1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan komunikasi untuk berinteraksi antar sesama. Jika gagasan dan pikiran masing-masing individu dapat tersampaikan, maka komunikasi dapat terjalin dengan baik. Bahasa adalah alat untuk menyampaikan gagasan tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Chaer dan Agustina (2010:14) bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan. Sama halnya dengan Chaer dan Agustina, al-Ghulayaini (2007: 13) juga mendefinisikan bahasa dengan sebuah ungkapan untuk mengutarakan maksud (pikiran), hal tersebut didefinisikan oleh al-Ghulayaini sebagai berikut: ﻳﻌﱪ أﻟﻔﺎظﺎđ ﻣﻘﺎ ﻋﻦ ﻗﻮم ﻛﻞ ﺻ ﺪﻫﻢ/Alfa>zhun yu’baru biha>kullu qaumin ‘an maqa>shidihim/ ‘Ucapan-ucapan yang diungkapkan oleh setiap kaum tentang maksud-maksud mereka’. Definisi bahasa yang telah diutarakan di atas telah memberikan sedikit gambaran tentang bahasa. Bahasa adalah sebuah ucapan yang digunakan untuk berinteraksi dengan sesama manusia agar dapat saling berkomunikasi dan menyampaikan maksud dari setiap individu. Komunikasi tersebut membuahkan sebuah peristiwa yang disebut peristiwa tutur dan tindak tutur. Peristiwa tutur adalah terjadinya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu
38
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileterimakasih, mengungkapkan rasa simpati dan memohon maaf. Permohonan maaf merupakan salah satu tindak tutur ekspresif. Permohonan maaf
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan komunikasi untuk
berinteraksi antar sesama. Jika gagasan dan pikiran masing-masing individu dapat
tersampaikan, maka komunikasi dapat terjalin dengan baik. Bahasa adalah alat
untuk menyampaikan gagasan tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Chaer dan
Agustina (2010:14) bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk
berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep,
atau juga perasaan. Sama halnya dengan Chaer dan Agustina, al-Ghulayaini (2007:
13) juga mendefinisikan bahasa dengan sebuah ungkapan untuk mengutarakan
maksud (pikiran), hal tersebut didefinisikan oleh al-Ghulayaini sebagai berikut:
دهمصكل قوم عن مقا ا ألفاظ يعرب
/Alfa>zhun yu’baru biha>kullu qaumin ‘an maqa>shidihim/ ‘Ucapan-ucapan yang diungkapkan oleh setiap kaum tentang maksud-maksud mereka’.
Definisi bahasa yang telah diutarakan di atas telah memberikan sedikit
gambaran tentang bahasa. Bahasa adalah sebuah ucapan yang digunakan untuk
berinteraksi dengan sesama manusia agar dapat saling berkomunikasi dan
menyampaikan maksud dari setiap individu.
Komunikasi tersebut membuahkan sebuah peristiwa yang disebut
peristiwa tutur dan tindak tutur. Peristiwa tutur adalah terjadinya interaksi
linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu
2
penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, waktu, tempat dan situasi
tertentu (Chaer dan Agustina 2010: 47). Peristiwa tutur merupakan peristiwa
sosial, karena menyangkut pihak-pihak yang bertutur dalam situasi dan tempat
tertentu. Berkaitan dengan peristiwa tutur, tindak tutur merupakan gejala individu
yang bersifat psikologis, dan dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa penutur
dalam menghadapi situasi.
Leech (1983: 1) berpandangan bahwa tindak tutur adalah perangkat
tuturan yang paling kecil dan merupakan bagian dari peristiwa tutur. Teori
mengenai tindak tutur berakar pada filsafat Austin (1962), seorang guru besar di
Universitas Havard pada tahun 1956 (Ainin, 2010: 40). Tindak tutur merupakan
salah satu fenomena dalam masalah yang luas, yang dikenal dengan istilah
pragmatik (Chaer dan Agustina, 2010: 56). Tindak tutur menurut Nachlah (2011:
42-44) adalah sebuah ungkapan yang tidak mengandung sebuah kebenaran atau
kesalahan dan tidak ditujukan untuk membuat statement ال تنشئ قوال/la> tunsyi'u
qaulan/ akan tetapi ditunjukkan untuk sebuah pekerjaan بل تؤدى فعال/bal tu’addi>
fi’lan/. Nachlah (2011: 42) menyebutkan bahwa tindak tutur adalah salah satu
bagian penting dalam pragmatik, bahkan tindak tutur adalah nama lain dari
pragmatik pada saat pragmatik ditemukan.
Searle (1969: 23-24); Nachlah (2011: 47) mengemukakan bahwa secara
pragmatis, setidaknya ada tiga macam tindak tutur yang dapat diwujudkan oleh
penutur, yakni lokusi ( يفعل اللفظال ), ilokusi ( يالفعل اإلجناز ), dan perlokusi ( يالفعل التأثري ).
Berdasarkan ilokusi, tindak tutur dibagi menjadi lima jenis, yakni asertif
3
dan ,(التعبرييات) ekspresif ,(اإللتزاميات) komisif ,(التوجيهيات) direktif ,(اإلخباريات)
diri sendiri, ekspresi ketiadaan maksud, ekspresi pertnggungjawaban secara
implisit, dan penolakan kesalahan oleh penutur), Tawaran perbaikan, serta
janji untuk tidak mengulangi. Selain kelima strategi tersebut, pada penelitian
ini juga terdapat strategi modifikasi, yaitu intensitas permohonan maaf,
10
meminimalkan atau menyangkal tanggung jawab, emosional, meminimalkan
pelanggaran, dan berkomentar.
8. Penelitian yang dilakukan oleh Andrew D. Cohen dan Elite Olshtain (1985)
berjudul “Comparing Apologies a Cross Languages” membahas tentang
perbandingan permohonan maaf pada lintas bahasa. Responden dari penelitian
tersebut adalah penutur asli dan non Inggris. Penelitian tersebut
menyimpulkan terdapat perbedaan dalam penggunaan tuturan permohonan
maaf yang digunakan oleh kedua penutur. Perbandingan yang digunakan
untuk melihat perbedaan tersebut dilakukan dengan membandingkan situasi
yang sama sehubungan dengan jenis penutur, status sosial mereka, keakraban
dan tingkat keparahan pelanggaran.
9. Penelitian berjudul “Developing a Measure of Sociocultural Competence: the
Case of Apology” yang dilakukan oleh Andrew D. Cohen dan Elite Olshtain
(1981) membahas tentang kompetensi sosiokultural pada penutur bukan asli
bahasa Inggris, kisaran strategi diantara penutur asli dan membandingkan
tanggapan penutur asli dan non. Responden dalam penelitian ini berjumlah 44
penutur yang terdiri dari 32 penutur Ibrani dan 12 penutur Inggis yang rata-
rata berumur 20 tahun. Penutur Inggis terdiri dari 5 laki-laki dan 7 perempuan,
sedangkan penutur Ibrani terdiri dari 20 laki-laki dan 12 perempuan. Analisis
respon dari penutur asli bahasa Inggris dan penutur asli bahasa Ibrani dalam
bahasa Ibrani, pada penelitian tersebut menggunakan modifikasi dari teori
Fraser, yaitu dengan empat formula semantik. Satu diantaranya dibagi menjadi
empat subformula. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar
penutur dari bahasa Inggris sebagai bahasa asing, menggunakan formula
11
semantik yang sama seperti penutur asli bahasa Inggris, ketika mereka mampu
menggunakannya. Temuan ini sesuai dengan Fraser (1979) bahwa formula ini
bersifat universal. Kadang-kadang penutur bukan asli menggunakan rumus ini
seperti halnya penutur asli dalam berbahasa Inggris. Kadang-kadang mereka
tidak menggunakan semua formula semantik yang diharapkan, baik karena
pengaruh pola bahasa asli atau karena kurangnya kemahiran dalam bahasa
target.
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, secara umum penelitian
tersebut mempunyai kesamaan dengan penelitian ini dalam hal kajian
permohonan maaf. Namun, fokus pada penelitian ini berbeda dengan penelitian
terdahulu. Penelitian berjudul “Tindak Tutur Permohonan Maaf Penutur Non
Arab Perspektif Olshtain dan Cohen” ini berfokus pada penutur bahasa Arab
yang berasal dari non Arab.
Pada penelitian ini, responden diambil dari latar belakang penutur non
Arab. Wijana dan Rahmadi (2006: 48) membagi jenis penutur menjadi dua
macam, yaitu penutur berkompeten (fully fledge speaker) dan penutur partisipatif
(unfully fledge speaker). Penutur berkompeten adalah penutur yang mampu
menggunakan bahasa dalam berbagai tindak komunikasi. Richard (dalam Wijana
dan Rahmadi, 2006: 49) menyebutkan syarat penutur berkompeten sebagai
berikut:
1. Memiliki pengetahuan gramatika dan kosa kata suatu bahasa.
2. Pengetahuan mengenai kaidah-kaidah berbahasa, misalnya tentang cara
memulai pembicaraan, pengetahuan mengenai topik-topik pembicaraan
yang dapat digunakan dalam peristiwa tutur (speech event), pengetahuan
12
mengenai bentuk-bentuk sapaan (النداء) yang digunakan untuk menyapa
orang-orang dengan status sosial yang beragam dan dalam situasi yang
berbeda-beda dan sebagainya.
3. Pengetahuan tentang menggunakan dan merespon tipe-tipe tindak tutur
yang berbeda, seperti perintah, permohonan, permintaan maaf, ucapan
terimakasih dan sebagainya.
4. Pengetahuan tentang bagaimana berbicara secara wajar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, terdapat beberapa
rumusan masalah yang akan dibahas, yaitu :
1. Bagaimana bentuk dan makna satuan lingual permohonan maaf oleh penutur
non Arab?
2. Bagaimana strategi ekspresi permohonan maaf yang digunakan oleh penutur
non Arab?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan bentuk dan makna satuan lingual permohonan maaf oleh penutur
non Arab.
2. Menjelaskan strategi ekspresi permohonan maaf yang digunakan oleh penutur
non Arab.
13
Penelitian ini bermanfaat sebagai gambaran secara umum mengenai
bentuk dan makna ekspresi permohonan maaf juga berbagai strategi permohonan
maaf dalam perspektif Olshtain dan Cohen. Penelitian ini diharapkan memberikan
sumbangan dan kontribusi pada kemajuan kajian Pragmatik, khususnya untuk
kajian tindak tutur pada tindak tutur permohonan maaf.
D. Batasan Masalah
Pembatasan masalah diperlukan agar penelitian dapat terarah dan sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai sehingga tidak terjadi penyimpangan pada
pokok permasalahan. Masalah dalam penelitian ini di batasi dalam aspek model
strategi yang digunakan dengan menggunakan strategi permohonan maaf yang
dimunculkan oleh Olshtain dan Cohen. Penelitian ini tidak menggunakan batas
minimal keberadaan responden di Timur Tengah, juga tidak sampai membahas
tentang transformasi budaya. Tuturan yang digunakan pada penelitian ini adalah
tuturan berbahasa Arab resmi (fuscha>).
E. Landasan Teori
1. Pragmatik
Pemakaian istilah pragmatik dipopulerkan oleh Charles Morris pada
tahun 1938, yang mempunyai perhatian besar pada ilmu pengetahuan tentang
semantik, beliau membedakan tiga cabang yang berbeda dalam penyelidikan,
yaitu pada aspek tata bahasa (syntax) yaitu ilmu yang mempelajari tentang
hubungan antarkata dalam kalimat, pada aspek makna (semantics) yaitu ilmu
yang mempelajari tentang makna kata dalam kalimat dan aspek pragmatik yaitu
14
ilmu yang mempelajari tentang hubungan tanda-tanda dengan penafsir, baik itu
kondisi psikologis, kehidupan maupun sosialnya (Tharifah, 2010: 5)
Pragmatik adalah ilmu yang mengandung pemahaman tentang kalimat,
kasus, juga konteks yang digunakan dalam bahasa (Lehwimel, 2011:163).
Senada dengan pengertian tersebut, Van Dijk (dalam Lehwimel, 2011: 163),
mendefinisikan pragmatik dengan ilmu yang mengandung syarat yang
terkandung dalam keberhasilan pada tindakan bahasa sesuai dengan konteks
yang ada.
Selanjutnya menurut Shochrowi (dalam Tharifah, 2010: 7) pragmatik
bukan hanya ilmu bahasa saja, akan tetapi pragmatik adalah ilmu komunikasi
baru yang mempelajari tentang fenomena bahasa yang terkait tentang
pemakaiannya beserta tafsirannya. Pragmatik menurut Leech (1983: 8) adalah
(study of meaning in relation to speech situations) studi tentang makna dalam
hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations). Pragmatik adalah
studi tentang makna yang disampaikan penutur (pengirim pesan) kepada mitra
tutur (penerima pesan). Akibatnya studi ini banyak berhubungan dengan analisis
mengenai maksud dan fungsi dari suatu tuturan (Yule, 2006: 3).
Levinson (1983: 7-24) mendefinisikan pragmatik sebagai berikut:
a. The study of language from a functional perspective, that is, that it attempts to explain facets of linguistic structure by reference to non-linguistic pressures and causes. Pragmatik adalah kajian bahasa dari perspektif fungsional, maksudnya pragmatik berusaha menjelaskan aspek-aspek struktur linguistik dengan mengacu pada pengaruh-pengaruh dan gejala-gejala non-linguistik.
b. Pragmatics is the study of those relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of a language.
15
Pragmatik merupakan studi bahasa yang memelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatikalisasi dan terkodifikasi dalam struktur bahasanya.
c. Pragmatics is the study of all those aspects of meaning not captured in a semantic theory. Pragmatik adalah kajian tentang aspek-aspek makna yang belum tercakup dalam teori semantik.
d. Pragmatics is the study of the relations between language and context that are basic to an account of language understanding. Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bahasa dan konteks berdasarkan pada pemahaman kebahasaan.
e. Pragmatics is the study of the ability of language users to pair sentences with contexts in which they would be appropriate. Pragmatik adalah studi tentang kemampuan pemakai bahasa untuk menyesuaikan kalimat-kalimat yang digunakannya dengan konteks yang cocok.
f. Pragmatics is the study of deixis (at least in part), implicature, presupposition, speech acts, and aspects of discourse structure. Pragmatik adalah studi tentang deiksis (paling tidak sebagian), implikatur, presuposisi, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana. Beberapa pengertian pragmatik yang telah disebutkan oleh para ahli diatas,
dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah ilmu yang mempelajari tentang
makna yang terkandung dalam tuturan sesuai dengan konteks tuturan, juga ilmu
yang mempelajari tentang bentuk ekspresi menurut jarak sosial antar partisipan.
Pragmatik adalah ilmu tentang komunikasi, yang terdiri dari beberapa
pemahaman, di antaranya (1) tindak tutur (al-af’alul-kala>m), (2) implikatur
(mutadzamina>tul-qaul), (3) implikatur percakapan (al-istilza>mil-khiwa>ri>), dan (4)
dieksis (al-i>sya>riya>t) (Lehwimel, 2011: 162).
2. Tindak Tutur
Telah disebutkan oleh Lehwimeh (2011), bahwa tindak tutur (al-af’alul-
kala>m), merupakan bagian dari pragmatik. Istilah dan teori mengenai tindak tutur
diperkenalkan oleh J Austin (1962), seorang guru besar di Universitas Havard
pada tahun 1956 yang berasal dari materi kuliah yang kemudian dibukukan oleh
16
Urmson (1965) yang berjudul “How to do Thing with Word?”. Sebelum teori
tindak tutur muncul, para ahli bahasa beranggapan bahwa sebuah kalimat hanya
berfungsi untuk menggambarkan suatu keadaan atau untuk menyatakan suatu
fakta dan kalimat tersebut dapat dibuktikan kebenarannya. Austin (1962: 5)
berpendapat bahwa tidak semua kalimat semata-mata diujarkan untuk menyatakan
sesuatu. Menurut Austin (1962) dalam menuturkan sebuah kalimat, seseorang
tidak hanya menyatakan suatu hal tetapi ia juga melakukan tindakan. Teori
tersebut kemudian diperluas oleh J. Searle (1969) dalam bukunya “Speech Act
and Essay in The Philosophy of Language” (Chaer dan Agustina, 2010: 50).
Tindak tutur menurut Nachlah (2011: 42-44) adalah sebuah ungkapan
yang tidak mengandung sebuah kebenaran atau kesalahan dan tidak ditujukan
untuk membuat pernyataan akan tetapi ditunjukkan untuk sebuah pekerjaan.
Nachlah (2011: 42) menyebutkan bahwa tindak tutur adalah salah satu bagian
penting dalam pragmatik, bahkan tindak tutur adalah nama lain dari pragmatik
pada saat pragmatik ditemukan. Tindak tutur merupakan salah satu fenomena
dalam masalah yang luas, yang dikenal dengan istilah pragmatik (Chaer dan
Agustina, 2010: 56).
Para ahli tata bahasa tradisional membagi kalimat menjadi tiga bagian,
yaitu (1) kalimat deklaratif, (2) kalimat interogatif, dan (3) kalimat imperatif.
kalimat deklaratif bedasarkan maknanya menjadi dua bagian, yaitu: kalimat
performatif dan kalimat konstantif.
17
a. Tuturan konstantif ( يةاخلرب كالم )
al-Khabariyah merupakan nisbah dari lafadz khabar (Anwar, 1989: 19).
Kalimat ini menetapkan bahwa peran kalimat dibatasi hanya dalam keterangan
dari keadaan, penetapan sesuatu yang telah terjadi yang benar atau salah, yaitu,
kalimat yang sesuai dengan standar kebenaran dan kebohongan (Lehwimel, 2011:
160).
Kala>m khabariyah menurut a’d-Damanhuri (TT: 33) adalah:
ما احتملت الصدق و الكذب
/ma> ichtamalatish-shidqa wal-kadziba/. ‘perkataan yang mengandung kebenaran atau kebohongan’.
Kalimat konstantif adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka (Chaer
dan Agustina, 2010: 51). Misalnya pada tuturan 1 berikut:
يف هذا الصباح يستيقظ متأّخر )1(
/Yastaiqizhu muta'akhkhiran fi> ha>dza>sh-shaba>ch/. ‘Pagi ini, ia terlambat bangun’.
a’d-Damanhuri (TT: 34) membagi arti kalam khabariy menjadi empat
macam, yaitu:
1) Benar jika sesuai hukum khabar, yaitu dengan bukti/kenyataan dan
bohong jika tidak sesuai dengan hukum khabar.
2) Benar jika sesuai dengan i’tikad penutur, meskipun berbeda dengan
kenyataannya dan bohong jika tidak sesuai dengan i’tikad meskipun sesuai
kenyataan.
3) Benar jika sesuai dengan kenyataan serta i’tikad dan bohong jika tidak
sesuai dengan kenyataan serta i’tikad.
18
4) Benar jika sesuai dengan kenyataan atau dengan i’tikad dan bohong jika
tidak sesuai dengan kenyataan atau dengan i’tikad.
b. Tuturan performatif ( اإلنشائية كالم )
Kalimat performatif adalah tuturan yang tidak mengandung benar atau
salah, sebagaimana yang digunakan oleh para ahli tata bahasa, retorika, ilmu fiqih,
ilmu tafsir dan ilmu-ilmu lainya (Lehwimel, 2011:160).
Kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan. Artinya tuturan
yang diucapkan oleh si pengujar adalah sesuatu yang dilakukannya (Chaer dan
Agustina, 2010: 51). Menurut Chaer dan Agustina (2010), kalimat performatif
harus memenuhi beberapa syarat, antara lain:
1) Ucapan harus dilakukan orang tertentu yang ditunjuk.
2) Urutan peristiwa sudah baku. Artinya, peristiwa pengucapan kalimat
terjadi setelah serangkaian acara lain yang harus mendahuluinya sudah
dilakukan dan akan disusulkan dengan peristiwa lain.
3) Yang hadir dalam peristiwa tersebut harus turut serta dan tidak dibenarkan
untuk melakukan hal yang lain.
4) Peristiwa tersebut harus dilakukan secara lengkap.
Menurut Lehwimel (2011) kalimat performatif dalam bahasa Arab
disepadankan dengan kala>mul-insya’iyah. al-Jarim dan Amin (2007: 153)
mendefinisikan insya’ dengan
ما ال يصّح أن يقال لقائله انه صادق فيه او كاذب/Ma> la> yushichcha an yuqa>la liqa>’ilihi innahu sha>diqun fi>>hi au ka>dzibun/.
19
‘Kalimat yang pembicaranya tidak dapat dikatakan sebagai orang yang benar atau dusta’.
Misalnya seorang dosen berkata kepada salah satu mahasiswanya اقفل الباب
/iqfilil-ba>b/ ‘tutuplah pintu itu!’, maka tuturan tersebut bukan termasuk pada
tuturan benar atau bohong. Karena setelah tuturan tersebut diucapkan oleh penutur,
maka yang dilakukan mitra tutur adalah dengan melakukan perbuatan yang
diperintahkan oleh penutur.
Pengertian lain tentang insya’ didefinisikan oleh a’d-Damanhuri (TT: 115)
sebagai berikut:
مرّكب ال حيتمل الصدق و ال الكذب/Murakkabun la> yachtamilush-shidqa walal- kadziba/. ‘Susunan kalimat yang tidak bisa dinisbatkan kepada benar atau salah’.
al-Jarim dan Amin (2007: 182) membagi tuturan insya’ menjadi dua macam,
yaitu thalabi dan ghairu thalabi:
1) Thalabi
Kalam thalabi adalah kalam yang menghendaki terjadinya sesuatu
yang belum terjadi pada waktu kalimat itu diucapkan. Kalam ini dapat
berupa amr (perintah), nahi> (larangan), istifham (pertanyaan), tamanni>
(harapan) dan nida>’(panggilan).
a) Amr
Amr adalah menuntut dilaksanakannya suatu pekerjaan dari
pihak yang tinggi ke pihak rendah. Akan tetapi, redaksi amr terkadang
tidak menggunakan makna asli, melainkan makna yang lain. Makna
tersebut adalah bimbingan (irsya>d), permohonan (do’a), tawaran(iltima>s),
20
harapan yang sulit tercapai (tamanni), melemahkan mukhattab (ta’jid),
ancaman(ta’hid) dan kebolehan(iba>chah).
Amr mempunyai empat macam redaksi, yaitu fi’il amr, fi’il
mudhari’ yang didahului dengan lam amr, ism fi’il amr dan masdar yang
menggantikan fi’il amr (al-Jarim dan Amin, 2007: 191).
/Natamanna> lakum kullal-khaira wa lakum minna> dawa>mal-machabbati wal-wida>di/. ‘Kami berharap semoga kamu mendapatkan kebaikan dan cinta serta kasih sayang yang berlanjut’.
Pengklasifikasian yang dibuat oleh Olshtain dan Cohen (1986) di atas akan
digunakan untuk menganalisis data untuk mendapatkan pola strategi yang muncul
pada penelitian ini.
F. Sumber Data dan Data
Sudaryanto (1988: 9-10) mendefinisikan data dengan suatu bahan
penelitian, yaitu bahan yang diharapkan dapat menjelaskan objek material, karena
di dalam bahan itu terdapat objek penelitian yang dimaksud.
Data penelitian ini adalah tuturan permohonan maaf dari mahasiswa
Indonesia yang sedang berada di Timur Tengah. Data dikumpulkan melalui pesan
dalam jejaring sosial kepada informan berdasarkan delapan situasi dengan sampel
enam penutur yang berasal dari universitas di Sudan, Saudi dan Mesir. Keenam
penutur tersebut adalah Muhammad Ridwan Syarifuddin jurusan ushul tarbiyah
semester 2, Uji Efendi jurusan syari’ah semester 2, Muhammad Burhanuddin