BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sejarah awal, fungsi narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan dan studi ilmiah. Oleh karenanya diperlukan Narkotika untuk di produksi secara terus menerus untuk kepentingan tersebut. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini 1 . Di dalam pengertian tentang Narkotika, selalu diuraikan tentang pengertian Narkotika sebagai dua fungsi. Salah satunya adalah yang tertera di dalam dasar pertimbangan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula 1 Lihat Ketentuan Umum Bab I Pasal 1, Undang-Undang No 35 Tahun 2009, Tentang Narkotika.
96
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah I.pdfNomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah awal, fungsi narkotika diperlukan oleh
manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan,
kesehatan dan studi ilmiah. Oleh karenanya diperlukan Narkotika
untuk di produksi secara terus menerus untuk kepentingan
tersebut.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis,
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan
golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang
ini1.
Di dalam pengertian tentang Narkotika, selalu diuraikan
tentang pengertian Narkotika sebagai dua fungsi. Salah satunya
adalah yang tertera di dalam dasar pertimbangan Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa
Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang
bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula
1 Lihat Ketentuan Umum Bab I Pasal 1, Undang-Undang No 35
Tahun 2009, Tentang Narkotika.
2
menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan
pengawasan yang ketat dan saksama.2
Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur
menurut takaran/dosis dapat menimbulkan bahaya fisik dan
mental serta dapat menimbulkan ketergantungan pada pengguna
itu sendiri. Penyalahgunaan narkotika sebagai salah satu bentuk
zat yang membahayakan, karena di samping merusak fisik dan
mental juga mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat yang
pada gilirannya dapat mengganggu sendi-sendi keamanan
nasional dalam rangka pembangunan nasional menuju
masyarakat yang adil dan makmur seperti yang dicita-citakan
dalam tujuan negara yang tercantum pada Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 alinea keempat. Dalam kontek inilah
kewenangan negara sebagai representasi kepentingan publik
menjadi dasar dari pemberian kewenangan negara untuk
memonopoli reaksi atas kejahatan.3
Bahaya pemakaian narkotika sangat besar pengaruhnya
terhadap negara, jika sampai terjadi pemakaian narkotika
secara besar-besaran di masyarakat, maka bangsa
Indonesia akan menjadi bangsa yang sakit, apabila terjadi
2 Ibid, hlm 2.
3 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung,
Nusa Media, hlm 112
3
demikian negara akan rapuh dari dalam karena ketahanan
nasional merosot.4
Dalam kontek sistem hukum, Indonesia berkepentingan
langsung terkait Narkotika karena sudah masuk pada tingkat
membahayakan dan demi kepentingan dan keberlangsungan masa
depan negara.
Pertama, sebagai bagian dari sistem kontrol (social
control) yang mengatur perilaku manusia. Kedua, sebagai
cukup menarik di dalam UU Nomor 35 Tahun 2009. Kata
“dapat” pada Pasal 103 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009
tersebut menempatkan para pengguna narkotika baik yang
bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi. Untuk
kepentingan tersebut dalam persidangan, Hakim diberikan
wewenang menghukum pecandu/penyalahguna narkotika
untuk ditetapkan menjalani pengobatan dan rehabilitasi dan
dapat dijadikan sebagai pengganti hukuman.
Pada sisi lain, UU Nomor 35 Tahun 2009 juga
mengatur mekanisme pelaporan bagi korban yang belum
cukup umur oleh orang tuanya/ wali, untuk mendapat
Rehabilitasi Medis dan Sosial dari negara; dan bagi
Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur, selama 2 (dua)
kali perawatan dokter di Lembaga Rehabilitasi Medis yang
ditunjuk Pemerintah, kesemuanya tidak dituntut pidana,
tetapi diwajibkan menjalani Rehabilitasi Medis dan Sosial.
Pasal 54 “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan
71
Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial” 75
.
Hal berbeda ditemukan pada UU Nomor 22 Tahun
1997, Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau
membawa narkotika yang digunakan untuk dirinya sendiri
yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi dengan bukti
yang sah. “(2) Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika
kepada … dan (f) pasien.76
Melalui UU Nomor 35 Tahun 2009, kebebasan dan
kehendak sendiri untuk sembuh tidak lagi diberikan oleh
Negara. Para pecandu dan korban mempunyai kewajiban
mengikuti rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang
dikelola oleh negara. Para korban pecandu narkotika
diwajibkan untuk melaporkan diri mereka kepada pusat
kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban
tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan
keluarga sesuai Pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2009. Akan
terbit peraturan menteri yang mengatur tentang rehabiltasi
medis dan sosial yang diselenggarakan oleh instansi
pemerintah ataupun masyarakat.
75 Pasal 55 UU No 35/2009. 76 Pasal 39 UU No 22/1997
72
4.7. Ketentuan Pidana antara UU No 22 Tahun 1997 dengan
UU No 35 Tahun 2009
Beberapa perbandingan ketentuan pidana yang diatur
di dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 dan UU Nomor 35
tahun 2009 adalah sebagai berikut:
Matrik 3.1. Perbandingan Substansi Muatan Materi UU No 22/1997
dan UU No 35/2009.
Substansi Muatan Materi
UU No 22 Tahun 1997 UU No 35 Tahun 2009
Jumlah pasal mengandung pidana
Memuat 19 pasal me ngandung pidana dari 96 pasal, atau 19 %.
39 pasal mengandung macam-macam pidana dari 150 pasal, atau 26%.
Ancaman pidana
Terdapat ancaman hukuman mati, hukum penjara, hukuman denda.
Terdapat ancaman hukuman mati, penjara, denda. Ancaman hukuman lebih berat dibanding UU No 22/1997. Penegasan hukum mati bagi pelaku.
Sanksi Tambahan
Sanksi administratif sampai pencabutan izin usaha
Sanksi administratif sampai pencabutan izin usaha dan status badan hokum
Jenis Kesalahan
Unsur ketidakesengajaan tidak berlaku/Culpa
Unsur ketidakesengajaan tidak berlaku/culpa
Ancaman Pemidanaan
Menggunakan pende katan pidana minimal
Menggunakan pendekatan pidana minimal
Sistem kumulatif
Percobaan atau permu fakatan jahat untuk mela kukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sama dengan orang melakukan kejahat an atau pelanggaran ter hadap ketentuan dalam undang-undang
Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sama dengan orang melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap ketentuan dalam undang-undang narkotika ini
73
Narkotika ini.
Hukuman pidana dan denda
Hukuman pidana dan denda lebih berat dari UU N0 22 1997
Persamaan Hu kuman Terha dap Delik Per cobaan dan Delik Selesai
Menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana selesai dengan pelaku tindak pidana percobaan.
Menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana selesai dengan pelaku tindak pidana percobaan.
Ancaman hu kuman orang tua pelaku/ korban dan Masyarakat
Tidak memberikan hukuman kepada orang tua/keluarga.
Memberikan ancaman hukuman pidana 6 bulan kurungan bagi yang tidak melaporkan penyalah gunaan narkotika/psikotropika.
Rehabilitasi Mengenal konsep rehabilitasi oleh Negara dan masyarakat
Mengenal konsep rehabilitasi hanya oleh Negara.
Penegak hukum
Penegak hukum dalam hal ini Penyidik hanya diampu oleh Penyidik Polri
Selain penyidik dari Kepolisian juga ada penyidik dari BNN
Jenis barang yang dilarang
Barang yang dilarang hanya narkotika yang sudah jadi/siap pakai
Barang yang dilarang selain narkotika yang sudah jadi juga prekusornya atau bahan bahannya.
Dari tabel diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Jumlah Pasal Mengandung Pidana
Penerbitan UU Nomor 35 Tahun 2009 dengan tegas
penggunaan pendekatan pidana lebih menonjol
dibandingkan dengan ketentuan pidana dalam UU Nomor
22 Tahun 1997. Pendekatan pidana digunakan sebagai
74
upaya efek jera dan memberi rasa takut kepada pelaku
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Ketentuan
pidana tercantum pada 39 pasal yang mengandung macam-
macam pidana dari 150 pasal yang ada dalam UU Nomor
35 Tahun 2009, atau 26%. Sementara di dalam UU Nomor
22 Tahun 1997 memuat 19 pasal yang mengandung pasal
pidana dari keseluruhan 96 pasal, atau 19 %. Tampak
pendekatan treatment hukum masih dominan pada Undang-
Undang tersebut.
Meskipun demikian penggunaan pasal mengandung
pidana pada UU 22 Tahun 1997 dan UU 35 Tahun 2009
mencerminkan asas manfaat yang terkait dengan Asas
Pengayoman, Asas Ketertiban, Asas Perlindungan Hukum,
Asas Keamanan dan Kepastian Hukum. Pendekatan Asas
Keamanan dan Kepastian Hukum tampak memunculkan
kekawatiran disatu sisi dari terbitnya UU Nomor 35 Tahun
2009. Ada kekawatiran munculnya kriminalisasi orang,
baik produsen, distributor, konsumen dan masyarakat
dalam undang-undang ini. Apalagi super bodi dengan
kewenangan yang luar biasa seperti Badan Narkotika
Nasional memungkinkan untuk melakukan hal tersebut jika
lemah dalam kontrol.
75
b. Ancaman Pidana
Dalam undang-undang narkotika Nomor 22 Tahun
1997 maupun UU Nomor 35 Tahun Nomor 2009 terdapat
ancaman hukuman mati, hukum penjara, hukuman denda.
Perbedaan kedua undang-undang tersebut adalah pada berat
ringannya sanksi. Sebagai perhatian utama adalah dalam
UU Nomor 35 Tahun 2009 yang menegaskan hukuman
mati bagi pelaku yang terbukti membawa secara tidak sah
narkotika pada ukuran tertentu.
Pendekatan ancaman pidana mati merujuk secara
langsung pada penggunaan asas keadilan yang merupakan
asas menetap (constant) dari Asas Keimanan dan
Ketagwaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti tertulis
di dalam Asas UU Nomor 22 Tahun 1997. Sementara di
dalam UU Nomor 35 Tahun 2009, asas tersebut di jabarkan
dalam Asas Keadilan, Asas Kemanusiaan, Asas
Pengayoman dan Perlindungan bagi Individu Masyarakat
dan Negara.
c. Sanksi Tambahan
Pada penyelenggara dan pengelolaan yang ditunjuk,
terdapat sanksi adminisratif seperti teguran, peringatan,
denda adminisratif, penghentian sementara kegiatan dan
76
pecambutan izin serta hukuman tambahan yang diatur
dalam Pasal 130 ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, berupa: (a) pencabutan izin usaha;
dan/atau (b) pencabutan status badan hukum.
Sesuai UU Nomor 35 Tahun 2009, penggunaan
Asas Kemanusiaan, Asas Pengayoman dan Perlindungan
bagi Individu Masyarakat dan Negara lebih menonjol di
dalam asas muatan materi pasal ini. Meskipun juga
memberikan ruang bagi berjalannya Asas Kepastian
Hukum. Sementara UU Nomor 22 Tahun 1997 di
kategorikan sebagai Asas Keseimbangan, Keserasian dan
Keselarasan dalam Perikehidupan Hukum.
d. Jenis Kesalahan
Secara harfiah, dalam Tindak Pidana narkotika
penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan melawan
hukum” dalam pasal-pasal di Bab XV Ketentuan Pidana
UU Nomor 35 Tahun 2009 dengan tidak memperdulikan
unsur kesengajaan. Artinya siapa saja dapat terkena
ancaman pidana baik melakukan perbuatan penyalahgunaan
narkotikan secara sengaja maupun tidak sengaja. Meskipun
dikenal didalam hukum pidana Asas Tidak Ada Pidana
Tanpa Kesalahan tetapi, delik ini dapat menjerat orang-
77
orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niatan
melakukan tindak pidana narkotika. Baik karena adanya
paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuan. Semisal di jebak,
di titipi oleh orang lain tanpa sepengetahuan pembawa atau
karena ketidaktahuan maupun menerima paket dari pos dan
kondisi lainnya. Dalam undang-undang narkotika tidak
mengenal adanya delik culpa atau ketidaksengajaan.
Penanganan kasus penyalahgunaan narkotika yang
kurang efektif salah satunya adalah alibi ketidaksengajaan
pelaku atau berlindung sebagai korban. Oleh karena itu di
dalam UU Nomor 35 Tahun 2009, UU Nomor 22 Tahun
1997 dan KUHP Hukum Pidana Umum dalam KUHP
terdapat delik culpa. Meskipun di dalam KUHP terhadap
orang yang melakukan delik culpa tersebut masih
dipertimbangkan, seperti dalam pasal 359 KUHP.
Penegasan Asas Perlindungan, Asas Ilmu
Pengetahuan atau Asas Nilai-Nilai Ilmiah merupakan
rujukan utama bagi berjalannya keserasian, keselarasan dan
keseimbangan kehidupan individu masyarakat dan Negara.
Asas pada muatan materi pasal ini baik dalam UU Nomor
22 Tahun 1997 maupun UU Nomor 35 Tahun 2009
mengakui bahwa penyalahgunaan narkotika yang terus
berkembang memaksa undang-undang berkembang dan
78
mengikuti ranah teknologi dan nilai-nilai ilmiah yang terus
berkembang.
e. Ancaman Pemidanaan
Pendekatan UU Nomor 35 Tahun 2009 maupun
UU Nomor 22 Tahun 1997 menetapkan sistem pidana
minimal. Hal ini memunculkan asumsi bahwa UU
tersebut dapat mencegah masyarakat untuk berhubungan
dengan narkotika/psikotropika. Meskipun ada
kekawatiran penggunaan pidana minimal juga akan
menutup kebebasan Hakim dalam menjatuhkan putusan,
walaupun di dalam prakteknya, hakim dapat
menjatuhkan putusan kurang dari pidana minimal.
Keputusan Hakim tersebut diperbolehkan oleh
Mahkamah Agung.
Pada sisi lain, sistem pemidanaan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1997 juga tidak memberikan hukuman
kepada orang tua/keluarga pelaku penyalahgunaan
narkotika. Pada Pasal 86 menyebutkan:
(1). Orang tua atau wali pecandu yang belum
cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam)
79
bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah). (2). Pecandu narkotika yang
belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh
orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 ayat (1) tidak dituntut pidana.
Pasal 88 juga menyebutkan:
(2). Keluarga pecandu narkotika sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) yang dengan sengaja tidak
melaporkan pecandu narkotika tersebut dipidana
dengan pidana kurungan palinglama 3 (tiga) bulan
atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu
jutarupiah).
Sementara Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
memberikan ancaman hukuman pidana bagi keluarga
yang tidak melaporkan penyalahgunaan
narkotika/psikotropika.
Pasal 134 :
(2) Keluarga dari Pecandu Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang dengan sengaja tidak
melaporkan Pecandu Narkotika tersebut dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan
atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000,00
(satu juta rupiah).
Sesuai UU Nomor 22 Tahun 1997 dan UU Nomor
35 Tahun 2009, Asas Keadilan dan Keseimbangan jelas
80
tercermin dari ancaman pemidanaan yang meluas sampai
ke orang tua/keluarga pelaku penyalahgunaan narkotika.
f. Sistem Kumulatif
Percobaan atau permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika sebagaimana diatur dalam undang-undang
narkotika tersebut dengan pidana penjara yang sama
dengan orang melakukan kejahatan atau pelanggaran
terhadap ketentuan dalam undang-undang narkotika ini.
Dalam pasal-pasal di Bab XV Ketentuan Pidana UU
Nomor 35 Tahun 2009 percobaan untuk menyediakan
narkotika golongan 1, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Sebagaimana tertera dalam Pasal 111 UU Nomor 35
Tahun 2009.
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan
hukum menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan
81
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan
miliar rupiah).
Sedangkan dalam kaidah Hukum Tindak Pidana
Umum dalam KUHP, hukuman terhadap orang yang
melakukan percobaan adalah maksimum hukuman
utama yang diadakan bagi kejahatan dikurangkan
dengan sepertiganya, dalam hal percobaan.
Berdasarkan sifat hukuman, sanksi dan hukuman
dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 dan UU Nomor 22
tahun 1997 tentang Narkotika bersifat komulatif.
Maknanya orang yang tertangkap melakukan kejahatan
atau pelanggaran terhadap narkotika akan dihukum
dengan hukuman pidana dan hukuman denda. Jadi
terpidana harus memenuhi vonis hukuman primer dan
vonis hukuman subsider tersebut. Pidana kumulatif ini
menjadi salah satu ciri utama UU Tindak Pidana Khusus
Tentang Narkotika. Perbedaan Hukuman Kumulatif
antar kedua UU narkotika tersebut adalah pada lama
hukuman pidana dan besar denda. Pada UU Nomor 35
82
Tahun 2009, hukuman yang demikian memberikan efek
jera bagi pelaku.
Efek Jera dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 dan
UU Nomor 35 Tahun 2009 merupakan salah satu
manifestasi penerapan Asas Keadilan, Asas Kepastian
Hukum dan Asas Keseimbaangan, Keserasian dan
Keselarasan dalam Perikehidupan Hukum.
g. Persamaan Hukuman Terhadap Delik Percobaan
dan Delik Selesai.
Dalam Undang-undang pidana umum KUHP
terjadi pembedaan vonis hukuman antara suatu tindak
pidana selesai dengan suatu tidak pidana tidak selesai
atau percobaan. Sedangkan UU Nomor 22 Tahun 1997
dan UU Nomor 35 Tahun 2009 menyamakan hukuman
pidana bagi pelaku tindak pidana selesai dengan pelaku
tindak pidana percobaan.
Latar belakang bahwa tindak Pidana Narkotika
adalah suatu kejahatan sistematis karena perbuatan
tersebut memiliki efek yang buruk dan berlanjut di
masyarakat. Oleh karena itu delik percobaan
mensyaratkan suatu tindak pidana tersebut terjadi dan
akibat tindak pidana tersebut selesai.
83
Sementara pada kasus penyalahgunaan narkotika,
diasumsikan bahwa semua proses kejahatan oleh pelaku
berhenti, tetapi dampaknya masih berlanjut. Meskipun
penting juga dicari cara untuk membedakan pemidanaan
antara pelaku tidak pidana percobaan dan pelaku tidak
pidana selesai harus dibedakan untuk menjunjung tinggi
Asas Keadilan, Asas Manfaat dan Asas Keseimbangan
Hukum yang merupakan kekuatan dari UU Nomor 22
Tahun 1997 dan UU Nomor 35 Tahun 2009.
h. Ancaman hukuman bagi orang tua pelaku/
korban dan masyarakat
Di dalam materi pidana UU Nomor 35 Tahun 2009
memberikan ancaman hukuman pidana 6 bulan
kurungan pada UU Nomor 35 Tahun 2009 bagi orang
tua yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang
menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi.
Dalam Pasal 128 UU Nomor 35 Tahun 2009
menyebutkan:
(1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum
cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam)
84
bulan atau pidana denda paling banyak Rp.
1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Meskipun unsur ‟kesengajaan tidak melapor‟
tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, unsur tersebut
tidak mengecualikan orang tua yang tidak mengetahui
bahwa zat yang dikonsumsi anaknya adalah narkotika.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun bagi
orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana
narkotika. Sesuai Pasal 131 UU Nomor 35 Tahun 2009:
Setiap orang yang dengan sengaja tidak
melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113,
Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal
118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122,
Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal
127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Maknanya undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
juga menuntut agar setiap orang melaporkan tindak
pidana narkotika. Potensi kesulitan justru muncul pada
saat penerapan undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.
85
Biasanya pasal-pasal sejenis ini digunakan untuk pihak-
pihak yang ditangkap ketika berkumpul dengan para
pengguna narkotika. Orang tersebut juga dapat
dipergunakan sebagai saksi mahkota untuk memberatkan
suatu tindak pidana narkotika. Pada satu sisi, pasal ini
juga menjadi ancaman serius bagi para pihak yang
mendampingi komunitas pecandu narkotika dalam
bentuk yayasan sosial, rehabilitasi yang dikelola oleh
masyarakat maupun individu.
Ketidaksinkronan delik materiil terdapat pada
ketentuan peran serta masyarakat yang diatur pada pasal
104 sampai pasal 108 BAB XIII Tentang Peran
Masyarakat sesuai UU Nomor 35 Tahun 2009 dimana
dalam ketentuan Bab tersebut masyarakat tidak
diwajibkan untuk melaporkan jika mengetahui adanya
penyalahgunaan narkotika atau peredaran gelap
narkotika. Pasal 107 UU Nomor 35 tahun 2009
Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat
yang berwenang atau BNN jika mengetahui
adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Terkait dengan informasi tentang Narkotika,
masyarakat memiliki hak dan tanggungjawab yang
86
tentunya hak dan tanggung jawab ini dapat digunakan
maupun tidak gunakan tergantung pada keputusan
individu masyarakat.
Tanggung jawab memberantas penyalahgunaan
narkotika merupakan tanggung jawab bersama antara
Negara, individu, keluarga dan masyarakat. Oleh sebab
itu, penggunaan Asas Manfaat dan Asas Keseimbangan,
Keserasian dan Keselarasan dalam Perikehidupan
Hukum menonjol dalam bagian pasal-pasal yang
menjelaskan tentang peran dan tanggung jawab
masyarakat.
i. Rehabilitasi
Di dalam Undang-Undang 22 Tahun 1997 konsep
rehabilitasi bagi korban dan pelaku penyalahgunaan
narkotika adalah oleh Negara dan Masyarakat.
kelemahan mendasar rehabilitasi korban narkotika
adalah ketidakjelasan batasan antara rehabilitasi oleh
Negara maupun rehabilitasi oleh masyarakat. Sementara
di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tanggung jawab rehabilitasi di fokuskan pada tanggung
jawab Negara yang harus mengatur tata kelola peran
87
masyarakat dalam rehabilitasi bagi korban. Dalam pasal
55 UU Nomor 35 Tahun 2009 menyebutkan:
(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika
yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada
pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau
lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial
yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan
pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Sementara Pasal 57:
Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi
medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat
diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau
masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan
tradisional.
Pasal 58 juga menyebutkan:
Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika di
selenggarakan baik oleh instansi pemerintah
maupun oleh masyarakat.
Peran rehabilitasi termasuk rehabilitasi sosial
diatur secara ketat atas ijin dari pemerintah, sesuai Pasal
56 UU Nomor 35 Tahun 2009:
(1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika
dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh
Menteri. (2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang
diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau
88
masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis
Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan
Menteri.
Rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan
narkotika merupakan manifestasi Asas Keadilan, Asas
Manfaat, Asas Keseimbangan, Keserasian dan
Keselarasan Perikehidupan Hukum. Negara menyadari
bahwa Negara harus kuat untuk menjamin peran
masyarakat dalam proses rehabilitasi korban dalam
bentuk yayasan rehabilitasi korban narkotika, klinik
rehabilitasi maupun kegiatan masyarakat sejenisnya
dengan mengatur dalam tata laksana hukum pada
tingkat operasional lapangan melalui peraturan setingkat
Menteri.
j. Penegak hukum
Perubahan signifikan dalam UU Nomor 35 tahun
2009 di bandingkan denan UU Nomor 22 tahun 1997
adalah dalam hukum formil dalam penanganan
Nrakotika di Indonesia adalah dibentuknya Badan
Narkotika Nasional sebagai Lembaga Pemerintah Non
Kementerian yang merupakan organisasi vertikal dari
pusat sampai ke provinsi dan kabupaten/ kota yang
89
bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Undang--
Undang Nomor 35 tahun 2009 telah memperkuat bidang
pemberantasan dan penegakan hukum dengan
memberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan
kepada BNN, di samping penyidik dari kepolisian
maupun instansi lain. Ada dua Bab masing-masing Bab
XI dan Bab XII yang mengatur khusus tentang BNN.
Seperti didalam Pasal 64 UU Nomor 35 tahun 2009:
(1) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang
ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang
selanjutnya disingkat BNN.
(2) BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan lembaga pemerintah nonkementerian
yang berkedudukan di bawah Presiden dan
bertanggung jawab kepada Presiden.
Porsi kewenangan besar bagi BNN diberikan oleh
UU Nomor 35 tahun 2009 untuk mencegah dan
memberantas penyalahgunaan dan peredaran narkotika
dan prekursor narkotika. Selain itu BNN juga dapat
memantau, mengarahkan dan meningkatkan kapasitas
90
masyarakat untuk melakukan pencegahan terhadap
penyalahgunaan narkotika dengan cara memberdayakan
anggota masyarakat. Kewenangan ini menjadikan BNN
menjadi superbodi yang memiliki kekuasaan yang besar
terkait Narkotika di Indonesia. Pasal 70 UU Nomor 35
tahun 2009:
BNN mempunyai tugas:
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional
mengenai pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika;
b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika,
baik yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun masyarakat;
e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika;
f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan
kegiatan masyarakat dalam pencegahan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika;
g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral,
baik regional maupun internasional, guna
91
mencegah dan memberantas peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
h. mengembangkan laboratorium Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan
penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika; dan
j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan
tugas dan wewenang.
Selain dari pada itu, BNN diberi kewenangan
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap
penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor
narkotika beserta dengan kewenangan yang dimilki
penyelidik dan penyidik seperti penangkapan selama 3 x
24 jam dan dapat diperpanjang 3×24 jam ditambah
penyadapan dalam hal melakukan kewenangannya dalam
pemberantasan narkotika. Pasal 71 UU Nomor 35 tahun
2009:
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang
melakukan penyelidikan dan penyidikan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika.
92
k. Jenis barang yang dilarang
Di dalam UU Nomor 22 tahun 1997 narkotika yang
dilarang hanya jenis narkotika yang telah siap pakai atau
narkotika yang sudah jadi. Sedangkan di dalam UU
Nomor 35 tahun 2009 selain narkotika yang telah siap
pakai atau narkotika yang sudah jadi juga diatur tentang
prekusornya atau bahan bahan pembuat narkotika.
Seperti didalam Pasal 5 UU Nomor 35 tahun 2009:
Pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini
meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau
perbuatan yang berhubungan dengan Narkotika
dan Prekursor Narkotika.
Sementara Pasal 129 UU Nomor 35 tahun 2009
berbunyi :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hukum:
a. memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
b. memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
93
c. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Prekursor Narkotika untuk
pembuatan
Narkotika;
d. membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan
Narkotika.
94
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa perbandingan muatan materi
antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dapat
disimpulkan bahwa dibandingkan dengan Undang-undang Nomor
22 Tahun 1997, muatan materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 lebih tegas mengatur tindak pidana khusus tentang
narkotika sesuai kebutuhan perangkat undang-undang untuk
menghadapi perkembangan kondisi nasional dan transnasional,
modus operandi penyalahgunaan narkotika yang semakin tinggi,
praktek tindakan penyalagunaan narkotika dan psikotropika yang
menggunakan teknologi canggih yang semakin berkembang
pesat, dan jaringan organisasi kriminal yang luas lintas Negara.
Ketegasan aturan tindak pidana narkotika dan
psikotropika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
meliputi perluasan Ketentuan Umum, ketegasan Dasar, Asas dan
Tujuan Undang-Undang, Perluasan Ruang Lingkup Golongan
Narkotika, Pengadaan, Impor dan Ekpor yang ketat, Peredaran
hanya oleh Negara, Label dan Publikasi, Prekursor Narkotika,
Pengobatan dan Rehabilitasi oleh Negara, Pembinaan dan
95
Pengawasan, Pencegahaan dan Pemberantasan oleh badan
khusus, Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang
Pengadilan oleh Badan Khusus dan berita acara pidana khusus,
meningkatkan Peran Serta Masyarakat, pemberian Penghargaan,
serta Ketentuan Pidana yang semakin berat dan akumulatif.
Sedangkan asas asas hokum dalam undang undang Nomor
22 tahun 1997 yang rasio legis munculnya norma dimuat dalam
penjelasan umum alenia 5 sementara undang undang Nomor 35
tahun 2009 asas asas hukumnya dimasukan dalam rumusan
norma norma dalam undang undang tersebut dan di cantumkan
dalam Pasal 3.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, saran yang
peneliti perlu sampaikan adalah:
1. Bagi penegak hukum seperti Badan Narkotika Nasional dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia perlu memahami
tentang perubahan antara UU No. 22 Tahun 1997 dengan UU
No. 35 Tahun 2009, sehingga penegakan Hukum dalam
tindak pidana Narkotika menjadi lebih baik.
2. Bagi Badan Narkotika Nasional dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia perlu meningkatkan kerjasama intensif
96
untuk meningkatkan kinerja hukum (law enforcement)
tentang penyalahgunaan narkotika sebagaimana telah
ditetapkan di dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika.
3. Bagi masyarakat secara luas, perlu mengembangkan
mekanisme peran serta masyarakat dalam proses pelaksanaan
Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 secara proporsional.
Peran serta secara proporsional akan memberikan dampak
tercapainya asas-asas muatan materi undang undang ini.