
mengerjakan sesuatu. (Hurlock, 2004:407).
Ada pula kasus yang sering dialami lansia di Panti Jompo ini,
menurut pengasuhnya, Mbak Murti, Oma yang diasuhnya yaitu Oma Rina.
7
Oma Rina selalu ingin mengakhiri hidup. Tak hanya sekali beliau
mencoba bunuh diri tapi sudah berkali-kali, namun selalu gagal. Beliau
merasa hidup sudah tidak ada artinya lagi bila tidak berguna bagi orang
lain. Ditambah lagi beliau menderita penyakit asam urat dan diabetes,
sehingga keinginan untuk hidup tidak ada lagi. Selama ini yang menjadi
penguat beliau hingga saat ini adalah anaknya yang belum menikah, beliau
ingin menikahkan putra bungsunya dan pasrah jika dipanggil Tuhan
setelah itu. Perawat dan teman-temannya sesama penghuni Panti juga
sering memberikan motivasi kepada beliau agar beliau tidak dalam
kesedihan.
Lansia dengan sikap diri negatif akan merasa apa yang
dilakukannya selalu salah dan biasanya mudah menyerah. Beberapa cara
yang dapat dilakukan perawat dalam menangani lansia dengan rasa kurang
percaya diri dan sikap diri negatif, salah satunya adalah lansia harus
menerima diri apa adanya. Lansia rendah diri memerlukan pemahaman
orang-orang disekitarnya. Pembentukan rasa percaya diri yang rendah ini
akan memang sangat dipengaruhi oleh orang-orang disekitarnya. Untuk
menumbuhkan sikap diri positif pada lansia, perawat memberikan
perhatian dan kasih sayang sebagai pengganti keluarga. Dengan begitu
menumbuhkan keyakinan bahwa dirinya berharga bagi orang lain.
Menciptakan kehidupan Panti bagi lansia yang memungkinkan
para lansia hidup dengan tenang, merasa berharga, dihargai hak-hak dan
derajatnya serta terpenuhi segala kebutuhannya baik fisik, psikis, maupun
8
sosial tidak pernah terlepas dari peranan dan intervensi seorang perawat
profesional yang paham betul akan peran dan fungsinya dalam Panti.
Karena lansia memiliki keterbatasan dalam pola komunikasi dan pola
pikirnya sehingga sering bersikap negatif terhadap dirinya sendiri maka
perawat dituntut memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik kepada
lansia. Untuk itu perawat menerapkan komunikasi persuasif dalam
membangun sikap positif dalam diri lansia. Dalam melakukan komunikasi
persuasif tujuan utamanya adalah mempengaruhi agar lansia dapat
mendengarkan dan menjalankan apa yang disampaikan oleh perawat
dengan baik, hal tersebut disampaikan melalui komunikasi verbal, selain
itu perawat juga melakukan komunikasi nonverbal untuk meyakinkan
lansia. Di dalam melakukan pekerjaannya merawat lansia, mempersuasi
lansia dianggap tidak mudah, lansia yang berlatar belakang seperti contoh
diatas memiliki sikap negatif yang tidak sekali dilakukan namun berkali-
kali. Untuk itu komunikasi persuasif dilakukan oleh perawat untuk
membangun sikap positif pada diri lansia, meskipun sikap negatif tersebut
sering dilakukan lagi namun perawat selalu berusaha secara perlahan-
lahan agar perbuatan tersebut tidak diulangi lagi.
Perawat adalah peran pengganti keluarga lansia di Panti wreda,
meskipun yang paling utama adalah keluarganya sendiri. Komunikasi
persuasif yang dilakukan oleh perawat adalah untuk membangun sikap
positif lansia untuk dirinya sendiri dan untuk lingkungannya. Komunikasi
pada lansia membutuhkan perhatian khusus. Perawat harus waspada
9
terhadap perubahan fisik, psikologi, emosi, dan sosial yang mempengaruhi
pola komunikasi. Proses komunikasi persuasif perawat dengan lansia pada
dasarnya adalah mengajari, menumbuhkan, bahkan mempengaruhi lansia
untuk menjadi lansia yang memiliki sikap diri positif. Memberi dukungan
dengan sentuhan sebagai wujud perhatian perawat pada lansia. Memberi
semangat lansia dalam melakukan hal yang positif.
Melihat pentingnya proses komunikasi antara perawat dengan
lansia dalam membangun sikap positif lansia maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul: Komunikasi Persuasif Perawat
Dengan Lansia Dalam Membangun Sikap Positif Lansia Di Panti Jompo
Wredha Hanna Yogyakarta.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka penting dilakukan
penelitian dalam hal komunikasi persuasif perawat dalam membangun
sikap positif lansia. Sehingga dapat dirumuskan sebuah masalah:
Bagaimana komunikasi persuasif perawat dalam membangun sikap positif
lansia di Panti Wreda Hanna Yogyakarta?
C. TUJUAN PENELITIAN
Peneliti memiliki tujuan yaitu menggambarkan komunikasi
persuasif perawat dalam membangun sikap positif lansia di Panti Wreda
Hanna Yogyakarta.
10
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan baik bagi segi teoritis maupun segi praktis.
1. Secara teoritis
Memberikan kontribusi teoritis yang konstruktif bagi
pengembangan ilmu komunikasi mengenai komunikasi interpersonal
perawat dengan lansia di Panti Jompo.
2. Secara praktis
2.1 Bagi Panti Jompo Wredha Hanna Yogyakarta, dapat digunakan
sebagai masukan dalam membangun sikap positif pada lansia.
2.2 Bagi perawat, dapat semakin meningkatkan kemampuan
komunikasi persuasif perawat dalam membangun sikap positif,
sehingga permasalahan-permasalahan di Panti Jompo Wreda
Hanna bisa diatasi.
E. KERANGKA TEORI
1. Komunikasi Persuasif
Komunikasi persuasif menurut Dedy Iriantara adalah komunikasi
yang bersifat mempengaruhi tindakan, perilaku, pikiran dan pendapat
tanpa dengan cara paksaan baik itu fisik, atau non fisik. Menurutnya dalam
melakukan komunikasi persuasif, argumen komunikator haruslah argumen
yang masuk akal atau rasional, sehingga dapat meyakinkan lawan
bicaranya atau komunikan, sehingga komunikan akhirnya mau berperilaku
seperti yang diinginkan komunikator (Jamaluddin, 1997: 243). Hal yang
11
perlu diperhatikan dalam berkomunikasi persuasif adalah karakteristik dari
komunikator. Karena ketika komunikator berkomunikasi, yang
berpengaruh bukan hanya yang dikatakannya, tetapi keadaan komunikator
itu sendiri. Komunikator tidak dapat merubah sikap komunikan hanya
dengan yang dikatakannya.
Senada dengan yang dikatakan oleh Iriantara, Komunikasi
persuasif menurut Burgon & Huffner (2002) dapat didefenisikan sebagai
berikut:
Proses komunikasi yang mengajak atau membujuk orang lain dengan tujuan mengubah sikap, keyakinan dan pendapat sesuai keinginan komunikator. Pada definisi ini ‘ajakan’ atau ‘bujukan’ adalah tanpa unsur ancaman/ paksaan.
Bila kita merujuk kepada definisi komunikasi persuasi tersebut
maka komunikasi persuasi tentunya tanpa aspek agresi. Oleh karena itu,
komunikasi persuasi diatas termasuk dalam pola komunikasi yang asertif
(Ghojali: 2010).
Soemirat (2007:26) mendefinisikan komunikasi persuasif adalah
sebagai suatu proses, yakni proses mempengaruhi sikap, pendapat dan
perilaku orang lain, baik secara verbal maupun nonverbal. Proses itu
sendiri adalah setiap gejala atau fenomena yang menunjukkan suatu
perubahan yang terus-menerus dalam konteks waktu, setiap pelaksanaan
atau perlakuan secara terus-menerus.
12
Dari beberapa definisi komunikasi yang dikemukakan oleh para
ahli, tampak bahwa persuasi merupakan proses komunikasi yang bertujuan
untuk mempengaruhi sikap, pendapat dan perilaku seseorang, baik secara
verbal maupun nonverbal. Komunikasi yang lancar mungkin dpt membuat
lansia bisa diajak berfikir positif.
Tujuan komunikasi itu sendiri merubah sikap (attitude) dan
perilaku (behavior). Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi,
berfikir dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai
(Jamaluddin, 1997: 40). Sedangkan tingkah laku adalah fungsi dari pada
sikap. Sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir dan
merupakan proses belajar. Oleh karena itu sikap dapat diperteguh atau
dirubah. Pembentukan sikap dan perubahan sikap tidak terjadi dengan
sendirinya. Sikap terbentuk melalui hubungan antar individu, kelompol,
melalui surat kabar dll. Lingkungan yang terdekat dengan kehidupan
sehari-hari banyak memiliki peranan.
2. Elemen yang mendukung komunikasi persuasif
2.1 Kredibilitas komunikator
Hovland, Janis dan Kelly (1953) menyebutkan bahwa komponen-
komponen kredibilitas terdiri dari 2 hal yang paling penting, yaitu keahlian
dan kepercayaan. Keahlian adalah kesan yang dibentuk komunikan dengan
topik yang dibicarakan. Komunikator yang dinilai tinggi dianggap sebagai
cerdas, mampu, ahli dan berpengalaman. Kepercayaan adalah kesan
13
komunikan tentang komunikator yang berkaitan dengan wataknya, apakah
komunikator dinilai jujur, tulus, bermoral, adil, etis atau bahkan
sebaliknya (Soemirat, 1998: 42)
Rakhmat (1986:257) mendefinisikan kredibilitas sebagai
seperangkat persepsi komunikan tentang sifat-sifat komunikator. Menurut
Rakhmat, dalam konsep kredibilitas, paling tidak tercakup dua hal, yakni
pertama kredibilitas merupakan persepsi komunikan, jadi tidak inheren
dalam diri komunikan; kedua, kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat
komunikator.
Kredibilitas berkaitan dengan persepsi penerima tentang diri
sumber. Oleh karena itu, karakteristik dari kredibilitas sangat kompleks,
tidak saja menyangkut aspek usia, jenis kelamin dan sosioekonomi, tetapi
juga berkaitan dengan posisi, pengetahuan tentang topik yang dibicarakan,
kesungguhannya, dan lain-lain. Jadi, dalam konsep kredibilitas, terkait
aspek berbagai harapan penerima tentang masa lalu, masa kini, dan masa
yang akan datang pembicara (persuader). Singkatnya, seperti yang
dikatakan Rakhmat (1986) bahwa kredibilitas merupakan masalah persepsi
maka ia berubah-ubah tergantung pada pelaku persepsi, yakni
penerima/persuader, topik yang dibicarakan, dan situasi.
Karena kredibilitas itu masalah persepsi, jadi kredibilitas dapat
berubah-ubah tergantung pada pelaku persepsi atau komunikan, topik yang
dibahas dan situasi pada penyampaian pesan. Selain itu, dalam kredibilitas
dibutuhkan juga kesamaan. Roger berkata orang mudah berempati dan
14
merasakan perasaan orang lain yang dipandangnya sama dengan mereka
(Jalaluddin, 1984: 262) persamaan itu berupa kepercayaan, sikap, maksud
dan nilai-nilai sehubungan dengan suatu persoalan. Karena kredibilitas
tersebut dapat menjadi salah satu poin penting dapat sampainya pesan
persuasif dari komunikator ke komunikan. Semakin komunikator memiliki
kredibilitas yang baik maka akan lebih mudah merubah sikap komunikan
sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
2.2 Pesan Verbal dan Non verbal Dalam Komunikasi Persuasif
Menurut Blake dan Haroldsen (1979) pesan merupakan simbol
yang diarahkan secara selektif yang diperuntukkan dalam
mengkomunikasikan informasi. Dalam proses komunikasi, pesan yang
disampaikan dapat berupa verbal dapat pula nonverbal. Dapat disengaja
(intentional), dapat pula tak disengaja (unintentional). Pesan verbal
merupakan salah satu faktor yang paling menentukan dalam keberhasilan
komunikasi persuasif. Di dalamnya terdapat aspek rangsangan wicara dan
penggunaan kata-kata. Tidak setiap rangsangan wicara dapat diterima
langsung oleh sasaran, paling tidak hal ini tergantung pada sistem
penginderaan, persepsi, perhatian, memori, dan berpikir. Sedangkan pesan
nonverbal terdiri atas body notion or kinesics behavior, paralanguage,
proxemics, olfaction, skin sensitivity to touch and temperatur, dan use the
artifacts. Suatu pesan dikatakan efektif bila makna pesan yang dikirim
15
persuader berkaitan erat dengan makna pesan yang diterima atau ditangkap
serta dipahami oleh sasaran (Soemirat: 1998).
Menurut Jeany Ivones (2009:89) gaya komunikasi yang
dipergunakan perawat untuk lansia dalam mempersuasi memerlukan hal-
hal dibawah ini:
a. Bahasa Verbal, secara formal digunakan untuk menunjukkan
maksud dan tujuan tertentu. secara informal untuk bersosialisasi.
Komunikasi efektif harus diawali dengan bahasa verbal yang tepat,
seperti memanggil nama. Adapun teknik dalam bahasa verbal
yaitu:
Berhadapan langsung (confronting). Ketika respon verbal dan non
verbal pada lansia tidak sama, teknik ini dapat dilakukan. Tidak
dianjurkan pada klien lansia yang sedang gelisah atau bingung.
Bertanya, Bertanya langsung: membantu untuk mendapat
informasi spesifik. Jika berlebihan dapat menyebabkan lansia