1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM) adalah permasalahan yang kompleks dalam kehidupan sehari-hari. Hampir setiap masalah dapat dikaji ke dalam perspektif HAM. Bahkan kini permasalahan mengenai HAM sudah menjadi sorotan dunia. Universal Declaration of Human Rights adalah bukti nyata atas perhatian dunia yang sangat besar terhadap HAM. Deklarasi ini diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut PBB) yang dilakukan pada tanggal 10 Desember 1948. Hal yang melatarbelakangi adanya deklarasi ini adalah semakin banyaknya kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pasca Perang Dunia. Oleh karena itu Majelis Umum PBB beranggapan bahwa perlindungan terhadap hak-hak individu harus ditegakkan. Berikut adalah pengertian-pengertian HAM: 1. Maidin Gultom “Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang melekat pada manusia yang mencerminkan martabatnya, yang harus memperoleh jaminan hukum, sebab hak-hak hanya dapat efektif apabila hak-hak itu dapat dilindungi hukum”. 1 2. Yanyan Mochamad Yani “Secara harfiah hak asasi manusia (HAM) dapat dimaknakan sebagai hak-hak yang dimiliki seseorang karena keberadaannya sebagai manusia”. 2 1 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 7. 2 Yanyan Mochamad Yani, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional, 16 Mei 2006, http://pustaka.unpad.ac.id/wp- content/uploads/2010/01/hak_asasi_manusia_dan_hubungan_internasional.pdf, dikunjungi pada tanggal 2 Juli 2015 pukul 13.50.
18
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang · Setelah ada deklarasi tentang HAM, muncul berbagai konvensi yang membahas tentang hak-hak manusia. secara lebih spesifik. Salah satunya juga
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM) adalah permasalahan yang
kompleks dalam kehidupan sehari-hari. Hampir setiap masalah dapat dikaji ke
dalam perspektif HAM. Bahkan kini permasalahan mengenai HAM sudah menjadi
sorotan dunia. Universal Declaration of Human Rights adalah bukti nyata atas
perhatian dunia yang sangat besar terhadap HAM. Deklarasi ini diprakarsai oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut PBB) yang dilakukan pada
tanggal 10 Desember 1948. Hal yang melatarbelakangi adanya deklarasi ini adalah
semakin banyaknya kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pasca Perang Dunia.
Oleh karena itu Majelis Umum PBB beranggapan bahwa perlindungan terhadap
hak-hak individu harus ditegakkan. Berikut adalah pengertian-pengertian HAM:
1. Maidin Gultom
“Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang melekat pada manusia
yang mencerminkan martabatnya, yang harus memperoleh jaminan hukum,
sebab hak-hak hanya dapat efektif apabila hak-hak itu dapat dilindungi
hukum”.1
2. Yanyan Mochamad Yani
“Secara harfiah hak asasi manusia (HAM) dapat dimaknakan sebagai hak-hak
yang dimiliki seseorang karena keberadaannya sebagai manusia”.2
1 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 7. 2 Yanyan Mochamad Yani, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional, 16 Mei 2006, http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/01/hak_asasi_manusia_dan_hubungan_internasional.pdf, dikunjungi pada tanggal 2 Juli 2015 pukul 13.50.
“HAM adalah hak-hak yang melekat pada semua manusia, tidak
membedakan kebangsaan, tempat tinggalnya, jenis kelaminnya, asal-usul
kebangsaaan dan etnisitas, warna kulit, agama atau keyakinan, bahasa, atau
status-status lainnya.”3
4. Jack Donnely
"Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata
karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan
kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan
semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia."4
5. Menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
“Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.”5
Dari kelima pengertian di atas, tidak ada pengertian HAM yang salah, karena
pada hakekatnya HAM bersifat kompleks oleh karena itu permasalahan tentang
HAM dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda-beda. Namun peneliti
dapat menjelaskan HAM sebagai berikut: HAM pada hakikatnya bersifat Alami dan
diperoleh oleh manusia begitu saja karena dia adalah manusia, hak ini adalah hak
yang melekat pada manusia bahkan sejak awal kehidupannya di dalam kandungan.
3 Zainal Abidin, Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia, 13 Juni 2013, http://pamflet.or.id/upload/community/document/Perlindungan_Hak_Asasi_Manusia_di_Indonesia.pdf, dikunjungi pada tanggal 2 Juli 2015 pukul 14.12 4 Rhona K.M. Smith, Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Bantul, 2008, hlm.28. 5 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165).
3
UUD 1945 juga diatur ketentuan tentang HAM. Ketentuan HAM dalam UUD
1945 terkandung dalam Pasal 28, dan terbagi dalam berbagai bagian yaitu dalam
Pasal 28 Huruf a sampai dengan Pasal 28 Huruf j. Sedangkan peraturan perundang-
undangan yang secara lebih khusus mengatur tentang HAM adalah Undang-undang
Negara Kesatuan Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Setelah ada deklarasi tentang HAM, muncul berbagai konvensi yang
membahas tentang hak-hak manusia secara lebih spesifik. Salah satunya juga yang
menjadi dasar tulisan peneliti dalam proposal ini, yaitu Konvensi Internasional
Hak-hak Anak. Gagasan mengenai hak-hak anak ternyata lebih dahulu dibahas jauh
sebelum pembahasan tentang HAM, yaitu pada berakhirnya Perang Dunia I. Hal
ini dilatarbelakangi dengan penderitaan yang muncul pasca Perang Dunia. Korban
yang paling menderita dalam peristiwa ini adalah wanita dan anak-anak. Banyak
dari wanita-wanita pada jaman itu terpaksa menjadi seorang janda dan mengurus
anak mereka sendirian dikarenakan suami mereka tewas dalam berperang. Oleh
karena itu banyak anak-anak yang menjadi anak yatim bahkan ada pula yang
kehilangan kedua orangtua mereka. Ide pembahasan tentang hak-hak anak pada
saat itu diprakarsai oleh gerakan para aktivis perempuan, salah satunnya aktivis
perempuan yang bernama Eglantyne Jebb6, adalah pendiri organisasi yang berfokus
dalam permasalahan anak-anak yaitu Save the Children.
Deklarasi hak anak pertama kali muncul pada tahun 1923, kemudian setelah
Perang Dunia II tepatnya pada tahun 1959 adalah deklarasi hak internasional kedua
bagi hak anak. 20 tahun kemudian setelah deklarasi kedua, pada tahun 1979
dicanangkan Tahun Anak Internasional. Pemerintah Polandia mengajukan usul
6 “Eglantyne was arrested and put on trial for her protest against the inhumane impact of the blockade on children. At her trial she was found guilty, but the judge was so impressed with her that he offered to pay her fine. It was the first donation to the charity she went on to found, Save the Children. Yet her ambitions went further, telling world leaders, “I believe we should claim certain rights for children and labor for their universal recognition.” The Geneva Declaration of the Rights of the Child, which Jebb wrote, was adopted by the League of Nations in 1924. Three decades later it inspired the UN Convention on the Rights of the Child, now signed by almost every country in the world”. Save The Children, The Woman Who Save The Children, 1 Januari 2015, http://www.savethechildren.org/site/c.8rKLIXMGIpI4E/b.6354847/k.2DD5/The_Woman_Who_Saved_the_Children.htm, dikunjungi pada tanggal 2 Juli 2015 pukul 20.57.
bagi perumusan suatu dokumen yang meletakkan standar internasional bagi
pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Inilah awal
perumusan Konvensi Hak Anak.7 Pada tanggal 20 November 1989 rancangan
Konvensi Hak Anak disahkan oleh Majelis Umum PBB dan diratifikasi oleh setiap
bangsa yang hadir kecuali oleh Somalia dan Amerika Serikat. Sedangkan Indonesia
baru menandatangani Konvensi ini pada 1 tahun kemudian, tepatnya pada tanggal
26 Januari 1990 dan dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 dan
meratifikasinya pada tanggal 25 Agustus 1990.
Ketika Indonesia sudah menandatangani dan meratifikasi Konvensi tersebut
maka sudah menjadi konsekuensi Indonesia untuk melakukan penyesuaian
terhadap segala ketentuan yang terdapat dalam konvensi tersebut, termasuk dalam
menyesuaikan peraturan perundang-undangan. Langkah pertama yang dilakukan
Indonesia dalam melaksanakan Konvensi tersebut adalah melakukan perubahan
kedua terhadap konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yaitu
Undang Undang Dasar Tahun 1945 dengan memasukkan Pasal 28B Ayat (2) yang
berbunyi “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Pada dasarnya dalam Konvensi Internasional Hak-hak Anak terdapat prinsip
yang mendasari segala ketentuan yang ada di dalamnya yaitu “Prinsip Kepentingan-
Kepentingan Terbaik Bagi Anak”. Prinsip inilah yang akan peneliti kaji dalam
pembahasan skripsi ini. Prinsip ini terkandung dalam bunyi Pasal 3 ayat (1)
Konvensi Internasional Hak Anak yaitu “Dalam semua tindakan yang menyangkut
anak-anak, baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial
pemerintah atau swasta, pengadilan, penguasa-penguasa pemerintahan atau
badan-badan legislatif, kepentingan terbaik dari anak-anak harus menjadi
pertimbangan utama.” Pernyataan pada pasal 3 ini juga dikuatkan dengan bunyi
pasal 4 yaitu “Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah legislatif,
administratif, dan lain sebagainya untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam
konvensi sekarang ini. Sepanjang menyangkut hak-hak ekonomi, sosial, dan
7 Supriyadi W. Eddiyono, Modul Pengantar Konvensi Hak Anak, 2005:hlm. 1 http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/09/Pengantar-Konvensi-Hak-Anak.pdf , diunduh pada tanggal 20 Juni 2015, pukul 21:34.
kebudayaan, negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah sampai
batas maksimal yang dapat dilakukan sdengan sumber-sumber daya mereka yang
tersedia dan bila diperlukan, dalam rangka kerjasama Internasional.” Pasal 3
dalam konvensi menjelaskan bahwa prinsip kepentingan terbaik dari anak adalah
sebuah kewajiban bagi setiap negara yang telah meratifikasi untuk
mengaplikasikannya dalam setiap kebijakan yang diambil, terutama kebijakan-
kebijakan yang berkaitan langsung dengan anak. Hal ini didukung dengan
pengaturan pada Pasal 4 di atas. Pemberlakuan prinsip kepentingan tebaik dari anak
di negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak anak selain diatur dengan Pasal 4
juga didukung dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Hukum Internasional.
Hukum Internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja Hukum
Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas Negara-negara antara Negara
dengan Negara; Negara dengan subjek Hukum lain bukan negara atau Subyek
hukum bukan Negara satu sama lain8. Dalam kaitannya dengan hukum
internasional sebagai hubungan antar negara dengan negara lain kerap
menimbulkan kesepakatan dan membuat produk hukum bersama, yaitu dengan
dibuatnya perjanjian Internasional.
Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mendefinisikan Perjanjian Internasional (treaty)
adalah suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur
oleh Hukum Internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih
instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya. Pengertian
lain mengatakan perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara
anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat
hukum tertentu9. Bentuk dari perjanjian Internasional antara lain adalah traktat,
pakta, konvensi, piagam, charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus
vivendi, covenant, dsb. Jika meliat dari jenis-jenis perjanjian internasional ini maka
Konvensi Internasional Hak-hak Anak merupakan produk dalam perjanjian
Internasional. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban Negara Indonesia untuk
8 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 4. 9 Ibid, hlm. 117
6
menggunakan prinsip kepentingan terbaik bagi anak dalam pengambilan kebijakan-
kebijakan yang dilakukannya terutama kebijakan yang berkaitan langsung dengan
anak.
Prinsip kepentingan terbaik bagi anak merupakan pertimbangan utama dalam
pengambilan setiap keputusan, karena anak adalah generasi penerus yang
menentukan masa depan dunia. Anak-anak yang berada dalam situasi perang, tidak
hanya menjadi korban atas perang yang terjadi, namun mereka adalah korban dari
tidak terpenuhinya kepentingan terbaiknya. Hak untuk tumbuh dan berkembang,
hak untuk merasa aman, hak untuk bermain, terkekang karena situasi tersebut.
Bahkan anak dalam situasi ini banyak yang terampas kebebasannya dan dilatih
untuk berperang.
Hidup dalam persamaan dan bebas dari diskriminasi juga merupakan bentuk
kepentingan terbaik dari anak. Seperti yang dialami tokoh muda berikut, Malalah
Yozahzai10 penerima nobel perdamaian dunia tertembak oleh pasukan Taliban
dikarenakan sejak usia 11 tahun Malala telah menjadi aktivis perlindungan anak
dan memperjuangkan kesetaraan perempuan untuk mendapatkan pendidikan.
Indonesia adalah Negara dengan luas wilayah 1,904,569 km211 dan jumlah
penduduk nomor 4 terbanyak di dunia dengan jumlah penduduk mecapai 253,60
juta jiwa12. Dengan populasi penduduk yang banyak, kita dapat menyimpulkan
bahwa diantara 253,60 juta jiwa tersebut banyak penduduk pula yang berada pada
10 Gadis yang lahir pada 12 Juli 1997 ini adalah seorang siswa yang berasal dari Kota Mingora, Kabupaten Swat, Provinsi Khyber-Pakhtunkhwa, Pakistan. Ia merupakan seorang aktivis muda yang ingin memperjuangkan dan memajukan hak wanita dalam bidang pendidikan. Malala tinggal dan bersekolah di lingkungan yang dikuasai oleh Taliban, sebuah grup militan yang ingin menerapkan hukum syariah di Pakistan. Taliban, yang dideskripsikan sebagai salah satu grup militan paling berbahaya di Pakistan, melarang perempuan bersekolah. Mereka bahkan memaksa agar sekolah-sekolah perempuan ditutup. Jika tidak, mereka akan menghancurkan sekolah-sekolah tersebut. Hal ini menarik Malala untuk memperjuangkan hak pendidikan para perempuan. Khairena Zhafran, Siapakah Malala Yousafzai?, http://dunia.tempo.co/read/news/2012/10/17/115436329/siapakah-malala-yousafzai, 17 Oktober 2012, dikunjungi pada tanggal 2 Juli 2015 pukul 18.35. 11 Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, Geografi Indonesia, 2010, http://www.indonesia.go.id/in/sekilas-indonesia/geografi-indonesia, dikunjungi pada 2 Juli 2015 pukul 21.40. 12 Herdaru Purnomo, Negara dengan Penduduk Terbanyak di Dunia, RI Masuk 4 Besar, detik finance, 6
usia anak. Oleh karena itu Pemerintah haruslah mempunyai prioritas khusus untuk
memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan anak. Anak adalah generasi penerus
bangsa dan penentu masa depan bangsa, sesuai dengan Prinsip Kepentingan
Terbaik Bagi Anak maka, baik dari setiap kebijakan-kebijakan yang diambilnya
maupun dari setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat haruslah
mempertimbangkan prinsip tersebut. Dengan jumlah yang banyak pada penduduk
usia anak ini maka rentan bagi anak-anak untuk menjadi korban dalam tindak
kejahatan, termasuk tindak kekerasan anak. Dalam rentan 3 tahun ini yaitu dari
tahun 2011-2014 kasus tentang kekerasan anak mengalami peningkatan yang
sangat signifikan. Pada tahun 2013 angka kekerasan pada anak mencapai 3700
kasus13. Kasus tentang kekerasan anak akhir-akhir ini menjadi perbincangan dan
perhatian banyak pihak. Kasus Kekerasan seksual di JIS ataupun Kasus Kekerasan
Seksual Emon di Jawa barat adalah 2 kasus besar yang mengawali pembahasan
tentang Kekerasan anak. Setelah kasus itu semakin banyak muncul dipemberitaan
tentang kasus-kasus kerasaan anak, akhir-akhir ini saja ada peristiwa video
kekerasan di Bukit Tinggi, Kekerasan pemukulan pada Renggo Kadafi, serta Vidio
Kekerasan di Temanggung. Ketiga kasus tersebut sama-sama terjadi di lingkungan
sekolah dan pelakunyapun juga adalah anak-anak, berdeda dengan kasus JIS dan
Emon yang pelakunya adalah orang dewasa. Namun dalam 3 contoh kasus tersebut
kita dapat melihat bahwa situasi sekarang ini peran anak dalam tindak kekerasan
mulai bergeser, mereka tidak lagi hanya sekedar menjadi korban dari kekerasan,
namun mereka juga menjadi pelaku dalam tindak kekerasan.
Ketika seorang dewasa yang menjadi pelaku kekerasan terhadap anak, maka
permasalahan tidak akan serumit ketika pelaku tindak kekerasan adalah seorang
anak juga. Pelaku dewasa dapat langsung dikenai ketentuan dalam KUHP kita,
namun untuk pelaku anak-anak pengurangan hukuman dari hukuman pokok pidana
saja tidak cukup. Namun ada tindakan yang lebih dari pada sekedar memberikan
efek jera kepada pelaku anak. Sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 3
13 Syariful Alam, KPAI: Setiap Tahun Terjadi 3.700 Kasus Kekerasan Terhadap Anak, RRI.co.id, 16 September, 2014, http://www.rri.co.id/post/berita/104143/nasional/kpai_setiap_tahun_terjadi_3700_kasus_kekerasan_terhadap_anak.html, dikunjungi pada tanggal 2 Juli 2015 pukul 22.22.
Konvensi Internasional tentang Hak Anak, bahwa pemberlakuan terhadap prinsip
kepentingan terbaik bagi anak juga harus dilakukan oleh pengadilan dalam
menangani perkara tentang anak, termasuk dalam kekerasan tentang anak.
Kepentingan yang dilindungi dalam penyelesain perkara kekerasan dari dan oleh
anak ini bukan hanya melindungi kepentingan dari satu pihak, yaitu harus
mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi pelaku dan dari korban, mengingat
keduanya adalah anak-anak.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai perkara kekerasan oleh anak, ada
baiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang definisi anak. Berikut adalah
pengertian anak menurut para ahli:
1. Shanty Dellyana
“Anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena
peraturan tertentu (mental dan fisik belum dewasa)”.14
2. Ter Haar
“Hukum adat meberikan dasar untuk menentukan apakah seseorang itu anak-
anak atau orang dewasa yaitu melihat unsur yang dipenuhi seseorang, yaitu
apakah anak tersebut sudah kawin, meninggalkan rumah orang tua atau
rumah mertua dan mendirikan kehidupan keluarga sendiri”.15
Dari pengertian tentang anak di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
seseorang dikondisikan oleh 3 Faktor, yaitu Lingkungan Sekitar, Ketentuan
Undang-undang, dan Kondisi riil anak itu sendiri, yaitu kondisi fisik anak. Dalam
Peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia sendiri ada begitu banyak
definisi anak, diantaranya:
1. Menurut Hukum Perdata
Pasal 330 Ayat (1) KUHPerdata (StaatBlad Tahun 1847 Nomor 23), “Yang
belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh
satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan
14 Shanty Delllyana, Wanita Dan Anak Di Mata Hukum, Liberty , Yogyakarta, 1990, hlm. 50 15 Mahadi, Soal dewasa. Dalam: Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 34.
9
sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak
kembali berstatus belum dewasa.”16
2. Menurut Hukum Ketenagakerjaan
Pasal 1 butir 26 Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenaga Kerjaan (Lembatan Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 39), “Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah
18 (delapan belas) tahun.”17
3. Menurut Undang-Undang Perlidungan Anak
Pasal 1 butir 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”18
4. Menurut Undang-undang Kesejahteraan Anak
Pasal 1 butir 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979
Tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 109), “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.”19
5. Menurut Undang-undang Pengadilan Anak
Pasal 1 butir 3 Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Anak(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 153). “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang
selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)
tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.”20
16 Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 17 Pasal 1 butir 26 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Lembatan Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39). 18 Pasal 1 butir 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109). 19 Pasal 1 butir 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 32). 20 Pasal 1 butir 3 Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153).
10
Dari berbagai definisi tentang anak di atas maka definisi Anak yang diakai
dalam proposal ini adalah definisi yang ada dalam Undang-undnag perlindungan
anak dan juga undang-undang pengadilan anak, yaitu yang disebut anak adalah
mereka yang belum berumur 18 Tahun dan sebelumnya belum pernah kawin.
Setelah mengetahui definisi anak, maka perlu juga kita mengetahui apa itu
yang dimaksud dengan kekerasan, berikut adalah pandangan mengenai kekerasan
anak para ahli:
1. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
“Kekerasan dapat di artikan sebagai penggunaan kekuatan fisik atau
kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau
sekelompok orang atau masyarakat yang kemungkinan besar mengakibatkan
memar, trauma, kematian, dampak psikolgis, kelainan perkembangan atau
perampasan hak.”21
2. Abu Huraerah
“ Kekerasan terhadap anak bisa juga diartikan tindakan melukai yang
berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang
ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali
dan kekerasan seksual, biasanya dilakukan para orangtua atau pihak lain
yang seharusnya merawat anak.”22
Dari pengertian tentang kekerasan di atas dapat disimpulkan bahwa
kekerasan bukan hanya berdampak pada luka fisik, namun juga pada luka psikis.
Luka psikis lebih sulit disembuhkan dari pada luka fisik, dan pasti dampaknya juga
lebih besar. Korban kekerasan yang trauma dan tidak dapat mengendalikan
traumanya tersebut, berpotensi melakukan kejahatan yang sama pada kemudian
hari. Selain dari pada menimbulkan luka fisik dan luka psikis, akibat yang lebih
fatal lagi dalam kekerasan adalah mengakibatkan korbannya meninggal dunia.
Kasus Renggo Kadafi yang terjadi pada mei 2014 adalah salah satu contoh dari
kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak yang sampai mengakibatkan korbannya
meninggal dunia. Selain kasus tersebut masih banyak kasus lain seperti Kasus
21 KPAI, Lindungi Anak Indonesia dai Kekerasan Seksual, 17 Mei 2014, http://www.kpai.go.id/artikel/lindungi-anak-indonesia-dari-kekerasan-seksual/, dikunjungi pada tanggal 2 Juli 2015 pukul 23.43. 22 Abu Huraerah, Child Abuse (Kekerasan Anak), Nuansa, Bandung, 2007, hlm. 43.