1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Puisi merupakan sintesis dari berbagai peristiwa bahasa yang telah tersaring semurni-murninya dan berbagai proses jiwa yang mencari hakikat pengalaman, tersusun dengan sistem korespondensi dalam satu bentuk. Penulis dan penyair membuat definisi masing-masing tentang puisi, baik dikemukakan secara eksplisit atau tidak (Mulyana dalam Atar Semi, 1993:93). Puisi adalah sebuah karya sastra. Karya sastra sendiri merupakan fenomena manusia yang didalamnya penuh dengan makna dan dapat digali melalui penelitian. Makna erat kaitannya dengan fungsi yang sering kabur dan tidak jelas. Oleh karenanya,karya sastra memiliki tugas untuk mengungkap kekaburan itu menjadi jelas (Endraswara, 2011:7). Puisi hadir mengkomunikasikan pengalaman secara signifikan dalam bentuknya yang artistik, sebab sebagai bentuk seni (art) ia ditata oleh kaidah sastra yang telah menjadi konvensi masyarakat sastra (Siswantoro, 2010:26). Puisi merupakan bentuk sastra yang paling padat dan terkontrasi. Kepadatan komposisi tersebut ditandai dengan pemakaian sedikit kata, namun mengungkap lebih banyak hal (Siswantoro, 2010:23). Riffaterre (1978:1) mengemukakan bahwa puisi itu dari waktu ke waktu selalu berubah karena evolusi selera dan konsep estetik yang berubah. Satu esensi yang tetap yaitu puisi menyatakan suatu hal dengan arti yang lain atau puisi itu menyatakan sesuatu hal secara tidak langsung. Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra yang dapat dikaji dari berbagai sudut pandang. Puisi sendiri juga dapat dikaji unsur dan strukturnya. Puisi adalah
23
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · 2. Strata Norma Roman Ingarden Teori struktural berdasarkan teori Roman Ingarden meliputi struktur lapis makna (lapis bunyi, lapis arti,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Puisi merupakan sintesis dari berbagai peristiwa bahasa yang telah tersaring
semurni-murninya dan berbagai proses jiwa yang mencari hakikat pengalaman,
tersusun dengan sistem korespondensi dalam satu bentuk. Penulis dan penyair
membuat definisi masing-masing tentang puisi, baik dikemukakan secara eksplisit
atau tidak (Mulyana dalam Atar Semi, 1993:93). Puisi adalah sebuah karya sastra.
Karya sastra sendiri merupakan fenomena manusia yang didalamnya penuh dengan
makna dan dapat digali melalui penelitian. Makna erat kaitannya dengan fungsi yang
sering kabur dan tidak jelas. Oleh karenanya,karya sastra memiliki tugas untuk
mengungkap kekaburan itu menjadi jelas (Endraswara, 2011:7).
Puisi hadir mengkomunikasikan pengalaman secara signifikan dalam
bentuknya yang artistik, sebab sebagai bentuk seni (art) ia ditata oleh kaidah sastra
yang telah menjadi konvensi masyarakat sastra (Siswantoro, 2010:26). Puisi
merupakan bentuk sastra yang paling padat dan terkontrasi. Kepadatan komposisi
tersebut ditandai dengan pemakaian sedikit kata, namun mengungkap lebih banyak
hal (Siswantoro, 2010:23). Riffaterre (1978:1) mengemukakan bahwa puisi itu dari
waktu ke waktu selalu berubah karena evolusi selera dan konsep estetik yang
berubah. Satu esensi yang tetap yaitu puisi menyatakan suatu hal dengan arti yang
lain atau puisi itu menyatakan sesuatu hal secara tidak langsung.
Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra yang dapat dikaji dari berbagai
sudut pandang. Puisi sendiri juga dapat dikaji unsur dan strukturnya. Puisi adalah
2
karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong
tanpa makna (Pradopo, 2005:3). Altenberd (dalam Pradopo, 2005:5—6) puisi adalah
pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa
berirama (bermetrum) (as the interpretive dramatization of experience in metrical
language).
Tradisi berpuisi merupakan tradisi kuno dalam masyarakat (Waluyo, 2003:1).
Memahami puisi biasanya dengan mengamati ciri-ciri karakteristik puisi dan unsur-
unsur yang membedakan puisi dengan karya sastra yang lainnya (Waluyo, 2003:3).
Jawa juga mempunyai banyak bentuk karya sastra. Puisi juga termasuk
didalamnya. Puisi di Jawa dikenal dengan sebutan puisi Jawa modern atau lebih
singkatnya adalah Geguritan. Geguritan merupakan salah satu bentuk karya sastra
berbentuk puisi Jawa modern yang berisi ungkapan perasaan dan pikiran penyair
yang bersifat imajinatif dan tersusun adanya unsur pembangunan serta tidak terikat
oleh aturan seperti guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu (Saputra, 2001: 8).
Menurut Wiryatmaja dkk (1997:23) geguritan bentuk dasarnya dari gurit, sedangkan
bentuk gegurit atau gugurit adalah bentuk dwipurwa atau bentuk ulang suku awal.
Apabila dilihat dari sudut artinya kata guritan searti dengan tembang, kidung, dan
rerepan(Poerwodarminto dalam Sutadi, 1997:23). Puisi Jawa modern (geguritan)
ialah apa yang dikomunikasikan oleh penyairnya, bertumpu pada rasa
kemanusiawiannya, dengan memeras kemampuan dan daya guna kata-kata bahasa
Jawa, mengacu pada kehidupan yang digumulinya dengan naungan kode bahasa dan
budayanya, dalam orientasi mengindonesia, serta mengimbau keterlibatan
penyambutan pada khalayaknya (Sutadi, 1997:35).
3
Geguritan bisa menjadi saksi kehidupan manusia setidaknya dari pengarang
geguritan (penggurit) itu sendiri (Hoery, 2015:3). J.F.X. Hoery adalah seorang
penggurit lahir di Pacitan, 7 Agustus 1945. Bukunya yang berjudul Lintang
Gumawang adalah buku antologi geguritan yang terbit tahun 2015 dengan 100
geguritan didalamnya. Lintang Gumawang dengan 100 geguritan tersebut memiliki
tema yang beragam. Tema ketuhanan, cinta, alam, sosial, kemerdekaan, dan lain
sebagainya. Isi antologi geguritan J.F.X. Hoery dominan nilai religius. Terdapat
sembilan belas geguritan yang bersifat religius. Sembilan belas geguritan yang
bersifat religius yang terdapat dalam antologi geguritanLintang Gumawangmenarik
untuk diteliti.
Beberapa pertimbangan mengapa peneliti tertarik akan mengkaji geguritandan
menganggap penting sembilan belas geguritan tersebut diteliti. Aspek
kepengarangan, J.F.X. Hoery ialah sastrawan yang aktif di Sanggar Sastra Jawi
Bojonegoro. Karya sastranya telah banyak dikaji dan diketahui oleh para pecinta
sastra Jawa. Karyanya yang berjudul Antologi geguritan “Lintang Gumawang‖
belum pernah diteliti sebelumnya. Penelitian iniakan meneliti geguritan yang
mengandung nilai religius sebagai bentuk apresiasi karya J.F.X. Hoery. Aspek
isiAntologi Geguritan “Lintang Gumawang” ini merupakan tulisan dari tahun 1985 –
2015 dan diterbitkan tahun 2015. Sembilan belas geguritan yang mengandung nilai
religius menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Berdasarkan pengamatan, penelitian antologi geguritan pernah dilakukan
sebelumnya. Beberapa penelitian itu adalah: (1) Theresia Tri Wahyuni (1995) dalam
4
skripsinya yang berjudul Puisi Jawa Modern karya Mohammad Yamin MS (Analisis
Struktur Fisik dan Batin), membahas tentang struktural puisi Jawa Modern meliputi
struktur fisik dan batin. (2) Riana Wati (1996) dalam skripsinya yang berjudul
Geguritan karya Turio Ragilputra (Tinjauan Instrinsik dan Ekstrinsik), membahas
mengenai struktur instrinsik dan ekstrinsik puisi Jawa modern. (3) Rohadi Budi
Widyatmoko (2009) dalam skripsinya yang berjudul Religiusitas dalam Geguritan
Kristal Emas karya Suwardi Endraswara (Tinjauan Semiotik), membahas mengenai
struktur puisi, unsur estetis dalam puisi, serta pembacaan semiotik untuk membedah
unsur religius yang terdapat pada geguritan. (4) Anna Subekti (2012) dalam skripsi
yang berjudul Nilai-nilai mistik dan religius dalam geguritan karya Yan Tohari
(Tinjauan Semiotika Michael Riffaterre), pembacaan heuristic dan hermeneutic, serta
matrik dan model. (5) Nandia Nessa Lestari (2012) Religiusitas dalam Antologi
Geguritan Alam Sawegung karya Sudi Yatmana (Tinjauan Semiotika, membahas
mengenai makna geguritan, struktur geguritan, serta keunikan nilai religius yang
diungkapkan pengarang dalam geguritan karyanya yag tercakup di dalam antologi
geguritan Alam Sawegung. (6) Dessi Apriliya Ningrum (2013) Aspek Religius dalam
Geguritan Karya Irul S Budianto (Tinjauan Semiotika Michael Riffaterre), yang
membahas mengenai struktur puisi dan struktur religius dalam 26 geguritan untuk
pembangunan spiritualitas masyarakat Jawa.
Beberapa penelitian sebelumnya tersebut, yang mendekati kesesuaian dengan
penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah skripsi Theresia Tri Wahyuni
(1995) dalam skripsinya yang berjudul Puisi Jawa Modern karya Mohammad Yamin
5
MS (Analisis Struktur Fisik dan Batin) yang membahas tentang struktural puisi Jawa
Modern meliputi struktur fisik dan batin. Kesamaannya adalah sama-sama meneliti
puisi Jawa modern atau geguritan namun skripsi terdahulu menggunakan analisis
struktur fisik dan batin sedangkan penelitian ini akan menggunakan analisis struktural
dengan tema mengenai ketuhanan atau religius. Struktur puisi menggunakan analisis
strata normaRoman Ingarden.
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan struktural sebagai bahan kajian
penelitian. Menurut Goldman dalam Endraswara (2004: 56) studi strukturalisme
memiliki dua kerangka besar, yaitu (1) hubungan antara makna suatu unsur dengan
unsur lainnya dalam suatu karya sastra yang sama, (2) hubungan tersebut membentuk
suatu jaring yang saling mengikat. Jadi, dapat dikatakan bahwa penelitian karya sastra
tidak dapat hanya bertumpu pada suatu atau beberapa elemen saja, tetapi harus secara
menyeluruh saling terkait sehingga terwujudlah sebuah karya sastra yang dapat
dinikmati dan dipahami pembacanya. Pendekatan struktural relevan digunakan dalam
penelitian ini karena sembilan belas teksgeguritan banyak menampilkan kata maupun
bahasa dan aspek diluar kebahasaan yang menjadi tanda dan sistem tanda. Teori
pendekatan struktural tersebut diharapkan dapat menghasilkan analisa yang
mendalam mengenai makna nilai religius geguritan dan untuk selanjutnya
berdasarkan teori pendekatan struktural tersebut mendapatkan hasil analisa tanda
sebab akibat (indeks) mengenai latar belakang terciptanya geguritan.
Kajian mengenai geguritan ini akan menggunakan analisis struktural strata
norma Roman Ingarden. Teori struktural adalah suatu kajian yang membahas karya
6
sastra secara otonom. Keotonoman karya sastra ini berupa struktur-struktur yang
saling berelasi. Kajian strukturalisme dimaksudkan untuk membahas suatu karya
sastra dengan melepaskan dirinya dari aspek-aspek luar karya sastra tersebut
(Kurniawan, 2009:69). Analisis puisi dengan pendekatan struktural memfokuskan
pada unsur-unsur pembangun struktur berupa unsur internalnya (Siswantoro,
2010:63).
Bertolak pada paparan yang telah dijelaskan, dengan melihat pengalaman
batin J.F.X. Hoery dalam sembilan belas teks geguritan beliau tersebut, akan diteliti
lebih lanjut dengan judul Nilai Religius dalam Antologi Geguritan“Lintang
Gumawang” Karya J.F.X. Hoery (Analisis Strata Norma Roman Ingarden )
7
B. Batasan Masalah
Antologi geguritan dapat dikaji dari berbagai sudut pandang. Agar penelitian
ini fokus, maka perlu adanya pembatasan masalah. Meliputi (1) Kajian struktur lapis
makna (lapis bunyi, lapis arti, dan lapis objek), lapis dunia, dan lapis metafisis ; (2)
Kajian makna dalam sembilan belas teks geguritan karya J.F.X. Hoery bagi
kepercayaan masyarakat.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dimuka, maka permasalahan yang akan
dikaji dalam penelitian ini meliputi:
1. Bagaimanakah struktur geguritan dalam sembilan belas teks geguritan
karya J.F.X. Hoery berdasarkan strata norma puisi Roman Ingarden?
2. Bagaimanakah makna religius yang terkandung dalam sembilan belas teks
geguritan karya J.F.X. Hoery bagi kepercayaan masyarakat?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan
tersebut. Tujuan yang ingin dicapai melalui rencana penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan struktur geguritan dalam sembilan belas teks geguritan
karya J.F.X. Hoery berdasarkan strata norma puisi Roman Ingarden.
2. Mendeskripsikan makna religius yang terkandung dalam sembilan belas
teks geguritan karya J.F.X. Hoery bagi kepercayaan masyarakat.
8
E. Landasan Teori
1. Pengertian Struktural
Karya sastra mengandung struktur ketandaan yang bermakna. Teori dan
metode penelitian yang sesuai adalah strukturalisme semiotik (Pradopo, 2010:268).
Pendekatan struktural secara etimologi berasal dari bahasa latin yaitu kata struktura
yang berarti bentuk atau bangunan (Ratna, 2013: 88). Menurut Bertens dalam
Sangidu (2004: 15) istilah struktur pertama kali muncul pada kongres linguistik yang
diadakan di Den Haag pada tahun 1928. Penjelasan Ferdinand de Saussure tentang
pendekatan struktur bahwa bahasa berarti suatu pendekatan yang memandang bahasa
sebagai suatu sistem dengan ciri-ciri tertentu. Pendekatan struktural memandang dan
memahami karya sastra dari segi struktur karya sastra itu sendiri. Pendekatan
struktural di bidang bahasa ternyata dapat juga diterapkan untuk pendekatan lain,
seperti dalam bidang sastra (Sangidu, 2004: 15). Karya sastra adalah sesuatu yang
otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca (Teeuw
dalam Pradopo, 2010:89).
Teeuw (1984: 135) merumuskan pengertian pendekatan struktural adalah
pendekatan yang bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secara cermat, teliti,
dan sedetail mungkin berkaitan dan keterpaduan semua tafsir dan aspek karya sastra
yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.
Pendekatan struktural dalam sebuah karya sastra hanya dipusatkan pada karya
itu sendiri. Memahami karya sastra secara close reading(membaca karya sastra secara
tertutup tanpa melihat pengarangnya, hubungan dengan realitas,maupun pembaca).
Analisis struktural difokuskan pada unsur-unsur instrinsik karya sastra
9
(Wiyatmi,2006:89). Senada dengan Teeuw (dalam Pradopo, 2005:280) tanpa analisis
demikian, kebulatan makna instrinsik yang hanya dapat digali dari karya sastra itu
sendiri tidak akan tertangkap.
Pendekatan struktural menganalisis makna yang terkandung dalam teks karya
sastra terlepas dari maksud penulis dan unsur-unsur eksternal. Berdasarkan uraian
diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa analisis struktural adalah sebuah analisis yang
akan memaparkan secara teliti, cermat, dan mendalam mengenai unsur instrinsik
sebuah karya sastra yang saling terkait. Winarni (2013: 48) berpendapat bahwa
pendekatan struktural juga disebut pendekatan objektif karena pendekatan ini
mengutamakan karya sastra itu sendiri tanpa menghubungkan dengan pengarang,
penonton, dan audiens, perhatian terutama ditujukan pada unsure-unsur instrinsik
yang membangun sebuah karya sastra.
2. Strata Norma Roman Ingarden
Teori struktural berdasarkan teori Roman Ingarden meliputi struktur lapis
makna (lapis bunyi, lapis arti, dan lapis objek), lapis dunia, dan lapis metafisis (dalam
Wellek, 1968: 151).
A. Lapis Bunyi / suara
Puisi berupa satuan-satuan suara, suara suku kata, kata, dan berangkai
merupakan seluruh bunyi / suara sajak, suara frasa dan suara kalimat. Analisis lapis
bunyi yang bersifat ‗istimewa‘ atau khusus dalam puisi, yaitu yang dipergunakan
10
untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni (Pradopo, 2012:22). Lapis bunyi dalam
puisi disusun berdasarkan konvensi bahasa yang menjadikan suatu karya sastra
menjadi komunikatif dan menarik. Konvensi bahasa dapat menunjukkan satuan arti
yang dilambangkan, emosi, dan tema yang dimaksudkan penyair agar dapat diterima
oleh pembaca atau pendengar (Hasanuddin, 2002:38).
Analisis bunyi berdasarkan huruf dapat diperoleh melalui beberapa unsur
yang berfungsi sebagai penentu makna dan nilai estetis. Rangkaian bunyi sebagai
norma dalam puisi adalah sebagai berikut:
a. Irama
Pada pembacaan puisi, jeda dan tekanan berperan untuk menciptakan suasana
tertentu. Kondisi ini dapat menghubungkan imaji pembaca dengan intuisi penyair.
Irama merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga
dapat menimbulkan suasana (Hasanuddin, 2002:56).
b. Kakofoni dan Efoni
Rangkaian bunyi yang dimanfaatkan untuk membentuk kesan tertentu cerah
aau buram. Kakafoni merupakan rangkaian bunyi yang terdiri dari huruf konsonan
tak bersuara sehingga menimbulkan kesan buram. Efoni merupakan rangkaian bunyi
yang terdiri dari huruf vokal yang dimanfaatkan untuk menimbulkan kesan cerah.
11
c. Onomatope
Unsur bunyi yang berupa tiruan suara yang dihasilkan oleh benda, gerak,
binatang, manusia, atau segala wujud yang menimbulkan bunyi.
d. Aliterasi dan Asonansi
Pemanfaatan bunyi vokal dan konsonan menjadikan sebuah puisi memiliki
kemerduan bunyi, terlebih jika digunakan secara berulang-ulang. Aliterasi merupakan
pengulangan bunyi konsonan yang dominan. Asonansi adalah pengurangan bunyi
vocal yang dominan dalam sebuah puisi.
e. Anaphora dan Epifora
Pemanfaatan bunyi guna meimbulkan efek tertentu dapat dilakukan dengan
menggunakan pengulangan bentuk kata atau bentukan linguistik pada awal atau akhir
tiap baris puisi. Anaphora adalah pengulangan bunyi dalam bentuk kata pada awal
baris puisi. Epifora adalah pengulangan bunyi dalam bentuk kata pada akhir baris
puisi.
f. Repetisi
Repetisi adalah bentuk perulangan bunyi, suku kata, kata, dan kalimat guna
memberikan penekanan dalam sebuah konteks. Manfaatnya guna memeroleh makna
yang mendalam pada sebuah pemaknaan karya sastra.
12
B. Lapis Arti (Units of Meaning)
Satuan terkecil arti adalah fonem. Menurut Pradopo (2012:25) lapis arti
berupa rangkaian fonem suku kata, kata, frase, dan kalimat yang kesemuanya
merupakan satuan arti. Arti dari sebuah puisi dapat ditangkap melalui dua cara,
yaitu memahami arti denotatif yang sesuai dengan apa yang tertulis dan kedua
memahami arti secara konotatif.
C. Lapis objek
Lapis satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga dari lapis makna berupa
objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang. Dunia pengarang
merupakan dunia imajinasi pengarang yang diciptakan oleh pengarang yang terdiri
dari gabungan latar, pelaku, dan objek-objek yang dikemukakan.
D. Lapis Dunia
Lapis dunia tidak dinyatakan namun tersirat atau implisit dalam cerita atau
karya sastra yeng disampaikan. .
E. Lapis Metafisis
Lapis yang menyebabkan pembaca berkontemlasi atau merenung dengan apa
yang disampaikan dalam karya sastra. Lapis ini memiliki sifat tragis, sublime, dan
suci. Tidak semua puisi mengandung strata yang terakhir ini, namun strata ini dapat
digunakan sebagai bahan perenungan bagi pembaca atau pendengar.
13
3. Pengertian Religius
Religius berasal dari bahasa latinLerigare yang berarti ‗mengikat‘. Religio
berarti ikatan atau pengikatan, sehingga religius dapat diartikan sebagai keterkaitan
manusia terhadap Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan (Dojosantoso,
1986:3).
Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang memiliki religiositas yang
tinggi. Wawasan hidup masyarakat Jawa mengarah kepada sikap keterkaitan manusia
kepada Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan (Dojosantosa, 1986: 15).
Religiusitas berkaitan dengan kebebasan orang untuk menjaga kualitas
keberagamannya jika dilihat dari dimensi yang paling dalam dan personal yang acap
kali berada diluar kategori-kategori ajaran agama (Ratnawati dalam Arafah, 2005:17).
4. Pengertian Puisi dan Geguritan
Puisi dapat dikatakan sebagai hidup itu sendiri. Puisi secara etimologi berasal
dari Yunani poeima ―membuat‖ atau poeisis ―pembuatan‖, dan dalam bahasa Inggris
disebut poem atau poetry. Puisi diartikan membuat atau pembuatan karena lewat puisi
pada dasarnya seorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri yang mungkin berisi
peran atau gambaran suasana tersentu, baik fisik maupun batin (Aminudin, 2010:
134). Octavio Paz menganggap puisi urusan tak selesai dan menjelaskan kodrat
keabadian seolah melekat pada puisi, sebuah kebenaran tak tertanggungkan sepanjang
zaman, sejak puisi dilisankan dan dituliskan (Bandung, 2011: 278)
14
Menurut Pradopo (2005: 7) puisi itu mengekspresikan pemikiran yang
membangkitkan perasaan yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan
yang berirama. Menurut Altenberd (dalam Pradopo, 2005: 5—6) puisi adalah
pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa
berirama (bermetrum) (as the interpretive dramatization of experience in metrical
language).
Tidak berbeda jauh dengan definisi puisi, geguritan memiliki deskripsi yang
hampir sama. Menurut Wiryatmaja dkk (1997:23) geguritan bentuk dasarnya dari
gurit, sedangkan bentuk gegurit atau gugurit adalah bentuk dwipurwa atau bentuk
ulang suku awal. Apabila dilihat dari sudut artinya kata guritan searti dengan
tembang, kidung, dan rerepan (Poerwodarminto dalam Sutadi, 1997:23). Puisi Jawa
modern (geguritan) ialah apa yang dikomunikasikan oleh penyairnya, bertumpu pada
rasa kemanusiawiannya, dengan memeras kemampuan dan daya guna kata-kata
bahasa Jawa, mengacu pada kehidupan yang digumulinya dengan naungan kode
bahasa dan budayanya, dalam orientasi mengindonesia, serta mengimbau keterlibatan
penyambutan pada khalayaknya (Sutadi, 1997: 35).
Geguritan merupakan salah satu karya sastra selain prosa dan drama.
Geguritan adalah cipta sastra terbaru yang hidup hingga saat ini menggunakan bahasa
Jawa masa modern serta tidak memiliki kebakuan puitik yang ketat sehingga
pemahamannya dianggap lebih mudah dibandinglan jenis-jenis puisi Jawa yang lain
(Saputra, 2001: 8).
15
Berdasarkan ragam variasinya, jenis-jenis geguritan diklasifikasikan menjadi