1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu perjanjian dinyatakan sah di depan hukum apabila isi dalam suatu perjanjian tersebut sesuai dengan sifat perjanjian, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan berdasarkan klausula baku yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan. Dewasa ini, perjanjian atau yang dikenal dengan istilah kontrak mengalami perkembangan pesat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, dalam dunia bisnis pelaku usaha mengikatkan diri dengan pelaku usaha yang lain melalui suatu perjanjian yang melahirkan hubungan hukum antara kedua belah pihak dan hubungan hukum tersebut dinamakan perikatan. Dari perjelasan tersebut maka lahir suatu konsep dasar bahwa perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah suatu peristiwa yang terjadi ketika pihak saling berjanji untuk melaksanakan perbuatan tertentu 1 . Menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal 2 . Di dalam buku ke III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) berkenaan dengan Pasal 1313, pengertian suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Mengenai sahnya suatu perjanjian pada dasarnya diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu 3 : 1 Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan, Pustaka Setia, Bandung, 2011, Hal. 119. 2 Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. Ke-VI, Intermasa, Jakarta, 1979, Hal. 1. 3 Lihat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
12
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang · PT. Perusahaan Listrik Negara/PLN (Tergugat) mengirimkan surat No. 01166/554/DITKEU/2011 tanggal 7 Pebruari 2011 perihal Pemutusan Perjanjian
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu perjanjian dinyatakan sah di depan hukum apabila isi dalam suatu
perjanjian tersebut sesuai dengan sifat perjanjian, tidak bertentangan dengan
kesusilaan dan berdasarkan klausula baku yang terdapat di dalam peraturan
perundang-undangan. Dewasa ini, perjanjian atau yang dikenal dengan istilah
kontrak mengalami perkembangan pesat dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Sebagai contoh, dalam dunia bisnis pelaku usaha mengikatkan diri
dengan pelaku usaha yang lain melalui suatu perjanjian yang melahirkan hubungan
hukum antara kedua belah pihak dan hubungan hukum tersebut dinamakan
perikatan. Dari perjelasan tersebut maka lahir suatu konsep dasar bahwa perjanjian
menerbitkan perikatan.
Perjanjian adalah suatu peristiwa yang terjadi ketika pihak saling berjanji
untuk melaksanakan perbuatan tertentu1. Menurut Subekti, suatu perjanjian adalah
suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau saling berjanji
untuk melaksanakan suatu hal2. Di dalam buku ke III Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUH Perdata) berkenaan dengan Pasal 1313, pengertian suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih. Mengenai sahnya suatu perjanjian pada
dasarnya diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu3:
1 Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan, Pustaka Setia, Bandung, 2011, Hal. 119. 2 Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. Ke-VI, Intermasa, Jakarta, 1979, Hal. 1. 3 Lihat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat perikatan;
3. suatu hal tertentu; dan
4. suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan
dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai
perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu4.
Adapun diketahui bahwa apabila salah satu syarat subyektif atau obyektif tidak
terpenuhi maka akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum dari tidak
terpenuhinya syarat-syarat subyektif adalah dapat dibatalkan. Artinya, salah satu
pihak dapat mengajukan pada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang
disepakatinya, tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan, perjanjian
tersebut tetap dianggap sah5. Sedangkan akibat hukum dari tidak terpenuhinya
syarat-syarat obyektif, adalah batal demi hukum. Artinya, dari semula perjanjian
tersebut dianggap tidak ada6. Terkait dengan tidak terpenuhinya syarat subyektif
yang berakibat hukum dapat dibatalkan sehingga salah satu pihak dapat
mengajukan pembatalan perjanjian kepada pengadilan atau melalui hakim, menjadi
sangat krusial apabila syarat tersebut tidak diindahkan. Hal ini disebabkan pada
akibat hukum dari syarat subyektif “ada” setelah putusan hakim yang membatalkan
suatu perjanjian. Dengan demikian, selama hakim belum membatalkan perjanjian
4 Wawan Muhwan Hariri, Op.Cit, Hal. 17. 5 Ibid, Hal. 126. 6 Salim H. S, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, Hal.166.
3
tersebut, maka perbuatan hukum (dalam hal ini perjanjian) tetap berlaku. Pasal 1266
KUH Perdata mengatur mengenai syarat batal dalam suatu perjanjian, yaitu:
“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal
balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal
demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus
dimintakan kepada Pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan,
meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di
dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan,
maka Hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa
memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka
waktu itu tidak boleh lebih dan satu bulan.”.
Dari penjelasan Pasal a quo terdapat 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan sebagai
syarat pembatalan suatu perjanjian, yaitu7:
1. Perjanjian harus bersifat timbal-balik.
2. Pembatalan harus dilakukan di muka hakim.
3. Harus ada wanprestasi.
Hal lain yang tidak kalah penting yang diatur dalam Pasal a quo adalah
bersifat mutlak karena terdapat kata “dianggap selalu” (dalam hal pembuatan
perjanjian) dan “harus” (dalam hal melakukan pembatalan perjanjian kepada hakim
atau melalui Pengadilan). Sedangkan berkenaan dengan hak-hak hukum pihak yang
tidak terpenuhi prestasinya karena wanprestasi diatur dalam Pasal 1267 KUH
Perdata yang menjelaskan bahwa, “Pihak yang terhadapnya perikatan tidak
terpenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan,
jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan dengan
penggantian biaya, kerugian dan bunga.”. Dengan demikian sangat jelas bahwa
klausula baku dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata merupakan ketentuan
7 P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Cet. Ke-III, Edisi Revisi,
Djambatan, Jakarta, 2007, Hal. 347.
4
hukum sebagai syarat batal jika terjadi wanprestasi dalam perjanjian timbal balik
yang tidak dapat dikesampingkan di dalam suatu perjanjian.
Dalam praktiknya, pada saat pembuatan suatu perjanjian para pihak sering
kali sepakat untuk mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata yang secara
langsung juga melakukan pengesampingan terhadap Pasal 1267 KUH Perdata.
Pengesampingan kedua Pasal a quo dilakukan untuk menghindari pemutusan
kontrak melalui pengadilan dan terdapatnya kebebasan para pihak menentukan isi
suatu perjanjian. Contoh kasus pengesampingan kedua Pasal a quo terdapat pada
Putusan No. 338/Pdt.G/2014/PN.Jkt. Sel yang duduk perkaranya sebagai berikut:
PT. Perusahaan Listrik Negara/PLN (Tergugat) mengirimkan surat No.
01166/554/DITKEU/2011 tanggal 7 Pebruari 2011 perihal Pemutusan Perjanjian
No. 0081-1.PJ/523/DIR/2003 tanggal 25 Agustus 2003 (“Surat Pemutusan
Perjanjian”) terhadap perjanjian sewa beli tanah dan bangunan yang telah
disepakati dengan Ir. Ermansyah Jamin (Penggugat). Pemutusan perjanjian secara
sepihak yang dilakukan oleh Tergugat didasarkan pada keterlambatan pembayaran
obyek perjanjian yang dilakukan oleh Penggugat yang berupa tanah seluas 1.953
m2 (seribu sembilan ratus lima puluh tiga meter persegi) dan bangunan seluas
1.494,40 m2 (seribu empat ratus sembilan puluh empat koma empat puluh meter
persegi) di Jl. Sriwijaya IV No. 3.
Pemutusan perjanjian secara sepihak tersebut sesuai dengan isi perjanjian
yang merujuk pada Pasal 6 ayat (1) s.d. ayat (4) jo. Pasal 8 ayat (1) dan ayat (4)
Perjanjian8 yang berisi:
8 Putusan Mahkamah Agung No. 338/Pdt.G/2014/PN.Jkt. Sel, Hal. 8.
5
“..... (4) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak Pihak
Kedua in casu Penggugat menerima peringatan tertulis terakhir ... Pihak
Pertama in casu Tergugat berhak memutus Perjanjian ini secara sepihak dan
Para Pihak sepakat untuk tidak memberlakukan ketentuan Pasal 1266 dan
1267 KUH Perdata.”
Dalam Putusan No. 338/Pdt.G/2014/PN.Jkt. Sel terdapat pertimbangan hakim
yang membenarkan pemutusan perjanjian secara sepihak yang mana menjelaskan
bahwa:
Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi
(Ir. Ermansyah Jamin) telah melanggar “Perjanjian” atau telah melakukan
Wanprestasi/Ingkar Janji, .... maka PT. PLN (Persero)/Penggugat
Rekonvensi/Tergugat Konvensi adalah beralasan memutus Perjanjian No.
0081-1.PJ/523/DIR/2003, tanggal 25 Agustus 2003 secara sepihak dan
Para Pihak (Penggugat dan Tergugat) sepakat untuk tidak
memberlakukan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata dan dengan
diputusnya “Perjanjian” tersebut, maka Pihak Penggungat (Ir.
Ermansyah Jamin) kehilangan haknya untuk membeli tanah dan rumah ...
dan harus segera mengembalikan tanah dan rumah kepada PT.PLN
(Persero) / Tergugat dalam keadaan kosong, selambat-lambatnya dalam
jangka waktu 3 bulan terhitung sejak tanggal diputusnya “Perjanjian” ....
Dan berdasarkan pertimbangan hakim sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, hakim memutuskan bahwa:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Tergugat Rekonvensi (Ir. Ermansyah Jamin) telah