Top Banner
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana pertama kali diberlakukan di Indonesia dengan asas konkordasi pada jaman Hindia Belanda. Pada saat itu kitab undang undang yang dipergunakan adalah Wetboek van Strafrecht Stalblad 1915 No 732. Setelah itu sejak tanggal 8 Maret 1942, dimana ada peralihan kekuasaan dari pemerintah Hindia Belanda kepada Jepang di Indonesia, Wetboek van Strafrecht Stalbad tidak lagi dipergunakan. Pada jaman Jepang kitab undang- undang hukum pidana yang digunakan adalah Gunzei Keizi Rei. Gunzei Keizi Rei hanya selama 3 tahun karena sejak tanggal 17 Agustus 1945 melalui Perpres No 2 Tahun 1945, Indonesia memberlakukan hukum pidana gabungan antara Wetboek van Strafrecht Stalblad dan Gunzei Keizi Rei, dalam Perpres No 2 Tahun 1945 ini kemudian digantikan dengan UU No 1 Tahun 1946, yang memberlakukan hukum pidana berdasarkan Wetboek van Stafrecht Stalblad Belanda saja. 1 Banyak alasan mengapa perlu adanya pembaharuan hukum pidana karena pada perkembangannya KUHP dipandang tidak mampu menampung berbagai masalah dan dimensi perkembangan bentuk bentuk tindak pidana baru yang hidup di zaman saat ini. Selain itu KUHP dianggap kurang sesuai dengan 1 Aditya Satya Lambang B, Magister Thesis, Kebijakan Tindak Pidana Penghinaan Terhadap Presiden, Semarang, Unversitas Dipenegoro, 2008, hal 13.
16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46131/2/BAB I.pdf · dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk

Dec 02, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46131/2/BAB I.pdf · dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum pidana pertama kali diberlakukan di Indonesia dengan asas

konkordasi pada jaman Hindia Belanda. Pada saat itu kitab undang – undang

yang dipergunakan adalah Wetboek van Strafrecht Stalblad 1915 No 732.

Setelah itu sejak tanggal 8 Maret 1942, dimana ada peralihan kekuasaan dari

pemerintah Hindia Belanda kepada Jepang di Indonesia, Wetboek van

Strafrecht Stalbad tidak lagi dipergunakan. Pada jaman Jepang kitab undang-

undang hukum pidana yang digunakan adalah Gunzei Keizi Rei. Gunzei Keizi

Rei hanya selama 3 tahun karena sejak tanggal 17 Agustus 1945 melalui

Perpres No 2 Tahun 1945, Indonesia memberlakukan hukum pidana gabungan

antara Wetboek van Strafrecht Stalblad dan Gunzei Keizi Rei, dalam Perpres

No 2 Tahun 1945 ini kemudian digantikan dengan UU No 1 Tahun 1946, yang

memberlakukan hukum pidana berdasarkan Wetboek van Stafrecht Stalblad

Belanda saja.1

Banyak alasan mengapa perlu adanya pembaharuan hukum pidana karena

pada perkembangannya KUHP dipandang tidak mampu menampung berbagai

masalah dan dimensi perkembangan bentuk – bentuk tindak pidana baru yang

hidup di zaman saat ini. Selain itu KUHP dianggap kurang sesuai dengan

1 Aditya Satya Lambang B, Magister Thesis, Kebijakan Tindak Pidana Penghinaan Terhadap

Presiden, Semarang, Unversitas Dipenegoro, 2008, hal 13.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46131/2/BAB I.pdf · dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk

2

perkembangan pemikiran atau ide dan aspirasi tuntutan atau kebutuhan

masyarakat baik nasional maupun internasional. Namun upaya untuk

melakukan pembaharuan hukum pidana pada saat ini masih terbatas dan

terkesan tambal sulam. Seperti diketahui bahwasaannya KUHP seringkali

dipreteli dimana banyak pasal yang ditambahkan dalam KUHP maupun yang

di cabut dari KUHP tanpa memperhatikan KUHP sebagai satu kesatuan sistem

hukum pidana yang utuh.2

Salah satu bentuk konkrit dari upaya pembaharuan hukum pidana adalah

pencabutan pasal 134, 136Bis dan pasal 137 yang diajukan oleh Eggy Sudjana,

perihal Eggi Sudjana dianggap telah menghina Susilo Bambang Yudhoyono

(SBY) karena ia mengklarifikasi kepada ketua KPK mengenai rumor

pemberian mobil mewah oleh salah satu pengusaha kepada beberapa anggota

lembaga kepresidenan dan kepada Presiden sendiri. Dalam perkara tersebut,

Eggi Sudjana telah mengajukan permohonan maaf dan permohonan maaf itu

pun sudah dikabulkan oleh Presiden, namun perkara tersebut tetap mengalami

kriminalisasi padahal Eggi Sudjana sendiri bukanlah pembuat rumor tersebut.

Yang ingin ia lakukan adalah mengklarifikasi rumor sebagai wujud dari kontrol

rakyat terhadap jalannya pemerintahan. Presiden pun menyatakan ia menerima

situasi yang ada karena hal itu merupakan dampak dari demokrasi di Indonesia.

Perkara Eggi Sudjana menunjukkan bahwa ketentuan penghinaan Presiden dan

Wakil Presiden masih diterapkan secara kaku, tanpa memandang latar

2 Ibid

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46131/2/BAB I.pdf · dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk

3

belakang suatu perbuatan dilakukan oleh pelaku. Sehingga Eggi Sudjana

mengajukan judicial review terhadap pasal-pasal sebagai berikut :

pasal 134 yang berbunyi : “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden

dan Wakil Presiden dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam

tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500”; kemudian pencabutan

pada pasal 136Bis yang berbunyi : “Perkataan penghinaan dengan sengaja

dalam Pasal 134 mengandung juga perbuatan yang diterangkan dalam Pasal

315, jika iutu dilakukan kalau yang dihinakan tak hadir, yaitu baik di muka

umum dengan beberapa perbuatan, maupun tidak di muka umum, tetapi

dihadapan lebih dari empat orang atau dihadapan orang lain, yang hadir

dengan tidak kemauannya dan yang merasa tersentuh hatinya, akan itu,

dengan perbuatan-perbuatan, atau dengan lisan atau dengan tulisan”; dan

pasal 137 KUHP yang berbunyi : “Barangsiapa menyiarkan,

mempertontonkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang isinya

menghina Presiden atau Wakil Presiden dengan niat supaya isinya yang

menghina itu diketahui oleh orang banyak atau diketahui oleh orang banyak,

dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda

sebanyak-banyaknya Rp. 4.500”; (2) “Jika Si Tersalah melakukan kejahatan

itu dalam jabatannya dan pada waktu melakukan kejahatan itu belum lagi lalu

dua tahun sesudah tetap hukumannya yang dahulu sebab kejahatan yang

serupa itu juga, maka ia dapat dipecat dari jabatannya. (KUHP 35, 144, 208,

310 , 315, 483, 488)”;

Pasal-pasal tesebut tentang penghinaan terhadap Presiden , diabut oleh

Mahkamah Konstitusi pada 6 Desember 2006, dengan putusan Mahkamah

Konstitusi (MK) Nomor 013-022/PUU-IV/2006 dalam isi putusan MK,

menyatakan bahwa pasal penghinaan terhadap presiden tersebut telah

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia

terhadap pasal pasal :

1. Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala Warga Negara

bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada

kecualinya.”, pasal 28 yang menyatakan bahwa “Kemerdekaan

berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan

tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”,

2. Pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan : “Setiap orang berhak atas

kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,

sesuai dengan hati nuraninya.”

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46131/2/BAB I.pdf · dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk

4

3. Pasal 28E Ayat (3) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak

atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”

4. Pasal 28 J yang menyatakan bahwa :

(1) “ Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain

dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

(2) “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib

tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-

undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan

serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk

memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,

nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat

demokratis”.3

Menurut Mahkamah Konstitusi, pasal tersebut tidak relevan lagi jika

dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan

didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk menyampaikan pikiran dan

pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.4

Sebelum dicabut nya pasal tentang tindak pidana penghinaan terhadap

presiden dan wakil presiden yang bertentangan dengan UUD 1945, nyatanya

penerapan pasal tersebut telah memakan beberapa korban yaitu5 :

1. M Iqbal Siregar, Ketua Gerakan Pemuda Islam (GPI), harus mendekam di

penjara selama 5 bulan setelah dijerat melakukan orasi terkait penolakan

kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat sedang demonstrasi di Istana

Merdeka;

2. I Wayan Suardana seorang Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM

Indonesia (PBHI), Bali (2005): dalam sebuah Penyampaian Pendapat

tentang kenaikan harga BBM, dihukum 6 bulan penjara.

3 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 013.022/PUU-IV/2006 mengenai pengujian KUHP

Pasal 134, 136 bis dan 137 tentang Kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden

terhadap UUD 1945 Pasal 28 E ayat (2) dan (3).

4 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Jakarta, Sinanr Grafika, Cetakan

Pertama, 2010, Hal 1.

5 Ibid. hal,. 17

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46131/2/BAB I.pdf · dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk

5

3. Bai Harkat Firdaus, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,

Jakarta (2004): Membakar foto Soesilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf

Kalla dalam sebuah Penyampaian Pendapat di Jakarta, dihukum 5 bulan

penjara.

4. Monang Johannes Tambunan pernah didakwa dengan pasal 134 KUHP di

era Susilo Bambang Yudhoyono. Monang, yang saat itu menjabat

Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dinyatakan

bersalah melakukan penghinaan kepada Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono saat menggelar aksi menolak kenaikan harga bahan bakar

minyak di depan Istana Negara Jakarta pada 26 Januari 2005. Setelah

Majelis hakim memvonis terdakwa karena melanggar pasal 134a dan 136

bis KUHP, ia dijatuhi hukuman enam bulan penjara oleh Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat.6

5. Fakhrur Rahman alias Paunk dari UIN Syarif Hidayatullah juga terkena

ganasnya Pasal 134 jo pasal 136 bis KUHP. Paunk dinyatakan menghina

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam orasinya di kawasan Salemba

22 Juni 2006. Oleh PN Jakarta Selatan, ia divonis tiga bulan 23 hari.7

6. Eggi Sudjana, Advokat (2006), beliau Mengklarifikasi informasi kepada

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang kemungkinan Soesilo

6 Tony Firman, Ancaman Kriminalisasi Kritik oleh Pasal Penghinaan Kepala Negara,

https://tirto.id, access 20 Januari 2019.

7 Ibid.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46131/2/BAB I.pdf · dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk

6

Bambang Yudhoyono menerima hadiah mobil mewah oleh seorang

pengusaha, sedang diadili, justru mereka diadili.8

Pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam KUHP

telah memakan banyak korban, bahwa para korban yang divonis dengan pasal

penghinaan presiden dan wakil presiden tersebut dapat dikatakan sebagai pasal

karet yang dijadikan sebagai alat aparat penegak hukum untuk membatasi hak

konstitusional warga negara dalam memberikan kritik yang membangun

kepada penguasa pada saat itu, sehingga pasal ini tidak memiliki batasan yang

tegas tentang perbuatan seperti apa yang termasuk sebagai menghina dan

mengkritik. sedangkan memberikan kritik atau penyampaian pendapat seperti

dalam kasus diatas dapat menjadi sebuah penghinaan, sehingga pasal tentang

penghinaan terhadap martabat presiden dan wakil presiden ini telah

bertentangan kebebasan berpendapat, sebagaimana hak untuk menyampaikan

pendapat telah dijamin dalam konstitusi.

Berdasarkan pasal 1 ayat 2 UUD 1945 Negara Republik Indonesia

menyatakan bahwa “ kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan

sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Ketentutan pasal tersebut

secara implisit terkandung makna bahwa rakyatlah pemilik kedaulatan,

kepemilikan itu pula diikuti oleh rakyat merupakan sebagai pengawas

pemerintah. Jika hal ini terus dibiarkan tentunya akan mengakibatkan

pembatasan terhadap kebebasan berkeskpresi. Namun hal ini tidak dapat

8 Rappler Indonesia, Daftar Korban Pasal Penghinaan Presiden dari Zaman Megawati Hingga

Jokowi, dalam https://www.rappler.com, diakes 12 November 2018.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46131/2/BAB I.pdf · dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk

7

dimaknai secara parsial, hal ini didasarkan atas Indonesia sebagai Negara yang

berbentuk Republik, Konsitusi Indonesia mendudukan bahwa orang nomor

satu di Indonesia adalah Presiden sebagai kepala pemerintah dan juga sebagai

kepala Negara yang melaksanakan kewenangan dan kekuasaannya sesuai

dengan konstitusi.9

Presiden Indonesia yang memegang kedudukan sebagai kepala

pemerintahan dan kepala negara secara politis dan sosial menurut masyarakat

internasional bahwa dirinya merupakan representatif dari seluruh bangsa

Indonesia. Secara yuridis menjadi sebuah keharusan baginya untuk diposisikan

sama dalam hukum, keberlakuan aturan dan penegakannya, namun secara

politis dan sosial tida dapat dikatakan sama. Kedudukan presiden tidak dapat

disejajarkan dengan masyarakat biasa karena kedudukan presiden jika dilihat

dalam Undang-Undang Dasar 1945 memiliki peran yang strategis yaitu

seorang Presiden mempunyai hak prerogatif, hak yang dimiliki oleh seorang

kepala pemerintahan atau kepala negara tanpa ada intervensi dari pihak

manapun dalam menggunakan hak tersebut. Oleh karenanya, hak prerogatif itu

dikatakan sebagai hak privilege atau hak istimewa seorang kepala negara

dalam menjalankan tugas kenegaraannya. 10

Hak prerogatif Presiden Indonesia adalah hak yang tercantum dalam

Undang-undang Dasar 1945 sebagai kontitusi atau dasar negara Indonesia,

9 Lihat Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

10 Butje Tampi, Kontroversi Pencantuman Pasal Penghinaan Terhadap Martabat Presiden dan

Wakil Presiden Dalam KUHPidana Yang Akan Datang, 2006, Jurnal Ilmu Hukum. Vol 3 No. 9. Hal

20.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46131/2/BAB I.pdf · dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk

8

berdasarkan hak prerogatif yang dimiliki Presiden Indonesia adalah sebagai

berikut :

a. Pasal 10 UUD 1945: Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi

atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara;

b. Pasal 11 ayat (1) UUD 1945: Presiden menyatakan perang, membuat

perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain;

c. Pasal 12 UUD 1945: Presiden menyatakan keadaan bahaya;

d. Pasal 13 UUD 1945: Presiden mengangkat duta dan konsul;

e. Pasal 14 UUD 1945: Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan

memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA); Presiden

juga memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan

pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);

f. Pasal 15 UUD 1945: Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-

lain tanda kehormatan yang diatur UU

g. Pasal 17 UUD 1945: Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara

yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden.

Sehingga menjadi keharusan pula baginya untuk mendapat perlindungan lebih

secara yuridis dalam posisi dan kewenangannya sebagai representasi bangsa.

Maka menjadi tidak relevan justru, ketika ia harus dipersamakan secara umum

dengan mengeneralisasikannya sebagai salah satu warganegara Republik

Indonesia yang sama dengan warganegara Republik Indonesia yang lain. 11

Penghinaan terhadap Martabat Presiden haruslah dipandang sebagai

bentuk kebijakan yang melindungi Negara dari celaan sosial dan melindungi

dari serangan politik yang secara sosial akan mengganggu ketertiban dalam

masyarakat. Penghapusan terhadap pasal ini justru akan melahirkan

subsosialitas yang menurut Jan Remmelink akan menjadi kegelisahan dan

penyebab terjadinya kekacauan dalam masyarakat. Menurut remmelink:

“perbuatan melawan hukum ikhwalnya berkenaan dengan ketidakadilan,

11 Oksep Adhayanto, Eksistensi Hak Prerogatif Pasca Amandemen UUD 1945, Jurnal FISIP

UMRAH. Vol.2. Nomor 2, 2011. Hal 163

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46131/2/BAB I.pdf · dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk

9

dalam hal kesalahan, ikhwalnya adalah ketercelaan; dan berkenaan dengan

subsosialitas, ikhwalnya adalah risiko bahaya yang dimunculkan oleh

pelanggar hukum terhadap kehidupan kemasyarakat”12

Artinya, potensi resiko yang akan dimunculkan oleh pelanggar hukum

dalam kehidupan bermasyarakat haruslah dipandang sebagai salah satu obyek

yang perlu diatur oleh hukum untuk menciptakan tertib sosial dengan kehati-

hatian yang obyektif. Karena untuk mencegah timbulnya akibat atau resiko

yang tidak diharapkan bagi masyarakat hanya dapat dicapai oleh pembuat

undang-undang dengan cara melarang atau mengharuskan tindakan tertentu

yang berdasarkan pengetahuan, pemahaman dan pandang-pandangan manusia

yang melakukannya harus pertanggungjawabkan. Pengaturan mengenai

perlindungan terhadap nama baik presiden seyogyanya dipandang sebagai

kehati-hatian obyektif yang menjadi norma dengan batasan yang dibuat

sedemikian rupa untuk tidak menimbulkan resiko tertentu.13

Wacana menghidupkan kembali Pasal Penghinaan Presiden dan wakil

Presiden dalam RUU KUHP mendapatkan banyak perdebatan beberapa ada

yang setuju dan adapun yang tidak setuju dengan menghidupkan kembali pasal

penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden,sehingga dengan hadirnya

kembali pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam

rumusan Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) perlu

dikaji kembali dalam perspektif kebebasan berpendapat, sehingga pasal

12 Jan Rammelink, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda

dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2003, hal. 194.

13Ibid.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46131/2/BAB I.pdf · dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk

10

tersebut tidak menjadi pasal karet, dan memiliki batasan yang tegas untuk dapat

membedakan yang disebut sebagai menghina dengan yang disebut sebagai

kritikan yang membangun terhadap kinerja presiden dan wakil presiden dalam

pembangunan nasional sehingga mampu memberikan penjelasan tentang

bentuk seperti bagaimana dapat dikatakan penghinaan atau kritikan yang

membangun, berikut rumusan masalah yang diangkat oleh penulis.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan pasal tindak pidana penghinaan terhadap martabat

presiden dan wakil presiden dalam RUU KUHP di tinjau dari kebebasan

berpendapat?

2. Bagaimana formulasi pengaturan pasal tindak pidana penghinaan terhadap

martabat presiden dan wakil presiden sebagai Ius Constituendum agar tidak

bertentangan dengan kebebasan berpendapat?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana penghinaan terhadap martabat

presiden dan wakil presiden dalam RUU KUHP ditinjau dari kebebasan

berpendapat.

2. Untuk mengetahui formulasi pengaturan pasal tindak pidana penghinaan

terhadap martabat presiden dan wakil presiden sebagai Ius Constituendum

agar tidak bertentangan dengan kebebasan berpendapat.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46131/2/BAB I.pdf · dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk

11

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi masyarakat agar masyarakat lebih berhati-hati dalam memberikan

kritik-kritik kepada presiden dan wakil presiden.

2. Bagi DPR, memberikan penyempurnaan terhadap pasal penghinaan

terhadap martabat presiden dan wakil presiden bagi DPR dalam menyusun

rumusan RUU KUHP

E. Kegunaan Penulisan

Penulisan mengenai “Pengaturan Tindak Pidana Penghinaan Terhadap

Martabat Presiden dan Wakil Presiden dalam RUU HP ditinjau dari perspektif

kebebasan berpendapat” ini, hasilnya diharapkan dapat memberi kegunaan

dilihat dari 2 (dua) aspek, yaitu :

1. Secara teoritis.

Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu hukum khususnya

dalam penyusunan RUU KUHP dan sekaligus juga dalam

pengembangan ilmu hukum pidana.

2. Secara praktis.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman bagi badan legislasi/ DPR

dalam penyusunan dan pembaharuan produk hukum baru dalam

rumusan RUU KUHP sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan

pembetuk undang-undang tersebut.

F. Metode Penulisan

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46131/2/BAB I.pdf · dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk

12

1) Metode Pendekatan

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau

penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan

sehingga mencapai tujuan penelitian atau penulisan.14 Berdasarkan

ruang lingkup serta identifikasi masalah sebagaimana telah

diuraikan,untuk mengkaji secara komprehensif dan holistik pokok

permasalahan,akan ditelusuruhi dengan menggunakan tipe penelitian

yuridis normatif (normatif legal research) yaitu penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan perundang-undangan, dan

didukung dengan literatur yang ada mengenai pokok peermasalahan

yang akan dibahas.

Adapun metode pendekatan yang digunakan yaitu pendektan yang

filosofis atau ideologis, Pendekatan terhadap hukum yang normatif dan

pendekatan perbandingan hukum :

1. Pendekatan filosofi atau ideologis yaitu mengindenifikasikan dan

mengkonsepsikan hukum sebagai ide, cita-cita, nilai moral, asas,

keadilan. Penelitian terhadap hukum dengan menggunakan

pendekatan demikian ini merupakan penelitian hukum yang

filosofis.

2. pendekatan terhadap hukum yang normatif, yaitu

mengidentifikasikan hukum sebagai norma, kaidah, peraturan,

14 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung Citra Aditya Bakti, 2004,

Hal 112.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46131/2/BAB I.pdf · dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk

13

undang-undang yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu

sebagai produk dari suatu kekuasaan negara tertentu yang berdaulat.

Penelitian terhadap hukum dengan menggunakan pendekatan

demikan ini merupakan penelitian hukum yang normatif atau

penelitian hukum yang doktrinal.

3. Ketiga, Pendekatan perbandingan dilakukan dengan mengadakan

studi perbandingan hukum. Studi perbandingan hukum merupakan

kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan negara

lain. Perbandingan hukum dapat dilakukan tanpa melihat sistem

hukum maupun tingkat ekonomi, melainkan hanya melihat

substansinya secara universal.15

2) Jenis Bahan Hukum

a) Bahan Hukum Primer :

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mempunyai

kekuatan mengikat, antara lain Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945, KUHP, Keputusan Mahkamah

Konstitusi mengenai pencabutan pasal penghinaan Presiden dan

Wakil Presiden.

b) Bahan Hukum Sekunder :

Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat

hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu

15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Jakarta.Penerbit Kencana, 2015,

Hal 172.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46131/2/BAB I.pdf · dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk

14

menganalisis dan memahami bahan hukum primer, antara lain

meliputi konsep rancangan undang-undang hukum pidana (RUU

KUHP), instrumen-instrumen hukum internasional, hasil

penelitian dan kegiatan ilmiah serta pendapat para ahli hukum.

c) Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan

informasi terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Bahan hukum tersier ini sering dikenal sebagai bahan

acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum, antara lain

meliputi kamus hukum dan ensiklopedia hukum.

3) Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengaturan tindak pidana penghinaan terhadap martabat presiden

dan wakil presiden ditinjau dari perspektif kebebasan berpendapat

sebagai Upaya Pembaharuan Hukum Pidana ini adalah penelitian

hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian

kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder dan studi

kepustakaan. Oleh karena itu, metode pengumpulan data dalam

penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan.

4) Teknik Analisa Bahan Hukum

Mengingat bahwa penelitian ini merupakan penelitian hukum

normatif atau penelitian pustaka, maka analisi data yang akan

digunakan adalah deskriptif kualitatif. penelitian deskriptif kualitatif

ditujukan untuk mendeskripsikan dan menggambarkan fenomena-

fenomena yang ada, baik bersifat alamiah maupun rekayasa manusia,

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46131/2/BAB I.pdf · dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk

15

yang lebeh memperhatikan mengenai karakteristik,kualitas keterkaitan

antar kegiatan

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini, penulis akan membagi

ke dalam lima bab sebagai berikut:

1. BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini memuat hal yang melatarbelakangi pemilihan topik

dari penulisan skripsi dan sekaligus menjadi pengantar

umum dalam memahami penulisan secara keseluruhan

yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kegunaan

Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

2. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini berisikan kajian pustaka dan teori yang

berkenaan dengan judul dan masalah yang diteliti meliputi

: Pembaharuan Hukum Pidana, Politik Hukum Pidana ,

Kriminalisasi dan Dekriminalisasi Pengertian Tindak

Pidana, Tindak Pidana Umum, Tindak Pidana Khusus,

Presiden sebagai Kepala Negara, Wakil Presiden, Tinjauan

Kebebasan Berpendapat

3. BAB III : PEMBAHASAN

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46131/2/BAB I.pdf · dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk

16

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan peneliti, maka

dalam bab ini menguraikan tentang pembahasan mengenai

pengaturan tindak pidana penghinaan terhadap martabat

presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Undang-

Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) ditinjau dari

perspektif kebebasan berpendapat dan formulasi

pengaturan tindak pidana penghinaan terhadap martabat

presiden dan wakil presiden sebagai Ius constituendum agar

tidak bertentangan dengan kebebasan berpendapat.

4. BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini berisikan mengenai kesimpulan dan saran

yang berhubungan dengan permasalahan dari hasil

penelitian hukum.