1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ada sebuah ungkapan menarik yang disampaikan oleh Ismet Nasir kaitannya dengan realitas dakwah di Indonesia. Ungkapan tersebut mengkritisi tentang kondisi dan realitas dakwah yang selama ini dilakukan, yaitu bahwa dakwah yang dilakukan masih jauh dari kondisi ideal dan belum bisa menyentuh serta memberikan solusi atas persoalan yang dihadapi oleh umat manusia. Secara lebih lanjut ungkapan tersebut adalah sebagai berikut : “Nanti kalau sudah mati ditaro di ruang lahat, ditutup dinding ari, diurug tanah, anak, suami, teman, guru semuanya pulang, tinggal kita sendiri di ruang yang gelap gulita, tidak seorangpun yang menemani, tidak seorangpun yang menolong kita. Lalu dua orang Malaikat datang dan bertanya : “Siapa Tuhanmu, siapa Nabimu, kemana kiblatmu, apa pedomanmu, siapa ikhwanmu?”. Kalau bisa menjawab Malaikat berkata : “Tidurlah kamu sampai hari kiyamat”. Tetapi kalau geleng kepala karena tidak sembahyang, tidak ngaji, tidak pergi ke majelis taklim, akhirnya digenjot sampai luluh kemudian dijadikan lagi, digenjot lagi sampai hancur, dijadikan lagi, demikian seterusnya ……. Peringatan ini meluncur deras dari sebuah pengeras suara di sebuah masjid di tengah komplek perumahan kelas menengah di pinggiran kota Jakarta yang sedang melakukan pengajian akhir tahun. Sangat mudah kita temukan peristiwa serupa di sekitar kita. Pertanyaannya kemudian adalah masih relevankah peringatan-peringatan seperti di atas tadi untuk mengajak orang ke jalan hikmah ?”. 1 1 Ismet Nasir, “Dakwah Untuk Memerdekakan Manusia, Harian Republika Tanggal 10 Februari, hlm. 8.
30
Embed
BAB I PENDAHULUAN - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... orang ke jalan hikmah ?”.1 1 Ismet
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ada sebuah ungkapan menarik yang disampaikan oleh Ismet Nasir
kaitannya dengan realitas dakwah di Indonesia. Ungkapan tersebut mengkritisi
tentang kondisi dan realitas dakwah yang selama ini dilakukan, yaitu bahwa
dakwah yang dilakukan masih jauh dari kondisi ideal dan belum bisa
menyentuh serta memberikan solusi atas persoalan yang dihadapi oleh umat
manusia. Secara lebih lanjut ungkapan tersebut adalah sebagai berikut :
“Nanti kalau sudah mati ditaro di ruang lahat, ditutup dinding ari, diurug tanah, anak, suami, teman, guru semuanya pulang, tinggal kita sendiri di ruang yang gelap gulita, tidak seorangpun yang menemani, tidak seorangpun yang menolong kita. Lalu dua orang Malaikat datang dan bertanya : “Siapa Tuhanmu, siapa Nabimu, kemana kiblatmu, apa pedomanmu, siapa ikhwanmu?”. Kalau bisa menjawab Malaikat berkata : “Tidurlah kamu sampai hari kiyamat”. Tetapi kalau geleng kepala karena tidak sembahyang, tidak ngaji, tidak pergi ke majelis taklim, akhirnya digenjot sampai luluh kemudian dijadikan lagi, digenjot lagi sampai hancur, dijadikan lagi, demikian seterusnya ……. Peringatan ini meluncur deras dari sebuah pengeras suara di sebuah masjid di tengah komplek perumahan kelas menengah di pinggiran kota Jakarta yang sedang melakukan pengajian akhir tahun. Sangat mudah kita temukan peristiwa serupa di sekitar kita. Pertanyaannya kemudian adalah masih relevankah peringatan-peringatan seperti di atas tadi untuk mengajak orang ke jalan hikmah ?”.1
1 Ismet Nasir, “Dakwah Untuk Memerdekakan Manusia, Harian Republika Tanggal 10
Februari, hlm. 8.
2
Kutipan di atas merupakan refleksi kegelisahan seorang Ismet Nasir
tentang keberadaan dakwah selama ini yang menurutnya perlu ditelaah ulang.
Proses mempertanyakan ulang ini yang perlu dicermati, karena dengan
mempertanyakan ulang suatu obyek, maka akan terjadi pemahaman dan
inovasi-inovasi baru dalam berdakwah. Kalau demikian adanya, maka
perubahan-perubahan dalam berdakwah yang dilakukan melalui pengembangan
terhadap konsep dan aplikasi dakwah mutlak diperlukan, yang berakibat kajian
tentang dakwah akan selalu aktual dan berkembang.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimanakah konsep dan
realitas dakwah di Indonesia? Hal ini menjadi penting untuk dicermati bersama
karena mau tidak mau proses dakwah yang dilakukan akan senantiasa
bersinggungan dengan realitas sosial dan juga problem-problem yang dihadapi
oleh masyarakat. Dengan pertimbangan ini, da'i dalam konteksnya sebagai
pelaksana dakwah dituntut mampu menentukan dan menggarap konsep,
metode, materi, media dan model pengelolaan (manajemen) dakwah yang
sesuai dengan kebutuhan dan realitas obyek. Selain itu da’i dapat menjadi
fungsi sebagai media penyelaras, yakni dapat memenuhi dan memberikan solusi
(problem solving) atas problem yang dihadapi umat.
Dakwah dapat dipahami sebagai sebuah upaya transformasi2 nilai-nilai
Islam yang bertumpu pada proses amar ma’ruf dan nahi munkar3. Transformasi
2 Transformasi dalam pengertian ini merupakan usaha pengubahan atau penyesuaian bentuk
(aktifitas dakwah) sesuai dengan situasi dan kondisi obyek (masyarakat), baik yang berkaitan dengan
3
dalam pengertian di sini membawa pada dimensi konsep ajaran Islam dalam
kerangka aksiologi (kegunaan) praktis, dikarenakan hakekat dakwah bukan
hanya pemahaman nilai, keyakinan dan doktrin, melainkan juga merupakan
usaha untuk mengubah kondisi umat manusia dari munkar ke ma’ruf. 4 Amar
ma’ruf dan nahi munkar di sini merupakan sasaran utama gerakan dakwah yang
mencakup persoalan yang luas dan kompleks. Persoalan tersebut mencakup
segala bidang atau dimensi kehidupan manusia, baik sosial, politik, ekonomi,
maupun budaya yang berkembang dan sejalan dengan sejarah dan dinamika
umat manusia.
Sebagai proses transformasi, eksistensi dakwah Islam senantiasa
bersentuhan dan bergelut dengan realitas yang mengitarinya. Dalam perspektif
historis, pergumulan dakwah Islam dengan realitas sosio-kultural akan
menjumpai dua kemungkinan. Pertama, dakwah Islam mampu memberikan
hasil atau pengaruh terhadap manusia dan lingkungannya dengan memberi
materi, metode, media, dan lain sebagainya. Bandingkan dengan Posman Simanjutak, Berkenalan Dengan Antropologi, (Jakarta : Penerbit Erlangga, 2000), hlm. 125.
3 Amar ma’ruf dan nahi munkar dalam pengertian ini dimaksudkan sebagai usaha realisasi dakwah yang bertumpu pada power atau kekuasaan, yang dalam hal ini dilakukan oleh negara (pemerintah), yakni dengan menetapkan dan memberlakukan peraturan dan undang-undang. Amar ma’ruf dan nahi munkar di sini diwujudkan dalam bentuk pembuatan dan pemberlakuan aturan atau hukum Islam yang diperundang-undangkan secara resmi dan menjadi pedoman hidup dalam sebuah negara (baca : Negara Islam). Pengertian ini mempunyai relevansi dengan sabda Nabi Muhammad yang artinya : “Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka kendaklah ia merubah dengan tangannya (power atau kekuasaan), jika tidak mampu maka dengan lisannya (tabligh), dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman. Dengan demikian, kalau amar ma’ruf dan nahi munkar di atas ingin direalisasikan, maka dasar-dasar negara Islam mutlak harus ditegakkan. Lebih lanjut lihat Hamzah Ya’kub, Publisistik Islam : Tehnik Dakwah dan Leadership, (Bandung : C. V. Diponegoro, 1992), hlm. 21.
4 Mahmuddin, Manajemen Dakwah Rasulullah : Suatu Telaah Historis, (Jakarta : Penerbit Restu Ilahi, 2004), hlm. 6-7.
4
dasar filosofis, arah, dorongan dan pedoman kepada perubahan masyarakat
sampai terbentuknya realitas baru. Kedua, dakwah Islam dipengaruhi oleh
perubahan masyarakat dalam hal eksistensi, corak dan arahnya. Hal ini berarti
bahwa aktualisasi dakwah islamiyah dipengaruhi oleh sistem sosio-kultural
yang berlaku di masyarakat.5 Kemungkinan yang kedua ini mengakibatkan
sistem dakwah menjadi dinamis dan selalu berkembang, sehingga kondisi ini
menuntut para pelaksana dakwah untuk mampu merumuskan konsep dan
pengemasan dakwah yang dilakukan sesuai dengan kondisi dan realitas umat.
Justru dalam konteks yang kedua ini, maka pemunculan organisasi
dakwah menjadi sangat penting dalam rangka merumuskan bentuk pengelolaan
(manajemen) dakwah. Ada dua hal yang harus diperhatikan agar strategi
dakwah tersebut sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Pertama, meningkatnya
kegiatan keislaman masyarakat, baik perkotaan maupun pedesaan. Hal ini
menyebabkan kegiatan dakwah menjadi kunci dalam proses internalisasi6 dan
sosialisasi7 agama Islam. Kedua, dakwah diidealisasikan dan dianggap mampu
menyelesaikan problematika yang dihadapi umat Islam. Implikasinya adalah
5 Amrullah Ahmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta : PLP2M, 1983), hlm.
2. 6 Internalisasi di sini adalah melakukan proses internalisasi nilai-nilai Islam ke dalam materi-
materi tersebut, sehingga sesuai dengan aqidah, pemikiran, pendapat dan hukum Islam. Lebih lanjut lihat dalam M. Karebet Widjayakusuma dan M. Ismail Yusanto, Pengantar Manajemen Syari’at, (Jakarta : Khairul Bayan, 2002), hlm. 4.
7 Sosialisasi merupakan pembelajaran pola-pola tindakan dalam berinteraksi dengan berbagai macam individu dalam berbagai peranan sosial. Sosialisasi ini menjadi bagian dari pewarisan budaya di samping enkulturasi, di mana seseorang melakukan proses peniruan secara terus menerus akan sesuatu, sehingga menjadi pola yang mantab, dan norma yang mengatur tindakannya dibudayakan. Misalnya adanya jam berpengaruh terhadap penghargaan waktu, kemudian disiplin waktu dibiasakan untuk orang lain, inilah yang dimaksud dengan sosialisasi. Bandingkan dengan Posman Simanjutak, Berkenalan Dengan Antropologi, (Jakarta : Penerbit Erlangga, 2000), hlm. 125.
5
umat Islam harus diarahkan menjadi “manusia dakwah” yang mampu
digerakkan oleh kepentingan dakwah. 8
Usaha-usaha dakwah Islam dalam pelaksanaannya dapat dilakukan
secara individual (perseorangan) maupun secara kolektif dalam sebuah wadah
organisasi-organisasi dakwah. Melalui organisasi dakwah, pelaksanaan dakwah
yang dilaksanakan secara bersama-sama dalam satu kesatuan di bawah satu
komando pimpinan akan dapat terlaksana dengan baik. Di samping itu,
pembagian dan pelaksanaan tugas dapat lebih terarah dan tertib, jelas
motivasinya, jelas arah dan target serta jelas tahap-tahap kegiatannya.9
Kenyataan yang ada di Indonesia, sebagian besar masyarakat muslim
sudah lama berada dalam kotak-kotak organisasi, baik sebagai anggota maupun
sebagai partisipan yang condong mengikuti paham keagamaan dalam
organisasi-organisasi Islam tertentu. Di Indonesia, terdapat banyak organisasi-
organisasi Islam yang berkembang, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama’
(NU), Persatuan Islam (Persis), Al Irsyad, Al Hidayah, dan Majelis Dakwah
Islamiyah (MDI).
Secara garis besar dilihat dari segi paham keagamaan, organisasi-
organisasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, kelompok yang
8 Yoyon Mujiono, Strategi Komunikasi Sebagai Penunjang Dakwah, (Jurnal Ilmu Dakwah
Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel, Vol. 4, No. 1, April 2001), hlm. 10. 9 Tutty Alawiyah AS, Strategi Dakwah di Lingkungan Majelis Taklim, (Bandung : Mizan,
1997), hlm. 63.
6
menyatakan bermadzhab dalam empat madzhab.10 Kelompok ini menggunakan
pendapat dan pemikiran pemikir Islam sebagai sumber rujukan dan sumber
hukum dalam Islam sebelum merujuk pada al-Qur’an dan al-Hadits. Kedua,
kelompok yang menyatakan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, yakni
kelompok yang berusaha mengembalikan ajaran Islam kepada sumber aslinya
(al-Qur’an dan as-Sunnah), serta membersihkan ajaran Islam dari pengaruh adat
dan tradisi yang bertentangan dengan Islam. Dari masing-masing organisasi
keagamaan tersebut, yang termasuk dalam kelompok pertama yang mempunyai
anggota yang besar ialah Nahdlatul Ulama’ (berdiri tahun 1926) dan organisasi
keagamaan yang masuk pada kelompok kedua adalah Muhammadiyah (berdiri
tahun 1912).11
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah proses pelaksanaan
dakwah yang dilaksanakan oleh organisasi-organisasi keagamaan tersebut,
khususnya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’ sudah sesuai dengan koridor
yang ada dan dapat mengatasi problem dan permasalahan umat?
Hal ini layak untuk dikaji karena mayoritas masyakat Indonesia
menyangsikan kemampuan organisasi-organisasi tersebut mampu dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Persoalan-persoalan yang
10 Madzhab empat terdiri dari Abu Hanifah An-Nu’man (Hanafi), Imam Maliki Bin Anas
(Maliki), Imam Muhammad Bin Idris Asy-Syafi’i (Syafi’i) dan Imam Ahmad Bin Hambal (Hambali). Di Indonesia sendiri lebih banyak menganut Imam Syafi’i. Lihat AD/ART NU Bab. II Pasal 3 dalam Hasil Keputusan NU Ke-19, (Kudus : Menara Kudus, 1987), hlm. 18.
11 Sjamsudduha, Konflik dan Rekonsiliasi NU-Muhammadiyah, (Surabaya : Bina Ilmu, 1999), hlm. 12-13. Hanya saja penulis kurang mengetahui seluk beluk NU.
7
dimaksud di sini baik yang berkaitan dengan masalah ekonomi, sosial, politik,
hukum, kebudayaan, dan lain sebagainya.
Di samping itu, di kalangan masyarakat Indonesia sendiri timbul sebuah
asumsi dan frame yang salah terhadap kedua organisasi tersebut, baik yang
berkaitan dengan proses dakwah yang dilakukan, model dakwah dan proses
manajemennya, sekaligus corak dan ciri khas yang melekat pada kedua
organisasi tersebut. Sebagai contoh adalah klaim yang mengatakan bahwa
Muhammadiyah dalam dakwahnya adalah secara struktural dan Nahdlatul
Ulama’ melaksanakan dakwah secara kultural,12 padahal dalam munas
Muhammadiyah di Yogyakarta menegaskan bahwa dakwah Muhammadiyah
adalah dakwah kultural.13
Nahdlatul Ulama’ dalam konteksnya sebagai organisasi Islam memiliki
organisasi dalam bidang dakwah, yakni Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama’.
Begitu pula dengan Muhammadiyah yang juga memiliki lembaga dakwah,
yakni Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus Muhammadiyah.
Dalam realitasnya, Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama’ dan Majelis
Tabligh sama-sama merupakan lembaga dakwah organisasi NU dan
12 NU dan Muhammadiyah sama-sama berada pada basis dakwah kultural pasca reformasi.
Realitas ini disebabkan karena Muhammadiyah mulai melirik obyek dakwah basis pedesaan dengan tanpa mempersoalkan kultur dan budaya yang berkembang di masyarakat.
13 Dakwah kultural merupakan upaya penanaman nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan seluruh dimensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas, dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Lebih lanjut lihat, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dakwah Kultural Muhammadiyah, (Jakarta : Suara Muhammadiyah, 2004), hlm. 26.
8
Muhammadiyah yang khusus bergerak dalam bidang dakwah islamiyah. Secara
struktural Pengurus Wilayah Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama’ (PW-LDNU)
berada di bawah naungan dan masuk dalam struktural Pengurus Nahdlatul
Ulama’ (PWNU) Jawa Tengah. Begitu juga dengan Majelis Tabligh yang
bernaung dan masuk dalam struktur kepengurusan Pengurus Wilayah
Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah.
Dalam penelitian ini, penulis membatasi hanya pada dua organisasi
keagamaan yang menjadi obyek penelitian, yakni Nahdlatul Ulama’ dan
Muhammadiyah yang mencakup proses manajemen yang diterapkan dalam
kedua lembaga tersebut.
Pada dasarnya prinsip-prinsip manajemen yang diterapkan dalam
beberapa organisasi yang ada secara umum meliputi : 14
1. Pembagian Kerja.
2. Disiplin.
3. Kesatuan Perintah (unity of command).
4. Kesatuan Arah.
5. Kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.
6. Rantai berjenjang dan rentang kendali.
Prinsip-prinsip manajemen tersebut kemudian diaplikasikan dalam
organisasi dakwah yang dikembangkan, yang kemudian dikemas dengan fungsi-
14 Azhar Arsyad, Pokok-Pokok Manajemen, Pengetahuan Praktis Bagi Pimpinan dan
(penggerakan), dan controlling (pengendalian). Sedangkan perbedaannya
terletak pada ideologi dan pola dakwah yang dikembangkan, serta aplikasi dan
realisasi konsep manajemen, di mana Muhammadiyah secara organisatoris lebih
menerapkan konsep manajemen pada organisasinya.16 Titik beda dengan
penelitian ini terletak pada penjabaran konsep manajemen dan pengelolaan
dakwah yang dilakukan oleh kedua organisasi, yakni Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama’, di mana konsep manajemen dan pola dakwah yang
16 Tuti Alawiyah, “Sistem Manajemen Dakwah Muhammadiyah dan Sistem Manajemen
Dakwah Nahdlatul Ulama’ di Kotamadia Tegal Tahun 1990-1995” (Skripsi, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, 1994), Tidak Dipublikasikan, hlm. 71-72.
14
dikembangkan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing
wilayah. Di samping itu, faktor Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia
yang mendukung dalam kedua organisasi tersebut juga memberikan corak
tersendiri dalam pola dakwah dan pengelolaannya.
Kedua, skripsi Rif’an yang berjudul “Kebijakan Dakwah Islam
Organisasi Nahdlatul Ulama’ dan Muhammadiyah Terhadap Generasi Muda di
Kotamadia Semarang Tahun 1990-1995”. Penelitian ini membahas tentang
kebijakan-kebijakan dakwah yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama’ dan
Muhammadiyah terhadap generasi muda yang menekankan pada metode, media
dan materi yang diterapkan. Kebijakan kedua organisasi tersebut hampir sama,
hanya saja Muhammadiyah mempunyai kelebihan jika dibandingkan dengan
Nahdlatul Ulama’, yakni pada sisi keterbukaan manajemen yang diterapkan
secara kompak dan tertib.17 Titik beda dengan penelitian ini adalah pada
penggarapan materi dan obyek kajian sekaligus pola pengelolaan dakwah yang
telah ditetapkan.
Ketiga, skripsi Muasro yang berjudul “Perbandingan Dakwah Islam
Antara Nahdlatul Ulama’ dan Muhammadiyah (Studi Kasus Di Wilayah
Kecamatan Wedung Kabupaten Demak)”. Penelitian ini membahas tentang pola
dakwah Islam antara Nahdlatul Ulama’ dan Muhammadiyah. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan dalam pola dakwah
17 Rif’an, “Kebijakan Dakwah Islam Organisasi Nahdlatul Ulama’ dan Muhammadiyah
Terhadap Generasi Muda di Kotamadia Semarang Tahun 1990-1995”, (Skripsi, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, 1995), Tidak Dipublikasikan, hlm. 69.
15
kedua organisasi tersebut. Persamaannya terletak pada penggunaan sumber
hukum Islam yang meliputi al-Qur’an dan as-Sunnah, hanya saja Nahdlatul
Ulama’ menambahkan sumber hukum tersebut pada ijma’ dan qiyas, sedangkan
Muhammadiyah lebih mengembangkan dan mengarah pada hasil-hasil
pemikiran pemikir Islam dan ijtihad. Sedangkan perbedaannya meliputi materi,
metode dan media dakwah yang digunakan. Dalam konteks ini Nahdlatul
Ulama’ lebih berusaha melaksanakan dakwah pada bagaimana meluruskan
keberagamaan masyarakat setempat sesuai ajaran dan nilai-nilai Islam,
sedangkan Muhammadiyah lebih menekankan pada bagaimana memberantas
tradisi keagamaan yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.18 Titik
beda dengan penelitian ini adalah pada penggarapan konsep dan aplikasi
manajemen dakwah yang diterapkan, serta Sumber Daya Alam dan Sumber
Daya Manusia yang menjadi pendukung gerakan dakwah yang dilakukan oleh
kedua organisasi tersebut.
Dari penelitian-penelitian di atas dapat dipahami bahwa skripsi ini
memiliki corak yang berbeda, sehingga memiliki nilai orisinalitas yang masih
murni dan layak untuk mendapat perhatian lebih dan tindak lanjut yang jelas.
Perbedaan tersebut terletak pada obyek yang dikaji dalam penelitian ini, yakni
pada aspek manajemen dari Majelis Tabligh Muhammadiyah dan Lembaga
Dakwah Nahdlatul Ulama’ Jawa Tengah.
18 Muasro, “Perbandingan Dakwah Islam Antara Nahdlatul Ulama’ dan Muhammadiyah
(Studi Kasus di Wilayah Kecamatan Wedung Kabupaten Demak)”, (Skripsi, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo), Tidak Dipublikasikan, hlm. 65-66.
16
F. Kerangka Teori
Dakwah merupakan suatu kajian sosial-religius yang selalu aktual,
disebabkan karena upaya dakwah adalah upaya untuk membentuk dan
membimbing umat secara menyeluruh dan terpadu dalam menempuh proses
kehidupan dan mengekspresikan sikap keberagamaannya secara jelas dan
mengerti. Oleh sebab itu kajian tentang dakwah diperlukan kompleksitas
pemahaman yang melibatkan berbagai macam disiplin ilmu baik antropologi,
sosiologi, filsafat, politik dan ilmu-ilmu lain yang melingkupi dan bermanfaat
bagi kehidupan masyarakat dan tatanan kehidupan di dalamnya.
Kerja dakwah adalah kerja mengalami kehidupan umat manusia dengan
nilai-nilai iman, Islam dan taqwa demi kebahagiaan di dunia dan akherat. Kerja
ini adalah kerja yang tidak pernah rampung, selama denyut nadi kehidupan
duniawi manusia masih dibiarkan berlangsung, selama itu pula umat Islam
berkewajiban menyampaikan risalah kenabian dalam kondisi dan situasi yang
bagaimanapun coraknya.19
Menurut Hamzah Ya’kub, dakwah adalah mengajak umat manusia
dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-rasul-
Nya20. Kata hikmah kebijaksanaan di sini mengandung pengertian bahwa
dakwah yang dilakukan harus diarahkan untuk pertama, membawa manusia ke
19 QS. Fushilat : 33 menyatakan, yang artinya : “Siapakah yang lebih baik perkataanya dari
pada orang yang menyeru kepada Allah?” Mengerjakan amal shaleh dan berkata : “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerahkan diri”. Lebih lanjut lihat Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1982), hlm. 778.
Dar El-Tiba’ah al-Mahmadiyah, 1987), hlm. 10. 32 Amar ma’ruf dan nahi munkar dalam pengertian ini dimaksudkan sebagai usaha realisasi
dakwah yang bertumpu pada power atau kekuasaan, yang dalam hal ini dilakukan oleh negara (pemerintah), yakni dengan menetapkan dan memberlakukan peraturan dan undang-undang. Amar ma’ruf dan nahi munkar di sini diwujudkan dalam bentuk pembuatan dan pemberlakuan aturan atau hukum Islam yang diperundang-undangkan secara resmi dan menjadi pedoman hidup dalam sebuah negara (baca : Negara Islam). Pengertian ini mempunyai relevansi dengan sabda Nabi Muhammad yang artinya : “Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka kendaklah ia merubah dengan tangannya (power atau kekuasaan), jika tidak mampu maka dengan lisannya (tabligh), dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman. Dengan demikian, kalau amar ma’ruf dan nahi munkar di atas ingin direalisasikan, maka dasar-dasar negara Islam mutlak harus ditegakkan. Lebih lanjut lihat Hamzah Ya’kub, Publisistik Islam : Tehnik Dakwah dan Leadership, (Bandung : C. V. Diponegoro, 1992), hlm. 21.
33 Lihat dalam, Munzier Suparta dan Harjani Hefni, Metode Dakwah, (Jakarta : Rahmat Semesta, 2003), hlm. 7.
24
adalah lembaga dakwah yang berkonsentrasi dalam hal pengelolaan dakwah
yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama’.
Dari sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “Studi
Komparasi Terhadap Manajemen Dakwah Majelis Tabligh Muhammadiyah
dan Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama’ Jawa Tengah” diarahkan pada
obyek :
a) Sinergi dan kinerja dakwah pada Muhammadiyah.
b) Sinergi dan kinerja dakwah pada Nahdlatul Ulama’.
c) Mencari titik singgung dan titik beda antara keduanya.
3. Sumber dan Jenis Data
Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni data
primer atau utama dan data sekunder atau tambahan. Menurut Lexy
Moloeng, sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah “kata-kata”
dan “tindakan”, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-
lain. Berkaitan dengan hal itu pada bagian ini jenis datanya dibagi ke dalam
kata-kata, tindakan, dan sumber data tertulis.34
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer atau utama dalam penelitian ini berupa kata-
kata dan tindakan orang-orang yang diamati dan diwawancarai
merupakan sumber data utama. “Kata-kata” disini diarahkan pada proses