Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran drama dalam mata pelajaran bahasa Indonesia merupakan ajang mengasah keterampilan siswa dalam menggunakan bahasa, baik secara tertulis maupun lisan. Keterampilan bahasa tersebut adalah menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Keterampilan berbicara misalnya, seperti diungkapkan Irawan, Sudiana, dan Wendra (2014: hlm. 2) keterampilan berbicara harus dikembangkan melalui suatu latihan. Salah satu latihan pengembangan keterampilan berbicara itu adalah bermain drama. Dalam bermain drama, terdapat suatu kegiatan memerankan tokoh yang ada dalam naskah drama. Pemeranan tokoh dalam drama tersebut dilakukan dengan alat utama, yakni berupa percakapan (dialog). Untuk dapat melatihkan keterampilan berbicara dalam kegiatan bermain drama itu, siswa harus diperkenalkan terlebih dahulu dengan dunia pemeranan. Salah satu cara mengenalkan siswa dengan dunia pemeranan adalah melalui kegiatan menyimak, baik menyimak drama dalam bentuk audio maupun audio visual dengan menggunakan media video atau menyaksikan secara langsung pertunjukan drama. Pada bagian lain, untuk dapat melakukan pemeranan dalam drama seorang siswa harus berlatih membaca. Kemampuan membaca teknik dapat memudahkan siswa menyesuaikan ujaran dari bahasa tulis menjadi bahasa lisan dengan intonasi dan ekspresi yang sesuai. Keterampilan berbahasa dialogis ini tidak hanya menghadirkan konteks kebahasaan tetapi juga mampu menghadirkan dunia nyata meskipun dunia nyata tersebut muncul dari daya imajinasi dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Keterampilan lain adalah menulis. Syukron, Subyantoro, dan Yuniawan (2016: hlm. 49) menjelaskan bahwa drama adalah karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi dengan gerak dan dialog yang dipentaskan. Menulis naskah drama penting dilakukan peserta didik mengingat apresiasi drama (pementasan drama) sangat membutuhkan naskah. Dengan demikian, pembelajaran drama sudah seharusnya diarahkan pada kegiatan pembelajaran yang akan menarik minat siswa karena menuntut aktivitas dan
20
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.upi.edu/31013/4/D_IND_1103323_Chapter1.pdf · pembelajaran sastra yaitu: (1) penekanan aspek penilaian; (2) bentuk tes; (3) macam
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran drama dalam mata pelajaran bahasa Indonesia merupakan ajang
mengasah keterampilan siswa dalam menggunakan bahasa, baik secara tertulis
maupun lisan. Keterampilan bahasa tersebut adalah menyimak, membaca, berbicara,
dan menulis. Keterampilan berbicara misalnya, seperti diungkapkan Irawan, Sudiana,
dan Wendra (2014: hlm. 2) keterampilan berbicara harus dikembangkan melalui suatu
latihan. Salah satu latihan pengembangan keterampilan berbicara itu adalah bermain
drama. Dalam bermain drama, terdapat suatu kegiatan memerankan tokoh yang ada
dalam naskah drama. Pemeranan tokoh dalam drama tersebut dilakukan dengan alat
utama, yakni berupa percakapan (dialog).
Untuk dapat melatihkan keterampilan berbicara dalam kegiatan bermain
drama itu, siswa harus diperkenalkan terlebih dahulu dengan dunia pemeranan. Salah
satu cara mengenalkan siswa dengan dunia pemeranan adalah melalui kegiatan
menyimak, baik menyimak drama dalam bentuk audio maupun audio visual dengan
menggunakan media video atau menyaksikan secara langsung pertunjukan drama.
Pada bagian lain, untuk dapat melakukan pemeranan dalam drama seorang
siswa harus berlatih membaca. Kemampuan membaca teknik dapat memudahkan
siswa menyesuaikan ujaran dari bahasa tulis menjadi bahasa lisan dengan intonasi dan
ekspresi yang sesuai.
Keterampilan berbahasa dialogis ini tidak hanya menghadirkan konteks
kebahasaan tetapi juga mampu menghadirkan dunia nyata meskipun dunia nyata
tersebut muncul dari daya imajinasi dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.
Keterampilan lain adalah menulis. Syukron, Subyantoro, dan Yuniawan (2016: hlm.
49) menjelaskan bahwa drama adalah karya sastra yang bertujuan menggambarkan
kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi dengan gerak dan dialog yang
dipentaskan. Menulis naskah drama penting dilakukan peserta didik mengingat
apresiasi drama (pementasan drama) sangat membutuhkan naskah.
Dengan demikian, pembelajaran drama sudah seharusnya diarahkan pada
kegiatan pembelajaran yang akan menarik minat siswa karena menuntut aktivitas dan
Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
kreativitas siswa. Setiaji (2014: hlm. 115) menjelaskan bahwa pembelajaran drama
mempunyai peran yang penting untuk melatih peserta didik mengasah kemampuan
berekspresi dalam seni peran. Pembelajaran drama juga berfungsi untuk melatih
kepekaan karakter peserta didik dalam menghadapi setiap permasalahan yang ada.
Kegiatan memerankan tokoh dalam bermain drama dapat mengasah mental peserta
didik.
Drama merupakan salah satu genre sastra yang juga diajarkan baik pada
sekolah lanjutan maupun perguruan tinggi. Pengajaran drama di sekolah dan
perguruan tinggi di Indonesia, selama ini disinyalir masih kurang memuaskan.
Berbagai persoalan yang mempengaruhi kondisi tersebut masih berkaitan dengan
masalah lemahnya strategi pembelajaran (Marantika, 2014: hlm. 93).
Beberapa penyebab hal ini terjadi di antaranya adalah kompetensi guru dalam
pembelajaran drama sangat kurang. Marantika (2014: hlm. 93) menjelaskan bahwa
banyak pengajar yang masih belum memahami secara baik, bagaimana mengajarkan
drama. Drama hanya dimaknai sebagai sandiwara yang akan sulit diajarkan di kelas
karena berbagai kendala. Setiaji (2014: hlm. 116) menambahkan persoalan
pembelajaran drama yang lain yaitu pemberian materi yang berkaitan dengan
kemampuan memerankan tokoh drama masih kurang. Peserta didik harus mencari dan
mempraktikkan sndiri teknik-teknik bermain drama. Contoh teknik bermain peran
yang ditunjukkan oleh guru masih kurang maksimal. Model pembelajaran yang
digunakan juga masih sangat terbatas.
Metode pembelajaran tradisional yang berpusat pada guru secara dominan
membuat kreativitas siswa terbelenggu. Kurangnya kepercayaan guru terhadap daya
eksplorasi yang dimiliki siswa membuat guru lebih memilih berpusat pada
kompetensi pemahaman dan hafalan daripada pemahaman, penemuan, dan kreativitas
siswa yang dilakukan secara individu dan kelompok secara bertanggung jawab.
Hal ini senada dengan pendapat Suryatin (1999: hlm. 52-53) yang
menjelaskan bahwa terdapat tiga penyebab permasalahan pembelajaran sastra, yaitu
guru, siswa dan sarana belajar. Berkaitan dengan guru, Suryatin menjelaskan empat
faktor yang menjadi penyebabnya, yaitu (1) rendahnya minat baca guru terhadap
karya sastra; (2) kurangnya pengalaman guru dalam mempelajari teori sastra, (3)
kurangnya pengalaman guru mengapresiasi karya sastra, dan (4) keluasan cakupan
Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
kurikulum yang membuat guru kewalahan dalam mengatur waktu dengan plot waktu
yang terbatas.
Pendapat serupa juga dikemukakan Hamid (2007: hlm. 12-14) bahwa
pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal dari hari ke hari semakin sarat
dengan berbagai persoalan di antaranya: 1) pengetahuan kemampuan dasar dalam
bidang kesusastraan para guru sangat terbatas, 2) materi kesastraan yang mereka
peroleh selama mengikuti pendidikan formal di LPTK yang sangat terbatas, 3) materi
kesastraan yang mereka peroleh selama mengikuti pendidikan formal di perguruan
tinggi (PT) sangat terbatas, 4) Materi kuliah kesastraan yang mereka peroleh lebih
bersifat teoritis, sedangkan yang mereka butuhkan di lapangan lebih bersifat praktis.
Berkaitan dengan metode yang digunakan guru dalam pembelajaran sastra
sebagai salah satu penyebab kurangnya minat siswa dalam pembelajaran tersebut,
Amarzaki (2005) menjelaskan bahwa pembelajaran sastra belum mampu membuka
mata siswa terhadap daya tarik sastra. Kalau sekadar menghafal nama pengarang,
judul karya, dan periodisasi sastra saja memang belum cukup menarik bagi siswa.
Sekadar menentukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra, tanpa
mengaitkannya dengan pengalaman siswa juga belum mampu membuka mata siswa.
Sekedar membaca puisi atau menentukan rima juga belum mampu memunculkan
kreativitas pada siswa.
Waluyo (2001: hlm. 162) menguraikan pendapat yang hampir sama bahwa
penyebab dari kendala pengajaran sastra antara lain akibat faktor waktu yang kurang,
faktor fasilitas bacaan-bacaan sastra yang terlalu sedikit, faktor minat siswa terhadap
sastra kurang begitu menggembirakan, faktor kemampuan guru yang tidak berlatar
belakang disiplin ilmu bahasa dan sastra Indonesia dan faktor-faktor lain: porsi sastra
dalam evaluasi.
Harmoni (2014: hlm. 7) menjelaskan kendala atau problematika pembelajaran
drama yaitu (1) drama memerlukan waktu yang cukup lama, sementara masih banyak
kompetensi dasar (KD) yang harus dituntaskan; (2) kesulitan dalam mengatur siswa
agar mampu bekerja dalam kelompok drama; dan (3) keterbatasan media.
Berkaitan dengan penilaian, Sutrisna, Nengah, dan Arifin (2013) mengutip
pendapat Sarwiji (2005) yang menemukan bahwa kemampuan guru dalam
menyiapkan dan melakukan penilaian masih kurang dan bahkan masih banyak guru
Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
yang belum memiliki pemahaman yang memadai tentang sistem penilaian yang sesuai
dengan penerapan kurikulum yang berlaku.
Oleh karena itu, pembelajaran drama membutuhkan sebuah model
pembelajaran yang dapat menjembatani kreativitas siswa. Pembelajaran yang mampu
memberikan kepercayaan kepada siswa untuk dapat bereksplorasi secara maksimal
sehingga memperoleh kompetensi yang baik dan pengalaman belajar yang menarik
dan menantang.
Pembelajaran drama tidak hanya sebatas menikmati pertunjukan drama atau
membacakan naskah drama. Pembelajaran drama membutuhkan sebuah proses yang
integratif antara membaca, menulis, berbicara, menyimak, dan berkreasi dengan seni
peran. Drama menjadi hidup bila telah sampai pada mempertunjukan sebagai salah
satu bentuk apresiasi. Proses besar ini akan lebih bernilai dari berbagai sudut pandang
bila dilakukan dalam bentuk proyek yang terbimbing dan terencana. Bila guru hanya
mengandalkan metode pembelajaran yang mengedepankan teori, maka drama hanya
akan menjadi bahan pembelajaran bahasa yang membosankan. Model pembelajaran
yang tepat menjawab permasalahan ini adalah model pembelajaran Project Based
Learning (PJBL).
Sebelum secara khusus memaparkan PJBL, berkaitan dengan kurikulum 2013
penelitian Pujiono (2014) penting untuk mendapat perhatian. Dalam penelitianya yang
berjudul Kesiapan Guru Bahasa Indonesia SMP dalam Implementasi Kurikulum 2013
Pujiono menjelaskan bahwa hasil penilaian guru dari angket yang diberikan, yaitu: (1)
perlu diberi materi pengayaan selain buku ajar yang diberikan pemerintah, (2)
keterampilan membaca, menulis, berbicara, dan menyimak kurang proporsional
dalam Kurikulum 2013, dan (3) beberapa guru berpendapat bahwa metode dan
strategi pembelajaran tidak mudah diterapkan dalam pembelajaran. Menurut
pernyataan guru, materi pengayaan sangat dibutuhkan dalam mengimplementasikan
kurikulum 2013.
Pembelajaran PJBL merupakan pembelajaran yang sudah lama dikenal dalam
dunia pendidikan meskipun penerapannya belum secara maksimal. Pemilihan PJBL
diterapkan dalam pembelajaran drama karena pembelajaran drama menuntut
kreativitas siswa. Kreativitas siswa dapat muncul dan berlaku bila siswa diberikan
Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
kebebasan dan kepercayaan dalam berkreasi. Salah satu caranya adalah dengan
memberikan mereka sebuah proyek.
Dalam berbagai pembelajaran tertentu PJBL mencapai puncak
keberhasilannya. Sayangnya, PJBL memiliki kekurangan ketika diterapkan pada
pembelajaran yang mementingkan proses kreativitas seperti pembelajaran drama
karena PJBL masih menggunakan penilaian/evaluasi tradisional, yaitu penilaian pada
akhir pembelajaran. Hal ini seperti diungkapkan The George Lucas Educational
Foundation (2003) bahwa penilaian dalam PJBL dilakukan terhadap hasil kerja siswa
dalam proyeknya. Penilaian dilakukan untuk mengukur ketercapaian kompetensi
siswa dengan melihat hasil akhir. Sebagai sebuah proyek, penilaian proses sangat
dibutuhkan untuk memantau perkembangan dan hasil kinerja siswa pada setiap
tahapan proyek. Dengan demikian, dibutuhkan pengembangan pada pembelajaran ini
dengan mengintegrasikan penilaian autentik di dalamnya.
Penilaian autentik diharapkan mampu menjadi pemecah persoalan
pembelajaran sastra khususnya drama dalam kaitannya dengan penilaian.
Sebagaimana yang disampaikan Masruroh (2016) bahwa terdapat persoalan penilaian
pembelajaran sastra yaitu: (1) penekanan aspek penilaian; (2) bentuk tes; (3) macam
tes; dan (4) ketidakseimbangan jumlah soal dengan materi yang dikandung dalam
pembelajaran bahasa dan sastra.
Penilaian merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pembelajaran.
Sebuah bagian dari mata rantai pendidikan. Jika mata rantai ini terlepas atau tidak
berfungsi sebagaimana mestinya, akan berdampak pada pembelajaran dan pendidikan
dengan hasil tidak sempurna. Di antara hasil itu adalah tidak terukurnya kompetensi
siswa dengan jelas dan berkeadilan. Hasil penilaian hanya akan menghasilkan angka-
angka yang memiliki makna sesaat sebagai sebuah proses administratif semata.
Penilaian berarti proses menilai sesuatu dan menilai itu mengandung arti
mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan mendasarkan diri atau berpegang pada
ukuran baik atau buruk, sehat atau sakit, pandai atau bodoh, dan sebagainya. Jadi
penilaian itu sifatnya kualitatif (Sudijono, 2007, hlm. 4-5).
Assessment is central to teaching and learning. The assessment information is
needed to make informed decisions regarding students’ learning abilities, their
placement in appropriate levels and their achievement (Fook dan Sidhu, 2010, hal. 1).
Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Penilaian merupakan bagian yang sangat penting dalam kegiatan pembelajaran.
Informasi penilaian diperlukan untuk membuat keputusan mengenai kemampuan
belajar siswa, penempatan mereka pada tingkatan yang tepat. Penilaian juga
dibutuhkan sebagai gambaran perkembangan prestasi siswa dalam belajar.
Fook dan Sidhu (2010, hlm. 1) sepakat dengan pendapat Sadler (2005) yang
menjelaskan bahwa penilaian mengacu pada pembuatan evaluasi terhadap kinerja
keseluruhan siswa dan menghasilkan asumsi tentang pembelajaran mereka
serta produk kebijakan pendidikan, yang meliputi kualitas atau prestasi dalam tugas-
tugas seperti tes, proyek, laporan dan pemeriksaan. Di sisi lain, keberhasilan penilaian
apapun bergantung pada seleksi yang efektif dan penggunaan prosedur
serta interpretasi yang tepat dari kinerja siswa. Dengan demikian, prosedur penilaian
juga membantu dalam mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas kurikulum,
metodologi pengajaran dan bahan ajar.
Penilaian tidak hanya berdampak sementara dan hanya pada siswa, penilaian
dapat menjadi penentu keberlanjutan sebuah proses pembelajaran bahkan kualitas
pendidikan di sebuah negara. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam dunia
pendidikan pun dapat didasarkan pada hasil penilaian. Penilaian bagi siswa
merupakan sebuah reward atau funishment yang akan menjadi tolak ukur keberhasilan
belajar mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan instrumen penilaian yang tepat sesuai
dengan karakteristik pembelajaran tertentu.
Sudjono (2007, hlm. 4) mengontraskan penilaian dengan pengukuran sebagai
bagian dari evaluasi. Pengukuran diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk
mengukur sesuatu. Mengukur pada hakikatnya adalah membandingkan sesuatu
dengan atau atas dasar ukuran tertentu. Pengukuran yang bersifat kuantitatif itu dapat
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu (1) pengukuran yang dilakukan bukan untuk
menguji sesuatu; (2) pengukuran yang dilakukan untuk menguji sesuatu; dan (3)
pengukuran untuk menilai, yang dilakukan dengan jalan menguji sesuatu.
Penilaian (kualitatif) dapat menjadi lebih sempurna bila didukung dengan
pengukuran (kuantitatif) yang tepat dan terukur. Pengukuran menjadi bahan
pertimbangan dan penilaian menjadi keputusannya. Evaluasi menggabungkan antara
pengukuran dan penilaian.
Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Penilaian sebagai salah satu tolak ukur dan indikator keberhasilan
pembelajaran dirasa sangat penting dan berpengaruh pada pembelajaran. Penilaian
tidak sekadar berfungsi sebagai perhitungan hasil akhir dari sebuah pembelajaran,
yang lebih penting adalah penilaian merupakan proses yang melekat erat dalam proses
pembelajaran. Nurgiantoro (2010: hlm. 3) menjelaskan bahwa penilaian merupakan
suatu kegiatan yang tidak mungkin dipisahkan dari kegiatan pembelajaran secara
umum. Semua kegiatan pembelajaran harus selalu diikuti atau disertai dengan
kegiatan penilaian.
Faktanya, proses penilaian yang diharapkan itu jauh dari harapan. Salah
satunya adalah pada pembelajaran sastra. Penilaian dalam pembelajaran sastra di
sekolah menemui kendala-kendala yang sebenarnya bersifat klasik. Penilaian dalam
pembelajaran sastra dilakukan oleh guru dengan cara dan instrumen yang sama
dengan pembelajaran lain. Penilaian dengan mengandalkan bentuk-bentuk tes dan
instrumen tes yang tidak mengindikasikan kompetensi bersastra siswa. Misalnya,
penilaian pembelajaran sastra dilakukan dengan instrumen soal pilihan ganda atau
bentuk soal lain yang mengedepankan aspek kognitif saja yang dilakukan pada akhir
pembelajaran.
Berikut ini beberapa instrumen tes (soal) pembelajaran drama yang pernah
diujikan dalam kegiatan penilaian.
Sari : Tidak, memang keluargaku keluarga miskin, kok. Tetapi sekarang ini aku
bisa memenuhi segala keinginanku. (Sari berjalan ke depan meninggalkan
teman-temannya dua langkah). Sekarang, apa saja yang aku inginkan, pasti
terlaksana.
Nani : Huh, sombong sekali kamu sekarang, Sari!
Sari : Kamu nggak percaya?
Nani : (mencibirkan bibir dan menggelengkan kepala) Sama sekali aku tidak
percaya!
Sari : Kalau begitu akan aku buktikan sekarang.
Ita : Ya, Sari. Buktikan sekarang juga!
Konflik pada kutipan drama tersebut adalah…
Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
A. Kepedulian Nani kepada Sari
B. Perasaan iri Nani terhadap Sari
C. Ketidakpercayaan Nani kepada Sari
D. Kesombongan Nani yang berlebihan
(Soal Ujian Nasional tahun 2015)
Beberapa pola pertanyaan berkaitan dengan drama sebagai berikut:
a. Siapakah tokoh utama dalam kutipan drama tersebut?
b. Bagaimana perwatakan tokoh x dalam kutipan dram tersebut?
c. Unsur intrinsik yang paling dominan dalam kutipan drama tersebut adalah…
Bentuk instrumen tes seperti ini sangat mudah dan sering kita jumpai
digunakan dalam pembelajaran drama sebagai pengujian pada awal pembelajaran
(pretest), dalam setiap menyelesaikan pokok bahasan (ulangan harian), dalam
pertengahan semester (ujian tengah semester), dan pada akhir pembelajaran (ujian
akhir semester). Jenis soal ini, bagaimanapun modifikasinya untuk memahami
kompetensi keterampilan siswa dalam bersastra, semua tetap saja didasarkan pada
pengetahuan siswa tentang sastra dan bukan kemampuan siswa dalam bersastra.
Pembelajaran sastra sering dikaitkan dengan dunia potongan-potongan teks.
Jenis instrumen tes dengan menggunakan soal pilihan ganda seperti ini tidak
sepenuhnya salah. Kesalahan terjadi ketika tidak adanya kombinasi tes yang mampu
mengidentifikasi kompetensi siswa secara berkeadilan dan menyeluruh sehingga
setiap aktivitas perkembangan siswa dapat dipantau melalui instrumen-instrumen
penilaian ini. Yang lebih penting lagi adalah memberikan pengalaman belajar yang
nyata, real, dan apa adanya namun kinerja dan aktivitas siswa dapat dihargai dengan
memberikan penilaian autentik.
Kaitannya dengan implementasi kurikulum 2013, Pujiono (2014, hlm. 258)
menjelaskan bahwa terdapat beberapa guru yang berpendapat bahwa evaluasi dan
ketuntasan belajar tidak mudah dipahami oleh guru sesuai dengan hasil angket,
sehingga perlu dikaji lebih lanjut atau dilakukan sosialisasi lanjutan kepada para guru
bahasa Indonesia SMP (khususnya di Kulonprogo). Evaluasi yang dilakukan oleh
guru seharusnya berbasis autentik. Artinya, guru harus melihat kemampuan siswa
secara langsung berdasarkan kemampuannya selama proses pembelajaran.
Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Permasalahan ini diperparah dengan kenyataan guru-guru pembelajaran sastra
atau guru mata pelajaran Bahasa Indonesia yang sangat kurang memahami jenis
penilaian ideal yang mengedepankan keterampilan dan kompetensi sastra.
Berdasarkan survai dan wawancara prapenelitian yang dilakukan peneliti pada lebih
dari 30 orang guru mata pelajaran bahasa Indonesia di Kota Serang disimpulkan
bahwa hanya sebagian kecil guru yang memahami berbagai model pembelajaran dan
model penilaian yang tepat digunakan dalam pembelajaran drama. Itupun dengan
berbagai keluhan dalam penerapannya. Secara rinci beberapa penyebab permasalahan
tersebut di antaranya:
a. Guru bahasa Indonesia kurang memiliki kompetensi bersastra.
b. Guru bahasa Indonesia tidak memiliki kualifikasi pendidikan yang sesuai dengan
mata pelajaran yang diampu.
c. Guru bahasa Indonesia lebih mengedepankan pembelajaran bahasa.
d. Guru bahasa Indonesia tidak atau kurang memahami penilaian yang
e. Guru bahasa Indonesia terbiasa mengabaikan dan menghindari pembelajaran
sastra.
f. Guru bahasa Indonesia tidak memahami strategi pembelajaran sastra dengan baik
atau tidak mau memilih menggunakan metode atau strategi pembelajaran yang
tepat dan sesuai dengan kompetensi bersastra.
Permasalahan lain yang berdampak pada minimnya kualitas pembelajaran
sastra seperti dijelaskan Soedjarwo (2004, hlm. 6) bahwa hubungan antara ilmuwan
sastra di perguruan tinggi dengan dunia penciptaan dan dunia penikmatan sastra terasa
kurang akrab. Ilmuwan sastra lebih banyak disibukkan dengan dunia sendiri dengan
buku-buku teks dan berbagai teori sastra. Di perguruan tinggi sastra terkadang terlalu
“diilmiahkan” sehingga menjadi terpisahkan dari hakikatnya sebagai karya seni.
Komunikasi dengan golongan pencipta dan penikmat menjadi tidak lancar karena
ilmuwan sastra menggunakan idiom-idiom yang tidak dapat dipahami oleh dua
golongan lain. Pendekatan ilmiah akademis terhadap karya sastra kadang
mengesampingkan hakikat sastra sebagai karya seni. Sastra lebih banyak dianalisis
berdasarkan teori tertentu, sedangkan penikmatan dan penghayatan atas karya sastra
itu sendiri dikesampingkan.
Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Hal ini sedikit demi sedikit berdampak pada lulusan perguruan tinggi yang
menjadi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Guru yang sudah terbiasa
terkonsep kesusastraannya dengan “keilmiahan” tadi, mengajarkan sastra sebagai
pengetahuan untuk dihafalkan menjelang ujian akhir sekolah.
Kusmalina (2010, hlm. viii) dalam penelitiannya berjudul “Pembelajaran
Bermain Drama dengan Terknik Sinektik” menjelaskan bahwa sampai saat ini
pembelajaran sastra, drama khususnya belum begitu menarik. Pembelajaran sastra di
lembaga sekolah masih minim dan kurang atraktif. Dari beberapa sekolah yang
peneliti ketahui masih ada beberapa guru bahasa Indonesia yang meminta siswa
menulis naskah drama tanpa menunjukkan contoh naskah drama yang benar, teori-
teori sastra tidak diajarkan kepada siswa. Namun, guru meminta siswa mementaskan
sebuah drama tanpa memberikan pendampingan yang semestinya dilakukan.
Selain itu, permasalahan pembelajaran sastra, khususnya pembelajaran drama,
juga terjadi pada proses penilaian. Permasalahan terjadi pada cara guru menilai dan
instrumen peniaian yang digunakan. Hal ini tentu saja berdampak pada pembelajaran
drama yang tidak dapat diukur keberhasilannya, khuusnya dalam mengukur
peningkatan kompetensi siswa. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah alternatif
penilaian yang tidak hanya menyelesakan masalah penilaian kompetensi bersastra
tetapi juga menyelesaikan permasalahan pembelajaran sastra di sekolah. Penilaian
yang tepat sebagai solusi permasalahan ini adalah penilaian autentik (Authentic
Assessment) yang diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran sehingga
menghasilkan sebuah model Pembelajaran Proyek Berbasis Penilaian Autentik.
Hasil survei sederhana di beberapa SMP Kota Serang menunjukkan
kompleksitas permasalahan tersebut. Berikut hasil survey tersebut.
a. Dari 15 guru yang ditanya tentang jenis penilaian yang berorientasi pada proses
pembelajaran hanya dua orang guru yang memahami penilaian tersebut;
b. Dari 15 orang guru yang ditanya tentang jenis penilaian yang digunakan dalam
pembelajaran sastra, 11 orang guru yang menjawab selalu menggunakan penilaian
dengan tes dan pada akhir pembelajaran dengan mengandalkan lembar kerja siswa
(LKS);
Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
c. Dari 15 guru yang ditanya tentang penilaian autentik hanya 1 orang guru yang
menjawab memahami jenis penilaian tersebut, sisanya hanya mengenal secara
sekilas;
d. Dari 15 guru yang ditanya penggunaan penilaian autentik dalam pembelajaran
sastra, hanya 1 orang guru yang menerapkannya, itupun kadang-kadang saja;
e. Dari 15 guru yang ditanya tentang keikutsertaan mereka pada pelatihan berkaitan
dengan contextual teaching and learninhg (CTL) yang di dalamnya penilaian
autentik menjadi salah satu pilarnya, hampir 100% menjawab telah mengikuti
namun ketika dikontraskan dengan pemahaman mereka tentang penilaian autentik,
mereka berpendapat bahwa pelatihan seperti itu hanya bersifat teoretis yang
kemudian diabaikan;
f. Dari 15 guru yang ditanya tentang permasalahan yang mereka hadapi dalam
melakukan pembelajaran sastra, 11 orang menyinggung permasalahan
ketidaksiapan dalam mempersiapkan pembelajaran sastra khususnya drama,
terutama masalah waktu dan kesibukan, 3 orang di antaranya menyinggung
masalah penguasaan materi-materi sastra yang dipraktikkan, sisanya menjawab
tidak memiliki masalah yang berarti;
Dengan demikian, dapat ditarik beberapa permasalahan umum yang muncul
dalam pembelajaran drama, yaitu (1) rendahnya kompetensi guru dalam pembelajaran
sastra dan penilaian; (2) rendahnya kualitas proses pembelajaran dan penilaian; dan
(3) masalah kepraktisan pembelajaran. Permasalahan ini berdampak pada masalah (4)
rendahnya kompetensi siswa dalam berdrama. Guru dihadapkan pada kenyataan
bahwa dirinya pada dasarnya tidak memiliki kompetensi membelajarkan siswa dalam
berdrama terutama menjadi model praktik, guru masih terikat dengan cara atau model
penilaian tradisional yang mengedepankan ranah pengetahuan dan dilakukan pada
akhir pembelajaran, dan guru tidak memiliki waktu untuk mempersiapkan
administrasi pembelajaran sastra yang baik serta mempraktikannya. Jadi, pusaran
masalah pembelajaran drama di SMP Rintian K-13 Kota Serang adalah pada proses
pembelajaran yang berbelit dan proses penilaian yang tidak tepat. Pembelajaran
drama membutuhkan sebuah formula pembelajaran sekaligus penilaian sastra yang
praktis, yaitu pembelajaran drama yang direncanakan dengan baik, dilaksanakan
dengan tahapan yang tepat, dan dievaluasi dengan penilaian autentik.
Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Penerapan penilaian autentik dalam pembelajaran membutuhkan keseriusan
dan keberlanjutan yang baik dari seorang guru. Penilaian autentik dalam
pelaksanaanya tidak semudah yang dibayangkan. Oleh karena itu, dibutuhkan model
atau desain pembelajaran yang mempu menjadi penopang penilaian ini dan
sebaliknya.
Pembelajaran sastra khususnya drama dengan dasar dialog lebih
mengedepankan aspek keterampilan dan kreativitas baik secara individu maupun
kerja sama dalam kelompok. Pembelajaran drama sangat sesuai dan tepat
menggunakan model pembelajaran Proyek Berbasis Penilaian Autentik. Dengan
model pembelajaran ini keterampilan dan kreativitas siswa dalam bersastra khususnya
drama dapat terasah dan terlatih dengan baik. Di samping itu, kegiatan pembelajaran
dapat dipantau perkembangannya dengan penilaian autentik yang tepat serta
memberikan penilaian yang berkeadilan.
B. Rumusan Masalah Penelitian
Pembelajaran sastra sesuai dengan genre yang dikembangkan dalam
kurikulum terdiri atas pembelajaran keterampilan berpuisi (menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis puisi lama dan kontemporer), pembelajaran keterampilan
prosa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis cerpen, novel, dan hikayat), dan
pembelajaran keterampilan berdrama (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis
drama). Dari tiga genre tersebut, pembelajaran drama menempati pembelajaran
keterampilan bersastra yang paling jarang dan sulit diajarkan.
Pembelajaran drama menuntut guru dan siswa terlibat secara emosional bukan
hanya sekadar sebagai sebuah proses pembelajaran namun dapat pula berupa
penggarapan sebuah proyek. Guru harus menjadi orang yang serba bisa dalam
berbagai bagian drama meskipun dapat pula dibantu dengan media-media yang dapat
mendukung pelaksanaan pembelajaran.
Pembelajaran drama tidak hanya mengajarkan tentang seni peran dan
keterampilan menggunakan bahasa percakapan dan bernilai sastra, pembelajaran
drama juga mengajarkan tentang memahami perilaku, karakter, budaya, dan cermin
kehidupan masyarakat. Pembelajaran drama memberikan kesempatan siswa berpikir
menerjemahkan kata-kata dalam teks untuk memahami perilaku-perilaku perorangan
Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
atau sosial. Pembelajaran drama menuntut keseriusan dan waktu yang lebih banyak
dibandingkan pembelajaran lain. Oleh karena itu, penelitian ini akan memprioritaskan
masalah pembelajaran drama sebagai masalah yang harus ditemukan pemecahannya
segera.
Masalah umum yang menjadi pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana
pengembangan model pembelajaran Proyek Berbasis Penilaian Autentik dalam
pembelajaran drama di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Rintisan Kurikulum 2013
Kota Serang. Permasalahan tersebut dirinci menjadi sebagai berikut:
1. Bagaimana profil pembelajaran drama Indonesia di Sekolah Menengah Pertama
(SMP) Rintisan Kurikulum 2013 Kota Serang?
2. Bagaimana pengembangan purwarupa model pembelajaran Proyek Berbasis
Penilaian Autentik pada pembelajaran drama di Sekolah Menengah Pertama
(SMP) Rintisan Kurikulum 2013 Kota Serang?
3. Bagaimana efektivitas hasil pengembangan model pembelajaran Proyek Berbasis
Penilaian Autentik dalam pembelajaran drama di Sekolah Menengah Pertama
(SMP) Rintisan Kurikulum 2013?
C. Tujuan Penelitian
Begitu pentingnya nilai seorang siswa sampai berbagai cara akan dilakukan
untuk mendapatkan hasil istimewa. Alangkah tragisnya apabila ternyata nilai yang
diharap-harap itu, dalam proses penilaiannya dilakukan dengan ukuran, standar,
patokan, cara, dan instrumen yang tidak jelas dan tidak tepat. Ditambah lagi dengan
pembelajaran drama yang berfokus pada pengetahuan dan jauh dari pengalaman
belajar yang mengedepankan kompetensi keterampilan. Tentu saja penilaian yang
dilakukan pun akan tidak jauh dari apa yang dilakukan dalam pembelajaran, sekadar
pengetahuan. Parahnya lagi, penilaian hanya dilakukan satu kali yaitu pada akhir
pembelajaran sebagai keputusan berupa angka-angka yang tidak berdasar kuat dan
tidak berkeadilan.
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menemukan formula solusi atas
masalah-masalah pembelajaran drama dan penilaiannya khususnya pada satuan
pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Rintisan Kurikulum 2013 dengan
masalah-masalah eksternal dan internal yang dimilikinya. Selain itu, penelitian ini
Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
bertujuan memberikan pengembangan aplikatif dan praktis model pembelajaran
sekaligus bentuk penilaian yang memiliki validitas baik dan berkeadilan yang akan
digunakan guru dalam memberikan pengalaman belajar berdrama yang baik bagi
siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Rintisan Kurikulum 2013.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan mengembangkan model pembelajaran
Proyek Berbasis Penilaian Autentik dalam pembelajaran drama di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Rintisan Kurikulum 2013 Kota Serang dan menjelaskan hasil
implementasi pengembangan model pembelajaran tersebut kaitannya dengan
peningkatan kompetensi keterampilan siswa sehingga model layak dan handal untuk
digunakan guru dalam pembelajaran.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis dan praktis. Secara
teoritis penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk pengembangan ilmu
pengetahuan. Sumbangannya berupa fakta-fakta ilmiah yang terkandung di dalamnya
yang dapat dijadikan landasan bagi pengembangan pengetahuan yang sama.
Secara khusus penelitian ini menyumbangkan temuan teoretis tentang
pengembangan suatu pembelajaran dengan bagian penting dari pembelajaran itu
sendiri, yaitu penilaian. Penilaian autentik sebagai bagian pembelajaran diharapkan
dapat menjadi basis penting yang mengarahkan proses pembelajaran yang bermakna
dan berkeadilan.
Penelitian ini diharapkan akan menjadi jawaban cara menghilangkan
kesenjangan antara pembelajaran sastra, khususnya pembelajaran drama dan penilaian
yang digunakan dalam penilaian tersebut dengan menggunakan model pembelajaran
Proyek Berbasis Penilaian Autentik.
Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat secara praktis bagi:
a. Guru
Target pelaksana hasil penelitian ini adalah guru, khususnya guru bahasa
Indonesia. Kemudahan dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik tentu menjadi
sebuah kepuasan tersendiri bagi seorang guru. Penelitian ini diharapkan mampu
menjembatani guru dengan segala aktivitas pendidikan yang rumit itu dengan
perkembangan kompetensi siswa.
Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan guru sebagai pedoman praktis,
pengembangan pembelajaran di kelas sastra dengan pembelajaran yang bermakna,
dan melakukan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi pembelajaran
dan penilaian yang berstandar, berpatokan, dan berkeadilan sekaligus memanfaatkan
penilaian tersebut sebagai bagian penting dalam pembelajaran.
b. Siswa
Bila guru adalah target pelaksanaan hasil penelitian dalam pembelajaran maka
siswa adalah target hasil pelaksanaan pembelajaran berupa kompetensi-kompetensi
unggul. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang seluas-luasnya
bagi siswa. Dengan guru yang memiliki kemampuan unggul dalam melakukan
pembelajaran dan penilaian tentu akan berdampak baik pada siswa.
Penerapan model pembelajaran Proyek Berbasis Penilaian Autentik dalam
pembelajaran drama akan membuat siswa selalu aktif terlibat dalam kegiatan
pembelajaran. Siswa akan mengalami pembelajaran yang tidak terpaku pada
pemahaman akan teori-teori. Pengalaman belajar yang berpusat pada siswa (student
centered learning) akan membuat siswa merasa tertantang, termotivasi, dan memiliki
kreativitas lebih.
Tertantang, dikatakan demikian karena siswa akan tertantang dengan kegiatan-
kegiatan pengalaman belajar dengan bimbingan guru secara berkelanjutan dan
menunjukkan perkembangan mereka dalam suatu kompetensi. Siswa menjadi
termotivasi dengan pembelajaran yang di dalamnya diterapkan penilaian autentik
karena setiap penilaian yang dilakukan pada awal, proses, dan akhir kegiatan
pembelajaran memiliki rincian penilaian yang jelas dan terukur. Dengan
diterapkannya model Pembelajaran Proyek Berbasis Penilaian Autentik diharapkan
siswa menjadi lebih kreatif dalam belajar dan bukan sekadar “mengugurkan
kewajiban”. Kreativitas siswa ini dipicu oleh landasan berpijak pembelajaran PJBL
yang memberikan kepercayaan kepada siswa untuk melakukan proses pembelajaran
secara maksimal dan penilaian autentik yang bersifat konstruktif dan mengukur semua
kemampuan siswa sekaligus melibatkan siswa dalam pembelajaran yang bermakna.
Dalam bidang studi Bahasa Indonesia pada tingkat SMP, hasil penelitian ini
akan memberikan kontribusi perubahan paradigma yang besar bahwa kurikulum 2013
dengan pembelajaran berbasis teks itu tidak selalu dilaksanakan secara kaku
Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
mengikuti petunjuk dalam buku teks. Hasil penelitian ini akan dapat dengan mudah
diterapkan dalam pembelajaran drama dan pembelajaran sastra lainnya. Dengan
demikian, pembelajaran sastra menjadi sama penting dengan pembelajaran berbahasa
bahkan bisa menjadi pedukung yang sangat kuat.
Seiring dengan diterapkannya kurikulum 2013 yang merupakan
penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya terutama dalam standar proses, penelitian
ini memberikan jawaban atas tantangan kurikulum tersebut yaitu penerapan proses
belajar yang kompetitif dengan penilaian autentik sebagai penilaian patokan yang
digunakan guru. Bahkan, model ini mampu mewarnai dan menyempurnakan
implementasi kurikululm tersebut.
Pemerintah akan dipermudah menjalankan kebijakan tersebut dengan hasil
penelitian ini karena masalah terbesar dalam penerapan kebijakan adalah pelaksana di
lapangan, yaitu guru. Guru, dengan segala kesibukannya, sering menemui kendala
dalam menerapkan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Pembelajaran
berbasis proyek dan penilaian autentik misalnya. Guru membutuhkan sesuatu yang
praktis (plug on) tanpa harus mempersiapkan berbagai hal berkaitan dengan
administrasi dan pelaksanaan pembelajaran sekaligus juga mempersiapkan instrumen
penilaian. Hasil penelitian ini akan memudahkan guru melakukan pembelajaran
sekaligus menerapkan penilaian autentik.
E. Defenisi Operasional
1. Model Pembelajaran Proyek Berbasis Penilaian Autentik
Penyingkatan Project Based Learning secara teoretis adalah PJBL. Dalam
penelitian ini singkatan tersebut ditambahkan huruf J setelah huruf P. Hal ini
dilakukan untuk membedakan project based leraning dengan model lain, yaitu
problem based learning yang juga disingkat menjadi PBL. Pada model hasil
pengembangan selanjutnya PJBL diambil intinya yaitu pembelajaran proyek.
a. Konstruksi
Model pembelajaran Proyek Berbasis Penilaian Autentik memiliki konstruk
atau struktur yang terdiri dari: (1) rasional; (2) tujuan; (3) prinsip dasar; (4) dampak
instruksional dan pengiring; (5) sintaks; dan (6) rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP).
Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
b. Langkah-Langkah Model
Langkah I: Pertanyaan pada awal pembelajaran bersamaan guru melakukan
peilaian dengan menggunakan rubrik penilaian autentik berupa rubrik sikap yang
berkaitan dengan motivasi belajar siswa.
Langkah II: Perencanaan proyek, keberhasilan siswa merencanakan kegiatan
diukur dengan parameter yang terdapat dalam rubrik penilaian autentik berupa rubrik
bekerja dalam keompok dan rubrik ketepatan perencanaan proyek.
Langkah III: Penjadwalan tahap kegiatan proyek, guru melakukan kontrol
ketepatan penjadwalan dengan menggunakan rubrik penilaian autentik berupa rubrik
ketepatan penjadwalan kegiatan dan presentasi rencana kegiatan.
Langkah IV: pengawasan proyek berjalan, guru melakukan pengawasan
proyek dengan instrument pantauan berupa rubrik penilaian autentik, yaitu rubrik
bekerja dalam kelompok.
Langkah V: penilaian pertunjukan drama dengan menggunakan rubrik
penilaian autentik berupa rubrik pementasan/pertunjukan drama.
Langkah VI: evaluasi proyek dengan menggunakan rubrik penilaian autentik
penilaian diri (self assessment).
c. Parameter
Parameter yang digunakan dalam implementasi model pembelajaran proyek
yaitu parameter uji coba dan implementasi model pembelajaran proyek dan parameter
penilaian autentik.
2. Pembelajaran Drama Indonesia
Pembelajaran drama yang dilakukan dalam penelitian dengan membelajarkan
siswa dalam keterampilan membaca naskah, memahami dan menghayati karakter
tokoh yang akan diperankan, berlatih berbicara dan berperan, bekerja dalam
kelompok untuk mempersiapkan pertunjukan, dan mengapresiasi drama.
a. Unsur-Unsur Drama
Unsur drama terdiri dari tema, alur dan pengaluran, tokoh dan penokohan,
latar (ruang dan waktu), dialog, dan perlengkapan drama.
b. Persiapan Pementasan Drama
Kegiatan pembelajaran drama dalam proses menyiapkan pementasan atau
pertunjukan yaitu: (1) latihan teknik dalam (penghayatan peran); dan (2) latihan
Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
teknik luar (komunikasi peran). Latihan-latihan dalam bagian pembelajaran ini
sebagian dilakukan pada jam pelajaran ekstra mengingat kuota waktu pembelajaran di
kelas sangat kurang.
F. Struktur Organisasi Disertasi
Struktur organisasi disertasi ini sebagai berikut.
Bab I Pendahuluan
Pada bagian ini penulis menguraikan berbagai fakta empris yang
melatarbelakangi penelitian. Fakta-fakta negatif berkaitan dengan pelaksanaan
pembelajaran drama dan proses penilaiannya. Rendahnya kualitas pembelajaran
drama ditunjukkan dengan tidak tercapainya kompetensi yang diharapkan. Selain itu,
instrumen penilaian yang digunakan tidak ajeg dan tidak mampu mewakili setiap
bagian dalam pembelajaran drama.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis merumuskan
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, tujuan, dan manfaatnya.
Perumusan masalah didasarkan pada prosedur penelitian yang digunakan, yaitu
metode penelitian research and development (R&D). Pada bagian ini juga dijelaskan
defenisi operasional dan struktur organisasi penulisan.
Bab II Project Based Learning (PJBL), Penilaian Autentik, dan Pembelajaran
Drama
Pada bab II ini peneulis menguraikan teori-teori yang mendasari penelitian.
Teori-teori tersebut yaitu (1) teori model pembelajaran yang menguraikan tentang
ihwal pembelajaran dan jenis-jenis model pembelajaran, (2) teori yang berkaitan
dengan project based learning (PJBL) yang secara khusus menjelaskan tahapan-
tahapan pembelajaran yang diakukan di dalamnya, (3) teori penilaian autentik yang
menguraikan secara detil pengertian, jenis, proses pengembangannya, validitas dan
acuan kriteria, dan konteks pembelajaran berorientasi penilaian autentik, (4) teori
drama dan pembelajaran drama, dan (5) penelitian terdahulu yang relevan dengan
PJBL, penilaian autentik, dan pembelajaran drama. Pada bagian akhir bab ini juga
dijelskan kerangka pemikiran dan hipotesis penelitian.
Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Bab III Metode Penelitian
Bagian-bagian bab ini, yaitu (1) desain penelitian, desain yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu research and development (R&D), (2) partisipan dan tempat
penelitian yang menguraikan tentang pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian dan
lokasi penelitian, (3) populasi dan sampel, bagian ini menjelaskan populasi dan
sampel sekolah dan jumlah siswa yang menjadi objek penelitian, (4) intrumen
penelitian yang digunakan, (5) prosedur penelitian, dan (6) analisis data.
Bab IV Proses Pengembangan Model Pembelajaran
Proses pengembangan model pembelajaran diawali dengan (1) menyususn
profil pembelajaran drama terlangsung yang dilanjutkan dengan (2) rasionalisasi
model didasarkan pada fakta permasalahan pembelajaran drama di lapangan. Langkah
selanjutnya yaitu (3) proses pengembangan model pembelajaran, yaitu membuat
desain model pembelajaran yang diharapkan menjadi pemecahan masalah
pembelajaran drama hingga menghasilkan (4) model hipotetik yang akan mengalami
(6) proses uji coba model dan (7) proses uji validasi model. Bagian akhir bab ini yaitu
(8) menguraikan hasil uji kelayakan dan gambaran perbaikan model.
Bab V Temuan dan Pembahasan
Bagian ini merupakan bagian yang menjelaskan hasil penelitian yang
didasarkan pada permaslaahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Bagian ini terdiri
atas (1) Profil Pembelajaran Drama, (2) Pengembangan Model Pembelajaran, (3)
Efektivitas Implementasi Model Pembelajaran, dan (4) model akhir (produk jadi)
model Pembelajaran Proyek Berbasis Penilaian Autentik.
Bab VI Simpulan, Implikasi, dan Rekomendasi
Bab ini berisi simpulan, implikasi, dan rekomendasi penelitian. Simpulan
menguraikan tentang hasil akhir pembahsan didasarkan pada permasalahan. Implikasi
menjelaskan dampak yang ditimbulkan secara positif dari hasil penelitian ini.
Terakhir, rekomendasi berisi saran-saran penulis kepada pihak-pihak tertentu sekait
dengan hasil penelitian ini.
Fathullah Wajdi, 2017 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROYEK BERBASIS PENILAIAN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN DRAMA INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu