BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Permasalahan Pada dasarnya kehendak utama manusia diarahkan untuk mencapai kebahagian. Kebahagiaan adalah tujuan dari setiap perjalanan kehidupan manusia. Berbagai jalan ditempuh oleh manusia untuk mencapainya. Di sisi lain, dalam upaya menuju kebahagiaan itu manusia tersentak oleh penderitaan. Ketersentakan itu terjadi karena penderitaan ada diluar kehendak manusia, di luar orientasi hidup manusia, di luar proyeksi kehidupan manusia. Secara umum, penderitaan adalah fenomena universal yang dihadapi oleh manusia. Penderitaan merupakan salah satu keadaan eksistensial dalam kehidupan. Penderitaan dengan demikian menjadi bagian dari historisitas manusia. Jika penderitaan menjadi bagian dari historisitas manusia maka penderitaan turut berperan dalam pembentukan jati diri manusia. Penderitaan dalam hal ini mengganggu proyeksi pemikiran manusia akan dunia yang dikehendakinya. Dunia yang dikehendaki bagi dirinya menyatu dengan pembentukan jati dirinya. Jadi, pada dasarnya pembentukan jati diri dipengaruhi oleh cara manusia
21
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/92359/potongan/S2-2015... · Mengapa penderitaan menimpa orang baik, tidak berdosa, ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
1. Permasalahan
Pada dasarnya kehendak utama manusia diarahkan untuk mencapai
kebahagian. Kebahagiaan adalah tujuan dari setiap perjalanan kehidupan
manusia. Berbagai jalan ditempuh oleh manusia untuk mencapainya. Di
sisi lain, dalam upaya menuju kebahagiaan itu manusia tersentak oleh
penderitaan. Ketersentakan itu terjadi karena penderitaan ada diluar
kehendak manusia, di luar orientasi hidup manusia, di luar proyeksi
kehidupan manusia.
Secara umum, penderitaan adalah fenomena universal yang
dihadapi oleh manusia. Penderitaan merupakan salah satu keadaan
eksistensial dalam kehidupan. Penderitaan dengan demikian menjadi
bagian dari historisitas manusia. Jika penderitaan menjadi bagian dari
historisitas manusia maka penderitaan turut berperan dalam pembentukan
jati diri manusia. Penderitaan dalam hal ini mengganggu proyeksi
pemikiran manusia akan dunia yang dikehendakinya. Dunia yang
dikehendaki bagi dirinya menyatu dengan pembentukan jati dirinya. Jadi,
pada dasarnya pembentukan jati diri dipengaruhi oleh cara manusia
memberi makna terhadap kenyataan di sekelilingnya termasuk
penderitaan.
Oleh karena itu, ada dua alasan filosofis masalah penderitaan
merupakan topik penting untuk diteliti. Pertama, kenyataan penderitaan
membuat manusia menyadari keterbatasan diri, saat yang menyadari
keterbatasan memahami kenyataan yang berada di luar kendalinya. Kedua,
kenyataan penderitaan mengundang manusia terus merefleksikan hidupnya
dan caranya memahami kenyataan yang transenden.
Sikap manusia terhadap penderitaan itu berbeda-beda. Penderitaan
sebagai yang dimaknai sebagai sisi negatif dari kehidupan cenderung
dihindari dan diabaikan. Di sisi lain, penderitaan yang dianggap positif
memberikan makna baru terhadap kehidupan yang dihadapi manusia itu
sendiri. Kedua sisi ini turut terbentuk dari struktur dasar pemikiran
manusia sehingga turut membentuk jati diri manusia.
Pencarian makna penderitaan sepanjang sejarah peradaban manusia
tentu tidak menyelesaikan masalah penderitaan. Ditilik dari sebabnya
penderitaan itu bersifat eksternal dan juga internal. Pembedaan sebab dari
penderitaan ini pun tidak mutlak menjelaskan penderitaan. Penderitaan itu
ada ketika disadari atau penderitaan berlangsung dalam kesadaran
manusia. Manusia dan penderitaan adalah dua hal yang tidak terpisahkan.
Masing-masing saling berkaitan dan saling melengkapi. Manusia tidak
menarik diri dari penderitaan dan penderitaan tak dapat dijelaskan lepas
dari manusia, keduanya terbingkai dalam identitas kemanusiaan.
Fenomena penderitaan ini menggairahkan manusia dengan segala
kemampuan rasionya menelusuri sebab dari penderitaan itu. Simpul-
simpul refleksi diarahkan ke Sang Illahi yang ditempatkan sebagai yang
berkuasa atas dunia ini. Dimanakah Allah? Mengapa Allah membiarkan
penderitaan terjadi? Mengapa penderitaan menimpa orang baik, tidak
berdosa, bahkan yang baru menghirup aroma kehidupan?
Teodise abad pertengahan menginterpretasikan penderitaan sebagai
akibat dari dosa. Dosa sebagai kejahatan manusia. Penderitaan merupakan
konsekuensi dari dosa. Allah sebagai yang Maha Baik dan Mahakuasa
memberikan hukuman berupa penderitaan kepada manusia yang berdosa.
Pemahaman ini memberikan tekanan psikis bagi orang-orang yang
melakukan kesalahan dan dianggap sebagai nasib yang layak diterima
(Sudarminta, 2008:198).
Kaum ateisme memandang penderitaan dan kejahatan menjadi
point penting mendukung argumen mereka tentang ketiadaan Allah.
Masalah penderitaan selesai, tidak ada Allah, jadi tidak ada jawaban atas
penderitaan. Penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh filsafat
mendukung adanya Allah pun tidak menyelesaikan pertanyaan
tentangukuran dan jumlah penderitaan yang begitu raksasa.
Salah satunya refleksi yang dilakukan oleh Hegel bahwa tanpa
negativitas segi-segi positif eksistensi tidak memperoleh bobot yang
sebenarnya. Nada yang sama disampaikan Frans Magnis (2006: 227)
bahwa “penderitaan adalah biaya pelaksanaan sebuah nilai yang lebih luas.
Tanpa penderitaan, perkembangan makhluk hidup menurut kodratnya
tidak akan mungkin”. Secara sederhana dipahami, tanpa penderitaan
kehidupan tidak akan berbobot. Tanpa penderitaan, tidak ada tanggung
jawab, tidak ada pengorbanan, tidak ada kesetiaan, dan tidak ada
solidaritas.
Pertimbangan-pertimbangan teologis filosofis ini memang
membuat manusia mengerti bahwa adanya keburukan dan penderitaan
merupakan implikasi kehendak Allah untuk menciptakan manusia.
Pengertian ini pun belum menyelesaikan persoalan penderitaan yang
sedemikian melimpah. Penderitaan yang dimaksudkan adalah penderitaan
individual masing-masing orang sebagaimana disaksikan dalam
lingkungan keluarga, lingkungan kerja dan lingkungan bermasyarakat.
Semua pertimbangan-pertimbangan tadi masih kurang memadai dan
kurang sedap ketika berhadapan dengan kelimpahan penderitaan (Magnis-
Suseno, 2006: 227-228).
Karl Theodor Jaspers adalah salah satu filsuf yang membahas
tentang penderitaan. Penderitaan dalam pemikirannya termasuk dalam
situasi batas (boundary situation). Situasi batas itu tercermin dari
kematian, penderitaan, nasib, kegagalan, perjuangan dan kekurangan-
kekurangan dunia. Jaspers menjelaskan bahwa justru dalam situasi batas
eksistensi manusia nampak. Eksistensi itu nampak ketika manusia
memutuskan atau menentukan pilihan terhadap hidupnya. Keputusan itu
menandainya sebagai manusia yang bebas dan harus memutuskan dalam
ketidaktahuannya. Manusia berhadapan dengan transendensi dalam
ketidaktahuannya. Kehadiran transendensi dimaknai dalam situasi batas
manusia. Penderitaan itu mendua. Di satu sisi, semua bentuk penderitaan
merusak dasein (manusia) sedikit demi sedikit. Pada sisi lain, menjadi
sesuatu yang baik, yaitu kesempatan bagi eksistensi untuk berkembang.
Situasi penderitaan membuat manusia dapat menjadi dirinya sendiri
dibandingkan dengan situasi keberuntungan yang cenderung membuat
manusia semakin dangkal (Hamersma, 1985:13-15).
Filsafat eksistensi dimulai dengan pertanyaan: Aku ini siapa?
Apakah yang saya ketahui? Apakah yang harus saya lakukan? Jaspers
memberikan titik tolak dari pemahaman manusia akan dirinya sendiri
dalam dunia. Manusia “aku” sebagai subjek yang tidak terjangkau oleh
penelitian ilmiah dalam arti sesungguhnya, dan hal yang sama juga
berlaku tentang dasar dunia. Di dalam dunia, manusia sama sekali tidak
menemukan dasar yang teguh sehingga manusia harus melampaui dunia
untuk mendasari diri sendiri (Weij, 1988:144).
Metafisika atau ontologi adalah salah satu cabang filsafat yang
menyelidiki hakikat di balik seluruh kenyataan. Metafisika cenderung
disamakan dengan ontologi dalam sejarah pemikiran filsafat. Menurut
Snijders (2009: 40), metaphysical insight dipakai dalam arti yang lebih
umum untuk membedakannya dengan scientifical insight, sedangkan
ontologi menunjuk pada pokok khusus dari metafisika
Ontologia adalah usaha paham (logos) tentang yang ada (on)
sejauh ada, maka menuju metaphysical insight. Metafisika menuju kepada
the ultimate unity or ground of everything, absolute being.
Penyelidikannnya merangkum cakrawala yang merangkum segala
cakrawala. Cakrawala yang melingkupi dalam pemikiran Jaspers disebut
sebagai All Encompassing (Das um Grefeinde) (Bakker, 1992:20).
Hakikat penderitaan dalam pemikiran Karl Jaspers ini akan
direlevansikan dengan penderitaan masyarakat Maluku pasca konflik.
Dampak yang ditimbulkan oleh konflik itu bukan hanya kerugian material
tetapi juga warisan immaterial. Warisan immaterial itu berupa
trauma.Warisan material di sisi lain yaitu segregasi wilayah pemukiman.
Akibatnya, komunikasi komunitas antar agama hanya berlangsung di
ruang-ruang publik seperti lembaga pendidikan dan tempat-tempat umum
(pasar, taman dll).
Hingga tahun 2014, masyarakat Ambon secara khusus masih hidup
dalam lingkungan yang tersegregasi. Segregasi (pemisahan) itu terbagi
berdasarkan agama, masing-masing komunitas beragama membentuk
wilayah pemukimannya. Walaupun konflik telah berakhir hampir sepuluh
tahun yang lalu tetapi proses integrasi (pembauran) penduduk di kota
Ambon tidak kunjung berhasil. Faktanya sebagian besar wilayah kota
Ambon (90%) masih dihuni oleh satu komunitas agama tertentu dan hanya
sebagian kecil wilayah (10%) yang penduduknya merupakan pembauran
(1999-2004) (Apituley, dkk, 2014: 13).
Fenomena konflik ini menjelaskan bahwa penderitaan turut pula
mempengaruhi perbedaan penghayatan masing-masing manusia dalam
pola relasinya. Kenyataan konflik membuat sebagian orang menderita
(trauma) tetapi sebagian orang justru berusaha melampaui penderitaan itu
dengan cara berdialog, membangun relasi antar-agama dan berusaha
menghayati kembali ajaran beragama yang lebih esensial.
2. Rumusan Masalah
1. Apa pemikiran filsafat Karl Jaspers tentang penderitaan?
2. Apa hakikat penderitaan Karl Jaspers dalam tinjauan ontologi?
3. Bagaimana kontribusi ontologi penderitaan dalam memahami
penderitaan Maluku pasca konflik?
3. Keaslian Penelitian
Peneliti hingga saat ini telah melakukan penelusuran terhadap
karya-karya yang berkaitan dengan Karl Jaspers dengan tema Boundary
situation, khususnya konsep penderitaan. Penelusuran dilakukan melalui
dua jalan yaitu penelusuran dalam literatur dalam bentuk fisik dan
penelusuran literatur terkait melalui internet.
Pertama, melalui penelusuran secara fisik, peneliti hanya
menemukan buku “Filsafat Eksistensi Karl Jaspers”tulisan dari Harry
Hamersma (terbitan tahun 1985) dan”Tahap-Tahap Bermetafisika Karl
Jaspers” dalam buku Metafisika Sistematik (terbitan tahun 2004) oleh Joko
Siswanto.
Kedua, melalui penelusuran internet, peneliti menemukan beberapa
temuan antara lain: buku “From Selfhood to Being“(terbitan tahun 2012)
karya Ronny Miron. Buku ini membahas perjalanan pemikiran Jaspers dan
analisnya terhadap diri melalui tahapan indrawi hingga tahapan metafsis