BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya tugas organisasi publik/pemerintah adalah melayani kebutuhan masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, wajar jika hampir semua sektor pelayanan publik dikelola dan disediakan oleh pemerintah sehingga tampak pemerintah sangat berpengaruh terhadap akses-akses pelayanan tersebut. Jasa layanan yang dikelola oleh pemerintah sangat beragam mulai dari layanan berkesenian, kesehatan, listrik, pendidikan, perumahan, transportasi umum, penyediaan air minum, listrik, dan bidang-bidang lain yang tidak dimungkinkan untuk diselenggarakan oleh swasta karena dikawatirkan tujuan dari pelayanan tersebut tidak tercapai. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah sampai saat ini masih banyak terdapat kelemahan-kelemahan yang harus segera dibenahi jika pemerintah tidak menginginkan kepercayaan masyarakat yang selama ini sudah mulai berkurang akan semakin berkurang karena lemahnya sektor pelayanan yang kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah. Taman Budaya merupakan institusi pemerintah yang dibuat untuk melayani kebutuhan masyarakat dalam berekspresi seni. Seandainya seni hanya dikenal sebagai kegiatan menulis puisi atau cerpen, mungkin kebutuhan akan fasilitas seni tidak perlu sampai membutuhkan lokasi, gedung pertunjukan, 1
36
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah/Manajemen...2 lampu-lampu panggung, dan sebagainya. Namun dalam kenyataannya, seni tidak hanya berupa kegiatan seni pertunjukan, seperti
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya tugas organisasi publik/pemerintah adalah melayani
kebutuhan masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Karena itu, wajar jika hampir semua sektor pelayanan publik
dikelola dan disediakan oleh pemerintah sehingga tampak pemerintah sangat
berpengaruh terhadap akses-akses pelayanan tersebut. Jasa layanan yang
dikelola oleh pemerintah sangat beragam mulai dari layanan berkesenian,
kesehatan, listrik, pendidikan, perumahan, transportasi umum, penyediaan air
minum, listrik, dan bidang-bidang lain yang tidak dimungkinkan untuk
diselenggarakan oleh swasta karena dikawatirkan tujuan dari pelayanan tersebut
tidak tercapai. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pelayanan yang diberikan
oleh pemerintah sampai saat ini masih banyak terdapat kelemahan-kelemahan
yang harus segera dibenahi jika pemerintah tidak menginginkan kepercayaan
masyarakat yang selama ini sudah mulai berkurang akan semakin berkurang
karena lemahnya sektor pelayanan yang kurang mendapat perhatian serius dari
pemerintah.
Taman Budaya merupakan institusi pemerintah yang dibuat untuk
melayani kebutuhan masyarakat dalam berekspresi seni. Seandainya seni hanya
dikenal sebagai kegiatan menulis puisi atau cerpen, mungkin kebutuhan akan
fasilitas seni tidak perlu sampai membutuhkan lokasi, gedung pertunjukan,
1
2
lampu-lampu panggung, dan sebagainya. Namun dalam kenyataannya, seni
tidak hanya berupa kegiatan seni pertunjukan, seperti seni teater, tari, wayang,
dan musik serta pameran senirupa. Oleh karena itu pemerintah lalu membuat
sebuah institusi guna memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan akan kegiatan seni
tersebut sejauh kemampuannya. Institusi itulah yang kemudian bertugas
memelihara dan mengambil kebijakan yang tepat berkenaan dengan fasilitas
seni yang dikelolanya.
Tidak semua provinsi memiliki Taman Budaya, sebab pada awalnya,
keberadaan Taman Budaya memang terkait dengan political will pemerintah
serta ’sejarah’ kepemerintahan. Biasanya keberadaan Taman Budaya berada di
ibukota Provinsi. Namun, untuk keberadaan Taman Budaya Jawa Tengah yang
berada di kota Surakarta adalah sebuah kekhususan. Kekhususan ini banyak
terkait dengan latar belakang sosio-kultural Kota Surakarta maupun dengan
institusi-institusi seni lain yang sudah ada di kota tersebut.
Ketika arah pembangunan masyarakat kita tergoda pada peningkatan
ekonomi, posisi kesenian menjadi sering terlupakan. Dalam kondisi yang
demikian maka Taman budaya yang turut menyangga kehidupan berkesenian
perlu membangun fondasi yang kokoh. Sebagai sebuah ’taman’, Taman Budaya
membuka diri seluas-luasnya. Meskipun secara geografis berada dalam wilayah
Jawa Tengah, tetapi berbagai kegiatan kesenian yang dilaksanakan tidak hanya
terbatas pada ruang lingkup kelompok kesenian yang berada di Jawa Tengah.
Taman Budaya Jawa Tengah membuka diri bagi tampilnya berbagai kesenian
dari seluruh wilayah Indonesia, bahkan kesenian dari manca negara.
3
Keterbukaan yang demikian dianggap perlu, sehingga masyarakat Jawa
Tengah dapat melihat berbagai bentuk dan ragam kesenian yang tengah
berkembang. Tetapi keterbukaan sekaligus menjadi tantangan tersendiri,
setidaknya berkaitan dengan sumber daya, dana maupun fasilitas lain seperti
sarana pementasan harus pula dapat mengimbangi kebutuhan.
Taman Budaya pada dasarnya adalah pusat kesenian, artinya sebuah
lokasi yang berisi fasilitas-fasilitas untuk berekspresi seni. Masyarakat yang
membutuhkan fasilitas seperti itu biasanya adalah masyarakat yang sudah
mempunyai mata pencaharian di bidang jasa, atau sudah lebih sebagai
masyarakat perkotaan, tidak lagi sebagai masyarakat agraris-petani. Jadi
sebenarnya pusat seni itu adalah sebuah institusi dari masyarakat perkotaan.
Oleh karena itu, pendirian sebuah pusat seni sebaiknya juga dikaitkan dengan
tingkat keurbanan masyarakat dari daerah di mana pusat seni tersebut hendak
didirikan. Dalam pengertian itu, fasilitas yang dimiliki oleh Taman Budaya
adalah lahan, bangunan-bangunan, peralatan yang mendukung (seperti: lampu,
gamelan panil, kendaraan bermotor, dan lain-lain), sumber daya
manusia/pegawai.
Semua fasilitas dari Taman Budaya ini bisa diakses oleh setiap seniman
dan atau kelompok kesenian, juga terbuka pemanfaatannya oleh umum, baik
lingkungan pelajar, mahasiswa maupun masyarakat tanpa ada syarat tertentu,
yang penting adalah surat permohonan/contact person dan kesediaan untuk
diatur jadwalnya. Hal ini penting dilakukan karena Taman Budaya bukan hanya
4
dapat dimanfaatkan oleh segelintir orang saja melainkan dapat dimanfaatkan
bagi siapapun sepanjang dipergunakan untuk peristiwa kesenian.
Setiap kelompok dalam satu organisasi, dimana didalamnya terjadi
interaksi antara satu dengan lainnya, memiliki kecenderungan timbulnya
konflik. Dalam institusi layanan berkesenian seperti Taman Budaya Jawa
Tengah terjadi kelompok interaksi, baik antara kelompok staf dengan staf, staf
dengan pengguna jasa, staf dengan pengunjung maupun dengan lainnya yang
mana situasi tersebut seringkali dapat memicu terjadinya konflik. Konflik
sangat erat kaitannya dengan perasaan manusia, termasuk perasaan diabaikan,
disepelekan, tidak dihargai, ditinggalkan, dan juga perasaan jengkel karena
kelebihan beban kerja. Perasaan-perasaan tersebut sewaktu-waktu dapat memicu
timbulnya kemarahan. Keadaan tersebut akan mempengaruhi seseorang dalam
melaksanakan kegiatannya secara langsung, dan dapat menurunkan
produktivitas kerja organisasi secara tidak langsung dengan melakukan banyak
kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja.
Dalam suatu organisasi, kecenderungan terjadinya konflik, dapat
disebabkan oleh suatu perubahan secara tiba-tiba, antara lain: kemajuan
teknologi baru, persaingan ketat, perbedaan kebudayaan dan sistem nilai, serta
berbagai macam kepribadian individu.
Konflik dapat didefinisikan sebagai salah satu bentuk oposisi atau
interaksi yang bersifat antagonis, yang dikarenakan kelangkaan kekuasaan,
sumber daya atau posisi sosial, dan sistem nilai yang berbeda. Dengan kata lain,
konflik dapat pula dirumuskan sebagai ketidaksetujuan antara dua atau lebih
5
anggota organisasi atau kelompok-kelompok dalam organisasi yang timbul
karena mereka harus menggunakan sumber daya yang langka secara bersama-
sama dan atau karena mereka memiliki status, tujuan, nilai-nilai dan persepsi
yang berbeda. Anggota–anggota organisasi yang mengalami ketidaksepakatan
tersebut berusaha menjelaskan duduk persoalan dari sudut pandang mereka
masing-masing.
Taman Budaya Jawa Tengah merupakan unsur pelaksana operasional
Dinas yang di pimpin oleh seorang Kepala Taman Budaya, yang bertanggung
jawab kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah yang
bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat pada umumnya terutama di
bidang seni dan para pekerja seni pada khususnya. Di Taman Budaya Jawa
Tengah, seringkali terjadi ketidaksesuaian dalam peminjaman penggunaan
gedung di wilayah Taman Budaya sebagai tempat mengadakan latihan. Antara
kelompok seni yang satu dengan yang lain kadang-kadang bertumbukan jadwal
dalam pemakaian gedung sebagai tempat latihan. Entah itu dari kelompok seni
teater, tari, maupun musik. Sebenarnya sudah ada surat formal persetujuan
penggunaan tempat yang telah disediakan oleh petugas yang menangani
peminjaman tempat sebagai prosedur dalam meminjam tempat di wilayah
Taman Budaya. Sehingga jika suatu kelompok telah memesan salah satu tempat
di wilayah Taman Budaya pada tanggal tertentu dan pada jam tertentu pula,
maka kelompok tersebut berhak menggunakan fasilitas gedung tersebut sesuai
surat persetujuan penggunaan tempat. Tapi, terkadang ternyata antara kelompok
seni yang satu dengan kelompok seni yang lain bertumbukan jadwal dalam
6
penggunaan gedung, sedangkan jika konfirmasi dengan petugas yang
bertanggungjawab menangani peminjaman gedung di Taman Budaya Jawa
Tengah, mereka mempersilakan kelompok-kelompok yang berselisih tersebut
supaya menyelesaikan sendiri perselisihan tentang penggunaan tempat supaya
mendapat keputusan bersama yang dianggap adil oleh kedua belah pihak.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti mengadakan penelitian di
Taman Budaya Jawa Tengah untuk mengetahui bagaimana memanajemen
konflik-konflik antar kelompok kesenian yang ada dan yang terjadi di Taman
Budaya Jawa Tengah dalam hal penggunaan fasilitas gedung di Taman Budaya
Jawa Tengah sebagai tempat latihan.
B. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang masalah yang telah di kemukakan di atas, maka
dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa saja yang bisa mempengaruhi konflik-konflik antar
kelompok kesenian dalam hal penggunaan fasilitas gedung di Taman Budaya
Jawa Tengah di Surakarta sebagai tempat latihan?
2. Bagaimana memanajemen konflik-konflik antar kelompok kesenian yang
terjadi di Taman Budaya Jawa Tengah dalam hal penggunaan fasilitas gedung
di Taman Budaya Jawa Tengah sebagai tempat latihan?
7
C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, tujuan yang hendak dicapai oleh penulis adalah:
1. Untuk dapat mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi konflik-
konflik antar kelompok kesenian dalam hal penggunaan fasilitas gedung di
Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta sebagai tempat latihan
2. Untuk mengetahui bagaimana memanajemen konflik-konflik antar kelompok
kesenian yang terjadi di Taman Budaya Jawa Tengah dalam hal penggunaan
fasilitas gedung di Taman Budaya Jawa Tengah
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang di harapkan bisa diambil dari penelitian ini adalah:
1. Dapat menambah pengetahuan tentang bagaimana memanajemen konflik-
konflik antar kelompok kesenian yang terjadi di Taman Budaya Jawa Tengah
dalam hal penggunaan fasilitas gedung di Taman Budaya Jawa Tengah
sebagai tempat latihan.
2. Dapat memberi masukan bagi para kelompok kesenian dan bagi pihak Taman
Budaya Jawa Tengah dalam hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian.
3. Manfaat pribadi bagi peneliti adalah sebagai sarana untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di bidang ilmu sosial dan ilmu politik di Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
8
E. Landasan Teori dan Kerangka Pikir
1. Landasan Teori
Teori adalah himpunan konstruk (konsep) definisi dan proposisi yang
mengemukakan pandangan sistematika tentang gejala dengan menjabarkan
relasi antara variabel untuk menjelaskan gejala tersebut.
a) Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah nilai dan kebiasaan kerja seluruh anggotanya
yang dibakukan serta diterima sebagai standar perilaku kerja dalam rangka
pencapaian sasaran dan hasil yang telah direncanakan terlebih dahulu. Dalam
beberapa literatur pemakaian istilah corporate culture biasa diganti dengan
istilah organization culture. Kedua istilah ini memiliki pengertian yang sama.
Karena itu dalam penelitian ini kedua istilah tersebut digunakan secara bersama-
sama, dan keduanya memiliki satu pengertian yang sama.
Ada beberapa definisi budaya organisasi yang dikemukakan oleh para
ahli. Susanto dalam Moh. Pabundu Tika (2006; 14) memberikan definisi budaya
organisasi sebagai nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia
untuk menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke
dalam perusahaan sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami
nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku.
SP. Robbins (2006; 271) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu
sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan
organisasi tersebut dengan organisasi yang lain. Lebih lanjut, Robbins
menyatakan bahwa sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk oleh warganya
9
yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan
bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai organisasi.
Ada beberapa karakteristik budaya organisasi, menurut SP. Robbins
(2006; 10) karakteristik budaya organisasi antara lain: Inovasi dan keberanian
mengambil risiko, perhatian terhadap detil, berorientasi kepada hasil,
berorientasi kepada manusia, berorientasi tim, agresifitas, dan stabilitas.
(1) Inovasi dan keberanian mengambil risiko, yaitu sejauh mana organisasi
mendorong para karyawan bersikap inovatif dan berani mengambil resiko.
Selain itu bagaimana organisasi menghargai tindakan pengambilan risiko oleh
karyawan dan membangkitkan ide karyawan.
(2) Perhatian terhadap detil, yaitu sejauh mana organisasi mengharapkan karyawan
memperlihatkan kecermatan, analisis dan perhatian kepada rincian.
(3) Berorientasi kepada hasil, yaitu sejauh mana manajemen memusatkan perhatian
pada hasil dibandingkan perhatian pada teknik dan proses yang digunakan untuk
meraih hasil tersebut.
(4) Berorientasi kepada manusia, yaitu sejauh mana keputusan manajemen
memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi.
(5) Berorientasi tim, yaitu sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-
tim tidak hanya pada individu-individu untuk mendukung kerjasama.
(6) Agresifitas, yaitu sejauh mana orang-orang dalam organisasi itu agresif dan
kompetitif untuk menjalankan budaya organisasi sebaik-baiknya.
(7) Stabilitas, yaitu sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya
status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.
10
Dalam Introduction to the Journal of Organizational Behavior’s special
issue on professional service firms: where organization theory and
organizational behavior might meet yang ditulis oleh Roy Sudabby, Royston
Greenwood dan Celeste Wilderom disebutkan bahwa:
”......Organizational structures and cultures are becoming increasingly complex, exacerbating challenges of co-ordination. Boundaries between professional specializations are becoming blurred, complicating decision processes. Competition between firms is increasingly vigorous (Hitt, Bierman, Uhlenbruck, & Shimizu, 2006)”
” .....Struktur organisasi dan budaya organisasi menjadi sangat kompleks,
tantangan yang sulit untuk berkoordinasi. Batasan antara tenaga ahli profesional akan menghasilkan ketidakjelasan dan menyulitkan proses pengambilan keputusan. Kompetisi diantara firma menjadi sangat kuat. ( Hitt, Bierman, Uhlenbruck, & Shimizu, 2006)”
Secara umum lebih lanjut Robbins menyebutkan, setidaknya ada tiga
fungsi budaya organisasi bagi kepentingan organisasi. Pertama menciptakan
suatu identitas bersama bagi para pegawai yang pada gilirannya akan akan
membangun komitmen bersama kepada organisasi tersebut. Kedua, di satu pihak
membantu memelihara stabilitas dan integritas di organisasi. Ketiga, menjadi
pembentuk perilaku perusahaan yang membantu para karyawan untuk
membedakan hal-hal yang nyata dari yang ilusi dan sebagainya. Oleh karena itu
budaya organisasi sering juga di sebut blue print of conduct yang bersifat
mengkoordinasikan sebagai kegiatan karyawan agar lebih menjadi efektif dan
efisien sebagai suatu keseluruhan organisasi.
Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
budaya organisasi merupakan sistem nilai yang diyakini dan dapat dipelajari,
dapat diterapkan dan dikembangkan secara terus menerus. Budaya organisasi
11
juga berfungsi sebagai perekat, pemersatu, identitas, citra, brand, pemacu-
pemicu (motivator), pengembangan yang berbeda dengan organisasi lain yang
dapat dipelajari dan diwariskan kepada generasi berikutnya, dan dapat dijadikan
acuan perilaku manusia dalam organisasi yang berorientasi pada pencapaian
tujuan atau hasil/target yang ditetapkan.
b) Komunikasi
Komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang
kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat,
atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui media.
Dalam definisi tersebut tersimpul tujuan, yakni memberi tahu atau mengubah
sikap (attitude), pendapat (opinion), atau perilaku (behavior).
Menurut Drs. Ahmad Mulyana, M.Si1, komunikasi organisasi mengarah
pada pola dan bentuk komunikasi yang terjadi dalam konteks dan jaringan
organisasi. Komunikasi organisasi melibatkan bentuk-bentuk komunikasi
formal dan informal. Pembahasan teori ini menyangkut struktur dan fungsi
organisasi, hubungan antar manusia, komunikasi dan proses
pengorganisasiannya serta budaya organisasi.
c) Sumber Daya
Sumber daya merupakan sarana yang dapat menunjang aktifitas organisasi
atau perusahaan demi mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sumber daya
dibagi menjadi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Sumber daya alam
mencapai dan memenuhi kepentingan dirinya yang mengakibatkan orang lain
dirugikan. Sehingga konflik merupakan perbenturan kepentingan yang terjadi
ketika perilaku untuk mengarah pencapaian tujuan itu dari seseorang atau
kelompok orang terhambat oleh kepentingan atau tujuan orang lain. Karena
tujuan, keinginan dan kepentingan dari masing-masing stakeholders itu berbeda-
beda maka konflik tidaklah mungkin terhindarkan. Meskipun konflik itu
seringkali dianggap sesuatu yang negatif, tetapi penelitian dari beberapa peneliti
justru melihat konflik itu baik untuk sebuah organisasi maupun kehidupan
kelompok yang dapat memperbaiki kinerja atau efektivitas suatu organisasi atau
kelompok.
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku
maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada
suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk
komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan
bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interest) dan interpretasi. Bagi
pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukan
adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi
efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Menurut Robbins (2006; 545) konflik adalah suatu proses interaksi yang
terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang
berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun
pengaruh negatif. Oleh karena konflik bersumber pada keinginan, maka
perbedaan pendapat tidak selalu berarti konflik. Persaingan sangat erat
14
hubungannya dengan konflik karena dalam persaingan beberapa pihak
menginginkan hal yang sama tetapi hanya satu yang mungkin mendapatkannya.
Persaingan tidak sama dengan konflik namun mudah menjurus ke arah konflik,
terutuma bila ada persaingan yang menggunakan cara-cara yang bertentangan
dengan aturan yang disepakati. Permusuhan bukanlah konflik karena orang yang
terlibat konflik bisa saja tidak memiliki rasa permusuhan. Sebaliknya orang
yang saling bermusuhan bisa saja tidak berada dalam keadaan konflik. Konflik
sendiri tidak selalu harus dihindari karena tidak selalu negatif
akibatnya.Berbagai konflik yang ringan dan dapat dikendalikan (dikenal dan
ditanggulangi) dapat berakibat positif bagi mereka yang terlibat maupun bagi
organisasi.
Menurut Jean Poitras and Aure´lia Le Tareau dalam International Journal
of Conflict Management 2008 menyebutkan:
“….Conflicts are therefore a fundamental component of organizational life and, as such, they require careful attention from managers so that disputes are handled in the most beneficial way possible for the organization (Kolb and Putnam, 1992; Van de Vliert, 1997)”.
”...Oleh sebab itu, konflik merupakan salah satu komponen dasar dalam
kehidupan organisasi yang juga membutuhkan perhatian yang baik dari manajer supaya perselisihan dapat teratasi dalam keadaan yang mungkin menguntungkan organisasi. (Kolb and Putnam, 1992; Van de Vliert, 1997)”
Lain halnya definisi konflik menurut T. Hani Handoko (2003; 346), pada
hakekatnya konflik dapat didefinisikan sebagai segala macam interaksi
pertentangan atau antagonistik antara dua atau lebih pihak. Konflik organisasi
adalah ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggota-anggota atau kelompok-
kelompok organisasi yang timbul karena adanya kenyataan bahwa mereka harus
15
membagi sumber daya yang terbatas atau kegiatan-kegiatan kerja dan atau
karena kenyataan bahwa mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, nilai, atau
persepsi.
Dari berbagai macam definisi di atas, maka dapat disimpulkan, konflik
dapat diartikan sebagai ketidaksepakatan antara dua atau lebih anggota
organisasi atau kelompok-kelompok dalam organisasi yang timbul karena
mereka harus menggunakan sumber daya yang langka secara bersama-sama atau
menjalankan kegiatan bersama-sama dan atau karena mereka mempunyai status,
tujuan, nilai-nilai dan persepsi yang berbeda. Anggota-anggota organisasi yang
mengalami ketidaksepakatan tersebut biasanya mencoba menjelaskan duduk
persoalannya dari pandangan mereka.
b.2. Model Konflik
Konflik memiliki awal, dan melalui banyak tahap sebelum berakhir.
Menurut Model Konflik dari Pondy dalam J. Winardi (2006; 225), ada banyak
pendekatan yang baik untuk menggambarkan proses suatu konflik antara lain:
konflik laten, konflik yang dipersepsikan, konflik yang dirasakan, konflik
termanifestasi, dan konflik telah usai.
(1). Konflik Laten ( Laten Conflict )
Pada fase ini, tidak ada tanda-tanda konflik yang terlihat
dipermukaan, tetapi ada potensi di sana untuk terjadinya konflik karena
beberapa hal yang berkaitan dengan sumber konflik. Sumber konflik
meliputi interdependensi atau saling ketergantungan, perbedaan tujuan
dan prioritas, adanya faktor birokrasi yang tidak memungkinkan
16
seseorang berkembang, tidak selarasnya kriteria kinerja yang digunakan
untuk menilai anggota, kompetisi terhadap sumber-sumber daya karena
sumber-sumber daya itu sangat langka.
(2). Konflik yang di Persepsikan ( Perceived Conflict )
Pada fase ini para anggota atau orang-orang mulai sadar tentang
adanya konflik dan mulai menganalisisnya. Konflik mulai meningkat
ketika kelompok-kelompok yang ada mulai memperlihatkan sikap saling
bermusuhan.
(3). Konflik yang Dirasakan ( Felt Conflict )
Pada fase felt conflict ini, orang-orang merespon konflik secara
emosional satu sama lain dan sikap mereka itu sudah terpola dan sudah
mulai adanya pengelompokan. Hal ini dimulai dengan persoalan atau isu-
isu kecil yang makin lama makin membesar.
(4). Konflik Termanifestasi ( Manifest Conflict )
Dimana pada fase ini mereka sudah fight each other/benar-benar
menunjukkan ketidaksukaannya dan saling menyalahkan, sehingga
organisasi tidak efektif karena diantara orang-orang itu saling menderita
karena saling konflik itu sehingga tidak ada rasa kebersamaan atau
kerjasama.
(5). Konflik telah Usai ( Aftermath Conflict )
Merupakan kondisi setelah terjadinya konflik. Ketika sebuah
konflik sudah dipecahkan atau diatasi dalam kondisi tertentu tetapi masih
meninggalkan perasaan-perasaan ketidaksukaan, dendam atau bahkan
17
perasaan kooperatif. Ketika perasaan kooperatif yang terjadi, seperti
ketika kebijaksanaan baru yang dihasilkan dapat menjernihkan persoalan
di antara kedua belah pihak dan dapat meminimalisir konflik-konflik yang
mungkin terjadi di masa yang akan datang. Tetapi jika yang tertinggal
adalah perasaan ketidaksukaan/dendam, hal ini dapat menjadi kondisi
yang potensial untuk konflik laten/episode konflik berikutnya.
b.3. Jenis- jenis Konflik
Ada lima jenis konflik yaitu konflik intrapersonal, konflik interpersonal,
konflik antar individu dan kelompok, konflik antar kelompok dan konflik antar
organisasi (T. Hani Handoko, 2003; 349)
(1). Konflik Intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri.
Konflik terjadi bila seorang individu mmenghadapi ketidak pastian
tentang pekerjaan yang dia harapkan untuk melaksanakannya, bila
berbagai permintaan pekerjaan saling bertentangan, atau bila individu
diharapkan untuk melakukan lebih dari kemampuannya.
(2). Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan orang
lain karena pertentangan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering
terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan
lain-lain. Konflik interpersonal ini merupakan suatu dinamika yang amat
penting dalam perilaku organisasi. Karena konflik semacam ini akan
melibatkan beberapa peranan dari beberapa anggota organisasi yang
tidak bisa tidak akan mempengaruhi proses pencapaian tujuan organisasi
tersebut.
18
(3). Konflik antar individu-individu dan kelompok-kelompok, hal ini
seringkali berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan-
tekanan untuk mencapai konformitas, yang ditekankan kepada mereka
oleh kelompok kerja mereka. Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa
seseorang individu dapat dihukum oleh kelompok kerjanya karena ia
tidak dapat mencapai norma-norma produktivitas kelompok dimana ia
berada.
(4). Konflik antara kelompok dalam organisasi yang sama yang merupakan
tipe konflik yang banyak terjadi di dalam organisasi-organisasi. Konflik
antar lini dan staf, pekerja dan pekerja–manajemen merupakan dua
macam bidang konflik antar kelompok.
(5). Konflik antar organisasi yang timbul sebagai akibat bentuk persaingan
ekonomi dalam sistem perekonomian suatu negara. Konflik ini
berdasarkan pengalaman ternyata telah menyebabkan timbulnya
pengembangan produk-produk baru, teknologi baru dan servis baru,
harga lebih rendah dan pemanfaatan sumber daya secara lebih efisien.
b.4. Proses Konflik
Proses konflik terdiri dari lima tahap: ketidakcocokan potensial, kognisi
dan personalisasi, keinginan-keinginan penanganan konflik, perilaku, dan hasil
( Robbins, 2001:385 ).
1. Ketidakcocokan Potensial
Ketidakcocokan potensial merupakan kondisi yang mengawali terjadinya
konflik, ada komunikasi, struktur, variabel perubahan pribadi. Secara ringkas
19
menurut Robbins (2001: 385) penyebab-penyebab tersebut antara lain:
komunikasi, struktur, dan variabel perubahan pribadi. Komunikasi meliputi
salah pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti,
atau informasi yang mendua dan tidak lengkap, serta gaya individu manajer
yang tidak konsisten. Struktur meliputi pertarungan antar departemen dengan
kepentingan-kepentingan atau sistem penilaian yang bertentangan, persaingan
untuk merebutkan sumber daya-sumber daya yang terbatas atau saling
ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja untuk
mencapai tujuan mereka. Faktor yang ketiga yaitu variabel perubahan pribadi
meliputi ketidak sesuaian tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi karyawan dengan
perilaku yang diperankan pada jabatan mereka, perbedaan dalam nilai-nilai atau
persepsi.
2. Kognisi dan Personalisasi
Jika kondisi-kondisi dalam tahap I ( ketidakcocokan potensial ) berlanjut
secara negatif, maka potensial untuk oposisi atau ketidakcocokan menjadi tahap
selanjutnya. Dalam tahap ini ada konflik yang dipersepsikan dan konflik yang
dirasakan. Konflik yang dipersepsikan merupakan kesadaran oleh salah satu
pihak atau lebih akan kondisi-kondisi yang menciptakan kesempatan timbulnya
konflik. Konflik yng dirasakan merupakan pelibatan emosional dalam suatu
onflik yang menciptakan kecemasan, ketegangan, dan permusuhan
( Robbins, 2001: 388 ).
20
3. Keinginan- keinginan Penanganan konflik
Untuk menangani konflik dengan efektif, kita harus mengetahui
kemampuan diri sendiri dan juga pihak-pihak yang mempunyai konflik.
Menurut Robbins (2001: 389), ada beberapa cara untuk menangani konflik
antara lain: instropeksi diri, mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat, identifikasi
sumber konflik, mengetahui pilihan penyelesaian atau penanganan konflik yang
ada dan memilih yang tepat.
Instropeksi diri merupakan apa saja yang menjadi dasar dan persepsi kita.
Hal ini penting untuk dilakukan sehingga kita dapat mengukur kekuatan kita.
Mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat merupakan hal yang sangat penting bagi
kita karena kita dapat mengidentifikasi kepentingan apa saja yang mereka
miliki, bagaimana nilai dan bersikap mereka atas konflik tersebut dan apa
perasaan mereka atas terjadinya konflik. Kesempatan kita untuk sukses dalam
menangani konflik semakin besar jika kita melihat konflik yang terjadi dari
semua sudut pandang. Identifikasi sumber konflik, konflik sebaiknya dapat
teridentifikasi sumbernya sehingga sasaran penanganannya lebih terarah kepada
sebab konflik. Jika hal-hal penyebab konflik sudah di ketahui, kita bisa
mengetahui pilihan penyelesaian atau penanganan konflik yang ada dan memilih
yang tepat.
Untuk menangani konflik-konflik yang terjadi dalam sebuah organisasi,
setidaknya ada lima metode penanganan konflik dari Fandy Tjiptono dan