BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Maraknya pemberitaan tentang dugaan kelalaian pelayanan medis dari waktu ke waktu, kian menarik untuk disimak. Hal tersebut dapat kita ketahui pada makin maraknya pengaduan demi pengaduan kasus malpraktik yang diajukan oleh masyarakat kepada Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) atas profesi dokter yang dianggap merugikan hak-hak pasien. Dr. Broto Wasisto mengatakan MKEK Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sejak tahun 1997 hingga 2003 menerima laporan pengaduan kasus pelanggaran disiplin kedokteran/malpraktek di Propinsi DKI Jakarta sebanyak 92 kasus. Berarti rata-rata per tahun 13 kasus, dengan rincian 10 kasus pada 1997, 11 kasus pada 1998, 18 kasus pada 1999, 14 kasus pada 1999, 10 kasus pada 2001, 14 kasus pada 2002 dan 15 kasus pada 2003 1 . Sebagai fenomena gunung es (iceberg phenomenon), dugaan malpraktek kedokteran harus mendapatkan prioritas penanganan lebih saat ini. Tingginya kasus malpraktek yang terjadi akibat kelalaian dokter, memaksa pemerintah untuk turut serta secara pro-aktif memberikan perlindungan kepada masyarakat selaku pihak yang dirugikan berupa ketentuan undang-undang serta sanksi-sanksi hukum yang tegas. Dahulu profesi kedokteran sering dianggap sebagai sebuah profesi yang terkesan terisolir dan tidak pernah mendapat sentuhan hukum sama sekali. Namun 1. http:\\www.depkes.go.id, diakses tanggal 24 januari 2009.
33
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG …repository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000715/uii-skripsi-05410044... · PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... Kematian pasien akibat syok anafilaksis
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Maraknya pemberitaan tentang dugaan kelalaian pelayanan medis dari
waktu ke waktu, kian menarik untuk disimak. Hal tersebut dapat kita ketahui pada
makin maraknya pengaduan demi pengaduan kasus malpraktik yang diajukan oleh
masyarakat kepada Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) atas profesi
dokter yang dianggap merugikan hak-hak pasien.
Dr. Broto Wasisto mengatakan MKEK Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
sejak tahun 1997 hingga 2003 menerima laporan pengaduan kasus pelanggaran
disiplin kedokteran/malpraktek di Propinsi DKI Jakarta sebanyak 92 kasus.
Berarti rata-rata per tahun 13 kasus, dengan rincian 10 kasus pada 1997, 11 kasus
pada 1998, 18 kasus pada 1999, 14 kasus pada 1999, 10 kasus pada 2001, 14
kasus pada 2002 dan 15 kasus pada 20031.
Sebagai fenomena gunung es (iceberg phenomenon), dugaan malpraktek
kedokteran harus mendapatkan prioritas penanganan lebih saat ini. Tingginya
kasus malpraktek yang terjadi akibat kelalaian dokter, memaksa pemerintah untuk
turut serta secara pro-aktif memberikan perlindungan kepada masyarakat selaku
pihak yang dirugikan berupa ketentuan undang-undang serta sanksi-sanksi hukum
yang tegas.
Dahulu profesi kedokteran sering dianggap sebagai sebuah profesi yang
terkesan terisolir dan tidak pernah mendapat sentuhan hukum sama sekali. Namun
1. http:\\www.depkes.go.id, diakses tanggal 24 januari 2009.
doktrin-doktrin usang tersebut kini seakan tidak berlaku lagi karena menurut
hukum, tidak terdapat suatu tingkat superioritas kelas di dalam masyarakat, semua
dianggap sama dihadapan hukum (equality before the law).
National Health Service (NHS) menyebutkan bahwa dari satu saja
kelalaian medik yang dilaporkan, diperkirakan telah terjadi 25 kelalaian medik
yang lain. Oleh karena itu instrumen hukum sebagai salah satu kekuatan untuk
melindungi hak-hak dasar pasien perlu ditegaskan kembali sesuai dengan ruang
lingkup serta batasannya2.
Dalam menjalankan rangkaian diagnosa (menentukan kriteria penyakit
serta obat yang harus dipergunakan oleh pasien), seorang dokter dituntut untuk
selalu berhati-hati, karena satu insiden pelanggaran medis saja mampu
menimbulkan kerugian fisik hingga resiko hilangnya nyawa pasien. Dalam hal
seperti inilah seringkali dokter terjebak dalam problematika medis.
Semua itu harus disesuaikan dengan standard operasional prosedur yang
telah digariskan oleh organisasi profesi kedokteran. Karena sebagai seorang
pekerja profesional, tidak dibenarkan memiliki suatu sikap batin yang ceroboh
mengenai standar profesinya sendiri. Sikap batin seperti demikianlah yang sangat
berbahaya serta dapat mengancam kelangsungan kesehatan pasien.
Leenen dan Van Der Mijn seorang ahli hukum kesehatan Belanda
berpendapat bahwa dalam melaksanakan profesinya, seorang tenaga kesehatan
perlu berpegang pada tiga ukuran umum, yaitu :
a. kewenangan ;
2 www.google.com, diakses tanggal 7 januari 2009.
b. kemampuan rata-rata ; dan
c. ketelitian yang umum3.
Tiga unsur pokok inilah yang menjadi landasan primer pada standar
profesi kedokteran. Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik yang
dilakukan merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI)4.
Apabila terbukti secara sah dan meyakinkan seorang praktisi kesehatan
melakukan kelalaian medis, maka seorang dokter bisa diberi peringatan, skors,
ditunda sampai dicabut izin prakteknya5.
Belum lagi apabila tindakan tersebut memiliki unsur-unsur keterkaitan
terhadap pelanggaran pidana, maka aparat hukum berdasarkan ketentuan dalam
Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang RI Nomor 23
tahun 1992 tentang Kesehatan, serta Undang-Undang RI Nomor 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran, tidak akan segan-segan lagi untuk menyeret
tersangka, menyidangkan serta menjebloskannya kedalam jeruji penjara.
Dalam aspek hukum kesehatan, hubungan dokter dengan pasien terjalin
dalam suatu ikatan transaksi atau kontrak terapeutik. Masing-masing pihak yaitu
pihak yang memberikan pelayanan (medical provider) maupun pihak yang
menerima (medical receivers) mempunyai hak serta kewajiban yang harus
dihormati. Dalam ikatan demikianlah masalah Persetujuan Tindakan Medik
(PTM) ini timbul. Itu Artinya, disatu pihak dokter (tim dokter) mempunyai
perawatan. UU menentukan persetujuan pasien dapat berupa secara tertulis
ataupun lisan (pasal 45 ayat (4) UU No.29/2004). Hal ini didasari bahwa
hubungan antara dokter dengan pasien adalah hubungan atas dasar kepercayaan.
Dengan demikian dalam suatu keadaan darurat dimana pasien dalam
keadaan tidak sadar dan tidak ada pihak yang dapat dimintai persetujuannya,
sedangkan penundaan tindakan medik akan berakibat fatal bagi pasien, maka
informed consent tidak dibutuhkan. Contoh, dikatakan sebuah tindakan
malpraktek apabila dalam sebuah tindak bedah operasi yang dilakukan oleh dokter
dilaksanakan dengan tanpa sepengetahuan pasien, dapat dikenai pasal 351 KUHP
sebagai suatu penganiayaan. Tetapi karena dalam kasus ini bahwa tujuan
pembedahan adalah untuk kepentingan atau kebaikan pasien maka berdasarkan
ketentuan ataupun peraturan perundang-undangan yang berlaku dokter tidak dapat
dituduh telah melakukan kesalahan. Namun setelah pasien sadar atau dalam
kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan pejelasan baru kemudian
dibuat persetujuan (penjelasan pasal 45 ayat (1) UU No.29/2004).
Walaupun dalam implementasinya informed consent telah mendapatkan
legitimasi tertulis, persetujuan semacam itu tidak dapat dipakai sebagai alasan
pembenaran perlakuan medik yang menyimpang. Persetujuan (informed consent)
pasien atau keluarganya hanya sekedar membebaskan resiko hukum bagi
timbulnya akibat yang tidak dikehendaki dalam hal perlakuan medis yang benar
dan tidak menyimpang37. Walaupun ada persetujuan semacam itu apabila
perlakuan medis dilakukan secara salah hingga menimbulkan akibat yang tidak
37. lihat Standar Profesi Medik (SPM) dalam buku Dinamika Etika & Hukum
Kedokteran Dalam Tantangan Zaman, karya Chrisdiono M. Achdiat, hlm.25
dikehendaki, dokter juga tetap terbebani tanggung jawab terhadap akibatnya.
Informed consent sesungguhnya memiliki sebuah fungsi ganda. Bagi
dokter, informed consent dapat membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan
medis pada pasien, sekaligus dapat digunakan sebagai pembelaan diri terhadap
segala kemungkinan adanya tuntutan ataupun gugatan dari pasien atau
keluarganya terhadap resiko yang ditimbulkan.
Sedangkan bagi pasien, informed consent merupakan bentuk penghargaan
terhadap hak-haknya oleh dokter dan dapat digunakan sebagai dasar pembenar
untuk menuntut ataupun menggugat dokter sebagai akibat terjadinya
penyimpangan praktik dokter dari maksud diberikannya surat persetujuan
pelayanan kesehatan (informed consent).
Seperti halnya dengan profesi-profesi lain, profesi dunia kesehatan
(kedokteran) inipun dinilai rawan akan terjadinya tindakan pelanggaran medis.
Hal tersebut tak urung menimbulkan suatu bentuk konflik kepentingan antara
pasien/konsumen sebagai pihak penerima jasa layanan kesehatan (medical
receivers) dengan para tenaga kesehatan sebagai pihak yang penyelenggara
layanan (medical providers). Para konsumen yang merasa dirugikan haknya,
kemudian menuntut bahkan menggugat secara hukum para tenaga medis karena
dianggap mengecewakan dalam hal pelayanan maupun penanganan medis
terhadap mereka.
Kurangnya kesadaran hukum serta minimnya pengetahuan sebagian
masyarakat akan etika dunia kesehatan, memungkinkan mereka untuk gigit jari
karena pada faktanya, tindakan mereka dalam hal menuntut dan menggugat para
tenaga medis ternyata harus mentah terlebih dahulu sebelum masuk pada proses
persidangan.
Idealnya, sebelum mereka melayangkan surat gugatan ataukah penuntutan
kepada para tenaga medis tersebut, terlebih dahulu harus dipilah apakah perbuatan
tersebut murni akibat adanya pelanggaran etis atau memang terbukti adanya suatu
pelanggaran hukum.
Dalam analisa norma, etika berbeda dengan hukum. Norma etika (dalam
arti sempit) bertujuan untuk kebaikan hidup pribadi atau kebersihan/kemurnian
hati nurani/akhlak, sehingga masuk kedalam kaidah intra pribadi. Norma hukum
bertujuan untuk mendamaikan hidup bersama, sehingga tergolong kaidah intra-
pribadi. Kode etik sebagai code of professional conduct yang bersifat etika
terapan dalam uraian tentang kewajiban-kewajiban dokter di Indonesia, selain ada
kaedah etis/kesusilaan, terdapat pula kaedah kesopanan seperti kewajiban
terhadap teman sejawat dan kewajiban terhadap masyarakat dan pemerintah38.
Peran pengawasan terhadap kode etik (KODEKI) sangatlah perlu untuk
ditingkatkan guna menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang
mungkin dilakukan oleh setiap kalangan pada masing-masing bidang profesi
seperti halnya dengan profesi advokat, akuntan, notaris dll. Pengawasan biasanya
dilakukan oleh pihak/lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus sanksi
terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik. Dalam profesi kedokteran,
majelis yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan memberi sanksi pada
38. Ratna Suprapti Samil dan Agus Purwadianto, Mata Kuliah Blok Medikolegal, FK
UII, Januari 2005. hlm.1.
tiap anggota yang melanggar adalah Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
Indonesia (MKEK).
MKEK merupakan badan khusus dari organisasi profesi IDI (Ikatan
Dokter Indonesia) yang dibentuk berdasarkan Pasal 16 AD/ART/IDI. MKEK
mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk melakukan bimbingan, pengawasan
dan penilaian dalam pelaksanaan etika kedokteran dan kemudian mempunyai
kewajiban antara lain untuk memperjuangkan etika kedokteran agar dapat
ditegakkan di Indonesia39.
Langkah-langkah yang ditempuh MKEK dalam memperjuangkan etika
kedokteran dalam perkembangan kasus malpraktek telah diatur dalam suatu
prosedur penanganan sengketa medik. MKEK pusat dalam hal ini telah
melakukan pedoman penatalaksanaan sengketa medik. Namun terlebih dahulu
dalam hal ini perlu diurai bagaimana kualitas dokter dilihat dari segi etik.
Prof. Sarsintorini Putra, SH, MH menjelaskan bahwa :
“Kualitas dokter masa kini tidak hanya diperlukan dalam hal ilmu melainkan
harus mengimbangi emosi-emosi pasien, tanpa kehilangan keseimbangan
kepekaan dan pertimbangan yang tepat dalam menghadapi pasien yang
menderita“40.
Apabila benar bahwa seorang tenaga medis terbukti melanggar Kode Etik
Kedokteran Indonesia, yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana
telah diatur didalam pelaksanaan kode etik tersebut. Karena pendekatan yang di
39. Hendrojono Soewono, batas...op.cit.,hlm.205. 40. Sarsintorini Putra, Profesionalisme Dan Aspek Etik Dalam Hukum Kedokteran
Kaitannya Dengan Malpraktek Dan Medical Error , disampaikan dalam Seminar Nasional CME “ Professionalism In Medical Practice And Law’’, FK UGM, Yogyakarta, 10 Januari 2009, hlm. 4.
pergunakan dalam hal ini adalah penyelesaian sengketa medik dari segi etis, maka
sanksi yang diberikan MKEK kepada dokter yang melanggar disusun secara
bertahap seperti berikut :
a. Penasehatan.
b. Peringatan.
c. Pembinaan (pendidikan perilaku etis).
d. Reschoolling (untuk pelanggar berat).
Dahulu sebelum Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktek
kedokteran selesai dirumuskan, MKEK adalah satu-satunya majelis profesi yang
menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di
kalangan kedokteran. Akan tetapi setelah Undang-Undang tersebut selesai
dirumuskan, terkait dengan dugaan pelanggaran disiplin kedokteran terdapat
sebuah majelis yang secara khusus lebih berkompeten menyidangkannya yaitu
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Majelis ini didirikan sesuai dengan ketentuan pasal 55 ayat 1 Undang-
Undang tahun 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran yang berbunyi : “Untuk
menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi, dibentuk Majelis Kehormatan
Kedokteran Indonesia”, dengan tujuan utamanya adalah untuk mempertahankan
akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi41.
Lembaga ini juga mempunyai beberapa tugas dan wewenang, diantaranya