1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana pertama kali diberlakukan di Indonesia dengan asas konkordasi pada jaman Hindia Belanda. Pada saat itu kitab undang – undang yang dipergunakan adalah Wetboek van Strafrecht Stalblad 1915 No 732. Setelah itu sejak tanggal 8 Maret 1942, dimana ada peralihan kekuasaan dari pemerintah Hindia Belanda kepada Jepang di Indonesia, Wetboek van Strafrecht Stalbad tidak lagi dipergunakan. Pada jaman Jepang kitab undang- undang hukum pidana yang digunakan adalah Gunzei Keizi Rei. Gunzei Keizi Rei hanya selama 3 tahun karena sejak tanggal 17 Agustus 1945 melalui Perpres No 2 Tahun 1945, Indonesia memberlakukan hukum pidana gabungan antara Wetboek van Strafrecht Stalblad dan Gunzei Keizi Rei, dalam Perpres No 2 Tahun 1945 ini kemudian digantikan dengan UU No 1 Tahun 1946, yang memberlakukan hukum pidana berdasarkan Wetboek van Stafrecht Stalblad Belanda saja. 1 Banyak alasan mengapa perlu adanya pembaharuan hukum pidana karena pada perkembangannya KUHP dipandang tidak mampu menampung berbagai masalah dan dimensi perkembangan bentuk – bentuk tindak pidana baru yang hidup di zaman saat ini. Selain itu KUHP dianggap kurang sesuai dengan 1 Aditya Satya Lambang B, Magister Thesis, Kebijakan Tindak Pidana Penghinaan Terhadap Presiden, Semarang, Unversitas Dipenegoro, 2008, hal 13.
16
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46131/2/BAB I.pdf · dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum pidana pertama kali diberlakukan di Indonesia dengan asas
konkordasi pada jaman Hindia Belanda. Pada saat itu kitab undang – undang
yang dipergunakan adalah Wetboek van Strafrecht Stalblad 1915 No 732.
Setelah itu sejak tanggal 8 Maret 1942, dimana ada peralihan kekuasaan dari
pemerintah Hindia Belanda kepada Jepang di Indonesia, Wetboek van
Strafrecht Stalbad tidak lagi dipergunakan. Pada jaman Jepang kitab undang-
undang hukum pidana yang digunakan adalah Gunzei Keizi Rei. Gunzei Keizi
Rei hanya selama 3 tahun karena sejak tanggal 17 Agustus 1945 melalui
Perpres No 2 Tahun 1945, Indonesia memberlakukan hukum pidana gabungan
antara Wetboek van Strafrecht Stalblad dan Gunzei Keizi Rei, dalam Perpres
No 2 Tahun 1945 ini kemudian digantikan dengan UU No 1 Tahun 1946, yang
memberlakukan hukum pidana berdasarkan Wetboek van Stafrecht Stalblad
Belanda saja.1
Banyak alasan mengapa perlu adanya pembaharuan hukum pidana karena
pada perkembangannya KUHP dipandang tidak mampu menampung berbagai
masalah dan dimensi perkembangan bentuk – bentuk tindak pidana baru yang
hidup di zaman saat ini. Selain itu KUHP dianggap kurang sesuai dengan
1 Aditya Satya Lambang B, Magister Thesis, Kebijakan Tindak Pidana Penghinaan Terhadap
Presiden, Semarang, Unversitas Dipenegoro, 2008, hal 13.
2
perkembangan pemikiran atau ide dan aspirasi tuntutan atau kebutuhan
masyarakat baik nasional maupun internasional. Namun upaya untuk
melakukan pembaharuan hukum pidana pada saat ini masih terbatas dan
terkesan tambal sulam. Seperti diketahui bahwasaannya KUHP seringkali
dipreteli dimana banyak pasal yang ditambahkan dalam KUHP maupun yang
di cabut dari KUHP tanpa memperhatikan KUHP sebagai satu kesatuan sistem
hukum pidana yang utuh.2
Salah satu bentuk konkrit dari upaya pembaharuan hukum pidana adalah
pencabutan pasal 134, 136Bis dan pasal 137 yang diajukan oleh Eggy Sudjana,
perihal Eggi Sudjana dianggap telah menghina Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) karena ia mengklarifikasi kepada ketua KPK mengenai rumor
pemberian mobil mewah oleh salah satu pengusaha kepada beberapa anggota
lembaga kepresidenan dan kepada Presiden sendiri. Dalam perkara tersebut,
Eggi Sudjana telah mengajukan permohonan maaf dan permohonan maaf itu
pun sudah dikabulkan oleh Presiden, namun perkara tersebut tetap mengalami
kriminalisasi padahal Eggi Sudjana sendiri bukanlah pembuat rumor tersebut.
Yang ingin ia lakukan adalah mengklarifikasi rumor sebagai wujud dari kontrol
rakyat terhadap jalannya pemerintahan. Presiden pun menyatakan ia menerima
situasi yang ada karena hal itu merupakan dampak dari demokrasi di Indonesia.
Perkara Eggi Sudjana menunjukkan bahwa ketentuan penghinaan Presiden dan
Wakil Presiden masih diterapkan secara kaku, tanpa memandang latar
2 Ibid
3
belakang suatu perbuatan dilakukan oleh pelaku. Sehingga Eggi Sudjana
mengajukan judicial review terhadap pasal-pasal sebagai berikut :
pasal 134 yang berbunyi : “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden
dan Wakil Presiden dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam
tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500”; kemudian pencabutan
pada pasal 136Bis yang berbunyi : “Perkataan penghinaan dengan sengaja
dalam Pasal 134 mengandung juga perbuatan yang diterangkan dalam Pasal
315, jika iutu dilakukan kalau yang dihinakan tak hadir, yaitu baik di muka
umum dengan beberapa perbuatan, maupun tidak di muka umum, tetapi
dihadapan lebih dari empat orang atau dihadapan orang lain, yang hadir
dengan tidak kemauannya dan yang merasa tersentuh hatinya, akan itu,
dengan perbuatan-perbuatan, atau dengan lisan atau dengan tulisan”; dan
pasal 137 KUHP yang berbunyi : “Barangsiapa menyiarkan,
mempertontonkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang isinya
menghina Presiden atau Wakil Presiden dengan niat supaya isinya yang
menghina itu diketahui oleh orang banyak atau diketahui oleh orang banyak,
dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 4.500”; (2) “Jika Si Tersalah melakukan kejahatan
itu dalam jabatannya dan pada waktu melakukan kejahatan itu belum lagi lalu
dua tahun sesudah tetap hukumannya yang dahulu sebab kejahatan yang
serupa itu juga, maka ia dapat dipecat dari jabatannya. (KUHP 35, 144, 208,
310 , 315, 483, 488)”;
Pasal-pasal tesebut tentang penghinaan terhadap Presiden , diabut oleh
Mahkamah Konstitusi pada 6 Desember 2006, dengan putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 013-022/PUU-IV/2006 dalam isi putusan MK,
menyatakan bahwa pasal penghinaan terhadap presiden tersebut telah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia
terhadap pasal pasal :
1. Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala Warga Negara
bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”, pasal 28 yang menyatakan bahwa “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”,
2. Pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan : “Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya.”
4
3. Pasal 28E Ayat (3) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”
4. Pasal 28 J yang menyatakan bahwa :
(1) “ Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(2) “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis”.3
Menurut Mahkamah Konstitusi, pasal tersebut tidak relevan lagi jika
dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan
didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk menyampaikan pikiran dan
pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.4
Sebelum dicabut nya pasal tentang tindak pidana penghinaan terhadap
presiden dan wakil presiden yang bertentangan dengan UUD 1945, nyatanya
penerapan pasal tersebut telah memakan beberapa korban yaitu5 :
1. M Iqbal Siregar, Ketua Gerakan Pemuda Islam (GPI), harus mendekam di
penjara selama 5 bulan setelah dijerat melakukan orasi terkait penolakan
kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat sedang demonstrasi di Istana
Merdeka;
2. I Wayan Suardana seorang Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM
Indonesia (PBHI), Bali (2005): dalam sebuah Penyampaian Pendapat
tentang kenaikan harga BBM, dihukum 6 bulan penjara.
3 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 013.022/PUU-IV/2006 mengenai pengujian KUHP
Pasal 134, 136 bis dan 137 tentang Kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden
terhadap UUD 1945 Pasal 28 E ayat (2) dan (3).
4 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Jakarta, Sinanr Grafika, Cetakan
Pertama, 2010, Hal 1.
5 Ibid. hal,. 17
5
3. Bai Harkat Firdaus, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
Jakarta (2004): Membakar foto Soesilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf
Kalla dalam sebuah Penyampaian Pendapat di Jakarta, dihukum 5 bulan
penjara.
4. Monang Johannes Tambunan pernah didakwa dengan pasal 134 KUHP di
era Susilo Bambang Yudhoyono. Monang, yang saat itu menjabat
Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dinyatakan
bersalah melakukan penghinaan kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono saat menggelar aksi menolak kenaikan harga bahan bakar
minyak di depan Istana Negara Jakarta pada 26 Januari 2005. Setelah
Majelis hakim memvonis terdakwa karena melanggar pasal 134a dan 136
bis KUHP, ia dijatuhi hukuman enam bulan penjara oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.6
5. Fakhrur Rahman alias Paunk dari UIN Syarif Hidayatullah juga terkena
ganasnya Pasal 134 jo pasal 136 bis KUHP. Paunk dinyatakan menghina
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam orasinya di kawasan Salemba
22 Juni 2006. Oleh PN Jakarta Selatan, ia divonis tiga bulan 23 hari.7
6. Eggi Sudjana, Advokat (2006), beliau Mengklarifikasi informasi kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang kemungkinan Soesilo
6 Tony Firman, Ancaman Kriminalisasi Kritik oleh Pasal Penghinaan Kepala Negara,