1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan ancaman bencana yang paling banyak di dunia. Ancaman bencana yang mengintai Indonesia di antaranya gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan. Dari deretan bencana itu, tsunami adalah bahaya yang paling mengancam dengan risiko tinggi. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (United Nations International Stategy for Disaster Reduction/UNISDR) menghitung risiko berdasarkan jumlah manusia yang ada di daerah rawan bencana yang mungkin kehilangan nyawa karena bencana. Indonesia menduduki peringkat tinggi dengan risiko tsunami yang bisa membunuh penduduk Indonesia paling tidak sebanyak 5.402.239 jiwa. Indonesia terletak pada zona pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia yang aktif yaitu Lempeng Indo Australia di sebelah selatan, Lempeng Pasifik di sebelah timur dan Lempeng Eurasia. Hal ini menjadikan Indonesia mempunyai banyak zona patahan aktif dan sebaran gunung api. Badan Metreologi Klimatologi dan Geologi (BMKG) menguraikan bahwa pergerakan relatif ketiga lempeng tektonik tersebut dan dua lempeng lainnya mengakibatkan terjadinya gempa-gempa bumi di daerah perbatasan pertemuan antar lempeng dan juga menimbulkan terjadinya sesar-sesar regional yang selanjutnya menjadi daerah pusat sumber gempa. Jalur pertemuan lempeng berada di laut sehingga apabila terjadi gempa bumi besar dengan kedalaman dangkal, maka akan berpotensi menimbulkan tsunami. Sebagian patahan dan gunung api juga berada di bawah laut sehingga kejadian gempa dan letusan gunung apinya berpotensi
48
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan ancaman bencana yang paling
banyak di dunia. Ancaman bencana yang mengintai Indonesia di antaranya
gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan.
Dari deretan bencana itu, tsunami adalah bahaya yang paling mengancam
dengan risiko tinggi. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi
Internasional Pengurangan Risiko Bencana (United Nations International Stategy
for Disaster Reduction/UNISDR) menghitung risiko berdasarkan jumlah manusia
yang ada di daerah rawan bencana yang mungkin kehilangan nyawa karena
bencana. Indonesia menduduki peringkat tinggi dengan risiko tsunami yang bisa
membunuh penduduk Indonesia paling tidak sebanyak 5.402.239 jiwa.
Indonesia terletak pada zona pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia
yang aktif yaitu Lempeng Indo Australia di sebelah selatan, Lempeng Pasifik di
sebelah timur dan Lempeng Eurasia. Hal ini menjadikan Indonesia mempunyai
banyak zona patahan aktif dan sebaran gunung api. Badan Metreologi
Klimatologi dan Geologi (BMKG) menguraikan bahwa pergerakan relatif ketiga
lempeng tektonik tersebut dan dua lempeng lainnya mengakibatkan terjadinya
gempa-gempa bumi di daerah perbatasan pertemuan antar lempeng dan juga
menimbulkan terjadinya sesar-sesar regional yang selanjutnya menjadi daerah
pusat sumber gempa. Jalur pertemuan lempeng berada di laut sehingga apabila
terjadi gempa bumi besar dengan kedalaman dangkal, maka akan berpotensi
menimbulkan tsunami. Sebagian patahan dan gunung api juga berada di bawah
laut sehingga kejadian gempa dan letusan gunung apinya berpotensi
2
membangkitkan tsunami. Kondisi ini menjadikan Indonesia rawan tsunami,
terutama kepulauan yang berhadapan langsung dengan pertemuan lempeng.
Selain itu, kota-kota besar di Indonesia merupakan kota pantai yang
terletak di garis pantai sepanjang 95.181 km yang rawan tsunami. Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 233 kabupaten
dan kota di Indonesia berada di daerah rawan ancaman tsunami. Wilayah
Indonesia yang rawan tsunami dapat dilihat pada gambar 1 yaitu bagian barat
Pulau Sumatera, bagian selatan Pulau Jawa dan Nusa Tenggara, bagian utara
Papua, Sulawesi dan Maluku, serta bagian timur Pulau Kalimantan.
Gambar 1. Daerah Rawan Tsunami di Indonesia (inatews.bmkg.go.id)
Gambar 1 menunjukkan peta wilayah yang rawan tsunami. Garis berwarna
merah di sepanjang pantai Indonesia menunjukkan wilayah yang rawan tsunami,
yaitu bagian barat Pulau Sumatera (Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat,
Bengkulu, Lampung), bagian selatan Pulau Jawa (Banten, Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta bagian selatan, serta Jawa Timur bagian selatan),
Bali, Nusa Tenggara (Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur),
Keterangan :
daerah rawan tsunami
3
Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan) dan Maluku
(Maluku Utara dan Maluku Selatan), Bagian Utara Papua (Biak, Yapen, dan Fak-
Fak), serta bagian timur Pulau Kalimantan.
Tsunami yang berasal dari bahasa Jepang terdiri dari kata tsu yang berarti
pelabuhan dan nami yang berarti gelombang. Tsunami merupakan gelombang
laut yang terjadi karena adanya gangguan impulsif pada laut sebagai akibat
adanya perubahan bentuk dasar laut secara tiba-tiba dalam arah vertikal (Pond &
Pickard, 1983) atau arah horizontal (Tanioka & Satake, 1996). Triatmadja (2010)
menyebutkan longsoran yang terjadi ke dasar laut, atau letusan gunung api
(Ward, 1982), serta jatuhnya benda angkasa dapat menyebabkan tsunami yang
sangat besar. Dari keempat penyebab tersebut, perubahan dasar laut vertikal
adalah penyebab utama tsunami.
Berdasarkan catatan sejarah, Indonesia telah banyak mengalami kejadian
tsunami sejak dahulu. Tercatat beberapa kejadian tsunami yang cukup besar.
Jika diinventarisasi maka sepanjang tahun 1961 – 2011, kejadian tsunami
beserta daerah bencana dan dampak tsunami dapat dilihat pada tabel 1.
4
Tabel 1.Kejadian Tsunami tahun 1961 – 2010 (modifikasi dari Diposaptono, 2008)
No. Tahun Daerah Bencana Jumlah korbantewas/luka
1 1961 NTT, Flores Tengah 2/62 1964 Sumatera 110/4793 1965 Maluku, Seram dan Sanana 71/04 1967 Tinambung (Sulsel) 58/1005 1968 Tambo (Sulteng) 392/06 1969 Majena (Sulsel) 64/977 1977 NTB dan Pulau Sumbawa 316/08 1977 NTT, Flores dan PulauAtauro 2/259 1979 NTB, Sumbawa, Bali dan Lombok 27/200
10 1982 NTT, Larantuka 13/40011 1987 NTT, Flores Timur, danPulau Pantar 83/10812 1989 NTT dan Pulau Alor 7/013 1992 NTT, Flores, dan Pulau Babi 1.952/2.12614 1994 Banyuwangi (Jatim) 38/40015 1996 Palu (sulteng) 3/6316 1996 P. Biak (Papua) 107/017 1998 Tabuna Maliabu (Maluku 34/018 2000 Banggai (Sulteng) 4/019 2004 Aceh dan Sumut >210.000/020 2005 Pulau Nias Tidak terdata21 2006 Jawa Barat, Jawa Tengah,dan DI Yogyakarta 668/022 2007 Bengkulu dan Sumatera Barat -23 2009 Kupang Nusa Tenggara Timur 300/40024 2010 Kepulauan Mentawai 286/0
Berdasarkan kejadian tsunami di Indonesia pada tabel 1, dapatlah
disimpulkan bahwa tsunami menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit.
Triatmadja (2010) menguraikan tentang korban tsunami berdasarkan olahan data
dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Indonesia
memiliki jumlah dan frekuensi kejadian tsunami yang lebih sedikit jika
dibandingkan dengan Jepang. Namun Indonesia merupakan daerah paling
menderita akibat tsunami (gambar 2).
5
Gambar 2. Negara dengan Jumlah Korban Meninggal Terbesar Akibat BencanaTsunami Berdasarkan Data Olahan NOAA 2010 (Triatmadja, 2010)
Gambar 2 menunjukkan negara-negara dengan jumlah korban meninggal akibat
tsunami. Indonesia berada di urutan pertama dengan korban meninggal melebihi
275.000 orang sedangkan Jepang berada di urutan kedua dengan korban
meninggal hingga sekitar 160.000 orang. Kejadian tsunami di Aceh pada tahun
2004 menelan korban jiwa 82% dari total korban meninggal akibat tsunami.
Korban jiwa bukan sepenuhnya disebabkan oleh kecepatan dan gaya
tsunami. Orang yang tidak bisa berenang akan tenggelam, sedangkan orang
yang bisa berenang dapat terhantam oleh benda-benda/debris yang terbawa
arus karena arus yang deras akan membawa manusia membentur benda-benda
tersebut, serta adukan pasir dan debu menyebabkan air sangat kotor dan
membuat manusia tidak dapat melihat dalam air.
Tsunami merupakan salah satu bencana alam yang tidak bisa diprediksi
waktu dan tempat kejadiannya. Ini berarti bahwa tsunami dapat terjadi kapan
saja dan dimana saja serta mengakibatkan kerugian yang sangat besar. Menurut
Triatmadja (2010), kerugian yang ditimbulkan oleh tsunami adalah kerugian yang
0
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
Indo
nesi
a
Jepa
ng
Portu
gal
Chi
li
Peru
Yuna
ni
Indi
a
Philip
ina
Paki
stan
Papu
a N
G
6
dapat diperhitungkan seperti kerusakan lingkungan dan infrastruktur (bangunan,
jembatan, jalan raya, tanah/tebing longsor) maupun kerugian yang tidak dapat
diperhitungkan seperti kehilangan nyawa manusia dan trauma psikologis bagi
mereka yang masih hidup.
Dampak psikologis yang muncul setelah terjadinya tsunami beraneka
ragam. Para korban yang masih hidup mengalami hantaman psikologis yang
berat karena menyaksikan dan mengalami langsung bencana. Reaksi psikologis
yang buruk tadi tidak hanya dialami oleh para penyintas (korban selamat) yang
mengalami kejadian langsung. Para pekerja kemanusiaan, sukarelawan, tenaga
medis juga akan merasakan gejalanya walaupun tidak mengalami kejadian
secara langsung (Kharismawan, t.t).
Kharismawan (t.t) mengemukakan bahwa para korban menunjukkan
beberapa gejala psikologis yang negatif pasca bencana tsunami. Jika keadaan
itu tidak diatasi dan diselesaikan dengan tepat dan cepat, reaksi tersebut dapat
menjadi gangguan psikologis yang serius. Berdasarkan perspektif tahapan
penanganan bencana, gejala-gejala psikologis yang muncul pasca bencana akan
berbeda-beda pada setiap tahap, yaitu :
1. Tahap tanggap darurat
Tahap tanggap darurat adalah masa beberapa jam atau hari setelah
bencana. Pada tahap ini kegiatan bantuan sebagian besar difokuskan pada
menyelamatkan korban dan usaha untuk menstabilkan situasi. Gejala-gejala
psikologis yang muncul pada tahap tanggap darurat adalah (1). kecemasan
yang berlebihan. Para korban menunjukkan tanda-tanda kecemasan, mudah
terkejut oleh hal-hal yang sederhana, tidak mampu untuk bersantai atau tidak
mampu untuk membuat keputusan. (2). Rasa bersalah. Para korban yang
7
selamat tetapi anggota keluarganya meninggal, seringkali kemudian
menyalahkan diri sendiri. Mereka merasa malu karena telah selamat ketika
orang yang dikasihinya meninggal. (3). Ketidakstabilan emosi dan pikiran.
Beberapa korban mungkin menunjukkan kemarahan tiba-tiba dan bertindak
agresif atau sebaliknya. Mereka menjadi apatis dan tidak peduli, mudah lupa
ataupun mudah menangis. Korban kadang-kadang muncul dalam keadaan
kebingungan maupun histeris.
2. Tahap pemulihan
Tahap pemulihan setelah situasi stabil dan perhatian beralih ke solusi jangka
panjang. Di sisi lain, sebagian sukarelawan sudah tidak datang lagi dan
bantuan dari luar secara bertahap berkurang. Para korban mulai menghadapi
realitas. Jika pada minggu-minggu pertama setelah bencana para korban
memiliki perasaan yang aman dan optimisme tentang masa depan maka
pada tahap ini harus membuat penilaian yang lebih realistis tentang hidup
mereka. Pada fase ini kekecewaan dan kemarahan sering menjadi gejala
dominan yang sangat terasa. Pada tahap ini berbagai gejala pasca-trauma
muncul, seperti pasca traumatic stress disorder, generalized anxiety disorder,
dukacita yang berlebihan, dan post traumatic depression.
3. Tahap rekonstruksi
Tahap rekonstruksi terjadi satu tahun atau lebih setelah bencana. Pola
kehidupan yang stabil mungkin telah muncul. Selama fase ini, walaupun
banyak korban mungkin telah sembuh, namun beberapa yang tidak
mendapatkan pertolongan dengan tepat menunjukkan gejala gangguan
kepribadian yang serius dan dapat bersifat permanen. Pada tahap ini risiko
bunuh diri dapat meningkat, kelelahan kronis, ketidakmampuan untuk
8
bekerja, kehilangan minat dalam kegiatan sehari-hari, dan kesulitan berpikir
dengan logis. Mereka menjadi pendendam dan mudah menyerang orang lain
termasuk orang-orang yang ia sayangi. Gangguan ini pada akhirnya merusak
hubungan korban dengan keluarga dan komunitasnya.
Idrus (2006) menguraikan bahwa peristiwa kehilangan merupakan suatu
fenomena umum pasca terjadinya tsunami yang dirasakan oleh para korban
bencana dan para sukarelawan tsunami Aceh. Perasaan ketidakberdayaan saat
menyaksikan banyaknya mayat bergelimpangan serta perasaan bersalah saat
tidak lagi mampu untuk menyelamatkan orang-orang yang seharusnya
diselamatkannya. Perasaan bersalah dan kehilangan itu pada akhirnya
menimbulkan banyak gangguan psikologis seperti stress, kehilangan orientasi,
rasa ketidakberdayaan, frustrasi, depresi, dan gangguan kejiwaan.
Ibrahim (2005) menguraikan bahwa trauma pasca tsunami berdampak
dalam kehidupan sehari-hari para korban selamat. Mereka mengalami stres yang
berkepanjangan dan bereaksi terhadap pengalaman traumatik dengan gejala
ketakutan, keputusasaan, ketidakberdayaan, kerap terbayang kembali peristiwa
traumatik, sampai perilaku menghindar dari ingatan traumatik. Para korban
selamat pasca tsunami yang menampilkan perilaku menghindar dari ingatan
traumatik yang mereka alami dengan cara antara lain menjerit-jerit setiap melihat
genangan air dan berusaha tidak tidur karena setiap memejamkan mata melihat
bayangan wajah keluarga yang meninggal.
Taufik (2005) melakukan penelitian untuk memaparkan tentang kehidupan
pasca bencana korban gempa bumi dan tsunami di Aceh. Jangka waktu muncul
dan lamanya gejala psikologi pada para korban dalam penelitian ini tidak
dijelaskan. Hasil penelitian terhadap para korban bencana tsunami di Aceh
9
menunjukkan bahwa gejala psikologis yang muncul setelah terjadi tsunami di
Aceh adalah (1). Rasa takut dan cemas yang muncul karena kekuatiran akan
berulangnya kejadian yang sama, tidak tahu arah untuk melangkah, dan rasa
kuatir pada keamanan dan masa depannya. (2). Duka cita yang mendalam (larut
dalam kesedihan) membuat emosi semakin meningkat, mudah tersinggung,
perubahan suasana hati yang cepat antara senang dan sedih, sangat cemas dan
tegang, atau bahkan menjadi depresi. (3). Tidak berdaya, putus asa, dan
kehilangan kontrol ditandai dengan teringat kembali kejadian traumatik yang
telah dialaminya secara berulang ulang. (4). Phobia. Tanggal dan hari terjadinya
peristiwa, suara keras, air, orang yang berkerumun, suara halilintar, laut, angin,
atau apapun yang terkait dengan peristiwa gempa tsunami akan memicu ingatan
yang menyakitkan dan menakutkan. (5). Frustrasi dan depresi. Kebingungan,
stress, dan ketidakberdayaan membuat korban kehilangan kesadaran (eksistensi
dirinya) sehingga hubungan interpersonal sering mengalami ketegangan. (6).
Psikosomatis dan somatopsikologis. Psikosomatis adalah gangguan psikis yang
berakibat secara fisik, sebaliknya somatopsikologis adalah sakit secara fisik
berakibat pada munculnya gangguan psikologis.
Selain dampak psikologis, banyak kekerasan (violence) terjadi pada anak
dan perempuan pasca bencana. Murtakhamah (2011) menguraikan bahwa
perempuan dapat mengalami kekerasan fisik (pemukulan, penganiayaan),
Paton & Bishop, 1996; Turner, Nigg & Paz,1986). Individu berada dalam jaringan
masyarakat dan lingkungan rumahnya (tetangga) yang juga mempersiapkan diri
dalam menghadapi bencana. Oleh sebab itu, model ini kurang dapat
menjelaskan kesiapsiagaan individu yang tinggal dalam lingkungan
masyarakatnya. Dengan demikian, perlu pengembangan model yang lebih
komprehensif untuk menjelaskan kesiapsiagaan individu dalam masyarakat.
Selain pada model kesiapsiagaan terhadap tsunami Wimbarti & Nurhayaty
(2011b), rasa kemasyarakatan ini juga terdapat pada hasil suvei yang dilakukan
oleh Triatmadja (2010). Oleh karenanya, aplikasi untuk model serupa
membutuhkan beberapa variabel yang dapat mengakomodasi masyarakat
Indonesia. Oleh sebab itu, ada perbedaan dengan model yang digunakan Paton
et al. (2008b) tentang kesiapsiagaan tsunami. Perbedaannya terletak pada
penambahan sebuah variabel yaitu rasa kemasyarakatan.
Selain penambahan pada variabel rasa kemasyarakatan dalam model,
variabel pengharapan hasil yang positif dan pengharapan hasil yang negatif
merupakan hal yang dicermati dalam penelitian ini. Pengharapan hasil yang
negatif dan pengharapan hasil yang positif terletak pada satu kontinum. Variabel
yang terletak dalam satu kontinum tidak perlu dipisahkan. Oleh sebab itu,
variabel pengharapan hasil yang negatif dan pengharapan hasil yang positif
dalam penelitian ini dijadikan satu variabel, yaitu pengharapan hasil.
Parangtritis dan Aceh merupakan dua wilayah yang rawan tsunami.
Pemilihan tempat ini juga sejalan dengan pendapat Lindell dan Prater (2000a)
yang menyebutkan bahwa posisi atau letak daerah berpengaruh terhadap
41
kesiapsiagaan. Parangtritis merupakan daerah pernah terkena dampak tsunami
Pangandaran sedangkan Aceh adalah daerah rawan tsunami yang mengalami
kejadian tsunami besar secara langsung. Pemilihan kedua wilayah yang rawan
tsunami tersebut terletak dalam wilayah Indonesia yang berlatar belakang
budaya kolektivistik. Beberapa penelitian kesiapsiagaan terhadap bencana
menggunakan suatu wilayah yang mewakili negara berlatar belakang budaya
individualistik – kolektivistik seperti kesiapsiagaan terhadap gempa bumi dengan
subyek penelitian di kota Napier, Selandia Baru sebanyak 156 orang yang
mewakili negara dengan nilai individualistik tinggi (McIvor & Paton, 2007),
kesiapsiagaan terhadap gempa bumi yang melibatkan subyek penelitian dari kota
Shuhachi = 152 orang dan Jouson = 108 yang mewakili Jepang sebagai negara
dengan nilai individualistik sedang (Bajek, Okada, & Takeuchi, 2007), dan
kesiapsiagaan terhadap gunung berapi yang melibatkan subyek penelitian di
wilayah Gunung Merapi yang mewakili negara berlatar belakang budaya
kolektivisitik (Sagala, et. al., 2009). Oleh sebab itu, Parangtritis dan Aceh dapat
mewakili Indonesia yang berbudaya kolektivistik.
Lebih lanjut, hasil penelitian ini kemudian akan dibandingkan dengan hasil
penelitian Paton et al (2008b), baik hasil penelitian dari model kesiapsiagaan
tsunami di Parangtritis dan Aceh dengan model kesiapsiagaan tsunami di Kodiak
Alaska, Amerika Serikat. Kemudian data yang di peroleh dari Parangtritis dan
Aceh dijadikan satu menjadi model kesiapsiagaan tsunami Indonesia yang akan
dibandingkan dengan model kesiapsiagaan tsunami di Kodiak Alaska, Amerika
Serikat. Menurut Craig dan Douglas (2000), penelitian yang dilakukan di satu
negara tertentu dapat dibandingkan dengan hasil penelitian sejenis yang
dilakukan di negara lain. Penelitian ini merupakan penelitian model
42
kesiapsiagaan tsunami yang dilakukan di Indonesia dan dibandingkan dengan
model kesiapsiagaan tsunami Paton et al. (2008b) yang dilakukan di Alaska,
Amerika Serikat.
Berdasarkan pembahasan dalam latar belakang permasalahan, maka
permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat
Parangtritis dan Aceh?
2. Bagaimanakah model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat
Parangtritis jika dibandingkan model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada
masyarakat Aceh?
3. Bagaimanakah model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat
Parangtritis dan Aceh jika dibandingkan dengan model kesiapsiagaan
tsunami di Kodiak Alaska, Amerika Serikat?
4. Bagaimanakah model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat
Indonesia jika dibandingkan dengan model kesiapsiagaan tsunami di Kodiak
Alaska, Amerika Serikat?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menguji model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat di daerah
rawan bencana tsunami di Parangtritis dan Aceh.
2. Membandingkan model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat
Parangtritis dengan model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat
Aceh
43
3. Membandingkan model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat
Parangtritis dan Aceh dengan model kesiapsiagaan tsunami di Kodiak
Alaska, Amerika Serikat.
4. Membandingkan model kesiapsiagaan terhadap tsunami Indonesia dengan
model kesiapsiagaan tsunami di Kodiak Alaska, Amerika Serikat.
5. Berdasarkan pengujian terhadap model tersebut diharapkan dapat ditemukan
saran bentuk intervensi yang sesuai pada masyarakat di daerah rawan
bencana tsunami.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambahkan bukti ilmiah tentang
keterkaitan variabel-variabel yang membentuk model kesiapsiagaan terhadap
bencana pada umumnya dan kesiapsiagaan terhadap bencana tsunami pada
khususnya. Melalui pengujian model akan diperoleh bukti-bukti empirik yang
dapat digunakan pada model-model kesiapsiagaan yang sama ataupun
pengembangan/penyesuaian dari model-model yang ada.
Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai dasar melakukan bentuk intervensi yang sesuai dengan keadaan
masyarakat di daerah rawan bencana pada umumnya dan keadaan masyarakat
di daerah rawan tsunami pada khususnya dalam rangka pengurangan risiko
bencana.
E. Keaslian Penelitian
Kesiapsiagaan merupakan hal yang penting mengingat letak Indonesia
yang rawan bencana seperti gempa bumi, tsunami, gunung berapi, longsor, dan
44
lain-lain. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan bahwa penelitian tentang kesiapsiagaan khususnya
kesiapsiagaan terhadap tsunami telah dilakukan di beberapa negara termasuk
Indonesia. Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah:
1. Penelitian kesiapsiagaan terhadap tsunami yang menggunakan variabel
pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yang negatif, partisipasi
masyarakat, efikasi kolektif, pemberdayaan, dan kepercayaan yang dimediasi
oleh niat untuk bersiap-siap terhadap tsunami telah dilakukan di Kodiak,
Alaska, Amerika Serikat (Paton et. al., 2008b) dan di Tasmania (Paton, et al.,
2010b). Perbedaan dengan penelitian ini adalah penambahan variabel rasa
kemasyarakatan. Variabel pengharapan hasil yang positif dan pengharapan
hasil yang negatif dijadikan menjadi satu variabel yaitu pengharapan hasil.
Selain itu, penelitian dilakukan di Parangtritis dan Aceh.
2. Penelitian tentang kesiapsiagaan terhadap tsunami telah dilakukan di
Indonesia oleh Irawan, Nurrochmad, dan Triatmadja (2009) dan Wimbarti dan
Nurhayaty (2011b). Penelitian Irawan et. al. (2009) tidak menggunakan
variabel-variabel psikologis. Kesiapsiagaan ditinjau dari kesiapsiagaan
bencana tsunami di tingkat rumah tangga dan tingkat pemerintah yang diukur
menggunakan indeks kesiapsiagaan bencana. Penelitian Wimbarti dan
Nurhayaty (2011b) tentang kesiapsiagaan terhadap tsunami di Parangtritis
dengan menggunakan variabel kesadaran kritis, persepsi risiko, nilai budaya,
efikasi diri, pengharapan hasil, niat, kepercayaan, rasa kemasyarakatan.
Sementara itu, penelitian ini melihat keterkaitan variabel-variabel yang
membentuk kesiapsiagaan terhadap tsunami yaitu pengharapan hasil, rasa
kemasyarakatan, partisipasi masyarakat, efikasi kolektif, pemberdayaan, dan
45
kepercayaan yang dimediasi oleh niat untuk bersiap-siap terhadap tsunami.
Oleh karenanya penelitian Irawan et. al. (2009) dan Wimbarti dan Nurhayaty
(2011b) dengan penelitian ini berbeda.
3. Penelitian yang menggunakan variabel pengharapan hasil yang positif,
pengharapan hasil yang negatif, partisipasi masyarakat, efikasi kolektif,
pemberdayaan, kepercayaan, dan niat untuk mencari informasi untuk
mengetahui niat untuk bersiap-siap terhadap bencana juga pernah dilakukan
di Indonesia (Sagala, Okada, & Paton, 2009). Penelitian Sagala et. al. (2009)
dilakukan untuk bencana Gunung Merapi dan niat untuk bersiap-siap
terhadap bencana sebagai variabel terikat. Penelitian ini dilakukan di
Indonesia tetapi variabel terikatnya adalah kesiapsiagaan dan jenis
bencananya adalah tsunami.
Perbedaan-perbedaan yang telah diuraikan tersebut menunjukkan bahwa
penelitian ini belum pernah dilakukan sehingga dapat dinyatakan bahwa
penelitian ini asli.
46
Tabel 2Penelitian-penelitian Terdahulu
No Peneliti Variabel terikat Variabel bebas, variabel moderator Lokasi, jumlahsubyek
Alatanalisis Hasil
1.Bajek, Okada,dan Takeuchi(2007)
Niat untuk bersiagaterhadap gempabumi
partisipasi masyarakat, efikasi kolekif, dukungansosial, collective action coping of interest,collective action coping of place, rasakemasyarakatan, pemberdayaan, kepercayaan,dan niat untuk bersiaga terhadap bencana
Shuhachi = 152orang,Jouson = 108orang
analisismultipleregresi,
SEM
Efikasi kolekif berpengaruh pada pemberdayaan dan niat.Pemberdayaan berpengaruh pada kepercayaan dan kepercayaanberpengaruh pada niat. Partisipasi masyarakat, dukungan sosial,collective action coping of interest, collective action coping ofplace, & rasa kemasyarakatan tidak berpengaruh padapemberdayaan & kepercayaan. Pemberdayaan tidak berpengaruhpada niat
2.Irawan,Nurrochmad, danTriatmadja (2009)
Kesiapsiagaanbencana tsunami
kesiapsiagaan bencana tsunami di tingkat rumahtangga, kesiapsiagaan bencana tsunami ditingkat pemerintah
Bengkulu = 100orang IKB LIPI
Tingkat kesiapsiagaan masyarakat Bengkulu tergolong kurangsiap
3. Kirschenbaum(2006)
Kesiapsiagaanterhadap bencana
struktur keluarga, jaringan sosial keluarga,gender, dan kehadiran anak
Israel =814orang
Analisisregresi
wanita yang memiliki anak akan melakukan tindakankesiapsiagaan dibandingkan laki-laki dan individu yang memilikijaringan sosial yang luas, lebih ingin melakukan tindakankesiapsiagaan
Model fit 2 0,306, p 0,580, NFI 0,99, GFI 0,99. Sikap positifmemiliki pengaruh langsung dan tidak langsung pada niat. Sikappositif dan norma subjektif berpengaruh pada niat dimediasi olehharapan hasil. Action coping berpengaruh pada niat. Normasubjektif dimediasi oleh pengharapan hasil berpengaruh terhadapniat
5. Misra dan Suar(2007)
Kesiapsiagaanterhadap banjir
pengalaman terhadap bencana, pengetahuantentang bencana, dan persepsi terhadap risiko
Orissa = 300orang SEM
Pengalaman bencana dan pendidikan berpengaruh padakesiapan. Pengalaman bencana dan pendidikan dimediasi olehpersepsi risiko berpengaruh pada kesiapan. Persepsi risikoberpengaruh pada kesiapan.
6. Paton (2006)Kesiapsiagaanterhadap gunungberapi
pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi masyarakat,penentuan masalah, action coping,pemberdayaan, kepercayaan, dan niat untukbersiaga terhadap bencana
Auckland = 400orang SEM
Model fit dengan GFI = 0.99,RMSEA =0.052, & NFI = 0.98. Pengharapan hasil yang positif,pengharapan hasil yang negatif, partisipasi masyarakat,penentuan masalah, action coping, pemberdayaan, kepercayaan,dan niat berpengaruh terhadap kesiapsiagaan.
7. Paton, Bürgelt,dan Prior (2008a)
Kesiapsiagaanterhadap kebakaranhutan
pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, rasa kemasyarakatanterhadap tempat, rasa kemasyarakatan terhadaporang, penyelesaian masalah masyarakat, danpersiapan niat
Hobart = 482orang SEM
Model fit 2 = 8,30, df = 5, p=0,138; RMSEA = 0,037 RMSEA =0,628; NFI = 0,983, GFI =0,995, AGFI = 0,972. Pengharapan hasilyang positif berpengaruh terhadap niat dan persiapan. Rasakemasyarakatan pada tempat & orang berpengaruh terhadappenyelesaian masalah masyarakat, dan persiapan. Pengharapanhasil yang negatif menurunkan rasa kemasyarakatan pada tempat& orang berpengaruh terhadap penyelesaian masalah masyarakat,dan persiapan
47
8.Paton, Kelly,Burgelt, danDoherty (2006)
Kesiapsiagaanterhadap bencanakebakaran hutan
persepsi risiko, kesadaran kritis, action coping,efikasi diri, pengharapan hasil, niat untuk mencariinformasi, niat untuk bersiap-siap, rasakemasyarakatan, kepercayaan, tanggung jawabpribadi, persepsi terhadap kesiapan orang lain
Canbera danHobart = 280orang
Analisismultipleregresi
persepsi risiko, kesadaran kritis, action coping , pengharapanhasil, dan rasa kemasyarakatan berpengaruh terhadap niat untukbersiap-siap. Niat untuk bersiap-siap berpengaruh terhadapkesiapsiagaan terhadap bencana kebakaran hutan
9.Paton, Frandsen,& Johnston,(2010b).
Niat untuk bersiagatsunami
pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi, efikasi kolektif,pemberdayaan, kepercayaan, dan niat untukbersiaga terhadap bencana
Tasmania = 136orang SEM
Model fit 2=454,246, CMIN/DF =1,342, RMSEA = 0.052, CFI =0.942, IFI =0.943. partisipasi berpengaruh pada pemberdayaan.Partisipasi dimediasi pemberdayaan berpengaruh padakepercayaan. Pemberdayaan berpengaruh pada kepercayaan.Kepercayaan tidak berpengaruh pada niat. Pengharapan hasilyang negatif berpengaruh pada partisipasi. Makin tinggipengharapan hasil yang negatif maka makin rendah partisipasi.Pengharapan hasil yang positif tidak berpengaruh pada partisipasidan niat.
10.
Paton, et. al.(2008b)
Kesiapsiagaanterhadap tsunami
pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi masyarakat, efikasikolektif, pemberdayaan, kepercayaan, dan niatuntuk bersiaga terhadap bencana
Kodiak (Alaska)= 353 orang SEM
Model fit 2=19,19, df =13, p=0.117; RMSEA = 0.037,NFI = 0.99, GFI =0.99, AGFI = 0,96. Pengharapan hasil yangpositif berpengaruh pada partisipasi masyarakat, efikasi kolektif, &niat. Efikasi kolektif berpengaruh pada pemberdayaan &kepercayaan. Partisipasi masyarakat berpengaruh padapemberdayaan & kesiapsiagaan. Pemberdayaan berpengaruhpada kepercayaan. Kepercayaan berpengaruh pada niat dan niatberpengaruh pada kesiapsiagaan.
11.
Sagala, et. al.(2009)
Niat untuk bersiagaterhadap bencanaGunung Merapi
pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi masyarakat, efikasikolektif, pemberdayaan, kepercayaan, dan niatuntuk mencari informasi
Yogyakarta =322 orang SEM
Model fit 2/df=0,98 p=0,614, RMSEA=0,00, CFI=0,99 NFI=0,93,GFI=0,94. Pengharapan hasil yang positif berpengaruh padaefikasi kolektif. Efikasi kolektif berpengaruh pada partisipasimasyarakat & niat. Partisipasi masyarakat berpengaruh padapemberdayaan. Pemberdayaan berpengaruh pada kepercayaan,dan kepercayaan berpengaruh pada niat. Pengharapan hasil yangnegatif tidak berpengaruh pada niat.
Model fit RMSEA = 0,002; GFI = 0,950, CMIN/DF = 0,967 AGFI =0,924. Rasa kemasyarakatan sebagai moderator β=0,.723 p =0,001 Rasa kemasyarakatan berpengaruh terhadap kesiapsiagaanterhadap tsunami
48
Gambar 3. Peta Penelitian yang diajukan dalam penelitian ini
Desain rumah, posisi, bahan bangunan, dan pemeliharaan bangunan (Paton,et al 2008a). Kualitas lingkungan berpengaruh terhadap kesiapsiagaan.
Pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi masyarakat,penentuan masalah, action coping,pemberdayaan, kepercayaan, dan niat (Paton,2006).
Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yangnegatif, partisipasi masyarakat, penentuan masalah, actioncoping, pemberdayaan, kepercayaan, dan niat (Paton, 2006).
Karakteristik bahaya, dampak bahaya, konsekuensi yang dirasakan, reaksiefektif pada bahaya (Lindell, 1994). Karakteristik dan dampak bahaya sepertikecepatan, luas wilayah yang terkena dampak bencana, konsekuensi yangdirasakan, dan reaksi efektif pada bahaya berpengaruh pada kesiapsiagaan.
Persepsi risiko, kesadaran kritis, action coping, efikasi diri,pengharapan hasil, niat untuk mencari informasi, niat untukbersiap-siap, rasa kemasyarakatan, kepercayaan, tanggungjawab pribadi, persepsi terhadap kesiapan orang lain (Paton,Kelly, Burgelt, & Doherty, 2006)
Posisi/letak tempat tinggal, karakteristik demografi dan sosial ekonomi,pengalaman bencana (Lindell & Prater, 2000a). Posisi/letak tempat tinggalberpengaruh terhadap kesiapsiagaan.
Persepsi risiko, kesadaran kritis, action coping,efikasi diri, pengharapan hasil, niat untukmencari informasi, niat untuk bersiap-siap, rasakemasyarakatan, kepercayaan, tanggung jawabpribadi, persepsi terhadap kesiapan orang lain(Paton, Kelly, Burgelt, & Doherty, 2006)
Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yangnegatif, partisipasi, efikasi kolektif, pemberdayaan,kepercayaan, dan niat untuk bersiaga terhadap bencana(Paton, Frandsen, & Johnston, 2010b).
Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yangnegatif, partisipasi masyarakat, efikasi kolektif,pemberdayaan, kepercayaan, dan niat untuk mencari informasi(Sagala, et. al., 2009)
Kesadaran kritis, persepsi risiko, nilai budaya, efikasi diri,pengharapan hasil, rasa kemasyarakatan, kepercayaan danniat (Wimbarti & Nurhayaty, 2011b)
Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yangnegatif, partisipasi masyarakat, efikasi kolektif,pemberdayaan, kepercayaan, dan niat (Paton, et. al., 2008b)
Pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi masyarakat,efikasi kolektif, pemberdayaan, kepercayaan,dan niat (Paton, et. al., 2008b)
Pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi masyarakat,efikasi kolektif, pemberdayaan, kepercayaan,dan niat untuk mencari informasi (Sagala, et. al.,2009)
Variabel penelitian ini: Pengharapan hasil, efikasikolektif, rasa kemasyarakatan, partisipasimasyarakat, pemberdayaan, kepercayaan, dan niat
Kesadaran kritis, persepsi risiko, nilai budaya,efikasi diri, pengharapan hasil, rasakemasyarakatan, kepercayaan dan niat(Wimbarti & Nurhayaty, 2011b)
Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yang negatif, partisipasimasyarakat, penentuan masalah, action coping, pemberdayaan,kepercayaan, dan niat (Paton, 2006).
Persepsi risiko, kesadaran kritis, action coping, efikasi diri, pengharapan hasil,niat untuk mencari informasi, niat untuk bersiap-siap, rasa kemasyarakatan,kepercayaan, tanggung jawab pribadi, persepsi terhadap kesiapan oranglain (Paton, Kelly, Burgelt, & Doherty, 2006)
Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yang negatif, partisipasi,efikasi kolektif, pemberdayaan, kepercayaan, dan niat untuk bersiagaterhadap bencana (Paton, Frandsen, & Johnston, 2010b).
Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yang negatif, partisipasimasyarakat, efikasi kolektif, pemberdayaan, kepercayaan, dan niat untukmencari informasi (Sagala, et. al., 2009)
Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yang negatif, partisipasimasyarakat, efikasi kolektif, pemberdayaan, kepercayaan, dan niat (Paton,et. al., 2008b)