1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sastra di Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari Sastra Melayu Tionghoa (selanjutnya disingkat SMT) yang sudah berkembang terlebih dahulu dari sastra Indonesia itu sendiri. Tentu dalam perkembangannya SMT tidak bisa dilepaskan dari peran produsennya yakni masyarakat peranakan Tionghoa/Cina yang tinggal di Indonesia. Sebagai karya sastra, SMT dinilai mewarisi kerusakan bahasa karena berkaitan dengan percampuran bahasa produsennya. Soemardjo memaparkan bahasa yang digunakan SMT bersifat praktis, adaptabel, dan fleksibel. Bahasa tersebut sering dinamai bahasa ―Melayu rusak‖ karena memang tidak memiliki gramatika baku. Berbagai gramatika (Barat, Tionghoa, dan Indonesia) berbaur menjadi satu. Hal inilah yang menyebabkan bahasa tesebut kurang disukai pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial cenderung menyukai Melayu tinggi atau Melayu Riau yang jelas pembakuannya. Kecenderungan pemerintah kolonial tersebut diwujudkan dengan diadakannya badan penerbitan Volkslectuur pada tahun 1908 yang kemudian berubah menjadi Balai Pustakan pada tahun 1917 (2004:21). Meskipun SMT dinilai mewaris kerusakan bahasa, SMT dianggap karya sastra yang ―kaya‖ akan informasi di dalamnya, baik informasi kehidupan sosial pada zamannya maupun informasi mengenai pandangan hidup masyarakat peranakan Tionghoa pada masa itu. Myra Sidharta dalam pengantar Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia menyatakan bahwa SMT dipakai
97
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yang dikenal sebagai lima model teori sastra marxis yang terdiri dari teori refleksi, penciptaan, strukturalisme genetik, pengatahuan bahasa,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan sastra di Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari Sastra
Melayu Tionghoa (selanjutnya disingkat SMT) yang sudah berkembang terlebih
dahulu dari sastra Indonesia itu sendiri. Tentu dalam perkembangannya SMT
tidak bisa dilepaskan dari peran produsennya yakni masyarakat peranakan
Tionghoa/Cina yang tinggal di Indonesia. Sebagai karya sastra, SMT dinilai
mewarisi kerusakan bahasa karena berkaitan dengan percampuran bahasa
produsennya. Soemardjo memaparkan bahasa yang digunakan SMT bersifat
praktis, adaptabel, dan fleksibel. Bahasa tersebut sering dinamai bahasa ―Melayu
rusak‖ karena memang tidak memiliki gramatika baku. Berbagai gramatika
(Barat, Tionghoa, dan Indonesia) berbaur menjadi satu. Hal inilah yang
menyebabkan bahasa tesebut kurang disukai pemerintah kolonial. Pemerintah
kolonial cenderung menyukai Melayu tinggi atau Melayu Riau yang jelas
pembakuannya. Kecenderungan pemerintah kolonial tersebut diwujudkan dengan
diadakannya badan penerbitan Volkslectuur pada tahun 1908 yang kemudian
berubah menjadi Balai Pustakan pada tahun 1917 (2004:21).
Meskipun SMT dinilai mewaris kerusakan bahasa, SMT dianggap karya
sastra yang ―kaya‖ akan informasi di dalamnya, baik informasi kehidupan sosial
pada zamannya maupun informasi mengenai pandangan hidup masyarakat
peranakan Tionghoa pada masa itu. Myra Sidharta dalam pengantar Kesastraan
Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia menyatakan bahwa SMT dipakai
2
untuk menyampaikan peristiwa-peristiwa penting, dan kemudian dipakai untuk
menyampaikan peristiwa itu secara lisan kepada rakyat (Marcus & Pax
Benedanto, 2002:iv). Hal senada juga diungkapkan oleh Soemardjo. Ia
menyatakan bahwa SMT bentuk pantun dan syair memang sudah populer
digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan perasaan dan pikirannya sejak
tahun 1870-an, baik di lingkungan Belanda maupun Tionghoa (2004:30).
Claudine Salmon mencatat bahwa perkembangan SMT sudah dimulai
sejak tahun 1870 dan surut, bahkan bisa dikatakan benar-benar hilang sejak tahun
1966 (melalui Soemardjo, 2004:50). Hal tersebut berkaitan dengan tindakan
pemerintah yang menutup semua sekolah yang menggunakan pengantar bahasa
Tionghoa karena dianggap media ―totokisasi‖ juga kecurigaan pada Beijing yang
terlibat dalam pemberontakan PKI pada bulan Oktober 1966. Sejak saat itu secara
otomatis golongan Tionghoa yang bermukim di Indonesia mulai kehilangan
bahasa bahkan budaya leluhurnya dari Cina daratan, karena kebutuhan bacaan
tentang Cina tidak terpenuhi. Kemudian golongan ini beradaptasi dengan
masyarakat setempat.
Setelah Orde Baru runtuh, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut segala
bentuk diskriminasi terhadap golongan Tionghoa. Orang-orang Tionghoa pun
berlomba mencari kembali unsur-unsur Tionghoanya. Salah satunya dapat dilihat
dari maraknya buku-buku yang mengulas tentang Tionghoa. Agus Setiadi dalam
Geliat Sang Naga dalam Pustaka mengungkapkan bahwa maraknya buku yang
berkembang adalah untuk menanggapi kebutuhan kelompok etnis Tionghoa yang
ingin ―mencari akar‖ ketionghoannya (2010:140). Perkembangan itu faktanya
3
juga terjadi pada dunia fiksi, salah satunya adalah dengan adanya novel Putri
Cina karya Sindhunata yang terbit pada tahun 2007. Novel ini muncul bebarengan
dengan maraknya perkembangan buku-buku yang mengangkat tentang Tionghoa.
Bagi penulis, walaupun Putri Cina sebagai objek penelitian sama-sama
mengangkat tentang orang-orang Tionghoa namun novel tersebut tetap bukan
SMT. Putri Cina tidak megulang SMT yang telah hilang 50 tahun lebih itu,
namun sebagai kelanjutan babak baru sastra Indonesia yang mengangkat
kehidupan orang-orang Tionghoa. Hal ini dikarenakan dari segi bahasa Putri Cina
sudah berbeda dengan SMT.
Lebih jauh lagi, Putri Cina sebagai objek penelitian merupakan bahan
kajian yang sangat menarik. Isinya berkisah tentang Putri Cina sebagai tokoh
utama yang mewakili kaumnya yakni orang-orang Cina dikatakan ―tidak
berwajah‖ di tanah yang mereka tempati (Tanah Jawa). Selain itu, tokoh Jaka
Prabangkara anak Prabu Brawijaya tiba-tiba mampu berbicara dengan bahasa
Cina seketika ia tiba di Cina daratan. Padahal ia sama sekali tidak pernah pergi ke
Cina. Cerita ini kemudian memunculkan sebuah makna tersirat tentang asal-usul
orang Cina di Tanah Jawa sendiri.
Tidak kalah pentingnya Putri Cina juga menceritakan pandangan hidup
orang-orang Cina sering kali dianggap materialis (ngadonyan dalam bahasa Jawa)
mengakibatkan Putri Cina dan kaumnya mengalami prasangka bahkan konflik
rasial sehingga mengakibatkan korban berjatuhan. Konflik itu seperti yang terjadi
di Batavia pada tahun 1740 yang menewaskan 10.000 jiwa. Lalu konflik yang
terjadi di Kudus pada tahun 1916. Kemudian ada juga peristiwa yang terjadi di
4
Tanggerang pada tahun 1946. Konflik tidak hanya berhenti di situ, konflik terus
berulang hingga puncaknya pada masa Kerajaan Medang Kamulan sebagaimana
diceritakan di dalam Putri Cina. Selanjutnya menjadi sebuah pertanyaan besar,
apakah benar pandangan atas orang-orang Cina sedemikian rupa?
Putri Cina sebagai sebuah karya yang dianggap kembali mengangkat
kehidupan orang-orang Tionghoa kemudian menjadi sebuah karya yang penting.
Menurut hemat penulis, novel ini penting karena Putri Cina merupakan ekspresi
dan pandangan Sindhunata sebagai anggota masyarakat Tionghoa. Hal tersebut
terbukti, sebagaimana ditunjukan di dalam pengantar Putri Cina di bawah ini:
Buku ini saya persembahkan sebagai kenang-kenangan untuk almarhum
ayah dan almarhumah ibu saya, Liem Swie Bie dan Koo Soen Ling, juga
kakak dan adik perempuan saya, Liem Sioe Lan dan Liem Hwie Lian,
yang telah meninggal (Sindhunata, 2007:8).
Tidak hanya itu, sebagai sebuah karya, Putri Cina kemudian juga
menuntun pembacanya pada pencariaan dan pemaknaan hidup. Jatman dalam
Sastra, Psikologi, dan Masyarakat mengatakan sebagai berikut:
Pada hemat saya, kesusastraan yang bertanggung jawab adalah
kesusastraan yang historis; ia mencairkan mitos menjadi sejarah; namun
dalam perjalanan waktunya, ia baru bisa dikatakan berperan apabila ia
sendiri telah menjadi mitos; atau paling tidak, berfungsi sebagai mitos.
Dan karena ia menyejarah, maka mestilah fungsional dalam
masyarakatnya. Ia bisa membantu masyarakatnya menginterprestasikan
makna hidup mereka. Itu yang terutama. Sering juga posisi ini disebut
sebagai mitos profan, yang merupakan bagian dari upaya manusia untuk
memberikan makna bagi hidupnya—sesuatu yang juga dibutuhkan oleh
manusia-manusia religius yang mempercayakan diri akan pertemuannya
dengan sang kudus, sang misteri dalam pengalaman-pengalaman
langsung, afektif dan intuitif (1985:212).
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Identitas dan pandangan hidup orang-orang Tionghoa terrepresentasikan
dalam Putri Cina.
2. Jalan penyatuan yang diajukan Putri Cina untuk mengatasi persoalan pribumi
dan orang-orang Tionghoa.
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah, penelitian ini memiliki tujuan yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Mengungkapkan identitas dan pandangan hidup orang-orang Tionghoa
ditinjau dari Putri Cina.
2. Mengungkapkan solusi yang diajukan Putri Cina dalam mengatasi persoalan
pribumi dan orang-orang Tionghoa.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan dua manfaat yakni manfaat praktis dan teoretis.
Manfaat praktis yang dapat diambil adalah dengan adanya penelitian ini
memperkaya khasanah penelitian sosiologi sastra. Pada penelitian ini juga dapat
diambil manfaat teoretisnya, yakni memperluas pandangan pembaca mengenai
sosiologi sastra melalui Putri Cina yang dianalisis dalam penelitian ini.
6
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini merupakan penelitian lingkup kepustakaan. Ruang
lingkup kepustakaan memusatkan penelitian pada data. Sumber data dalam
penelitian ini adalah Putri Cina karya Sindhunata. Putri Cina merupakan objek
material penelitian. Pada objek formalnya, penelitian ini memfokuskan pada
identitas, pandangan hidup, dan jalan penyatuan untuk orang-orang Tionghoa
ditinjau dari Putri Cina
F. Metode Penelitian
Mengingat tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan masalah-masalah sosial
dalam teks sastra, yakni masalah identitas, pandangan hidup, dan pembauran
masyarakat Tionghoa dalam Putri Cina, maka metode yang penulis gunakan
adalah metode sosiologi sastra. Damono dalam Pedoman Penelitian Sastra
menyatakan bahwa sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Istilah sosiologi sastra tidak
berbeda pengertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis, atau
pendekatan sosiokultural terhadap sastra (2002:2).
Hartoko dan Rahmanto dalam Pemandu di Dunia Sastra memaparkan
bahwa sosiologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari
hubungannya dengan kenyataan sosial. Kenyataan sosial dalam sosiologi sastra
meliputi pengarang, pembaca, dan teks sastra. Konteks pengarang dan pembaca
dalam sosiologi sastra disebut dengan sosiologi komunikasi sastra. Di dalam
7
sosiologi komunikasi sastra, penelitian memusatkan pada konteks sosial
pengarang meliputi status, pekerjaan, keterikatannya akan suatu kelas, ideologi
dan sebagainya lalu meneliti sejauh mana pengaruh pengarang terhadap karyanya.
Sosiologi komunikasi sastra juga menempatkan pembaca sebagai bagian dari
fokus kajian. Fokus kajian pembaca meliputi kebiasaan membaca dalam kalangan
tertentu seperti remaja, buruh, dan lan-lain. Konteks yang memusatkan pada teks
sastra dalam sosiologi sastra disebut penafsiran teks sastra secara sosiologis.
Penafsiran teks secara sosiologis merupakan analisis gambaran tentang dunia dan
masyarakat dalam sebuah karya kemudian melihat sejauh mana gambaran itu
menyimpang atau serasi dengan kenyataan. Hubungan antara teks sastra dan
kenyataan digunakan untuk meneliti fungsi manakah yang dominan di dalam
sebuah teks. Fungsi itu sendiri meliputi hiburan, informasi, sosialisasi dan lain-
lain guna melihat peranan sastra dalam masyarakat (1986:129).
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa tujuan dari penelitian
ini adalah mengungkapkan aspek-aspek sosial dalam teks sastra. Maka, metode
yang representatif dalam penelitian ini adalah metode sosiologi sastra berdasarkan
penafsiran teks secara sosiologis.
G. Landasan Teori
Dalam sosiologi sastra, terutama kajian sosiologi terhadap penafsiran teks sastra
terdapat ilmu bantu yang dapat dimanfaatkan sebagai teori. Ilmu bantu tersebut
antara lain linguistik, filsafat, sosiologi, antropologi, dan sebagainya. Ilmu filsafat
sebagai ilmu bantu menyangkut teori-teori antara lain romantisme, positivisme,
8
feminisme, marxisme, dan lain-lain. Teori marxisme sendiri melahirkan teori-teori
sastra yang dikenal sebagai lima model teori sastra marxis yang terdiri dari teori
refleksi, penciptaan, strukturalisme genetik, pengatahuan bahasa, dan landasan
bahasa (Noor, 2007:125-133).
Penulis dalam penelitian ini menggunakan teori strukturalisme genetik.
Strukturalisme genetik merupakan teori sastra yang melakukan pendekatan pada
teks sastra atau seperti yang sudah dijelaskan pada subbab sebelumnya disebut
penafsiran teks sastra secara sosiologis.
Teori strukturalisme genetik tidak muncul begitu saja. Teori ini muncul
atas tanggapan dari teori sebelumnya yang dikenal dengan teori strukturalisme
tradisional. Strukturalisme tradisional merupakan teori yang melakukan
pendekatan teori secara objektif. Pendekatan ini dalam penelitian sastra
memusatkan perhatiannya pada otonomi karya sastra dalam karya fiksi (Iswanto,
2012:78). Namun, pendekatan objektif terhadap karya sastra seperti yang
diungkapkan Juhl dinilai akan sangat berbahaya karena penafsiran tersebut akan
mengorbankan ciri khas, kepribadian, cita-cita dan juga norma yang dipegang
teguh oleh pengarang tersebut dalam kultur sosial tertentu (melalui Iswanto,
2012:79).
Strukturalisme genetik dimunculkan oleh Lucien Goldmann seorang
kritikus dari Rumania. Goldmann menganggap bahwa karya sastra adalah struktur
yang bermakna mewakili pandangan dunia (vision du monde) pengarang, tidak
sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian,
strukturalisme genetik merupakan penelitian yang menghubungkan struktur sastra
9
dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang
diekspresikan (melalui Endraswara 2011:57).
Seperti yang telah dikemukakan di atas, strukturalisme genetik lahir atas
tanggapan strukturalisme tradisional. Namun, strukturalisme genetik menganggap
bahwa adanya hubungan antara struktur karya sastra dan struktur masyarakat
melalui pandangan dunia. Hal ini menunjukan, meskipun strukturalisme genetik
menolak gagasan strukturalisme tradisional—melakukan pendekatan secara
objektif— pada penerapannya strukturalisme genetik tetap memperhitungkan
strukturalisme tradisional dalam penerapannya.
H. Sistematika Penulisan
Penyajian penelitian ini disusun secara sistematis yang terdiri dari lima bab, yaitu:
Bab I berupa pendahuluan yang memuat latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, metode penelitian,
landasan teori, dan sistematika penulisan.
Bab II adalah tinjauan pustaka dan landasan teori. Di dalam bab ini berisi
perihal tentang penelitian sebelumnya dan penjelasan teori yang akan digunakan.
Bab III adalah diberi judul unsur pembangun Putri Cina. Dalam bab ini
berisi uraian unsur pembangun novel Putri Cina yakni unsur instrinsik novel itu
sendiri.
Bab IV diberi judul terapan strukturalisme genetik padaPutri Cina. Berisi
paparan teoretis mengenai jati diri, pandangan hidup dan solusi yang diberikan
10
terhadap orang Tionghoa melalui Putri Cina yang dikaji melalui strukturalisme
genetik.
Bab V adalah penutup. Bab ini berisi simpulan dari keseluruhan analisis.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
Bab ini terdiri atas dua subbab judul yakni penelitian-penelitian sebelumnya dan
landasan teori. Di penelitian-penelitian sebelumnya, penulis menjelaskan tentang
penelitian yang terkait dengan skripsi ini. Keterkaitan ini menyangkut hubungan
penggunaan teori dan objek penelitian. Di landasan teori berisi paparan teoretis
mengenai teori strukturalisme genetik.
A. Penelitian-penelitian Sebelumnya
Menurut hemat penulis, penggunaan teori strukturalisme genetik untuk mengkaji
karya sastra tidak sepopuler dengan teori-teori lainnya. Berbeda halnya dengan
teori-teori seperti strukturalisme tradisional, psikoanalisis, semiotika, feminisme,
dan lain-lain. Penulis sendiri mengalami kesulitan untuk mencari penelitian
dengan teori serupa di kalangan akademisi. Hanya beberapa, salah satunya adalah
Natiqotul Muniroh dari Universitas Negeri Yogyakarta dengan judul ―Analisis
Strukturalisme Genetik dalam Novel Moi Nojoud, 10 Ans, Divorcee Karya
Nojoud Ali dan Delphine Minoui: Sebuah Sosiologi Sastra‖. Dari penelitiannya,
Muniroh menemukan bahwa struktur novel Moi Nojoud, 10 Ans, Divorcee saling
terkait. Keterkaitan tersebut meliputi hubungan latar belakang sosial, budaya,
ekonomi, dan politik berwujud kemiskinan, keterbelakangan, pendidikan rendah,
terikat budaya pernikahan anak, dan budaya patriarki.Pandangan dunia dalam
novel tersebut adalah mencegah perkawinan anak di pedesaan Yaman dengan
perceraian dan meningkatkan batas usia legal untuk menikah.
12
Di lingkungan Universitas Diponegoro (Undip) sendiri, penelitian dengan
menggunakan teori strukturalime genetik belum penulis temui, baik di tingkat
Strata 1 (S1) maupun Strata 2 (S2). Pencarian ini didasarkan pada judul yang
diarsipkan oleh perpustakaan Undip Fakultas Ilmu Budaya dan Program Studi
Magister Ilmu Susastra. Akan tetapi, untuk objek material penelitian, Putri Cina
karya Sindhunata sudah pernah dikaji oleh mahasiswa S2 bernama Edy Sutanto.
Sutanto sendiri memberikan judul tesisnya ―Simbol Daging dan Darah dalam
Novel Putri Cina Karya Sindhunata: Kajian Struktural dan Semiotika‖.
Penggunaan strkturalisme genetik dalam penelitian ini tidak hanya untuk
membedakan teori dengan penelitian sebelumnya pada Putri Cina, namun juga
digunakan untuk mendapatkan hasil temuan yang diharapkan.
B. Landasan Teori
Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, strukturalisme genetik
sebagai sebuah teori nyatanya tidak seketika muncul begitu saja. Kehadirannya
sebagai teori muncul atas rasa ketidakpuasan terhadap teori sebelumnya yang
biasa dikenal dengan nama teori strukturalisme tradisional. Strukturalisme
tradisional yang cenderung melakukan pendekatan secara objektif dan
memperlakukan teks sastra secara otonom dinilai menghilangkan esensi dari
karya sastra itu sendiri. Banyak lontaran kritik untuk strukturalisme tradisional ini,
Endraswara dalam Metodologi Peneltian Sastra mencatat dari pernyataan Taine
menganggap bahwa sastra tidak sekadar fakta imajinatif dan pribadi, melainkan
13
dapat merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran
tertentu karya itu dilahirkan (2011:55).
Pernyataan Taine tersebut kemudian dianggap sebagai tonggak dasar dari
strukturalisme genetik. Selanjutnya, strukturalisme genetik baru benar-benar
dikembangkan oleh seorang kritikus Rumania bernama Lucien Goldmann.
Goldmann sebagaimana dikutip oleh Salden (1993:37) menilai bahwa teks-teks
bukanlah ciptaan teks jenius individual pengarang, menurutnya teks-teks itu
berdasarkan pada struktur-struktur mental transindividual milik kelompok-
kelompok (kelas-kelas) khusus. Ia menambahkan pandangan dunia ini secara
terus-menerus dibangun dan dihancurkan oleh kelompok masyarakat karena
menyesuaikan citraan mereka terhadap realitias yang berubah di hadapan mereka.
Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan Noor, strukturalisme genetik melihat
karya bukan sebagai ungkapan pribadi pengarang, tetapi sebagai ungkapan
aspirasi kelas sosial yang dianut pengarang (2007:129).
Struktur yang dibangun dan dihancurkan secara terus-menerus bukanlah
sesuatu yang statis. Perubahan yang terjadi secara terus-menerus dianggap sebagai
proses dari produk sejarah. Faruk memberikan pendapat terhadap strukturalisme
genetik sebagai berikut:
Sebagai sebuah teori, strukturalisme genetik merupakan pernyataan yang
sahih mengenai kenyataan. Pernyataan ini dikatakan sahih jika di
dalamnya terkandung gambaran mengenai tata kehidupan yang bersistem
dan terpadu, didasarkan pada landasan ontologis yang berupa kodrat
keberadaan kenyataan itu, dan landasan epistimologis yang berupa
seperangkat gagasan yang sistematik mengenai cara memahami atau
mengetahui kenyataan yang bersangkutan (2010:56).
14
Lebih lanjut Faruk memformulasikan teori strukturalisme genetik
Goldmann ini menjadi enam konsep dasar yaitu fakta kemanusiaan, subjek
kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman, dan penjelasan.
Pertama adalah fakta kemanusiaan. Fakta kemanusiaan merupakan
landasan ontologis dari strukturalisme genetik. Fakta ini memuat pengertian
segala aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun fisik. Fakta
kemanusiaan sendiri terbagi menjadi dua, fakta indiviual dan fakta sosial. Dalam
strukturalisme genetik hanya fakta sosial yang dianggap berperan, sedangkan
fakta individual dianggap sebagai perilaku libidinal seperti mimpi, tingkah laku
orang gila, dan sebagainya tidak berperan. Fakta kemanusiaan ini dianggap
sebagai sebuah struktur yang memiliki arti dan saling mengikat sebagai sebuah
produk sejarah (Goldmann melalui Faruk, 2010:57).
Bagi strukturalisme genetik karya sastra hidup dalam dan menjadi bagian
dari proses asimilasi dan akomodasi yang terus menerus tersebut. Karya
sastra pada dasarnya aktivitas strukturasi yang dimotovasi oleh adanya
keinginan dari subjek karya sastra untuk membangun keseimbangan dalam
hubungan antara dirinya dengan lingkungan di sekitarnya (Faruk,
2010:61).
Ke dua adalah subjek kolektif. Sudah disinggung di atas bahwa dalam
strukturalisme genetik hanya fakta sosial yang dikatakan berperan. Berbeda
halnya dengan fakta individual yang sifatnya libidinal. Fakta sosial berperan
karena bernilai historis. Faruk (2010:62) menekankan jika mengembalikan fakta
kepada subjek individual sama artinya ―pemerkosaan‖ terhadap kodrat fakta itu
sendiri. Peristiwa besar seperti revolusi sosial, politik, dan ekonomi tidak
mungkin diciptakan oleh individu oleh dorongan libidonya. Strukturalisme
15
genetik menganggap jika peristiwa besar hanya mampu diciptakan oleh subjek
trans-individual (Goldmann melalui Faruk, 2010:63).
Subjek kolektif atau subjek trans-individual dalam strukturalisme genetik
adalah kelas sosial. Kelas sosial adalah kelompok yang berpengaruh dalam
sejarah karena mengandung gagasan lengkap dan menyeluruh mengenai
kehidupan umat manusia (Goldmann melalui Faruk, 2010:63). Kelas sosial yang
digunakan Goldmann ialah kelas sosial yang dikemukakan Marx yakni membagi
masyarakat berdasarkan kepemilikan alat produksi. Kelas sosial terbagi menjadi
dua yakni kelompok sosial pemilik alat produksi dan kelompok sosial tidak
memiliki alat produksi. Pada dasarnya kelas sosial bersifat antagonistis karena
mengikuti kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Hubungan itu tercipta karena
satu sisi kelas pemilik alat produksi berusaha untuk mempertahankan kelas. Sisi
lain, kelas yang tidak memiliki alat produksi berusaha merebut kedudukan
tersebut (melalui Faruk, 2010:26-27).
Sentimen kelas sosial merupakan hubungan yang sangat memungkinkan
terjadinya perubahan. Perubahan sosial pun dibedakan menjadi dua yakni
perubahan infrastruktur dan superstruktur. Infrastruktur merupakan hubungan
lingkungan produksi. Sedangkan superstruktur mencakup hubungan yang lebih
luas dan lebih umum (Goldmann melalui Faruk, 2010:64).
Ke tiga adalah pandangan dunia. Goldmann mempercayai adanya
persamaan (homologi) antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat,
sebab keduanya merupakan produk dari aktivitas struktur yang sama (melalui
Faruk, 2010:64). Konsep homologi sendiri berbeda dengan konsep refleksi. Hal
16
ini dipahami bahwa karya sastra bukanlah sebuah karya realistis melainkan
imajinatif bahkan fantastis. Bangunan dunia dalam karya sastra berbeda dengan
bangunan dunia dalam kenyataan. Dengan memakai konsep homologi, hubungan
antara bangunan dunia imajiner dan dunia nyata dapat dipahami, yakni dengan
memahami kesamaan tersebut bukan pada subtansinya melainkan pada
strukturnya.
Pandangan dunia dalam konsep homologi ialah struktur yang berarti
mewakili gagasan, pikiran, dan perasaan kelompok tertentu. Pandangan dunia ini
mempertentangkan dengan pandangan dunia kelompok lain karena masih
berhubungan dengan sentimen antar kelas. Menurut strukturalisme genetik
pandangan dunia diperoleh melalui proses yang panjang dan tidak setiap orang
mampu memahaminya. Pandangan dunia pun terbagi menjadi dua yakni
‗kesadaran yang mungkin‘ dan ‗kesadaran yang nyata‘. Kesadaran yang mungkin
merupakan kesadaran yang menyatakan kecenderungan kelompok ke arah suatu
mengikat dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya.
Pandangan ini jarang disadari dan hanya muncul dalam momen krisis. Sedangkan
kesadaran nyata adalah kesadaran yang dimiliki setiap individu dalam anggota
masyarakat (Goldmann melalui Faruk 2010:68-69).
Ke empat adalah strukturasi. Goldmann (melalui Faruk, 2010:71-72)
dalam esainya The Epistimology of Sociology mengemukakan pendapat tentang
karya sastra yang sebenarnya merupakan sebuah hal yang biasa. Pendapat
pertama adalah bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara
imajiner. Pendapat kedua menyatakan bahwa pengarang mengekspresikan
17
pandangan dunia tersebut dengan menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek,
dan relasi-relasi imajiner. Mengacu hal tersebut, Goldmann kemudian
membedakan karya sastra dari filsafat dan sosiologi. Menurutnya filsafat
mengekspresikan dunia secara konseptual, sedangkan sosiologi mengacu pada
dunia empiris. Selanjutnya Goldmann menciptakan konsep struktur yang bersifat
tematik. Pusat penelitian struktur tematik ini memusatkan perhatiannya pada relasi
antara tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek. Sifat tematik dari konsep
strukur Goldmann dapat dilihat dari kutipan berikut:
Dengan mendasarkan diri pada Lukacs dan Girard, Goldmann
mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegradasi
akan nilai-nilai otentik dalam dunia dunia yang terdegradasi. Pencarian itu
dilakukan oleh seorang hero yang problematik (melalui Faruk, 2010:73).
Terakhir yakni pemahaman dan penjelasan. Telah dijelaskan sebelumnya
pada fakta kemanusiaan yang menyatakan bahwa karya sastra merupakan struktur
yang memiliki arti. Karya sastra yang memiliki arti tersebut berkaitan dengan
usaha manusia memecahkan persoalan-persoalan dalam kehidupan sosial yang
ada di dunia nyata (Faruk, 2010:76). Untuk mendapatkan pengetahuan karya
sastra dengan kodrat keberadaan (ontologi), Goldmann kemudian
mengembangkan sebuah metode yang disebut sebagai metode dialektik (melalui
Faruk, 2010:76).
Goldmann menganggap metode dialektik sama dengan metode positivistik
karena keduanya sama-sama bermula dan berakhir pada teks sastra. Perbedaannya
metode ini adalah jika positivistik tidak mempertimbangkan persoalan koherensi
struktur, metode dialektik memperhitungkannya (melalui Faruk, 2010:77).
Permasalahan yang mendasar dari metode dialektik merupakan reaksi atas fakta-
18
fakta kemanusiaan yang akan tetap absrak jika tidak dibuat konkret dengan
mengintegrasikan ke dalam kesuluruhan. Berhubungan dengan ini Goldmann
mengembangkan dua pasangan konsep ‗keseluruhan-bagian‘ dan ‗pemahaman-
penjelasan‘.
Menurut Goldmann, sudut pandang dialektik mengukuhkan perihal tidak
pernah adanya titik awal secara mutlak sahih, tidak adanya persoalan yang
pasti terpecahkan. Oleh karena itu, dalam sudut pandang tersebut pikiran
tidak pernah bergerak seperti garis lurus. Setiap fakta atau gagasan
individual mempunyai arti hanya jika ditempatkan secara keseluruhan.
Sebaliknya, keseluruhan hanya bisa dapat dipahami dengan pengetahuan
yang betambah mengenai fakta-fakta parsial atau yang tidak menyeluruh
yang membangun keseluruhan itu (Faruk, 2010:77).
Seterusnya dapat dilihat bahwa konsep keseluruhan-bagian berkaitan erat
dengan konsep pemahaman-penjelasan. Goldmann menjelaskan bahwa
pemahaman adalah usaha mendeskripsikan struktur objek yang dipelajari,
sedangkan penjelasan adalah usaha menggabungkan ke dalam struktur yang lebih
besar (melalui Faruk, 2010:79). Adapun teknik pelaksanaan metode dialektik
dijabarkan sebagai berikut:
1. Peneliti membangun sebuah model yang dianggapnya memberikan tingkat
probabilitas tertentu atas dasar bagian.
2. Peneliti melakukan pengecekan ulang terhadap model itu dengan
membandingkan dengan keseluruhan dengan beberapa cara. Pertama melihat
sejauh mana setiap unit tergabungkan dalam hipotesis yang menyeluruh. Ke
dua, daftar elemen-elemen dan hubungan baru yang tidak diperlengkapi
dalam model semula. Ke tiga, frekuensi elemen-elemen dan hubungan-
hubungan yang diperlengkapi dalam model yang sudah dicek itu (melalui
Faruk, 2010:79).
19
Walaupun demikian, strukturalisme genetik yang dianggap sebagai reaksi
atas strukturalisme tradisional nyatanya tidak bisa dilepaskan dari strukturalisme
tradisional itu sendiri. Pendekatan unsur intrinsik sebagai ciri khas dari penelitian
strukturalisme tradisional sangat erat terjalin dalam penelitian strukturalisme
genetik.
Penelitian strukturalisme genetik memandang karya sastra dari dua sudut
yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian unsur intrinsik
(kesatuan dan koherensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian
akan menggabungkan berbagai unsur dengan realitas masyarakatnya.
Karya dipandang sebagai refleksi zaman, yang dapat mengungkap aspek
sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa
penting pada zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur
intrinsik karya sastra (Endraswara 2011:56).
Nurgiyantoro dalam Teori Pengkajian Fiksi mendeskripsikan unsur
intrinsik sebagai unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri (2012:23).
Adapun unsur-unsur yang dimaksud adalah peristiwa, cerita, plot, penokohan,
tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.
Akan tetapi dalam aplikasinya, tidak semua unsur dimasukkan dalam penelitian
ini. Pertimbangan tersebut diambil karena menyesuaikan dengan kebutuhan
penelitian dan relevansi terhadap teori pokok yang dipakai, yakni strukturalisme
genetik. Unsur yang dipakai dalam penelitian ini antara lain:
1. Cerita
Cerita dalam karya fiksi dianggap suatu hal yang paling penting. Unsur ini
memiliki peranan sentral dari awal hingga akhir. Cerita dianggap erat berkaitan
dengan berbagai unsur pembangun fiksi yang lain. Foster (melalui Nurgiyantoro,
2012:90) mengartikan cerita sebagai sebuah narasi berbagai kejadian yang segaja
disusun berdasarkan urutan waktu.
20
2. Tokoh
Tokoh oleh Abrams memiliki pengertian orang(-orang) yang ditampilkan dalam
suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas
moral dan kecenderungan tertentu seperti diucapkan dan apa yang dilakukan
dalam tindakan (melalui Nurgiyantoro, 2012:165).
Tokoh ini sendiri pun dibedakan menurut jenisnya. Telah disampaikan
sebelumnya, bahwa dalam penelitian ini pemakaian unsur disesuaikan dengan
kebutuhan, begitu pula dengan jenis tokoh yang akan dianalisis dalam penelitian
ini. Dalam penelitian ini jenis tokoh dibedakan berdasarkan segi peranan dan
tingkat kepentingannya. Pembagian tingkat berdasarkan peranan dan kepentingan
melahirkan dua tokoh yakni tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama
adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia
merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian
maupun yang dikenai kejadian (2012:176). Sebaliknya, tokoh tambahan
merupakan tokoh yang tidak terlalu mendominasi cerita, baik berkaitan secara
langsung ataupun tidak langsung.
3. Latar
Latar dalam pengertian Abrams (melalui Nurgiyantoro, 2012:216) mengacu pada
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
pertiwa diceritakan. Tempat mengacu pada wilayah. Waktu berisi ‗kapan‘
peristiwa dalam karya sastra terjadi. Lingkungan sosial merupakan keadaan atau
situasi yang digambarkan pada karya sastra.
21
Laurenson dan Swingewod menawarkan sebuah langkah penelitian
strukturalisme genetik yang juga disetujui oleh Goldmann. Pertama, mula-mula
sastra diteliti strukturnya untuk membuktikan jaringan-jaringan bagiannya
sehingga terjadi keseluruhan yang padu dan holistis. Ke dua, penghubungan
dengan sosial budaya. Unsur-unsur sastra dihubungan dengan sosio budaya dan
sejarahnya, kemudian dihubungkan dengan struktur mental yang berhubungan
dengan pandangan dunia pengarang. Sebagai penutup, untuk mencapai solusi atau
kesimpulan digunakan metode induktif, yaitu metode pencarian kesimpulan
dengan jalan melihat premis-premis yang sifatnya spesifik untuk selanjutnya
mencari premis general (melalui Iswanto, 2012:82).
22
BAB III
UNSUR INTRINSIK PUTRI CINA
Bab ini berisi tentang analisis unsur intrinsik Putri Cina. Unsur intrinsik
sebagaimana dijelaskan pada bab II adalah unsur yang membangun karya sastra.
Penulis dalam bab ini memilah unsur intrinsik menjadi tiga bagian meliputi cerita,
tokoh, dan latar Putri Cina.
A. Cerita dalam Putri Cina
Putri Cina karya Sindhunata pertama diterbitkan pada September tahun 2007
dengan tebal 304 halaman. Novel ini bercerita tentang tokoh yang bernama Putri
Cina. Putri Cina sebagai pembawa jalan cerita mengarungi ruang dan waktu.
Akan tetapi secara garis besar, penulis melihat bahwa novel ini terdiri dari dua
garis besar cerita yaitu ketika Putri Cina sebagai istri Prabu Brawijaya Kelima raja
dari Kerajaan Majapahit dan Putri Cina yang kedua menjelma sebagai Giok Tien
istri Setyoko (Senopati Gurdo Paksi).
Putri Cina sebagai istri dari Prabu Brawijaya Kelima adalah cerita bagian
pertama. Cerita ini diawali oleh kesedihan yang dirasakan oleh Putri Cina yang
mempertanyakan jatidirinya. Putri Cina sendiri adalah tokoh yang juga digunakan
untuk menyebutkan kaumnya.
Tidakkah hidupnya memang tidak punya akar, yang mengikat dia pada
suatu tanah, tempat ia bisa berpijak? Katanya, ia berasal dari Cina. Tapi ia
tak tahu sama sekali, apakah dan bagaimanakah keadaan di tanah
leluhurnya itu. Dan ke sana sekali pun ia tidak pernah.
Dan tidakkah ia dan kaumnya terbang seperti debu, yang berhamburan
kemana-mana? Kaumnya tak bisa bicara satu sama lain. Bahasa mereka
berupa-rupa, tergantung di mana mereka tinggal. Sementara ia dan
23
kebanyakan kaumnya pun tidak bisa sama sekali bicara dalam bahasa
leluhur (Sindhunata 2007:10).
Putri Cina merasa sedih. Banyak orang mengatakan bahwa ia cantik.
Meskipun demikian, ia sendiri merasa tidak memiliki wajah. Sesungguhnya Putri
Cina itu kaya raya, tetapi semakin bertambah kaya, ia merasa bahwa kekayaannya
itu tidak mampu menyangga wajahnya yang ternyata sudah ―hilang‖. Kesedihan
pun bertambah saat ia melihat kaumnya selalu tergoda mencari harta dan
kekayaan. Padahal leluhurnya dari Cina melarang ia dan kaumnya agar tidak
terikat pada harta dan benda.
Putri Cina sendiri tidak tahu kenapa ia diberi nama Putri Cina. Menurut
dongeng Jawa, ia adalah salah satu istri yang diceraikan oleh Prabu Brawijaya
Kelima. Hal itu dikarenakan istri Prabu Brawijaya Kelima yang lain yakni Putri
Campa cemburu dan merasa bahwa raja tidak mencintainya lagi. Karena tidak
tega, Prabu Brawijaya menceraikannya dan menitipkan Putri Cina pada salah satu
anaknya yakni Arya Damar, raja di Palembang.
Saat diceraikan oleh Prabu Brawijaya Kelima, Putri Cina sedang hamil.
Prabu Brawijaya berpesan agar Arya Damar tidak menggaulinya sebelum anak
tersebut lahir. Tak lama kemudian anak itu lahir dan diberi nama Raden Patah,
menyusul kemudian dari pernikahannya dengan Arya Damar melahirkan Raden
Kusen.
Raden Patah dan Raden Kusen lama-kelamaan tumbuh menjadi dewasa.
Melihat hal itu, muncullah keinginan Arya Damar untuk menjadikan Raden Patah
sebagai raja dan Raden Kusen sebagai patihnya. Tetapi Raden Patah menolaknya,
pada suatu malam ia pergi secara diam-diam meninggalkan istana. Seluruh istana
24
gempar, Raden Kusen sedih mendengar kabar tersebut. Setelah mendengar kabar
tersebut, Raden Kusen pun juga menyusul kakaknya secara diam-diam dan
kemudian mereka bertemu.
Mulanya Raden Patah dan Raden Kusen ingin mengabdikan diri kepada
Prabu Brawijaya. Namun setibanya mereka di Jawa, tepatnya Ngampeldenta,
Raden Patah memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanannya. Di
Ngampeldenta, Raden Patah berguru pada Sunan Ngampeldenta dan memeluk
agama baru (Islam). Sedangkan Raden Kusen melanjutkan perjalanannya ke
Majapahit. Di Majapahit, Raden Kusen diterima oleh Prabu Brawijaya bahkan
diangkat menjadi adipati di Terung.
Sementara itu, Raden Patah tetap mendalami ilmunya di Ngampeldenta.
Sunan Ngampeldenta kemudian mengambilnya menjadi menantu. Ia
mengawinkan Raden Patah dengan cucunya, Nyai Ageng Mendaka, anak
Nyai Ageng Manyura putri sulungnya.
Suatu hari Raden Patah minta petuah dari gurunya, di mana ia boleh
mendirikan pedepokan tempat ia hening bersemadi. Sunan Ngampeldenta
memerintahkan, agar ia berjalan lurus ke barat. Bila di sana ia mencium
gelagah yang harum di sanalah ia harus mendirikan pedepokannya. Bila
ketemu, tempat itu akan menjadi cikal bakal bagi sebuah kerajaan baru,
yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kertara harja.
Raden patah berjalan, sesuai dengan pesan gurunya. Di sebuah hutan, ia
mencium bau yang amat harum, bau yang berasal dari gelagah. Inilah
tempat yang dicarinya. Maka di sinilah ia mendirikan padepokannya. Dan
dinamakan tempat itu Bintara. Dalam waktu dekat datanglah orang-orang
ke sana untuk berguru pada Raden Patah dan menjadi pengikutnya
(2007:28-29).
Kabar tentang Raden Patah dan Bintara akhirnya sampai ke telinga Prabu
Brawijaya. Setelah itu Prabu Brawijaya memerintahkan Raden Kusen untuk
menjemput Raden Patah. Betapa gembiranya Prabu Brawijaya bahwa yang di
hadapannya adalah anak yang tampan seperti dengan dirinya. Bahkan, Prabu
25
Brawijaya mengakui Bintara dan yakin akan menjadi kerajaan besar. Bintara
kemudian berubah nama menjadi Demak.
Namun, lama-kelamaan muncul tekad dari Raden Patah untuk
menyebarkan agama baru tersebut dengan cara menaklukan Majapahit. Niatan itu
diutarakan kepada gurunya pada Sunan Ngampeldenta. Akan tetapi, Sunan
Ngampeldenta menenangkan Raden Patah dan menunggu agar waktunya tepat.
Akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba, Raden Patah dan pasukannya
menyerang Majapahit. Dengan mudah Majapahit ditaklukan oleh Raden Patah dan
tentaranya. Pindahnya kekuasaan dari Prabu Brawijaya ke Raden Patah menandai
perubahan babakan baru di Tanah Jawa, dari agama lama menuju agama baru.
Kabar tentang hancurnya Majapahit menggembirakan Putri Cina. Maklum
saja Putri Cina pernah merasa sakit hati karena diceraikan oleh Prabu Brawijaya.
Ia bangga karena dari rahimnya lahirlah Raden Patah yang membawa perubahan
di Jawa.
Tidak hanya dalam hal pemerintahan, tapi juga dalam hal agama. Ia yakin,
anaknya bisa membuat manusia di tanah Jawa bahagia karena taat pada
ajaran dan jalan agama baru itu. Keyakinannya makin kuat karena bukan
hanya Raden Patah, anaknya, tapi banyak dari kaumnya, orang-orang Cina
sendiri, adalah pemeluk agama baru itu. Orang-orang Cina itu datang
bersama saudaragar-saudagar dari Gujarat ke Tanah Jawa. Sambil
berniaga, mereka menyebarkan agama baru itu. Dengan demikian, berkat
kaumnya pula, maka Tanah Jawa menjadi terbuka terhadap kegiatan dan
kebudayaan baru yang dibawa agama baru tersebut ke Tanah Jawa
(2007:32-33).
Namun demikian, dalam hati Putri Cina mulai ragu dan bertanya apakah
anaknya Raden Patah sungguh mencintai dirinya. Raden Patah, anak yang
dicintainya itu, malah pergi meninggalkan dirinya di Palembang. Ditambah
kemudian muncul perasaan bersalah bahwa anaknya telah melupakan ajaran
26
leluhurnya karena memerangi ayahnya Prabu Brawijaya. Maka Putri Cina
memutuskan untuk mencari jawaban pertanyaan itu dengan pergi ke Majapahit.
Singkatnya, di Jawa, Putri Cina bertemu dengan Sabdopalon-
Nayanggenggong. Sabdopalon-Nayanggenggong adalah abdi setia Putri Cina saat
berada di Majapahit. Lalu kepada mereka lah Putri Cina mengutarakan maksud
kedatangannya di Tanah Jawa. Dari mulut Sabdopalon-Nayanggenggong
diceritakanlah kepada Putri Cina semua sejarah pertikaian yang dianggapnya
selalu berulang. Dari pertikaian yang dimulai dari Janameya dan Srutasena yang
ingin membersihkan medan Kurusena, namun malah berbuntut salah paham
karena Sutrasena malah memukul Sarameya yang tidak bersalah. Sarameya adalah
anak dari Sarama, istri Begawan Pulaha. Sarameya mengadukan perbuatan
Srutasena pada ibunya. Sarama mengutuk anak cucu Janameya dan Srutasena
tidak akan bersih dari pertikaian yang disebabkan oleh dendam.
Diceritakan pula pertikaian di negeri dewa antara Sang Hyang Antaga,
Sang Hyang Ismaya, dan Sang Hyang Manikamaya yang berebut kuasa tahta
ayahnya Sang Hyang Tunggal. Perebutan kuasa ini dimulai melalui sayembara
dengan menelan Gunung Gabawarsa antara Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang
Antaga. Sang Hyang Ismaya gagal mulutnya robek karena gunung terlalu besar.
Sang Hyang Antaga berhasil, tetapi naas gunung itu tidak dapat keluar dari
mulutnya. Sang Hyang Tunggal yang mengetahui masalah ini marah, karena
perbuatan anaknya tidak lebih daripada manusia yang haus kuasa. Maka
dibuanglah kedua anaknya ini ke bumi. Sang Hyang Ismaya berubah nama
menjadi Semar dan Sang Hyang Antaga menjadi Togog. Semar ditugasi
27
menemani manusia yang hatinya bersih dan Togog ditugasi menemani manusia
yang hatinya jahat. Nyatanya sayembara ini hanyalah tipu muslihat Sang Hyang
Manikmaya yang ternyata juga ingin merebut tahta ayahnya, Sang Hyang
Tunggal. Sang Hayang Manikmaya kemudian berubah nama menjadi Batara
Guru.
Putri Cina lantas dibuat kaget dengan pengakuan Sabdopalon-
Nayanggenggong yang menyatakan bahwa mereka adalah Semar itu sendiri.
Lanjutnya lagi, Sabdopalon-Nayanggenggong menceritakan tentang ramalan Putri
Cina dan kaumnya yang kelak tidak lepas dari pertikaian yang terus berlangsung
itu.
―Bukan karena Paduka dan kaum Paduka yang bersalah. Tapi hendaknya
Paduka tahu, bila mereka-mereka bertikai, dan pertikaian mereka tak bisa
selesai, haruslah dicari korban yang asalnya bukan dari mereka. Sebab
korban itu harus lain dari mereka, supaya terasa bahwa mereka tak
bersalah, karena mereka memang mau menyembunyikan kesalahan
mereka. Tapi korban tidak boleh terlalu lain dari mereka, supaya bisa
mewakili mereka, karena di lubuk hati mereka yang terdalam mereka toh
merasa bersalah, karena itu mereka harus membersihkan diri mereka.
Kalau korban itu terlalu lain dari mereka, bagaimana dia bisa mewakili
mereka untuk membersihkan diri mereka?‖ jelas Sabdopalon-
Nayanggenggong (2007:71).
Ramalan itu memilukan hati Putri Cina. Ramalan itu adalah jawaban dari
pertanyaan Putri Cina kenapa di Jawa pertikaian selalu saja terjadi. Ramalan itu
juga menjadi penutup pada bagian pertama cerita Putri Cina.
Di bagian ke dua diceritakan bahwa di Kerajaan Medang Kamulan, raja
sudah berubah tidak seperti awalnya ketika ia naik tahta. Dulunya raja bernama
Murhardo. Ia dikenal rakyat sebagai pemimpin yang bijaksana dan peduli pada
rakyat. Kemudian namanya berubah menjadi Amurco Sabdo karena rakyat
28
membencinya. Prabu Amurco Sabdo memerintah dengan kekerasan. Ia hanya
peduli pada tahta dan kekuasaan. Setelah itu Kerajaan Medang Kamulan berubah
namanya menjadi Pedang Kamulan.
Memang sejak Prabu Amurco Sabdo menggulingkan penguasa
sebelumnya seperti Ajisaka menggulingkan Dewata Cengkar, orang-orang
Cina dilarang menjalankan kebudayaan, adat istiadat, dan tata cara
agamanya. Di Pedang Kamulan ini, tak bisa lagi orang-orang Cina hidup
menurut kebudayaannya. Nama mereka pun harus diganti dengan nama
pribumi asli. Dihapuslah nama-nama Cina di Tanah Jawa ini. Padahal
tidakkah nama itu adalah warisan mereka yang diterima secara turun
menurun? Dan nama itu menyimpan siapa diri mereka sesungguhnya? Apa
arti kaya jika mereka tidak lagi bernama?
Di Pedang Kamula, orang-orang Cina juga tak boleh mempertunjukan lagi
keseniannya. Tak ada lagi barongsai, samsi, liong atau leang-leong, serta
wayang potehi yang dulu pernah menghibur banyak orang dan bahkan
disukai oleh orang-orang pribumi. Orang-orang Cina juga tidak mudah
menjalankan ibadat mereka di klenteng-klenteng. Bahkan mereka tidak
diperbolehkan merayakan Tahun Baru Cina. Orang Cina yang nekat
terpaksa merayakan tahun barunya sembunyi-sembunyi.
Begitulah, di Pedang Kamulan, penguasa menyandarkan diri pada
kekayaan orang-orang Cina. Tetapi orang-orang Cina itu justru dipersulit
dalam mengurus hal-hal yang mereka perlukan untuk hidup nyaman di
Tanah Jawa. Mereka tetap dianggap orang Cina, yang harus dibedakan
dengan orang-orang bumi putera. Karena itu untuk memperjuangkan
kesamaan hak sulitnya bukan mati (Sindhunata 2007:110).
Lama-kelamaan rakyat tidak menyukai Raja Amurco Sabdo. Rakyat yang
merasa tertekan kemudian marah dan menghancurkan apa saja yang ada di
hadapan mereka. Rakyat menginginkan raja untuk segera lengser.
Prabu Amurco Sabdo memiliki beberapa bawahan di antaranya Senapati
Gurdo Paksi, Tumenggung Jaya Sumengah, dan Patih Wrehonegoro. Senapati
Gurdo Paksi adalah prajurit paling tinggi di kerajaan. Ia dikenal baik dan
berpegang teguh pada peraturan. Karena ia memiliki kekuasaan tertinggi oleh raja
dianugerahi pusaka bernama Kyai Pesat Nyawa sebagai simbol atas
29
kekuasaannya. Berbeda dengan Tumenggung Jaya Sumengah, ia dikenal pemarah,
sombong, dan tidak kenal ampun. Sama halnya dengan Jaya Sumengah,
Wrehonegoro juga dikenal sangat licik dan menghalalkan segala cara.
Rakyat semakin marah kepada Prabu Amurco Sabdo karena ia menolak
untuk turun tahta. Melihat hal tersebut, Prabu Amurco Sabdo memerintah Gurdo
Paksi untuk menumpas gerakan rakyat tersebut. Namun Gurdo Paksi menolak
keinginan raja. Gurdo Paksi merasa bahwa dari tangannya telah menghilangkan
banyak nyawa. Raja marah terhadap Gurdo Paksi. Melihat kemarahan Raja,
Wrehonegoro mengusulkan saran agar kemarahan rakyat dialihkan kepada orang-
orang Cina.
―Mudah sinuwun. Sekali lagi hamba katakan itu sungguh mudah! Alihkan
saja segala kekerasaan yang mau pecah itu kepada orang-orang Cina.
Setelah itu, Sinuwun akan mengendalikan keadaan dengan mudah,‖kata
Patih Wrehonegoro. Ia tersenyum, tanpa perasaan (2007:134).
Mendengar usulan tersebut raja merasa puas. Ia menganggap
kekuasaannya akan aman jika tuntutan rakyat dialihkan ke orang-orang Cina.
Namun Gurdo Paksi marah, ia menolak untuk melakukan pekerjaan itu. Raja
semakin marah dan menganggap bahwa Gurdo Paksi hanya mau enaknya saja
tanpa mau melakukan perintah raja. Gurdo Paksi bersikukuh menolak perintah
raja, ia meninggalkan Raja dan menyerahkan pusaka Kyai Pesat Nyawa kembali
pada raja.
Dengan cepat Wrehonegoro mengarahkan kebencian rakyat pada orang-
orang Cina. Banyak rumah-rumah orang Cina dibakar. Banyak wanita Cina
diperkosa. Semua amarah ditujukan kepada orang-orang Cina. Di sisi lain, Giok
Tien istri Gurdo Paksi merasa ketakutan. Di rumah, ia ditemani oleh kedua
30
kakaknya Giok Hong dan Giok Hwa. Mereka merasa ketakutan melihat keadaan
yang melanda orang-orang Cina. Mereka mempertanyakan Gurdo Paksi yang
seharusnya menjalankan tugas memberikan perlindungan terhadap kaumnya
orang-orang Cina. Sembari itu, mereka bersiap-siap meninggalkan Jawa untuk
pergi ke Negeri Singa menghindar dari kekacauan.
Di dalam ketakutan dan kekacauan yang terjadi pada orang-orang Cina,
Giok Tien teringat dengan kisahnya yang telah lalu. Dulu Giok Tien adalah
pemain ketoprak Sekar Kastubo. Ayahnya sudah meninggal terlebih dahulu waktu
ia masih remaja. Sehari-hari ia hidup bersama ibunya Siok Nio. Sekar Kastubo
melakukan pentas secara berpindah-pindah. Giok Tien adalah gadis yang cantik,
maka tidak heran jika banyak orang tergila-gila dan berniat untuk
mempersuntingnya, tidak terkecuali Radi Prawiro.
Radi Prawiro adalah punggawa kerajaan. Badannya tegap dan gagah.
Kendati demikian, ia dikenal sangat galak dan suka bertindak sesuka hatinya. Ia
juga tidak segan-segan memukul orang jika sesuai dengannya. Untuk memperoleh
apa yang diinginkan, Radi Prawiro menghalalkan segala cara, termasuk
menggunakan teluh untuk mendapatkan Giok Tien. Untungnya Giok Tien selalu
ditemani oleh Korsinah yang juga bermain ketoprak di Sekar Kastubo. Teluh yang
digunakan Radi Prawiro selalu gagal karena bisa ditangani oleh Korsinah.
Namun, jodoh memang tidak kemana. Akhirnya Giok Tien berjumpa
dengan pria yang juga punggawa kerajaan. Nama pria itu adalah Setyoko.
Setyoko memang sudah lama suka dengan Giok Tien. Karena tidak dapat
menahan perasaanya, Setyoko mendatangi Giok Tien dan mengutarakan perasaan
31
cintanya. Giok Tien tidak dapat menolak perasaan Setyoko, kemudian mereka
memutuskan untuk menikah.
Akan tetapi, perasaan bahagia tidak selalu bersama dengan Giok Tien.
Sejalan dengan itu, Siok Nio yang sudah lama dilanda sakit akhirnya meninggal
dunia. Sebelum meninggal, Siok Nio berpesan kepada Setyoko agar ia selalu
menjaga anaknya yang Cina itu. Setelah menikah, Giok Tien memutuskan untuk
berhenti dari Sekar Kastubo dan ikut dengan suaminya ke kota. Giok Hong dan
Giok Hwa juga ikut bersama Giok Tien. Di kota, Setyoko diangkat menjadi
senapati dan namanya berubah menjadi Senapi Gurdo Paksi. Tapi tanpa disangka,
Radi Prawiro juga diangkat menjadi Tumenggung dan berubah namanya menjadi
Tumenggung Jaya Sumengah.
Giok Tien kembali tersadar, lalu ia meneruskan mengemas barangnya
untuk pergi ke Negeri Singa. Namun, tiba-tiba pintu rumah mereka digedor oleh
orang-orang bertopeng. Giok Hong dan Giok Hwa dibekap mulutnya dan
diperkosa di depan mata Giok Tien. Giok Tien pun meronta-ronta, ia ingin
berteriak namun mulutnya juga dibekap. Tiba-tiba seorang datang untuk
menyelamatkan Giok Tien. Gik Tien mengira bahwa itu adalah suaminya Gurdo
Paksi. Namun salah, ternyata yang menyelamatkannya adalah Jaya Sumengah.
Setelah itu, Jaya Sumengah segera membawa Giok Tien ke katumenggungan dan
meninggalkan kedua kakaknya yang sudah tak bernyawa itu.
Di katumenggungan, Jaya Sumengah mengutarakan cintanya kepada Giok
Tien yang sedari dulu masih ada padanya. Jaya Sumengah terus memperdaya
Giok Tien dan menjelek-jelekan Gurdo Paksi yang tidak mampu melindunginya
32
dan keluarganya. Dengan keadaan sedimikian rupa, Jaya Sumengah tidak dapat
menahan nafsunya dan mencoba memperkosa Giek Tien. Giok Tien meronta-
ronta dan mencoba memberontak. Jaya Sumengah semakin tidak terkendali,
dalam posisi itu tiba-tiba Prabu Amurco Sabdo masuk dan mencoba melarang
tindakan Jaya Sumengah. Kemudian Prabu Amurco Sabdo membawa Giok Tien
ke istana. Prabu Amurco Sabdo tidak sungguh-sungguh menyelamatkan Giok
Tien. Nyatanya ia juga menginginkan tubuh Giok Tien. Prabu Amurco Sabdo pun
memaksa Giok Tien untuk menyerahkan tubuhnya. Tanpa disadari perbuatan itu
ternyata juga dilihat Jaya Sumengah. Jaya Sumengah tidak menghadang tindakan
itu, malah ia senang bahwa sakit hatinya terbalas.
Di lain pihak, Gurdo Paksi kaget melihat rumahnya sudah berantakan.
Ditambah lagi kedua kakak iparnya sudah meninggal dan di sana menancap Kyai
Pesat Nyawa pusakanya dulu. Masyarakat yang ada di sekitar tempat tinggal
mengira Gurdo Paksi lah yang telah membunuh kedua kakak iparnya. Masyarakat
marah melihat Gurdo Paksi yang harusnya menjaga keamanan malah membunuh
kedua kakak iparnya yang Cina.
― Mana mungkin pusaka itu bukan milikmu! Hanya Senapati Pedang
Kamulan yang berhak memiliki keris pusaka Kyai Pesat Nyawa itu. Dan
kau adalah Senapati Pedang Kamulan ini,‖ teriak mereka menyudutkan
Gurdo Paksi (2007:238).
Gurdo Paksi tidak menemukan istrinya. Ia mencari dan bertanya pada
warga setempat. Sayang warga tidak percaya lagi padanya. Hingga akhirnya
Gurdo Paksi meminta pertanggungjawaban ke Prabu Amurco Sabdo.
Setelah Prabu Amurco Sabdo menggagahi Giok Tien, Jaya Sumengah pun
menginginkan hal yang sama. Dalam keadaan yang sudah tak berdaya dan dengan
33
baju yang sudah sebagian terbuka, Giok Tien mencoba menghindar dari perbuatan
Jaya Sumengah. Belum sempat Jaya Sumengah melakukan perbuatannya, Gurdo
Paksi sudah sampai di sana.
Gurdo Paksi mengutuk perbuatan kedua orang tua itu. Prabu Amurco
Sabdo dan Jaya Sumengah mengelak dan menuding Gurdo Paksi adalah dalang
dari kekacauan Pedang Kamulan karena ia adalah senapatinya. Di sisi lain,
muncul keraguan dalam Giok Tien tentang kesetiaan suaminya yang dulu berjanji
akan melindunginya sampai mati. Terlepas dari itu, Giok Tien tetap mengutuk
perbuatan Prabu Amurco Sabdo padanya. Ia menuntut agar Prabu Amurco Sabdo
turun dari kekuasaannya, tidak peduli siapa penggantinya. Jika tidak Giok Tien
akan melaporkan perbuatannya pada rakyat. Prabo Amurco Sabdo menghendaki
tuntutan itu dan kemudian posisinya digantikan oleh Aryo Sabrang yang masih
kerabatnya.
Kekuasaan Prabu Amurco Sabdo berakhir, zaman pun berganti. Aryo
Sabrang yang menggantikannya tidak meneruskan tradisi Prabu Amurco Sabdo
yang menundukan rakyat dengan senjata. Akan tetapi, Jaya Sumengah tidak
kemudian menghilang. Ia kemudian diangkat menjadi senapati dan memegang
Kyai Pesat Nyawa.
Empat puluh hari setelah kematian Giok Hong dan Giok Hwa, Giok Tien
datang ke pemakaman kedua saudaranya itu. Ia merenung dan sedih mengingat
kematian kedua saudaranya. Setelah itu, Gurdo Paksi menyusulnya dengan
membawa pakaian prajuritnya yang sudah terlepas. Gurdo Paksi memilih hidup
biasa dan melepaskan semua keprajuritannya. Ia juga meminta maaf dan menyesal
34
karena tidak mampu melindungi istri dan saudaranya. Lalu Gurdo Paksi
memeluknya erat-erat. Saat suasana menjadi demikian haru, tiba-tiba anak panah
datang menuju ke arah mereka. Giok Tien yang melihat lebih dahulu mencoba
melindungi Gurdo Paksi. Giok Tien pun tertusuk anak panah itu. Kemudian
ribuan anak panah lainnya menyusul menghampiri mereka. Giok Tien dan Gurdo
Paksi seketika tewas di tempat itu. Dari kejauhan, terdengar suara orang tertawa
terbahak-bahak. Ternyata suara itu datang dari Jaya Sumengah. Mulanya Jaya
Sumengah merasa sangat senang atas kematian mereka berdua. Namun kemudian
ia menyesali karena ternyata ia sangat mencintai Giok Tien. Jaya Sumengah
melihat kedua mayat di depannya berpelukan erat lalu ia mencoba
memisahkannya. Tetapi belum sempat menyentuh kedua mayat itu, keduanya
malah berubah menjadi kupu-kupu yang indah. Jaya Sumengah pun semakin
sedih dan tidak dapat menahan kesedihannya ketika kupu-kupu itu semakin
menjauh. Dari balik awan seakan ia melihat wajah Giok Tien yang dikenalnya
dulu. Rasa sakit itu kemudian menuntunnya untuk menusukan Kyai Pesat Nyawa
ke dadanya. Tubuh Jaya Sumengah pun seketika terjatuh di tempat Giok Tien dan
Gurdo Paksi tadi.
B. Tokoh dalam Putri Cina
Tokoh utama yang terdapat dalam Putri Cina adalah Putri Cina itu sendiri. Putri
Cina adalah tokoh yang membawa ke mana arah cerita. Kemunculannya selalu
ada di setiap cerita. Ia juga yang dikenai peristiwa-peristiwa yang menyangkut
jalannya cerita. Putri Cina itu sendiri sebenarnya terbagi menjadi dua. Putri Cina
35
yang pertama ada di masa Majapahit istri Prabu Brawijaya Kelima. Putri Cina
yang ke dua menjelma sebagai Giok Tien yang hidup di masa Pedang Kamulan
sebagai istri Gurdo Paksi.
Baik Putri Cina sebagai istri dari Prabu Brawijaya dan Putri Cina sebagai
Giok Tien adalah dua bagian yang terpisah. Hal ini dikarenakan mereka
menempati ruang dan waktu yang terpisah pula. Penghubung antara Putri Cina
sebagai istri dari Prabu Brawijaya dan Putri Cina sebagai Giok Tien adalah sifat
mereka. Keduanya memiliki sifat yang positif.
Putri Cina yang ada di masa Majapahit adalah orang yang tabah. Ia tetap
sabar walaupun diceraikan oleh Prabu Brawijaya hanya karena alasan
kecemburuan dari istrinya yang lain seperti di bawah ini:
Cerita Kim Liyong tentang diceraikannya Putri Cina oleh Raja Majapahit
tidak terlau menyusahkan hatinya. Ia berpikir, sudah takdirnyalah bagi
Putri Cina, bahwa ia harus diserahkan kepada Arya Damar di Palembang.
Dan Memang beginilah Babad Tanah Jawa bercerita tentang masa itu
(2007:26).
Sifat positif juga diperlihatkan oleh Giok Tien, salah satunya seperti ini:
―Kata papa, kalau ke Taw Low She, mintalah untuk menjadi bijaksana,
Sedang Mama kalau sembahyang di Eyang Djoego juga tidak minta apa-
apa, kecuali minta selamat lahir batin. Aku juga minta selamat,‖ jawab
Gioek Tien (2007:167).
Kesamaan lain pada dua Putri Cina ini adalah konflik yang menimpanya.
Meski begitu, konflik antara Putri Cina di masa Majapahit dan konflik yang
terjadi pada masa Pedang Kamulan berbeda tingkatan. Konflik Putri Cina yang
ada di masa Majapahit lebih bersifat batiniah. Konflik ini lebih membicarakan
identitas Putri Cina itu sendiri dan perasaan bersalah terhadap anaknya Raden
36
Patah yang memerangi ayahnya. Putri Cina (Giok Tien) pada masa Pedang
Kamulan lebih bersifat konflik fisik. Konflik fisik ini berupa huru-hara yang
menimpa orang Cina dan pada Giok Tien sendiri.
Sedangkan untuk tokoh tambahan dalam Putri Cina, tokoh jenis ini pun
terbagi menjadi dua karena terbagi menjadi dua sub cerita. Pada masa Majapahit
tokoh tambahannya adalah Prabu Brawijaya Kelima, Jaka Prabangkara, Kim
Liyong, Kim Muwah, Raden Patah, Raden Kusein, Sabdo Palon
Nayanggenggong, Jayameya, Srutasena, Sang Hyang Ismaya, Sang Hyang
Antaga, Sang Hyang Manikmaya, dan lain-lain. Pada masa Pedang Kamulan
tokoh tambahan meliputi Gurdo Paksi (Setyoko), Jaya Sumengah (Radi Prawiro) ,