1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak zaman kerajaan sampai pada masa kemerdekaan, Indonesia dikenal sebagai negara agraris, dengan kekayaan alam dan hasil pertanian yang melimpah. Sebagian besar penduduk Indonesia, terutama di daerah pedesaan bekerja sebagai petani. Idealnya, petani adalah pemilik lahan. Lahan pertanian merupakan sarana pokok dan paling mendasar yang harus ada. Bila tidak memiliki lahan atau tidak ada lahan yang digarap, petani tidak akan bisa bekerja dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu masalah kepemilikan tanah untuk lahan pertanian menjadi begitu penting dan menjadi masalah yang sensitif bagi petani, karena berpengaruh langsung terhadap hajat hidupnya dan keluarganya. Di sisi lain, ciri umum banyak negara bekembang adalah masalah kelebihan penduduk agraris yaitu terdapatnya surplus tenaga kerja manusia dibanding dengan tersedianya tanah pertanian 1 . Sandang, papan dan pangan merupakan hak dasar manusia. Sebagai warga Negara berhak mendapatkan perlindungan oleh negara termasuk hak memperoleh tanah untuk tempat tinggal dan lahan pertanian sebagai sumber penghasilan. Pada masa pemerintahan Orde Lama setelah Indonesia merdeka, pemerintah di bawah 1. William L. Collier. Dua Abad Penguasaan Tanah (Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa), (Jakarta ; PT Gramedia, 1984), hal 145
33
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · 2019-08-01 · dimanfaatkan betul oleh pemerintah Orde Baru dan pihak PTPN IX untuk menguasai tanah Sambirejo.7 Masyarakat Sambirejo
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak zaman kerajaan sampai pada masa kemerdekaan, Indonesia dikenal
sebagai negara agraris, dengan kekayaan alam dan hasil pertanian yang melimpah.
Sebagian besar penduduk Indonesia, terutama di daerah pedesaan bekerja sebagai
petani. Idealnya, petani adalah pemilik lahan. Lahan pertanian merupakan sarana
pokok dan paling mendasar yang harus ada. Bila tidak memiliki lahan atau tidak
ada lahan yang digarap, petani tidak akan bisa bekerja dan tidak dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu masalah kepemilikan tanah untuk lahan
pertanian menjadi begitu penting dan menjadi masalah yang sensitif bagi petani,
karena berpengaruh langsung terhadap hajat hidupnya dan keluarganya. Di sisi
lain, ciri umum banyak negara bekembang adalah masalah kelebihan penduduk
agraris yaitu terdapatnya surplus tenaga kerja manusia dibanding dengan
tersedianya tanah pertanian1.
Sandang, papan dan pangan merupakan hak dasar manusia. Sebagai warga
Negara berhak mendapatkan perlindungan oleh negara termasuk hak memperoleh
tanah untuk tempat tinggal dan lahan pertanian sebagai sumber penghasilan. Pada
masa pemerintahan Orde Lama setelah Indonesia merdeka, pemerintah di bawah
1. William L. Collier. Dua Abad Penguasaan Tanah (Pola Penguasaan
Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa), (Jakarta ; PT Gramedia, 1984), hal 145
2
presiden Soekarno telah menasionalisasi perusahaan – perusahaan milik asing dan
mendistribusikan tanah garapan kepada masyarakat sebagai lahan pertanian untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan dikeluarkannya Undang – Undang
Pokok Agraria pada tahun 1960, yang diikuti dengan reforma agraria, lahan-lahan
perkebunan Hindia Belanda yang ada di Indonesia diserahkan kepada rakyat
untuk dibagi secara merata dan dijadikan lahan pertanian oleh rakyat.
Undang – Undang Pokok Aagraria 1960 merupakan salah satu kebijakan
yang cukup kontroversial pada masa Orde Lama. Undang – undang ini dipelopori
oleh wakil – wakil Partai Komunis Indonesia di parlemen. Pada saat itu, Partai
Komunis Indonesia melakukan kongres Nasional Barisan Tani Indonesia di
Yogyakarta pada bulan November 1954. Tujuan kongres itu ialah untuk
mempromosikan kepentingan kaum tani. Dalam kesempatan itulah Barisan Tani
Indonesia ditumbuhkan, kemudian sebuah program nasional disusun. Program
tersebut meliputi empat pokok, yaitu modernisasi pertanian, menetapkan harga
sewa tanah, melaksanakan landreform, dan melatih kader – kader tani untuk
propaganda komunisme2. Setelah pemilu 1955 dan 1957, Partai Komunis
Indonesia menjadi salah satu partai besar dan memiliki cukup banyak perwakilan
di parlemen. Dari sinilah hasil Kongres Barisan Tani Indonesia Yogyakarta terus
didesakkan. Pada tahun 1960 dengan kompromi yang begitu panjang di dalam
parlemen, ditetapkan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), di mana poin
penting dari UUPA itu adalah pelaksanaan landreform atau distribusi tanah.
2 Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani, (Yogjakarta : Yayasan Bintang
Budaya, 2002), hal 15
3
Dengan dasar Undang – Undang Pokok Agraria tahun 1960 ini, maka pada
akhir pemerintahan Orde Lama sekitar tahun 1963 – 1964 dilakukan distribusi
tanah kepada petani yang tidak memiliki lahan. Tanah yang didistribusikan
kepada petani kebanyakan adalah bekas perkebunan Hindia – Belanda. Demikian
halnya dengan Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen, di daerah ini ada lebih
dari 664 hektar lahan pertanian yang didistribusikan kepada rakyat, sebagai
bentuk reforma agraria yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Lama.
Masyarakat Sambirejo mendapatkan lahan pertanian tersebut dengan disertai surat
kepemilikan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Presiden Soekarno. Meskipun
tidak berupa sertifikat tanah, surat ini sudah menjadi dasar hukum yang kuat.
Dalam kurun waktu beberapa tahun, lahan ini telah digarap oleh masyarakat
Sambirejo. Namun, pada saat peristiwa “65 meletus dan Orde Baru berkuasa
muncul permasalahan terkait tanah ini. Tanah yang telah didistribusikan oleh
pemerintahan Orde Lama kepada masyarakat Sambirejo, diambil alih oleh
pemerintah Orde Baru melalui PT Perkebunan Nusantara IX Persero ( PTPN IX ).
Secara sepihak, PTPN IX yang merupakan perusahaan perkebunan, mengambil
alih tanah warga untuk dijadikan perkebunan karet dengan persetujuan pemerintah
Presiden Soeharto melalui HGU ( Hak Guna Usaha ).
Sengketa agraria merupakan salah satu bentuk dari konflik agraria.
Menurut Gunawan Wiradi (2000), konflik agraria adalah suatu situasi proses,
yaitu proses interaksi antara dua (atau lebih) orang atau kelompok yang masing –
masing memperjuangkan kepentingan atas objek yang sama, yaitu tanah dan
4
benda – benda lain yang berkaitan dengan tanah, seperti air, tanaman, tambang
dan juga udara yang berada di atas tanah yang bersangkutan.3 Dari sinilah muncul
konflik antara warga Sambirejo dengan pihak PTPN IX. PT Perkebunan
Nusantara IX bergerak dibidang perkebunan dengan dua devisi tanaman budidaya,
yaitu devisi tanaman keras dan devisi tanaman musiman. Sedangkan yang ada di
Kecamatan Sambirejo adalah PTPN XI unit Batujamus/Kerjoarum, afdeling
Kepoh/Sambirejo dengan sub devisi tanaman keras yaitu Karet. Sengketa agraria
antara masyarakat Sambirejo dengan PTPN IX, merupakan sengketa kepentingan
yang berlatar belakang landreform. Mustain (2007), juga menjelaskan bahwa latar
belakang konflik di pedesaan adalah perebutan tanah antara perkebunan dan
petani. Akar persoalan perkebunan disatu sisi didapat dari sejarah lahirnya HGU
pada tanah perkebunan. Dalam prakteknya, pengelolaan HGU sering terjadi
penyimpangan peruntukan, penguasaan dan pengasingan terhadap masyarakat
sekitar.4
Tanah yang disengketakan, dulu adalah bekas tanah perkebunan pada
masa kolonial atau tanah droog culture/DC, yang menjadi objek distribusi tanah
dari program pemerintah Orde Lama (landreform). Dalam prosesnya, tanah ini
dibagikan kepada 530 persil atau penerima distribusi,5 dengan mendapatkan Surat
Keputusan (SK) pembagian tanah antara tahun 1963-1964 atas lahan seluas 664
3 Gunawan Wiradi, Reformasi Agraria, ( Jakarta:INSIST, KPA dan
Pustaka Pelajar, 2000), hal 84. 4 Mustain, Petani Vs Negar, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2007 ),
hal 16. 5 Kutipan Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Djawa tengah No :
SK. 389/X/173/72/DC/64, hal 1.
5
hektar dari tanah Tarik Ngarum seluas 672,3190 Hektar.6 SK pembagian tanah
sebagai bukti kepemilikan tanah tersebut berupa SK yang dikeluarkan oleh kepala
Inspeksi Agraria ( SK KINAD ) Jawa Tengah pada tanggal 4 Januari 1964.
Pada awalnya, PTPN IX yang sebelumnya bernama PTP XVIII,
menawarkan sistem sewa tanah kepada petani, sebagai objek perluasan
perkebunan dengan harga sewa Rp 2.500,- perbagian (sekitar 2000 m2) atau Rp
10.000,-/Hektar selama 25 tahun namun petani menolak. Pada tahun 1965 meletus
peristiwa G 30 S, dan tak lama setelah itu Soeharto menjadi Presiden melalui
Supersemar. Kemudian Soeharto mengeluarkan Tri Tura dengan salah satu isinya
yaitu Bubarkan PKI dan ormas – ormasnya. Dengan dasar ini, setiap pelanggaran
atau ketidak patuhan kepada pemerintah dianggap sebagai antek PKI. Situasi ini
dimanfaatkan betul oleh pemerintah Orde Baru dan pihak PTPN IX untuk
menguasai tanah Sambirejo.7
Masyarakat Sambirejo dipaksa untuk meninggalkan dan meyerahkan tanah
dan lahan yang mereka miliki untuk diberikan kepada PTPN IX untuk dijadikan
perkebunan karet. Di sisi lain surat kepemilikan tanah dari pemerintah Orde Lama
tidak diakui. Setelah peristiwa G 30 S warga Sambirejo yang tidak mau
meninggalkan tanah dan menyerahkan lahannya dicap sebagai antek PKI.8 Pada
masa itu anggota dan simpatisan PKI ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh
6 Yayasan ATMA, Laporan Kegiatan advokasi Petani Sambirejo dalam
acara dengar pendapat di pansus pertanahan DPR RI. Jakarta 15 Juni 2003. 7 ATMA dan FPKKS, Reclaiming Tanah Karet Sambirejo Kabupaten
Sragen Jawa Tengah, ATMA, 2006, Monco kaki/ saksi sejarah 8 http://atma-solo.blogspot.com/2006/11/perjuangan-warga-sambirejo.html
(diakses pada tanggal 24 april 2015 pukul 11.00)
6
pemerintahan Soeharto. Tentu saja ini menjadikan warga panik dan ketakutan,
yang pada akhirnya harus menyerahkan tanah mereka.
Pada tahun 60an sampai 70an inilah peristiwa tragis dialami oleh
masyarakat Sambirejo. Warga negara harus berhadapan dengan pemerintahnya
untuk memperebutkan lahan pertanian. Pemerintah yang seharusnya
mensejahterakan dan melindungi rakyatnya malah menindas rakyatnya sendiri
dengan merampas sumber penghidupan rakyatnya. Pada saat itu tentu saja
masyarakat Sambirejo melakukan perlawanan. Tidak sedikit masyarakat
Sambirejo yang kehilangan tanahnya melakukan perlawanan kepada PTP (PTPN
IX) ditangkap dan hilang. Kesadaran akan ketertindasan yang dialami,
perampasan dan kehidupan yang terus terancam akibat perampasan tanah, ini
memunculkan adanya gerakan petani. Sejak dikeluarkannya HGU dengan SK No.
16/HGU/DA/1982 perlawanan petani semakin masif, karena dengan keluarnya
HGU berarti secara legal PTPN IX menguasai lahan petani untuk perkebunan.
Namun dengan dengan dikeluarkannya UU No. 5.1979 tentang Pemerintah Desa
yang menghapus proses politik partisipasi orang desa dan perlibatan militer dalam
pengawasan pembangunan desa9, membuat warga tidak bisa berbuat banyak.
Berbagai tindakan perlawanan telah dilakukan oleh para petani untuk
mendapatkan tanahnya kembali, baik dengan jalan dialog, jalur hukum dan
perlawanan secara radikal. Moore dalam Henry dan Alexandrov (1984)
menjelaskan, bahwa suatu ploretariat desa yang besar yang terdiri dari buruh tani
9 Mustain, Petani Vs Negar, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2007 ),
hal 16.
7
tak bertanah merupakan sumber potensial untuk pemberontakan atau revolusi.10
Perjuangan masyarakat Sambirejo tidak berhenti disini. Setelah Orde Baru runtuh
saat reformasi 1998, mereka kembali berjuang dan berani terang – terangan untuk
meminta kembali hak atas tanahnya kepada pemerintah. Pada masa itu, situasi
Sambirejopun kembali memanas. Warga mendapat teror dari preman – preman
yang disewa oleh PTPN IX untuk menakut – nakuti warga Sambirejo. Namun,
petani tidak tinggal diam. Diakhir tahun 2000 sempat terjadi peristiwa
pembakaran lahan dan penebangan pohon karet oleh petani sebagai wujud
perlawanan kepada PTPN IX.
Dalam perjuangannya, masayarakat Sambirejo tidak sendirian. Beberapa
lembaga hukum dan organisasi kemahasiswaan ikut memberikan dukungan bagi
masyarakat Sambirejo untuk mendapatkan kembali tanahnya. Tercatat ada dua
lembaga hukum yang terus mengawal perjuangan petani Sambirejo, yaitu ATMA
dan LPH YAPHI. YAPHI masih tetap konsisten mendampingi petani Sambirejo
sampai sekarang. Ada juga lembaga advokasi ELSAM yang sampai sekarang
masih melakukan pendampingan. Sedangkan organisasi kemahasiswaan yang
diketahui pernah ikut membantu perjuangan petani Sambirejo antara lain PMKRI,
PMII, GMNI dan GMKI. Perjuangan masyarakat Sambirejo tidak sia – sia. Meski
belum seluruhnya tanah kembali ke tangan petani, setidaknya masyarakat
Sambirejo telah mendapatkan kembali 3/4 tanahnya dari PTPN IX meski belum
mendapatkan ketetapan hukum dari pemerintah.
10 Landsberger, Henry dan Alexandrov, Pergolakan Petani dan Perubahan
Sosial,( Jakarta; Yayasan ilmu-ilmu sosial , CV. Rajawali, 1984), hal ; 21
8
B. Rumusan Masalah
Penelitian ini berupaya untuk mengungkap masalah-masalah yang menjadi
latar belakang historis sengketa tanah yang terjadi dan proses – proses apa saja
yang telah ditempuh petani untuk mendapatkan kembali tanahnya, peristiwa –
peristiwa penting yang terjadi serta untuk mengetahui sejauh mana peran
lembaga hukum dan organisasi kemahasiswaan dalam mendampingi petani
Sambirejo dalam berjuang. Penelitian ini mengambil kurun waktu 1965 – 2010.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di depan, maka masalah
utama yang menjadi fokus penelitian ini adalah sebahgai berikut :
1. Apa yang melatar belakangi sengketa tanah (agraria) antara petani Sambirejo
dengan PT. Perkebunan Nusantara IX unit Batujamus/Kerjoarum, afdeling
Kepoh/Sambirejo?
2. Apa saja bentuk – bentuk perlawanan petani Sambirejo untuk mendapatkan
kembali tanah mereka dari PT. Perkebunan Nusantara IX unit
Batujamus/Kerjoarum, afdeling Kepoh/Sambirejo?
3. Resolusi apa saja yang telah ditempuh dalam proses penyelesaian sengketa
agraria di Sambirejo antara petani dengan PT. Perkebunan Nusantara IX unit
Batujamus/Kerjoarum, afdeling Kepoh/Sambirejo?
Untuk lebih memfokuskan pembahasan penelitian agar lebih mudah
dipahami dan dapat dipertanggungjawabkan, maka dilakukan pembatasan
lingkup temporal / pembatasan waktu. Adapun pembatasan masalah dalam
penelitian ini yaitu : Tahun 1960 – 1973 terkait tentang keluarnya Undang-
9
Undang Pokok Agraria, keluarnya SK KINAD dan perampasan tanah oleh PTPN
IX. Tahun 1974 – 1997 tentang keluarnya sertifikat hak milik atas nama warga
dan keluarnya HGU PTPN IX. Tahun 1998 – 2005 terkait peristiwa reformasi,
dibentuknya FPKKS dan aksi – aksi perlawanan oleh masyarakat Sambirejo.
Tahun 2006 – 2010 tentang HGU PTPN IX yang habis, penguasaan lahan oleh
masyarakat dan dikeluarkannya HGU baru.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini dengan judul “Sengketa
Agraria dan Resolusi konflik di Sambirejo Sragen Tahun 1960 – 2010” adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui latar belakang sengketa tanah (agraria) antara petani
Sambirejo dengan PT. Perkebunan Nusantara IX unit Batujamus/Kerjoarum,
afdeling Kepoh/Sambirejo.
2. Untuk mengetahui bentuk – bentuk perlawanan baik secara langsung dan
tidak langsung petani Sambirejo untuk mendapatkan kembali tanah mereka
dari PT. Perkebunan Nusantara IX unit Batujamus/Kerjoarum, afdeling
Kepoh/Sambirejo.
3. Untuk mengetahui resolusi apa saja yang ditempuh petani Sambirejo dalam
proses penyelesaian sengketa agraria di Sambirejo antar petani dengan PT.
Perkebunan Nusantara IX unit Batujamus/Kerjoarum, afdeling Kepoh/Sambir
10
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini meliputi dua hal, yaitu manfaat akademis dan
manfaat praktis.
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi studi ilmu
sejarah, khususnya sejarah agraria di Indonesia dalam bentuk penelitian
ilmiah berupa dokumen tertulis. Juga sebagai bahan masukan dan panduan
literatur bagi peneliti-peneliti lain yang hendak melakukan penelitian dengan
tema agraria.
2. Manfaat Aplikasi
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan informasi bagi pihak-pihak
terkait dalam masalah sengketa agraria dan pertanahan. Serta dapat memberi
masukan bagi para petani, sebagai inspirasi nyata perjuangan kaum tani untuk
mendaptkan tanah. Bagi pemerintah dan pihak perkebunan agar lebih adil
dalam mengambil kebijakan dan sadar akan kepentingan umum. Indonesia
adalah negara agraris dan tanah adalah kebutuhan mendasar kaum tani yang
harus mereka miliki, dan hak sebagi warga Negara.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini bertemakan sengketa agraria, dimana permasalahan ini
merupakan permasalahan yang cukup pelik dan rumit. Untuk menjelaskan
permasalahan tersebut, penulis mengunakan beberapa buku sebagai referensi dari
11
beberapa narasumber. Dalam hal ini dibagi menjadi dua bagian sumber pustaka
yaitu : penelitian terdahulu dan kerangka teori.
1. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu merupakan sumber referensi yang digunakan peneliti yang
berupa penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain
yang terkait dengan penelitian yang peneliti lakukan. Penelitian-penelitian
tersebut antara lain :
Pertama, penelitian Heri Priyatmoko, Perusahaan Perkebunan Kopi
Pada Masa Mangkunegara IV (1853-1881). FSSR. UNS. 2009. Skripsi yang
disusun Heri Priyatmoko ini sebagai penelitian terdahulu sangat bermanfaat
dalam memberikan referensi terkait sejarah pertanahan di Sambirejo,
khususnya terkait sejarah tanah perkebunan karet yang menjadi objek sengketa.
Penelitian ini membahas tentang pengelolan perkebunan kopi dan tehnik
budidaya kopi yang dilakukan oleh mangkunegoro IV yang diawali dengan
penarikan tanah apanage. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini
adalah buruh tidak lagi menjadi korban kesewenang-wenangan bekel, demang
dan rangga setelah penarikan tanah apanage. Serta, struktur kelembagan dan
sistem yang dibangun pada saat itu bertujuan untuk kelancaran dan keamanan
produksi kopi.
Relevansi penelitian yang dilakukan terkait dengan sejarah perkebunan di
Mangkunegaran, karena perkebunan serat nanas di Sambierejo yang kini
menjadi perkebunan karet merupakan termasuk tanag apanage pada masa
12
Mangkunegaran. Ini memberikan gambaran tentang tanah Sambirejo. Dalam
penelitian ini juga dapat diketahui perkembangan sejarah perkebunan milik
Belanda.
Kedua, penelitian Adhi Agus wijayanto, Dampak Perusahaan Serat
Nanas Mojogedang terhadap perubahan sosial ekonomi Masyarakat Tahun
1922-1937, FSSR. UNS. 2009, menjelaskan tentang sejarah berdirinya serat
nanas Mojogedang. Ini sangat terkait dengan penelitian yang dilakukan, karena
tanah perkebunan yang menjadi sengketa di Sambirejo dulunya adalah bekas
perkebunan serat nanas Belanda.
Penelitian ini berisi tentang dampak perusahaan serat nanas terhadap
perubahan sosial ekonomi masyarakat di tahun 1922-1937. Di dalamnya,
diuraikan tentang peran Mangkunegoro VII dalam mengembangkan
perkebunan serat nanas dan perkembangan produktivitas serat nanas
Mojogedang di tahun 1922-1937.
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini yaitu
bahwa keberadaan perkebunan serat nanas Mojogedang yang dikembangkan
oleh Mangkunegaran, bukan hanya membawa dampak bagi peningkatan
perekonomian Mangkunegaran, tetapi juga memberikan dampak yang
signifikan terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat disekitarnya.
Relevansi penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan yaitu,
penelitian ini sama-sama mengambil latar belakang perkebunan serat nanas.
Dari penelitian ini pula dapat diperoleh gambaran tentang sejarah perkebunan
13
serat nanas di wilayah Mangkunegaran, dimana Sambirejo yang berada di
kabupaten Sragen pada masa Mangkunegaran adalah daerah kekuasaan
Mangkunegaran yang dikenal dengan bumi Sukowati. Penelitian ini sangat
membantu dalam melihat sejarah kepemilikan tanah di Sambirejo dan sejarah
tanah perkebuna karet yang dulunya merupakan bekas perkebunan serat nanas
Belanda.
Ketiga penelitian Trisno Martoyo, Penarikan Tanah Apanage Pada
Masa Mangkunegaran IV ( Perubahan Status Pemilikan Tanah Narapraja
dan Sentana Dalem, 1853 – 1881, FSSR UNS 1994. Penelitian ini berisi
tentang proses penghapusan tanah apanage dan penarikan tanah yang telah
disewakan kepada pihak asing, termasuk pemerintahan Hindia Belanda pada
masa Mangkunegaran IV. Dengan penghapusan tanah apanage ini,
Mangkunegaran berencana untuk mengelola tanah tersebut untuk dijadikan
perkebunan dan tidak lagi disewakan. Namun dalam prosesnya, banyak sekali
hambatan – hambatan yang dialami oleh Mangkunegaran IV.
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan, ditahun 1871
Mangkunegaran IV berencana untuk menghapus dan menarik tanah – tanah
apanage milik Magkunegaran yang disewa oleh orang – orang Eropa. Ini
bertujuan untuk medirikan perkebunan milik Mangkunegaran sendiri dan
ditahun 1877 dilakukan penarikan tanah apanage. Hal ini ditentang oleh
pemerintah Hindia Belanda, tanah apanage yang telah disewa oleh
pemerintahan Hindia Belanda gagal untuk dihapuskan dan tetap disewa oleh
14
pemerintah Hindia Belanda. Kemudian Mangkunegara IV berencana untuk
menyewa tanah milik Hindia Belanda, tetapi juga tidak diperbolehkan.
Mangkunegara IV hanya berhasil menarik tanah apanage yang dikuasai oleh
Narapraja dan Santana dalem yang tidak disewakan oleh pihak asing.
Narapraja dan Santana dalem tidak lagi digaji dengan tanah apanage dan
diganti gaji berupa uang.
Relevansi penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan, yaitu dalam
memahami sejarah tanah perkebunan dan tanah Sambirejo terkait kepemilikan
tanah sebelum dikuasi oleh pemerintahan Hindia Belanda. Sehingga diketahui
sejarah proses peralihan kepemilikan tanah mulai dari Mangkunegaran,
Belanda, pemerintah Indonesia dan masyarakat Sambirejo.