1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Criminal Justice System atau yang dikenal dengan sistem peradilan pidana adalah suatu istilah yang digunakan dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem. Rusli Muhammad menyatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan dalam peradilan yang mana antara bagian-bagian yang terdapat didalamnya saling bekerja sama secara terpadu guna mencapai tujuannya baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang 1 . Sehubungan dengan pendapat tersebut, M. Faal juga memberikan pendapat mengenai definisi dari sistem peradilan pidana, beliau menyatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan sistem dalam suatu peradilan pidana, yang mana didalamnya terdapat komponen-komponen antara lain Kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik, Kejaksaan sebagai penuntut umum, Pengadilan sebagai pihak yang mengadili, dan Lembaga Permasyarakatan yang berfungsi mendidik terpidana, yang mana semua komponen tersebut bekerja sama untuk menanggulangi kejahatan 2 . Selanjutnya Mardjono Reksodipoetra memberikan batasan, bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu sistem yang digunakan untuk penanggulangan kejahatan yang 1 Rusli Muhammad, 2011. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Yogyakarta. UII Press. Hlm.13 2 M.Faal, 2005. Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Jakarta. Pradnya Paramita. Hlm.24
19
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Criminal Justice System atau yang dikenal dengan sistem peradilan
pidana adalah suatu istilah yang digunakan dalam penanggulangan kejahatan
dengan menggunakan pendekatan sistem. Rusli Muhammad menyatakan
bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan dalam peradilan yang
mana antara bagian-bagian yang terdapat didalamnya saling bekerja sama
secara terpadu guna mencapai tujuannya baik dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang1. Sehubungan dengan pendapat tersebut, M. Faal juga
memberikan pendapat mengenai definisi dari sistem peradilan pidana, beliau
menyatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan sistem dalam suatu
peradilan pidana, yang mana didalamnya terdapat komponen-komponen antara
lain Kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik, Kejaksaan sebagai penuntut
umum, Pengadilan sebagai pihak yang mengadili, dan Lembaga
Permasyarakatan yang berfungsi mendidik terpidana, yang mana semua
komponen tersebut bekerja sama untuk menanggulangi kejahatan2. Selanjutnya
Mardjono Reksodipoetra memberikan batasan, bahwa sistem peradilan pidana
merupakan suatu sistem yang digunakan untuk penanggulangan kejahatan yang
1Rusli Muhammad, 2011. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Yogyakarta. UII Press.
Hlm.13
2M.Faal, 2005. Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Jakarta.
Pradnya Paramita. Hlm.24
2
2
terdiri dari lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan
Pemasyaratan terpidana3.
Sebagai kesatuan sistem, Sistem Peradilan Pidana niscaya memiliki
tujuan yang hendak dicapai. Mardjono Reksodiputro menyatakan bahwa tujuan
dari pembentukan Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu upaya untuk
penanggulangan dan pengendalian kejahatan yang terjadi di masyarakat.
“Mardjono Reksodiputro menjelaskan secara rinci terkait tujuan dari
Sistem Peradilan Pidana, yakni antara lain :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.”4
Senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro,
Romli Atmasasmita memberi pendapatnya mengenai tujuan dari sistem
peradilan pidana, bahwa tujuan dari sistem peradilan pidana adalah untuk
mencegah terjadinya kejahatan yang ada di masyarakat, menanggulangi
kejahatan yang terjadi dalam masyarakat sehingga masyarakat merasa bahwa
keadilan itu ada, serta mengusahakan agar seseorang yang telah melakukan
kejahatan merasa jera sehingga tidak berniat mengulangi perbuatannya
kembali5. Sehingga Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa Sistem Peradilan Pidana adalah suatu sistem yang dibuat untuk
menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu
keamananan dan ketertiban masyarakat.
3 Mardjono Reksodiputro, 2009. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada
Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas –Batas Toleransi). Fakultas Hukum Unversitas
Indonesia. Hlm.1
4 Ibid., Hlm.3
5 Romli Atmasasmita, 2010. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta. Kencana
Prenada Media Grup. Hlm. 3
3
3
Herbert Pecker yang merupakan seorang pakar dalam criminal justice
system membedakan pendekatan normatif dalam sistem peradilan pidana,
beliau membagi menjadi dua model yang berorientasi pada nilai-nilai praktis
dalam melaksanakan mekanisme proses peradilan pidana, dimana harapannya
agar kita dapat memahami suatu anatomi yang normatif dalam hukum pidana,
kedua model tersebut yaitu Crime Control Model (selanjutnya disebut CCM)
dan Due Process Model (selanjutnya disebut DPM). Kedua model tersebut
tidak menyebutkan mengenai apa kenyataannya dan apa yang seharusnya dan
bukanlah suatu polarisasi yang absolut, namun sebenarnya kedua model yang
diajukan oleh Packer itu sangat erat hubungannya satu sama lainnya karena
DPM itu sendiri pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap CCM dan
keduanya beroperasi dalam sistem peradilan pidana atau beroperasi didalam
adversary system (sistem perlawanan) yang berlaku di Amerika. Pada CCM
berlaku prinsip presumption of guilt (praduga bersalah) dan “sarana cepat”
dalam pemberantasan kejahatan demi efisiensi. Sedangkan pada DPM berlaku
prinsip presumption of innocence (praduga tak bersalah).6
Sebagaimana penulis telah uraikan diatas bahwa Sistem Peradilan Pidana
merupakan satu kesatuan sistem yakni dari proses penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan sidang pengadilan hingga pelaksanaan putusan, maka
dalam pelaksanaannya mengacu pada peraturan perundang-undangan terkait
hukum pidana itu sendiri, diantaranya adalah hukum pidana formil (acara
pidana) yang terkodifikasi dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
6 Ibid., Romli Atmasasmita. Hlm.8
4
4
KUHAP (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981) dan peraturan perundang-
undangan terkait lainnya.
Salah satu prinsip dan asas yang dipakai dalam proses peradilan pidana
sebagaimana tersebut diatas adalah asas sederhana, cepat dan murah7.
Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara
dilakukan dengan cara efisien dan efektif, lebih lanjut dalam proses peradilan
yaitu konteks acara haruslah jelas dan mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.
Asas cepat, yakni proses keseluruhan peradilan dari tahap awal sampai akhir
haruslah cepat dimana dapat dimaknai sebagai efisiensi8 dan efektivitas dalam
hal waktu dan tidak melebihi batas waktu yang telah ditentukan. Sedangkan
yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat
dijangkau oleh masyarakat9, dalam hal ini penulis berpendapat bahwa
masyarakat yang dimaksud adalah seluruh masyarakat dari segala lapisan
sehingga hukum dan keadilan dapat dicapai oleh semua orang (equality before
the law). Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 9 paragraf 3 UU No. 12
Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And
Political Rights10
yang menyatakan bahwa salah satu tujuan dari prinsip
peradilan yang cepat adalah untuk melindungi hak-hak terdakwa, yakni untuk
7 Lihat ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
8 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI) efisiensi yaitu
ketepatan cara (usaha, kerja) dalam menjalankan sesuatu (dengan tidak membuang waktu, tenaga,
biaya); kedayagunaan; ketepatgunaan; kesangkilan; kemampuan menjalankan tugas dengan baik
dan tepat (dengan tidak membuang waktu, tenaga, biaya)
9 Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman
10 Lihat ketentuan Pasal 9 paragraf 3 UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant On Civil And Political Rights
5
5
tidak ditahan terlalu lama serta memastikan adanya kepastian hukum bagi
terdakwa.
Namun, pada implementasinya terdapat banyak faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan asas sederhana, cepat dan biaya ringan tersebut,
sehingga faktor-faktor tersebut secara tidak langsung berdampak pada
munculnya berbagai permasalahan dalam proses pelaksanaan peradilan pidana
di Indonesia. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain lamanya proses
penyelesaian perkara pidana, tingginya biaya yang dikeluarkan dalam
penyelesaian perkara pidana, serta menumpuknya perkara pidana di pengadilan
yang tak kunjung usai. Permasalahan penumpukan perkara pada lingkup
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia terlihat pada data yang penulis peroleh
dari Website atau laman resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia11
. Data
ini menunjukkan, bahwa di tahun 2013 sampai dengan 2014, terdapat perkara
yang harusnya diselesaikan pada tahun 2013, namun menjadi perkara yang
masih harus diselesaikan ditahun berikutnya yaitu tahun 2014. Adapun data
yang dipaparkan adalah sebagai berikut :
Tabel 1:
Presentase jumlah perkara yang masuk ke Mahkamah Agung (MA)